KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-54
“Nanti dulu, orang muda!” Tiba-tiba terdengar suara Sim Hong Bu lantang. Orang gagah ini telah melangkah maju dan dengan sinar mata mencorong dia menentang rombongan keluarga Pulau Es. “Aku merasa heran sekali melihat betapa keluarga para Pendekar Pulau Es dapat bersikap seperti ini!” Dia menatap tajam ke arah Suma Kian Bu yang pernah dihubunginya. “Kalau kita takut menghadapi bahaya dan kematian dalam suatu perjuangan, berarti kita pengecut dan bukan patriot sejati. Setiap perjuangan tentu akan menjatuhkan korban. Setiap pembaharuan harus berani meruntuhkan lebih dulu yang lama. Siapa yang tidak tahu akan hal ini? Kerugian dan kematian yang diderita dalam setiap perjuangan merupakan pupuk bagi perjuangan itu sendiri!”
Kini Suma Kian Bu yang dipandang tajam oleh Sim Hong Bu, maju dan menjura kepada Sim Hong Bu. “Saudara Sim memang seorang gagah perkasa dan tidak ada seorang pun meragukan kegagahanmu dan jiwa patriotmu. Saudara Sim, seperti pernah kita bicara, aku sendiri pun mengerti tentang jiwa patriot yang kini berkobar di hati kalian. Bahkan aku menyetujui kalau negara dibebaskan dari penjajahan. Akan tetapi, kini aku pun melihat bahwa hal itu harus dilakukan dengan perhitungan yang amat masak, tidak secara sembrono saja. Kita harus dapat melihat keadaan dan ingatlah, perjuangan ini adalah perjuangan rakyat, bukan perjuangan beberapa gelintir pendekar saja. Untuk gerakan yang amat besar itu dibutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar jujur dan mencinta rakyat. Cobalah saudara lihat, apakah orang-orang seperti dari Pek-lian-kauw dan perkumpulan lain yang selalu memberontak karena kepentingan pribadi itu dapat dijadikan teman seperjuangan? Nah, karena itu, aku Suma Kian Bu mewakili seluruh keluarga para pendekar Pulau Es untuk minta pengertian dan kesadaran cu-wi dan menyerah saja tanpa perlawanan.”
“Bukan berarti kita takut, melainkan kita sadar dan bertindak bijaksana menghindarkan jatuhnya banyak korban dengan sia-sia,” sambung Suma Kian Lee.
“Saya sendiri yang akan menghadap sri baginda mintakan ampun bagi kita semua!” kata Jenderal Kao Cin Liong.
“Aku pun akan menghadap sri baginda, memohon agar sri baginda membebaskan cu-wi semua dan menghabiskan urusan ini. Bagaimana pun juga, cu-wi belum memberontak, baru mengadakan pertemuan dan jika cu-wi tidak melawan pasukan yang mengepung, maka dosa cu-wi tidaklah begitu besar.”
“Omong kosong!” Tiba-tiba Bu-taihiap berseru dengan suaranya yang amat keras. “Heh, para keluarga pendekar Pulau Es, dengarlah baik-baik! Aku sudah banyak mendengar akan kehebatan dan nama besar keluarga Pulau Es, juga aku sudah lama mendengar kehebatan nama Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi tidak kusangka bahwa mereka ini ternyata hanyalah penjilat-penjilat kaisar atau pengecut-pengecut lemah. Kalau memang kalian hendak menjadi antek kaisar Bangsa Mancu, majulah, kami tidak takut mati. Mati bagi kami merupakan suatu kebanggaan karena kami mati untuk membela bangsa dan tanah air!”
Ucapan Bu-taihiap ini kembali membangkitkan semangat para pendekar dan mereka bersorak menyambut ucapan ini. Akan tetapi banyak pula di antara mereka yang tidak terbawa emosi dan dapat mempergunakan akal budinya untuk melihat kebenaran dalam ucapan para keluarga pendekar Pulau Es tadi. Dan mereka ini lalu menggeser tempat berdiri mereka, mendekati kelompok keluarga pendekar Pulau Es di mana termasuk pula keluarga Kao. Sebagian lagi yang dibakar emosi berdiri di belakang Bu-taihiap yang berdiri gagah bersama empat orang isterinya.
“Kita lawan sampai mati....!” Bu Seng Kin berseru dan kembali disambut sorak-sorai oleh seratus orang lebih mereka yang mendukungnya.
Sim Hong Bu yang sudah terbakar pula semangatnya oleh sikap Bu-taihiap, meloncat ke depan, di samping Bu-taihiap dan menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat mengerikan ketika Pek-kong Po-kiam dicabutnya dan dia pun berteriak. “Kita adalah patriot-patriot sejati! Sekaranglah saatnya kita membuktikan bahwa kita berjuang bukan guna kepentingan diri sendiri, bahkan rela berkorban nyawa!”
Sikap Sim Hong Bu ini segera menambah semangat mereka. Kembali para pendekar menyambut dengan sorak-sorai. Melihat ini, Sim Houw putera Sim Hong Bu juga lalu melompat ke dekat ayahnya dan bersikap gagah penuh semangat.
“Eng-moi....!” Tiba-tiba Ceng Liong berseru keras melihat Bi Eng tiba-tiba saja meloncat pula ke depan, ke dekat guru dan tunangannya. Muka dara itu pucat, akan tetapi sinar matanya penuh semangat dan dia pun sudah melolos suling emasnya.
Pada saat itu terdengar bunyi terompet susul menyusul dan pasukan yang mengepung itu mulai bergerak maju memasuki hutan cemara itu. Penyergapan dimulai! Tadi, Kao Cin Liong menemui Jenderal Cao Hui dan minta Cao-goanswe menangguhkan dulu penyergapan karena dia hendak membujuk dan menyadarkan para pendekar.
Cao-goanswe amat segan kepada rekannya ini. Maka dia memberi waktu selama habis terbakarnya sebatang hio. Dan agaknya waktu yang ditangguhkan itu sudah lewat dan sekarang terpaksa Gao-goanswe mulai menggerakkan pasukannya menyerbu ke dalam hutan!
Melihat ini, Puteri Milana cepat berseru. “Saudara-saudara yang sadar harap berdiri di belakang kami!”
Mereka yang tadi merasakan benarnya omongan keluarga para pendekar Pulau Es, segera berkumpul di belakang keluarga itu dan Puteri Milana segera minta kepada keluarganya untuk berdiri mengelilingi mereka untuk memberi perlindungan. Ada pun para pendekar lainnya yang mendukung Sim Hong Bu dan Bu-taihiap, sudah mencabut senjata masing-masing. Mereka berpencaran untuk menyambut serbuan para prajurit pemerintah.
“Liong-ji....!” Teng Siang In berseru keras pada waktu melihat puteranya meloncat dan menyelinap bersama para pendekar yang hendak melawan pasukan!
“Ibu, aku harus melindungi Eng-moi!” hanya itulah jawaban Ceng Liong.
Ibu ini diam-diam merasa khawatir sekali. Dia tadi melihat betapa puteranya berdiri di dekat seorang gadis gagah yang juga ikut maju bersama para pendekar melawan pemerintah dan tahulah ibu ini bahwa tentu puteranya itu telah jatuh hati kepada gadis pemberontak itu.
Diam-diam dia merasa gelisah sekali, tetapi karena dia pun bertugas melindungi para pendekar yang sudah sadar dan tidak melawan, ia tidak dapat meninggalkan tempat itu. Lagi pula, apa yang dapat dilakukannya kalau memang puteranya itu jatuh cinta kepada gadis pemberontak itu dan kini puteranya hendak melindunginya?
Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena pada saat itu pertempuran sudah terjadi dengan amat serunya. Ketika ada pasukan yang menghampiri rombongan mereka yang mengelilingi para pendekar yang tak ingin melawan, Milana dan Ceng Liong bergantian berseru. “Jangan serang kami! Kami orang sendiri!”
Para prajurit tentu saja mengenal Jenderal Kao Cin Liong dan juga sebagian besar prajurit yang sudah bertugas lama mengenal Puteri Milana, maka pasukan tidak ada yang berani menyerang rombongan yang memang tidak melawan ini. Akan tetapi, pasukan menghadapi perlawanan yang amat hebat dari para pendekar yang dipimpin oleh Bu-taihiap dan Sim Hong Bu!
Biar pun jumlahnya jauh lebih banyak, namun kini pasukan itu menghadapi orang-orang yang selain memiliki ilmu kepandaian silat, juga bersemangat tinggi dan para pendekar itu melakukan perlawanan nekat dan mati-matian. Mereka telah terbakar semangatnya oleh sikap dan kata-kata Bu-taihiap dan Sim Hong Bu sehingga mereka itu tidak ingat apa-apa lagi kecuali melawan dan melawan!
Hutan Cemara yang biasanya sunyi dan bersih itu, kini telah berubah menjadi tempat yang gaduh dan kotor oleh darah! Bagaikan orang-orang membabat rumput saja, para pendekar itu mengamuk dan para prajurit itu roboh bergelimpangan. Terutama sekali amukan Bu-taihiap dan keempat orang isterinya. Segera mayat para prajurit berserakan dan bertumpuk-tumpuk di sekitar mereka.
Tak kalah hebatnya adalah amukan Sim Hong Bu dan puteranya, Sim Houw. Pedang Pek-kong Po-kiam di tangan Sim Hong Bu bagaikan telah berubah menjadi seekor naga, seekor naga yang haus darah. Darah muncrat-muncrat dan membanjiri tanah ketika pendekar ini mengamuk dengan pedangnya.
Sim Houw yang baru saja kembali dari gemblengan yang diterimanya dari pendekar sakti Kam Hong, juga mengamuk hebat. Dia bahkan lebih lihai dari pada ayahnya dan walau pun pedangnya bukan merupakan sebuah pusaka yang sehebat dan seampuh Pek-kong Po-kiam, akan tetapi pedang itu dapat bergerak lebih hebat lagi.
Hanya saja, agaknya pemuda ini tidak begitu bernafsu untuk membunuh lebih banyak orang, maka gerakannya tidak begitu ganas dan walau pun setiap orang lawan yang menghadapinya tentu roboh, akan tetapi pedangnya tak menjatuhkan korban sebanyak yang roboh oleh Pek-kong Po-kiam di tangan ayahnya.
Pedang Pek-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Putih) memang tidaklah sedahsyat pedang Koai-liong Po-kiam yang telah diminta kembali oleh Cu Han Bu, akan tetapi pedang ini pun bukan pedang biasa. Sim Hong Bu memperoleh pedang ini dari seorang tosu pertapa yang merasa kagum akan semangat perjuangannya.
Sementara itu, Bi Eng juga mengamuk dengan suling emasnya. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu dara ini berhadapan dengan Ceng Liong!
“Eng-moi, jangan....!” kata pemuda itu.
Bi Eng terpaksa menghentikan gerakan suling emasnya ketika ia melihat pemuda yang dicintanya itu menghadang di depannya.
“Liong-ko, minggirlah. Biarkan aku membantu para pejuang!” kata Bi Eng, suaranya gemetar dan matanya basah. Gadis ini memang sedang merasa gelisah dan bingung sekali. Tidak disangkanya bahwa terjadi perpecahan di antara para pendekar, terutama sekali antara gurunya dan keluarga Ceng Liong!
“Eng-moi, jangan.... demi aku.... demi cinta kita, jangan kau lanjutkan....!” Ceng Liong berkeras menahannya.
Suling emas itu digengam erat-erat di tangan kanan Bi Eng. Ia menghadapi kekasihnya dengan muka pucat.
“Koko, kenapa engkau menentangku? Menentang kami? Kenapa....? Jangan halangi aku dan minggirlah, biarkan aku melawan para penjajah, aku tidak takut mati....!”
“Eng-moi, ingatlah, sadarlah. Lihatlah baik-baik. Kalau keluarga Pulau Es memang mau menentang kalian, tentu kami sudah bergerak dan melawan kalian. Apakah kalian akan mampu berbuat banyak kalau begitu? Lihatlah, kami diam saja. Kami tidak membantu kalian, akan tetapi kami pun tidak menentang kalian. Eng-moi, marilah. Mari engkau ikut pergi denganku, Eng-moi. Kita pergi jauh sekali, meninggalkan semua kerusuhan dan keributan, semua bunuh-membunuh yang haus darah ini. Lihatlah, tidak mengerikankah semua ini....?” Ceng Liong membuka kedua tangannya menunjuk ke empat penjuru. Memang amat mengerikan melihat mayat-mayat berserakan dan darah membanjir di sekitar tempat itu.
Akan tetapi, Bi Eng yang dikuasai semangat perlawanan yang hebat itu tidak mudah dibujuk.
“Koko, aku harus melawan mereka! Aku harus mempunyai setia kawan terhadap para pendekar. Dan engkau.... engkau seorang gagah perkasa, mari berjuang bersamaku, koko!”
“Tidak, Eng-moi, ingatlah, engkau keliru. Mereka semua itu keliru. Sekarang aku sudah sadar bahwa semua ini merupakan perbuatan tergesa-gesa dan gegabah, tidak pernah diperhitungkan masak-masak dan tiada gunanya lagi. Mari kita berdua pergi saja dari sini, Eng-moi....”
“Tidak, koko, aku harus membunuh anjing-anjing Mancu itu, sebanyak mungkin!” Gadis itu menggerakkan sulingnya sehingga nampak sinar berkelebat.
“Aih, Eng-moi, kenapa engkau tidak mendengarkan kata-kataku? Baiklah, Eng-moi, jika memang engkau begitu haus darah, nah, ini dadaku. Kau bunuhlah aku lebih dulu dari pada melihat engkau akhirnya akan tertawan atau terbunuh dan membuat aku menjadi menyesal dan berduka.” Suma Ceng Liong melangkah maju mendekati gadis itu.
Wajah Bi Eng menjadi pucat sekali. Suling yang sudah diangkatnya itu turun kembali, matanya terbelalak memandang wajah Ceng Liong. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan akhirnya gadis yang gagah perkasa dan penuh semangat itu menjadi bingung dan gelisah, lalu menangis!
“Kam-siocia (nona Kam), apakah orang ini mengganggumu?” terdengar bentakan dan nampak sinar berkilat menyambar ke arah leher Ceng Liong.
Pemuda ini terkejut, tahu bahwa yang menyerangnya adalah seorang yang amat lihai, maka dia pun melempar tubuh ke belakang dan pedang itu meluncur bagaikan kilat menyambar.
Penyerangnya itu adalah Sim Houw, pemuda putera Sim Hong Bu yang menjadi calon suami atau tunangan Bi Eng! Pemuda itu memang hebat sekali. Begitu serangannya luput, pedangnya sudah membalik dan meluncur lagi seperti kilat menyambar-nyambar, pedangnya lenyap membentuk sinar bergulung-gulung menyilaukan mata. Inilah ilmu pedang gabungan dari Koai-liong Kiam-sut dan Sin-sauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari pendekar sakti Kam Hong. Memang belum sempurna benar dia menggabung kedua ilmu itu, akan tetapi biar pun belum sempurna, keampuhannya sudah hebat. Sinar pedang itu bergulung-gulung dan mengeluarkan suara seperti suling ditiup!
Tentu saja Ceng Liong merasa terkejut sekali. Cepat dia pun menggerakkan tubuhnya mencelat ke sana-sini untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut yang memancar dari sinar pedang lawan itu. Dia sudah mengenal kehebatan Sim Hong Bu, akan tetapi tidak pernah disangkanya bahwa putera pendekar itu sedemikian hebatnya ilmu pedangnya.
Juga terjadi semacam keraguan dan kebingungan di dalam hati Ceng Liong. Dia sudah mengenal pemuda ini sebagai calon suami kekasihnya. Maka, kini dia merasa tidak enak hati sekali. Bagaimana pun juga, dia sudah merampas calon isteri pemuda ini, maka ada semacam perasaan bersalah terhadapnya dan kini dia merasa sungkan untuk melawan.
Maka, biar pun Sim Houw menyerangnya bertubi-tubi, Ceng Liong hanya berloncatan ke sana-sini untuk mengelak saja, masih merasa ragu-ragu untuk membalas. Padahal, kalau hanya bertahan saja tanpa balas menyerang terhadap seorang lawan seperti Sim Houw, sungguh amat berbahaya sekali. Pedang pemuda itu bagaikan seekor naga mengamuk dan sebentar saja gulungan sinar pedang itu menutup semua jalan keluar Ceng Liong. Pemuda ini masih bertahan, melempar dirinya ke belakang dan bergulingan di atas tanah.
“Brettttt....!”
Biar pun kulit tubuhnya belum tersayat, akan tetapi ujung bajunya terobek ujung pedang. Barulah Ceng Liong benar-benar merasa terkejut sekarang. Jarang ada lawan yang akan mampu merobek ujung bajunya dengan pedang, dan hal ini saja membuktikan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh.
“Tringgg....!”
Tiba-tiba nampak api berpijar ketika pedang di tangan Sim Houw yang masih terus mengejar Ceng Liong itu tertangkis sebatang suling emas.
“Nona Kam.... kau.... kenapa....?” Sim Houw terkejut sekali dan terbelalak memandang wajah Bi Eng.
Biar pun gadis ini dengan resmi menjadi tunangannya, bahkan di antara mereka masih ada hubungan perguruan karena dia digembleng ayah gadis itu dan sebaliknya gadis itu menjadi murid ayahnya, namun mereka berdua tidak pernah bergaul dan Sim Houw adalah seorang pemuda pemalu yang tidak pernah bergaul dengan wanita. Oleh karena itu dia merasa sungkan dan malu dan menyebut gadis itu dengan sebutan ‘nona’. Tentu saja pemuda ini merasa kaget dan heran sekali melihat betapa tunangannya itu malah menangkis pedangnya yang hendak menyerang laki-laki yang membuat tunangannya tadi nampak bingung dan menangis!
“Sim-koko, jangan serang dia!” kata Bi Eng dengan mata masih basah dengan air mata.
Pada saat itu empat orang prajurit pemerintah datang menerjang. Pedang di tangan Sim Houw dan suling di tangan Bi Eng bergerak membentuk sinar dan robohlah empat orang prajurit itu tanpa dapat bangun mau pun bergerak lagi.
“Eng-moi, mari kita pergi....!” kata Ceng Liong.
Bi Eng nampak ragu-ragu dan Ceng Liong lalu memegang tangan gadis itu, menariknya pergi dari situ. Melihat ini, Sim Houw memandang bengong dan bingung.
Pada saat itu, terdengar teriakan ayahnya. Sim Houw cepat membalikkan tubuhnya dan terkejut bukan main melihat ayahnya dikeroyok oleh puluhan orang perwira dan prajurit pemerintah. Di antara para perwira yang rata-rata lihai itu terdapat seorang lelaki yang gerakannya aneh dan lihai sekali, yang memainkan sebatang pedang, dan membuatnya terkejut karena dia seperti mengenal gerakan-gerakan yang mirip dengan Koai-liong Kiam-sut!
Ayahnya bukan hanya terdesak, tetapi agaknya sudah terluka parah. Tubuhnya mandi darah dan biar pun pedang Pek-kong Po-kiam masih amat hebat dan merobohkan lagi beberapa orang, namun luka-luka di tubuhnya akibat anak panah dan bacokan-bacokan membuat ayahnya terhuyung-huyung.
Kiranya, betapa pun lihainya Sim Hong Bu, menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang tidak pernah berkurang jumlahnya karena setiap kali ada yang roboh, ada pula penggantinya yang maju, akhirnya kakek ini kehabisan tenaga serta kecepatannya berkurang sehingga dia terluka oleh beberapa batang anak panah dan senjata lawan. Apalagi ketika Louw Tek Ciang membantu belasan orang perwira yang mengeroyok pendekar ini, keadaan Sim Hong Bu benar-benar repot.
“Ayah....!” Sim Houw berteriak dan lari menghampiri tempat dimana ayahnya terkurung ketat itu.
Dia pun mengamuk. Pedang di tangannya mengeluarkan suara melengking-lengking dan banyak prajurit dan perwira roboh oleh sinar pedangnya. Akibat kehebatan pemuda ini, Tek Ciang sendiri menjadi terheran-heran dan kagum bukan main. Tadi pun ia telah mengenal Kai-liong Kiam-sut.
Sebagai murid keluarga Cu, tentu saja dia sudah mendengar tentang Sim Hong Bu yang dianggap murid bahkan menantu durhaka dari keluarga Cu itu. Maka ketika tadi dia mengeroyok pendekar itu, dia mengenal gerakan Koai-liong Kiam-sut yang mempunyai dasar-dasar gerakan mirip dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari keluarga Cu, dan melihat suami Cu Pek In itu, timbul keinginan hati Tek Ciang untuk membunuhnya.
Guru-gurunya sudah bercerita tentang kehebatan ilmu pedang itu dan sekarang dia pun mendapatkan kenyataan betapa lihainya pendekar itu. Akan tetapi sesudah dia dan kawan-kawannya hampir berhasil merobohkan Sim Hong Bu, tiba-tiba muncul pemuda yang amat lihai itu.
“Ayahhh....!” Sim Houw merangkul ayahnya ketika berhasil membuat para pengeroyok ayahnya kocar-kacir.
“Houw-ji.... aku sudah terluka.... tinggalkan aku dan selamatkanlah dirimu.... engkau tidak boleh mati.... kelak engkau harus melanjutkan perjuanganku.... menyusun tenaga baru....” Sim Hong Bu terengah-engah menahan nyeri dan dia tetap gagah, pedangnya melintang di depan dada.
“Tidak, ayah.... aku harus melindungimu....”
Pada saat itu, Louw Tek Ciang yang merasa penasaran karena ingin sekali merampas pedang pusaka, sudah menghimpun pembantu-pembantu yang lihai dan mengepung lalu menerjang ayah dan anak itu. Sim Houw menyambut dan terjadilah perkelahian seru antara Sim Houw dan Tek Ciang.
Sim Houw terkejut bukan main mendapat kenyataan betapa lawannya ini amat tangguh, bukan hanya mampu menahan serangan pedangnya, bahkan mampu membalasnya pula dengan amat hebat! Lebih terkejut lagi ketika kini dia dapat melihat semakin nyata bahwa dasar-dasar gerakan ilmu pedang dari orang ini sangat mirip dengan Koai-liong Kiam-sut!
Maka dia pun cepat memutar pedangnya dan begitu dia mainkan gabungan Koai-liong Kiam-sut dan Sin-siauw Kiam-sut, Tek Ciang mengeluarkan seruan kaget dan terdesak hebat! Suara melengking-lengking yang keluar dari pedang pemuda itu mengingatkan dirinya akan suara tiupan suling keluarga Kam yang pernah membuatnya kalah.
Sementara itu, keadaan Sim Hong Bu makin payah. Oleh karena sudah terlalu banyak mengeluarkan darah, orang tua yang gagah perkasa ini semakin berkurang tenaganya dan menghadapi pengeroyokan para perwira, biar pun dia masih berbahaya dan dapat merobohkan lawan yang terlalu dekat dengannya, namun dia menerima pula beberapa kali tusukan tombak dan tubuhnya semakin terhuyun-huyung.
Melihat keadaan ayahnya ini Sim Houw memutar pedangnya meninggalkan Tek Ciang dan melindungi ayahnya. Pedangnya membentuk gulungan sinar yang panjang dan luas, membuat para pengeroyok Sim Hong Bu kocar-kacir lagi. Akan tetapi, tiba-tiba Tek Ciang bersama kawan-kawannya datang menyerbu.
Sim Houw merangkul ayahnya dan ayah ini berkata. “Houw-ji, pergunakan pedang ini, pergunakan Pek-kong Po-kiam....”
Sim Houw bertukar pedang dengan ayahnya. Begitu dia memutar Pek-kong Po-kiam, akibatnya sangat hebat. Empat orang perwira terjungkal dan Tek Ciang sendiri terpaksa melompat mundur sampai jauh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sim Houw untuk memondong ayahnya yang sudah lemah itu dengan lengan kiri, lalu meloncat pergi.
“Pemberontak, hendak lari ke mana kau?” Louw Tek Ciang yang menginginkan pedang pusaka itu melakukan pengejaran.
Akan tetapi Sim Houw bersama ayahnya sudah menghilang di antara banyak prajurit yang masih bertempur dengan seru itu. Tek Ciang menjadi kecewa dan marah, lalu membantu para prajurit yang masih mengepung para pendekar.
Keluarga Bu-taihiap juga mengamuk dengan hebatnya. Pendekar yang sudah tua ini lihai bukan main, bertempur sambil tertawa-tawa gembira. Juga empat orang isterinya adalah wanita-wanita yang hebat. Tang Cun Ciu yang dahulu terkenal dengan julukan Cui-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa), bekas isteri tokoh keluarga Cu yang lihai, kini biar pun sudah berusia enam puluh tahun, masih ganas dan lihai. Juga Cu Cui Bi yang bekas nikouw itu pun mengamuk di samping suaminya.
Puteri Nandini, puteri Nepal yang menjadi seorang di antara isteri-isteri Bu-taihiap juga mengamuk dengan hebat. Wanita ini pernah menjadi panglima Nepal dan memang sejak dahulu ia bermusuhan dengan pemerintah, maka kini ia memperoleh kesempatan melampiaskan dendamnya dan mengamuk, membunuh banyak sekali prajurit yang berani mendekatinya. Isteri ke empat adalah seorang bongkok bernama Gan Cui yang juga lihai sekali. Nenek ini pun mengamuk dan keluarga Bu yang terdiri dari lima orang ini telah merobohkan puluhan orang prajurit pemerintah.
Selain keluarga Bu ini, juga para pendekar yang tadi tidak dapat dibujuk oleh keluarga para pendekar Pulau Es mengamuk. Termasuk di antara mereka ini adalah orang-orang Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang sejak dulu memang merupakan musuh-musuh lama pemerintah.
Perang kecil itu terjadi di Hutan Cemara dan biar pun ratusan orang prajurit pemerintah roboh dan tewas, namun satu demi satu para pemberontak itu dapat dirobohkan karena kehabisan tenaga atau kehabisan darah dari luka-luka mereka.
Mulailah sebagian dari mereka mencari jalan untuk melarikan diri. Karena melihat bahwa perlawanan mereka akan sia-sia saja, di antara mereka itu pun mulai menyelinap dan mencari kesempatan menyelamatkan diri dari pembantaian para prajurit.
Akan tetapi Bu-taihiap bersama empat orang isterinya tidak mau mundur selangkah pun! Bu-taihiap yang sudah tua itu agaknya tahu bahwa usianya tidak akan lama lagi dan dia memilih mati sebagai seorang pejuang yang gagah perkasa. Agaknya keempat orang isterinya itu sangat setia kepadanya dan juga berpendirian sama, maka mereka pun mengamuk di samping suami mereka itu, sedikit pun tidak ingin mundur.
Akan tetapi, seperti juga para pendekar yang lain, tenaga keluarga Bu-taihiap ini ada batasnya. Biar pun banyak sekali prajurit yang roboh tewas di tangan mereka, akan tetapi saking banyaknya jumlah lawan, mereka pun mulai kehabisan tenaga dan mulai terkena senjata lawan sehingga luka-luka. Akhirnya, seorang demi seorang dari empat isteri Bu-taihiap itu pun roboh dan Bu Seng Kin sendiri akhirnya pun roboh. Dia dan isteri-isterinya telah mempertahankan diri sampai titik darah terakhir dan tewas sebagai pejuang-pejuang yang amat gagah perkasa.
Perihal mereka ini, dan perihal pertempuran di Gunung Hutan Cemara itu akan selalu dikenang oleh para patriot di sepanjang masa. Mereka yang akhirnya berhasil lolos dari Hutan Cemara itulah yang kemudian bercerita tentang kegagahan keluarga Bu-taihiap dan pertempuran di Hutan Cemara itu terkenal dengan nama Banjir Darah Di Hutan Cemara.
Di antara seratus lebih orang yang melawan pasukan pemerintah, hanya ada belasan orang saja yang berhasil lolos dan selebihnya tewas dengan tubuh hancur di bawah hujan senjata. Akan tetapi, korban para pejuang yang jumlahnya kurang dari seratus orang itu ditebus dengan nyawa hampir seribu orang prajurit Mancu!
Louw Tek Ciang merasa gemas sekali melihat betapa keluarga Pulau Es telah berhasil menyadarkan cukup banyak pendekar yang kemudian hanya digiring ke kota raja oleh Jenderal Cao seperti yang diminta oleh Kao Cin Liong dan Puteri Milana. Tek Ciang tidak berani membantah, bahkan dia tidak berani memperlihatkan mukanya di depan keluarga Pulau Es, melainkan mendahului pasukan pulang ke kota raja.
Pada saat keluarga Pulau Es diperkenankan menghadap kaisar bersama para pendekar yang urung memberontak, barulah Tek Ciang menyelinap di antara para panglima. Ketika Cin Liong dan Suma Hui melihat Louw Tek Ciang berada di antara para panglima menghadap kaisar, mereka terkejut bukan main. Juga Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan para keluarga Pendekar Pulau Es ini pun diam-diam tahu siapakah yang menjadi pengkhianat sehingga pertemuan antara pendekar itu sampai diketahui kaisar dan disergap. Tentu iblis itulah yang menjadi biang keladinya.
Akan tetapi keluarga Pulau Es tidak tahu apa yang telah terjadi dan bagaimana iblis itu memperoleh kepercayaan kaisar. Hanya seorang di antara para pendekar yang berada di situ, yaitu Kwee Cin Koan, yang mengerutkan alisnya.
Pada waktu berada di Hutan Cemara, sebelum pasukan menyerbu, dia berkesempatan bertemu dengan wakil Kun-lun-pai dan dia mendengar bahwa kekasihnya, Can Kui Eng, terbunuh oleh susiok-nya sendiri. Ketika dia bertanya dengan hati hancur tentang surat titipannya yang ditujukan kepada seorang panglima di kota raja, para wakil Kun-lun-pai tidak tahu. Mereka hanya menceritakan bahwa juga sebuah kitab pelajaran lenyap dari kamar perpustakaan Kun-lun-pai.
Ketika keluarga Pulau Es muncul dan menyadarkan para pendekar, Kwee Cin Koan dan lima orang sute-nya dari Kong-thong-pai juga ikut sadar. Mereka menggabung dengan keluarga Pulau Es, apalagi karena semangatnya telah menjadi setengah lumpuh oleh berita tentang kematian kekasihnya.
Wakil-wakil Kun-lun-pai yang dapat melihat keadaan, ikut di dalam rombongan keluarga Pulau Es pula. Saat berada di dalam rombongan itu dan hanya menyaksikan terjadinya pertempuran, wakil-wakil Kun-lun-pai yang sempat melihat Louw Tek Ciang di antara para perwira, memberi tahu kepada Kwee Cin Koan bahwa orang itu adalah seorang tamu Kun-lun-pai yang menyaksikan terbunuhnya Can Kui Eng.
Oleh karena itulah, ketika mereka semua dibawa menghadap kaisar, Kwee Cin Koan mengerutkan alisnya dan memandang kepada Louw Tek Ciang dengan bermacam perasaan. Orang itulah yang tahu tentang kematian kekasihnya dan agaknya hanya orang itu yang akan dapat memberi keterangan dengan jelas. Para wakil Kun-lun-pai agaknya tidak mau banyak bicara tentang kematian Can Kui Eng dan dia sendiri pun merasa sungkan untuk mendesak.
Kaisar Kian Liong merasa sedih mendengar pelaporan tentang penyerbuan di Hutan Cemara. Dia merasa penasaran sekali mendengar betapa tokoh-tokoh pendekar yang dikenalnya, bahkan tokoh-tokoh yang dikagumi dan yang pernah menolongnya ketika dia masih pangeran dahulu seperti Bu-taihiap dan isteri-isterinya, turut pula menjadi pemberontak dan tewas oleh pasukannya.
“Penasaran! Penasaran!” Kaisar menepuk-nepuk pahanya dengan wajah amat murung. “Kenapa mereka memberontak? Kenapa para pendekar yang dulu selalu melindungiku, kini malah memberontak dan memusuhi aku?”
“Maaf, sri baginda,” tiba-tiba Puteri Milana berkata sesudah memberi hormat kepada kaisar. “Sesungguhnya mereka itu sama sekali tidak memusuhi paduka secara pribadi.”
Kaisar memandang kepada nenek itu dengan alis berkerut. “Bibi Milana, engkau yang termasuk pendekar, akan tetapi pernah pula menjadi panglima kerajaan, jelaskanlah apakah yang menyebabkan mereka memberontak kalau mereka tidak membenci dan memusuhi aku?”
Wanita itu kembali memberi hormat. “Hamba tahu benar bahwa para pendekar itu pada umumnya sayang kepada paduka, menjunjung tinggi keadilan dan memuji dengan kagum kebijaksanaan paduka di dalam pemerintahan. Akan tetapi, sejak dahulu, para pendekar itu merasa tidak senang melihat betapa tanah air mereka terjajah. Itulah sebabnya mengapa mereka memberontak.”
Kaisar Kian Liong menjadi lemas dan menundukkan muka sampai lama, berulang kali menarik napas panjang. Jauh di lubuk hatinya dia dapat merasakan apa yang diderita oleh para pendekar itu. Dan apa yang dapat dilakukannya? Penjajahan dari bangsanya, Bangsa Mancu, terhadap seluruh Tiongkok ini dilakukan oleh nenek moyangnya dan dia hanya sebagai keturunan yang melanjutkan pemerintahan saja. Namun dia sudah berusaha untuk mendirikan pemerintahan yang baik adil dan bijaksana. Bagaimana pun juga, tidak mungkin dia menghapus rasa tidak suka karena dijajah itu dari hati para pendekar.
“Dan bagaimana dengan para pendekar yang kalian bawa menghadap itu?” tanya kaisar kemudian, dengan sinar mata kesal memandang kepada mereka yang menghadap, berlutut di situ dan menundukkan muka.
“Hamba dan Panglima Kao Cin Liong berhasil menyadarkan mereka dan selanjutnya terserah kepada paduka,” kata Puteri Milana.
Kaisar menoleh kepada panglima muda Kao Cin Liong dan kaisar mengerutkan alisnya. Dia teringat akan laporan Louw Tek Ciang. Tadinya dia sendiri mencurigai Jenderal Kao ini dan keluarga Pulau Es, akan tetapi ternyata sekarang bahwa keluarga Pulau Es yang telah menyadarkan sebagian para pendekar dan karena itu maka pertempuran tidaklah sehebat kalau mereka semua memberontak. Sukar dibayangkan betapa hebatnya dan betapa banyaknya prajurit yang akan tewas sekiranya keluarga Pendekar Pulau Es ikut pula memberontak!
“Bagaimana, Kao-ciangkun? Apa keteranganmu tentang semua peristiwa ini?”
Cin Liong melirik ke arah Tek Ciang, lalu memberi hormat dan berkata dengan suara lantang, sedikit pun tidak terlihat takut. “Harap sri baginda maafkan kalau hamba bicara secara terus terang saja. Sebetulnya, para pendekar yang mengadakan pertemuan di Hutan Cemara itu sama sekali belum melakukan perbuatan memberontak. Pendekar-pendekar itu hanya ingin mengadakan pertemuan untuk memilih seorang bengcu di antara mereka. Memang, harus diakui bahwa sebagian besar dari mereka mempunyai jiwa patriot dan merasa tidak suka akan penjajahan. Akan tetapi, pada waktu mereka mengadakan pertemuan itu, sama sekali belum ada rencana pemberontakan apa lagi gerakan memberontak.”
Kaisar mengangguk-angguk. “Boleh jadi demikian, tetapi mereka telah bersekongkol dengan Jenderal Gan!”
“Hamba tidak tahu akan hal itu, sri baginda. Yang hamba ketahui bahwa para pendekar itu mengadakan pertemuan dan begitu hamba mendengar tentang persekutuan dengan Jenderal Gan dan ditangkapnya panglima itu, hamba bersama keluarga Pulau Es segera pergi ke Hutan Cemara untuk menyadarkan mereka. Sayang bahwa sebagian dari mereka tidak mau dibujuk sehingga terjadi pertempuran itu. Akan tetapi, hamba telah berjanji kepada mereka yang sadar untuk memintakan ampun kepada paduka dan hamba percaya akan kebijaksanaan paduka untuk mengampuni saudara-saudara yang sama sekali belum memperlihatkan perbuatan memberontak ini.”
“Hamba juga memohonkan ampun bagi mereka,” kata pula Puteri Milana dan perbuatan ini diturut pula oleh para keluarga Pulau Es.
Kaisar Kian Liong menghela napas panjang. “Baiklah, kami mengampuni mereka, akan tetapi mereka akan dicatat dan kalau sampai ketahuan mengadakan persekutuan untuk memberontak lagi, kami akan bertindak dan tidak akan dapat mengampuni mereka lagi.” Para pendekar lalu menghaturkan terima kasih atas kebijaksanaan kaisar. Mereka lalu diperkenankan keluar dari istana.
Peristiwa di Hutan Cemara itu tak habis sampai di situ saja. Kao Cin Liong yang merasa betapa semenjak itu sikap kaisar berubah terhadap dirinya, dan karena dia sendiri pun merasa betapa batinnya terpecah antara kesetiaan kepada kaisar dan setia kawan kepada para pendekar dan patriot, tidak lama kemudian lalu mengajukan permintaan untuk mengundurkan diri.
Permohonan yang kedua kalinya ini tidak ditolak oleh kaisar. Bukan hanya peristiwa itu saja yang mendorong Kao Cin Liong mengundurkan diri, melainkan ada sebab lain lagi, yaitu ketika dia mendengar bahwa Louw Tek Ciang diberi anugerah oleh kaisar dengan diangkat menjadi seorang pembesar militer yang bertugas di utara!
“Si keparat itu!” Isterinya, Suma Hui mengepal tinju. Wajahnya nampak membayangkan kebencian. “Kalau tidak membalasnya sekarang, kalau sampai dia menjadi pembesar, maka usahaku membalas kepadanya tentu akan mudah dicap pemberontak.”
Demikian antara lain isterinya mengeluh dan akhirnya Kao Cin Liong memaksakan diri mengajukan permohonan kepada kaisar untuk meletakkan jabatannya. Setelah urusan itu selesai, ia bersama isterinya mulai melakukan penyelidikan dan mencari kesempatan untuk dapat menyergap Louw Tek Ciang dan membalas dendam sebelum orang itu memegang jabatannya di utara.....
********************
“Ayah....!” Sim Houw mengeluh dengan sedih.
Ayahnya terluka berat dan hampir kehabisan darah karena luka-lukanya. Sekarang dia meletakkan tubuh ayahnya di bawah pohon dan dia sendiri berlutut di dekat ayahnya. Dia berhasil melarikan ayahnya dari hutan di mana terjadi pertempuran dan kini berada di tempat aman, di sebuah hutan di balik bukit yang penuh hutan.
“Ayah, bagaimana keadaanmu?”
Sim Hong Bu membuka matanya dan memandang kepada puteranya. Mukanya pucat sekali, sepasang mata itu pun telah kehilangan sinarnya. Dia menggerakkan tangannya dan Sim Houw mendekatkan mukanya. Hatinya seperti diremas melihat ayahnya yang sudah demikian payah keadaannya. Ayahnya menggerakkan bibir dan dia mendengar bisikan-bisikan ayahnya.
“Houw-ji, kau.... kau melihat.... Bi Eng....?”
Sim Houw mengerutkan alisnya, teringat betapa Bi Eng membela pemuda yang dia tahu adalah seorang anggota keluarga Pulau Es.
“Tadi aku tahu, ayah, akan tetapi dia pergi, entah ke mana.” Hatinya tidak senang. Mengapa ayahnya yang keadaannya separah itu bicara tentang gadis itu?
“Houw-ji.... kau melihat Suma Ceng Liong....?”
“Siapa dia, ayah? Aku tidak tahu....”
“Dia.... dia cucu Pendekar Super Sakti...., dia.... dia saling mencinta dengan Bi Eng.... ahh, aku menyesal sekali.... mengapa dahulu mengikatkan perjodohan antara kalian....”
“Ayah, perlu apa bicara tentang hal itu? Aku sama sekali tidak memikirkan tentang perjodohan itu!”
“Benarkah....? Benarkah itu, anakku? Benarkah bahwa ternyata engkau.... engkau tidak mencinta Bi Eng....?”
Sim Houw menjadi makin heran. Dia mengerutkan alisnya. Apakah karena luka-lukanya yang parah membuat ayahnya berubah pikiran? Kalau tidak demikian, kenapa ayahnya menanyakan hal yang bukan-bukan?
“Ayah, kami belum sempat bergaul dan saling mengenal. Biar pun kami sudah saling bertunangan, akan tetapi tanpa saling mengenal mana mungkin ada cinta?”
Anehnya, mendengar ucapan itu, wajah orang tua itu nampak girang! “Bagus, bagus.... ahhh, senang hatiku mendengar hal ini.... Houw-ji, engkau.... engkau pergilah menemui pendekar Kam Hong dan.... terus terang saja.... kau putuskan tali perjodohan itu dengan resmi....”
Sim Houw membelalakkan matanya. “Ayah, apa.... apa maksudmu?”
Dia masih bingung dan heran, tidak tahu sama sekali mengapa ayahnya membicarakan hal perjodohan yang harus dia putuskan itu.
Ayahnya yang sudah payah keadaannya itu memegang lengan puteranya dengan kuat untuk beberapa detik lamanya, lalu pegangannya mengendur. “Dengar baik-baik.... Bi Eng saling mencinta dengan Suma Ceng Liong.... aku telah melihat dan mendengarnya sendiri.... dan aku tidak menghendaki engkau mengalami nasib yang sama dengan ayahmu.... Ingatlah, nak.... aku dan ibumu.... juga menikah tanpa rasa cinta.... dan akibatnya kau tahu sendiri kami berpisah.... sebelum terlambat, putuskan tali perjodohan itu dan.... dan jangan sekali-kali.... kau menanamkan permusuhan dengan.... keluarga Suma....” Kakek itu tidak kuat lagi, terkulai lemas.
“Ayaaaahhh....!” Sim Houw menjerit dan merangkul ayahnya yang sudah tidak bernapas lagi itu.
Baru pada detik inilah pemuda itu merasakan kedukaan yang hebat, rasa kesepian dan sendirian ditinggalkan pergi satu-satunya orang yang sangat dicintanya. Ibunya tidak pernah mempedulikannya, bahkan terlalu galak terhadap dirinya dan semenjak ayah dan ibunya berpisah seperti yang didengarnya dari ayahnya, diam-diam dia merasa tidak senang kepada ibunya yang membiarkan ayahnya terbuang dari Lembah Naga Siluman. Dan kini ayahnya meninggalkannya untuk selamanya, bahkan meninggalkan pesan yang juga menyakitkan hatinya itu.
Dia harus melepaskan ikatan jodohnya dengan puteri gurunya! Memang, dia belum pernah jatuh cinta, dan terhadap Bi Eng dia hanya merasa kagum saja, apalagi karena tadinya menganggap gadis itu sebagai calon isterinya. Akan tetapi, dia belum pernah merasa jatuh cinta kepada gadis itu.
“Ayah....!” Kembali dia mengeluh dan menggerakkan jari-jari tangannya, dengan lembut merapatkan mata dan mulut jenazah ayahnya yang masih hangat.
Pada saat itu teringatlah Sim Houw akan sikap Bi Eng dalam hutan cemara itu. Dan sikap pemuda yang diserangnya. Kini dia dapat menduga bahwa tentu pemuda Pulau Es yang dibela oleh Bi Eng itulah pemuda yang bernama Suma Ceng Liong dan oleh ayahnya dikatakan saling mencinta dengan Bi Eng. Mengertilah dia akan sikap Bi Eng sekarang. Tentu tunangannya itu dibujuk oleh pemuda Pulau Es untuk tidak melawan pasukan dan gadis itu berada dalam kebingungan dan keraguan.
“Suhu....!”
Sim Houw menengok kaget. Karena duka dan tenggelam dalam renungannya sendiri, pemuda yang lihai itu sampai tidak tahu bahwa ada dua orang menghampirinya. Kiranya Bi Eng dan Ceng Liong sudah berdiri di belakangnya, dalam jarak lima meter. Sim Houw merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar. Rasa duka yang amat hebat bergelombang menerjang hatinya dan dia pun memejamkan hatinya, lalu menunduk dan memegangi pundak ayahnya, menahan air matanya yang akan tumpah lagi.
“Suhu....!” Sekali lagi Bi Eng berseru.
Kini gadis itu pun lari menghampiri, kemudian menjatuhkan diri berlutut di dekat jenazah gurunya. Dia tidak dapat menahan air matanya yang menetes-netes turun membasahi pipinya. Sejenak dia terisak. Gurunya adalah seorang yang sangat sayang kepadanya, maka kini melihat gurunya rebah menjadi mayat, tentu saja hal ini amat mengejutkan dan menyedihkan hatinya.
Setelah tangisnya mereda, Bi Eng memandang kepada Sim Houw dengan mata basah. “Apakah yang telah terjadi? Mengapa.... suhu....”
“Tenangkan hatimu, sumoi. Ayah sudah tewas sebagai seorang patriot yang berjiwa besar, tewas dalam membela tanah air dan bangsa dari tangan penjajah!” Ucapan Sim Houw itu lantang dan memang dia sengaja bicara keras agar terdengar oleh Suma Ceng Liong. Sebetulnya, tak perlu dia bicara keras karena sejak tadi Ceng Liong berada di situ, bahkan kini pemuda itu berlutut pula tak jauh dari jenazah itu.
“Sim-locianpwe tewas sebagai orang besar yang gagah perkasa, sungguh makin besar rasa kagum dan hormatku kepadanya,” kata Suma Ceng Liong seperti bicara kepada diri sendiri.
Sim Houw menoleh dan melihat pemuda itu dia bangkit berdiri dan bertanya kepada Bi Eng yang masih terus berlutut, “Kam-sumoi, aku melihat dia ini yang kau bela di Hutan Cemara. Siapakah dia? Maukah engkau memperkenalkan aku dengannya?”
Wajah gadis itu berubah menjadi merah sekali. Akan tetapi Bi Eng adalah seorang gadis yang memang memiliki dasar watak yang amat gagah dan tabah. Ia berani berbuat dan berani bertanggung jawab, apa pun resikonya ia berani menghadapinya. Maka ia pun bangkit dan sejenak ia memandang kepada Ceng Liong, kemudian menghadapi Sim Houw. Ia tidak tahu mengapa Sim Houw yang biasanya menyebutnya siocia (nona) itu sekarang berubah menjadi sumoi (adik seperguruan), maka dia pun menyebut suheng kepadanya.
“Sim-suheng, dia ini adalah.... Suma Ceng Liong, dia dan aku adalah.... sahabat baik.”
Sim Houw memandang kepada Ceng Liong. Keduanya saling pandang dan kini Ceng Liong juga sudah bangkit berdiri. Sinar mata Sim Houw penuh selidik, sedangkan sinar mata Ceng Liong menunduk seperti orang yang merasa bersalah.
“Kam-sumoi, bagaimana pun juga, kita berdua oleh orang tua kita masing-masing telah ditunangkan. Sebagai orang yang dicalonkan sebagai suamimu tentu saja aku berhak mengetahui keadaan sebenarnya dari perasaan hatimu, bukan?”
“Sim-suheng, apa maksudmu?” Bi Eng bertanya, memandang tajam.
“Sumoi, katakanlah terus terang. Apakah engkau mencinta saudara Suma Ceng Liong ini?”
Tentu saja pertanyaan yang merupakan serangan langsung ini sangat mengejutkan Bi Eng. Tidak disangkanya tunangannya itu akan mengajukan pertanyaan seperti itu, dan karena datangnya pertanyaan begitu tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka, dia menjadi terkejut dan sejenak dia bungkam tanpa mampu mengeluarkan jawaban!
“Sumoi, aku berhak mengetahui, bukan?” Sim Houw mendesak, penasaran.
Bi Eng sudah dapat menguasai lagi hatinya dan ia pun mengangguk. “Benar, suheng,” jawabnya kemudian dengan suara tegas sehingga Ceng Liong merasa terharu bukan main.
Kini Sim Houw membalikkan tubuh menghadapinya. Ceng Liong sudah bersiap untuk menghadapi serangan karena dia tahu bahwa pemuda ini merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi Sim Houw tidak membuat gerakan menyerangnya sama sekali, melainkan bertanya, suaranya tetap tenang dan tegas.
“Saudara Suma Ceng Liong, apakah engkau mencinta sumoi Kam Bi Eng?”
Ceng Liong mengangguk perlahan. “Saudara Sim, terus terang saja, dahulu, di waktu remaja kami pernah saling bertemu dan berkenalan. Baru dalam Hutan Cemara kami saling jumpa lagi dan.... dan kami saling jatuh cinta. Ya, aku memang mencintanya, saudara Sim.”
Sim Houw menarik napas panjang. “Bagus, aku menghargai kejujuran kalian berdua. Sekarang bereslah sudah....” dan dia pun berlutut kembali dekat jenazah ayahnya.
“Sim-suheng.... kau.... kau maafkan aku....” Bi Eng mendekati dan berkata lirih dengan hati kasihan.
Akan tetapi Sim Houw menoleh kepadanya dan terseyum, lalu menggelengkan kepala. “Sumoi, tidak ada apa-apa yang perlu dirisaukan atau dimaafkan. Aku pun harus jujur kepadamu. Sesungguhnya, pertalian antara kita hanya dibuat oleh orang-orang tua kita, sedangkan di antara kita sendiri tidak pernah ada apa-apa. Kita bahkan belum pernah berkenalan atau bergaul, jadi.... bagiku tidak mengapalah kalau diputuskan juga. Akan tetapi, oleh karena hal ini menyangkut nama orang tua, yang memutuskannya haruslah orang tua pula. Maka, aku akan mengurus jenazah ayah lebih dulu, setelah itu aku akan menghadap suhu atau ayahmu dan minta diputuskannya tali perjadohan antara kita.”
Bi Eng dan Ceng Liong menjadi girang sekali. “Suheng, betapa bijaksana hatimu....”
Kembali Sim Houw tersenyum pahit dan menggeleng kepala. “Aku bertindak biasa saja, sesuai dengan pesan terakhir ayahku....”
“Suhu....?” Bi Eng bertanya kaget.
“Dia melihat dan mendengar percakapan kalian, dialah yang memberi tahu kepadaku dalam pesan terakhir bahwa kalian saling mencinta dan dia pula yang menyuruh aku memutuskan tali perjodohan.”
“Ah, suhu.... suhu.... sebelum meninggal.... dia marah kepadaku, suheng?” tanya Bi Eng cemas.
Gurunya amat sayang kepadanya. Hatinya akan merasa menyesal sekali kalau sebelum meninggal dunia gurunya itu mengandung hati marah dan menyesal kepadanya. Akan tetapi, legalah hatinya ketika pemuda itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak, sumoi. Ayah adalah orang yang juga sudah mengalami penderitaan pahit dalam pernikahannya dan karena itu dia menjadi bijaksana. Dia tahu bahwa pernikahan tanpa cinta kasih kedua pihak tak akan mendatangkan kebahagiaan. Oleh karena itu bahkan ayah yang menganjurkan agar aku membatalkan ikatan perjodohan ini secara resmi.”
“Ahhh, suhu sungguh bijaksana, semoga arwahnya diterima oleh Thian....,” kata Bi Eng terharu sekali, akan tetapi juga girang dan berterima kasih kepada mendiang suhu-nya.
“Nah, pergilah, sumoi. Pergilah lebih dulu ke rumah orang tuamu, aku akan menyusul kemudian setelah selesai mengurus jenazah ayah.”
“Tidak, suheng. Aku akan membantumu mengurus jenazah suhu.”
“Jangan, sumoi. Pergilah dan tinggalkan aku sendiri bersama ayah.... ahhh, tinggalkan aku.... sendirian bersama ayah....!”
Pemuda itu menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Agaknya kedukaan yang mencekam hatinya sudah memuncak, membuat pemuda itu tidak kuat bertahan lagi. Melihat ini, Ceng Liong menyentuh lengan kekasihnya dan memberi isyarat untuk pergi dari situ.
Hidup manusia akan selalu bergelimang duka apabila batin tidak bebas seluruhnya dari pada ikatan-ikatan. Ikatan dengan orang lain seperti isteri, anak-anak, keluarga. Ikatan dengan benda, kekayaan, kepandaian, kedudukan, nama dan sebagainya. Selama batin terikat, maka sekali terjadi perpisahan akan timbullah duka. Dan perpisahan ini pasti terjadi, baik dengan jalan orang atau benda yang terikat di batin kita itu mati atau hilang, atau sebaliknya kita sendiri yang meninggalkan mereka ketika kita mati. Dan mati berarti perpisahan, berpisah dari semuanya. Maka, apabila batin terikat, kita takut menghadapi kematian, takut akan kehilangan semua itu, takut kehilangan ketenteraman yang kita dambakan.
Cinta bukan berarti pengikatan batin. Cinta tidak akan menimbulkan duka. Pengikatan batin timbul karena nafsu, karena si aku yang ingin memiliki segala yang menyenangkan dan membuang segala yang tidak menyenangkan.
Kebebasan batin dari ikatan bukanlah berarti bahwa kita menjadi tidak peduli terhadap keluarga kita, terhadap orang-orang lain, terhadap pekerjaan, harta milik, nama dan sebagainya itu. Bukan berarti kita tidak acuh terhadap kewajiban-kewajiban kita sebagai seorang manusia yang hidup bermasyarakat, berkeluarga di dunia ramai ini. Sama sekali tidak demikian. Kebebasan batin berarti batin yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan lahiriah itu karena kewaspadaan melihat bahwa ikatan-ikatan hanya akan menimbulkan duka, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain
.....********************
Komentar
Posting Komentar