KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-52


“Tentu saja aku melukai dan menghajar tiga orang itu yang berani bersikap kurang ajar menggangguku!” bantah gadis itu. “Kalau bukan tiga orang mabok itu menggangguku, perlu apa aku mengotorkan tangan terhadap mereka?”

Pemuda itu mengangkat kedua tangan menyabarkan kedua pihak. “Ji-wi totiang, harap sudahi saja perkara kecil ini. Bagaimana pun juga, nona ini adalah seorang pendekar dan tidak mungkin tanpa sebab ia berkelahi dengan murid-murid ji-wi, dan ternyata bahwa murid-murid ji-wi dalam keadaan mabok. Kita sama-sama tahu bagaimana sikap laki-laki yang sedang mabok kalau melihat wanita muda dan cantik. Kalau sampai terdengar oleh para pendekar dan patriot lain, tentu nama Pek-lian-pai akan menjadi merosot saja kalau perkelahian dengan puteri Kam-locian-pwe ini dilanjutkan.”

Memang dua orang tosu Pek-lian-pai itu sudah dapat menduga bahwa murid-murid mereka tentu yang lebih dulu menggoda nona yang cantik ini. Mereka tadi turun tangan hanya karena merasa marah melihat murid-murid mereka dipatahkan tulangnya, dan juga karena malu sebelum dapat membalas nona itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa nona itu adalah puteri pendekar sakti Suling Emas, mereka sudah dapat melihat bahwa kalau dilanjutkan pertikaian itu, tentu nama mereka akan rusak karena membela tiga orang murid mabok.

“Baik, kami akan sudahi saja urusan ini. Akan tetapi siapakah engkau, orang muda?” Tosu tinggi kurus bertanya.

“Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!” Tiba-tiba gadis itu berkata, seperti hendak membalas ketika pemuda itu tadi memperkenalkannya sebagai puteri pendekar Suling Emas.

Tentu saja dua orang kakek Pek-lian-pai itu semakin terkejut. Cucu Pendekar Pulau Es? Mereka tidak berani lagi banyak lagak dan sambil menjura mereka lalu mengundurkan diri dan membentak tiga orang murid mereka yang menjadi gara-gara pertikaian itu.

Setelah mereka pergi, pemuda itu membalikkan tubuh, menghadapi gadis itu. Mereka berdiri saling berpandangan, sampai lama tidak dapat mengeluarkan suara. Dua pasang mata itu bertemu, bertaut dan seolah-olah mereka menjadi gagu seketika. Bayangan dan kenangan lama muncul di dalam pikiran mereka. Tiba-tiba keduanya mengeluarkan seruan hampir berbareng.

“Bi Eng....!”

“Ceng Liong....!”

Keduanya melangkah maju mengulur tangan, akan tetapi tiba-tiba Bi Eng berhenti dan dia berdiri memandang dengan muka berubah merah sekali. Teringat dia bahwa yang kini berada di depannya bukan anak-anak lagi, bukan remaja yang pernah dikenalnya beberapa tahun yang lalu, melainkan seorang pemuda dewasa yang gagah perkasa! Dan ia sendiri sudah menjadi seorang gadis dewasa, bahkan menjadi seorang calon isteri, tunangan pemuda yang kini menjadi murid ayahnya, yaitu Sim Houw!

Melihat keraguan di wajah gadis itu, Ceng Liong juga menghentikan langkahnya. Kini mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua meter saja dan Ceng Liong mengamati wajah itu dengan hati penuh kagum. Dia terpesona oleh sepasang mata itu, oleh hidung dan mulut itu. Bi Eng telah menjadi seorang gadis yang menurut penglihatannya teramat cantik. Belum pernah ada seorang gadis yang begini menarik hatinya.

Jantungnya berdebar tegang, penuh kegembiraan dan juga harapan ketika dia teringat akan janjinya kepada mendiang Hek-i Mo-ong bahwa kelak dia akan menjadi suami Bi Eng! Dan dia maklum pada saat dia memandang wajah itu bahwa dia akan berbahagia sekali apabila harapan gurunya itu terlaksana. Dia jatuh cinta kepada gadis ini sekarang! Dan Ceng Liong merasa terkejut sendiri mengikuti jalan pikirannya.

“Bi Eng.... ahh, tak kusangka akan bertemu dengan engkau di sini! Hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi, engkau.... sudah begini besar....!”

Bi Eng memandang kepadanya dan gadis itu tersenyum. Tersirap darah dari jantung Ceng Liong melihat lesung pipit di sebelah kiri mulut itu. Betapa manisnya!

“Ceng Liong, engkau bilang tidak dapat mengenalku akan tetapi engkau bisa memberi tahu kepada kakek-kakek Pek-lian-pai itu bahwa aku puteri pendekar Kam!”

Memang tadinya aku tidak mengenalmu, dan barulah aku teringat pada waktu engkau mengeluarkan suling emas itu.”

Bi Eng mengangguk-angguk. “Dan engkau pun bukan anak-anak lagi, sudah menjadi seorang pemuda dewasa.”

“Akan tetapi engkau langsung menganalku.”

“Yang berubah hanya tubuh dan mukamu, akan tetapi mata dan senyumanmu yang nakal itu masih sama.”

“Bi Eng, kalau tidak salah dugaanku, engkau datang ke sini tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot di Hutan Cemara, bukan?”

Gadis itu mengangguk. “Benar, dan tentu engkau pun juga datang untuk keperluan itu, bukan? Apakah engkau datang bersama orang tuamu? Apakah para pendekar keluarga Pulau Es ikut datang menghadiri pertemuan itu?”

“Tidak, aku datang seorang diri saja. Orang tuaku mewakilkan kepadaku. Dan engkau? Apakah Kam-locianpwe dan isterinya juga hadir?”

Bi Eng menggeleng kepalanya. “Tidak, Ceng Liong. Aku datang bersama.... guruku.” Tiba-tiba wajah gadis itu berubah merah. Hampir saja dia tadi menyebut ‘mertuaku’, bukan ‘guruku’.

Jawaban ini mengherankan hati pemuda itu. “Bi Eng! Engkau ini adalah puteri tunggal Kam-locianpwe yang memiliki kepandaian setinggi langit dan kurasa mewarisi ilmu-ilmu ayah bundamu saja sudah membuat engkau menjadi orang yang sukar sekali dicari tandingannya. Dan ternyata engkau masih mempunyai seorang guru lain dari pada ayah bundamu?”

Bi Eng bertolak pinggang dan memandang pemuda itu dengan senyum mengejek. “Ceng Liong, engkau sejak dahulu banyak lagak dan tidak mau bercermin melihat diri sendiri. Apa anehnya kalau aku mempunyai seorang guru lain? Tengok dirimu sendiri. Engkau cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kurang bagaimanakah keluarga para pendekar Pulau Es? Namun ternyata engkau masih berguru kepada mendiang Hek-i Mo-ong!”

Ceng Liong tersenyum. Gadis ini masih galak dan tidak mau kalah kalau bicara. Akan tetapi dia seperti diingatkan kepada mendiang Hek-i Mo-ong dan dia pun menarik napas panjang.

“Hek-i Mo-ong memang seorang datuk sesat, akan tetapi nasibnya buruk sekali. Aku merasa kasihan kepadanya.”

“Akan tetapi dia berwatak baik, dia pernah menyelamatkan aku. Sayang dia menjadi datuk sesat....”

“Dan dia mati ketika berhadapan dengan keluangamu.”

“Akan tetapi, bukan ayah yang membunuhnya! Hek-i Mo-ong sendiri yang menyerang ayah, padahal saat itu dia dalam keadaan luka parah sehingga gerakan serangannya itu menewaskannya sendiri!” Bi Eng membantah.

Ceng Liong menganggguk-angguk. “Hek-i Mo-ong memang berwatak aneh, kadang-kadang dia jahat bukan main, akan tetapi kadang-kadang baik sekali. Bagaimana pun juga, andai kata dia tewas di tangan seorang pendekar sakti seperti ayahmu pun sudah sepatutnya. Dialah yang menyebabkan kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es tewas, dia penyebab mala petaka yang melenyapkan Pulau Es....”

Sepasang mata yang indah itu terbelalak. “Apa?! Dan engkau masih mau menjadi muridnya?” tanya Bi Eng dengan seruan kaget dan penuh keheranan.

Ceng Liong menghela napas panjang. “Dia sudah berkali-kali menyelamatkan nyawaku, membelaku dan sangat mengasihiku. Dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan setulus hatinya. Mana mungkin aku membalas budinya dan kasih sayangnya dengan kebencian?”

“Tapi.... tapi dia menyerbu keluarga Pulau Es dan menyerbu orang tuaku....”

“Itulah satu di antara keanehan dan kejahatannya. Dia tidak pernah mau menerima kekalahan. Karena itu dia menjadi penasaran karena pernah kalah oleh ayahmu, dia selalu ingin membalas kekalahannya itu. Akan tetapi sudahlah, Bi Eng. Dia sudah meninggal dunia, tewas oleh ulahnya sendiri. Baigaimana pun juga, aku tidak dapat melupakan semua kebaikannya. Ingatkah kau ketika dia mengobatimu?”

Bi Eng mengangguk-angguk dan menggigit bibirnya.

“Dan engkau dahulu ditipunya, obat manjur dikatakan akan membunuhmu.” Ceng Liong tertawa.

Teringat akan hal itu, Bi Eng tertawa juga. “Gurumu itu jahat dan nakal, suka menggoda orang. Aku sudah marah dan merasa ngeri karena maut berada di depan mata ketika dia berbohong mengatakan bahwa obatnya itu adalah racun.”

“Dan dia memaksa kita bersumpah agar menjadi.... suami isteri....”

Tiba-tiba wajah Bi Eng berubah merah sekali dan bersungut-sungut. “Engkaulah yang berjanji, bukan aku!” Kemudian gadis itu menyambung secara tiba-tiba. “Ceng Liong, kenapa engkau berjanji seperti itu kepada Hek-i Mo-ong?”

Ceng Liong memandang kepadanya dan melihat betapa gadis itu kelihatan malu. Dia merasa tidak enak hati. “Bi Eng, aku terpaksa menerima janji suhu karena aku ingin menolongmu. Aku sendiri tidak akan mau berjanji seperti itu kalau tidak terpaksa karena melihat engkau terancam maut. Dan engkau sendiri, kenapa engkau menolak keras ketika disuruh berjanji? Apakah.... apakah engkau benci kepadaku?”

Bi Eng menggeleng kepala. “Bukan karena benci, tetapi mana mungkin aku mau berjanji seperti itu? Bagiku, urusan pernikahan adalah bagaimana keputusan dari orang tuaku saja....”

“Ah, sungguh sebaliknya dengan aku, Bi Eng! Bagiku, urusan pernikahan adalah urusan dua orang yang bersangkutan, sama sekali tidak boleh ditentukan orang lain, walau pun orang lain itu orang tua sendiri atau guru. Dahulu itu, kalau tidak terpaksa untuk menolongmu, aku tidak akan mau berjanji. Aku tidak mau kalau jodohku dipilihkan dan ditentukan oleh guruku atau orang tuaku sekali pun.”

Gadis itu mengangguk-angguk, alisnya berkerut dan dia lalu melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, didampingi Ceng Liong. Keduanya seperti berjalan-jalan tanpa tujuan, tanpa disengaja, hanya untuk berjalan-jalan di dalam hutan itu sambil bercakap-cakap.

“Kalau begitu.... janjimu itu tidak mengikat? Jadi.... engkau menganggap janji kepada mendiang Hek-i Mo-ong itu sebagai kosong belaka....?”

“Begitulah! Aku tidak mau dipaksa oleh siapa pun juga untuk menerima jodoh yang dipilihnya atau dipaksakannya, apalagi kalau pilihan itu sendiri tidak suka kepadaku.”

“Hemm, kalau begitu.... jodoh yang bagaimana yang cukup berharga untuk hidup di sisimu selamanya?”

Bertanya demikian, gadis itu menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya menghadapi Ceng Liong dan kedua tangannya bertolak pinggang. Matanya memandang tajam dan mulutnya tersenyum mengejek seperti orang menantang!

Diam-diam Ceng Liong terkejut dan merasa heran, juga gugup menghadapi pertanyaan tadi. Tetapi dia menenangkan dirinya, dan menjawab dengan suara sungguh-sungguh, “Ia harus seorang gadis yang kucinta dan mencintaku, itu saja syaratnya.”

Hening sejenak dan Bi Eng melangkah maju lagi perlahan-lahan, diikuti oleh Ceng Liong. Gadis itu nampak tenggelam dalam lamunan. Tiba-tiba saja ia berhenti lagi dan menghadapi Ceng Liong, membuat pemuda itu agak terkejut dan dia pun ikut berhenti. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang dan keadaan menjadi amat kaku bagi Ceng Liong.

“Ceng Liong, apakah sudah ada gadis yang kau cinta itu?”

Pertanyaan ini terlalu tiba-tiba dan sama sekali tidak terduga-duga oleh Ceng Liong, membuat pemuda itu menjadi gugup. “Eh.... itu.... eh, selama ini memang belum ada.... ehhh, memang ada, ya, ada memang....”

Gadis itu mengerutkan alisnya. “Ceng Liong, kalau engkau tidak percaya kepadaku dan tidak suka menjawab pertanyaan itu, katakanlah, jangan pura-pura. Ada atau tidakkah gadis yang kau cinta itu? Yang tegaslah, jangan plintat-plintut!”

“Ada.... ada.... Ya benar, ada memang!” Ceng Liong berkata menutupi kegugupannya dengan sikap tegas.

“Hemm.... dan.... dan ia pun cinta padamu?”

Ceng Liong menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Bi Eng.... belum tahu....”

Karena pertanyaan-pertanyaan itu makin lama makin mendekati sasaran, yaitu hal-hal yang mengguncangkan batinnya di saat itu, Ceng Liong yang gagah perkasa itu merasa betapa kedua kakinya agak gemetar dan tubuhnya lemas. Maka dia pun lalu duduk di atas batu yang besar di dekat situ. Anehnya, Bi Eng juga duduk di atas batu berhadapan dengannya dan gadis itu kelihatan tertarik sekali.

“Engkau belum tahu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau belum tahu apakah ia mencintamu atau tidak? Ceng Liong, mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?”

“Aku.... aku takut, Bi Eng.”

“Kau? Kau takut?” Gadis itu tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Engkau cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es, juga murid Hek-i Mo-ong Si Raja Iblis, dan engkau mengenal takut?”

“Bi Eng, aku takut kalau-kalau cintaku ditolak, kalau-kalau ia tidak cinta padaku, aku takut dan tidak tahu harus berbuat apa.... Bi Eng, maukah engkau memberi nasehat, apa yang harus kulakukan menghadapi keadaan begini?”

Bi Eng tersenyum pahit, matanya bersinar layu memandang jauh. “Engkau....? Minta nasehat dariku? Ahh, bagaimana sih keadaanmu itu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau tidak tahu apakah ia juga mencintamu ataukah tidak. Dan engkau malu atau takut bertanya, karena takut ditolak? Begitukah?”

Ceng Liong mengangguk.

“Dan gadis itu sudah tahu bahwa engkau mencintanya?”

Ceng Liong menggeleng.

“Wah, bagaimana ini? Jadi selama ini cintamu hanya kau simpan di hati saja? Lama-lama bisa menjadi racun kalau begitu!”

Ceng Liong memandang kagum. “Aih, agaknya engkau ahli benar dalam urusan cinta-mencinta!”

“Tentu saja!” Bi Eng menghardik.

“Kalau begitu, tentu engkau sudah saling mencinta dengan seorang pemuda....”

“Kalau itu sih belum pernah!”

Ceng Liong terbelalak dan nampak girang. “Ehh, kalau belum bagaimana engkau bisa tahu tentang hal ihwal cinta?”

“Aku kan wanita dan yang kau cinta itu pun wanita, bukan?”

Ceng Liong mengangguk-angguk bingung. “Sudahlah, sebaiknya bagaimana menurut nasehatmu, Bi Eng? Aku cinta seorang gadis akan tetapi aku tidak tahu apakah ia juga mencintaku. Dan aku takut menyatakan cintaku, takut kalau-kalau ia akan marah dan menolakku....”

“Ceng Liong, tidak ada wanita di dunia ini yang akan marah kalau ada pria menyatakan cinta kepadanya. Baik diterimanya atau ditolaknya cinta itu, akan tetapi yang jelas akan ada perasaan bangga menyelinap di lubuk hatinya. Kecuali, tentu saja, jika pernyataan cinta itu dinyatakan secara kasar atau kurang ajar. Kalau kau tak menyatakan cintamu, mana dia tahu? Dan kalau engkau tidak tanya kepadanya, mana kau tahu apakah dia mencintamu atau tidak? Maka, kalau engkau minta nasehatku, datangi gadis itu dan akuilah terus terang tentang cintamu dan minta jawabannya secara jujur.”

“Begitukah nasehatmu, Bi Eng? Gadis itu benar-benar takkan marah?”

“Mengapa marah? Sepatutnya ia bangga menerima cinta seorang cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!”

“Nah, kalau begitu biarlah kupergunakan kesempatan ini untuk menyatakan perasaan hatiku itu. Bi Eng, aku cinta padamu....”

Seketika gadis itu meloncat bangun dari atas batu ke belakang menjauhi Ceng Liong. Mukanya pucat dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan sinar menyambar-nyambar ke arah wajah pemuda itu.

“Apa....? Apa yang kau katakan itu....?”

“Bi Eng, aku cinta padamu dan semoga engkau sudi menerimanya, semoga engkau dapat membalas cinta kasihku kepadamu....”

“Ceng Liong, engkau berani main-main denganku?” Bi Eng mengepal tinju dan mukanya berubah merah, sinar matanya membayangkan kemarahan.

Melihat ini, Ceng Liong lalu menjura. “Bi Eng, maafkan aku. Ingat bahwa engkau sendiri yang tadi menasehatiku untuk berterus terang, engkau sendiri yang mengatakan bahwa gadis itu takkan marah....”

“Tapi.... tapi.... kukira bukan aku gadis itu, dan.... dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa janjimu kepada Hek-i Mo-ong itu hanya kosong belaka? Bahwa janjimu itu tidak mengikat apa-apa?”

“Memang benar, janjiku itu dahulu kulakukan hanya untuk menyelamatkanmu. Dan aku menentang janji itu dalam batinku, Bi Eng. Aku tidak mau mendiang suhu memaksa kita untuk berjodoh begitu saja.”

“Tapi.... kita baru saja berjumpa lagi dan kau menyatakan cinta....?”

“Bi Eng, semenjak pertemuan kita dahulu, aku sudah merasa kasihan dan suka sekali kepadamu. Tentu saja aku belum tahu pada waktu itu tentang perasaan cinta. Karena aku kasihan dan suka, maka aku menolongmu ketika engkau terpukul oleh si jahanam Louw Tek Ciang, dan engkau tahu sendiri, aku bahkan lalu melawan dan menyerang mendiang guruku sendiri karena mengira engkau diracunnya. Akan tetapi, setelah kini kita saling jumpa, barulah aku tahu dan merasa yakin bahwa aku mencintamu. Aku cinta padamu, Bi Eng, bukan karena janjiku terhadap mendiang Hek-i Mo-ong. Aku cinta padamu dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkau pun membalas perasaan cinta kasihku.... Bi Eng, Bi Eng, engkau kenapa....?”

Gadis itu sudah menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Terisak-isak Bi Eng menangis, seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya. Air mata nampak menetes-netes dari celah jari-jari tangannya. Tentu saja Ceng Liong terkejut bukan main dan dia pun cepat menghampiri dan berlutut pula di depan gadis itu. Ingin dia menghibur, ingin dia menyentuh, akan tetapi tidak berani dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya.

“Bi Eng.... ahhh, Bi Eng, kau maafkanlah aku kalau semua kata-kataku menyingung perasaanmu. Bi Eng, kalau engkau merasa terhina oleh pengakuanku tadi, biarlah aku mengaku salah, dan boleh engkau menghukumku. Pukullah aku, sumpahi mati pun aku tidak akan membalas.”

Bi Eng menurunkan kedua tangannya dan dengan mata basah dan hidung merah ia memandang pemuda itu. Mereka saling pandang dan tiba-tiba Bi Eng menangis lagi, menutupi lagi mukanya dengan kedua tangan.

Ceng Liong menjadi semakin bingung dan khawatir. Dia adalah seorang pemuda gagah perkasa, penuh keberanian dan ketenangan. Akan tetapi sekarang menghadapi gadis yang dicintanya menangis tidak karuan mendengar pengakuan cintanya, dia menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

“Bi Eng, sekali lagi maafkanlah aku.... mengapa engkau kelihatan begini berduka? Kalau engkau marah kepadaku, hal itu masih dapat kumengerti, akan tetapi kenapa engkau berduka? Kenapa menangis? Engkau yang segagah ini?”

Bi Eng semakin mengguguk dan akhirnya Ceng Liong membiarkan gadis itu menangis. Agaknya gadis itu harus menghabiskan dahulu air matanya, baru dapat diajak bicara, pikirnya. Dan meski pendapatnya ini hanya ngawur saja, akan tetapi buktinya memang demikian. Setelah puas menangis, tangis gadis itu mereda, bahkan ia lalu dapat bicara.

“Ceng Liong, aku.... aku tidak marah kepadamu, tapi.... kata-katamu tadi membongkar semua isi batinku dan membuatku berduka. Ketahuilah, aku.... aku telah bertunangan dengan orang lain....”

Ceng Liong menatap wajah gadis itu, sikapnya tenang, akan tetapi wajahnya berubah pucat dan dia merasa betapa jantungnya seperti ditikam pedang. Dia menggigit bibirnya dan termenung sejenak.

“Tetapi…., bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau tidak pernah.... saling mencinta dengan seorang pria?”

Gadis itu makin terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju. “Itulah sebabnya aku menangis. Aku.... aku tidak mencintanya, aku hanya menurut kehendak ayah ibuku saja....”

“Ahhh, dan dia? Dia tentu mencintamu, bukan?”

Gadis itu menggeleng kepala. “Dia pun seperti aku, hanya menurut kehendak orang tua. Kami tidak sempat bergaul, begitu bertemu orang tua kami saling setuju menjodohkan kami, kemudian aku ikut calon ayah mertuaku untuk dididik ilmu silat, sebaliknya dia ikut ayahku untuk menerima pendidikan ilmu pula.”

Ceng Liong menarik napas panjang. Hatinya terasa nyeri. Dia tahu bahwa amat banyak orang-orang muda seperti Bi Eng dan tunangannya ini. Bahkan ada orang baru melihat isteri atau suaminya setelah bertemu sebagai sepasang mempelai. Menjadi mempelai seperti beli undian saja, untung-untungan!

“Sungguh aku merasa heran, bagaimana seorang gadis seperti engkau mau begitu saja dijodohkan tanpa mempertimbangkan perasaan hatimu sendiri?”

“Aku tidak berani menolak, karena aku tidak ingin menyusahkan hati ayah ibuku yang hanya mempunyai seorang anak tunggal yaitu aku, Ceng Liong.”

Hening sejenak. Keheningan yang amat tidak enak bagi Ceng Liong. “Jadi engkau tidak cinta kepada pemuda itu, tidak suka kepadanya?”

“Aku tidak mencintanya, bukan berarti tidak suka. Dia cukup baik dan gagah perkasa.”

“Siapakah dia, kalau aku boleh mengetahuinya, Bi Eng?”

“Dia bernama Sim Houw, putera tunggal dari paman Sim Hong Bu....”

“Ahh....?” Ceng Liong melompat berdiri dengan kaget sehingga Bi Eng juga terkejut dan mengangkat muka memandang. “Putera orang tua yang gagah perkasa itu? Ah, pantas kalau begitu orang tuamu menerimanya. Kalau begitu.... aku tidak tahu diri, sungguh aku yang tidak tahu diri berani menyatakan cinta kepada calon mantu Sim-locianpwe. Maafkan kelancanganku, nona.... dan selamat tinggal....” Dengan hati terasa perih dan tubuh lemas Ceng Liong lalu meninggalkan gadis itu, setelah membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan.

“Ceng Liong.....!” Terdengar seruan lemah.

Kaki Ceng Liong bagai tertahan. Benarkah apa yang didengarnya tadi? Suara Bi Eng memanggilnya, disusul isak tangis gadis itu! Dia membalikkan tubuh dan memandang. Dilihatnya Bi Eng menangis, berdiri dengan kedua tangan diulur ke depan, kedua lengan itu terbuka dan air mata bercucuran di atas sepasang pipinya.

“Ceng Liong.... jangan.... jangan kau pergi, jangan tinggalkan aku....!” gadis itu berkata terisak-isak.

“Bi Eng.... apa artinya ini....?”

Ceng Liong lari menghampiri dan mereka saling tubruk, saling rangkul, entah siapa yang bergerak merangkul lebih dulu. Bi Eng menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu dan dia pun menangis terisak-isak. Ceng Liong menjadi bengong sejenak, kedua lengannya merangkul pundak dan leher gadis itu, mendekap kepala itu ke dadanya dan perlahan-lahan dia merasa kehangatan air mata itu menembus bajunya dan membasahi dadanya.

Terasa segar bagaikan siraman embun ke atas bunga yang tadi melayu di dalam hatinya, membuat bunga itu berkembang kembali dengan segarnya. Dia hampir tidak dapat percaya akan keadaan ini. Seujung rambut pun tadi dia tidak pernah menyangka bahwa Bi Eng akan bersikap begini, bahkan sekarang pun, setelah dia merangkul gadis itu, merasakan kehangatan tubuhnya dan kehangatan air mata di kulit dadanya, dia masih ragu-ragu dan belum percaya.

“Bi Eng.... ah, Bi Eng apa artinya ini? Kenapa engkau menangis....?” Kedua lengannya memeluk ketat dan kini jari-jari tangannya mengelus rambut kepala yang bersandar di dadanya itu penuh kasih sayang.

Tanpa mengangkat mukanya, Bi Eng menjawab lirih dan malu-malu, “Ceng Liong...., apakah engkau belum dapat mengerti? Aku.... aku tidak hanya menerima cinta kasihmu, aku.... aku bahkan juga.... mencintamu....”

Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdegup girang, Ceng Liong menyentuh dagu yang meruncing itu dan mendorongnya ke belakang sehingga wajah gadis itu tengadah. Mereka saling pandang. Wajah itu kemerahan dan masih ada butir-butir air mata seperti mutiara di kedua pipi itu.

“Bi Eng.... mimpikah aku....?” Ceng Liong bertanya seperti seperti orang bingung, suaranya lirih mengandung getaran kuat.

Wajah yang basah itu kini tersenyum, seperti sekuntum bunga bermandikan embun kini merekah segar. Nampak sebagian deretan gigi putih berkilau dan sepasang mata yang masih mengandung air mata itu memandang mesra. Meski dia belum berpengalaman, dan walau pun getaran jantungnya membuat tubuhnya menggigil, ada sesuatu yang mendorong Ceng Liong untuk menunduk dan dua kali mencium pipi kanan kiri yang kemerahan, mencucupi butiran air mata dari pipi. Dua pasang lengan itu otomatis saling memeluk lebih ketat seolah-olah keduanya ingin menyatukan diri dalam pelukan itu.

Setelah gelora perasaan itu mereda, Ceng Liong yang semenjak tadi masih dilanda keraguan dan sulit menerima dan mempercayai kebahagiaan yang tiba-tiba melanda dirinya itu, sekali lagi menyentuh dagu gadis itu dan mengangkat mukanya. Sejenak mereka bertatapan pandang penuh kemesraan, lalu terdengar Ceng Liong berkata lirih. “Bi Eng.... tapi.... tapi kau telah bertunangan....”

Bagaikan dipagut ular berbisa, Bi Eng cepat melepaskan diri dari pelukan Ceng Liong, meloncat ke belakang dan memandang wajah Ceng Liong dengan muka berubah pucat sekali. Lalu gadis itu mengepal kedua tangannya dengan kuat, matanya mengeluarkan sinar dan ia nampak penasaran sekali.

“Engkau benar! Aku telah bertunangan atau lebih tepat lagi, ditunangkan dan dipaksa berjodoh. Aku bukan anjing, atau kucing, bukan boneka. Aku tidak boleh menerima begitu saja. Aku harus menentangnya!”

“Tapi, Bi Eng, kalau engkau memutuskan tali pertunangan itu karena aku, tentu orang tuamu akan marah kepadaku dan menganggap aku yang menjadi biang keladi, padahal mereka itu tidak suka kepadaku. Dahulu pun, mereka menolak keras ketika mendengar usul mendiang Hek-i Mo-ong yang hendak menjodohkan kita. Lagi pula, aku sangat menghormati Sim-locianpwe, bagaimana aku ada muka untuk berhadapan dengannya kalau kini aku menjadi perusak pertalian jodoh antara engkau dan puteranya?”

“Ceng Liong, benarkah engkau cinta padaku?”

“Tentu saja!”

“Sebesar aku mencintamu?”

“Ya, lebih lagi, ini aku yakin!”

“Kalau begitu, mengapa engkau kelihatan takut-takut menghadapi segala resiko dan akibatnya?”

“Bukan takut, Bi Eng, hanya merasa tidak enak hati. Aku menghormati dan mengagumi orang tuamu, juga Sim-locianpwe, dan aku khawatir akan nasibmu kalau menentang orang tuamu....”

“Jadi, kalau begitu engkau menganjurkan aku menerima saja nasibku? Menerima saja dijodohkan dengan orang lain? Ceng Liong, cinta macam apa yang ada di hatimu terhadap diriku?”

“Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin agar.... dengan halus engkau dapat memberi alasan kepada orang tuamu supaya mereka tidak memaksamu, dan kita.... dengan terus terang menghadap orang tuamu, menceritakan tentang cinta kita.”

“Nah, begitu baru benar!” Bi Eng menjadi gembira dan ia melangkah maju, dipegangnya kedua tangan pemuda itu. “Ceng Liong, kalau aku berada di sampingmu, kalau aku bersamamu, aku tidak akan takut menghadapi apa pun juga. Bersamamu aku berani menghadap guruku dan orang tuaku untuk berterus terang, minta dibatalkan pertalian jodoh paksaan itu dan menceritakan tentang cinta kasih kita.”

Ceng Liong merangkulnya dan kembali mereka saling berpelukan. “Aku pun tidak takut, Eng-moi....”

Bi Eng tersenyum. “Ihh, lucunya kau menyebut Eng-moi kepadaku!”

“Habis, bagaimana? Sudah sepatutnya demikian, bukan?”

“Dan aku harus menyebut apa padamu, Ceng Liong?”

“Bagaimana pun juga, selain lebih tua darimu, aku pun calon suamimu, kan? Pantasnya engkau menyebut koko.”

“Liong-koko.... ihh, lucu juga!”

Melihat kekasihnya itu dengan mata masih basah bekas air mata kini telah tersenyum-senyum manis dan gembira, Ceng Liong tidak dapat menahan hatinya dan diciumnya gadis itu, kini diciumnya bibir yang merah itu. Dia masih canggung karena selama hidupnya baru pertama kali itu mencium, itu pun dilakukannya hanya menurut dorongan naluri kejantanannya saja.

Bi Eng terkejut, mengeluh dan meronta sebentar, akan tetapi lalu tubuhnya menjadi lemas dan dia pun membuang semua perlawanan dan keraguan, menyerah dengan sepenuh hati dan mereka pun berciuman, canggung namun mesra.

“Eng-moi, aku cinta padamu. Aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk melindungimu.”

“Tidak perlu sampai membahayakan nyawa, koko. Aku yakin bahwa guruku dan juga ayah bundaku adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan dapat menyadari kekeliruan mereka. Kita menentang mereka karena memang sekali ini mereka terlalu sembrono dan keliru dalam menjodohkan anak-anak mereka tanpa perhitungan lebih dulu, tanpa mempedulikan isi hati antara yang bersangkutan.”

“Mudah-mudahan begitu. Eng-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?”

“Aku datang ke tempat ini bersama-sama suhu, dan tadi kami berpisah, masing-masing melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini. Suhu menyuruh aku memasang mata kalau-kalau tempat ini terdapat orang-orang dari golongan lain yang menyelundup. Aku lalu bertemu dengan orang-orang Pek-lian-pai mabok yang menggangguku.”

Ceng Liong melepaskan rangkulannya dan mereka kini bicara dengan sikap serius, karena perhatian mereka mulai tertarik dan teringat akan keperluan mereka datang ke tempat itu. “Aku pun heran mengapa orang-orang seperti mereka itu turut hadir pula di sini. Kehadiran mereka itu saja sudah membuat aku menjadi semakin ragu-ragu akan kebenaran pertemuan ini.”

“Menurut suhu, Pek-lian-pai ialah perkumpulan yang paling gigih menentang pemerintah sejak dulu. Yang kita pandang bukanlah perangai mereka, melainkan semangat mereka menentang pemerintah penjajah. Karena itu tadinya aku banyak mengalah, akan tetapi karena mereka semakin kurang ajar, terpaksa aku menghajar mereka,” kata Bi Eng.

“Sekarang mereka sudah mulai berkumpul di Hutan Cemara, mari kita pergi ke sana, Eng-moi.”

“Sebaiknya engkau pergi ke sana dulu, Liong-koko. Aku akan mencari suhu dulu dan nanti kita bertemu kembali di Hutan Cemara.”

Menuruti perasaan hatinya, Ceng Liong ingin berdampingan terus dengan kekasihnya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kekasihnya itu tidak mungkin meninggalkan gurunya atau juga calon ayah mertuanya itu begitu saja. “Baiklah, kita saling jumpa di Hutan Cemara, Eng-moi,” katanya.

Mereka saling menggenggam tangan dan saling berpandangan dengan penuh perasaan mesra. Bi Eng lalu melepaskan tangannya dan membalik, lalu berlari cepat, lenyap di balik pohon-pohon. Sampai beberapa lamanya Ceng Liong berdiri bengong, kemudian dia pun melanjutkan perjalanan menuju ke Hutan Cemara.

********************

Di Hutan Cemara telah berkumpul banyak sekali orang. Ada seratus orang lebih yang sudah datang berkumpul. Mereka itu rata-rata nampak gagah perkasa dan penuh semangat. Hutan di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu nampak ramai walau pun hal ini agaknya tidak diketahui oleh para penduduk dusun yang berada di sekitar Tai-hang-san namun cukup jauh dari tempat pertemuan yang sepi itu.

Pada waktu itu, sudah terdapat beberapa buah perkumpulan yang anti pemerintah, di antaranya yang paling terkenal pada waktu itu adalah Pek-lian-pai atau Pek-lian-pang yang intinya adalah Agama Pek-lian-kauw. Kemudian Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang juga merupakan perkumpulan rahasia yang selalu dikejar-kejar pemerintah oleh karena mereka itu terang-terangan menentang pemerintah Mancu yang berkuasa.

Pada mulanya memang cita-cita menentang penjajah ini digerakkan oleh orang-orang yang berjiwa patriot di antara para tokoh mereka. Akan tetapi sungguh sayang, cita-cita ini kemudian dicampuri dengan cita-cita pribadi atau cita-cita kelompok yang lain lagi, yang hanya mementingkan keuntungan diri pribadi atau kelompok, ambisi untuk mencari kedudukan atau keuntungan.

Bahkan lebih buruk lagi, di antara para anak buah perkumpulan-perkumpulan rahasia itu ada yang terlalu mengandalkan kekuatan, kekuasaan atau pengaruh perkumpulannya sehingga sering kali mereka bertindak sewenang-wenang. Bahkan banyak pula orang-orang yang memang berwatak jahat menyelundup masuk dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengotorkan nama perkumpulan.

Ketika Ceng Liong tiba di Hutan Cemara, banyak orang sudah berkumpul. Yang amat menyolok adalah tiga buah perkumpulan itu. Mereka datang dengan anggota yang puluhan orang banyaknya dan nampak bendera-bendera mereka berkibar dan pasukan mereka berada di belakang bendera perkumpulan masing-masing.

Di depan bendera Pek-lian-pai berdiri seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menunjukkan bahwa tosu yang tua ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Di kanan kirinya berdiri dua orang tosu tua yang tadi ribut dengan Bi Eng.

Sikap tiga orang tosu ini angkuh dengan muka ditegakkan menghadap ke depan, kedua tangan di belakang tubuh dan kedua kaki dipentang lebar. Akan tetapi sikap para anak buah Pek-lian-pai tidak teratur. Mereka nampak berbisik-bisik dan ada yang tersenyum-senyum dengan mata melirik ke kanan kiri.

Pat-kwa-pai dengan benderanya yang angker, bentuk segi delapan dengan garis-garis pat-kwa, dipimpin oleh seorang kakek pula yang bertubuh sedang, berpakaian putih dan kuning bagai pakaian pertapa, dengan rambut, jenggot dan kumis awut-awutan panjang tak terpelihara. Dia diiringkan dua puluh lebih anak buah Pat-kwa-pai yang kesemuanya mengenakan pakaian seragam dengan gambar pat-kwa di bagian dada. Sikap mereka ini lebih serius dan pendiam dari pada para anak buah Pek-lian-pai yang berbendera gambar bunga teratai itu.

Berbeda dengan dua perkumpulan terdahulu, Thian-li-pai yang tiba dengan anak buah sebanyak lima puluh orang itu dipimpin oleh seorang pria berusia empat puluh tahun, berpakaian ringkas serba hitam dengan sepasang pedang tergantung di punggungnya. Sikapnya pendiam dan gagah. Juga anak buahnya kelihatan gagah dengan pakaian yang serba hitam dan ringkas.

Oleh karena saat pertemuan yang ditentukan telah tiba, maka di dataran tinggi yang dikelilingi para peserta itu muncul seorang pria yang gagah perkasa, yang memakai baju dari kulit harimau. Pria ini berusia kurang lebih empat puluh tahun dan begitu muncul di dataran tinggi itu, pria ini menjura dengan sikap gagah dan hormat ke empat penjuru sambil berseru dengan nada suara yang lantang.

“Cu-wi (saudara sekalian) yang terhormat, mohon perhatian!”

Suaranya yang mengandung getaran khikang yang kuat itu mengatasi suara berisik para pendatang yang memenuhi tengah hutan cemara itu dan suasana lalu menjadi tenang dan sunyi karena semua orang menghentikan percakapan masing-masing, dan kini semua mata ditujukan kepada pria itu.

Melihat pria itu Ceng Liong merasa betapa jantungnya berdebar. Andai kata tidak terjadi pertemuan antara dia dan Bi Eng, maka melihat pria ini tentu akan mendatangkan rasa girang, tidak bercampur tegang seperti sekarang ini. Pria itu adalah Sim Hong Bu, pendekar yang mewarisi Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) dengan ilmunya itu. Pendekar yang menjadi guru Bi Eng, juga menjadi calon mertua!

Setelah memberi hormat ke empat penjuru, Sim Hong Bu berkata, nada suaranya masih lantang dan gagah. “Cu-wi yang terhormat, harap maafkan kelancangan saya mewakili para locianpwe dan para sahabat untuk sementara memimpin rapat ini sebelum kita semua memilih pimpinan. Bagi cu-wi yang belum mengenal saya, saya perkenalkan diri bahwa nama saya Sim Hong Bu. Bagaimana pendapat cu-wi, setujukah kalau saya untuk sementara memimpin pertemuan ini?”

“Setuju....!” terdengar teriakan dari mereka yang sudah mengenal pendekar ini. Mereka yang belum mengenalnya dan masih ragu-ragu pun diam saja, hanya mendengarkan.

Agaknya para pimpinan tiga perkumpulan besar yang hadir itu pun sudah mengenal pendekar ini karena mereka mengangguk-angguk. Karena sebagian besar di antara yang hadir menyetujuinya, Sim Hong Bu makin bersemangat.

“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi. Saya akan menceritakan dahulu sedikit tentang timbulnya gagasan mengadakan pertemuan pada hari ini. Beberapa orang locianpwe dan sahabat baik, yang berjiwa pendekar dan mencinta tanah air dan bangsa, pernah mengadakan pertemuan dan membicarakan tentang tanah air kita yang dijajah Bangsa Mancu puluhan tahun lamanya. Sebagai pendekar dan patriot, tentu saja kita tidak mungkin hanya tinggal diam saja. Maka saya pun diberi tugas untuk menghubungi para sahabat dan pendekar yang sehaluan, serta mengundang mereka untuk mengadakan pertemuan pada hari ini. Maksud dari pertemuan ini adalah untuk menghimpun tenaga dan mengatur rencana bagaimana kita dapat berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah.”

“Harus lebih dulu dipilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)!” terdengar teriakan-teriakan di antara mereka yang hadir.

Sim Hong Bu tersenyum dan mengangkat kedua tangan minta agar mereka itu tenang. Setelah keadaan menjadi tenang, dia berkata. “Memang seperti yang cu-wi kehendaki, pertama-tama kita memilih pimpinan. Karena itu maka tadi saya katakana, bahwa saya hanya untuk sementara memimpin pertemuan ini, atau sebagai juru bicara. Kita akan mengangkat seorang pemimpin dan pemimpin itulah yang kemudian menentukan para pembantunya. Setujukah cu-wi?”

“Setuju….!” Semua orang kembali berisik menyatakan setuju.

Tosu gendut, yaitu yang pernah ribut dengan Bi Eng, mengacungkan tangan ke atas. Dengan suara yang menggeledek dia berkata. “Kami calonkan ketua kami menjadi bengcu!” Ucapan ini disambut sorak-sorai anak buah Pek-lian-pai.

“Kami usulkan pimpinan kami Giam San-jin menjadi bengcu!” teriak seorang di antara anak buah Pat-kwa-pai. Teriakan ini pun disambut sorak-sorai anak buah perkumpulan itu.

“Kami usulkan toako kami Su Ciok menjadi calon bengcu!” teriak anak buah Thian-li-pai disambut sorak-sorai teman-temannya.

Kembali Sim Hong Bu mengangkat kedua tangannya ke atas untuk memberi isyarat supaya suasana kembali tenang. Setelah keadaan tenang, dia pun berkata. “Memang untuk memilih bengcu, harus lebih dahulu diajukan calon-calon. Seorang calon yang diajukan harus memenuhi syarat, dan harus dikemukakan kebaikan-kebaikan apa maka dia dipilih menjadi bengcu. Saya akan mulai dengan locianpwe Ci Hong Tosu pimpinan Pek-lian-pai yang tadi sudah diajukan sebagai calon. Harap dikemukakan alasan-alasan mengapa dia dicalonkan.”

Sim Hong Bu telah tahu siapa adanya tosu kurus yang sekarang memimpin rombongan Pek-lian-pai itu. Dia tahu bahwa biar pun tosu itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi berwatak tinggi hati, bahkan kadang-kadang sombong dan terlalu memandang rendah orang lain.

Tosu gendut yang tadi mengusulkan agar ketuanya dipilih bengcu, berkata. “Suhu Ci Hong Tosu mempunyai pengetahuan yang luas, di samping itu kepandaiannya tinggi, dan terutama sekali di samping itu semua, beliau adalah seorang tokoh Pek-lian-pai dan siapakah yang tidak tahu bahwa sejak dahulu Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang selalu berjuang untuk mengusir penjajah?”

“Susiok kami, Giam San-jin belum tentu kalah dibandingkan dengan tokoh Pek-lian-pai!” tiba-tiba terdengar pula suara dari rombongan Pat-kwa-pai. “Dan mengenai perjuangan menentang pemerintah penjajah, Pat- kwa-pai juga sudah amat terkenal.”

“Dalam hal perjuangan, Thian-li-pai tidak kalah! Dan dalam hal kepandaian, juga toako kami Su Ciok boleh diandalkan!” teriak orang-orang Thian-li-pai.

Kembali keadaan menjadi berisik karena tiga golongan ini bicara sendiri semaunya.

Sementara itu, semenjak tadi Ceng Liong tidak memperhatikan mereka yang ribut-ribut mengajukan calon-calon bengcu karena dia sibuk mencari-cari Bi Eng dengan matanya. Begitu melihat munculnya guru dan calon ayah mertua kekasihnya, dia sudah menoleh dan memandang ke sana-sini, mencari-cari dengan pandang matanya serta merasa gelisah mengapa gadis itu belum juga muncul.

Akhirnya dia melihat berkelebatnya bayangan Bi Eng di antara penonton di sebelah selatan, maka dia pun segera menyusup ke sana menghampiri dan Bi Eng yang juga melihatnya kemudian bergerak pula menghampirinya. Seperti telah mereka janjikan dan setujui berdua, mereka lalu berdiri di tempat yang tidak begitu berdesak-desak, berdiri berdampingan dan bersama-sama memandang ke arah Sim Hong Bu yang memimpin pertemuan itu.

“Suhu-mu memang gagah perkasa,” Ceng Liong memuji lirih.

“Ya, dan kalau menurut aku, tak ada yang lebih baik dari pada suhu untuk menjadi calon bengcu. Dia penuh semangat dan berilmu tinggi, juga kegagahan dan kebersihannya tidak perlu diragukan lagi,” jawab Bi Eng lirih.

“Kalau begitu, kenapa tidak kau usulkan agar dia dicalonkan pula?”

“Engkau benar! Orang-orang seperti mereka itu dicalonkan, mengapa suhu tidak?”

Setelah berkata demikian, sekali menggerakkan kakinya, gadis itu sudah meloncat ke depan, ke arah bagian tanah yang agak tinggi meski tidak setinggi tanah datar di mana gurunya berada. Dengan pengerahan khikang yang membuat suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan ia berkata. “Cu-wi, saya juga mengajukan seorang calon bengcu, yaitu bukan lain guru saya sendiri Sim Hong Bu yang cu-wi semua sudah mengenalnya!”

Usul ini disambut sorakan setuju dari sebagian banyak orang, mungkin lebih tertarik karena melihat kecantikan dan keberanian Bi Eng dibandingkan dengan kepercayaan mereka terhadap Sim Hong Bu sendiri.

Melihat ulah muridnya, Sim Hong Bu tertawa dan mengangkat kedua tangan ke atas. “Cu-wi sekalian, harap maafkan murid saya. Akan tetapi karena ia sudah mengajukan saya sebagai calon, tentu saja terserah kepada cu-wi. Nah, siapa lagi yang hendak mengajukan calon?”

Ternyata banyak juga calon yang diajukan oleh para pendekar itu. Di antara mereka bahkan terdapat Bu-taihiap atau pendekar Bu Seng Kin yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti banyak isteri dan kekasihnya itu, yang kini telah berusia enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak ganteng dan gagah! Bu-taihiap hanya tersenyum-senyum saja mendengar betapa dia dicalonkan sebagai bengcu yang akan memimpin para pendekar dan patriot untuk berjuang menentang pemerintah penjajah. Agaknya pendekar ini merasa gembira bahwa masih ada orang yang percaya kepadanya dan diam-diam dia merasa bangga karenanya. Jumlah para calon itu ada tujuh belas orang!

“Jumlah calon begini banyak, bagaimana harus diadakan pemilihan di antara yang tujuh belas ini?” Sim Hong Bu menjadi bingung sendiri melihat demikian banyaknya calon yang diajukan. Apalagi mereka itu nampak damikian bernapsu untuk menang dalam pemilihan ini.

“Mudah saja diatur! Kita adalah orang-orang yang sudah biasa mengandalkan ilmu silat untuk melewati hidup. Karena itu, untuk menentukan pilihan, sebaiknya kalau dipilih di antara kita yang paling tangguh. Nah, aku sebagai seorang di antara calon-calon sudah maju untuk menandingi calon lain yang merasa berkepandaian tinggi!”

Yang bicara ini adalah seorang pria tinggi besar bermuka hitam yang sudah meloncat ke depan, di tempat datar itu, bersikap menantang. Semua orang memandang kepadanya. Pria ini tadi dipilih oleh kawan-kawannya dan dia terkenal sebagai seorang yang ditakuti di Tai-goan, bahkan di Propinsi Shan-si dia dikenal sebagai jagoan atau tukang pukul yang disegani. Karena dia tidak pernah berbuat kejahatan, walau pun agak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan selalu ingin benar sendiri, maka dia selalu mengangap diri sendiri sebagai seorang pendekar!

Pria ini bernama Tang Gun, dan pria yang tinggi besar bermuka hitam ini berusia empat puluh tahun, terkenal memiliki banyak macam ilmu silat di antaranya ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-si dan tenaganya amat besar. Sebelum yang lain-lain sempat mengemukakan pendapatnya dan juga sebelum Sim Hong Bu sempat mencegahnya, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Su Ciok, tokoh Thian-li-pai, sudah berada di atas tanah datar itu menghadapi Tang Gun!

“Bagus, engkau hendak menantang pibu? Baik sekali, akulah lawanmu. Sekarang lihat seranganku!” bentak Su Ciok sambil menerjang dengan pukulannya yang kuat.

Tokoh Thian-li-pai ini memang berwatak keras, tidak banyak cakap namun suka sekali berkelahi. Begitu mendengar usul dan tantangan Tang Gun tadi, dia sudah naik darah dan menyambut tantangan itu tanpa banyak cakap lagi.

“Heh, engkau ini tokoh Thian-li-pang tadi?” bentak Tang Gun sambil menangkis dengan pengerahan tengannya yang besar.

“Dukkk....!”

Pertemuan dua lengan yang sama besar dan sama kuatnya itu membuat keduanya terdorong ke belakang sampai terhuyung. Keduanya terkejut, tak mengira bahwa lawan memiliki tenaga yang demikian besar. Akan tetapi kini Tang Gun marah dan membalas serangan tadi dengan cengkeraman tangan ke depan, disusul hantaman tangan kiri ke arah kepala lawan. Karena kini dia tahu bahwa lawannya juga memiliki tenaga besar, maka melihat datangnya serangan yang kuat berbahaya itu, Su Ciok mengelak dan balas menyerang. Serang-menyerang pun terjadilah dengan serunya.

Dan ternyata dua orang yang sama tinggi besar dan sama kuatnya ini memang memiliki kepandaian dan tenaga seimbang. Berkali-kali lengan mereka saling bertemu dan selalu keduanya terdorong ke belakang. Ketika mereka bertanding sampai dua puluh jurus lebih, tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh ke medan perkelahian itu. Kiranya bayangan itu adalah Giam San-jin tokoh Pat-kwa-pai.

“Plakk! Plakk!”

Kakek berpakaian pertapa ini menggerakkan tangannya menyambut pukulan dua orang yang sedang berkelahi itu. Demikian kuat tamparan tangannya ketika mengenai lengan mereka sehingga Tang Gun dan Su Ciok yang bertenaga besar itu pun terpelanting dan hampir terbanting roboh! Tentu saja keduanya terkejut bukan main.

“Kalian mundurlah!” kakek itu membentak dengan mata mencorong kepada mereka.

Dua orang kuat itu terbelalak dan sejenak bimbang. Dari pertemuan tenaga tadi saja mereka pun maklum bahwa kakek tokoh Pat-kwa-pai ini memang hebat sekali, maka mereka menjadi ragu dan jeri, lalu mundur untuk membiarkan kakek itu bicara.

Giam San-jin memberi hormat ke empat penjuru, kemudian berkata dengan suara halus. “Kami setuju dengan usul untuk menentukan siapa yang menjadi bengcu melalui ujian kepandaian. Akan tetapi bukan secara kasar dan tak teratur seperti yang diperlihatkan dua saudara tadi. Sebelumnya harus diadakan peraturan agar tidak kacau-balau. Dan pertama ingin kami mendengar, apakah cu-wi yang hadir di sini setuju bahwa untuk menentukan bengcu diadakan ujian kepandaian di antara para calon, dan yang paling pandai berhak menjadi bengcu?”

“Siancai....! Itulah jalan yang paling baik. Kami setuju!” Terdengar Ci Hong Tosu tokoh Pek-lian-pai berseru, suaranya tinggi melengking hingga terdengar jelas sebab memang tosu ini hendak memperlihatkan kekuatan khikangnya.

Selain ketua Pek-lian-pai, banyak pula di antara para tokoh yang sudah dicalonkan tadi menyetujui. Kembali suasana menjadi gaduh karena ada pula di antara para pendekar yang nampaknya tidak setuju dengan usul pertandingan adu kepandaian itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es