KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-53
“Itulah putera suhu....,” katanya lirih.
Jantung di dalam dada Ceng Liong berdebar keras penuh ketegangan. Jadi pemuda itukah tunangan kekasihnya? Seorang pemuda yang kelihatan gagah sekali! Akan tetapi Bi Eng tidak mencintanya dan malah memilih dia!
Selagi semua orang berbisik dan bicara sendiri karena mereka terbagi menjadi dua golongan yang mendukung dan menentang usul diadakannya pibu untuk menentukan siapa yang akan menjadi bengcu, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara ketawa ini mengatasi semua suara berisik sehingga semua orang lalu menoleh dan memandang kepada kakek yang tertawa-tawa itu.
Kakek ini sudah berdiri dan karena suara ketawanya yang luar biasa, maka semua orang dengan mudah dapat menemukannya. Dia berdiri sambil bertolak pinggang. Seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluhan tahun. Akan tetapi wajahnya masih nampak ganteng, pakaiannya pesolek dan indah. Di dekatnya sendiri empat orang wanita setengah tua yang kesemuanya cantik-cantik. Mereka yang berada di situ, hanya ada beberapa orang saja yang sudah mengenalnya.
Kakek ini bukan lain adalah Bu-taihiap atau nama lengkapnya adalah Bu Seng Kin, seorang pendekar besar yang suka bertualang. Kini Bu-taihiap yang hadir bersama empat orang isterinya itu memandang kepada Ci Hong Tosu, masih tertawa, dengan nada mengejek.
“Pertemuan macam apakah ini? Pertemuan antara orang-orang yang berjiwa patriot, ataukah pertemuan gerombolan tukang pukul yang hanya hendak pamer kepandaian silat? Ha-ha-ha, sungguh lucu!”
Ci Hong Tosu mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak mengenal siapa adanya kakek itu, akan tetapi dia mengenalnya sebagai seorang di antara para calon karena tadi ada orang yang mencalonkan kakek ganteng ini.
“Siancai...., siapa menyetujui cara kami boleh maju memperebutkan kedudukan bengcu, yang tidak setuju boleh mundur!”
“Harap cu-wi pikirkan baik-baik!” Tiba-tiba Sim Hong Bu maju menghadapi Giam San-jin yang masih berdiri di dataran itu dengan sikap menantang lawan.
“Apa yang harus dipikirkan lagi, Sim-sicu? Bukankah kita berkumpul di sini untuk bicara tentang perjuangan dan sebelum itu harus diangkat dulu seorang bengcu yang akan menjadi pemimpin dan menunjuk orang-orang untuk menjadi pembantu-pembantunya. Nah, calon-calon sudah diambil dan sekarang tinggal diadakan pemilihan melalui adu kepandaian!”
“Betul! Lebih baik cepat laksanakan pibu!” terdengar beberapa orang berseru.
Sebagai ahli-ahli silat, memang biasanya mereka ini suka sekali nonton orang mengadu ilmu silat, apalagi kalau diingat bahwa yang berkumpul di situ sekarang adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan saat ini, maka tentu akan menjadi ramai sekali dan mereka berkesempatan untuk melihat ilmu-ilmu silat hebat yang akan dikeluarkan. Mereka akan memperoleh banyak kemajuan dan pengalaman dalam pibu ini.
Sim Hong Bu mengangkat kedua tangan ke atas, meminta agar semua orang tenang. Kemudian dia berkata kepada Giam San-jin. “Maaf, sobat. Akan tetapi saya kira tidaklah tepat kalau diadakan pibu dalam pemilihan bengcu ini. Dalam pibu, mungkin ada yang akan roboh terluka bahkan mungkin saja akan ada yang tewas.”
Giam San-jin tertawa. “Ha-ha, siapa yang tidak tahu akan hal itu, sicu? Bukankah kita semua ini adalah orang-orang yang semenjak kecil sudah berkecimpung dengan dunia persilatan dan sudah biasa dengan kalah menang, luka dan mati? Akan tetapi hal itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang-orang macam kita. Kalau ada orang yang takut terluka atau tewas dalam pibu, mana ada harganya orang itu menjadi bengcu, menjadi pemimpin kita? Karena itu, kami harap agar dapat diputuskan sekarang juga agar pibu segera diadakan untuk menentukan siapa yang patut menjadi bengcu. Ingat, sicu sekarang ini hanya memimpin pertemuan sementara saja sebelum bengcu dipilih, karena itu sicu tidak berhak menentukan sesuatu. Dan banyak saudara yang menyetujui diadakan pibu. Bukankah demikian, cu-wi yang mulia?”
Ucapan ketua Pat-kwa-pai disambut sorak-sorai dan tentu saja dia menang suara karena baru anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai saja sudah hampir separuh jumlah yang hadir. Melihat ini, Sim Hong Bu menjadi bingung dan tidak tahu harus berkata apa lagi.
Pada saat itu, Ceng Liong melompat ke depan Giam San-jin dan tentu saja dia tidak mau bertindak lancang dan terlebih dahulu dia menjura kepada Sim Hong Bu.
“Sim-locianpwe, bolehkah saya bicara kepada para hadirin yang terhormat?”
Sim Hong Bu memandang wajah Ceng Liong. Sejenak dia memandang tajam, lalu dia mengangguk. “Silakan, dan mudah-mudahan kekacauan ini dapat diredakan,” katanya sambil mundur.
Giam San-jin mengerutkan alis, memandang kepada pemuda remaja yang berani maju dan hendak bicara itu, tetapi Ceng Liong sama sekali tidak memperhatikannya. Pemuda ini lalu menjura ke empat penjuru, kemudian suaranya terdengar menggeledek. “Cu-wi sekalian, perkenankan saya bicara sebentar dan harap cu-wi sudi mempertimbangkan dengan baik-baik.”
Diam-diam Giam San-jin, juga para tokoh yang hadir di situ terkejut. Di dalam suara pemuda ini terkandung getaran yang sangat hebat, yang terasa sampai ke jantung mereka, tanda bahwa kekuatan khikang pemuda yang bicara ini besar sekali. Karena itu, tentu saja semua orang memandang kepadanya penuh perhatian dan ingin sekali tahu apa yang akan dikatakan oleh pemuda itu.
Ceng Liong sudah mengambil keputusan untuk menghalangi terjadinya kekacauan di dalam pertemuan ini. Maka dengan sikap tenang namun tegas dia pun mulai bicara, suaranya tetap lantang karena memang dia ingin mengatasi semua kegaduhan agar dapat didengar dengan baik oleh mereka semua.
“Cu-wi yang terhormat. Saya mengajak cu-wi sekalian untuk merenungkan sejenak dan menjawab pertanyaan yang kita ajukan kepada diri sendiri, yaitu untuk apakah kita semua ini dari jauh-jauh datang berkumpul ke sini dan mengadakan pertemuan ini? Jawabannya tentu mudah dan dapat disetujui kita semua, yaitu bahwa kita berkumpul untuk bersatu padu dan berjuang membebaskan negara dari penjajahan. Dan sekarang, dalam pemilihan bengcu, kita akan berhadapan sebagai orang-orang yang hendak memperebutkan kedudukan! Bahkan untuk memperebutkan kedudukan bengcu, kita tak segan-segan untuk saling serang, saling melukai dan bahkan untuk saling bunuh! Para saudara yang tidak menyetujui pertandingan pibu memperebutkan kedudukan ini tentu orang-orang gagah perkasa yang juga tidak takut terluka atau mati, akan tetapi tidak setuju karena melihat bodohnya keputusan ini. Tidak setuju karena cara yang digunakan untuk memilih bengcu ini tidak baik!”
Ucapan pemuda itu membuat semua orang tertegun, bahkan mereka yang tadinya menyetujui diadakannya pibu kini terdiam. Akan tetapi, Giam San-jin yang memelopori cara pibu yang tadi didahului oleh Tang Gun dan Su Ciok, menganggap pemuda ini menjadi penghalang yang menentangnya.
“Cara apa pun yang kita adakan adalah baik karena untuk suatu tujuan yang baik pula. Tujuan kita adalah memilih bengcu yang benar-benar patut kita jadikan pemimpin. Apa salahnya cara pibu bagi orang-orang yang menganggap dirinya pendekar?” demikian kepala rombongan Pat-kwa-pai membantah, juga ia telah mengerahkan tenaga khikang dalam suaranya sehingga terdengar lantang.
“Maaf,” kata Ceng Liong, menjura kepada orang tua itu. “Bukan maksud saya untuk semata-mata menentang pendapat itu, melainkan mengajak semua saudara untuk mempertimbangkan dengan penuh kesadaran. Kita berkumpul dengan maksud untuk bersatu. Dalam menghadapi perjuangan besar, kita perlu bersatu padu. Akan tetapi, cara pemilihan bengcu dengan jalan pibu bukanlah hal yang menguntungkan, bahkan sangat berbahaya. Dalam pibu, yang terluka apa lagi yang tewas tentu menimbulkan dendam dan hal ini dapat memecah-belah persatuan antara kita. Pula harus diingat bahwa, seorang bengcu yang akan memimpin perjuangan, tidak cukup kalau hanya mempunyai kepandaian silat tinggi. Perang lebih membutuhkan ilmu perang, walau pun dalam pertempuran dibutuhkan kemahiran ilmu silat bagi para pejuang yang bertempur. Yang penting adalah caranya untuk bersatu, karena caralah yang menentukan sesuatu, yang menciptakan baik buruknya sesuatu, bukan tujuan.”
Semua orang yang mendengarkan menjadi semakin bingung, terutama bagi yang tadi menyetujui diadakannya pibu. Mereka dapat merasakan kebenaran ucapan pemuda itu. Akan tetapi sebagai orang-orang yang suka akan ilmu silat, mereka pun ingin sekali jika pibu diadakan supaya mereka dapat menikmati pertandingan-pertandingan yang tentu akan hebat sekali itu.
Sementara itu, Giam San-jin sudah marah sekali, merasa bahwa dia disudutkan oleh pemuda remaja yang tidak dikenal itu. Maka dia pun melangkah maju menghampiri Ceng Liong dan menegur keras.
“Orang muda, siapakah engkau berani berlagak menggurui kami? Bagaimana pun juga, kami tetap mengambil keputusan untuk memilih bengcu dengan cara pibu! Kalau sudah begitu, engkau mau apa? Kalau kau tidak setuju, boleh angkat kaki dari sini. Dalam urusan penting ini, kami tidak membutuhkan nasehat-nasehat seorang bocah hijau seperti engkau!”
Tentu saja ucapan ini merupakan penghinaan yang memanaskan hati. Akan tetapi Ceng Liong tetap bersikap tenang, bahkan dia tersenyum. Kalau saja dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak tamu para pendekar sakti dan para locianpwe, tentu dia sudah mempermainkan kakek yang sombong ini. Kini dia harus bersikap dan bertindak tegas kalau dia tetap menghendaki agar pertemuan itu tidak sampai berubah menjadi arena pertandingan yang akibatnya tentu akan memecah-belah kekuatan di antara mereka saja.
“Locianpwe,” katanya dengan sikap hormat. “Bagimana pun juga, saya akan menentang pibu yang diadakan untuk pemilihan bengcu.” Ucapannya itu hormat, akan tetapi tenang dan tegas sekali.
Suasana menjadi tegang ketika pemuda itu mengeluarkan ucapan ini. Betapa beraninya pemuda itu, pikir mereka. Atau lancang dan tak tahu diri? Berani menentang seperti itu kepada Giam San-jin, tokoh Pat-kwa-pai yang memiliki ilmu kepandaian hebat. Bahkan Tang Gun dan Su Ciok yang lihai itu pun tadi gentar dan mundur berhadapan dengan kakek berpakaian pertapa ini.
Tentu saja Giam San-jin menjadi semakin marah. Pemuda ini menyebutnya locianpwe, berarti mengakui bahwa kedudukan dan kepandaiannya jauh lebih tinggi, akan tetapi berani menentangnya!
“Orang muda, dengan ucapanmu tadi berarti bahwa engkau hendak menentangku, atau apakah engkau hendak memasuki pula pertandingan pibu ini melawan aku?”
Ceng Liong menggeleng kepala. “Harap locianpwe tidak salah mengerti. Saya tidak bermaksud ikut pibu memperebutkan kedudukan, bahkan saya menentangnya. Bukan berarti saya hendak menentang pribadi locianpwe pribadi, melainkan yang saya tentang adalah cara yang buruk dan hanya yang membuat perpecahan di antara kita itulah.”
“Hemm, orang muda, omonganmu berliku-liku akan tetapi yang jelas, engkau hendak menentang aku! Kalau aku melanjutkan pemilihan pibu ini, apakah engkau tetap berani menentangku?”
“Demi mencegah terjadinya perpecahan, siapa pun juga akan saya tentang kalau memaksakan diadakannya pibu,” jawab Ceng Liong tenang.
“Keparat! Engkau berani menentang aku? Orang muda, sebelum engkau kuhajar, lebih dahulu katakan siapa namamu?”
“Nama saya Suma Ceng Liong.”
“Suma? Engkau she Suma? Hemm, apakah ada hubungannya dengan keluarga Suma Han Pendekar Super Sakti Pulau Es?” tanya kakek Pat-kwa-pai itu terkejut.
“Saya adalah cucunya,” jawab Ceng Liong singkat, terpaksa tidak dapat merahasiakan lagi keadaan keluarganya.
Pengakuan Ceng Liong itu membuat suasana menjadi semakin tegang karena siapakah yang tidak pernah mendengar tentang keluarga para pendekar Pulau Es? Kini pandang mata mereka terhadap Ceng Liong makin penuh perhatian dan semua orang ingin menyaksikan bagaimana sepak terjang seorang cucu dari Pendekar Super Sakti.
“Ha-ha-ha!” tiba-tiba terdengar suara ketawa lembut disusul suara Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-pai yang tinggi kurus itu. “Cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, ya? Bagus, siapa tidak tahu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es adalah keluarga pendukung kaisar, pendukung pemerintah penjajah Mancu? Siapa tidak tahu bahwa isteri Pendekar Super Sakti adalah Puteri Mancu? Ingat nama Puteri Nirahai, isterinya yang menjadi panglima Mancu, dan Puteri Milana, puterinya yang juga menjadi panglima Mancu. Dan sekarang cucunya berada di sini, siapa tahu dia malah menjadi mata-mata Kerajaan Mancu!”
Tentu saja semua orang menjadi tegang mendengar kata-kata ini dan muka Ceng Liong berubah menjadi merah. Dia mengerti bahwa Pek-lian-kauw dengan perkumpulannya, Pek-lian-pai memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada keluarga kakeknya, sebab memang banyak di antara para pimpinan Pek-lian-kauw yang menyeleweng dan pernah dihajar oleh keluarga kakeknya itu.
“Totiang, harap jangan sembarangan membuka mulut menyebar fitnah!” bentaknya.
Akan tetapi Giam San-jin sudah mendapat angin dengan ucapan tokoh Pek-lian-pai tadi. Dia sudah menyambar tongkatnya yang tadi dipegang oleh seorang muridnya, sebuah tongkat baja yang kecil panjang dan kedua ujungnya runcing. Dia memutar tongkatnya dan berteriak, “Mata-mata Mancu atau bukan, engkau sudah berani menentang kami dan berarti engkau harus menandingi aku dalam ilmu silat! Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!”
Ceng Liong tersenyum pahit. Tidak disangkanya bahwa dalam pertemuan antara para pendekar dan patriot itu dia akan bertemu dengan orang-orang semacam ini dan harus mengalami hal sepahit ini. Tetapi dia pun kini maklum bahwa selama ada orang-orang seperti ini yang mencampuri perjuangan para patriot, maka perjuangan itu yang tadinya bertujuan mulia membebaskan negara dari tangan penjajah asing, akan diselewengkan menjadi tujuan orang-orang yang berambisi mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri mau pun gerombolannya. Maka, dia pun harus memberantasnya!
“Giam San-jin, aku pun sejak dulu sudah banyak mendengar bahwa Pat-kwa-pai, apa lagi Pek-lian-pai, hanya namanya saja perkumpulan pendekar dan patriot, akan tetapi sesungguhnya banyak hal-hal jahat dan sewenang-wenang telah kalian lakukan. Kalau engkau memaksa perkelahian, baiklah, aku tak pernah menggunakan senjata. Majulah, bukan pribadimu yang kulawan, tapi sikap perpecahan yang buruk itu yang kutentang!”
“Bocah sombong! Engkau sendiri yang mencari mati sendiri!” bentak Giam San-jin yang menjadi semakin marah karena dia merasa dipandang rendah oleh pemuda itu.
Seorang pemuda remaja berani menantangnya dan kini menghadapinya dengan tangan kosong, padahal dia telah mempergunakan senjatanya yang paling ampuh dan ditakuti, yaitu tongkatnya yang jarang menemui tandingan! Kini dia menerjang maju, tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga nampaklah gulungan sinar yang mengandung banyak sekali ujung tongkat runcing yang mengeluarkan suara berdengung-dengung dan tiba-tiba saja ujung tongkat itu mencuat dan menyerang ke arah jalan darah di tubuh Ceng Liong secara bertubi-tubi! Serangan itu hebat sekali karena makin dielakkan, makin meningkat bahaya serangannya, makin gencar dan makin kuat!
Akan tetapi sekali ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menghadapi Suma Ceng Liong. Biar pun masih muda, akan tetapi Suma Ceng Liong telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan di samping itu dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, menghadapi hujan serangan tongkat yang bergerak dengan amat cepatnya itu dia bersikap tenang saja.
Tubuhnya mengelak berloncatan ke sana-sini dan kadang-kadang kalau dia tidak dapat mengelak lagi, dia hanya menggerakkan tangannya dan jari-jari tangan itu menyentil ke arah ujung tongkat yang datang menotok. Setiap kali ujung tongkat bertemu dengan jari tangannya, terdengar suara berdencing dan ujung tongkat itu pun terpental seperti ditangkis oleh benda yang keras dan kuat sekali! Sampai habis jurus itu dimainkan Giam San-jin, tidak satu kali pun totokan-totokannya menemui sasaran!
Tentu saja hal ini membuat kakek itu menjadi semakin penasaran. Tadinya dia sengaja mengeluarkan jurus simpanan ketika menyerang untuk pertama kalinya. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan anggota keluarga pendekar Pulau Es, maka begitu menyerang dia mengeluarkan jurus simpanannya. Akan tetapi ternyata bahwa jurus yang ampuh itu dapat disambut dan dihindarkan oleh pemuda itu tanpa banyak kesulitan! Padahal, ilmu serangannya tadi adalah jurus dari Pat-kwa-pai yang ampuh, yang gerakannya didasari perhitungan pat-kwa dan memenuhi delapan penjuru, menutup semua kemungkinan jalan keluar.
Namun, lawannya dapat menyelamatkan diri dengan baiknya, seolah-olah sudah tahu akan rahasia pat-kwa. Dan memang, dia tidak tahu bahwa pemuda ini tentu saja sudah hafal akan rahasia pat-kwa. Di dalam keluarga para pendekar Pulau Es, terdapat ilmu-ilmu Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa) serta Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang kesemuanya berdasarkan garis-garis pat-kwa. Apalagi Ceng Liong, bahkan sudah mempelajari gabungan kedua ilmu itu. Dengan demikian serangan lawan yang didasari perhitungan pat-kwa tadi baginya seperti permainan kanak-kanak saja.
Dalam kemarahan dan penasarannya, Giam San-jin menghujankan serangan-serangan lain yang semuanya merupakan serangan maut yang mengancam nyawa. Ceng Liong sengaja menghadapinya dengan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan saja, bahkan ketika menangkis dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Dia masih merasa segan untuk mengalahkan kakek ini dalam beberapa gebrakan saja. Bukan maksudnya untuk membikin malu orang dalam pertemuan itu. Bagaimana pun juga, dia hendak mencegah adanya perasaan dendam agar pertemuan itu dapat berlangsung dengan baik.
Akan tetapi, sikap mengalah Ceng Liong ini disalah artikan oleh Giam San-jin. Biar pun kakek ini terhitung seorang yang berkedudukan tinggi dan memilki tingkat kepandaian tinggi sehingga dia sudah dapat melihat dari gerakan-gerakan lawan bahwa lawannya ini biar pun masih muda akan tetapi lihai bukan main, namun sifatnya yang selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain membuat dia mengira bahwa sikap Ceng Liong yang tidak pernah membalas itu bukan mengalah, melainkan takut! Maka dia pun menyerang semakin ganas lagi karena dia berpendapat bahwa lawan yang sudah gentar atau takut akan mudah dirobohkan.
Setelah lewat dua puluh jurus dan lawannya tidak mau tahu bahwa dia sudah banyak mengalah, Ceng Liong menjadi gemas juga. Kakek ini memang tidak tahu diri. Meski dia masih segan untuk membikin malu, tetapi dia mengambil keputusan untuk merampas tongkat lawan agar terbuka mata lawan bahwa dia akan mudah mengalahkannya kalau memang dia mau. Dua puluh jurus sudah cukup lama baginya untuk melihat bagian-bagian gerakan lawan yang mengandung kelemahan.
Pada saat itu Giam San-jin menggerakkan tongkatnya dengan cepat dan kilat, menyapu ke arah pinggang Ceng Liong. Gerakan ini berbahaya sekali dan karena cepatnya, maka agak sukar bagi pemuda itu untuk mengelak dan kalau ditangkis, dia pun akan menghadapi hantaman tongkat yang mengandung pengerahan tenaga sekuatnya dari kakek pertapa itu.
“Hyaaaat....!”
Ceng Liong mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandang mata lawan karena dia sudah meloncat ke atas dengan kecepatan seperti seekor burung terbang saja. Tongkat yang menyambar itu lewat di bawah kakinya dan pemuda ini menggunakan kedua tangannya untuk menotok ke arah kedua pundak lawan. Cepat bukan main gerakannya ini.
Giam San-jin terkejut bukan main, akan tetapi dia pun bukanlah seorang yang lemah. Kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biar pun serangan Ceng Liong yang datangnya tiba-tiba dan tidak terduga-daga itu memang mengejutkan, namun dalam keadaan terancam bahaya itu dia masih mampu menyambut dengan serangan rambut panjang riap-riapan itu ke arah leher Ceng Liong!
Rambut itu bergerak seperti ujung cambuk dan menotok ke arah jalan darah maut di tenggorokan lawan. Ini memang merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan kakek itu, dan amat berbahaya karena rambut itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata lain. Dengan pengerahan sinkang-nya, rambut itu menjadi kaku dan menotok jalan darah seperti ujung tongkat atau jari tangan yang keras.
Akan tetapi Ceng Liong sudah waspada. Dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka menghadapi serangan balasan yang mendadak itu dia pun bersikap tenang saja. Tangan kiri yang tadi menotok pundak lawan ditariknya untuk menangkis serangan rambut itu sedangkan tangan kanannya masih meneruskan totokan ke arah pundak kiri lawan.
Giam San-jin miringkan tubuhnya untuk menyelamatkan pundak. Pundaknya memang terhindar dari totokan yang akan melumpuhkan lengan, akan tetapi tangan kanan Ceng Liong itu masih menyerempet pangkal lengan di bawah pundaknya.
“Plakkkk....!”
Baju di bagian itu robek dan Giam San-jin terhuyung-huyung, mukanya berubah merah sekali.
“Maaf, locianpwe, harap suka menghentikan serangan!” Ceng Liong berkata sambil menjura dengan harapan kakek itu menyudahi pertandingan yang tidak diharapkan itu.
Akan tetapi kakek itu sudah memuncak kemarahannya sehingga dia menjadi gelap mata dan dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat melihat kenyataan bahwa lawannya jauh lebih unggul dan tangguh.
Dia berseru. “Aku belum kalah!” kemudian dia menyerang lagi dengan tongkatnya.
Dengan cekatan Ceng Liong melompat ke samping, rasa penasaran mulai menyusup ke dalam hatinya. Kakek ini sungguh tidak tahu diri, pikirnya.
Pada saat itu Ceng Liong melihat betapa kakek Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-kauw itu, bersama kedua orang tosu pembantunya, telah maju pula. Dia mengira bahwa mereka bertiga itu hendak mengeroyoknya. Akan tetapi ternyata mereka bertiga segera duduk bersila dan bersedakap, memejamkan mata.
Pada saat itu Ceng Liong merasakan adanya gelombang getaran aneh yang melanda dirinya. Tahulah dia apa artinya ini. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu mempergunakan ilmu sihir untuk membantu Giam San-jin dan menyerangnya! Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, putera Pendekar Siluman Kecil dan yang mempunyai ibu seorang ahli sihir, maka tentu saja Ceng Liong tahu apa yang harus dia lakukan. Cepat dia mengerahkan tenaga batinnya.
Pada saat itu Giam San-jin sudah menyerang lagi. Kakek ini pun paham bahwa tokoh Pek-lian-kauw yang menjadi sahabatnya itu telah pula membantunya dengan ilmu sihir. Giranglah hatinya dan dia menyerang dengan dahsyat. Tetapi betapa kaget hatinya pada saat pemuda itu menyambut hantaman tongkatnya dengan kedua tangan yang mencengkeram!
“Braaakkkk....!”
Begitu tongkatnya bertemu kedua tangan Ceng Liong, tokoh Pat-kwa-pai itu merasa tubuhnya tergetar hebat seperti disambar petir dan ia pun terpelanting keras sedangkan tongkatnya terampas oleh Ceng Liong. Dia tidak mengenal pukulan pemuda itu dan memang dalam kemarahannya tadi Ceng Liong telah menggunakan pukulan jari tangan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong.
Pada saat itu, terdengar suara halus. “Suma Ceng Liong, engkau adalah seekor anjing, hayo cepat merangkak dan menggonggong!”
Suara yang penuh wibawa ini keluar dari mulut Ci Hong Tosu yang masih duduk bersila bersama kedua orang pembantunya. Mereka bertiga itu menggabungkan tenaga sakti untuk menyihir dan mempengaruhi Ceng Liong, hendak memasukkan dan memaksa keyakinan pemuda itu bahwa dia adalah seekor anjing yang harus merangkak dan menggonggong. Jelaslah betapa kejinya perangai tokoh Pek-lian-kauw ini. Dia hendak membikin malu pemuda itu melalui kekuatan sihirnya agar supaya semua orang melihat pemuda itu merangkak-rangkak dan menggongong-gonggong!
Gelombang tenaga yang amat kuat melanda Ceng Liong dan pemuda ini merasa betapa ada tenaga mukjijat yang memaksanya agar mentaati perintah tadi. Akan tetapi, dia tahu apa artinya itu. Tiba-tiba dia melemparkan tongkat rampasannya dan menjatuhkan diri duduk di atas tanah, bukan untuk merangkak melainkan untuk bersila dan dia pun menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan mengerahkan kekuatan batin untuk melindungi dirinya dari serangan gelombang tenaga yang menyihirnya itu.
Terjadilah pertandingan ilmu sihir yang tak dapat terlihat orang lain. Akan tetapi mereka yang berada di situ dapat merasakan adanya getaran-getaran aneh yang memenuhi tempat itu dan seolah-olah dua tenaga yang berlawanan saling tarik-menarik dengan kuatnya.
Tiba-tiba terjadilah hal yang amat luar biasa. Terdengar suara bagaikan anjing-anjing menggonggong dan menyalak. Tetapi tidak ada anjing di situ dan suara gonggongan itu pun aneh, bukan seperti suara anjing-anjing tulen. Dan semua orang terbelalak dengan muka pucat ketika mereka melihat tiga orang Pek-lian-pai itu, yang tadinya duduk bersila, kini sudah merangkak-rangkak sambil menggonggong dan menyalak seperti tiga ekor anjing yang kebingungan!
Tentu saja peristiwa luar biasa ini membuat semua orang terkejut dan terheran-heran. Mereka teringat betapa tadi tokoh Pek-lian-kauw itu menyuruh Ceng Liong merangkak dan menggonggong. Kini mereka dapat menduga betapa ilmu sihir yang dipergunakan kakek Pek-lian-kauw itu telah membalik dan terjadi peristiwa senjata makan tuan!
Ceng Liong sendiri pun terkejut dan merasa heran. Dia tadi hanya mengerahkan tenaga untuk menolak gelombang tenaga sihir yang menyerangnya dan yang seperti hendak memaksanya mengaku bahwa dia seekor anjing. Akan tetapi kenapa sekarang mereka bertiga yang tersihir? Apakah kekuatan sihirnya sudah menjadi sedemikian ampuhnya?
Akan tetapi tiba-tiba dia tersenyum dan memandang ke kiri. Dia melihat munculnya ayah dan ibunya dan tahulah dia bahwa ibunya yang tadi turun tangan menghajar tiga orang Pek-lian-kauw yang hendak menghinanya itu!
Kiranya di antara para pendekar yang hadir di tempat itu terdapat pula Suma Kian Bu dan Teng Siang In, isterinya yang ahli dalam hal sihir itu. Pendekar ini walau pun sudah mengutus puteranya untuk mewakili mereka, tapi masih merasa ragu-ragu dan mereka berdua pergi tak lama setelah putera mereka berangkat.
“Bagaimana pun juga, kita tidak boleh sembrono ikut bergerak dengan mereka yang hendak memberontak walau pun pada prinsipnya kita setuju,” antara lain Suma Kian Bu berkata kepada isterinya. “Kita harus menyelidiki dulu dengan seksama akan bersihnya cita-cita itu. Lagi pula, aku harus ingat kepada keluarga Pulau Es dan minta pendapat mereka lebih dulu.”
Isterinya setuju. “Memang, aku pun merasa khawatir dan sangsi. Sebaiknya kalau kita berunding dahulu dengan keluargamu, terutama sekali kakakmu Suma Kian Lee, enci Milana dan juga Kao Cin Liong yang mempunyai kedudukan penting sebagai panglima di kota raja.”
Demikianlah, suami isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke utara. Mula-mula mereka mengunjungi Suma Kian Lee dan mendengar penuturan adiknya, Suma Kian Lee terkejut sekali.
“Bu-te, masalah ini gawat sekali!” kata Suma Kian Lee. “Memang aku sendiri pun dapat mengerti tentang jiwa patriot para pendekar yang tidak suka akan penjajahan Bangsa Mancu. Akan tetapi urusan besar itu tidak dapat dilukukan secara begitu sembrono. Apalagi kita sendiri, keluarga Pulau Es, harus berhati-hati. Betapa pun juga, nenek-nenek kita adalah wanita Mancu, walau pun kita tahu bahwa enci Milana dan suaminya juga tidak suka akan penjajahan, bahkan enci Milana sudah tidak lagi mau membantu pemerintah dan mengundurkan diri bersama suaminya. Sebaiknya kalau kita bicarakan hal yang amat gawat ini dengan Cin Liong. Engkau mengenal dia. Biar pun dia seorang jenderal dan panglima perang di kota raja, akan tetapi dia adalah seorang pendekar.”
Demikianlah, mereka berempat, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka, berangkat ke kota raja. Kebetulan sekali di kota raja mereka berjumpa dengan Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, bahkan Puteri Milana dan suaminya, pendekar Gak Bun Beng yang usianya kini sudah hampir tujuh puluh tahun, berada pula di kota raja dan dapatlah keluarga besar para pendekar Pulau Es itu berkumpul.
Dengan hati-hati Suma Kian Bu mengajak keluarganya berkumpul di rumah Jenderal Kao Cin Liong. Dia menceritakan tentang pertemuan para pendekar di Hutan Cemara yang merencanakan pemberontakan untuk menggulingkan pemerintah penjajah. Tentu saja berita ini amat mengejutkan hati Gak Bun Beng dan isterinya, terutama sekali amat mengejutkan hati Kao Cin Liong yang menerima berita itu dengan gelisah.
Jenderal muda ini mengangguk-angguk. “Saya juga dapat mengerti akan jiwa patriot itu, bahkan terus terang saja, kadang-kadang ada pula rasa penasaran dalam hati saya melihat adanya penjajahan. Tetapi, dengan jalan mengabdi pemerintah dan melakukan tugas dengan adil dan baik berarti ikut mendorong roda pemerintahan ke jalan yang benar dan tidak menindas rakyat. Saya bingung sekali, tidak tahu harus berbuat bagai mana menghadapi berita ini.”
“Biarlah kami pergi ke sana melakukan penyelidikan lebih dahulu,” kata Suma Kian Bu. “Setelah melihat bagaimana keadaan mereka itu, baru kita dapat menentukan sikap apa yang harus kita ambil.”
Puteri Milana yang usianya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak segar dan gagah itu kemudian bicara, suaranya halus akan tetapi tegas. “Kita anggota keluarga Pulau Es harus melihat kenyataan bahwa dari pihak ibu kita, kita juga berdarah Mancu. Namun dalam urusan ini kita tidak boleh membiarkan diri terbuai oleh keturunan atau bangsa. Yang penting adalah rasa keadilan dan kegagahan, dan harus bertindak bijaksana. Urusan ini bukan urusan yang remeh, melainkan gawat sekali. Kalau sampai terjadi pemberontakan dan perang, hal ini bukan hanya menjadi urusan kita atau para pendekar, melainkan seluruh rakyat akan terguncang dan biasanya dalam perang akan terjatuh banyak korban. Hal ini bukan berarti bahwa aku tidak menyetujui cita-cita membebaskan tanah air dari pada penjajahan, hanya caranya harus yang wajar dan hati-hati karena menyangkut kehidupan rakyat jelata.”
Setelah mengadakan perundingan serta mengemukakan kebijaksanaan-kebijaksanaan masing-masing selama hampir samalam suntuk, pada keesokan harinya, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri mereka, berangkat menuju ke Hutan Cemara untuk melakukan penyelidikan dan peninjauan tanpa melibatkan diri sebelum mereka melihat sendiri bagaimana keadaan para patriot yang merencanakan pembebasan tanah air dari tangan penjajah Mancu itu.
Demikianlah, dengan jalan menyelinap di antara para pendekar yang memenuhi Hutan Cemara, dua pasang suami isteri pendekar ini dengan diam-diam mengikuti jalannya pertemuan dan mereka menyaksikan terjadinya kekacauan oleh sikap dan ulah para tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pang. Akhirnya, melihat Ceng Liong maju menentang tokoh Pat-kwa-pai yang kemudian dibantu oleh orang-orang Pek-lian-kauw yang menggunakan ilmu sihir, Teng Siang In menjadi marah dan nyonya ini kemudian menggunakan keahlian sihirnya untuk membantu puteranya dan memberi hajaran keras kepada tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.
Dengan girang Suma Ceng Liong lalu berlari menghampiri ayah bundanya. Akan tetapi sebelum sempat bicara, tiba-tiba mereka dan semua orang yang berada di dalam hutan itu dikejutkan oleh suara terompet dan tambur yang dipukul dan ditiup dengan gencar. Semua orang memandang sekeliling dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa tempat itu sudah dikurung dari jauh oleh banyak sekali pasukan tentara pemerintah! Hutan Cemara itu sudah dikepung, mungkin oleh ribuan orang tentara!
Bagaimanakah tempat itu mendadak saja dikurung oleh ribuan orang tentara? Demikian para pendekar bertanya-tanya dan suasana menjadi panik. Beberapa orang pendekar mengenal dua pasang suami isteri Suma yang baru muncul, maka segera terdengarlah teriakan-teriakan yang dipelopori olehi Ci Hong Tosu yang sudah sadar kembali dari keadaannya seperti anjing tadi.
“Pengkhianatan! Keluarga Pulau Es yang berkhianat. Mereka yang membawa pasukan untuk mengepung kita!”
Teriakan-teriakan kemarahan terdengar dan semua mata ditujukan kepada Ceng Liong, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri. Para pendekar jadi tergugah oleh teriakan Ci Hong Tosu tadi dan kini mereka memandang keluarga Pulau Es dengan alis berkerut.
Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Benarkah keluarga Pulau Es yang mengkhianati para pendekar yang sedang berkumpul di tempat itu? Seperti telah kita ketahui, hal itu sama sekali tidak benar.
Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu datang bersama isteri mereka saja, dan mereka datang untuk menyelidiki, bukan untuk mengkhianati dan membawa pasukan. Tetapi, bagaimana mendadak pasukan yang besar jumlahnya itu tahu-tahu sudah mengepung tempat itu? Apakah Jenderal Kao Cin Liong yang berkhianat? Juga tidak! Biar pun dia merupakan seorang panglima muda yang setia, akan tetapi dia pun berjiwa pendekar dan tidak mungkin mau melakukan kecurangan dan pengkhianatan seperti itu terhadap para pendekar.
Lalu siapa pengkhianatnya? Kiranya tidak sukar untuk menebaknya. Tentu saja yang menjadi pengkhianat adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah diceritakan di bagian depan, laki-laki yang berwatak buruk dan kotor ini telah menemukan dan merampas surat dari para pimpinan pendekar dan patriot yang ditujukan kepada Gan-ciangkun, seorang panglima di kota raja yang juga mempunyai ambisi besar untuk bersekutu dengan para pemberontak.
Seperti kita ketahui, Tek Ciang merampas surat itu dari Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai yang menerimanya dari kekasihnya, Kwee Cin Koan murid Kong-thong-pai yang juga menjadi anggota para pendekar yang mempunyai prakarsa atas pertemuan di Hutan Cemara. Tek Ciang bukan hanya merampas surat, tetapi bahkan memperkosa Can Kui Eng dan kemudian dia membunuh pula Pouw Kui Lok yang masih sute-nya sendiri itu, dan lalu menjatuhkan fitnah kepada Pouw Kui Lok yang dilaporkannya kepada pimpinan Kun-lun-pai sebagai pemerkosa dan pembunuh Can Kui Eng!
Setelah berhasil mengelabui para tosu Kun-lun-pai dan mencuri kitab Sin-liong Ho-kang, Tek Ciang lalu menjanjikan untuk mencari kitab itu. Pergilah manusia berhati kejam ini ke kota raja. Dengan sikapnya yang sopan dan terpelajar, akhirnya Tek Ciang berhasil dihadapkan kepada kaisar dan ia melaporkan tentang pemberontakan itu, menyerahkan suratnya kepada kaisar.
Tentu saja Kaisar Kian Liong merasa kaget dan marah bukan main. Dia selalu bersikap baik dan bersahabat kepada para pendekar, maka sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa kini para pendekar sedang mengadakan persekutuan untuk memberontak kepadanya! Dengan kemarahan memuncak, kaisar itu lantas memerintahkan pengawal untuk pergi menangkap Panglima Gan sekeluarga dan menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari itu juga perintah ini dilaksanakan dan gemparlah kota raja saat mendengar berita bahwa Panglima Gan ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan atas perintah kaisar sendiri!
Kaisar lalu memanggil semua menteri dan hulubalangnya. Di depan mereka ini, Tek Ciang mengulang apa yang diketahuinya dan kaisar menyuruh baca surat dari para pendekar yang ditujukan kepada Panglima Gan itu.
“Sekarang juga kita harus mengirim pasukan besar ke Hutan Cemara, menangkapi semua pemberontak laknat itu. Lekas panggil Jenderal Kao, dialah orangnya yang akan memimpin pasukan menangkapi para pemberontak!” bentak kaisar.
“Harap paduka sudi mengampunkan kelancangan hamba, akan tetapi hamba rasa tidaklah tepat menyuruh jenderal itu memimpin pasukan menyergap para pemberontak, sri baginda!” Tiba-tiba Tek Ciang berkata dan semua pembesar yang berada di situ terkejut.
Orang ini sudah bosan hidup, pikir mereka, berani mencela keputusan sri baginda kaisar. Akan tetapi Kaisar Kian Liong yang sudah merasa berterima kasih kepada Tek Ciang tidak menjadi marah, hanya merasa heran.
“Louw Tek Ciang, apa maksudmu dengan ucapanmu itu? Jenderal Kao Cin Liong ialah seorang panglima cakap, dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dialah yang akan mampu menandingi para pendekar!”
“Ampun, sri baginda. Hamba berani mengemukakan pendapat hamba ini atas dasar perhitungan yang matang. Hendaknya paduka ketahui bahwa para pemberontak itu terdiri dari para pendekar dan banyak pula keluarga para pendekar Pulau Es hadir di sana. Seperti paduka ketahui, Jenderal Kao Cin Liong adalah mantu dari salah seorang pendekar Pulau Es. Maka kalau dia yang bertugas memimpin pasukan, hamba berani berkeyakinan bahwa usaha penyergapan itu tidak akan berhasil, mungkin malah gagal dan siapa tahu Jenderal Kao itu diam-diam bersekongkol dengan para pemberontak, atau setidaknya merasa simpati kepada mereka. Maka, akan lebih tepatlah jika paduka memerintahkan seorang panglima lain yang memimpin pasukan untuk menyergap di Hutan Cemara. Ada pun mengenai para pendekar di sana, hamba sendiri pun sanggup untuk membantu pasukan menghadapi mereka!”
Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan alisnya berkerut. Ia langsung teringat akan permohonan jenderal Kao Cin Liong untuk mengundurkan diri. Sudah pernah jenderal muda itu mohon supaya diperkenankan mengundurkan diri meninggalkan jabatannya, akan tetapi dia menahannya. Dan sekarang ada pemberontakan para pendekar itu!
“Baiklah, kami akan mengutus Jenderal Cao Hui untuk menyergap para pemberontak itu. Jenderal Cao, bersiaplah dengan lima ribu orang tentara dan sergap hutan itu, tangkap semua pemberontak. Akan tetapi sebelumnya, kau coba dulu Louw Tek Ciang ini apakah cukup tepat untuk membantumu, apakah benar dia ada kepandaian ataukah tidak.”
Jenderal Cao Hui adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia empat puluh lima tahun. Selain pandai dalam ilmu perang, dia juga pandai ilmu silat dan mempunyai tenaga besar. Pernah dia belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim-pai dan karena itu dia cukup lihai. Setelah menerima perintah kaisar, Jenderal Cao Hui bangkit berdiri sesudah memberi hormat kepada kaisar dan menghadapi Louw Tek Ciang yang masih berlutut.
“Louw-sicu, mari kita mentaati perintah sri baginda.”
Tek Ciang berlutut memberi hormat kepada kaisar yang memberi isyarat dengan tangan agar dia bangkit dan menghadapi jenderal itu. Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan ditonton oleh kaisar dan para hulubalang.
“Louw-sicu, sambutlah seranganku ini!”
Jenderal Cao Hui menggerakkan kedua tangannya, langsung mengirim serangan sambil mengerahkan tenaga. Kaisar memerintahkan agar dia menguji, maka dia pun hanya ingin menguji kecepatan dan kekuatan orang yang barusan melapor tentang adanya pemberontakan dan menjanjikan bantuan kepadanya itu.
“Ciangkun, maafkanlah saya!” jawab Tek Ciang sambil menggerakkan kedua tangan ke depan menyambut serangan panglima itu. Gerakan ini cepat bukan main dan ternyata kedua telapak tangannya dengan tepat menerima kedua tangan Cao-goanswe.
“Plakkk!”
Tubuh jenderal yang tinggi besar itu terdorong ke belakang dan terhuyung, sedangkan tubuh Tek Ciang sebaliknya sedikit pun tak terguncang. Tentu saja jenderal itu menjadi terkejut bukan main. Juga semua panglima yang hadir merasa kagum bukan main.
Mereka mengenal jenderal itu sebagai seorang yang memliki tenaga raksasa, namun kini beradu tangan dengan pemuda itu terdorong dan terhuyung sedangkan pemuda itu sendiri tak tergoyah sedikit pun! Baru segebrakan itu saja sudah membuktikan bahwa pemuda itu memang sesungguhnya seorang yang kuat sekali. Hal ini pun diketahui oleh Cao-goanswe, maka dia pun berlutut lagi memberi hormat kepada kaisar.
“Harap paduka ketahui bahwa ilmu silat dan ketangguhan Louw-sicu ini sangat boleh diandalkan untuk membantu hamba dalam penyerangan itu.”
Kaisar Kian Liong juga bukanlah seorang yang asing dalam hal ilmu silat. Di waktu mudanya kaisar ini sebagai seorang pangeran suka sekali merantau dan berkenalan dengan orang-orang kang-ouw. Oleh karena itu, sekali melihat pertandingan tadi, walau pun hanya segebrakan, namun dia sudah tahu bahwa Louw Tek Ciang adalah orang yang memiliki kekuatan lebih besar dari pada jenderalnya itu. Tentu saja Kaisar Kian Liong menjadi girang sekali dan segera memerintahkan jenderal Cao dibantu oleh Tek Ciang untuk segera berangkat mempersiapkan pasukan yang kuat agar pada waktunya dapat melakukan pengepungan dan penyergapan.
Berita tentang dipersiapkannya pasukan besar oleh Jenderal Cao ini dan ditangkapnya Gan-ciangkun sekeluarga, sampai pula ke telinga Jenderal Kao Cin Liong. Jenderal muda ini terkejut bukan main, apalagi mendengar bahwa pasukan itu sudah berangkat pagi-pagi sekali. Dia cepat memberi tahukan hal ini kepada isterinya dan ayah ibunya yang masih berada di rumahnya, juga kepada Puteri Milana dan Gak Bun Beng.
Mendengar ini, keluarga ini pun terkejut sekali. Para pendekar itu harus diselamatkan, apalagi kalau diingat bahwa Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka hadir pula dalam pertemuan di Hutan Cemara itu. Maka, berangkatlah mereka dengan cepat mengejar pasukan pemerintah agar dapat tiba di hutan itu lebih dulu dari pada para prajurit pemerintah.
Kita kembali ke hutan itu. Para pendekar yang tahu bahwa hutan itu sudah dikepung pasukan yang besar, sebagian menjadi panik juga.
Akan tetapi Sim Hong Bu sudah meloncat ke depan dan berseru. “Harap saudara sekalian tenang dan siap mempertahankan diri. Inilah ujian pertama bagi kita dan demi perjuangan yang suci, kalau perlu kita siap mengorbankan nyawa!”
Ucapan ini segera disambut dengan gembira dan bangkitlah semangat para pendekar itu. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan bersiap menghadapi serbuan pasukan besar yang sudah mengepung hutan itu.
“Kita berpencar dan bersembunyi, memecah-belah kekuatan mereka serta membuka jalan darah untuk menyelamatkan diri!” kembali Sim Hong Bu berseru. Ternyata dalam keadaan terancam bahaya itu pendekar ini memperlihatkan ketenangan, ketabahan dan kepandaiannya untuk memimpin.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring. “Tahan dulu....!” dan muncullah Kao Cin Liong, Kao Kok Cu, Wan Ceng, Puteri Milana, Gak Bun Beng yang masing-masing mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua agar tenang.
“Saudara-saudara, dengarlah dulu sebelum turun tangan!”
Yang bicara ini adalah Puteri Milana. Wanita yang sudah nenek-nenek ini nampak masih anggun dan gagah, suaranya nyaring penuh wibawa, membuat semua pendekar terkejut dan memandang kepada rombongan yang baru tiba ini. Melihat mereka ini, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka juga bergabung.
“Siapakah mereka itu....?” Bi Eng bertanya kepada Ceng Liong yang masih berdiri di dekatnya.
Ceng Liong juga terkejut melihat hadirnya semua keluarganya itu. Dia melihat betapa Ciang Bun juga kini sudah menggabungkan diri dengan mereka. Hampir lengkaplah keluarga para pendekar Pulau Es berkumpul di situ! Mendengar pertanyaan kekasihnya, Ceng Liong menjawab lirih.
“Mereka adalah keluarga para pendekar Pulau Es....”
“Ahhh....? Yang mana ayahmu dan ibumu....?” gadis itu bertanya penuh kagum karena rambongan itu memang nampak gagah perkasa.
“Itulah ayah dan ibu, dan itu bibi Puteri Milana bersama suaminya, dan di sana itu paman Suma Kian Lee dan isterinya.”
“Siapakah orang gagah berpakaian panglima itu?”
“Dia itu kakak iparku, Jenderal Kao Cin Liong bersama enci Suma Hui, isterinya. Dan kakek berlengan satu itu adalah Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya pula....”
“Ahhh....!” Bi Eng tiada hentinya mengeluarkan seruan kaget dan kagum. Dia sudah pernah mendengar nama-nama itu yang disebut dan dikagumi ayah ibunya, dan baru sekarang ia dapat melihat mereka semua.
Munculnya keluarga para pendekar Pulau Es ini memang mengejutkan semua orang, terutama sekali mereka yang sudah mengenal beberapa di antara anggota keluarga itu. Pimpinan Pek-lian-kauw yang baru saja mengalami kekalahan dan penghinaan sudah mengenal pula Puteri Milana yang menjadi musuh besar mereka.
Ci Hong Tosu bangkit dan mengangkat tongkatnya sambil berseru. “Mereka itu adalah keluarga Pulau Es! Mereka sudah mengkhianati kita! Tentu merekalah yang membawa pasukan pemerintah. Siapa tidak mengenal Puteri Milana, puteri Mancu yang dahulu sudah banyak membasmi teman-teman kita yang berjuang untuk mengusir penjajah?”
Teriakan tosu ini tentu saja membangkitkan amarah di dalam hati para pendekar, akan tetapi karena yang bicara adalah tosu Pek-lian-kauw yang tadi sudah memperlihatkan perangai buruk, sebagian besar para pendekar masih ragu-ragu.
“Saudara sekalian, dengarkan dulu kata-kataku baru kalian boleh mengambil keputusan apa yang akan kalian lakukan!” Puteri Milana berkata lagi dengan lantang. “Rencana kalian untuk memberontak adalah suatu perbuatan bodoh yang waktunya tidak tepat. Apa yang akan kalian capai dengan pemberontakan? Hanya perang besar yang akan membuat rakyat jelata menderita. Puluhan ribu orang akan tewas, rakyat kehilangan keluarga, harta benda dan ketenteraman hidup. Karena itu, sebelum terlambat, kami datang untuk memperingatkan dan menyadarkan kalian supaya menyerah dan jangan melawan!”
“Kami adalah patriot-patriot yang tidak takut mati. Kami berjuang untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan Bangsa Mancu. Engkau seorang puteri Mancu tentu saja membela pemerintahan bangsamu!”
“Aku bukan puteri Mancu. Aku puteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....”
“Tetapi ibumu puteri Nirahai, puteri Mancu!” bentak kepala rombongan Pek-lian-pai.
“Cu-wi, dengarlah baik-baik!” Kini Cin Liong yang berseru nyaring. “Lihatlah aku. Aku adalah Jenderal Kao Cin Liong, tetapi aku datang bukan sebagai pemimpin pasukan untuk menyerbu kalian, melainkan datang untuk menyadarkan kalian. Sebagai seorang panglima aku tahu benar akan keadaan pemerintah. Di bawah pimpinan Sri Baginda Kaisar Kian Liong, harus kita akui bahwa negara mengalami kemajuan dan taraf hidup rakyat tidak sengsara. Lagi pula pemerintah ini selalu menentang golongan jahat dan melindungi rakyat.”
“Engkau penjilat orang Mancu! Huhh, tidak tahu malu!” terdengar pula teriakan dari golongan Pat-kwa-pai dan Thian-lian-pai.
Akan tetapi Cin Liong masih bersikap tenang. “Cu-wi adalah orang-orang yang gagah perkasa, bukan orang-orang ceroboh yang tidak memperhitungkan setiap tindakan. Kita harus memakai perhitungan apa untungnya dan apa ruginya kalau kita mau bertindak. Camkanlah, kalau kalian melakukan pemberontakan, ruginya sudah jelas. Rakyat akan menderita karena perang, karena perang mengakibatkan kematian dan kehilangan, juga menimbulkan meraja lelanya kejahatan karena kurang adanya penjagaan keamanan. Juga, keadaan pemerintah sekarang amat kuatnya, setiap pemberontakan sama artinya dengan bunuh diri. Apalagi kalian sekarang sudah dikepung oleh sepuluh ribu orang pasukan! Melawan berarti mati semua. Dan apakah keuntungannya memberontak tidak pada saatnya yang tepat? Cita-cita boleh muluk, akan tetapi andai kata dapat menang, hal yang sungguh tidak mungkin terjadi dalam keadaan seperti sekarang di waktu rakyat belum siap. Dan seandainya menang, belum tentu kalian akan mendapatkan seorang pengganti kaisar yang baik, sebaik sri baginda kaisar sekarang ini!”
“Aha, enak saja bagimu untuk bicara, Jenderal Kao Cin Liong. Lantas tindakan kami seperti apakah yang akan kau anggap gagah? Apakah kita harus berlutut menyerahkan diri dan minta ampun kepada orang Mancu? Ha-ha-ha, itukah yang akan kau anggap sebagai perbuatan gagah?”
Kao Cin Liong memandang kepada kakek yang bicara ini. Kakek ini bukan lain adalah Bu-taihiap! Pernah terjadi sesuatu antara dia dan keluarga ini, suatu perasaan tidak enak ketika dia menolak perjodohan yang dikehendaki keluarga itu antara dia dan Bu Siok Lan, seorang puteri dari Bu-taihiap.....
Komentar
Posting Komentar