KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-50
“Pouw-sute, engkaulah yang harus mengawasi supaya Louw-sicu memenuhi janjinya dan tidak membawa kitab itu keluar dari ruangan perpustakaan, bergilir dengan murid keponakanmu.”
Tosu itu mengambil sebuah genta dan membunyikan genta itu. Terdengar suara nyaring berkeloneng dan tak lama kemudian dari pintu belakang muncullah seorang gadis yang berpakaian ringkas dan membawa pedang di punggungnya. Gadis ini memakai pakaian ringkas sederhana, wajahnya tidak dirias, tanpa bedak dan gincu, bahkan rambutnya pun hanya digelung secara sederhana sekali.
Akan tetapi harus diakui bahwa gadis ini manis bukan main, dan tubuhnya padat dan ramping. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang manis dan juga kelihatan gagah dengan gerak gerik yang tangkas. Gadis itu maju dan berlutut di depan Hong Tan Tosu dan terdengar suara halus merdu dari bibirnya yang merah.
“Suhu memanggil teecu? Ada perintah apakah, suhu?”
Tosu tua itu tersenyum, agaknya bangga kepada muridnya yang selain manis juga amat berbakti ini. “Kui Eng, selama ini engkau belum pernah bertemu dengan susiok-mu (paman gurumu) Pouw Kui Lok karena ketika tiga tahun yang lalu dia datang, engkau sedang memperdalam ilmu di Kun-lun-san. Nah, ini dia, berilah hormat kepada paman gurumu.” Tosu itu menuding kepada Pouw Kui Lok yang memandang kagum kepada murid keponakannya yang baru sekali ini dilihatnya.
Gadis bernama Can Kui Eng itu bangkit dan menoleh kepada Pouw Kui Lok. Biar pun ia seorang gadis dewasa dan paman gurunya itu ternyata masih muda, namun ia tidak kelihatan canggung atau malu-malu. Sambil tersenyum sopan dia memberi hormat kepada Pouw Kui Lok.
“Pouw-susiok, terimalah hormatnya Can Kui-Eng, murid keponakanmu.”
Kui Lok cepat membalas penghormatan itu. “Ahh, kiranya suheng mempunyai seorang murid perempuan yang begini gagah. Dan sudah pernah digembleng di Kun-lun-san pula? Nona....”
“Susiok, seorang paman guru tidak menyebut nona kepada murid keponakannya.” Gadis itu memotong dan wajah Kui Lok menjadi merah. Biar pun usianya sudah dua puluh tiga tahun kurang lebih, akan tetapi pengalamannya terhadap wanita masih nol.
“Baiklah, Kui Eng. Dan perkenalkan ini adalah suheng-ku sendiri, akan tetapi bukan saudara seperguruan di Kun-lun-pai, melainkan dari guru yang lain, namanya Louw Tek Ciang.”
Kui Eng memberi hormat pula dan sepasang matanya yang bening itu memandang penuh selidik, lalu alisnya agak berkerut. Ada sesuatu pada pandang mata pria ini yang membuat dia merasa tidak enak dan gelisah. Tek Ciang menyambut penghormatan itu dengan senyum memikat.
“Kui Eng, engkau kupanggil dan kuberi tugas. Engkau bersama susiok-mu bertugas untuk menjaga dan mengamati agar supaya Louw-sicu bisa mempelajari kitab Sin-liong Ho-kang dengan tenang di dalam kamar perpustakaan selama satu bulan. Dan kitab itu sama sekali tidak boleh dibawa keluar dari dalam kamar perpustakaan....”
“Sin-liong Ho-kang....?” Gadis itu terbelalak dan menatap wajah suhu-nya dengan penuh kekagetan dan penasaran. “Dia.... sicu ini hendak mempelajari ilmu larangan itu....? Tapi, tapi, suhu....”
“Kui Eng, sudahlah. Ini adalah urusan dan tanggung jawab pinto sendiri. Engkau tentu yakin bahwa semua keputusan yang pinto ambil sudah melalui pertimbangan yang matang. Mulai sekarang engkau tinggal melaksanakan tugas jaga bergiliran dengan susiok-mu, menjaga agar Louw-sicu ini memenuhi janjinya, mempelajari kitab itu hanya selama satu bulan dan sama sekali tidak boleh membawa kitab itu keluar dari dalam ruangan perpustakaan.”
“Baik, suhu! Akan teecu jaga agar dia tidak melanggar janjinya!” Ucapan yang bernada keras ini saja sudah membuktikan bahwa di dalam hatinya, gadis itu merasa tidak senang kepada Louw Tek Ciang, juga merasa tidak senang melihat betapa suhu-nya kini mengijinkan orang luar mempelajari ilmu larangan itu, padahal setiap orang murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajarinya. Tetapi Louw Tek Ciang menghadapi sikap gadis ini dengan senyum ramah saja.
Demikianlah, terhitung mulai hari itu, Tek Ciang mulai memasuki ruangan perpustakaan dan membuka-buka kitab kuno yang sudah kekuningan itu, mempelajari ilmu yang dinamakan Sin-liong Ho-kang. Ilmu ini berdasarkan kekuatan khikang yang keluar dari pusar, mengerahkan tenaga khikang ini melalui suara gerengan yang mengandung getaran amat kuatnya.
Ilmu ini serupa dengan ilmu Sai-cu Ho-kang dan sebagainya, kekuatan yang terkandung dalam gerengan dan auman binatang-binatang buas yang melumpuhkan korban hanya dengan suara gerengan dahsyat itu, akan tetapi Sin-liong Ho-kang ini lebih hebat lagi. Bukan hanya getaran hebat yang terkandung dalam gerengan dahsyat menggelegar, tetapi juga siapa yang sudah menguasainya dengan baik, akan dapat mengeluarkan suara dari jauh, mengirimkan suara dari jauh untuk dapat didengar oleh orang yang ditujunya saja tanpa didengar orang lain. Bahkan orang yang menguasai ilmu itu dapat mengeluarkan suara yang tinggi melengking sampai hampir tidak terdengar, akan tetapi semakin halus suara itu, makin hebatlah getarannya dan amat berbahaya bagi lawan!
Akan tetapi, Tek Ciang mendapatkan kenyataan bahwa untuk dapat menguasai ilmu ini secara sempurna, dibutuhkan waktu yang lama, sedikitnya setengah tahun! Maka dia pun segera mempelajari teori-teorinya saja untuk dilatih kelak. Memang dia licik dan cerdik.
Tahulah dia bahwa tosu tua itu sudah menggunakan akal. Pada lahirnya saja memberi ijin kepadanya untuk mempelajari ilmu itu, tetapi pada hakekatnya tosu itu berkeberatan. Buktinya dia hanya diberi waktu satu bulan, waktu yang hanya cukup untuk menghafal teori atau isi kitab. Juga larangan berlatih di luar kamar perpustakaan merupakan bukti bahwa tosu itu memang berkeberatan dia menguasai ilmu larangan itu karena untuk dapat berlatih, orang membutuhkan udara terbuka, bukan dalam kamar.
“Tua bangka sialan!” gerutunya, akan tetapi tentu saja Tek Ciang tidak menyatakan sesuatu kepada Kui Lok, apalagi kepada Kui Eng, gadis yang bertugas menjaga dan mengamatinya itu.
Penjagaan itu dilakukan secara bergilir oleh Kui Lok dan murid keponakannya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa Kui Eng memang seorang murid Kun-lun-pai yang lincah dan cekatan, memiliki ginkang yang mengagumkan dan ilmu pedangnya juga lihai. Jika Kui Lok hanya melakukan penjagaan untuk patut-patut saja karena tentu saja dia sudah amat percaya kepada Tek Ciang sehingga tidak berjaga dengan sesungguhnya, tidak demikian dengan gadis itu.
Kui Eng berjaga dengan sikap sangat waspada dan sungguh-sungguh, seolah-olah dia menganggap bahwa Tek Ciang seorang yang tidak dapat dipercaya dan amat perlu diawasi! Melihat sikap gadis ini, diam-diam Tek Ciang mendongkol sekali dan dia pun bersikap hati-hati, tidak berani melanggar janjinya terhadap ketua cabang Kun-lun-pai itu.
Kurang lebih sepuluh hari sudah Tek Ciang dengan tekun mempelajari ilmu dari kitab kuno itu, hanya meninggalkan ruangan perpustakaan tanpa kitab itu bila ada keperluan makan atau mandi dan ke belakang saja. Bahkan tidur pun ia lakukan di dalam ruangan itu!
Pada suatu malam pelajaran dalam kitab itu sudah sampai pada bagian cara berlatih menghimpun tenaga khikang yang harus dilakukan di udara terbuka, di bawah sinar bulan purnama! Dan malam itu kebetulan bulan sedang purnama, jadi sesungguhnya amat tepat untuk memulai latihan di luar kuil! Akan tetapi, hatinya merasa penasaran dan mendongkol sekali karena dia sudah terikat oleh janji dan pada malam itu, yang melakukan perjagaan adalah gadis yang amat tekun mengamatinya itu!
“Sialan....!” gerutunya dalam hati.
Kalau bukan gadis itu yang berjaga, tentu dia akan dapat menyelinap keluar barang satu dua jam untuk mempraktekkan ajaran di dalam kitab, yaitu cara menghimpun tenaga khikang di bawah sinar bulan purnama.
“Mengapa tidak?” Demikian hatinya berbisik. “Gadis itu, bagaimana pun juga hanyalah murid keponakan Pouw Kui Lok, masih amat muda dan kepandaiannya pun tak berapa tinggi.”
Pikiran ini membuat Tek Ciang mulai gelisah. Kalau dia dapat menggunakan ilmunya untuk menyelinap tanpa diketahui, atau membuat gadis itu tak berdaya untuk beberapa lama, misalnya dengan menotoknya pingsan, bukankah dia akan memperoleh banyak kesempatan untuk mencoba dengan latihan menghimpun khikang.
Tek Ciang memperhatikan sekeliling. Biasanya, gadis itu berjaga di luar perpustakaan, berkeliaran di sekitar kamar perpustakaan, terutama sekali di depan pintu, dan di depan jendela. Akan tetapi keadaan di sekeliling kamar itu kini sepi saja.
Dengan menahan napas, Tek Ciang dapat mengikuti setiap gerakan di luar kamar itu dengan pendengarannya yang terlatih. Sunyi. Tidak ada orang di luar kamar itu! Ke mana perginya gadis itu, pikirnya dan dia pun mulai bangkit dan berindap-indap ke jendela, mengintai ke luar. Sepi sekali dan cuaca amat indahnya, karena sinar bulan purnama membuat malam itu terang dan sejuk.
Setelah menyimpan kitab itu, Tek Ciang keluar dari dalam kamar perpustakaan. Dia tidak berani membawa kitab itu keluar sebelum dia yakin benar bahwa tidak ada orang melihatnya. Akan tetapi benar-benar sunyi, tidak nampak bayangan Kui Eng. Malam itu sudah menjelang tengah malam dan tentu penghuni lainnya sudah tidur. Ke manakah perginya gadis itu? Benarkah kali ini Kui Eng meninggalkannya dan tak mengawasinya?
Akan tetapi ketika dia keluar dari kuil, dia melihat dua bayangan berkelebat ke samping kuil di mana terdapat sebuah kebun dan ladang yang penuh dengan pohon-pohon buah dan tanaman sayuran. Tek Ciang merasa curiga karena gerakan dua orang yang amat cepat itu mengandung rahasia. Kalau orang Kun-lun-pai, kenapa harus menyelinap ke tempat gelap? Dia pun menggunakan kepandaiannya, menyelinap dan memasuki kebun itu sambil mencurahkan perhatian. Akhirnya dia melihat dua orang berdiri berhadapan di bawah pohon dan dia cepat menyelinap mendekati dan mengintai.
Kiranya seorang di antara mereka adalah Kui Eng! Dan gadis itu berada dalam pelukan seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan gagah. Tek Ciang tersenyum sinis. Hemm, pikirnya, kiranya gadis itu meninggalkannya untuk berpacaran di kebun ini! Akan tetapi, ketika dia mendengarkan percakapan mereka yang berbisik-bisik itu, dia tertarik dan lupa akan pertemuan mesra itu.
“Eng-moi, urusan ini tidak bisa ditunda lagi. Pertemuan rahasia itu akan diadakan dua minggu lagi di hutan cemara sebelah selatan kota raja. Dan engkau harus menghadiri bersamaku. Penting sekali, Eng-moi.”
“Aihh, Koan-koko, alangkah inginnya aku pergi bersamamu menghadiri pertemuan para pendekar patriot itu di sana. Memang sekarang inilah saatnya para pendekar harus membebaskan tanah air dari penjajah Bangsa Mancu! Akan tetapi, ahhh.... orang she Louw yang menjemukan itu....!”
“Siapa? Mengapa? Apakah yang terjadi sehingga engkau begini lama bertahan di kuil suhu-mu ini?”
“Tanpa kusangka-sangka, datang susiok-ku bersama seorang temannya di kuil ini dan dia oleh suhu diperbolehkan untuk mempelajari Sin-liong Ho-kang selama satu bulan. Dan aku diberi tugas mengawasinya supaya dia tidak melatih ilmu itu di luar ruangan perpustakaan. Aku tidak dapat meninggalkan tugas ini dan baru berjalan dua belas hari, masih delapan belas hari lagi....”
“Kalau begitu akan terlambat!”
“Harus bagaimana, koko, aku tidak mungkin dapat meninggalkan tugas ini. Dan berterus terang kepada suhu juga berbahaya. Sudah kukatakan kepadamu bahwa Kun-lun-pai masih bersikap ragu-ragu, belum mau menyambut rencana pemberontakan para patriot yang hendak mengenyahkan para penjajah itu.”
Mendengar suara gadis itu yang demikian kecewa dan berduka, si pemuda kemudian mendekap dan mencium pipinya dengan mesra, dengan sikap menghibur. “Sudahlah, Eng-moi, tidak perlu engkau berduka. Biarlah aku yang akan menghadiri pertemuan itu dan kelak kusampaikan semua hasilnya kepadamu. Juga masih ada tugas untukmu dari kawan-kawan. Biar pun engkau tidak akan dapat menghadiri pertemuan itu, akan tetapi biarlah kuserahkan tugas yang lebih penting lagi kepadamu, setelah engkau bebas dari tugasmu di sini.”
“Tugas apakah itu, koko?” Si gadis nampak bersemangat.
“Begini....” Suara itu kini bisik-bisik perlahan, akan tetapi masih dapat tertangkap oleh pendengaran Tek Ciang yang amat tajam. “....ini ada satu surat untuk Gan-ciangkun, seorang panglima yang mendukung para patriot. Surat ini membujuk Gan-ciangkun untuk mencari akal guna menarik jenderal Muda Kao Cin Liong menjadi sekutu kita, atau kalau pun dia menolak, agar dicarikan akal supaya jenderal itu dapat dienyahkan. Sebab, selama ia masih mendukung kaisar, gerakan kawan-kawan kita akan terhalang. Nah, surat ini penting sekali, bukan? Dengan begitu, biar pun engkau tidak dapat hadir dalam pertemuan itu, tugasmu ini bahkan lebih penting lagi.”
“Aihh, Koan-ko.... tapi.... tapi aku.... tugas ini demikian besar dan aku.... ihhh, gemetar tanganku dan berdebar jantungku, apakah kau pikir aku.... cukup berharga untuk tugas sepenting itu?”
Kembali pemuda itu menciumnya, lalu melepaskan pelukannya, mengambil sesampul surat kemudian menyerahkan sampul panjang itu kepada Kui Eng. “Sudahlah, Eng-moi. Engkaulah orang yang paling tepat untuk menyampaikan surat itu. Tidak akan ada orang lain mencurigaimu, dan sekarang kita harus berpisah....”
“Koan-ko, baru saja kita bertemu.... aku masih rindu....”
“Ssttt, sayang, bersabarlah. Kita telah berjanji akan menikah jika perjuangan ini selesai bukan? Nah, selamat tinggal dan simpan baik-baik surat itu.” Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu berkelebat dan lenyap di balik bayangan pohon-pohon.
Kui Eng menoleh ke kanan kiri, lalu menyimpan surat di balik bajunya dan pergi dari situ. Ketika dara ini tiba di luar ruangan perpustakaan dan menjenguk dari jendela, dia melihat Tek Ciang masih sibuk membaca kitab!
Ketika ia hendak meninggalkan jendela itu, Tek Ciang menoleh dan sambil tersenyum berkata, “Nona, masuklah sebentar.”
Kui Eng mengerutkan alisnya. Dia menaruh curiga kepada orang yang sinar matanya berkilat dan kalau memandang kepadanya jelas membayangkan nafsu dan kurang ajar itu. Beraninya orang ini menyuruh ia masuk!
“Ada urusan apakah?” tanyanya dari luar jendela sambil memandang tajam.
“Masuklah, nona, aku mengetahui sesuatu yang sangat penting tentang Koan-kokomu itu!”
Wajah yang manis itu seketika menjadi pucat, lalu merah dan tanpa banyak bicara lagi sekali loncat ia sudah melayang masuk ke ruangan itu melalui jendela yang terbuka, berdiri di depan Tek Ciang dengan kedua tangan bertolak pinggang. “Apa kau bilang? Koan-koko siapa yang kau maksudkan itu?”
Tek Ciang bangkit berdiri menghadapi nona itu sambil tersenyum lebar. “Nona manis, tidak perlu berpura-pura lagi. Lebih baik kau serahkan saja surat untuk Gan-ciangkun itu kepadaku!”
Seketika wajah gadis itu menjadi pucat dan di lain saat dara itu sudah mencabut pedang dari punggungnya. Akan tetapi, baru saja pedang tercabut, tubuhnya sudah terkulai lemas karena secepat kilat Tek Ciang sudah mendahuluinya, menotok jalan darahnya membuat Kui Eng roboh lemas tak mampu berkutik lagi.
Tek Ciang menyambut pedangnya sebelum senjata itu jatuh ke atas lantai dan dia pun menotok jalan darah di leher gadis itu untuk mencegah gadis itu mengeluarkan suara. Lalu direbahkannya tubuh gadis itu ke atas lantai. Kui Eng tidak pingsan, hanya tidak mampu bergerak, tidak mampu bersuara. Gadis itu hanya memandang saja ketika jari- jari tangan yang nakal itu membukai kancing bajunya dan nampaklah sampul surat panjang itu di atas buah dadanya yang tidak tertutup lagi. Tek Ciang mengambil sampul surat itu sambil tersenyum lebar dan cepat memasukkan sampul surat itu ke dalam saku jubahnya.
“Hemm, nona manis, engkau dapat bicara apa lagi sekarang? Engkau pemberontak hina, ya?” Dan secara kurang ajar sekali, bukan karena tertarik melainkan karena ingin menggoda dan menghina gadis itu, tangannya menggerayangi tubuh orang.
Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan Kui Lok telah berdiri di situ dengan mata terbelalak melihat Tek Ciang tengah jongkok di dekat tubuh Kui Eng yang bajunya telah terbuka sehingga nampak dadanya.
“Louw-suheng, apa.... apa artinya ini....?” Dia begitu kaget dan heran sehingga sukar mengeluarkan kata-kata.
“Sute, nanti saja kuceritakan. Ia terluka, yang penting sekarang kita harus mengobatinya lebih dulu. Penjahat datang melukainya dan aku hanya berhasil mengusir penjahat itu. Lekas kau periksa nona Kui Eng, sute....”
Pouw Kui Lok terkejut sekali mendengar itu dan kecurigaannya terhadap suheng-nya itu lenyap. Dengan penuh kekhawatiran dia berjongkok dan memeriksa tubuh keponakan muridnya dengan teliti. Akan tetapi hatinya lega mendapat kenyataan bahwa Kui Eng tidak terluka, hanya merasa heran bukan main karena ternyata gadis itu lumpuh dan gagu karena tertotok. Kui Lok mengerahkan tenaganya hendak menotok dan mengurut leher dan punggung gadis itu agar totokannya terbebas. Akan tetapi pada saat itu ada angin menyambar dahsyat dari belakang kepalanya.
“Wuuuttt.... crettt....!” Jari tangan yang amat kuat itu menyambar dan menusuk ke arah tengkuk Kui Lok.
Kui Lok terkejut sekali dan berusaha mengelak, akan tetapi karena pada saat itu dia sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada murid keponakannya yang sedang dia coba untuk membebaskan totokannya, dan karena serangan itu dilakukan secara tiba-tiba dari jarak sangat dekat, biar pun ia sudah mengelak, tetap saja jari tangan yang amat kuat itu menyambar dan mengenai bawah tengkuknya.
“Oughhh....!” Kui Lok hanya dapat mengeluarkan suara itu, kemudian terpelanting dan dan dia pun tak sadarkan diri.
Demikian hebatnya ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang tadi dipergunakan Tek Ciang untuk memukul sute-nya sendiri. Biar pun pukulan itu tidak mengenai sasaran dengan tepat, namun pukulan pada pangkal tengkuk itu mengguncangkan isi kepala dan pendekar Kun-lun-pai itu pun roboh pingsan.
Tek Ciang terpaksa memukul sute-nya karena dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi dari kenyataan tentang surat yang dirampasnya. Kini dia menghadapi keadaan yang amat gawat. Dia harus bertindak cerdik, pikirnya dan sepasang matanya bergerak liar ketika otaknya diperas untuk mencari akal agar dia dapat mengatasi kegawatan ini dengan selamat. Lalu nampak dia menyeringai kejam, kemudian dia pun mengayunkan lagi jari tangannya, dengan ilmu pukulan keji Kiam-ci dia menotok ke arah pelipis kepala Pouw Kui Lok.
Kelihatannya hanya perlahan saja totokannya itu, akan tetapi tubuh Kui Lok terkulai karena pada saat itu juga dia telah tewas! Sungguh menyedihkan sekali bahwa seorang pendekar demikian gagahnya seperti Kui Lok terpaksa harus mati konyol, mati secara mengecewakan sekali di bawah tangan suheng-nya sendiri yang keji dan curang.
Setelah mendapat kenyataan bahwa sute-nya telah tewas, Tek Ciang menyeringai. Kini dia membalik kepada Kui Eng yang biar pun dalam keadaan tak berdaya, tidak mampu bergerak mau pun bersuara, tapi dapat menyaksikan semua peristiwa itu dengan muka pucat sekali. Kini manusia yang sudah seperti kemasukan iblis jahat itu menubruk.
Hati Kui Eng menjerit, namun tidak ada suara keluar dari mulutnya dan biar pun ia ingin meronta dan melawan, namun kaki tangannya lemas dan hanya mampu bergerak-gerak sedikit saja.
Terjadilah perbuatan yang amat terkutuk, perbuatan yang bagi Tek Ciang biasa saja karena dia pun sudah amat terlatih untuk melakukan perkosaan terhadan wanita-wanita semenjak dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok!
Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan hati Can Kui Eng yang dalam keadaan sadar namun tidak mampu bergerak ini menghadapi mala petaka yang menimpa dirinya. Ia diperkosa tanpa bisa bergerak maupun berteriak. Mala petaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Gadis itu tidak kuat menahan kehancuran hatinya dan ia pun pingsan. Hal ini lebih baik baginya karena ia tidak tahu atau merasakan lagi apa yang diperbuat manusia iblis itu terhadap dirinya.
Setelah selesai dengan perbuatan yang sangat terkutuk itu, Tek Ciang melanjutkannya dengan kekejaman yang lebih hebat lagi. Dia mencabut pedang gadis itu, menaruh gagang pedang dalam kepalan tangan kanan Kui Eng, kemudian dia memaksa tangan yang mengepal gagang pedang itu untuk menusukkan pedang ke dada sendiri.
Sungguh amat kasihan nasib gadis Kun-lun-pai itu. Baru saja dia mengalami perkosaan yang menghancurkan hati dan kini ia dipaksa untuk membunuh diri! Pedangnya sendiri, didorong oleh Tek Ciang, menusuk dan menembus dada sendiri. Darah bercucuran dan tubuh itu berkelojotan sedikit lalu rebah dan tewas. Baiknya gadis itu mengalami semua itu dalam keadaan pingsan sehingga mengurangi penderitaannya.
Tek Ciang menyeringai puas. Dia lalu membuka-buka pakaian yang menempel di tubuh jenazah Kui Lok, mengawut-awut rambut mayat itu sehingga keadaan pemuda itu bagai orang yang baru saja melakukan perkosaan. Tek Ciang sendiri telah merapikan pakaian dan rambutnya, dan setelah memeriksa lagi dengan teliti keadaan dua mayat itu, dia lalu berteriak-teriak sambil meloncat keluar ruangan perpustakaan.
“Tolong....! Pembunuhan....! Tolonggg....!”
Dia melakukan ini setelah menyambar kitab pelajaran Sin-liong Ho-kang, dan bersama surat dalam sampul untuk Panglima Gan di kota raja dia menyembunyikan di tempat aman, yaitu di balik baju dalamnya.
Teriakan-teriakannya itu mengejutkan semua penghuni kuil dan berserabutanlah para tosu berlari keluar dari kamar masing-masing. Juga Hong Tan Tosu sendiri nampak berlari-lari datang ke tempat itu. Dengan muka pucat Tek Ciang menutupi muka sendiri dan membiarkan para tosu itu melihat sendiri dua tubuh yang sudah menjadi mayat menggeletak di lantai kamar penpustakaan.
Tentu saja kematian Pouw Kui Lok dan Can Kui Eng amat mengejutkan mereka semua, terutama sekali Hong Tan Tosu. Kakek ini memandang dengan muka pucat sekali. Sute-nya telah tewas dan nampaknya tidak mengalami luka, sedangkan muridnya yang terkasih menggeletak mandi darah, dadanya tertembus pedangnya sendiri dan tangan kanannya masih memegang gagang pedang itu. Dilihat sepintas lalu saja jelaslah kalau gadis itu telah membunuh diri dengan pedang sendiri.
Dan melihat keadaan pakaian Kui Eng yang hampir telanjang bulat, dan pakaian Kui Lok yang setengah telanjang, tidak sukar diduga apa yang terjadi antara kedua orang itu. Inilah yang membuat Hong Tan Tosu pucat dan penasaran. Sute-nya berjinah dengan muridnya? Ah, dia tidak percaya akan hal itu. Sute-nya adalah seorang pendekar sejati, dan muridnya juga seorang murid yang sangat patuh. Akan tetapi, agaknya kenyataan menunjukkan demikian.
“Louw-sicu, apakah yang telah terjadi? Apakah yang terjadi dalam kamar ini?” Akhirnya dia menghampiri Tek Ciang dan mengguncang pundak pemuda yang masih menangis itu.
Dengan mata merah karena tangis, atau lebih tepat karena dia gosok-gosok dengan punggung tangan, Tek Ciang memandang tosu itu dengan muka sedih sekali. “Ahhh, totiang, bagaimana aku harus bercerita? Aihhh.... mengapa hal ini menimpa diri kami? Aku.... aku telah membunuh Pouw-sute yang kusayang.... Ahhh, totiang, kalau aku berdosa, silakan totiang menjatuhkan hukuman kepadaku....” Dia pun terisak menangis.
Tosu tua itu mengerutkan alisnya. “Siancai.... segala hal telah terjadi. Sebelum tahu apa yang terjadi dan apa sebabnya, pinto tidak dapat menghakimi. Ceritakanlah, apa yang telah terjadi di sini dan mengapa pula engkau membunuh Pouw-sute?”
“Totiang, sungguh aku masih merasa bingung dan tidak tahu mengapa sute tiba-tiba saja dapat melakukan semua itu seperti orang kemasukan setan! Karena aku merasa lelah setelah membaca kitab sejak pagi, aku pergi keluar untuk mencari hawa sejuk. Kitab kutinggalkan di atas meja dan aku pun berjalan-jalan di luar kuil, bahkan sampai ke luar dusun, sampai tubuh terasa segar kembali. Kurang lebih satu setengah jam aku pergi meninggalkan kuil. Ketika aku kembali, aku terkejut sekali melihat sute.... sute....” Dia berhenti dan menutupi muka dengan kedua tangannya.
“Siancai....! Lanjutkanlah, sicu dan kuatkan hatimu,” kata tosu tua itu hampir tidak sabar.
“Aku melihat dia.... dia sudah memperkosa nona Kui Eng! Begitu saja, di atas lantai kamar perpustakaan ini. Entah sebelum itu apa yang terjadi aku tidak tahu. Setahuku hanya bahwa mereka melakukan penjagaan seperti yang totiang perintahkan. Ah, masih ngeri dan bingung aku mengenang semua itu....”
“Lanjutkan, sicu. Lanjutkan....!” Hong Tan Tosu mendesak, sedangkan para tosu lain yang menjadi pengurus kuil juga ikut mendengarkan dengan muka pucat. Mereka tidak pernah menyangka bahwa peristiwa memalukan seperti ini akan dapat terjadi di kuil mereka. Suatu aib yang amat mencemarkan.
“Ketika aku datang, Pouw-sute sudah mengakhiri perbuatannya yang biadab itu. Tentu saja aku langsung menegurnya, akan tetapi dia malah marah dan menyerangku seperti orang gila. Totiang maklum betapa lihainya sute, maka aku pun terpaksa melayaninya dan pada saat itu, aku melihat nona Kui Eng mengeluarkan pedang dan membunuh diri. Melihat ini, aku menjadi marah sekali kepada sute yang masih menyerangku, maka aku pun lalu membalas serangannya dan akhirnya aku berhasil memukulnya roboh. Bukan niatku membunuhnya, akan tetapi.... ah, dia terlalu kuat untuk dapat dirobohkan begitu saja....”
Hong Tan Tosu menunduk dan memandang pada dua mayat yang masih menggeletak di situ. Di dalam hatinya dia meragukan kebenaran cerita Tek Ciang. Ingin dia berteriak untuk menyangkal, tidak percaya akan apa yang diceritakan mengenai perbuatan Kui Lok. Akan tetapi, apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, keadaan dua mayat itu, jelas merupakan kenyataan akan kebenaran cerita Tek Ciang.
Melihat keadaan pakaian mereka, dan melihat pedang yang menusuk dada Kui Eng sendiri sedangkan tangan gadis itu menggenggam gagangnya, merupakan bukti yang sukar untuk disangkal.
“Dan yang lebih mengejutkan hatiku, totiang, kitab Sin-liong Ho-kang yang tadinya aku tinggalkan di atas meja telah lenyap....”
“Apa....?” Kini tosu tua itu benar-benar terkejut dan pandang matanya kepada Tek Ciang penuh keraguan serta kecurigaan. “Sicu, harap engkau jangan main-main. Engkaulah yang selama ini membaca kitab itu! Mengenai muridku dan suteku, katakanlah ada buktinya sehingga ceritamu dapat pinto percaya. Akan tetapi hilangnya kitab Sin-liong Ho-kang, bagaimana cara membuktikannya bahwa benar-benar kitab itu hilang? Dan siapa yang akan dapat mengambilnya?”
Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia bangkit berdiri. “Totiang, aku bukanlah orang yang tidak mau bertanggung jawab. Aku yakin sekali bahwa kitab itu tentu ada yang mengambilnya, tentu sebelum aku kembali ke dalam kamar ini. Bahkan aku mempunyai dugaan yang amat menyakitkan hati.”
“Hemm, dugaan apakah?”
“Mau tidak mau aku harus menduga bahwa memang Pouw-sute telah kemasukan iblis, telah berubah sama sekali. Agaknya dia sendiri yang menyembunyikan kitab itu, lalu dia melakukan perbuatan terkutuk terhadap nona Kui Eng di kamar ini. Agaknya memang dia sengaja melakukan semua itu dengan maksud untuk menjatuhkan fitnah atas diriku, kemudian, dengan menuduh aku menyembunyikan kitab dan memperkosa nona Kui Eng. Untung aku datang terlebih dahulu sehingga memergoki perbuatannya yang laknat itu....”
“Louw-sicu! Jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap sute yang sudah tidak ada! Apa buktinya bahwa dia yang menyembunyikan kitab?”
“Memang kini tidak ada buktinya, totiang. Akan tetapi aku akan mencarinya, dan aku bersumpah bahwa aku akan menemukan kitab itu dan mengembalikannya kepadamu. Nah, selamat tinggal!” Tek Ciang lalu meloncat ke luar dan dalam sekejap mata saja dia pun lenyap dari situ.
Hong Tan Tosu ingin mencegah, tetapi dia maklum bahwa tidak ada di antara mereka yang akan mampu menyusul pemuda itu, apalagi menandinginya. Pula, apa alasannya untuk menahan Tek Ciang yang sudah bersumpah untuk mencari dan mengembalikan kitab? Dia pun hanya dapat menyesal dan berduka, lalu menyuruh anak buahnya untuk mengurus kedua jenazah.....
********************
Apa yang disampaikan pemuda tinggi besar yang menjadi pacar Kui Eng kepada gadis itu memang benar dan sudah menjadi rahasia para patriot yang hendak mengadakan pertemuan untuk mulai mengatur pergerakan mereka dan mengangkat seorang bengcu (pemimpin rakyat) agar perjuangan mereka dapat teratur dan tidak simpang siur.
Pemuda tinggi besar itu adalah seorang pendekar muda she Kwee dari perguruan Kong-thong-pai yang bertemu dan berkenalan dengan Kui Eng dalam perantauan, di mana keduanya secara kebetulan menghadapi dan menentang gerombolan perampok yang mengganas di sebuah dusun. Perkenalan itu disusul dengan rasa cinta kedua pihak.
Sebagai seorang pendekar muda yang penuh semangat mendukung gerakan para patriot yang hendak menumbangkan kekuasaan penjajah, sebentar saja Kwee Cin Koan, demikian nama murid Kong-thong-pai itu, memperoleh kepercayaan di antara para tokoh patriot dan karena itu, tidak mengherankan kalau dia menerima tugas menghubungi Gan-ciangkun melalui sepucuk surat. Dan tidak aneh pula kalau Cin Koan mengoperkan tugas itu kepada Kui Eng, kekasihnya yang agaknya tidak mempunyai kesempatan hadir dalam pertemuan para pendekar dan patriot. Tentu saja sama sekali pendekar ini tidak pernah membayangkan bahwa kekasihnya akan tertimpa mala petaka demikian hebatnya sampai menewaskannya.
Di sebelah selatan kota raja terdapat hutan-hutan yang cukup lebat, yang berkelompok-kelompok di sepanjang kaki Pegunungan Tai-hang-san, berbaris bagai benteng sebelah barat. Dan di antara hutan-hutan ini terdapatlah sebuah hutan yang berada di atas bukit, penuh dengan pohon cemara dan karena itu maka hutan ini dinamakan Hutan Cemara.
Hutan Cemara tidak begitu disuka oleh binatang-binatang hutan, karena selain kurang rimbun, juga cemara tidak menghasilkan sesuatu yang dapat dimakan, buahnya tidak, daun mau pun batangnya pun tidak. Karena itu hutan ini sunyi dari binatang, bahkan jarang terdapat burung-burung di situ, kecuali burung yang terbang lewat.
Hutan-hutan lain yang mempunyai tumbuh-tumbuhan liar dan lebat, dengan semak-semak belukar dan rimbun, penuh dengan binatang-binatang dan para pemburu juga lebih suka berkeliaran di dalam hutan-hutan liar ini untuk berburu binatang. Pencari-pencari kayu pun jarang memasuki hutan pohon cemara yang dibiarkan sunyi dan kering, jarang sekali nampak ada orang memasuki hutan ini.
Akan tetapi justru kesunyian hutan inilah yang membuat para patriot yang hendak mengadakan pertemuan memilih tempat ini. Tempat itu selain sunyi, juga jauh dari kota mau pun dusun. Dan di sekitar pegunungan itu terdapat banyak hutan liar di mana para pemburu suka berkeliaran sehingga kedatangan para pendekar di tempat seperti itu tidak akan menimbulkan perhatian.
Pada hari itu, tempat yang amat sunyi itu nampak ramai dengan hilir mudiknya orang-orang yang datang dari segala jurusan. Dan mereka ini adalah pendekar-pendekar dan orang-orang gagah, dapat dikenal dari pakaian dan sikap mereka. Ada pula yang berpakaian aneh-aneh dan nyentrik, berpakaian pertapa, sasterawan, bahkan ada yang berpakaian pengemis!
Biar pun di antara mereka belum terbentuk suatu perkumpulan dan belum teratur, akan tetapi mereka semua sudah maklum sendiri dan mereka datang ke tempat itu tidak secara berkelompok sehingga tidak menyolok mata dan tidak menarik perhatian. Dan rata-rata mereka berwajah gembira karena selain menghadiri suatu pertemuan antara patriot yang sehaluan, juga mereka itu mendapatkan kesempatan untuk saling kenal dan bertemu dengan tokoh-tokoh yang namanya sudah lama mereka kagumi.
Di antara banyak pendekar tua muda laki perempuan yang berdatangan ke tempat itu, kelihatan seorang pemuda berusia paling banyak dua puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa. Wajahnya selalu tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan dia kelihatan periang dan lincah jenaka. Tidak ada seorang pun di antara para pendekar yang mengenal pemuda ini dan memang tidak aneh karena pemuda ini adalah seorang tokoh baru yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw dan namanya masih belum dikenal orang banyak.
Akan tetapi kalau orang mengetahui siapa dia, tentu dia akan menjadi pusat perhatian karena pemuda ini adalah salah seorang keturunan Para Pendekar Pulau Es. Ia adalah Suma Ceng Liong, yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, bahkan telah pula digembleng oleh raja iblis Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun!
Para pendekar yang berdatangan ke hutan itu, ada yang bertemu dengan Ceng Liong dalam perjalanan, akan tetapi mereka tidak saling mengenal dan mereka hanya memandang kepada pemuda itu dengan kagum, menduga-duga siapa adanya pemuda yang wajahnya cerah akan tetapi memiliki pandang mata yang mencorong seperti mata naga itu.
Dan Ceng Liong yang selalu rendah hati, tidak mau mendekati mereka, segan kalau harus memperkenalkan diri karena dia tahu bahwa setiap orang pendekar setelah mendengar bahwa dia she Suma, tentu lalu mengaitkannya dengan keluarga Pulau Es. Apalagi kalau mereka tahu bahwa dia benar-benar cucu asli dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es, tentu pandang mata mereka berubah, penuh kagum, juga mengandung iri!
Semuda itu, karena memiliki kesadaran yang tinggi dan selalu waspada membuka matanya, Ceng Liong sudah dapat melihat kepalsuan-kepalsuan yang menguasai hati dan tindakan manusia tanpa disadari lagi oleh manusia.
Manusia semenjak dahulu telah mempunyai kebiasaan turun-temurun untuk membentuk gambar-gambar dari diri sendiri atau pun dari diri orang-orang lain. Penilaian-penilaian muncul dalam hati setiap orang terhadap orang lain, dan penilaian ini biasanya amat kuat dipengaruhi oleh keadaan orang yang dinilainya itu, kedudukannya, kekayaannya, kepintarannya, nama keluarganya atau namanya sendiri. Bahkan ada pula yang menilai seseorang hanya dari tindakannya pada suatu saat, tindakan yang langsung dirasakan akibatnya oleh yang menilai!
Tentu saja hal ini menimbulkan penilaian-penilaian palsu, menimbulkan sikap menjilat-jilat kepada yang dinilainya tinggi dan ada sikap memandang sebelah mata atau menghina kepada yang dinilainya rendah. Juga terdapat penilaian palsu terhadap seseorang yang melakukan satu perbuatan saja yang akibatnya langsung dirasakan si penilai. Kalau akibat perbuatan orang itu menguntungkan si penilai, maka orang itu dicap sebagai orang baik, dan kalau sebaliknya merugikan, dicap sebagai orang jahat. Dan penilaian ini biasanya membentuk gambar orang itu, gambar orang baik atau gambar orang jahat.
Tentu saja penilaian seperti ini palsu adanya. Baik buruknya seseorang tidak mungkin dinilai dengan hanya satu perbuatannya saja. Bahkan tak mungkin dapat dinilai melihat perbuatannya itu saja tanpa melihat latar belakang dan sebab perbuatan itu sendiri.
Sudah lajim bahwa pengaruh Im-yang menguasai hampir seluruh manusia di dunia ini, pengaruh ganda yang disebut baik dan buruk. Perbuatan yang dianggap baik dan buruk itu silih berganti dilakukan manusia, mungkin hari ini baik, mungkin juga besok buruk, mungkin hari ini pemarah dan besok menjadi ramah. Mungkin hari ini penuh kecurangan dan besok amat jujur atau sebaliknya. Karena kita sudah biasa menilai berdasarkan untung rugi kita, berdasarkan rasa senang tidak senang kita, maka akibatnya tidak ada sesuatu pun benda di dunia ini, yang mati atau yang hidup, yang hanya mempunyai satu sifat saja. Kesemuanya itu mempunyai sifat ganda, baik dan buruk, berguna dan tidak berguna.
Mengapa kita tidak berhenti saja menilai dan menghadapi segala sesuatu seperti apa adanya? Kalau batin kita bersih dari pada penilaian, maka kita baru dapat menghadapi siapa pun dengan hati dan pikiran bebas. Kita tak akan membeda-bedakan antara orang kaya atau miskin, pintar atau bodoh, berkedudukan tinggi atau rendah, menguntungkan atau merugikan lagi. Dan tidak ada pula sikap menjilat-jilat dan menghormat di samping sikap meremehkan dan memandang rendah.
Kalau kita sudah bebas dari pada penilaian, maka kita berhadapan dengan MANUSIA saja, tanpa embel-embel yang mengotori diri manusia itu dengan sebutan kedudukan, kekayaan, kehormatan, bangsa, agama dan sebagainya. Tanpa penilaian kita tak akan menciptakan gambaran-gambaran tentang diri sendiri mau pun manusia lain. Lenyaplah gambaran AKU yang selalu benar atau dia dan kamu yang selalu salah.
Mengapa kita tak berhenti saja menilai orang lain dan menujukan seluruh kewaspadaan ke arah diri sendiri, mengamati diri sendiri setiap saat sehingga nampak jelas oleh kita betapa pikiran menciptakan AKU yang selalu ingin senang, ingin menang, ingin benar. Dan melihat betapa pikiran yang penuh keinginan inilah yang dapat menjerumuskan kita sendiri, yang meniadakan dan merusak ketenangan hidup, yang meniadakan bahagia, yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antara manusia, menciptakan iri hati, cemburu, dengki dan dendam?
Karena hari pertemuan seperti yang ditentukan masih kurang dua hari lagi, Ceng Liong berjalan-jalan di sekitar tempat itu dan melihat-lihat keadaan. Selama ini timbul rasa ragu dalam hatinya. Meski dia sudah mendengar penjelasan ayahnya, juga penjelasan orang gagah Sim Hong Bu tentang perjuangan para patriot, tentang penjajahan negara dan bangsa oleh Bangsa Mancu, namun dia masih ragu-ragu apakah itu merupakan jalan yang benar kalau melakukan pemberontakan terhadap Kaisar Kian Liong. Dia teringat betapa tadinya para pendekar mendukung Kian Liong sebelum menjadi kaisar. Dan kini, sikap dan keinginan hendak memberontak terhadap kaisar ini sungguh masih agak sukar untuk diterima begitu saja.
Katakanlah memang benar bahwa kaisar itu suka berenang dalam kesenangan dengan wanita-wanita cantik. Katakanlah bahwa dia memiliki isteri dan selir yang jumlahnya banyak. Namun, apa hubungannya kelemahan pribadi ini dengan roda pemerintahan? Bagaimana pun juga, dia dapat mengerti bahwa pemberontakan yang benar adalah satu perjuangan yang mencakup seluruh nasib bangsa, menentang pemerintahannya, bukan karena kebencian pribadi. Jadi, bukan kelemahan pribadi kaisar itulah yang mendorong pemberontakan, melainkan karena pemerintahannya, yaitu pemerintah penjajah!
Betapa pun baiknya Kaisar Kian Liong, tetap saja dia seorang penjajah, seorang asing, seorang berbangsa Mancu yang menjajah Bangsa Han. Nampak olehnya kini betapa semua pejabat tinggi adalah orang-orang Mancu belaka. Memang ada pula orang-orang Han yang menduduki pangkat, namun kekuasaannya terbatas. Bahkan ada peraturan-peraturan dari pemerintah Mancu yang dianggap menghina bangsa pribumi, seperti keharusan mengenakan kuncir dan sebagainya. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk ikut menghadiri pertemuan itu, walau pun tetap saja hatinya diliputi keraguan.
Karena masih ada waktu dua hari, malam itu Ceng Liong berjalan seorang diri menjauhi Hutan Cemara yang dijadikan tempat pertemuan, menuju ke sebuah bukit kecil tak jauh dari situ. Malam itu terang bulan dan tempat yang sunyi dan indah itu menarik perhatiannya. Bagaimana pun juga keraguan hatinya, ingatan bahwa keluarga Pulau Es masih ada hubungan darah dengan keluarga kaisar Mancu, membuat hatinya terasa agak nelangsa dan dia ingin menyendiri.
Untung bahwa neneknya sudah meninggal, pikir Ceng Liong sambil berjalan menuju ke bukit kecil yang nampak dari jauh seperti diliputi cahaya emas dari sinar bulan purnama. Nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu, pikirnya. Andai kata neneknya itu masih hidup dan melihat dia, cucunya, kini turut menghadiri pertemuan orang-orang yang hendak memberontak terhadap kerajaan, apa yang akan dikata oleh neneknya itu? Ada perasaan malu terhadap neneknya itu ketika Ceng Liong teringat akan hal ini.
Mengapa manusia terpecah-pecah dan terpisah-pisah menjadi bangsa ini dan bangsa itu, beragama ini dan beragama itu, kelompok ini dan kelompok itu? Perpecahan dan pemisahan-pemisahan ini selalu menimbulkan pertentangan.
Setelah tiba di dekat puncak bukit itu, berjalan perlahan mendaki sambil menikmati pemandangan yang mentakjubkan di bawah bukit, tiba-tiba Ceng Liong mendengar sayup-sayup suara orang laki-laki bernyanyi. Dia mencurahkan perhatiannya kepada suara yang datang melayang dari puncak bukit itu dan dapat menangkap kata-kata nyanyian itu dengan jelas. Suara itu cukup merdu, akan tetapi di dalam suara nyanyian terkandung getaran orang yang sedang dirundung kedukaan atau kegetiran hati.
Masa bodoh bulan tak bersinar
Masa bodoh bintang tak berpijar
Asal kau cinta padaku!
Tak peduli burung tak menembang
Tak peduli bunga tak berkembang
Asal kau cinta padaku!
Masa bodoh bumi tak berputar
Tak peduli dunia akan kiamat
Masa bodoh matahari tak bercahaya
Tak peduli langit tiada awan
Asal kau cinta padaku, sayang
Asal kau cinta padaku!
Ceng Liong tertegun dan hatinya tersentuh keharuan. Ada sesuatu dalam nyanyian itu yang membuat hatinya terharu. Dia seperti dapat ikut merasakan betapa mendalam perasaan cinta menguasai hati penyanyi itu. Dan betapa suara itu mengandung getaran-getaran duka atau kekecewaan.
Hati Ceng Liong merasa terharu dan tertarik, maka dia pun menggerakkan kakinya. Dengan hati-hati ia mendaki bukit kecil itu mencari penyanyi itu. Akhirnya ia melihatnya. Seorang laki-laki yang duduk sendirian di puncak bukit, laki-laki yang sedang menatap bulan purnama seolah-olah kepada bulanlah dia tadi bernyanyi.
“Kak Ciang Bun....!” Ceng Liong berseru memanggil dengan gembira sekali ketika dia menghampiri orang yang sedang bersunyi sendiri itu dan mengenalnya. Biar pun laki-laki itu kini bukan pemuda remaja lagi, tidak seperti keadaannya sembilan tahun yang lalu, akan tetapi Ceng Liong masih ingat akan bentuk wajahnya yang tampan.
Laki-laki itu menoleh dengan kaget. Akan tetapi ketika dia melihat Ceng Liong, sejenak dia terbelalak, lalu meloncat berdiri, membalikkan tubuh menatap wajah Ceng Liong dengan ragu-ragu. Memang orang itu adalah Ciang Bun dan kini dia memandang kepada Ceng Liong dengan hati bimbang. Dia mengenal wajah Ceng Liong, akan tetapi perubahan yang terjadi atas diri Ceng Liong memang amat besar.
Ketika bertemu dengan adik misannya ini untuk yang terakhir kalinya, yaitu semenjak mereka berdua meninggalkan Pulau Es, Ceng Liong adalah seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Dan sekarang, Ceng Liong sudah menjadi seorang pemuda gagah perkasa, bertubuh tinggi tegap, berusia hampir dua puluh tahun!
“Kau.... kau....,” dia berkata ragu.
Ceng Liong melangkah lebar menghampiri sampai berada tepat di depan Ciang Bun, tersenyum lebar dan memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri. “Bun-ko, apakah engkau lupa kepadaku, adikmu Ceng Liong?”
“Ceng Liong....? Ahhh, Ceng Liong ....!” Ciang Bun maju dan merangkul.
Keduanya berangkulan dengan hati gembira bukan main. Ciang Bun menjadi demikian terharu sampai kedua matanya menjadi basah. Melihat ini, diam-diam Ceng Liong lalu merasa heran. Kakak misannya ini sampai kini masih saja memperlihatkan kehalusan perasaannya.....
Komentar
Posting Komentar