KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-49


“Locianpwe, maafkan kami....!” katanya terengah-engah.

Dia pun lalu melarikan diri sambil memanggul tubuh Tek Ciang. Mukanya pucat sekali, keringatnya bercucuran dan kedua kakinya menggigil. Hampir dia tidak kuat menahan, dan dia memaksakan diri lari meninggalkan tempat itu, diiringkan dua suara suling dan suara senandung itu. Untung baginya suara itu menghilang, tidak mengejarnya lagi dan ketika tiba di sebuah lapangan rumput di kaki bukit, Kui Lok tidak kuat lagi, roboh bersama Tek Ciang yang dipanggulnya dan dia pun pingsan!

Sementara itu, keluarga Kam dan murid mereka itu bangkit berdiri. Wajah Bu Ci Sian berwarna merah dan sepasang matanya berkilat. “Aku ingat sekarang! Pemuda pendek itu, bukankah dia yang dahulu datang menyerbu bersama Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok? Benar, dialah orangnya!”

Kam Hong seperti diingatkan. Tadi dia sudah merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing baginya. “Ahhh, benar. Dia murid Jai-hwa Siauw-ok dan agaknya dia merupakan cucu murid Ngo-ok yang mewarisi ilmu-ilmu Lima Jahat itu. Akan tetapi, bagaimanakah cucu murid Ngo-ok dapat menguasai pula ilmu-ilmu dari Pulau Es semahir itu? Dan dia pun jelas menguasai ilmu silat dari Lembah Naga Siluman! Bahkan kini datang mewakili keluarga Cu untuk menandingi kita.”

Bu Ci Sian mengerutkan alisnya. “Jelaslah bahwa keluarga Cu telah mencari dua jago muda itu, yang seorang malah murid Kun-lun-pai. Dua orang itu agaknya mereka didik untuk kemudian menjadi utusan mereka, mewakili mereka untuk menyerbu ke sini. Kita harus tangkap mereka!” Nyonya ini hendak melakukan pengejaran, namun suaminya mencegah.

“Tidak perlu dikejar. Mereka itu hanya utusan yang diperintah untuk menandingi kita, untuk mengalahkan aku. Kini mereka kalah dan melarikan diri, tidak ada alasannya untuk dikejar lagi.”

“Akan tetapi, mereka itu datang dari Lembah Naga Siluman dan aku khawatir sekali akan keadaan anak kita di sana. Bukankah Bi Eng berada di sana. Lalu apa yang terjadi dengan anak kita itu kalau keluarga Cu masih memusuhi kita?”

Kam Hong menarik napas panjang. “Melihat bahwa tiga tahun yang lalu, dua orang locianpwe she Cu itu datang ke sini untuk mengajak pulang Houw-ji, kurasa Bi Eng tidak tinggal di sana. Tentu terjadi pertentangan antara saudara Sim Hong Bu dan keluarga Cu. Dan aku yakin bahwa saudara Sim tentu bertanggung jawab atas keselamatan anak kita. Bahkan sekarang waktu tiga tahun yang kita janjikan dengan dia sudah lewat, kurasa tidak lama lagi tentu dia akan datang memberi kabar.”

Seperti biasa, Bu Ci Sian tunduk kepada keputusan suaminya dan walau pun hatinya mendongkol, namun ia bersabar dan mereka bertiga menanti berita dari Sim Hong Bu. Tentu saja mereka mempertajam kewaspadaan semenjak terjadi peristiwa itu agar pihak lawan yang berniat buruk tidak dapat mempergunakan kecurangan untuk mengganggu mereka.

Tek Ciang dan Kui Lok tidak lama jatuh pingsan di lapangan rumput itu. Ketika sadar kembali, Tek Ciang yang menderita luka dalam cepat duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni, mengobati luka di dalam dadanya sendiri. Kui Lok bersila di sampingnya, memulihkan tenaganya. Setelah rasa nyeri dalam dadanya mereda, Tek Ciang menarik napas panjang dan menyeka darah yang mulai mengering di sudut bibirnya.

“Keluarga iblis Kam yang keparat!” dia memaki gemas.

Kui Lok memandang kepada suheng-nya dengan alis berkerut. “Suheng, tahanlah rasa penasaran dan kemarahanmu itu. Aku sendiri merasa malu sekali terhadap keluarga Kam. Jelaslah betapa kita kelihatan jahat dan rendah dibandingkan dengan mereka. Kalau mereka menghendaki, betapa mudah bagi mereka untuk membunuh kita. Tadi, baru dengan suara suling saja mereka mampu mengusir kita dan membuat kita tidak berdaya sama sekali.”

Tek Ciang mengepal tinjunya. Tentu saja hatinya semakin penasaran dan dendamnya menebal. Dulu, ketika dia menyerbu bersama Jai-hwa Siauw-ok, dia sudah kalah dan terluka oleh keluarga Kam. Sekarang, setelah lewat tiga tahun dan digembleng ilmu oleh keluarga Cu, masih saja dia kalah dan kembali terluka. Sungguh memalukan dan menggemaskan.

“Aku masih belum mau menerima kalah! Sute, kita telah menerima budi besar keluarga Cu selama tiga tahun. Kalau untuk membalas budi itu mereka hanya minta kita untuk mengalahkan Kam Hong, kini sebelum hal itu terlaksana, mana kita ada muka untuk berjumpa dengan kedua orang suhu kita? Aku masih merasa penasaran. Kalau kita mengeluarkan semua ilmu kita, belum tentu kita kalah. Kita tadi hanya kalah oleh suara suling mukjijat itu.”

“Janganlah terlampau membesarkan kepandaian sendiri dan meremehkan kemampuan orang lain, suheng. Aku tahu bahwa kepandaian yang kau dapat dari pendekar keluarga Pulau Es amatlah hebat. Akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Kam itu pun memiliki ilmu silat tinggi yang sukar dikalahkan. Aku tadi heran, suheng. Ilmu silatmu banyak dan aneh-aneh, ini sudah kuketahui. Akan tetapi apa maksudnya ucapan isteri pendekar Kam itu? Ilmu pukulanmu dengan jari yang hebat itu.... benarkah seperti katanya tadi disebut Kiam-ci dan merupakan ilmu dari.... Ngo-ok? Benarkah engkau ada hubungan dengan tokoh-tokoh hitam yang terkenal seperti iblis itu?”

Tek Ciang tersenyum. “Tidak kusangkal, sute. Memang ilmu itu namanya Kiam-ci dan kudapat dari keturunan Ngo-ok. Akan tetapi tidak berarti bahwa aku memiliki hubungan dengan Ngo-ok yang sudah tiada. Memang aku suka sekali mempelajari segala macam ilmu silat, sute. Apa salahnya memperluas pengetahuan dengan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, dari mana pun datangnya? Sekali waktu akan berguna bagi kita. Kalau tadi mereka tidak menggunakan suara suling mukjijat itu, belum tentu aku kalah.”

Kui Lok menyangsikan kebenaran kalimat terakhir itu, akan tetapi dia enggan berbantah dengan suheng-nya, apalagi setelah mereka berdua menderita kekalahan. Dia tak mau menyinggung perasaan suheng-nya.

“Aku rasa ilmu itulah yang oleh suhu Cu Han Bu disebut sebagai ilmu meniup suling Kim-kong Sim-in yang harus kita hadapi dengan waspada. Tak kusangka suara tiupan suling akan sehebat itu. Kita sudah digembleng oleh suhu untuk menghadapi suara itu. Kalau hanya menghadapi suara suling yang tadi menyerang kita itu, cukup bagi kita mengerahkan sinkang untuk bertahan. Akan tetapi apa artinya kalau kita hanya selalu bertahan? Begitu kita menyerang, tenaga kita lalu membalik dan memukul diri sendiri, seperti yang kau alami tadi, suheng.”

Tek Ciang mengangguk-angguk, wajahnya muram, hatinya kesal. “Ah, kalau kita tidak dapat memperoleh ilmu untuk menandingi suara suling itu, habislah harapan kita untuk mengalahkan mereka, dan bagaimana kita mempunyai muka untuk menghadap suhu di Lembah Naga Siluman?”

Kui Lok merasa kasihan melihat kemuraman wajah Tek Ciang. Dia tahu akan rahasia hati suheng-nya ini. Dia tahu bahwa antara suheng-nya ini dan suci (kakak perempuan seperguruan) mereka, yaitu Cu Pek In, puteri guru mereka Cu Han Bu, yang kabarnya sudah menjadi janda karena ditinggal pergi suaminya, terdapat suatu hubungan yang amat erat dan akrab, bahkan mesra sekali.

Biar pun usia suci itu sudah hampir empat puluh tahun, akan tetapi suci mereka itu tetap cantik dan terutama sekali mempunyai kepandaian yang cukup hebat. Diam-diam dia menduga bahwa telah terjalin hubungan asmara antara keduanya itu secara gelap. Walau pun dia merasa tidak cocok, namun karena bukan urusannya, dia pura-pura tidak tahu saja. Hanya dia merasa heran bagaimana suheng-nya yang masih muda dan cukup tampan dan gagah itu dapat jatuh cinta kepada seorang wanita yang sepuluh tahun lebih tua.

Kini dia tahu betapa resah hati suheng-nya itu karena tugas yang hanya satu-satunya itu gagal. Suheng-nya tidak hanya merasa malu terhadap suhu-suhu mereka, melainkan terutama sekali malu terhadap kekasihnya atas kegagalannya.

“Suheng, aku sekarang teringat. Ketika masih belajar di Kun-lun-pai, suhu pernah bercerita tentang suatu ilmu yang mirip dengan suara suling dari keluarga Kam itu. Ilmu itu disebut Sin-liong Ho-kang (Ilmu Gerengan Naga Sakti). Akan tetapi ilmu itu dianggap sebagai ilmu yang berbahaya oleh para tokoh pimpinan Kun-lun-pai, dianggap sebagai ilmu yang kejam dan sesat sehingga tidak ada murid Kun-lun-pai yang diperbolehkan mempelajarinya.”

“Ahhh, sungguh sayang sekali. Kalau begitu berarti ilmu itu telah lenyap dari perguruan Kun-lun-pai!” kata Tek Ciang menyesal.

“Tidak, suheng. Sebetulnya tidaklah lenyap sama sekali. Ilmu itu masih disimpan baik-baik dalam ujud kitab, akan tetapi kitab itu selalu disimpan di dalam kamar pusaka dan tidak ada seorang pun murid yang boleh membuka atau membacanya. Dan biasanya, murid-murid Kun-lun-pai amat patuh karena sudah terikat oleh sumpah kami.”

“Ahhh, begitukah, sute? Jadi memang ada pelajaran itu, masih berupa kitab? Sute, maukah engkau bermurah hati kepadaku?”

“Maksudmu bagaimana, suheng?”

“Maukah engkau membawaku ke Kun-lun-pai dan minta ijin kepada ketua Kun-lun-pai agar mengijinkan aku mempelajari ilmu itu?”

“Hemm, rasanya sukar, suheng....”

“Sute, larangan itu hanya terbatas pada murid-murid Kun-lun-pai, bukan? Dan aku bukanlah murid Kun-lun-pai. Tetapi karena engkau seorang murid Kun-lun-pai tersayang dan kita sudah terikat persaudaraan, kalau kita menceritakan tentang kegagalan kita, mengingat pula hubungan baik antara gurumu dan para tokoh keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, kurasa akan banyak harapan aku akan diperkenankan mempelajarinya. Bukan untuk maksud keji, melainkan hanya untuk melawan suara suling keluarga Kam itu atau setidaknya mencari cara untuk mengatasinya.”

Kui Lok mengerutkan alis, lalu mengangguk-angguk. “Baiklah, akan kucoba. Kitab-kitab Kun-lun-pai aslinya memang berada di pusat Kun-lun-pai di pegunungan Kun-lun-san, amat jauh dari sini. Akan tetapi semua cabangnya mempunyai salinan-salinannya dan ada kulihat suhu memiliki juga salinan kitab ilmu Sin-Liong Ho-kang itu. Mari kita coba menghadap suhu dan mudah-mudahan saja permintaan kita akan dikabulkan.”

Tek Ciang merangkul sute-nya. “Ah, aku tahu bahwa memang engkau seorang saudara yang amat baik sekali, sute!”

Berangkatlah mereka menuju ke kuil Kun-lun-pai yang letaknya tidak berapa jauh dari situ, hanya perjalanan dua hari saja.....

********************

Seperti dapat dibuktikan di dalam catatan sejarah, pemerintahan Kaisar Kian Liong merupakan bagian yang paling gemilang dari masa Kerajaan Ceng, yaitu kerajaan penjajah Mancu atas seluruh Tiongkok. Harus diakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang semenjak mudanya pandai dan bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan.

Bahkan dia berhasil pula menarik simpati para pemuka rakyat dengan cara melebur diri menjadi seperti orang Han, bukan seperti orang asing yang menjajah. Ia memerintahkan semua pejabat untuk mempelajari kebudayaan rakyat, bersikap baik terhadap rakyat, akan tetapi di samping itu, dia juga menyiapkan pasukan yang kuat untuk menjaga kewibawaan pemerintahannya. Dia mempergunakan tangan besi bersarung sutera.

Akan tetapi, para pendekar bukanlah orang-orang yang bodoh semua. Di antara para pendekar ada yang tahu benar rahasia apa yang terjadi di balik semua kebaikan yang diperlihatkan kaisar itu. Pergolakan yang berkecamuk dalam hati para pendekar bukan hanya karena jiwa patriot yang memberontak melihat nusa bangsa dijajah oleh bangsa asing, melainkan juga disebabkan pula oleh ulah Kaisar Kian Liong sendiri.

Memang harus diakui bahwa Kaisar Kian Liong, sejak mudanya, sejak masih pangeran, suka bergaul dengan rakyat jelata sehingga ia amat populer di kalangan rakyat. Bahkan sejak ia masih pangeran, para pendekar selalu melindungi dan menjaga keselamatan pangeran yang dianggap sebagai calon kaisar yang baik dan menguntungkan rakyat jelata ini.

Tetapi di balik semua kebaikan yang memang harus diakui ada pada diri Kian Liong, dia memiliki suatu kelemahan, yaitu suka pelesir dan berhubungan dengan wanita-wanita cantik. Akan tetapi karena memang perangainya baik dan terdidik sebagai seorang sasterawan, dia tidak pernah mau mengganggu wanita baik-baik dengan kekerasan, tidak mau mempergunakan kedudukannya atau kekayaannya untuk memaksa wanita baik-baik menjadi kekasihnya. Dia lebih suka mengunjungi rumah-rumah pelacuran.

Tentu saja banyak pula gadis-gadis dan wanita baik-baik yang tertarik kepada pangeran itu, baik karena kedudukannya mau pun ketampanannya, yang menyerahkan diri tanpa paksaan. Maka tersiarlah berita bahwa Kaisar Kian Liong mempunyai banyak anak yang lahir dari wanita-wanita yang pernah berhubungan dengan dia pada waktu dia masih pangeran yang sempat berkelana dan bertualang itu.

Sejak masih pangeran, Kian Liong memiliki seorang kepercayaan yang memungkinkan dia sering pergi meninggalkan istana dan menyamar sebagai pemuda biasa, dan orang kepercayaannya ini pula yang memungkinkan dia mengunjungi rumah-rumah pelacuran dan berhubungan dengan pelacur-pelacur paling terkenal di kota raja dan kota-kota besar lainnya. Orang kepercayaannya ini adalah seorang thaikam (pelayan kebiri) yang amat cerdik, bernama Siauw Hok Cu.

Saat Kian Liong masih menjadi pangeran, di dalam istana sendiri terjadi suatu peristiwa yang kalau ketahuan orang luar atau kalangan istana sendiri tentu akan mendatangkan aib dan kehebohan. Akan tetapi, thaikam Siauw Hok Cu demikian pandai menjaga rahasia majikannya dan memang Pangeran Kian Liong sendiri amat cerdik sehingga peristiwa itu merupakan rahasia yang tidak pernah diketahui orang lain.

Peristiwa itu dimulai dengan pertemuan antara Pangeran Kian Liong yang pada waktu itu baru berusia delapan belas tahun dengan nyonya Fu Heng, kakak iparnya sendiri karena nyonya ini adalah isteri seorang pangeran yang menjadi kakak tiri Kian Liong terlahir dari selir.

Bertemu dengan nyonya yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini, Pangeran Kian Liong seketika jatuh cinta dan bahkan tergila-gila. Akan tetapi, karena nyonya itu adalah isteri kakak tirinya, tentu saja dia tak berani bersikap kurang ajar dan hanya menyimpan kerinduan hatinya itu di dalam dada saja.

Nyonya Fu Heng memang cantik jelita, kulitnya putih halus tanpa cacad, mukanya yang putih itu agak kemerahan tanpa alat kecantikan, mukanya bulat telur, dan sepasang matanya sipit akan tetapi lebar dan bagai sepasang bintang berkilauan. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak naik seperti menantang, dan terutama sekali mulutnya amat mungil, dengan bibir yang selalu kemerahan dan selalu basah dan segar. Dalam usianya yang tiga puluh tahun dan belum mempunyai anak, tubuh wanita ini penuh dan matang, dengan gerak gerik lembut penuh daya pikat yang amat kuat.

Hanya thaikam Siauw Hok Cu yang tahu akan penyakit rindu birahi yang menyerang majikannya, pada waktu Pangeran Kian Liong sering kali nampak termenung di dalam kamarnya atau di kebun bunga.

“Pangeran, harap paduka jangan banyak termenung berduka. Seekor kumbang takkan kehabisan akal untuk dapat menghisap madu kembang yang disukai dan dipilihnya.” Thaikam gendut itu menghibur sambil mendekati majikannya yang sedang duduk serta termenung pada suatu malam dalam taman bunga.

Pangeran Kian Liong mengangkat muka, memandang orang kepercayaan itu dengan heran dan bertanya, “Hok Cu, apa maksudmu? Jangan kau main-main!” Karena hatinya sedang kesal, kata-kata yang belum dimengerti maksudnya itu dianggap mengganggu hatinya.

Akan tetapi thaikam gendut itu tersenyum. Mukanya yang seperti muka anak-anak yang gendut dan sehat itu berseri, sepasang matanya menjadi semakin sipit sampai hampir terpejam. “Pangeran, hendaknya paduka mengetahui bahwa nyonya Fu Heng adalah sahabat baik sekali dari Sang Puteri Kim.”

Mendengar ini, Pangeran Kian Liong memandang dengan penuh perhatian. Dia kagum akan kecerdikan orang ini, yang agaknya sudah dapat menerka apa yang disusahkan. Puteri Kim adalah puteri istana yang juga menjadi saudara iparnya. Tetapi disebutnya nama nyonya Fu Heng jelas membuktikan bahwa orang kepercayaannya ini tahu akan isi hatinya.

“Kau tahu....?”

Thaikam itu mengangguk. “Jangan khawatir, hanya hamba seoranglah yang berhasil mengetahuinya.”

“Lalu, apa maksudmu mengatakan bahwa ia sahabat baik Puteri Kim?”

“Pangeran, sudah beberapa kali nyonya Fu menjadi tamu Puteri Kim, bahkan sampai bermalam selama satu dua hari. Biasanya, nyonya itu berkunjung atas undangan sang puteri dan keduanya bersantai di Taman Musim Semi!”

“Lalu, kalau begitu mengapa?” tanya sang pangeran yang masih belum mengerti apa yang dimaksudkan pelayan yang mukanya penuh senyum gembira itu. “Apa artinya Cang-cun-yuan (Taman Bahagia Musim Semi) itu bagiku?”

“Pangeran tentu ingin sekali bertemu berdua saja dengan nyonya Fu Heng, bukan?”

Wajah sang pangeran menjadi kemerahan. Bagaimana pun juga, memalukan sekali diketahui rahasia hatinya bahwa dia jatuh cinta kepada kakak iparnya sendiri! Tetapi orang ini adalah satu-satunya orang yang dipercayanya, maka dia pun mengangguk.

“Nah, kalau begitu hamba yang tanggung bahwa pada besok malam, paduka akan dapat menjumpainya seorang diri saja di taman itu.”

“Di Cang-cun-yuan? Bagaimana caranya?”

“Mudah saja, pangeran. Hamba akan membuat surat undangan atas nama Sang Puteri Kim, mengundang nyonya itu untuk berkunjung ke Taman Musim Semi. Nah, hamba akan menyogok para dayang di taman itu agar dapat diatur sebaiknya, mempersiapkan pertemuan antara paduka dan nyonya cantik jelita itu.”

Wajah sang pangeran berseri gembira. “Ahhh, engkau cerdik sekali. Kau lakukanlah itu, Hok Cu, kau lakukan itu, akan tetapi hati-hati, jangan sampai bocor dan awas, jangan gagal, karena ini menyangkut nama baik keluarga istana, kau tahu?”

“Tanggung beres, pangeran. Hamba jamin dengan nyawa hamba yang tidak berharga!”

Demikianlah, thaikam Siauw Hok Cu yang cerdik itu kemudian menjalankan siasatnya, membuat surat undangan atas nama Puteri Kim kepada Nyonya Fu Heng agar pada besok sore sudi datang berkunjung ke Cang-cun-yuan seperti biasanya dan kemudian mengirimkan undangan itu kepada nyona cantik itu.

Menerima surat undangan ini, Nyonya Fu Heng tidak menaruh hati curiga sedikit pun. Juga suaminya tidak menaruh curiga karena suami ini mengetahui betapa akrabnya hubungan antara isterinya dan adik tirinya. Bahkan isterinya boleh bermalam di taman itu bersama adik tirinya selama beberapa malam tanpa harus minta ijin lagi darinya.

Pada sore yang ditetapkan, berangkatlah Nyonya Fu Heng, seperti biasa melakukan perjalanan yang cukup melelahkan itu dari kota raja ke istana sebelah barat, di ujung barat kota. Perjalanan itu ditempuh dengan naik joli yang dipikul oleh empat orang yang dikawal beberapa orang pengawal saja.

Kunjungannya ke taman itu disambut beberapa orang dayang yang sudah dipersiapkan oleh thaikam Siauw Hok Cu! Para pemikul joli beserta pengawal diperkenankan pulang dengan pesan supaya besok sore dijemput karena nyonya itu akan bermalam di situ. Kemudian para dayang yang sudah dipengaruhi thaikam Siauw Hok Cu, mengantar nyonya cantik itu ke dalam pondok mewah dan dipersilakan untuk mandi karena Puteri Kim akan datang, dalam waktu satu dua jam lagi.

Nyonya Fu Heng baru saja melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, maka begitu ditawari mandi, dia menerimanya dengan gembira. Bangunan kecil di antara pohon-pohon bambu indah itu amat romantis dan mendatangkan rasa gembira dalam hatinya. Nyonya itu lalu dibawa oleh para dayang ke dalam kamar mandi dan mandilah Nyonya Fu Heng, dibantu oleh para dayang. Setelah selesai mandi, para dayang memberikan sebuah kimono yang halus terbuat dari sutera yang tembus pandang dan meninggalkan nyonya itu di dalam sebuah kamar yang indah dan mewah.

Nyonya Fu sudah mengenal baik kamar ini. Biasanya dia memang bermalam di dalam kamar ini bersama adik suaminya, yaitu Puteri Kim kalau ia berkunjung ke sini. Kini, sambil menunggu datangnya adik itu, dia duduk menghadapi cermin besar, mengurai rambutnya yang hitam panjang itu dan mulai menyisiri rambutnya yang harum lembut.

Sunyi sekali keadaan di bangunan itu dan cuaca mulai remang-remang. Tiba-tiba daun pintu yang menembus ke ruangan belakang, terbuka dari luar. Nyonya Fu mengira bahwa yang masuk itu tentulah Puteri Kim atau seorang di antara para dayang.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa yang masuk itu adalah Pangeran Kian Liong, adik suaminya, pangeran yang amat terkenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan baik budi, juga sangat tampan dan halus penuh kesopanan. Munculnya sang pangeran di dalam kamar membuat Nyonya Fu demikian terkejut, heran dan membuatnya tak mampu berkata-kata, hanya terbelalak memandang pangeran itu melalui cermin di depannya.

Pangeran Kian Liong menghampirinya sambil tersenyum dan di tangan pangeran itu terdapat setangkai bunga mawar merah.

“Alangkah indahnya rambutmu....!” kata Pangeran Kian Liong halus, lalu dipasangnya setangkai bunga itu di atas rambut nyonya cantik itu.

Nyonya Fu Heng hanya memandang dengan mata merah sambil berusaha menutupi dadanya dengan kedua tangan karena kimono tipis yang tembus pandang itu tak dapat menyembunyikan tubuhnya dengan baik.

“Alangkah halusnya kulitmu....!” Pangeran Kian Liong membungkuk dan menyentuh leher itu dengan bibirnya.

Nyonya Fu tersentak bangkit berdiri dan hendak menjerit, tetapi tiba-tiba pangeran yang sudah tergila-gila itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut sambil mencabut pedangnya.

“Kalau engkau menolak cintaku, lebih baik sekarang juga aku membunuh diri di depan kakimu dari pada hidup menanggung rindu dan malu!”

Tentu saja nyonya cantik itu terkejut sekali. Pangeran yang berlutut di depan kakinya ini adalah pangeran mahkota, yang akan menggantikan kaisar yang kini sedang menderita sakit hebat. Pangeran ini adalah calon kaisar, maka kalau sampai membunuh diri di depannya, tentu hal itu merupakan mala petaka dan bencana hebat bagi dirinya dan keluarganya.

“Tidak....! Aduh…., pangeran, jangan bodoh.... harap simpan kembali pedang paduka itu....!”

Pangeran Kian Liong tersenyum gembira. Pencegahan itu tentu saja boleh diartikan bahwa nyonya cantik ini menerima cintanya. Dia melepaskan pedangnya, lalu bangkit berdiri sambil memondong tubuh nyonya itu. Nyonya Fu Heng menahan jeritannya, dan terkulai lemas tak berdaya lagi setelah berada dalam pondongan pangeran muda itu.

Pangeran Kian Liong membawa kekasihnya ke pembaringan dan dia menumpahkan rasa cinta dan rindunya dengan penuh kemesraan. Nyonya Fu hanya bisa memejamkan mata, tidak berani berteriak atau menolak. Namun, nyonya ini merasakan pengalaman baru yang tidak pernah didapatkannya selama ini. Dia merasakan kemesraan yang luar biasa, yang membuatnya menerima pangeran itu dengan hati terbuka.

Semenjak malam itu, Nyonya Fu Heng tidak mau lagi digauli suaminya dan sering kali ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Kian Liong. Hal ini terjadi sampai sang pangeran menjadi kaisar. Bahkan ketika kaisar tua meninggal, Pangeran Kian Liong menerima berita kematian itu di dalam kamar ketika dia sedang mengadakan pertemuan asyik masuk dengan Nyonya Fu Heng!

Akan tetapi hubungan itu pun seperti putus pada saat dia naik tahta dan Nyonya Fu melahirkan seorang putera keturunan Kian Liong! Hanya kadang-kadang saja Kaisar Kian Liong mengadakan pertemuan dengan kekasihnya yang masih menjadi kakak iparnya itu.

Setelah menjadi kaisar, kesukaan Kian Liong akan wanita-wanita cantik bahkan semakin menjadi. Tak dapat disangkal bahwa dia melakukan tugasnya sebagai kaisar dengan amat baik, memerintah dengan bijaksana dan adil. Namun, kesukaannya akan wanita menimbulkan banyak persoalan, bahkan rasa kebencian kepada sebagian orang, terutama para pendekar yang memang sudah tidak suka melihat bangsanya dijajah oleh Bangsa Mancu.

Orang pertama yang memperoleh bagian kemuliaan saat Pangeran Kian Liong menjadi kaisar adalah Thaikam Siauw Hok Cu. Begitu pangeran itu naik tahta menjadi kaisar, thaikam ini lalu diangkat menjadi Kepala Thaikam dan diberi nama Hok Sen. Thaikam Hok Sen ini terkenal dalam sejarah sebagai seorang thaikam yang berhasil menumpuk kekayaan yang luar biasa banyaknya dan menikmati kedudukan tinggi dan mulia selama Kian Liong menjadi kaisar sampai puluhan tahun!

Peristiwa yang belum lama ini terjadi, kembali membuat hati para pendekar menjadi marah. Agaknya, setelah berusia tiga puluh tahun lebih dan hidupnya sudah dikelilingi banyak sekali wanita cantik yang seolah-olah berlomba memperebutkan perhatian dan cintanya, Kaisar Kian Liong belum juga merasa puas.

Memang demikianlah kalau manusia sudah menjadi hamba nafsunya sendiri. Nafsu itu dapat tumbuh menjadi keinginan apa saja, dalam makanan, tontonan, pemuasan sex, penumpukan harta, pengejaran kedudukan dan sebagainya. Sekali saja manusia sudah dicengkeram dan menjadi hamba nafsu, maka dia tidak akan mengenal puas.

Memang segala macam nafsu itu menjurus ke arah kepuasan, tetapi, kepuasan seperti itu tidaklah dapat bertahan lama, segera disusul oleh kekecewaan dan kekurangan, ingin yang lebih hebat, lebih enak, lebih besar, lebih banyak dan selanjutnya. Justru pengejaran kepuasan inilah yang meniadakan kepuasan yang sesungguhnya, karena harapan selalu lebih besar dari pada kenyataan

.

Kaisar Kian Liong yang sudah dikelilingi banyak wanita cantik itu masih kurang puas, masih menghendaki sesuatu yang lebih dari pada semua yang telah ada itu!

Sudah menjadi hal yang wajar bahwa di dalam suatu pemerintahan terdapat banyak orang-orang berambisi yang ingin mencari kedudukan bagi dirinya sendiri. Pengejaran kedudukan ini menimbulkan pelbagai cara yang curang dan kotor, di antaranya sifat menjilat. Dalam sebuah pemeritahan, selalu ada dan banyak saja orang-orang yang suka menjilat sebagai jalan untuk memperoleh imbalan. Menjilat untuk menyenangkan atasan agar atasan membalas jasanya dengan kenaikan pangkat, dengan hadiah dan sebagainya.

Demikian pula dengan Kaisar Kian Liong. Setelah kelemahannya diketahui orang, maka banyaklah para pembesar korup yang mendekatinya dan menjilat-jilat dengan cara menyuguhkan gadis-gadis cantik yang mereka dapatkan dengan berbagai cara, kadang-kadang dengan cara yang kotor pula. Gadis-gadis itu mereka haturkan kepada kaisar dengan harapan kaisar akan merasa senang dan tentu akan memberi imbalan jasa yang lumayan. Apalagi kalau sampai gadis pemberian mereka itu kelak memperoleh kedudukan penting, tentu sang gadis tidak akan melupakan orang yang mula-mula membawanya kepada kaisar!

Pada suatu hari, seorang di antara para penjilat kaisar yang melihat kebosanan kaisar terhadap para wanita cantik yang ada, memberi tahukan pada kaisar bahwa di Sin-kiang terdapat seorang wanita yang luar biasa cantiknya! Wanita itu di seluruh Sin-kiang terkenal dengan sebutan Puteri Harum!

“Apakah ia masih gadis?” Kaisar Kian Liong segera saja memperlihatkan sikap tertarik sekali.

“Sayang bahwa ia telah menikah dengan seorang kepala suku di Sin-kiang, sri baginda, dan dia adalah puteri kepala suku Ho-co. Akan tetapi, hamba sendiri pernah melihatnya dan hamba berani bersumpah bahwa selama hidup hamba, belum pernah hamba melihat seorang wanita secantik itu! Tiada cacat-celanya sedikit pun juga dan tubuhnya mengeluarkan bau harum, bukan keharuman yang dibuat dengan minyak. Kabarnya sejak kecil ia diberi minum semacam obat rahasia yang membuat keringat dan tubuhnya berbau harum. Dan ia masih amat muda, sri baginda, baru dua puluh lima tahun dan belum mempunyai anak.”

Selanjutnya si penjilat ini menggambarkan kecantikan Puteri Harum dengan kata-kata bermadu, membuat Kaisar Kian Liong tergila-gila dan sampai beberapa hari dia tidak dapat tidur nyenyak atau makan enak. Yang terbayang hanyalah Sang Puteri Harum dari Sin-kiang itu!

Akhirnya Kaisar Kian Liong tidak dapat menahan lagi kerinduan hatinya. Dia tergila-gila mendengar adanya seorang wanita yang memiliki kecantikan sedemikian luar biasa seperti yang belum pernah didengarnya sebelumnya, apalagi dilihatnya. Maka, dengan nekat dia lalu memanggil Jenderal Cao Hui, seorang jenderal kepercayaannya untuk membawa pasukan besar dan menyerbu ke Sin-kiang.

Dia tidak mau mengutus Jenderal Kao Cin Liong karena terhadap jenderal muda ini dia merasa malu. Perasaannya meyakinkan hatinya bahwa jenderal Kao Cin Liong tentu akan menentang dan tidak akan menyetujui rencana gila itu, menyerbu ke barat dan mengadakan perang hanya untuk merampas seorang wanita!

Pasukan yang dipimpin Jenderal Cao Hui itu berhasil menyerbu Sin-kiang, membunuh banyak prajurit suku bangsa Ho-co, dan menawan Sang Puteri Harum, dibawa ke timur dan pada suatu hari, tercapailah idam-idaman hati Kaisar Kian Liong untuk berhadapan dengan sang puteri!

Tentu saja peristiwa ini mendatangkan rasa penasaran dan kemarahan besar di antara para pendekar. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang berani menentang karena bukankah yang diserbu itu hanyalah suku bangsa terpencil di barat yang tidak termasuk bangsa pribumi Han?

Kaisar Kian Liong terpesona menatap kecantikan asing dari sang puteri yang menangis ketika dihadapkan kepadanya sebagai tawanan. Tubuh yang ramping padat itu, kulit yang putih halus kemerahan, bibir yang merah basah, mata yang lebar dan indah bening kebiruan, hidung yang mancung, bulu mata yang panjang-panjang melengkung. Sungguh kecantikan yang berbeda sama sekali dengan kecantikan yang biasa dia lihat. Apalagi bau harum yang jelas tercium oleh hidungnya walau pun sang puteri itu duduk bersimpuh di atas lantai. Seluruh ruangan itu seolah-olah baru saja disiram sebotol minyak harum atau seakan-akan ruangan itu berubah menjadi taman bunga-bunga mawar yang baru mekar!

“Thian Yang Agung....,” kaisar itu berbisik dekat Hok Sen, sang kepala thaikam sambil menatap tanpa berkedip. “Ia tentu seorang bidadari yang turun dari sorga....”

“Hamba yakin memang demikian, sri baginda, dan hanya paduka sajalah yang patut mendampinginya....,” bisik thaikam yang pandai menyenangkan hati itu.

Pada saat itu juga, Kaisar Kian Liong menganugerahkan pangkat Selir Harum kepada sang puteri tawanan, menghadiahkan banyak pakaian dan perhiasan, juga ditempatkan di dalam kamar terindah di dalam istana, menjadi selir baru yang paling dicinta.

Akan tetapi, Puteri Harum tidak mau menyerahkan diri dan hanya menangis. Ia berduka sekali mengingat akan kematian ayahnya dan suaminya. Berbagai macam cara para dayang menghiburnya, namun dia tetap menangis dan tidak mau bersolek, tidak mau melayani Kaisar Kian Liong. Hal ini tentu saja membuat sang kaisar menjadi kecewa sekali.

Akan tetapi, kembali kepala thaikam Ho Sen yang muncul sebagai penasehatnya. Atas nasehat sang thaikam yang pandai itu, kaisar Kian Liong segera memerintahkan orang-orangnya membangun sebuah bangunan istana kecil mungil yang baru, yang diberi nama Istana Bulan Indah. Bukan hanya merupakan sebuah istana yang indah, akan tetapi juga modelnya dibuat seperti bangunan di Sin-kiang, dan untuk menghibur hati selirnya, kaisar juga memerintahkan orang-orangnya membangun sebuah kota tiruan di dekat istana, sebuah kota yang lengkap dengan kuil dan para penghuninya yang semua beragama dan berpakaian orang-orang Sin-kiang.

Di loteng Istana Bulan Indah, Puteri Harum dapat melihat semua ini sehingga agak terhiburlah kedukaan hatinya. Dia merasa seolah-olah dia masih berada di kampung halamannya. Dia berterima kasih dan hatinya tergerak oleh kebaikan hati kaisar kepada dirinya. Akhirnya dia pun menyerahkan dirinya kepada Kaisar Kian Liong dengan suka rela dan semenjak itu, Puteri Harum menjadi selir terkasih dari kaisar itu.

Demikianlah, semua ulah kaisar ini menambahkan rasa tidak suka di hati para pendekar yang ingin memberontak, walau pun tentu saja masih teramat banyak mereka yang setia kepada Kaisar Kian Liong.....

********************

“Pouw-sute, engkau tentu tidak lupa akan pesan mendiang suhu dan juga peraturan Kun-lun-pai yang telah dipegang teguh selama ratusan tahun. Engkau tahu bahwa tiada seorang pun murid Kun-lun-pai, tanpa terkecuali, yang boleh membuka dan membaca kitab ilmu pusaka Sin-liong Ho-kang. Bagaimana mungkin engkau mengharapkan pinto untuk melanggar peraturan itu?” Ucapan ini keluar dari mulut Hong Tan Tosu, ketua Kun- lun-pai di Tung-keng.

Tosu tinggi kurus yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini adalah suheng dari Pouw Kui Lok dan dia mengetuai kuil yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai itu, di mana dahulu Kui Lok diambil murid oleh suhu mereka. Seperti kita ketahui, Pouw Kui Lok menuruti permintaan suheng-nya yang baru, yaitu Louw Tek Ciang, untuk berusaha mempelajari ilmu larangan dari Kun-lun-pai itu dalam tekadnya untuk menandingi ilmu meniup suling yang ampuh dari keluarga Kam.

Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang disambut dengan ramah oleh ketua kuil itu yang merasa gembira melihai sute-nya dan sahabatnya itu telah kembali setelah mengikuti keluarga Cu yang sakti ke Lembah Naga Siluman di barat. Akan tetapi, ketika Kui Lok menyatakan keinginan hatinya untuk meminjam sebentar kitab Sin-liong Ho-kang untuk dipelajari isinya, tosu tua itu terkejut dan mencela sute-nya.

Mendengar ucapan ini, Kui Lok tidak mampu menjawab dan Tek Ciang cepat-cepat maju memberi hormat kepada tosu tua itu. “Harap totiang sudi memaafkan Pouw-sute. Sesungguhnya, bukan sute yang menginginkan kitab itu untuk dipelajari, karena sute adalah seorang yang menjunjung tinggi peraturan perguruan Kun-lun-pai. Yang amat membutuhkan bantuan Kun-lun-pai untuk dapat sekedar mempelajari Sin-liong Ho-kang itu adalah saya sendiri, totiang. Pouw-sute hanya mencoba membantu saya saja untuk memintakan ijin dari totiang.”

“Siancai, siancai....!” Tosu itu mengangguk-angguk. “Louw-sicu, hendaknya sicu suka memaafkan pinto. Ketahuilah bahwa ilmu itu oleh perguruan kami dianggap sebagai ilmu yang keji dan sesat, kalau digunakan hanya akan mengancam keselamatan nyawa manusia lain saja. Yang mau mempergunakan ilmu seperti itu hanyalah iblis-iblis yang berwatak curang. Oleh karena itu, semua murid Kun-lun-pai dilarang keras mempelajari ilmu itu. Kalau murid sendiri saja tidak boleh mempelajarinya, apalagi orang luar. Harap sicu suka memaafkan dan tidak menjadi kecil hati.”

Kembali Tek Ciang memberi hormat. “Maaf, totiang. Saya pun cukup mengerti dan bisa menerima alasan yang totiang kemukakan itu. Akan tetapi tentu totiang sependapat dengan saya bahwa keji tidaknya suatu ilmu, sesat tidaknya, tergantung sepenuhnya pada penggunaannya, bukan? Betapa pun keji kelihatannya suatu ilmu, jika digunakan untuk kebaikan, tentu menjadi ilmu yang baik pula.”

“Siancai, ada benarnya memang pendapat Louw-sicu itu. Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa adanya suatu ilmu amat mempengaruhi pemiliknya. Bagaimana orang dapat melakukan suatu perbuatan keji kalau tidak memiliki ilmu keji itu sendiri? Sebaliknya, biar pun hati seseorang tadinya tidak mempunyai niat keji, kalau sudah memiliki ilmu yang keji itu, mudah saja terbujuk untuk melakukan perbuatan keji menggunakan ilmu itu. Tiada bedanya dengan kekuatan. Orang tidak akan melakukan pemukulan kalau tidak memiliki kekuatan, sebaliknya, setelah memiliki kekuatan, akan timbul dorongan untuk mempergunakan kekuatan itu memukul atau menindas orang lain. Nah, karena itulah, sicu, maka murid-murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajari ilmu itu.”

Tek Ciang mengerutkan alisnya. Sukar memang membujuk tosu yang agaknya kukuh ini. Akan tetapi Tek Ciang adalah seorang yang cerdik dan licik sekali. Dia tidak memperlihatkan kekecewaan atau pun kemendongkolan hatinya, melainkan tersenyum ramah. Lalu dengan suara halus dia bertanya.

“Hong Tan totiang, saya tahu bahwa totiang adalah sahabat baik sekali dari para suhu kami di Lembah Naga Siluman, yaitu para tokoh keluarga Cu. Tentu persahabatan itu berdasarkan rasa kagum akan kegagahan masing-masing.”

Tosu tinggi kurus itu memandang dengan alis berkerut, tidak mengerti ke mana arah tujuan kata-kata pemuda ini. Akan tetapi dia mengangguk. “Tentu saja, mereka adalah keluarga yang sakti dan gagah perkasa, dan pinto ikut merasa gembira sekali bahwa Pouw-sute dapat menerima gemblengan keluarga Cu.”

“Totiang, di antara sahabat, baru dapat dikatakan akrab dan benar kalau di situ terdapat kesetiaan dan pembelaan, bukan?”

“Tentu, tentu....” Tosu itu mengangguk-angguk.

“Jadi, andai kata ada suatu mala petaka menimpa keluarga para suhu kami di Lembah Naga Siluman, tentu totiang akan sudi membela dan membantu mereka?”

“Tentu saja, selama tenaga pinto yang sudah tua dan lemah ini mengijinkan. Akan tetapi ada apakah yang telah terjadi dengan mereka, sicu?” Dan tosu ini pun menoleh dan memandang kepada Kui Lok yang hanya menundukkan mukanya, maklum akan siasat yang dijalankan oleh Tek Ciang.

“Nah, baru sahabat saja sudah akan membela dan membantu, totiang. Apalagi murid-murid seperti kami ini. Ketahuilah bahwa kami, saya dan Pouw-sute, sedang memikul tugas yang dibebankan oleh kedua suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, akan tetapi kami berdua telah gagal dan harapan satu-satunya kami hanyalah bantuan totiang melalui ilmu Sin-liong Ho-kang itu.”

“Apa yang telah terjadi? Pouw-sute, apakah yang telah terjadi dengan keluarga Cu di Lembah Naga Siluman? Coba ceritakan kepada pinto.”

Tosu itu sekarang menoleh kepada sute-nya untuk minta penjelasan untuk meyakinkan hatinya. Biar pun dia sudah mengenal Louw Tek Ciang yang menjadi sahabat sute-nya dan kini bahkan menjadi suheng dari sute-nya itu karena mereka berdua berguru kepada keluarga Cu, namun dia belum mengenal benar keadaan Tek Ciang sehingga keterangan pemuda itu tidak mungkin dapat diterimanya begitu saja.

“Suheng, memang apa yang dikatakan oleh suheng Louw Tek Ciang itu benar. Setelah tiga tahun menerima pelajaran ilmu di Lembah Naga Siluman, kedua orang suhu di sana mengutus kami berdua untuk mencari dan menebus kekalahan kedua suhu dari seorang musuh mereka. Suhu tidak mengikatkan kami dengan urusan pribadi di antara mereka, hanya suhu minta agar kami berdua sebagai murid-muridnya menebus kekalahan yang pernah mereka derita dari orang itu. Kami berdua sudah memenuhi perintah suhu, bertemu dengan lawan itu, akan tetapi kami berdua gagal karena lawan memiliki ilmu semacam Sin-liong Ho-kang. Sebab itulah maka suheng mengajakku untuk menghadap ke sini dan mohon diberi kesempatan mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang, hanya untuk dipakai melawan ilmu dari lawan itu.”

Kakek itu mengerutkan alisnya dan nampak bimbang. “Siapakah lawan yang dapat mengalahkan orang-orang gagah dari keluarga Cu itu?” Dia memang merasa heran sekali mendengar ada lawan yang mampu mengungguli pendekar-pendekar seperti Cu Han Bu dan Cu Seng Bu.

“Dia adalah orang she Kam dan tentu totiang belum mengenalnya. Dia sombong sekali! Sebaiknya kalau totiang tidak mengenal agar tidak terlibat dalam urusan pribadi antara keluarga Cu dan keluarganya. Kami pun hanya melaksanakan tugas dan kalau kami belum dapat mengalahkannya, bagaimana saya dan Pouw-sute masih ada muka untuk menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman? Oleh karena itu, sekali lagi, mohon kerelaan hati totiang untuk menolong kami, atau lebih tepat lagi, menolong keluarga Cu dari rasa malu kalau sampai dua orang murid dan wakil mereka kembali dikalahkan oleh musuh lama itu.”

Tosu tua itu merasa terdesak dan tersudut. Tentu saja dia merasa tidak enak sekali kalau menolak pemintaan bantuan yang pada hakekatnya adalah membantu para sahabatnya, keluarga Cu itu. Padahal dahulu, di waktu mudanya, pernah Cu Han Bu menolongnya dari kekalahan, bahkan mungkin sekali kematian dari tangan seorang musuh yang tangguh. Andai kata Louw Tek Ciang datang seorang diri, tentu ia memiliki alasan untuk menolak, dan hatinya tidak akan bimbang ragu. Akan tetapi kini Tek Ciang datang menghadap bersama Pouw Kui Lok yang tentu saja sudah amat dipercayanya.

“Louw-sicu, biar bagaimana pun juga, murid Kun-lun-pai tidak boleh mempelajari ilmu itu....”

“Totiang, saya bukan murid Kun-lun-pai!”

“Maksud pinto adalah Pouw-sute, dia tidak boleh sama sekali mempelajari ilmu itu, tepat dan sesuai dengan sumpahnya sebagai murid Kun-lun-pai yang taat. Dan biar pun tidak ada peraturan melarang orang luar mempelajari ilmu itu, akan tetapi kalau pinto berikan kepadamu, berarti pinto yang bertanggung jawab jika sampai kelak ilmu itu digunakan untuk membunuh orang....”

“Totiang, apakah totiang tidak percaya kepada saya dan tidak percaya pula kepada Pouw-sute? Tadi sudah kami ceritakan bahwa kami membutuhkan ilmu itu hanya untuk menandingi ilmu yang serupa dari musuh keluarga Cu.”

“Baiklah, Louw-sicu. Pinto mengingat akan kebaikan-kebaikan keluarga Cu, memberi kesempatan kepadamu untuk mempelajari ilmu itu. Akan tetapi ada syarat-syaratnya.”

“Apakah syaratnya, totiang?”

“Pertama, sicu harus bersumpah dahulu bahwa ilmu itu hanya dipelajari khusus untuk menghadapi ilmu musuh keluarga Cu itu. Dan ke dua, ilmu itu hanya khusus dipelajari di dalam ruangan perpustakaan di mana kitab itu disimpan, sama sekali kitab itu tidak boleh dibawa keluar dari ruangan perpustakaan. Dan ke tiga, sicu hanya pinto beri waktu satu bulan saja untuk mempelajarinya. Setelah lewat sebulan, sicu sudah harus meninggalkan ruangan perpustakaan itu dan.... maaf, meninggalkan pula kuil ini agar tidak mengingatkan pinto bahwa pinto telah melakukan pelanggaran.”

“Baiklah, totiang dan terima kasih atas kebaikan hati totiang. Saya akan bersumpah sekarang juga.”

Louw Tek Ciang kemudian diajak ke depan meja sembahyang dan di depan meja sembahyang ini Tek Ciang mengucapkan sumpahnya dengan suara lantang. “Teecu Louw Tek Ciang bersumpah, bahwa teecu yang diberi kesempatan mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang, akan mempergunakan ilmu itu untuk menghadapi ilmu suara suling dari keluarga Kam, dan tidak untuk keperluan lain. Kalau teecu melanggar sumpah ini, semoga teecu dijatuhi hukuman tewas di tangan musuh-musuh teecu!”

“Cukup, sicu,” kata tosu tua itu dengan hati lega.

Akan tetapi dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam Tek Ciang mentertawakan sumpah itu. Orang seperti Tek Ciang ini mana bisa mengucapkan sumpah dengan bersungguh hati? Dia hanya bersumpah sebagai siasat saja. Bahkan Pouw Kui Lok sendiri pun tidak menduga akan hal ini. Demikian pandainya Tek Ciang membawa diri dan bersandiwara.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es