KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-51


“Liong-te.... aihh, siapa bisa mengenalnya kalau engkau sekarang sudah begini besar? Lihat, engkau tidak hanya lebih besar dari pada aku, bahkan lebih tinggi. Engkau begini gagah perkasa, ahhh, adikku, aku bangga sekali melihatmu!”

“Bun-toako, sudah hampir sepuluh tahun kita tidak pernah saling jumpa. Tidak kusangka akan bertemu denganmu pada saat tadi aku mendaki bukit ini, mencari penyanyi yang suaranya begitu menarik hatiku. Kiranya engkaulah yang bernyanyi tadi. Toako, kenapa hatimu begitu berduka?”

Ciang Bun menarik napas panjang. Pertanyaan itu tentu saja membuat dia teringat akan keadaan dirinya, teringat akan Gangga. Dan begitu dia teringat kepada gadis yang telah meninggalkannya itu, dia pun teringat bahwa Gangga pernah menyebut nama Ceng Liong dan dia pun memandang dengan penuh perhatian dan alisnya berkerut.

“Liong-te, sebelum kita bicara lebih banyak, jawablah dulu pertanyaanku ini. Benarkah bahwa engkau telah menjadi murid iblis tua Hek-i Mo-ong....?”

Tentu saja Ceng Liong terkejut mendengar ini, tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk. “Bun-toako, hal itu merupakan cerita yang panjang sekali. Tanpa mendengar seluruh keadaan pada waktu itu, hanya mendengar bahwa aku menjadi muridnya, tentu akan menimbulkan rasa penasaran....”

“Jadi benarkah berita itu? Liong-te, benarkah itu? Tentu saja aku merasa penasaran setengah mati! Liong-te, engkau sendiri juga mengetahui bahwa kakek iblis itu bersama kawan-kawannya telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es yang lalu mengakibatkan tewasnya kakek dan dua orang nenek kita, bahkan telah mengakibatkan tenggelamnya Pulau Es dan kau.... kau.... bahkan lalu menjadi muridnya?”

“Sabar dan tenanglah, toako dan mari dengarkan dahulu keteranganku tentang hal itu. Dengarlah ceritaku semenjak kita saling berpisah di tengah lautan itu. Aku melihat enci Hui dilarikan penjahat, serta melihat engkau dan juga Cin Liong terlempar ke dalam lautan dan aku sendiri lalu dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai seorang tawanan.”

Ceng Liong lalu menceritakan semua pengalamannya dan sebab-sebabnya mengapa dia sampai menjadi murid Hek-i Mo-ong, musuh besar yang mencelakakan kakek dan kedua neneknya di Pulau Es. Ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya sampai pada saat Hek-i Mo-ong tewas di tangan kakek itu sendiri yang seolah-olah membunuh diri, karena dalam keadaan terluka parah kakek itu nekat menyerang pendekar Kam Hong. Diceritakannya betapa kakek iblis itu telah melimpahkan budi kepadanya hingga sukarlah baginya untuk menganggap kakek itu sebagai musuh.

Setelah mendengar semua cerita adik misannya, Ciang Bun yang mendengarkan sejak tadi dengan hati amat tertarik itu mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang. Memang, dia sendiri pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya kalau dia dilimpahi budi pertolongan dan kasih sayang oleh kakek iblis itu.

“Bun-toako, dari manakah engkau mendengar bahwa aku telah diambil murid oleh Hek-i Mo-ong?” kini Ceng Liong bertanya.

Ciang Bun baru sadar dari lamunannya. Sekarang dia teringat bahwa Ceng Liong belum bercerita kepadanya tentang pertemuan adiknya itu dengan Gangga Dewi seperti yang pernah dikatakan gadis Bhutan itu kepadanya, meski tadi Ceng Liong juga menceritakan bahwa adiknya itu diajak merantau oleh Hek-i Mo-ong sampai jauh ke wilayah barat, ke Pegunungan Himalaya bahkan sampai ke negara Bhutan.

“Liong-te, aku mendengarnya dari seorang gadis bernama Gangga Dewi....,” katanya memandang tajam. Wajah adik misannya ini di bawah sinar bulan purnama sungguh nampak gagah sekali.

“Gangga Dewi....?” Ceng Liong berseru kaget dan girang. “Ahhh, Gangga Dewi gadis Bhutan itu....”

“Liong-te, engkau kenal padanya?”

“Kenal! Tentu saja!” Ceng Liong tertawa ketika dia teringat kepada anak perempuan bernama Gangga Dewi yang galak itu. “Ha-ha, tentu saja aku kenal, toako. Bukankah ia bernama juga Wan Hong Bwee, puteri Bhutan itu? Bukankah ia masih ada hubungan keluarga pula dengan kita?”

Kini Ciang Bun benar-benar terkejut bukan main. “Puteri Bhutan? Wan Hong Bwee dan masih ada hubungan keluarga dengan kita? Bagaimana ini, Liong-te, aku tak tahu sama sekali. Ceritakanlah kepadaku siapa sesungguhnya gadis itu.”

“Ha-ha-ha, dia tidak pernah bercerita kepadamu? Wah, memang sungguh bengal anak itu! Ketahuilah, toako, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee itu adalah puteri tunggal dari Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.”

“Ahhh.... ahhh.... maksudmu Wan Tek Hoat cucu mendiang nenek Lulu, jadi.... masih kakak tiriku sendiri?” Ciang Bun benar-benar terkejut karena tidak pernah menyangka sama sekali.

Kenapa gadis Bhutan itu tak pernah menceritakan tentang keadaan dirinya? Ayah gadis itu, Wan Tek Hoat, sudah amat dikenal namanya oleh para cucu Pulau Es. Dia pun telah mendengar bahwa pendekar yang masih terhitung kakak tirinya itu menikah dengan Puteri Syanti Dewi, puteri istana Bhutan dan kini tinggal di Bhutan.

Jadi kalau begitu, Gangga adalah keponakannya sendiri, biar pun keponakan yang jauh. Dan tentu saja Gangga sudah tahu akan semua ini. Bukankah Gangga mengatakan bahwa dia sudah mengenal Ceng Liong dan tahu pula bahwa dia sendiri adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Akan tetapi gadis itu tidak pernah menyinggung keadaan dirinya, dan kini gadis itu telah pergi!

“Dan bagaimana dengan engkau sendiri, toako? Apa yang telah kau alami sejak engkau terlempar ke dalam lautan dari perahu kita yang diserang penjahat itu? Dan mengapa pula engkau tidak hadir dalam pesta pernikahan enci Hui?”

Kembali Ciang Bun menarik napas panjang dan termenung, kelihatan berduka sekali sehingga Ceng Liong memandang khawatir, tak berani mendesak melainkan menunggu saja kakak misannya itu bicara.

Akhirnya Ciang Bun berkata dengan nada suara yang lesu, “Tidak ada apa-apa yang menarik dalam hidupku, Liong-te, kecuali kemuraman dan kekecewaan. Seperti kau lihat, aku masih hidup sekarang karena ketika aku terlempar ke lautan dari perahu kita yang diserbu penjahat sepuluh tahun yang lalu itu, aku berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut. Dan selanjutnya, aku hanya terombang-ambing antara kedukaan dan mala petaka yang menimpa keluargaku....” Pemuda itu menarik napas panjang.

Ceng Liong mengangguk-anggukkan kepala. “Bun-toako, aku juga menghadiri perayaan pernikahan enci Hui dan pada saat itu aku mendengar bahwa engkau belum lama pergi meninggalkan kota raja, dan aku sudah mendengar dari keluargamu tentang segala yang telah terjadi, yang menimpa diri enci Hui. Akan tetapi untunglah bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Cin Liong yang gagah perkasa dan baik hati.”

“Engkau benar, Liong-te. Aku menyesal sekali bahwa aku tidak dapat hadir di waktu pernikahan enci Hui dirayakan, karena aku.... pada waktu itu aku sedang gila mengejar bayangan kosong.... dan sampai sekarang aku belum pulang. Biarlah, adikku, biarlah nasib membawa diriku seperti sebuah layang-layang putus talinya dan tertiup angin badai ke angkasa raya tanpa tujuan....”

Melihat betapa pemuda itu kembali tenggelam ke dalam kedukaan, Ceng Liong merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu kakak misannya ini menderita tekanan batin yang hebat sekali sehingga seperti orang kebingungan. Maka dia pun berusaha menggembirakan hati kakaknya itu. Suaranya meninggi gembira ketika dia bertanya, “Toako, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Hong Bwee?”

“Hong Bwee....?”

“Ya, atau yang bernama Gangga Dewi itu! Ia tinggal di Bhutan, apakah engkau pernah merantau sampai ke Bhutan pula?”

Ciang Bun menggelengkan kepala dan menjawab lesu. “Tidak di Bhutan, aku bertemu dengannya ketika ia merantau sampai ke kota raja....”

“Aihhh....! Anak itu memang luar biasa! Pemberani dan juga tentu saja lihai,” kata Ceng Liong, masih belum puas melihat kakak misannya demikian murung dan berusaha untuk menggembirakan hatinya. “Waah, toako, tak kusangka engkau kini gemar bernyanyi dan suaramu hebat pula! Dan nyanyianmu tadi, wah, romantis sekali, toako. Ehmm, siapa sih gadis yang begitu kau cinta sehingga untuk memperoleh cintanya, engkau tidak peduli segala hal lain yang terjadi?”

Akan tetapi, mendengar ucapan yang nadanya bergurau itu, Ciang Bun malah menarik napas panjang. Pertanyaan itu seperti menyeretnya kembali ke alam kenangan yang penuh dengan bayangan Gangga yang meninggalkannya. Dan bertemu dengan Ceng Liong dia merasa bertemu dengar saudara sendiri, dengan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, bahkan orang yang dapat pula dijadikan tempat penumpahan segala rasa dukanya.

“Liong-te, semua keadaan diriku ini, yang seperti orang gila ini.... bukan lain adalah karena dia pula.... orang Bhutan itu....”

“Hong Bwee....?” Kata Ceng Liong terbelalak memandang wajah kakaknya.

“Gangga.... dialah yang membuatku merana.... ah, tidak, Liong-te, bukan dia sebabnya, melainkan diriku sendiri, keadaanku sendiri. Dia tidak boleh disalahkan, bahkan sudah sepatutnya kalau dia meninggalkan aku, penuh kemuakan dan kebencian....” Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangannya karena teringat sepenuhnya akan semua itu membuat dia berduka sekali.

Dan Ceng Liong memandang dengan penuh keheranan, apalagi melihat betapa diam-diam kakak misannya itu telah menangis di balik kedua tangan yang menutupi muka! Kakak misannya ini bukan anak kecil lagi, sudah dewasa, gagah perkasa dan dia tahu bahwa kakaknya ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi sekarang menangis, karena seorang gadis! Menangis seperti anak kecil, atau seperti seorang wanita.

Dia tidak tahu harus berbuat apa, harus berkata apa untuk menghibur hati Ciang Bun karena dia sendiri terlalu kaget dan heran mendengar pengakuan kakak misannya yang tak disangka-sangkanya itu. Agaknya kakaknya ini telah jatuh cinta kepada Hong Bwee atau Gangga Dewi, dan agaknya gadis Bhutan itu menolaknya dan meninggalkannya.

“Bun-toako, apa yang telah terjadi antara engkau dan Gangga Dewi? Maukah engkau menceritakannya kepadaku?”

Sampai lama Ciang Bun menundukkan mukanya, lalu ia melangkah menjauh dan duduk di atas akar pohon, tetap menunduk dan seperti orang melamun jauh. Rahasia dirinya hanya pernah dia buka kepada kakaknya saja, yaitu Suma Hui. Akan tetapi Suma Hui adalah seorang wanita, belum tentu dapat ikut merasakan penderitaan batinnya secara tepat. Dan Ceng Liong adalah saudara misan yang tiada bedanya dengan saudara sendiri karena dia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. Apa salahnya kalau dia berterus terang kepada Ceng Liong? Siapa tahu, adik misan yang sejak kecil banyak akalnya ini akan mampu membantunya dan mencari jalan yang terbaik untuknya.

“Liong-te, ke sinilah, duduk di sini dan marilah kau dengarkan ceritaku, mudah-mudahan engkau akan dapat membantuku memikirkan bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini,” akhirnya dia berkata.

Mendengar kata-kata itu, Ceng Liong terkejut bukan main. Suara kakak misannya begitu serius. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat kepada diri kakaknya ini dan dia merasa gelisah juga dan cepat dia menghampiri, lalu duduk di atas batu berhadapan dengan Ciang Bun yang duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah. Untuk beberapa lamanya mereka saling pandang dan keadaan amatlah sunyinya.

Langit bersih tiada awan sehingga sinar bulan purnama menerangi tempat itu seperti pagi yang cerah. Hawa udara sejuk dan bahkan dingin, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu tidak menderita akibat hawa dingin. Pada saat mereka berdiam diri, yang terdengar hanyalah suara jengkerik dan belalang mengurung diri mereka dari segenap penjuru.

Kemudian terdengar suara lirih Suma Ciang Bun, berbisik-bisik menceritakan keadaan dirinya, kelainan yang terdapat dalam batinnya. Betapa dia amat suka, bahkan tergila-gila dan mudah sekali bangkit gairahnya terhadap pria lain, sedangkan terhadap wanita dia tidak mempunyai perasaan suka itu, kecuali rasa suka seperti seorang sahabat, sama sekali tidak ada gairah terhadap wanita.

Meski Ceng Liong adalah seorang pemuda gemblengan yang tidak mudah terguncang perasaannya, mendengar penuturan kakak misannya ini dia terkejut dan juga prihatin sekali, di samping perasaan heran yang tidak terbayang pada wajahnya.

Ciang Bun lalu melanjutkan ceritanya tentang diri sendiri, betapa dia berjumpa dengan seorang pemuda bernama Ganggananda yang membuatnya jatuh cinta, bahkan tergila-gila. “Ahhh, betapa pun aku menyadari bahwa perasaanku terhadap Ganggananda itu adalah tidak wajar, adikku. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku adalah seorang pria, dan aku jatuh hati, benar-benar aku tergila-gila kepada seorang pemuda lain, seorang pria lain. Namun aku tidak mampu melawan gejolak dalam hatiku, kesadaranku seolah-olah sudah membutakan diri, tidak mau peduli lagi karena gairah dan hasrat hatiku terhadap Ganggananda tidak mungkin dapat dibendung lagi….”

Pemuda itu diam dan berulang kali menarik napas panjang, beberapa kali membuka mulut seperti hendak melanjutkan namun tidak ada suara keluar dari mulutnya, seolah-olah dia tidak kuasa untuk melanjutkan.

Suma Ceng Liong merasa kasihan sekali melihat keadaan kakak misannya itu dan dia pun menyentuh tangan Ciang Bun sambil berkata. “Sudahlah, Bun-toako, kalau engkau merasa berat untuk melanjutkan, tidak perlu kau bicara lagi. Aku sudah mengerti, atau setidaknya aku akan berusaha untuk mengerti.”

“Tidak, aku harus menceritakan seluruhnya. Aku sudah kuat, Liong-te, dengarlah baik-baik.”

Suma Ciang Bun kemudian melanjutkan, betapa dia bertahan diri untuk tidak membuka cintanya terhadap Ganggananda karena khawatir kalau-kalau pemuda Bhutan itu akan merasa muak dan jijik kepadanya, lalu membencinya karena keadaannya yang tidak wajar itu. Akan tetapi betapa akhirnya dia tidak kuat bertahan dan mengakui cintanya, siap menerima segala akibatnya andai kata Ganggananda kemudian menjadi jijik dan membencinya. Akan tetapi, sebaliknya dialah yang terpukul.

“Betapa terkejut dan hancurnya perasaanku, Liong-te. Betapa bingung dan malu rasa hatiku saat Ganggananda membuka rahasia bahwa dia adalah seorang wanita bernama Gangga Dewi dan sama sekali bukan pemuda seperti yang selama itu kuduga! Dan aku sudah terlanjur mengatakan kepadanya bahwa aku tidak suka wanita! Ah, ia menjadi marah-marah, tentu ia amat benci kepadaku dan ia lalu meninggalkan aku, Liong-te....! Dan aku.... aku merasa malu, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan, dan aku merana, aku bahkan tidak mau pulang walau pun aku tahu bahwa enci Hui merayakan pernikahannya. Aku adalah seorang manusia sampah.... membikin malu saja....”

“Bun-toako!” Terdengar suara Ceng Liong seperti membentak, menggeledek sehingga mengejutkan Ciang Bun. “Begitukah sikap seorang pendekar yang gagah perkasa? Begitu cengeng penuh dengan iba diri, merasa seolah-olah diri sendiri menjadi orang yang paling sengsara di permukaan bumi ini?”

Ciang Bun terkejut sekali. Baru sekarang ini dia mendengar orang bicara seperti itu kepadanya dan sepasang mata adik misannya itu mencorong menakutkan! Dan sikap Ceng Liong itu seketika menggugah semangatnya, seperti mengguncangnya dari tidur pulas dan mimpi buruk. Dia melihat Ceng Liong bangkit berdiri dan dengan sepasang mata bersinar memandang kepadanya.

“Bun-toako, bagaimana pun juga, apa pun juga yang terjadi atas dirimu, engkau harus berani menghadapi kenyataan! Katakanlah bahwa engkau mengalami atau menderita kelainan, yang berbeda dengan pria pada umumnya, akan tetapi bagaimana pun juga keadaanmu itu adalah suatu kenyataan dan segala kenyataan adalah benar dan tidak dapat diubah hanya dengan tangisan dan keluhan belaka!”

Kata-kata itu seperti tusukan-tusukan pedang yang terasa benar di hatinya, membuat Ciang Bun perlahan-lahan bangkit berdiri. Hiburan-hiburan baginya tiada artinya lagi. Akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulut Ceng Liong ini sama sekali bukan hiburan, melainkan pisau-pisau yang melakukan operasi membuka segalanya sehingga nampak olehnya, nampak olehnya kenyataan yang ada pada dirinya.

“Ceng Liong.... adikku.... engkau benar. Lalu.... lalu apa yang harus kulakukan, adikku?”

“Toako, aku bukan gurumu dan engkau bukan muridku. Kalau engkau hanya mengekor saja pada pendapat orang lain, termasuk pendapatku, engkau akan terlibat pula dalam pertentangan batin, akan diputar-putar antara rasa benar dan salah. Keadaan itu adalah keadaanmu sendiri, badanmu sendiri, dan hanya engkau sendiri yang dapat merasakan, maka engkau sendiri pula yang dapat menentukan baik buruknya, engkau sendiri yang bisa mengambil ketentuan, akan melanjutkan atau menghentikan. Mengertikah, toako?”

Ciang Bun mengangguk-angguk dan dia mulai memandang adik misannya itu dengan penuh kagum. Baru sekarang dia merasa semangatnya tergugah, tidak tenggelam di dalam kemurungan dan kekecewaan, tenggelam dalam perasaan yang nelangsa dan putus asa. Kini matanya seperti dibuka dan dia dipaksa berhadapan dengan kenyataan sesungguhnya yang ternyata tidaklah begitu mengerikan atau menakutkan seperti kalau dibayangkan. Keadaan dirinya bukanlah suatu keadaan yang sudah rusak sama sekali. Tidak! Benar Ceng Liong. Badan ini adalah badannya, berikut baik buruknya dan cacat celanya. Dialah yang berkuasa atas badan ini. Tidak sepatutnya kalau batinnya terseret dan tenggelam oleh keadaan badannya!

“Ahh, terima kasih, Liong-te, terima kasih. Kata-katamu merupakan minuman pahit akan tetapi sungguh bermanfaat sekali bagiku, seperti cambuk tetapi dapat menggugahku dari tidur nyenyak! Selama ini aku bersikap terlalu lemah dan baru nampak olehku sekarang!”

“Toako, keadaanmu itu sebenarnya tidak perlu diributkan benar. Kelainan pada dirimu itu tidak lebih dari kelainan dalam nafsu birahi atau nafsu kelamin belaka. Dan nafsu itu bukanlah satu-satunya urusan dalam hidup ini bukan? Lebih baik kita melupakan hal yang sudah lalu dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan setiap saat. Hanya kenangan lama saja yang menimbulkan gelisah dan duka. Mari kita bergembira, toako!”

Ciang Bun merangkul adik misannya itu kemudian memandang wajahnya dari dekat, memandang penuh kagum. “Ahh, tak kusangka adikku yang dahulunya seorang anak yang bengal itu kini menjadi seorang pemuda yang batinnya jauh lebih dewasa dari pada aku, dan baru sekarang aku melihat betapa diriku selama ini tersiksa oleh batinku sendiri. Batinku selalu tenggelam dalam keluhan dan kesengsaraan yang kubuat sendiri. Engkau memang benar. Hidup ini bukan hanya urusan nafsu birahi semata dan cintaku yang sudah-sudah itu hanyalah nafsu birahi belaka karena aku pun menyadari bahwa cinta kasih yang murni tidak membeda-bedakan dan tidak memilih-milih. Tetapi terus terang saja, adikku. Setelah aku mengetahui bahwa Gangga seorang gadis, dan aku mengamati perasaanku, aku hampir merasa yakin bahwa aku memang cinta padanya, tidak peduli dia itu pria atau wanita. Akan tetapi.... ahh, sudahlah. Ia tentu sudah benci kepadaku dengan perasaan muak dan jijik, pula, kalau kupikir-pikir lagi, seorang gadis sehebat dia itu memang tidak layak kalau menjadi sisihan seorang laki-laki sinting macam aku yang tidak lumrah pemuda biasa ini.”

Ceng Liong tersenyum. Ucapan itu nadanya bukan keluhan lagi dan wajah Ciang Bun tidaklah muram seperti tadi lagi.

“Toako, kalau ia membencimu, kalau ia merasa jijik dan muak, itu tandanya ia tidak cinta padamu. Dan dalam urusan jodoh, cinta haruslah ada di kedua pahak, bukan? Kalau hanya kita yang mencinta setengah mati akan tetapi sang gadis tidak, untuk apa dilanjutkan? Berarti hanya penyiksaan batin sendiri, bukan?”

“Cocok! Dan aku tidaklah begitu tolol membiarkan diriku tersiksa sendirian. Ha-ha-ha, engkau seperti dewa penolong yang menyingkirkan batu yang tadinya menindih hatiku, Liong-te.” Ciang Bun tertawa dan mungkin baru sekali inilah dia dapat tertawa dengan sepenuh hatinya semenjak dia ditinggalkan Gangga Dewi.

“Yang menyingkirkan adalah engkau sendiri. Orang lain atau aku tidak mungkin dapat menyingkirkannya, paling banyak hanya mampu membantu menunjukkannya saja. Nah, sekarang ceritakanlah, toako. Bagaimana engkau dapat berada di sini? Apakah engkau juga ingin menghadiri pertemuan antara para pendekar di tempat ini?”

Ciang Bun mengangguk-angguk dan kini dia bercerita dengan suara yang wajar dan bebas.

“Aku merantau tanpa tujuan dan aku membatalkan niatku menyusul ke Bhutan. Dalam perantauan itu aku mendengar berita angin bahwa para pendekar akan mengadakan pertemuan di Hutan Cemara ini, maka aku pun segera pergi ke sini.”

“Tahukah engkau, toako, apa yang akan dilakukan atau dibicarakan para pendekar dalam pertemuan di Hutan Cemara ini?”

Ciang Bun menggeleng kepala dan memandang wajah adiknya dengan alis berkerut. “Aku tidak tahu, hanya mendengar bahwa para pendekar akan mengadakan pemilihan seorang bengcu (pemimpin rakyat).”

“Para pendekar mengadakan pertemuan di sini untuk membicarakan urusan tanah air yang dijajah Bangsa Mancu, toako. Membicarakan tentang rencana perjuangan untuk memberontak dan membebaskan negara dan bangsa dari penjajah Mancu dan untuk itu agaknya memang akan diadakan pemilihan seorang bengcu yang akan memimpin gerakan itu.”

Sepasang mata Ciang Bun terbelalak. “Pemberontakan....? Para pendekar hendak melakukan pemberontakan....?”

“Kenapa kau terkejut, toako?” tanya Ceng Liong, teringat akan kekagetan hatinya sendiri ketika untuk pertama kalinya dia mendengar dari pendekar Sim Hong Bu. Dia ingin tahu akan isi hati dan perasaan kakak misannya ini mengenai pemberontakan menentang pemerintah Mancu ini.

“Kenapa pula tidak terkejut?” Ciang Bun balas bertanya. “Kita sama sekali tidak boleh mencampurinya kalau seperti itu maksud pertemuan para pendekar itu!”

“Kenapa, toako?”

“Engkau masih bertanya lagi kenapa, Liong-te? Jelas bahwa kita tidak mungkin dapat mencampuri urusan pemberontakan, apalagi ikut-ikut memberontak! Ingat saja kepada mendiang nenek Nirahai! Ingat saja kepada bibi Milana dan sekarang lebih lagi kalau aku mengingat bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Kao Cin Liong!”

Suma Ceng Liong menghela napas. Persis benar perasaan kakak misannya ini dengan perasaan hatinya sendiri saat untuk pertama kali dia membantah ayahnya dan pendekar Sim Hong Bu.

“Mula-mula aku pun berpendapat begitu, toako. Akan tetapi ayahku sendiri menyetujui rencana para pendekar itu. Setelah bercakap-cakap, aku pun dapat melihat kebenaran pendapat mereka yang hendak menentang pemerintah Mancu.”

Ceng Liong lalu menerangkan kepada kakak misannya tentang para patriot yang ingin membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajahan Mancu dan dalam perjuangan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan tidak dikenal kepentingan pribadi.

“Boleh jadi kaisar sekarang, walau pun seorang Bangsa Mancu, merupakan seorang kaisar yang baik, akan tetapi bagaimana pun juga baiknya, dia termasuk ke dalam alat dari bangsa asing yang menjajah bangsa kita. Dalam perjuangan ini kita tidak memusuhi pribadi-pribadi, dan juga kita bukannya berjuang untuk kepentingan pribadi, melainkan perjuangan rakyat terhadap penjajah.”

“Hemm, kalau begitu, engkau datang untuk ikut dalam pertemuan itu, berarti ikut pula merencanakan.... pemberontakan?” Ciang Bun bertanya, wajahnya menjadi agak pucat mendengar urusan yang amat gawat itu.

Ceng Liong tersenyum. “Toako, seperti juga engkau, dan kuharapkan juga seperti semua orang muda, aku pun tidak mudah puas menerima suatu pendapat begitu saja. Aku datang untuk melakukan penyelidikan, meneliti keadaan dan mengenal orang-orang yang hendak memimpin perjuangan itu, apakah benar-benar mereka itu adalah para pendekar-pendekar dan patriot-patriot sejati yang hendak menyumbangkan jiwa raga demi kepentingan bangsa, ataukah hanya segerombolan orang yang suka bertualang mencari keuntungan diri pribadi belaka.”

Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya perlahan. “Aku bingung, Liong-te. Aku tidak tahu apakah aku dapat mencampuri urusan pemberontakan. Semua terjadi demikian mendadak. Sebelum mendengar keteranganmu ini, aku bahkan sama sekali tak pernah membayangkan akan adanya rencana pemberontakan. Tetapi engkau benar. Sebelum mengambil keputusan, sebaiknya kalau aku pun melihat dan mendengar lebih dulu, menyelidiki dahulu dengan teliti.”

“Bagus, begitulah seyogianya, toako. Dan mengingat bahwa kita berdua adalah anggota keluarga Pulau Es, dan karena kita berdua masih ragu-ragu dan bermaksud menyelidik, lebih baik kalau kita berpencar. Sebaiknya kalau kita menyembunyikan nama keluarga kita agar tidak mudah dikenal orang. Bagaimana pun juga, semua pendekar tahu belaka bahwa keluarga para pendekar Pulau Es masih mempunyai hubungan, bahkan memiliki darah keluarga kaisar Mancu! Kenyataan ini tentu akan menimbulkan kecurigaan dan mendatangkan hal-hal yang mungkin tidak baik.”

Ciang Bun mengangguk, “Baik, adikku. Dan tempat ini kita jadikan tempat pertemuan kita. Kita akan berpencar dan melakukan penyelidikan sendiri-sendiri secara terpisah, kemudian pada malam harinya kita bertemu di sini dan membanding-bandingkan hasil penyelidikan kita.”

Dua orang kakak beradik misan ini kemudian saling berpisah meninggalkan bukit itu, mengambil jalan yang bertentangan.....

********************

“Huh, tikus-tikus macam kalian ini tidak patut menyebut diri pendekar-pendekar!”

Bentakan itu dikeluarkan oleh seorang gadis yang berdiri sambil bertolak pinggang, menghadapi tiga orang laki-laki yang menyeringai gembira. Pagi itu masih agak gelap, matahari masih terlampau rendah untuk dapat mengusir kegelapan yang ditimbulkan oleh pohon-pohon yang lebat dalam hutan itu.

Seorang gadis yang usianya antara delapan belas atau sembilan belas tahun. Tubuhnya padat ramping dan tingginya sedang. Pakaiannya sederhana, bukan saja potongannya melainkan juga terbuat dari kain kasar, akan tetapi justru pakaian sederhana ini bahkan menonjolkan kecantikannya dan keindahan bentuk tubuhnya. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dua dan digelung ke atas, tanpa perhiasan, hanya ditusuk dengan dua potong bambu sebesar sumpit.

Sepatunya dari bahan kulit, menutupi seluruh kaki sampai ke betis. Melihat sikap dan dandanannya, mudah diduga bahwa ia adalah seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan jauh, biasa menempuh dan menghadapi bahaya, seorang gadis kang-ouw. Namun tidak nampak sebuah pun senjata menempel di tubuhnya.

Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, apalagi pada saat ia sedang marah seperti itu. Cuping hidungnya yang kecil mancung itu dapat bergerak-gerak sedikit, dan mulutnya yang cemberut itu berbibir merah basah, tanda bahwa dia sehat dan segar. Kedua pipinya, pada tonjolan pipi di tepi bawah mata nampak merah sekali bagaikan diberi pemerah muka, padahal pipi itu merah asli seperti juga bibirnya.

Tiga orang laki-laki itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Biar dimaki oleh gadis itu, mereka tetap bergembira dan tersenyum-senyum genit. Dari pandang mata mereka, sikap dan bau mulut mereka, mudah diketahui bahwa mereka sedang mabok atau kebanyakan minum arak di pagi itu.

Sepagi itu sudah mabok, ini merupakan tanda orang-orang yang sudah menjadi hamba minuman keras. Dalam keadaan mabok seperti itu, biasanya orang tidak lagi sadar akan apa yang mereka lakukan, meniadakan sopan santun dan watak-watak asli mereka akan nampak keluar tanpa hambatan.

“Heh-heh, nona manis. Apa salahnya kalau kami mengajak engkau bersenang-senang di pagi hari yang sunyi dan sedingin ini? Ha-ha-ha!” seorang di antara mereka yang matanya sipit sekali berkata.

“Bercumbu sedikit tiada salahnya, nona. Kami para pendekar pun suka bermain cinta, hi-hi-hik!” kata orang ke dua yang hidungnya bengkok seperti hidung burung kakatua.

“Ha-ha-ha, benar, benar! Pendekar pun lelaki biasa yang suka bercanda dengan gadis cantik seperti engkau, nona. Dan tahulah engkau? Kedua pipimu begitu merah dan apa artinya kalau seorang gadis manis merah pipinya?” Orang ke tiga yang jenggotnya lebat berkata.

“Artinya?” sambung yang pertama. “Artinya gadis itu minta dicium pipinya, ha-ha-ha!”

Mereka bertiga tertawa bergelak, terbahak-bahak sambil memegangi perut.

“Ha-ha, akan tetapi jangan engkau yang mencium. Mukamu penuh brewok, kasihan ia akan mati kegelian,” kata pula yang sipit dan kembali mereka tertawa-tawa.

Gadis itu membanting-banting kakinya. “Keparat! Kalian bertiga ini pantasnya anggota gerombolan penjahat, sama sekali tidak pantas berada di tempat ini, di antara para pendekar yang mengadakan pertemuan. Kalau tidak ingat bahwa mungkin sekali kalian ini pendekar-pendekar yang tersesat dan bahwa sekarang akan diadakan pertemuan antara para orang gagah, tentu sudah kuhancurkan mulut kalian yang busuk itu!” Sambil berkata demikian, gadis yang menahan kemarahannya itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.

Akan tetapi, tiga orang itu menggerakkan tubuh mereka dan tahu-tahu mereka sudah berlompatan menghadang di depan gadis itu. Dari cara mereka bergerak melompat, dapat diketahui bahwa tiga orang pria ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang lumayan.

“Wah, wah, nanti dulu, nona!” kata yang bermata sipit, yang paling tua dan agaknya menjadi pimpinan di antara mereka.

“Kalian mau apa?!” bentak gadis itu dengan kemarahan yang hampir tidak dapat dia pertahankan lagi.

“Nona manis, engkau sungguh tidak adil. Kami bertiga bertemu denganmu, menjamah pun tidak, mengganggu pun tidak, hanya memuji-muji kecantikanmu. Untuk pujian itu, sudah sepatutnya kalau kami menerima hadiah. Sebaliknya, engkau memaki-maki dan menghina kami. Karena itu, tidak boleh engkau pergi sebelum kami menerima ganti rugi atas perlakuanmu yang tidak adil kepada kami.”

“Hemm, apa yang kalian kehendaki?”

“Tidak banyak, hanya masing-masing dari kami menerima satu ciuman saja darimu.” Si mata sipit menyeringai dan dua orang temannya mengangguk-angguk dengan jakun turun naik karena mereka sudah membayangkan betapa akan sedapnya menerima sebuah ciuman dari dara yang manis dan jelita ini.

Kini kemarahan dara itu tidak dapat ditahannya lagi. Mukanya menjadi merah dan matanya mencorong seolah-olah mengeluarkan api. “Keparat jahanam bermulut busuk! Sekali lagi, pergilah sebelum aku terpaksa menghajar kalian!”

“He-he-he, ia mau menghajar kita!” si mata sipit tertawa.

Dua orang kawannya tertawa pula. “Biarlah, dihajar oleh tangan yang halus itu aku siap! Sudah lama aku tidak diusap tangan halus.”

“Dan aku pun ingin dipijiti jari-jari mungil itu, heh-heh-heh!”

“Pergilah....!” Gadis itu menggerakkan tubuhnya dan kaki tangannya bergerak cepat sekali.

“Plak! Plak! Plak!” terdengar suara beberapa kali dan tubuh tiga orang itu terpelanting, dibarengi keluhan mereka.

Mereka terbelalak, masing-masing meraba pipi mereka yang menjadi bengkak oleh tamparan nona tadi. Yang membuat mereka terkejut adalah cepatnya tangan itu bergerak, sehingga berturut-turut mereka kena ditampar tanpa mereka dapat mengelak atau menangkis sama sekali. Dan karena tamparan itu memang membuat pipi bengkak dan muka panas, nyeri rasanya, ditambah lagi rasa malu karena sudah ditampar oleh seorang gadis muda, tiga orarg itu pun menjadi marah.

“Berani kau memukul kami?”

Mereka bangkit berdiri dan mengepung gadis itu, kemudian, sambil berteriak marah mereka mulai maju. Dari serangan mereka dapat dilihat bahwa mereka masih memiliki niat kotor sebab serangan mereka itu bukan pukulan, tapi cengkeraman-cengkeraman. Agaknya mereka itu ingin membalas tamparan si nona dengan cengkeraman untuk menangkap tubuh yang denok itu atau merobek pakaiannya!

Akan tetapi, mereka kecelik kalau mengira bahwa mereka berhadapan dengan seekor domba betina muda. Nona itu ternyata memiliki gerakan yang amat gesit dan dengan lincahnya tubuh yang ramping itu berloncatan ke sana-sini dan semua terkaman itu hanya mengenai angin belaka. Kemudian, kaki yang kecil itu bergerak tiga kali berturut-turut. Untuk ke dua kalinya, tiga orang setengah mabok itu terpelanting dan mengaduh-aduh! Si dara itu sama sekali bukan seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, melainkan seekor macan betina yang galak dan kuat.

Baru sekarang tiga orang itu sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang dara yang lihai. Akan tetapi, dasar mereka memang memiliki watak yang buruk, mereka tidak menyadari kesalahan mereka, sebaliknya dengan penuh kemarahan ketiga orang itu bangkit lagi dan mereka mencabut senjata mereka, yaitu sebatang golok tipis dan dengan senjata di tangan mereka kini mengurung si dara dengan wajah bengis.

Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak nampak gentar menghadapi ancaman tiga orang laki-laki yang memegang golok itu. Bahkan dia berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang dan memandang dengan senyum simpul mengejek, akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Agaknya ia sama sekali tidak khawatir karena dalam dua gebrakan tadi saja gadis ini sudah yakin benar bahwa tiga orang lawannya hanya galak aksinya saja akan tetapi sesungguhnya merupakan gentong-gentong kosong yang nyaring suaranya.

“Hemm, kalian memang perlu dihajar lebih keras lagi agar bertobat!” katanya dengan senyum tak pernah meninggalkan wajah yang manis.

Tiga orang itu kini telah kehilangan selera mereka untuk menggoda dan berbuat kurang ajar. Sekarang yang ada di dalam benak mereka hanyalah membalas dan kalau perlu membunuh gadis yang telah membikin malu mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat mereka terpelanting roboh tadi.

“Haiiiittt....!”

Si mata sipit sudah menerjang dengan gerakan goloknya yang membentuk gulungan sinar terang. Dua orang temannya agaknya tidak mau ketinggalan dan dari kanan kiri mereka pun menyerang dengan golok mereka. Sungguh tiga orang ini tidak tahu malu, menyerang seorang gadis bertangan kosong dengan golok mereka secara keroyokan seperti itu.

Tapi gadis itu sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar golok. Tiga orang itu menjadi semakin bernafsu ketika golok mereka membabat udara hampa saja dalam penyerangan pertama mereka. Maka mereka lalu menyusulkan serangan-serangan berikutnya yang datang dengan bertubi-tubi.

Gadis itu tetap mengelak ke sana-sini mencari kesempatan untuk membalas dan kurang lebih sepuluh jurus kemudian, mendadak dia mengeluarkan suara melengking nyaring sekali. Tiga orang pengeroyoknya terkejut, sejenak seperti menjadi lumpuh oleh suara yang menusuk telinga dan menyayat perasaan hati mereka itu. Dan pada saat itulah si gadis lihai menurunkan tangan membalas.

Tiga kali dia memukul dan tiga orang itu roboh berpelantingan sambil mengaduh-aduh dan golok mereka terlepas dari tangan kanan karena lengan kanan itu seketika lumpuh dan pundak mereka nyeri. Kiranya gadis itu tadi memukul ke arah pundak kanan dan membuat tulang pundak mereka remuk. Tentu saja lengan itu langsung menjadi lumpuh seketika.

“Hemm, aku masih mengampuni nyawa kalian, dan mudah-mudahan pelajaran ini membuat kalian bertobat!” kata si gadis dengan kata-kata yang tegas.

Akan tetapi, pada saat itu bermunculan belasan orang dikepalai oleh dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan yang memegang sebatang tongkat baja. Melihat tiga orang yang mengaduh-aduh itu, belasan orang ini lantas mengurung si gadis yang memandang dengan sikap tenang namun waspada. Dua orang kakek itu menghampiri tiga orang yang terluka, lalu menggunakan jari tangan mereka menotok beberapa jalan darah dekat pundak untuk mengurangi rasa nyeri. Kemudian mereka bangkit lagi dan menghadapi si gadis yang berdiri dengan sikap tenang itu.

“Nona, siapakah engkau yang begitu berani melukai tiga orang murid kami?” seorang di antara mereka bertanya. Sikapnya tenang dan angkuh, seakan-akan sikap seorang locianpwe kepada seorang yang tingkatannya lebih muda dan rendah.

Melihat jubah putih dari dua orang tosu itu dan gambar bunga teratai putih di atas dasar biru bundar di dada, gadis itu mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara halus akan tetapi mengandung nada mengejek. “Siapa adanya aku tidak perlu dibicarakan, akan tetapi jika tidak salah, ji-wi adalah orang-orang Pek-lian-pai yang sangat terkenal, bukan? Tiga orang yang menjadi murid ji-wi itu adalah anggota-anggota Pek-lian-pai. Akan tetapi mengapa mereka bersikap bagaikan penjahat-penjahat rendah yang suka mengganggu wanita? Apakah memang para murid Pek-lian-pai diajar untuk kurang ajar terhadap wanita?”

Wajah dua orang kakek itu berubah merah dan tosu ke dua yang bertubuh gemuk pendek menghentakkan tongkatnya di atas tanah.

“Siancai, nona muda bermulut lancang! Mana mungkin murid-murid kami melakukan hal yang rendah? Akan kutanya mereka!” Dia lalu menoleh kepada tiga orang yang masih menyeringai itu. “Coba katakan, apakah benar kalian mengganggu wanita? Hayo jawab sebenarnya!”

Si mata sipit yang mewakili dua orang kawannya cepat menjawab. “Sama sekali tidak, susiok! Kami mana berani mengganggu wanita? Kami bertemu dengan nona ini dan karena merasa bahwa di antara kami dan nona ini terdapat persamaan paham, kami menganggapnya sebagai seorang sahahat dan kami menyapanya. Akan tetapi ia marah-marah dan memaki-maki kami, bahkan lalu menyerang dan melukai kami.”

Tosu pendek gendut itu kembali memandang gadis itu dengan alis berkerut. Akan tetapi gadis itu telah mendahuluinya dan berkata sambil tersenyum mengejek.

“Aku mendengar bahwa Pek-lian-pai mempunyai dasar Agama Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) yang menjadi cabang dari Agama To-kauw. Mengambil gambar teratai putih untuk menunjukkan bahwa Pek-lian-pai putih bersih. Akan tetapi siapa kira, murid-muridnya selain pemabok-pemabok dan pengganggu wanita, juga adalah pembohong-pembohong besar dan pengecut, yang tidak berani mengakui kesalahan dan tidak mau mempertanggung jawabkan perbuatan mereka!”

Si tosu gendut itu marah. Matanya terbelalak dan tongkatnya digerakkan melintang di depan dadanya. “Hemm, engkau ini bocah perempuan lancang mulut dan sombong, agaknya mengandalkan sedikit kepandaian untuk menghina Pek-lian-pai! Majulah, pinto hendak melihat sampai di mana kelihaianmu.”

Setelah berkata demikian, kakek gendut itu menancapkan tongkatnya di atas tanah dan dia menerjang maju, mengirim tamparan ke arah pundak gadis itu. Bagaimana pun juga, sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, dia merasa malu kalau harus menghadapi seorang gadis remaja dengan senjatanya. Ketika menyerang pun dia hanya menampar pundak karena tidak bermaksud mencelakai, melainkan hanya memberi hajaran saja kepada gadis muda yang dianggapnya sombong dan keterlaluan telah berani melukai tiga orang murid Pek-lian-pai itu.

Agaknya kakek ini merasa yakin bahwa tamparannya itu tentu akan berhasil, karena bukan tamparan biasa, melainkan jurus ilmu silat Pek-lian-pai yang lihai, tamparan yang dilanjutkan dengan cengkeraman dan dilakukan dengan amat cepat, juga mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat.

Akan tetapi kakek gendut itu kecelik. Dengan gerakan indah namun cepat sekali, juga dilakukan seenaknya, dengan merendahkan tubuh dan miring lalu menggeser kaki ke belakang, gadis itu telah mampu menghindarkan serangannya itu dengan amat baiknya. Hal ini membuat si tosu penasaran. Kakinya melangkah ke depan dan dia mengirim serangan ke dua. Kakinya menendang ke arah lutut, dilanjutkan cengkeraman ke arah pundak dengan tangan kiri dan totokan jari tangan kanan ke arah leher. Sungguh merupakan serangkaian serangan yang amat berbahaya!

Kembali kakek itu kecelik. Dengan gerakan tubuh yang amat lincah, gadis itu dapat menghindarkan diri pula dengan sangat baiknya dan tiga serangan beruntun itu pun semua hanya mengenai tempat kosong belaka. Setelah lewat belasan jurus serangan yang semua dapat dihindarkan gadis itu dengan elakan yang lincah, tiba-tiba ketika kakek itu menghantamkan tangan kanannya dari atas ke arah gadis itu karena dia pun sudah mulai penasaran dan kini menyerang sungguh-sungguh, gadis itu mengangkat tangan kirinya menangkis.

Melihat ini, kakek Pek-lian-pai menjadi girang. Inilah yang diharapkan sejak tadi. Gadis itu terlalu lincah gerakannya sehingga sukarlah mengenai tubuhnya, seperti menyerang seekor kupu-kupu yang lincah saja. Tetapi kalau gadis itu menangkis, dia akan dapat menghajar gadis itu dengan beradunya kedua lengan. Biarlah gadis itu akan menerima hukuman dan tulang lengannya akan patah. Maka, melihat gadis itu mengangkat tangan menangkis, dia pun segera mengerahkan tenaga sinkang ke dalam lengan kanan yang ditangkis.

“Dukkk....!”

Dua lengan bertemu dan kakek itu terkejut bukan main karena pertemuan lengan yang diharapkan akan dapat mematahkan tulang lengan lawan atau setidaknya membuat gadis itu roboh, sebaliknya malah membuat dia terhuyung ke belakang dengan lengan terasa nyeri sekali. Ada semacam tenaga aneh yang amat kuat menangkis tenaganya dan tenaga itu bahkan mendorongnya sehingga tanpa dapat dipertahankannya dia terhuyung ke belakang.

“Totiang, apakah engkau masih juga hendak melanjutkan kesesatanmu?” Gadis itu membentak, kelihatan marah.

Dalam pertemuan tenaga yang membuat kakek itu terhuyung tadi, ia sama sekali tidak bergoyah, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dalam hal sinking pun gadis itu lebih lihai. Namun tosu gendut itu memang tidak tahu diri atau memang sudah nekat karena merasa malu untuk mengaku kalah. Dia meloncat ke belakang, mencari tongkat yang tadi menancap di tanah dan dengan tongkat melintang dia menerjang maju lagi. Tongkat itu membentuk gulungan sinar dan mengeluarkan suara angin mendesir ketika bergerak menyambar ke arah kepala gadis itu!

“Wuuuuttt....!”

Tongkat menyambar luput dan kini kakek ke dua yang tinggi kurus sudah ikut pula menyerang dengan tongkatnya, menusuk ke arah belakang lutut gadis itu dengan maksud merobohkannya. Gadis itu terkejut. Nyaris belakang lututnya tertotok, maka ia pun meloncat jauh ke belakang dan tangan kanannya bergerak ke arah pinggangnya. Nampak sinar keemasan menyilaukan mata dan gadis itu ternyata telah memegang sebatang suling terbuat dari emas yang indah sekali!

“Hemm, kalian tidak bisa diberi hati, harus dihajar. Majulah!” Gadis itu kini menantang.

Dua orang kakek itu pun merasa penasaran sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-pai, masa saat menghadapi seorang gadis remaja saja tidak mampu menang? Keduanya tak tahu malu lagi karena terdorong rasa penasaran untuk bisa mengalahkan gadis itu.

Akan tetapi sebelum bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda remaja berusia dua puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, berwajah ramah penuh senyum cerah. Pemuda ini segera menyelinap di antara mereka dan menghadapi dua orang kakek itu sambil mengangkat kedua tangan ke atas, lalu menjura dengan hormat.

“Ji-wi totiang harap sabar dulu. Harap ji-wi pikirkan baik-baik, apakah sudah cukup pantas kalau ji-wi melanjutkan perkelahian ini?” pemuda itu bertanya dengan suara lantang.

Melihat sikap pemuda ini yang mudah diduga tentu seorang pendekar, dua orang tosu itu merasa ragu-ragu dan si tinggi kurus bertanya. “Orang muda, mengapa engkau mencampuri urusan kami dan apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu tadi?”

“Ji-wi totiang adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai. Kedatangan ji-wi di tempat ini bersama anak buah ji-wi tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot yang akan diadakan di tempat ini, bukan?”

“Benar, lalu apa hubungannya dengan urusan kami menghadapi gadis jahat itu?”

“Totiang, harap jangan keliru menilai orang. Nona ini sama sekali bukanlah orang jahat, melainkan puteri dari pendekar sakti Suling Emas, Kam-locianpwe. Dia adalah seorang pendekar wanita yang lihai, dan tentu kehadirannya juga ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar patriot. Totiang, kalau pertemuan para pendekar dan patriot diawali dengan perkelahian antara kita sendiri, mana mungkin kita bersatu menghadapi pemerintah penjajah?”

Dua orang tosu itu kelihatan terkejut. Biar pun mereka belum pernah berkenalan atau berjumpa, akan tetapi nama besar pendekar sakti Suling Emas sudah pernah mereka dengar. Pantas saja gadis itu lihai bukan main....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es