KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-48


“Namaku Gangga Dewi, aku seorang wanita yang menyamar pria agar aman dalam perjalanan. Nah, aku seorang wanita dan engkau tidak bisa jatuh cinta kepada wanita, bukan? Selamat tinggal!”

Gangga Dewi meloncat dan terus lari secepatnya, meninggalkan Ciang Bun yang berdiri bengong dengan wajah pucat. Gangga ialah seorang wanita! Kenyataan ini merupakan pukulan hebat baginya. Baru sekarang dia mengerti akan pertanyaan enci-nya apakah dia mencinta pribadi Gangga ataukah hanya karena Gangga dianggapnya pria saja.

Kalau Gangga tadi bertanya seperti enci-nya, agaknya masih mudah baginya untuk menjawab bahwa dia mencinta Gangga, mencinta pribadinya, bukan karena Gangga seorang pria. Akan tetapi, Gangga tidak hanya bertanya, melainkan dengan mendadak saja merubah dirinya, membuka rahasianya. Hal ini membuat Ciang Bun terkejut dan batinnya terguncang hehat, membuat dia tidak mampu mengambil keputusan, tidak tahu harus berbuat apa.

Gangga seorang wanita! Kenyataan ini amatlah hebatnya, terlalu hebat mengguncang perasaannya sehingga dia hanya berdiri terbelalak seperti patung. Dia tidak mengejar lagi sekarang. Terlalu bingung dan pada saat itu, dia sendiri pun tidak tahu bagaimana perasaan hatinya terhadap Gangga. Masih tetap mencintakah? Dia tidak tahu.

Yang terasa pada saat itu hanyalah kekecewaan, keheranan dan penyesalan. Rasa kecewa jauh lebih besar dan dia dicekam kekecewaan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas. Dia merasa seolah-olah piala harapan yang dirawatnya baik-baik dan dipuja-pujanya itu mendadak hancur berkeping-keping.

“Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?” ratapnya sambil menutupi muka dengan kedua tangannya. Kedua kakinya gemetar dan dia pun jatuh terduduk di atas tanah.

Cinta asmara didorong oleh nafsu birahi yang timbul karena kecocokan selera dan daya tarik alamiah yang memang ada dalam diri setiap makhluk antara jantan dan betina. Daya tarik alamiah ini memang sangat diperlukan guna perkembang biakan segala makhluk hidup. Dengan adanya daya tarik ini, jantan dan betina didorong untuk saling mendekati, berhubungan dan berkembang biak. Oleh sebab itu di dalamnya terkandung kenikmatan dan kepuasan, seperti juga halnya makan atau minum yang mengandung keenakan dan kepuasan sebagai daya tarik penyambung hidup, pengisian kebutuhan badan.

Kenikmatan dan kepuasan ini, yang menjadi pendorong pengisian kebutuhan badan, sebaliknya dapat menjadi racun bagi batin. Batinlah yang dicengkeram oleh kenimatan sehingga mencandu dan batin yang mendorong kita untuk mengejar-ngejar dan mengulangi segala kenikmatan dan kepuasan itu, batin yang mendorong kita untuk mengejar kesenangan itu. Padahal, kesenangan itu terpisahkan dari kesusahan dan kepuasan tak terpisahkan dari kekecewaan, apabila kita kejar-kejar.

Dalam pengejaran terkandung harapan atau keinginan memperoleh, dan harapan inilah yang melahirkan kekecewaan apabila gagal diperoleh. Karena ulah batin sendiri, maka cinta asmara yang sedianya menjadi pendorong sesuatu yang dapat kita nikmati, seperti kelezatan makan selagi lapar dan kepuasan minum selagi haus, sebaliknya menjadi ajang pertentangan antara senang dan susah, antara puas dan kecewa

.

Ciang Bun tenggelam ke dalam duka dan kebimbangan. Ada perasaan yang saling bertentangan bergelut di dalam batinnya. Di satu pihak dia ingin selalu berdampingan dengan pemuda Ganggananda, di lain pihak dia tidak mungkin dapat mendekati dan bermesraan dengan gadis Gangga Dewi. Padahal, Ganggananda dan Gangga Dewi adalah satu orang juga! Ketika dia teringat bahwa Gangga telah meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, hatinya merana.

“Gangga....!” Dia berseru dan meloncat berdiri, hendak mengejar. Akan tetapi dia segera teringat bahwa Gangga adalah seorang wanita dan tiba-tiba saja kedua kakinya mogok dan berhenti berlari.

“Gangga.... ahhh, Gangga....” Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan seolah-olah terasa ngeri menyaksikan keadaan dirinya sendiri dan dia membiarkan dirinya hanyut dalam ketidak tentuan yang menimbulkan duka…..

********************

Kam Hong, pendekar sakti yang halus budi bahasanya dan sederhana hidupnya itu masih tetap tinggal dan menghuni istana kuno di puncak Bukit Nelayan, di Pegunungan Tai-hang-san. Usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi karena dia hidup di pegunungan yang sunyi dan berhawa sejuk bersih, apa lagi karena dia tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga kehidupannya tenang dan penuh damai, maka dia nampak masih amat muda, bahkan belasan tahun lebih muda dari pada usianya yang sebenarnya.

Seperti biasa, dia selalu memakai pakaian sasterawan yang sederhana dan kebesaran. Melihat sepintas lalu, orang akan memandang rendah kepadanya. Seorang sasterawan setengah tua yang nampaknya malas-malasan, hanya bermain suling saja yang menjadi kesukaannya. Sedikit pun, dalam gerak gerik mau pun sikapnya, dia tak nampak seperti seorang pendekar. Akan tetapi, jika orang menyaksikan kelihaiannya, dia akan bergidik dan takjub.

Pendekar ini telah menguasai banyak sekali ilmu silat gemblengan yang ampuh-ampuh. Dialah pewaris ilmu-ilmu silat yang amat tinggi dari Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya. Dari Sai-cu Kai-ong dia mewarisi ilmu-ilmu silat, antara lain yang hebat adalah Khong-sim Sin-ciang (Tangan Sakti Hati Kosong) dan Sai-cu Ho-kang (Auman Singa). Dari Sin-siauw Seng-jin dia mewarisi ilmu-ilmu peninggalan Suling Emas, antara lain yang hebat adalah Hong-in Bun-hwat (Silat Sastera Angin Hujan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa), dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan).

Biasanya pedangnya diganti dengan suling dan dimainkan bersama kipas, sungguh sukar dicari tandingnya. Semua warisan ilmu itu diperhebat secara berlipat ganda pada saat dia secara kebetulan sekali mewarisi ilmu mukjijat dari jenazah kuno, yaitu ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong Sim-in yaitu ilmu meniup suling yang mengandung getaran khikang amat kuatnya sehingga suara tiupan itu saja dapat merobohkan lawan tanpa menyentuhnya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini hidup tenteram di tempat sunyi itu bersama isterinya dan anak tunggalnya, yaitu Kam Bi Eng. Ketentraman itu sempat terganggu hebat dengan menimpanya mala petaka yang menewaskan enam orang pelayan atau murid mereka dan hampir saja puteri mereka juga tertimpa bencana kalau saja tidak diselamatkan oleh Suma Ceng Liong. Mala petaka itu dikarenakan oleh penyerbuan Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok bersama seorang muridnya yang lihai, yang bukan lain adalah Louw Tek Ciang.

Kini Kam Bi Eng ikut bersama calon mertuanya, Sim Hong Bu, untuk memperdalam ilmu silat. Sedangkan putera Sim Hong Bu yang bernama Sim Houw, yang telah ditunangkan dengan gadis itu, berada di istana tua Khong-sim Kai-pang untuk memperdalam ilmunya pula kepada pendekar Kam Hong. Memang sudah disetujui bersama oleh Kam Hong dan Sim Hong Bu untuk menggabung kedua ilmu mereka yang sebenarnya berasal dari satu sumber akan tetapi yang diciptakan untuk saling menentang itu.

Pagi hari suasana di sekitar istana kuno Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan sunyi dan tenteram. Matahari pagi bersinar cerah seperti biasa, memandikan seluruh permukaan puncak dengan sinar perak lembut yang menghidupkan. Sejak fajar tadi, Sim Houw telah berlatih silat seorang diri di kebun belakang.

Pemuda ini memang tekun sekali. Dalam waktu tiga tahun saja, di bawah bimbingan Kam Hong, dia telah menguasai inti dari Ilmu Pedang Suling Emas dan dibantu oleh Kam Hong menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dengan Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dipelajarinya dari ayahnya. Biar pun Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari Kam Hong itu tentu saja tidak sehebat yang dikuasai calon mertuanya dan ilmu Koai-liong Kiam-sut juga tidak sehebat yang dikuasai ayahnya, namun penggabungan kedua ilmu ini benar-benar amat hebat sehingga dalam usianya yang baru sembilan belas tahun itu ilmu pedangnya tidak kalah kuat dibandingkan dengan ayahnya mau pun calon ayah mertuanya.

Pendekar Kam Hong sejak pagi juga sudah bangun dan setelah berjalan-jalan ke atas puncak selama beberapa jam, kini dia duduk menikmati suasana pagi yang cerah itu di depan istana kuno seorang diri. Isterinya, Bu Ci Sian, sedang sibuk menyiapkan sarapan mereka di dapur.

Gerakan dua bayangan orang itu sejak tadi sudah ditangkap oleh pandang mata pendekar Kam Hong dan diam-diam sambil duduk tenang menikmati burung-burung yang menyambut datangnya pagi dengan gembira, dia memperhatikan. Dia tidak tahu siapa adanya kedua orang itu, akan tetapi melihat betapa mereka itu menyelinap dari pohon ke pohon, dan melihat pula gerakan mereka yang ringan dan cepat, Kam Hong sudah dapat menduga bahwa mereka berdua itu memiliki kepandaian tinggi dan tentu datang bukan dengan niat baik sebab datangnya menyelinap bagai orang bersembunyi.

Namun, dia tidak mau mengambil kesimpulan atau berprasangka, melainkan menanti dengan sikap tenang. Semenjak kematian para pelayan tiga tahun yang lalu, dia tidak menggunakan tenaga pelayan lagi. Kini dia hidup bertiga saja bersama isterinya dan muridnya atau calon mantunya, cukup lihai untuk dapat melindungi dirinya sendiri.

Dia tidak mau lagi membahayakan keselamatan orang lain dengan mempergunakan bantuan tenaga pelayan, karena dia tahu bahwa di sana banyak terdapat orang-orang dari golongan hitam yang memusuhinya dan memusuhi isterinya. Siapa tahu masih ada orang-orang yang mendendam kepada keluarganya dan kalau musuh datang selagi dia dan keluarganya tidak ada atau sedang lengah, tentu para pembantu atau pelayan yang akan tertimpa mala petaka. Dia tidak mau peristiwa menyedihkan itu terulang kembali. Karena itulah maka melihat dua bayangan orang yang mencurigakan itu, dia bersikap tenang saja, diam-diam dia memperhatikan dan menduga-duga siapa gerangan mereka itu dan apa yang terkandung dalam hati mereka.

Dua orang itu agaknya kini dapat melihat pula pendekar yang duduk seorang diri di depan istana kuno itu dan mereka muncul dari balik pohon-pohon dan langsung kini melangkah lebar menghampiri Kam Hong. Pendekar ini sekarang dapat melihat mereka, dua orang pria muda yang bersikap gagah. Kam Hong memandang penuh perhatian, merasa pernah melihat mereka, atau setidaknya seorang di antara mereka yang bertubuh pendek tegap dan bermuka putih tampan. Dia memperhatikan wajah mereka.

Yang bertubuh pendek tegap itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya pesolek atau setidaknya rapi sekali. Wajahnya cerah dan terhias senyum, sepasang matanya membayangkan kecerdikan, langkahnya tegap dan membayangkan tenaga sinkang yang kuat. Orang ke dua lebih muda, paling banyak usianya dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana berwarna hijau, sikapnya pendiam dan alisnya berkerut, wajahnya diliputi keraguan dan kebimbangan, tidak seperti kawannya yang nampak lebih tabah.

Kam Hong adalah seorang pendekar yang telah mencapai tingkat tinggi. Biasanya, para datuk atau pendekar yang sudah tinggi tingkatnya, bersikap dingin dan memandang rendah kepada orang-orang muda. Akan tetapi Kam Hong adalah seorang sasterawan pula yang menjunjung tinggi kesusilaan dan sopan santun, maka begitu dua orang menghampirinya, dia bangkit berdiri dan menyambut mereka dengan sikap hormat.

“Dua orang sobat yang muda dan gagah perkasa, siapakah, dari mana dan kabar baik apakah yang ji-wi bawa?”

Melihat kegagahan dan keramahan orang yang berpakaian sasterawan ini, si baju hijau cepat membalas dengan penghormatannya. Sikap Kam Hong ini saja sudah membuat hatinya amat terpukul dan dia menjadi kagum. Si baju hijau ini adalah Pouw Kui Lok, sedangkan si pendek tegap adalah Louw Tek Ciang.

Seperti telah kita ketahui, kedua orang ini ditemukan oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu di kuil Kun-lun-pai yang mengangkat keduanya menjadi murid-murid dan dibawa ke Lembah Naga Siluman. Selama tiga tahun mereka digembleng oleh dua orang tokoh barat itu dan kini mereka datang ke puncak Bukit Nelayan sebagai utusan para tokoh keluarga Cu untuk menebus kekalahan mereka terhadap Kam Hong!

Begitu bertemu dengan Pendekar Suling Emas Kam Hong dan melihat sikapnya, Pouw Kui Lok segera merasa tunduk dan kagum, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar sakti yang rendah hati dan budiman. Biar pun dia maklum bahwa adalah menjadi tugas kewajibannya untuk menghadapi pendekar sakti ini sebagai lawan untuk berbakti kepada guru-gurunya, yaitu keluarga Cu sebagai balas budi mereka, namun dia sebagai seorang pendekar merasa ragu-ragu dan bimbang. Andai kata yang menjadi musuh guru-gurunya itu adalah seorang penjahat, atau setidaknya orang yang berwatak sombong, tentu tugasnya akan terasa ringan dan hatinya tak diliputi keraguan lagi.

Berbeda lagi dengan apa yang terasa di hati Louw Tek Ciang. Orang ini sama sekali tak memiliki jiwa pendekar walau pun pada lahirnya dia pandai sekali membawa diri dan berlagak bagai seorang pendekar sejati. Di dalam hatinya, begitu melihat pendekar yang pernah merobohkan dia dan gurunya ini, timbul suatu kebencian serta dendam yang besar. Ingin sekali ia dapat membalas dan jika mungkin membunuh pendekar itu, bukan demi membalas budi keluarga Cu yang sudah menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya, melainkan demi membalas dendamnya sendiri.

Namun dia amat cerdik. Oleh Pouw Kui Lok yang kini menjadi sute-nya karena mereka berdua sama-sama menjadi murid keluarga Cu, dia dikenal sebagai seorang yatim piatu yang berjiwa pendekar. Kui Lok tidak pernah dia ceritakan tentang keadaan dirinya, kecuali hanya bahwa dia adalah murid keturunan pendekar Pulau Es! Sama sekali dia tak pernah bercerita bahwa dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok dan bersekutu dengan Hek-i Mo-ong menyerbu ke Bukit Nelayan. Maka kini, melihat betapa Kam Hong tidak mengenalnya, dia pun diam saja dan pura-pura belum pernah bertemu dengan Kam Hong. Bahkan dia membiarkan Kui Lok untuk menjawab pertanyaan tuan rumah itu.

Karena suheng-nya diam saja tidak menjawab, Pouw Kui Lok cepat-cepat membalas penghormatan tuan rumah dan dialah yang menjawab dengan suara lantang akan tetapi dengan sikap menghormat. “Apakah locianpwe yang bernama Kam Hong?”

“Benar orang muda, aku yang bernama Kam Hong.”

“Locianpwe, kami berdua adalah murid-murid dari Lembah Naga Siluman yang sedang ditugaskan oleh para suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu untuk menebus kekalahan mereka dan menandingi locianpwe!” Sambil berkata demikian, Pouw Kui Lok mencabut pedangnya diikuti pula oleh Louw Tek Ciang yang merasa girang bahwa Kui Lok tidak memperkenalkan nama.

Memang pemuda baju hijau ini tidak memperkenalkan nama karena mereka datang bukan karena urusan pribadi melainkan hanya mewakili guru-guru mereka. Dan pula, Pouw Kui Lok yang merasa lebih kuat kalau menggunakan pedang, telah mendahului mencabut pedang.

Dia sudah mendengar bahwa lawannya ini adalah Pendekar Suling Emas yang biasa menggunakan suling sebagai senjata, maka dia mendahului mencabut pedangnya untuk memaksa lawan bertanding dengan senjata. Pemuda ini pun cerdik karena jika mereka bertanding dengan tangan kosong, dia dapat membayangkan bahwa dalam hal tenaga sinkang dan ilmu silat tangan kosong, agaknya dia bukanlah tandingan pendekar sakti yang tentu sudah lebih banyak pengalamannya itu.

Tek Ciang yang biasanya mengandalkan tangan kaki dan ilmu-ilmu silatnya yang banyak macamnya, kini pun mempergunakan senjata pedang karena di Lembah Naga Siluman dia memperoleh latihan yang mendalam dalam ilmu pedang. Dia pun sudah mengenal baik kehebatan pendekar itu, maka dia juga bersikap hati-hati sekali.

Kam Hong menarik napas panjang. Hatinya menyesal sekali mendengar bahwa dua orang muda yang gagah perkasa dan bersikap seperti pendekar-pendekar gagah ini ternyata datang sebagai musuh dan lawan. Apa lagi mendengar bahwa mereka itu mewakili keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, dia semakin menyesal.

Bagaimana pun juga, antara keluarga Pendekar Suling Emas, nenek moyangnya, dengan keluarga Cu sebetulnya terdapat hubungan yang amat dekat, mengingat bahwa mereka berasal dari satu sumber. Dan dia pun tahu bahwa permusuhan keluarga Cu terhadap Suling Emas yang diciptakan oleh nenek moyang keluarga Cu ternyata jatuh ke tangan keturunan keluarga Kam.

Dia merasa menyesal mengapa keluarga Cu demikian picik pandangan, demikian lemah batinnya sehingga mudah dikuasai iri dan dendam hanya karena pernah dikalahkannya. Padahal, selain iri, tidak ada urusan lain yang membuat mereka harus barhadapan sebagai musuh.

“Aih, sobat-sobat muda yang baik. Sungguh merupakan kehormatan bagiku menerima kunjungan kalian dari tempat yang jauh, dan kehormatan itu akan disertai kegembiraan besar kalau sekiranya ji-wi datang sebagai sahabat-sahabat. Akan tetapi sayang, ji-wi datang dengan maksud mengajak bertanding. Mengapa keluarga Cu belum juga mau menghabiskan urusan kecil yang tidak ada artinya itu? Bagaimana kalau ji-wi pulang saja dan melaporkan kepada kedua orang locianpwe itu bahwa aku mengaku kalah dan menyampaikan permintaan maafku kepada mereka?”

Mendengar ucapan ini, seketika hati Pouw Kui Lok jatuh dan andai kata dia seorang diri yang mewakili keluarga Cu, tentu dia akan mundur teratur dan dengan senang hati menyampaikan pesan yang sangat bijaksana itu. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pendekar yang begini rendah hati, padahal pendekar ini telah mengalahkan kedua orang gurunya, tokoh-tokoh Lembah Naga Siluman. Bukan main!

Akan tetapi, selagi dia meragu dan bimbang, tidak tahu harus bersikap bagaimana, Tek Ciang sudah menjawab dengan suara lantang.

“Tidak mungkin! Kami adalah utusan suhu dan sebagai murid-murid yang berbakti kami harus membalas budi kebaikan suhu dengan melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Hanya ada dua pilihan bagi kami. Pertama, kalau kami kalah biarlah kami berdua tewas dalam melaksanakan tugas kami atau kalau locianpwe tidak mau melawan kami, maka locianpwe harus ikut dengan kami sebagai tawanan dan kami hadapkan kepada suhu kami untuk diambil keputusan.”

Kam Hong mengangguk-angguk. Jawaban yang singkat dan gagah. “Sobat-sobat muda, ketahuilah bahwa sesungguhnya antara Lembah Naga Siluman dan keluargaku tidak ada permusuhan apa-apa, hanya kekerasan hati guru-gurumu yang tak mau menerima kekalahan dalam pertandingan yang sudah wajar. Karena itu, tidak mungkin kalau aku harus menghadap ke sana sebagai tawanan. Dan pertentangan antara guru-gurumu dengan aku pun bukan merupakan permusuhan yang haus darah dan nyawa. Maka, biarlah aku yang sudah mulai tua dan malas ini membuka mata melihat kemajuan para muda masa kini. Tetapi, harap ji-wi suka memberi tahukan nama ji-wi agar perkenalan ini menjadi lebih akrab.”

“Kami datang bukan untuk berkenalan, juga tidak membawa urusan pribadi, melainkan sebagai murid-murid Lembah Naga Siluman yang hendak menebus kekalahan. Karena itu, locianpwe tidak perlu mengetahui nama pribadi kami, cukup kalau mengetahui bahwa kami berdua adalah murid-murid dari suhu Cu Han Bu dan suhu Cu Seng Bu,” jawab Tek Ciang lagi mendahului sute-nya. “Locianpwe, cabutlah suling emasmu itu dan ingin kami melihat sampai di mana kehebatan suling emas yang tersohor itu!” Sengaja Tek Ciang menambahkan untuk memanaskan hati pendekar itu dengan nada suara mengejek.

Sepasang alis Kam Hong berkerut, akan tetapi dia masih tenang saja. “Kalau ji-wi memaksa, apa boleh buat. Akan tetapi biarlah sulingku kupakai untuk meniup lagu-lagu merdu saja, tidak perlu kupakai untuk bertanding.”

Pada saat itu nampak berkelebat bayangan yang amat cepat dari dalam rumah dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang nyonya yang usianya sudah tiga puluh enam atau tujuh tahun, akan tetapi masih nampak jauh lebih muda dari pada usianya. Nyonya ini sudah memegang sebatang suling emas kecil mungil dan mukanya nampak merah, matanya berkilat saat dia memandang pada dua orang laki-laki muda yang memandang kaget dan kagum akan kecepatan gerak wanita ini.

“Dua orang bocah banyak lagak! Murid-murid Lembah Naga Siluman mana ada yang tak sombong? Guru-gurunya pun orang-orang yang kukuh, keras kepala dan sombong. Apakah kalian mengira akan mampu mengalahkan kami?”

“Nio-cu....!” Suaminya mencegah.

Akan tetapi Bu Ci Sian, nyonya itu, yang tadi sudah mendengar percakapan antara suaminya dan dua orang pendatang itu, sudah marah. “Kalian minta agar suamiku menjadi tawanan dan kalian bawa menghadap ke Lembah Naga Siluman? Huh, hal itu baru bisa terjadi kalau melalui mayatku. Majulah kalian!”

Nyonya itu menggerakkan suling emasnya di tangan kanan dan terdengarlah suara suling itu melengking-lengking seperti ditiup dengan mulut! Nyonya itu nampak gagah sekali dan bagaimana pun juga, dua orang muda itu memandang dengan bengong dan jeri! Apalagi Tek Ciang sudah mengenal kelihaian wanita itu.

“Tidak....!” Tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dan menghalangi isterinya. “Nio-cu, ingatlah, mereka ini hanyalah orang-orang muda yang menjadi utusan saja. Dan yang ditantang oleh keluarga Cu adalah aku seorang, maka kalau memang mereka ini hendak mengadu kepandaian, biarlah dengan aku, bukan engkau. Mundurlah dan mari kita lihat apakah dua sobat muda ini dapat menandingi aku.” Setelah berkata demikian, Kam Hong meloncat ke depan menghadapi Kui Lok dan Tek Ciang. “Ji-wi, silakan maju dan mari kita main-main sebentar.”

Akan tetapi melihat betapa tuan rumah tidak mengeluarkan suling emasnya yang amat ditakuti, diam-diam Tek Ciang merasa lega. Kalau dia dapat memancing agar pendekar itu tidak mempergunakan suling, sungguh menguntungkan apabila mereka maju berdua menandinginya. Yang amat ditakuti adalah sulingnya itu.

“Sute, locianpwe ini tidak bersenjata, sebaiknya kalau kita pun tidak mempergunakan pedang kita,” kata Tek Ciang.

Cepat dia menyarungkan pedangnya kembali. Bagi dia, bertangan kosong lebih lihai dari pada berpedang, karena selama berada di lembah keluarga Cu, selain ilmu pedang, juga dia mempelajari ilmu-ilmu silat tangan kosong keluarga itu sehingga ilmu-ilmunya menjadi semakin banyak dan lengkap.

“Baik, suheng, memang demikianlah seharusnya agar adil,” kata Pouw Kui Lok. “Bahkan tidak enaklah kalau kita maju bersama melakukan pengeroyokan.”

Kam Hong kagum mendengar ucapan-ucapan mereka berdua yang jelas menunjukkan kegagahan ini dan dia merasa semakin menyesal harus menghadapi dua orang gagah ini sebagai lawan. “Tidak apa, aku jauh lebih tua dan aku malu kalau harus menghadapi ji-wi satu demi satu. Majulah ji-wi bersama agar kita bertiga dapat bermain-main lebih gembira lagi.”

“Locianpwe, awas serangan!” Tek Ciang sudah menerjang dengan cepat, tidak mau memberi kesempatan kepada sute-nya untuk bersungkan-sungkan lagi.

Melihat suheng-nya sudah menerjang maju, dan maklum pula betapa lihainya tuan rumah, Kui Lok juga bergerak menerjang sambil membentak nyaring. Kam Hong sudah menantang mereka agar maju bersama, maka dia pun tidak ragu-ragu lagi membantu suheng-nya.

Melihat gerakan dua orang muda itu yang cukup dahsyat, Kam Hong merasa kagum dan cepat dia mengelak dua kali untuk menghindarkan diri dari serangan mereka. Maklum bahwa kalau dua orang muda itu maju bersama maka kekuatan mereka akan dapat mengimbanginya, maka dia pun tidak merasa sungkan lagi dan cepat membalas dengan tamparan kedua tangannya ke arah lawan.

Angin pukulan yang dahsyat menyambar, dan dua orang muda itu terkejut, akan tetapi dapat menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang. Terjadilah serang-menyerang dan mula-mula Kui Lok dan Tek Ciang bertahan dengan ilmu silat yang mereka pelajari di Lembah Naga Siluman. Dari Bu-eng-sian Cu Seng Bu mereka memperoleh latihan ginkang yang membuat tubuh mereka dapat bergerak cepat dan ringan, sedangkan dari Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas) mereka memperoleh ilmu-ilmu silat dan sinkang.

Tetapi, dengan ilmu silat yang mereka pelajari selama tiga tahun itu ternyata mereka sama sekali tak mampu mendesak lawan, bahkan ketika Kam Hong membalas dengan ilmu silat Khong-sim Sin-ciang, mereka menjadi bingung dan kewalahan. Oleh karena terdesak dan beberapa kali hampir terlanggar pukulan, tanpa disadarinya lagi, secara otomatis dua orang muda itu menggunakan gerakan-gerakan yang sudah mendarah daging pada diri mereka. Kui Lok segera mainkan jurus-jurus Kun-lun-pai yang sudah lebih lama dilatihnya sehingga lebih dikuasainya dibandingkan dengan ilmu silat baru yang dipelajarinya dari keluarga Cu.

“Wuuuuttt.... plakk!”

Kam Hong terpaksa menangkis karena terkejut melihat jurus lihai dari Kun-lun-pai dan dia meloncat mundur.

“Eh, engkau murid Kun-lun-pai....?” tegurnya heran.

“Dahulu sebelum menjadi murid keluarga Cu, saya adalah murid Kun-lun....,” jawab Kui Lok sejujurnya.

Akan tetapi Tek Ciang sudah menerjang lagi, tak memberi kesempatan kepada mereka untuk bercakap-cakap. Dan tentu saja Kui Lok juga melanjutkan serangannya. Kam Hong mengelak dan menangkis.

“Akan tetapi.... aku tidak pernah mempunyai permusuhan dengan Kun-lun-pai, bahkan bersahabat....”

“Tugas saya hanya menghadapi dan menandingi locianpwe tanpa membawa-bawa nama Kun-lun-pai, maka tentu saja saya menggunakan semua yang saya bisa untuk mencoba mengalahkan locianpwe,” kata Kui Lok sambil melanjutkan terjangannya.

Kam Hong mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak senang kalau harus menghadapi ilmu Kun-lun-pai karena hal ini berbahaya, dapat menyeret Kun-lun-pai menjadi lawan pula. Dia sama sekali tidak tahu bahwa masuknya pemuda murid Kun-lun-pai ini menjadi murid keluarga Cu adalah atas persetujuan ketua Kun-lun-pai pula.

Tiba-tiba Kam Hong mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang. Terjangan Kam Hong yang tadi menggunakan jurus dari Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) dibarengi dengan gerengan Sai-cu Ho-kang membuat tubuh dua orang muda itu tergetar dan terhuyung. Kesempatan itu digunakan oleh Kam Hong untuk menubruk maju dan mengirim dorongan telapak tangan untuk menggulingkan kedua orang muda itu dan mengakhiri perkelahian.

Akan tetapi tiba-tiba Louw Tek Ciang juga mendorongkan kedua tangannya menyambut, sedangkan Pouw Kui Lok sudah menggunakan loncatan dari ilmu meringankan tubuh Kun-lun-pai, tubuhnya mencelat ke udara dan di situ dia berjungkir balik sampai lima kali, terhindar dari terjangan hebat tangan Kam Hong tadi.

“Desss....!”

Tangan Tek Ciang menahan dorongan Kam Hong dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan Kam Hong merasa betapa hawa dingin yang dahsyat menerjangnya dari kedua telapak tangan Tek Ciang.

“Ihhh....! Ini.... ini.... ilmu dari Pulau Es....?” katanya dengan mata terbelalak.

Tek Ciang tersenyum mengejek. Cepat dia menerjang ke depan, tubuhnya berjongkok rendah dan kedua tangannya mendorong ke depan. Tenaga dahsyat menyambar ke depan dan tercium bau amis dan dari perut pemuda itu keluar bunyi berkokok.

Kam Hong terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang pendekar sakti yang tangguh, maka menghadapi pukulan Hoa-mo-kang yang ampuh ini dia masih dapat menangkis sambil menghindar ke samping. Dia melanjutkan lompatannya ke belakang agak jauh dan mukanya berubah agak pucat.

“Tahan dulu! Apa artinya semua ini? Kalian bukan lagi menggunakan ilmu-ilmu Lembah Naga Siluman, melainkan menggunakan ilmu Kun-lun-pai dan Pulau Es! Dan pukulan tadi.... pukulan keji.... bukankah itu pukulan dari golongan sesat?”

“Harap locianpwe tidak banyak berbantah lagi. Kalau locianpwe takut, lebih baik menjadi tawanan dan kami bawa menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman. Kalau berani, ilmu apa pun yang kami gunakan, adalah hak kami untuk dapat menandingi locianpwe,” kata Tek Ciang.

“Memang tidak perlu berbantah, kalian ini bocah-bocah sombong harus dibasmi!” Bu Ci San meloncat ke depan dan memutar sulingnya.

Akan tetapi kembali suaminya mencegahnya dan memegang tangannya.

“Jangan mencampuri. Aku tadi hanya merasa heran saat mengenal pukulan-pukulan Kun-lun-pai dan Pulau Es. Sungguh aku tidak ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai, apalagi para pendekar Pulau Es. Sungguh mengherankan sekali bagaimana keluarga Cu dapat memperalat murid Kun-lun-pai dan murid keluarga Pulau Es. Aku menyesal sekali kalau harus bersalah paham dengan mereka. Dan mereka berdua ini masih muda, tidak enaklah bagi seorang tua seperti aku harus melawan yang muda....”

“Suhu, mohon perkenan suhu. Biarlah teecu yang mewakili suhu!” Mendadak muncul seorang pemuda yang bertubuh kekar dan berpakaian sederhana, berusia sembilan belas tahun akan tetapi karena tubuhnya yang kekar dan tinggi besar, nampak lebih tua.

Dia adalah Sim Houw, putera tunggal Sim Hong Bu, yang telah dipertunangkan dengan Kam Bi Eng dan kini berada di Istana Khong-sim Kai-pang untuk belajar ilmu dari calon mertuanya. Dia masih menyebut suhu dan subo kepada calon ayah dan ibu mertuanya dan selama ini dia telah dapat menguasai Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut dengan baik, bahkan mulai dapat menggabung Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut.

Gurunya memandang murid atau calon mantu ini dengan alis berkerut. “Houw-ji, kenapa engkau hendak mencampuri urusan ini?” tanyanya, dalam keadaan seperti itu dia ingin menguji dan mengenal isi hati calon mantunya itu.

“Suhu tadi mengatakan bahwa suhu merasa sungkan harus melawan orang muda yang tingkatnya adalah murid suhu. Karena itu, sudah sepatutnyalah kalau suhu mewakilkan kepada teecu sebagai murid suhu untuk menghadapi mereka, mewakili suhu. Bukankan mereka itu pun datang hanya sebagai wakil, murid-murid yang mewakili suhu mereka? Jadi menurut teecu sudah sepatutnya kalau di sini suhu juga mewakilkan kepada teecu untuk menghadapi mereka.”

“Tidak, Houw-ji. Engkau tidak tahu. Mereka ini, yang seorang murid Kun-lun-pai dan seorang lagi murid keluarga para pendekar Pulau Es! Bagaimana mungkin aku akan menentang Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es?”

Sim Houw biasanya berwatak pendiam, pemberani dan jujur. Akan tetapi sekali ini agaknya dia tidak mau diam lagi karena tidak setuju dengan pendapat suhu-nya dalam menghadapi orang-orang yang memusuhi suhu-nya.

“Maafkan teecu, suhu. Sekali ini terpaksa teecu menyatakan bahwa teecu tidak dapat menyetujui pendapat suhu. Bukankah seorang pendekar tidak boleh melihat asal-usul seseorang, tetapi melihat perbuatan dan sepak terjangnya? Meski murid Kun-lun-pai atau keluarga Pulau Es, kalau tindakannya tidak patut, sudah semestinya kita jadikan lawan, sebaliknya biar keturunan orang jahat, kalau tindakannya benar seyogianya kita jadikan kawan. Yang kita musuhi bukanlah perguruannya, melainkan perbuatan orang itu. Sebatang pohon belum tentu menghasilkan buah yang semuanya baik, tentu ada beberapa butir buah yang busuk. Baik buruknya seseorang mana bisa diukur dari perguruan atau keturunannya, suhu?”

Diam-diam Kam Hong merasa girang akan pendirian calon mantunya ini. Tentu saja dia pun seorang pendekar sejati dan dia membenarkan pendapat ini. Memang tepat. Kalau keluarga Cu yang iri hati kepadanya dan memusuhinya sekarang mengirimkan murid, sepatutnyalah kalau dia pun mengajukan muridnya untuk menghadapi murid Lembah Naga Siluman itu. Dan muridnya ini, dia tahu cukup boleh diandalkan. Biarlah hitung-hitung menguji kepandaian murid atau calon mantunya ini, dan kebetulan yang datang adalah lawan yang tangguh. Hanya dia merasa curiga kepada lawan yang pendek tegap ini karena lawan ini tadi menggunakan ilmu pukulan sesat yang amat berbahaya.

“Baiklah, kalau begitu coba kau hadapi murid Kun-lun-pai itu!” katanya dengan gembira karena dia ingin menguji kepandaian muridnya setelah tiga tahun memperdalam ilmu silatnya di situ.

Pouw Kui Lok yang tidak ingin menderita kekalahan, apalagi dari murid pendekar itu sudah mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan dia merasa lebih aman, karena selain dia mempunyai ilmu pedang dari mendiang gurunya yang pertama yaitu Yang I Cin-jin, juga dia telah mempelajari ilmu pedang Kun-lun-pai yang hebat. Dan di Lembah Naga Siluman dia pun digembleng oleh keluarga Cu dengan ilmu pedang yang khas dari keluarga itu.

Melihat lawannya mencabut pedang, Sim Houw tersenyum girang. Memang itulah yang dikehendakinya. Dia ingin mencoba ilmu pedangnya yang kini sudah merupakan ilmu pedang gabungan antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Maka dia pun melolos pedangnya. Pedangnya itu tentu saja tidak sehebat Koai-liong Po-kiam milik ayahnya, atau tak sehebat Suling Emas milik suhu-nya, akan tetapi juga bukan pedang sembarangan dan karena dia telah mahir menggabung kedua ilmu itu, maka pedangnya itu merupakan senjata yang amat ampuh.

“Silakan!” tantangnya kepada Kui Lok sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

“Sambutlah seranganku!” teriak Kui Lok.

Dia mengelebatkan pedangnya, selanjutnya pedang itu diputar dan berubahlah pedang di tangannya menjadi segulung sinar yang tebal dan panjang. Sim Houw menggerakkan pedangnya menangkis dan terdengar suara nyaring ketika sepasang pedang bertemu, diikuti muncratnya bunga api. Mereka menarik pedang masing-masing dan merasa lega ketika memeriksa dan melihat bahwa pedang masing-masing tidak rusak.

Mulailah mereka saling serang dengan pedang masing-masing. Semakin lama gerakan mereka makin cepat, yang nampak hanya dua gulung sinar pedang yang membungkus bayangan kedua orang muda itu. Akan tetapi, di samping suara berdesingnya pedang, terdengar pula suara seperti tiupan suling dan ternyata pedang di tangan Sim Houw itulah yang mengeluarkan suara seperti itu!

Louw Tek Ciang hanya berdiri menonton. Dia merasa serba salah. Tidak disangkanya bahwa pihak lawan mempunyai seorang murid yang demikian tangguhnya. Seingatnya, tiga tahun lebih yang lalu, keluarga Kam hanya mempunyai seorang anak gadis yang cantik. Dia merasa yakin akan mampu mengalahkan gadis itu tanpa banyak kesukaran. Kini, murid pendekar Kam itu demikian tangguh dan kalau sampai Kui Lok tidak mampu mengalahkannya, bagaimana dia akan dapat menang menghadapi Kam Hong sendirian saja? Belum lagi diperhitungkan isteri pendekar itu yang juga memiliki kepandaian lihai sekali!

Mulailah dia merasa khawatir dan menyesal mengapa dia begitu bodoh menerima tugas berat ini berdua dengan Pouw Kui Lok saja. Boleh jadi mereka berdua kini telah memiliki tingkat kepandaian yang sulit dicari tandingannya, akan tetapi kalau dihadapkan dengan keluarga Kam, masih terlampau berat lawan itu.

Pertandingan pedang antara Sim Houw dan Pouw Kui Lok masih berjalan seru. Akan tetapi sesungguhnya Kui Lok sudah terkejut bukan main. Setiap jurus serangannya dipatahkan oleh lawan dengan sangat mudahnya, seolah-olah lawan sudah mengenal semua jurus serangannya. Dan memang kenyataannya juga demikian. Semua jurus ilmu pedangnya yang didapatkannya di Lembah Naga Siluman tidak asing bagi Sim Houw, bahkan pemuda ini adalah ahlinya dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut!

Apalagi setelah dia mempelajari Kim-sauw Kiam-sut, maka ilmu pedang keluarga Cu yang berasal dari satu sumber, amat dikenal olehnya dan dengan demikian, selama Kui Lok mempergunakan ilmu pedang dari Lembah Naga Siluman, dia seperti menghadapi seorang guru atau setidaknya orang yang jauh lebih ahli ketimbang dia! Barulah kalau dia bersilat pedang dengan ilmu pedang dari Kun-lun-pai, pihak lawan tidak mengenal dan bersikap hati-hati dan dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut, baru dia dapat sedikit mengimbangi ilmu pedang lawan.

Betapa pun juga, ilmu pedang lawan itu sungguh amat aneh gerakannya dan kadang-kadang mengeluarkan bunyi melengking-lengking seperti suling ditiup dengan gerakan serangan yang luar biasa sekali. Hal ini membingungkan hatinya dan mulalah dia terdesak hebat. Dia kini hanya dapat memutar pedangnya melindungi dirinya saja, tanpa dapat membalas sedikit pun, hanya main mundur.

Tiba-tiba, ketika Sim Houw menyerang lagi dengan tusukan kilat, tubuh Kui Lok mencelat ke atas dengan gaya yang amat indah. Sim Houw terkejut dan dia mengenal ilmu ginkang dari keluarga Cu, atau dari tokoh ke dua, yaitu Cu Seng Bu yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) yang juga merupakan paman kakeknya. Dia maklum akan kehebatan ginkang ini yang dia sendiri belum mempelajarinya karena tidak diberi kesempatan, dan dia dapat menduga bahwa dari atas, tentu lawan akan menyerangnya dengan Ilmu Pedang Naga Siluman Mencakar Bumi, serangan yang paling tepat dilakukan dalam keadaan melompat dan menukik seperti itu. Dan serangan ini amat berbahaya.

Benar saja, dari atas, tubuh Kui Lok menukik ke bawah dan kini dia menyerang bukan dengan jurus Kun-lun-pai, melainkan dengan jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari keluarga Cu. Pedangnya menusuk ke arah ubun-ubun dengan gerakan diputar-putar untuk membingungkan lawan. Akan tetapi Sim Houw sudah mengenal jurus ini, menangkis dengan pedangnya kemudian menjatuhkan diri dan bergulingan sehingga serangan dahsyat itu dapat dihindarkan.

Melihat sute-nya kewalahan, Tek Ciang mendadak meloncat ke depan, tangan kirinya meluncur dan mulutnya beseru, “Mundurlah, sute....!”

Mulutnya berkata demikian dan tangannya sudah meluncur ke depan. Terdengar suara bercicit dan terdapat sinar menyambar ke tubuh Sim Houw yang sedang bergulingan itu. Tek Ciang memang curang sekali. Mulutnya menyuruh sute-nya mundur seolah-olah dia bersikap jujur tidak main keroyok, akan tetapi karena pada saat itu pihak lawan sedang bergulingan menghindarkan serangan Kui Lok tadi maka sama saja dengan dikeroyok!

Melihat serangan tangan kosong yang aneh ini, Sim Houw meloncat dan mengelak. Akan tetapi dia kurang cepat.

“Brettt….!” terdengar suara dan baju di pundaknya robek oleh serangan aneh itu yang dilakukan oleh jari tangan Tek Ciang dari jarak jauh.

“Ihhhh.... itu.... itu.... Kiam-ci (Jari Pedang), ilmu iblis dari mendiang Ji-ok!” tiba-tiba Bu Ci Sian berseru kaget. “Iblis ini tentunya ada hubungannya dengan Ngo-ok!” Berkata demikian, Bu Ci Sian hendak menerjang, akan tetapi kembali suaminya mencegah dan memberi isyarat dengan mencabut suling emasnya. Melihat suaminya mencabut suling emas, Bu Ci Sian tidak melanjutkan serangannya.

Sementara itu, hanya sebentar saja Sim Houw terkejut dan kini dia sudah menerjang maju melawan Tek Ciang yang juga telah mencabut pedangnya. Tek Ciang lebih cerdik dari pada Kui Lok. Tadi dia maklum bahwa tentu pemuda kekar ini sudah mengenal ilmu dari Lembah Naga Siluman hingga semua serangan dari Kui Lok dapat dipatahkannya dengan mudah.

Maka, dia pun tidak mau mempergunakan ilmu pedang yang baru dipelajarinya itu dan dia menghadapi lawan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-hoat yang dimainkan dengan sebatang pedang sedangkan untuk mengimbanginya, tangan kirinya juga menyerang dengan Kiam-ci! Hebat bukan main permainan pedang yang diimbangi dengan Jari Pedang tangan kiri ini.

Akan tetapi kali ini dia menemukan lawan yang amat tangguh. Maklum akan kehebatan lawan, Sim Houw lalu mainkan ilmu pedang gabungan yang baru saja dipelajari dan sedang dimatangkan, dan ilmu pedang ini memang hebat sekali, mampu menandingi serangan lawan, bahkan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya.

“Sute, lekas bantu aku!” berkali-kali Tek Ciang berseru.

Kui Lok merasa serba salah. Jika dia membantu berarti dia dan Tek Ciang mengeroyok seorang pemuda yang jauh lebih muda usianya, akan tetapi kalau mendiamkan saja Tek Ciang terancam bahaya sedangkan dia hanya berdiri menonton, sungguh amat tidak enak. Dia sudah menggerakkan pedangnya, akan tetapi masih ragu-ragu dan pada saat itu terdengarlah suara suling ditiup secara istimewa!

Alunan suara suling yang halus merdu itu naik turun dengan halus akan tetapi di dalam kelembutan itu terkandung getaran suara yang menusuk telinga! Tak lama kemudian, suara itu pun disusul oleh lengkingan suling lainnya yang lebih tinggi akan tetapi yang mengikuti lagu suling pertama.

Dua orang muda penyerbu itu terkejut karena merasa betapa suara suling itu seperti menembus kulit daging dan menusuk jantung. Ketika mereka memandang, ternyata Pendekar Suling Emas Kam Hong dan isterinya sudah duduk bersila sambil meniup suling emas mereka. Tiba-tiba Sim Houw juga meloncat mundur ke dekat suhu dan subo-nya, lalu duduk bersila dan pemuda ini pun mengeluarkan suara bersenandung dengan mulutnya yang mengikuti pula nada dan irama kedua suling itu!

Tek Ciang yang memang berwatak licik dan amat curang, melihat tiga orang itu asyik berlagu sambil duduk bersila, merasa memperoleh kesempatan yang baik sekali untuk melaksanakan niat busuknya. Dengan pedang di tangan dia meloncat dan menerjang, maksudnya hendak membunuh Kam Hong dengan sekali tusukan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terjengkang dan jantungnya berdebar, seolah-olah suara suling yang halus itu mempunyai tenaga mukjijat yang menolaknya dan kini dia sudah meloncat bangun lagi. Tanpa mempedulikan suara suling yang bagaikan menusuk telinga dan menembus jantungnya, dia berusaha untuk menyerang lagi. Akan tetapi begitu dia meloncat, dia pun terbanting jatuh lagi.

“Suheng, jangan....!” Kui Lok berseru kaget dan wajahnya sudah pucat sekali. Pemuda ini menderita hebat oleh suara suling yang halus itu, makin halus suara itu, makin sakit rasa telinga dan jantungnya.

Akan tetapi Tek Ciang memang bandel. Dia bangkit lagi dan hendak menyerang lagi, akan tetapi sekali ini, begitu meloncat, tubuhnya seperti menubruk benteng baja dan dilontarkan ke belakang. Segera dia terbanting dan muntah darah, pedangnya terlepas dan pingsan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es