KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-47
“Sungguh menggembirakan sekali kami dapat hadir dalam saat yang berbahagia ini,” demikian katanya dengan lantang kepada kedua keluarga itu. “Kami adalah sahabat baik Kao-goanswe dan sudah lama kami mengharapkan datangnya hari bahagia ini. Dan mendengar bahwa calon isteri Kao-goanswe adalah keturunan keluarga Suma dari Pulau Es, sungguh hati kami semakin gembira rasanya.”
“Siong-taijin,” kata Kao Kok Cu dengan sikap hormat, “Paduka telah berkenan hadir dalam perayaan pernikahan anak kami yang sederhana ini, bahkan sebagai wakil sri baginda kaisar, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi kami seluruh keluarga mempelai. Semoga kehadiran paduka ini akan dapat menambah doa restu bagi kedua mempelai.”
“Ahh, kami dengan keluarga Kao-goanswe sudah bagaikan keluarga sendiri, harap saja Kao-tahiap tidak sungkan-sungkan lagi. Kao-goanswe adalah putera tunggal bukan? Dan isterinya, Suma-siocia, tentunya puteri Suma-taihiap yang ke dua,” katanya dengan nada suara sambil lalu dan menoleh kepada Suma Kian Bu dan isterinya.
Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan sejenak saling pandang dengan isterinya, kemudian tanpa menduga sesuatu, dia pun menjawab. “Bukan yang ke dua, taijin, tetapi yang pertama dan kami hanya mempunyai seorang anak perempuan tunggal.”
Akan tetapi betapa kaget dan heran rasa hati mereka semua yang hadir di situ ketika pembesar itu terbelalak dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Mana mungkin? Bagaimanakah ini? Harap Suma-taihiap tidak main-main.”
Kini Suma Kian Lee saling pandang sekilas dengan Kao Kok Cu dan hatinya merasa tidak enak. “Apakah yang taijin maksudkan? Saya sama sekali tidak berani main- main.”
Pembesar itu menepuk paha dengan tangan kanan. Hal ini sengaja dia lakukan untuk menarik perhatian dan memang usahanya berhasil baik. Para tamu lain yang duduk tidak jauh dari situ mulai mencurahkan perhatian dan ikut mendengarkan percakapan itu.
“Sungguh sangat mengherankan! Beranikah orang-orang membohong kepadaku ketika mengabarkan bahwa Suma-taihiap pernah menikahkan seorang puteri taihiap? Tiga tahun yang lalu, di Thian-cin, kabarnya puteri taihiap yang bernama Suma Hui telah menikah dengan seorang she Louw, kabarnya murid taihiap sendiri! Lalu yang akan menikah dengan Kao-goanswe ini siapakah, kalau taihiap hanya mempunyai seorang puteri tunggal?”
Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka semua mendengar ucapan itu. Juga para tamu kehormatan sekarang tertarik sekali. Untuk sejenak kedua keluarga pengantin tak mampu menjawab.
“Benar, taijin. Puteri kami hanya seorang saja, bernama Suma Hui. Dan semua yang taijin katakan tadi memang benar pernah terjadi!”
Pembesar itu pura-pura membelalakkan matanya. “Ah...., jadi.... benarkah begitu? Kalau begitu lalu.... lalu.... bagaimana sekarang Kao-goanswe....,” dia tak melanjutkan dan memandang wajah jenderal muda itu.
Kedua pasang besan itu saling pandang dan dalam pertukaran pandang mata itu, watak gagah mereka pun bangkit.
“Kami dapat menerangkan hal itu!” kata Suma Kian Lee dengan suara tenang.
“Dan memang sebaiknya kami menjelaskan kepada semua para tamu yang hadir!” sambung Kao Kok Cu dengan suara tegas.
“Siong-taijin, maafkan saya,” kata Cin Liong sambil mengerutkan alisnya. “Bolehkah saya mengetahui dari siapa taijin mendengar semua itu?”
Mendengar nada suara jenderal muda itu yang agak keras dan menuntut, pembesar itu pun tak mau main-main lagi. Dia sudah melaksanakan niatnya, melampiaskan dendam hatinya yang kecewa, yaitu membongkar rahasia keluarga itu. Dikeluarkannya sebuah sampul surat dari dalam saku jubahnya dan dia berkata, “Maaf, Kao-goanswe. Bukan maksudku untuk membuka rahasia. Akan tetapi kami menerima surat ini beberapa hari yang lalu, surat dari orang yang bernama Louw Tek Ciang. Kami tidak mengenalnya akan tetapi dia yang menceritakan bahwa Suma-siocia telah menikah tiga tahun yang lalu. Tadinya kami tidak percaya dan tak tahu apa maksudnya mengirim surat seperti ini. Karena hati kami penasaran, maka tadi kami tanyakan langsung kepada Suma-taihiap.”
Mendengar keterangan itu tahulah kedua pasang besan itu dan juga Cin Liong bahwa musuh besar mereka, Louw Tek Ciang, ternyata telah mulai beraksi dan tidak tinggal diam saja, ingin merusak perayaan itu dan nama baik mereka melalui Menteri Siong. Wajah Suma Kian Lee berubah merah sekali, demikian pula wajah Kao Kok Cu. Akan tetapi mereka tidak menyalahkan pembesar itu yang agaknya tanpa disadarinya telah diperalat Louw Tek Ciang. Hanya Cin Liong yang diam-diam dapat menduga bahwa agaknya surat itu membuka kesempatan bagi Menteri Siong untuk dapat melampiaskan dendam kecewanya.
Dengan suara lantang Suma Kian Lee berkata. “Taijin, kami tidak akan merahasiakan hal itu walau pun itu sesungguhnya merupakan urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Memang, puteri kami Suma Hui tiga tahun yang lalu pernah menikah dengan Louw Tek Ciang. Akan tetapi, pada hari pernikahan itu pula kami baru mengetahui bahwa dia seorang penjahat besar, murid dari iblis Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menipu kami sehingga telah kami ambil murid dan sekaligus mantu. Sejak hari pernikahan itu, hubungan kami sekeluarga dan dia menjadi putus, bahkan dia menjadi musuh besar kami. Puteri kami bukan isterinya lagi.”
“Dan kami sekeluarga pun sudah tahu akan semua itu!” sambung Kao Kok Cu lantang. “Dan seperti dikatakan oleh saudara Suma Kian Lee tadi, urusan ini adalah urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain!”
Menteri Siong dan para tamu yang lain mendengar ucapan dua orang pendekar sakti itu, yang dikeluarkan dengan suara penuh wibawa, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani memberikan komentar lagi karena kedua orang pendekar itu sudah menekankan bahwa urusan itu adalah urusan bersifat pribadi yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Mereka hanya dapat membatin, betapa anehnya watak tokoh-tokoh perkasa itu. Kalau orang biasa, sungguh tak mungkin seorang pemuda, apalagi dengan kedudukan setinggi Jenderal Muda Kao Cin Liong, mengawini seorang janda!
Sementara itu, Suma Ceng Liong dan ayah bundanya juga terkejut mendengar ucapan dua besan itu dan diam-diam Ceng Liong mencatat nama Louw Tek Ciang yang telah berhasil menipu pamannya sehingga diambil murid bahkan mantu olehnya. Padahal, Tek Ciang adalah murid Jai-hwa Siauw-ok dan dia pernah bertemu dengan mereka ketika bersama dengan mereka, mendiang Hek-i Mo-ong menyerbu ke rumah keluarga Kam di Bukit Nelayan.
Walau pun ada gangguan batin karena ulah Menteri Siong tadi, upacara pernikahan dilangsungkan dengan lancar. Wajah sepasang mempelai berseri penuh kebahagiaan pada waktu mereka melakukan upacara penghormatan kepada para orang tua dan keluarganya. Pesta sederhana lalu dirayakan dengan gembira.
Pada keesokan harinya, Suma Ceng Liong dan ayah bundanya sempat mendengar penuturan Suma Hui sendiri yang ditemani suaminya tentang mala petaka dan aib yang menimpa keluarga ayahnya karena kejahatan Louw Tek Ciang. Ia tak menyembunyikan apa-apa lagi karena bicara di antara keluarga.
“Dulu, bersama suamiku ini, aku pernah singgah dan bertemu paman Kian Bu berdua ketika kami kembali dari Pulau Es dan paman Kian Bu telah memperingatkan kami akan banyak halangan dan rintangan bagi perjodohan kami. Dan ternyata memang benar.” Suma Hui menutup ceritanya.
Kian Bu mengangguk. “Bagaimana pun juga, semua telah lewat dan anggap saja semua itu sebagai mimpi buruk. Aku sungguh kagum kepada kalian. Cinta kasih antara kalian demikian besar dan murni dan dengan cinta kasih seperti itu kalian tentu akan hidup berbahagia.”
Kian Lee menarik napas panjang. “Semua adalah karena kesalahanku. Dulu aku terlalu kukuh dan aku lengah sehingga mudah tertipu oleh iblis itu.” Dia mengepal tinju dengan gemas.
“Manusia boleh berusaha bagaimana pun, akan tetapi Thian yang berkuasa akhirnya menentukan,” kata Kao Kok Cu.
“Aku telah bersumpah untuk mencari dan membunuh jahanam Louw Tek Ciang dan gurunya, Jai-hwa Siauw-ok!” kata Suma Hui sambil mengepal tinju.
“Harap paman dan juga enci Hui dapat menenangkan hati. Ketahuilah bahwa Jai-hwa Siauw-ok telah tewas tiga tahun yang lalu,” kata Ceng Liong.
Mereka semua, kecuali ayah bunda Ceng Liong yang sudah tahu, terkejut mendengar berita ini. “Bagaimana terjadinya? Siapa yang membunuh jahanam itu?” tanya Suma Kian Lee.
“Dia berkelahi dengan Hek-i Mo-ong dan dia terpukul roboh dan tewas.”
“Hek-i Mo-ong? Pemimpin gerombolan yang menyerbu Pulau Es?” Suma Hui dan Cin Liong terkejut.
Ceng Liong mengangguk. “Benar. Dan bukan hanya Jai-hwa Siauw-ok yang tewas, juga Hek-i Mo-ong telah meninggal dunia karena luka-lukanya, setelah bertanding dengan musuh-musuhnya.” Dia tidak menceritakan keadaan dirinya sebagai bekas murid raja iblis itu karena ini akan mendatangkan suasana yang tidak enak saja.
Suma Hui mengerutkan alisnya, lalu menghitung. “Mereka semua ada lima orang yang memimpin penyerbuan itu. Ngo-bwe Sai-kong telah tewas oleh nenek Lulu, juga Si Ulat Seribu telah tewas oleh nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas pula oleh Cin Liong-koko. Jikalau sekarang Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok telah tewas, berarti semua datuk iblis yang menyerbu Pulau Es telah tewas!”
Pada hari itu juga, Suma Kian Bu, isteri dan puteranya berpamit. Mereka meninggalkan kota raja tanpa berani menyinggung soal perjuangan melawan penjajah karena jenderal muda itu kelihatan masih amat bersemangat membela kerajaan. Mereka harus bersikap hati-hati sebelum merasa benar yakin bahwa ada kemungkinan besar jenderal itu akan mendukung. Ceng Liong sendiri belum berani menyinggung soal gawat itu.....
********************
Kita tinggalkan dulu pengantin baru yang berbahagia itu dan kita menengok keadaan kota Lok-yang di mana selama beberapa hari ini terjadi hal-hal yang menggemparkan.
Sejak kira-kira sebulan lamanya terjadi beberapa pembunuhan dan pengrusakan terhadap sarang-sarang penjahat. Juga rumah dua orang pembesar korup tidak terlewat dan menjadi korban serbuan seorang pendekar aneh. Dua orang pembesar itu adalah orang-orang yang suka melindungi kejahatan dengan menerima uang sogokan. Akan tetapi kalau kepala penjahat itu dibunuh, dua orang pembesar itu hanya dibuntungi kedua telinga mereka sebagai peringatan keras.
Dan dari mereka inilah, juga dari anak buah penjahat yang sempat melihatnya, tersiar berita bahwa pelakunya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, bersikap halus namun ilmunya tinggi sekali. Dan melihat betapa dia membunuh para kepala penjahat, membasmi sarang penjahat dan menghajar dua orang pembesar korup, jelas bahwa dia tentulah seorang pendekar muda!
Dan memang dunia kang-ouw di sekitar Lok-yang sudah mulai mendengar kemunculan pendekar ini, semenjak dari sebelah barat kota raja sampai ke Lok-yang. Di sepanjang perjalanan, ada seorang pendekar muda tengah menyebar maut di antara para penjahat dan mengulurkan tangan kepada setiap orang yang menderita dan yang tertindas.
Peristiwa ini menggelisahkan Koo-taijin, kepala daerah kota Lok-yang. Sudah dua orang pembesar pembantunya yang didatangi oleh pendekar itu! Dan dia sendiri yang merasa korup, bahkan suka menggunakan tenaga para penjahat untuk memperkuat kedudukan, menerima sogokan-sogokan dari para penjahat pemilik rumah pelacuran, rumah-rumah judi, dan kepala para maling, perampok dan copet, tentu saja merasa ketakutan. Dia seolah-olah dapat merasakan, betapa pendekar ini sedang menanti-nanti kesempatan untuk mendatanginya!
Beberapa malam yang lalu sudah ada bayangan yang berkelebatan di atas genteng gedungnya. Akan tetapi karena diketahui penjaga, bayangan itu tak sempat melakukan sesuatu dan melarikan diri. Sejak malam itu dia memerintahkan orang-orangnya agar melakukan penjagaan ketat. Namun dia masih juga merasa ketakutan dan akhirnya dia mengumpulkan tiga orang kepala penjahat di Lok-yang, tiga orang jagoan yang terkenal sebagai Lok-yang Sam-liong (Tiga Naga Lok-yang)! Kini tiga orang jagoan itu siang malam tinggal di gedung Koo-taijin. Barulah hati kepala daerah Lok-yang itu merasa tenang.
Akan tetapi pembesar itu lupa bahwa memasukkan tiga orang pentolan penjahat ke dalam rumahnya untuk menjaga keselamatan rumah sama dengan menggunakan tiga ekor serigala atau harimau untuk menjaga rumah! Dia mampu menyenangkan hati tiga orang jagoan ini dengan makanan dan minuman yang berlimpah dan hadiah uang secukupnya. Akan tetapi dia lupa akan sesuatu hal. Bahwa mereka itu, atau seorang di antara mereka, adalah seorang mata keranjang yang haus akan perempuan!
Dan di dalam gedung pembesar itu, terdapat banyak wanita cantik! Selir-selirnya saja masih muda-muda dan cantik-cantik, jumlahnya sampai tujuh orang. Belum lagi para pelayan wanita yang muda-muda dan manis-manis, yang kadang-kadang bertugas juga sebagai selir tak resmi pembesar itu! Belum lagi puteri-puteri pembesar itu sendiri.
Seorang di antara tiga jagoan ini berjuluk Tiat-liong (Naga Besi). Dia she Coa. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, sesuai dengan julukannya. Usianya kurang dari empat puluh tahun dan bajunya selalu terbuka di bagian dada. Dia agaknya suka berlagak memamerkan dadanya yang berbulu hitam lebat! Naga Besi ini memang nampak gagah dan jantan. Dia gila perempuan dan entah sudah berapa banyaknya wanita yang dia taklukkan, baik melalui kegagahannya termasuk bulu dada itu, atau rayuan mautnya, mau pun dia taklukkan dengan kekerasan mengandalkan keberanian dan kelihaiannya yang membuat dia ditakuti. Di lengan kanannya ada gambar cacahan berbentuk naga.
Dua orang temannya berusia lebih dari lima puluh. Yang seorang she Can dan berjuluk Ang-liong (Naga Merah). Dia memakai julukan itu karena mukanya berwarna merah. Orang ke tiga bertubuh pendek gendut, she Lui berjuluk Hek-liong (Naga Hitam) dan untuk mengabadikan julukannya, di lengan kanannya juga ada gambar cacahan seekor naga hitam. Mereka merupakan tiga serangkai yang bekerja sama menguasai dunia hitam di Lok-yang.
Ketika mereka menerima tugas berjaga dan melindungi Koo-taijin, tiga orang ini girang sekali. Mereka sudah mendengar akan munculnya pendekar tampan itu dan tentu saja mereka menganggapnya musuh. Mereka merasa keselamatan mereka masing-masing menjadi terancam. Maka, dengan tinggal di gedung Koo-taijin, mereka memperoleh banyak keuntungan.
Pertama, mereka akan dapat saling membantu dan bersama-sama menghadapi musuh. Ke dua, mereka akan mendapat bantuan pula dari pasukan pengawal dan penjaga gedung pembesar itu. Ke tiga, mereka tentu hidup serba enak dan menyenangkan di gedung pembesar itu dan akan menerima hadiah besar tanpa bekerja keras!
Dan bagi Tiat-liong, ada lagi kenyataan yang membuat dia mengilar. Ketika dia melihat wanita-wanita muda dan cantik itu! Wanita-wanita yang dia tahu sedang kehausan dan melayangkan pandang mata ke arah dadanya yang berbulu dengan mata yang bersinar-sinar!
Kedua orang kawannya sudah mengenal baik watak si Naga Besi ini, memperingatkan agar dia jangan mengganggu wanita-wanita itu. Akan tetapi, mana mungkin melarang seekor anjing melahap tulang-tulang muda yang berserakan di depan hidungnya? Baru pada malam ke dua, kawan-kawannya tidak melihatnya tidur di kamarnya lagi. Si Naga besi itu sudah terlena dan tenggelam ke dalam pelukan seorang di antara selir-selir Koo-taijin yang kehausan!
Pembesar itu sudah berusia enam puluh lebih. Mana mungkin dia mampu memuaskan belasan orang wanita, yaitu isteri, para selir dan para pelayannya? Tentu saja para selir yang menjadi hamba nafsunya begitu bertemu dan dapat berhubungan dengan pria seperti Si Naga Besi, merupakan suatu kelegaan yang membuat mereka tergila-gila. Dan bukan seorang selir saja yang tergila-gila kepadanya. Si Naga Besi lalu diantri dan laki-laki hidung belang ini tentu saja merasa keenakan dan senang sekali. Dua orang kawannya menggeleng-geleng melihat kegilaan Si Naga Besi.
Beberapa hari kemudian. Malam itu gelap sekali. Gelap, dingin dan sunyi karena tadi turun hujan lebat sekali. Kini hujan sudah berhenti, akan tetapi langit masih gelap. Bintang-bintang tak nampak, terhalang awan hitam. Keadaan seperti itu membuat orang amat mudah ngantuk. Dan untuk melawan ngantuk, para penjaga keamanan di rumah Koo-taijin minum arak penghangat tubuh dan main kartu.
Naga Merah dan Naga Hitam melakukan perondaan. Melihat semua aman, mereka pun segera memasuki kamar masing-masing. Si Naga Besi seperti biasa, sejak tadi sudah mendekam dalam kamar salah seorang selir Koo-taijin. Sekali ini dia berani mati sekali, berhasil merayu selir ke tiga pembesar itu, selir yang paling disayang oleh Koo-taijin.
Karena malam gelap dan dingin, para penjaga segan berjaga di udara terbuka. Mereka agak lengah. Ah, siapa orangnya yang mencari penyakit berkeliaran di luar dalam cuaca seperti itu? Mereka tidak pernah mengira bahwa sedikit kelengahan mereka itu telah dimanfaatkan sesosok tubuh bayangan hitam yang berkelebat di atas genteng rumah Koo-taijin ketika tidak melihat adanya penjaga di luar rumah seperti biasa.
Dengan gerakan yang sangat lincah dan ringan, bayangan itu sudah berloncatan di wuwungan gedung, kemudian melayang turun dan menyelinap di dalam bayang-bayang gelap. Tidak lama kemudian dia sudah mengintai dari jendela sebuah kamar. Hanya sebentar dia mengintai lalu membuang muka. Sudah cukup baginya. Seorang laki-laki tinggi besar yang diketahuinya melalui penyelidikan beberapa hari ini sebagai Naga Besi, sedang bermesraan dengan seorang wanita cantik di dalam kamar itu. Wajah bayangan itu tersenyum mengejek lalu meninggalkan kamar itu, menyelidiki kamar lain.
Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya. Kamar Koo-taijin! Pembesar yang kurus kering itu ternyata sudah tertidur pulas, mendengkur di dalam pelukan seorang pelayan perempuan muda yang malam itu bernasib bagus dipilih majikannya untuk melayaninya. Tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak terdengar oleh enam orang penjaga yang bermain kartu di dalam ruangan yang menembus ke kamar itu, bayangan tadi membuka jendela dan sekali meloncat dia telah berada di dalam kamar Koo-taijin. Sinar lampu kemerahan di kamar itu menimpa mukanya.
Ia masih muda. Antara dua puluh tiga tahun usianya. Wajahnya bulat dan kulit mukanya agak gelap, akan tetapi muka dan rambutnya terawat rapi sehingga nampak tampan sekali. Pakaiannya juga rapi dan indah, bersih dan terawat. Di pungungnya tergantung sepasang pedang yang berada dalam sarung pedang yang terukir indah. Gagang pedangnya bagus pula, dengan ronce-ronce biru.
Sejenak dia berdiri dalam kamar dan menyingkap kelambu. Apa yang sudah dilihatnya samar-samar dari luar kelambu tadi kini nampak jelas. Tubuh seorang wanita muda yang telanjang bulat memeluk tubuh kerempeng seorang kakek setengah telanjang. Bibir itu bergerak seperti membayangkan perasaan jijik, lalu tangan kirinya bergerak. Dua batang jarum halus yang harum baunya menyambar tengkuk wanita itu. Wanita itu menggerakkan tubuh berkelojotan, lalu mengeluh dan terlentang diam, pingsan karena dua jalan darah tertusuk dua batang jarum halus.
Dengan tenang pemuda itu menggulung tubuh Koo-taijin dengan selembar selimut, lalu mengempitnya dan membawanya keluar kamar. Tubuh itu tidak mampu bergerak atau berteriak karena sudah ditotoknya terlebih dahulu. Dia membawa tubuh pembesar itu melalui jendela dan tak lama kemudian dia sudah tiba di luar kamar di mana selir ke tiga pembesar itu masih berdekapan dengan Si Naga Besi. Daun jendela dibukanya dari luar dan setelah dia membebaskan totokannya pada tubuh Koo-taijin, dia lalu melemparkan tubuh itu ke dalam kamar, ke atas pembaringan di mana dua orang manusia itu sedang berjinah.
Begitu terbebas dari totokan, Koo-taijin yang semenjak tadi ketakutan setengah mati langsung bergerak. “Tolooonggg....!”
Tubuhnya terbanting ke atas pembaringan, di antara dua tubuh telanjang yang tumpang tindih.
“Brukkk....!”
“Aduhh…., aduhhh....!” Koo-taijin berteriak-teriak, juga selirnya ikut menjerit akibat tubuh suaminya itu jatuh menimpa dada dan kepalanya. Akan tetapi Si Naga Besi yang juga merasa terkejut sudah meloncat turun dari atas pembaringan, menyambar pakaiannya dan bergegas memakainya.
Ketika Koo-taijin melihat selirnya yang tersayang tidur bertelanjang bulat bersama Si Naga Besi, dia lupa akan rasa kaget dan takutnya. Seketika dia maklum apa yang terjadi antara selirnya dan jagoan itu. Dia sudah mendengar desas-desus di antara para pengawalnya bahwa salah satu di antara tiga jagoan yang menjaga keselamatannya itu kabarnya main gila dengan beberapa orang selirnya.
Akan tetapi karena dia tidak melihatnya sendiri, dia pun tidak percaya dan pura-pura tidak tahu. Apalagi pada waktu itu dia amat membutuhkan perlindungan dan bantuan tiga orang jagoan itu. Akan tetapi kini, melihatnya sendiri betapa selirnya ke tiga yang paling disayangnya berada dalam satu pembaringan bertelanjang bulat dengan Si Naga Besi, kemarahannya memuncak.
“Perempuan hina, apa yang sedang kau lakukan ini?” Dan dia tak dapat lagi menahan kemarahannya, ditinjunya muka selirnya dengan keras.
“Bukkk....!”
Perempuan itu sedang mengeluh kesakitan karena tadi kepala dan dadanya tertimpa tubuh suaminya, kini menjerit dan menangis sejadi-jadinya, tubuhnya terjengkang di atas kasur.
Koo-taijin semakin marah, turun dari pembaringan dan menyerang Si Naga Besi sambil memaki-maki, “Bajingan kamu! Berani meniduri isteriku?”
Dan dia mencoba untuk memukul jagoan yang sedang sibuk mengenakan pakaiannya itu. Akan tetapi, Si Naga Besi dengan tak sabar menangkis dan mendorong pembesar itu sehingga jatuh terjengkang.
“Tenanglah, taijin. Siapa yang melempar taijin?”
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar kamar. Para penjaga tadi mendengar teriakan si pembesar itu dan mereka berlari ke sana-sini berebutan mencari majikan mereka yang tadi berteriak minta tolong. Mendengar pertanyaan Si Naga Besi, baru Koo-taijin teringat akan peristiwa tadi. Mukanya pucat dan sekali lompat dia sudah bersembunyi lagi ke dalam kelambu dan merangkul selir ke tiga yang tadi dipukulnya, tubuhnya menggigil ketakutan.
“Tolong.... penjahat.... pembunuh....!”
Dari luar terdengar pintu digedor-gedor oleh para pengawal. “Taijin…! Taijin…! Apakah paduka berada di dalam?”
Ketika Si Naga Besi hendak membuka pintu, setelah membereskan pakaiannya, tiba-tiba dari atas menyambar sesosok bayangan yang gerakannya cepat bagaikan seekor burung garuda menyambar. Kiranya bayangan itu adalah pemuda yang melemparkan tubuh Koo-taijin tadi, yang ternyata barusan bersembunyi di atas tiang melintang di atas kamar itu.
Melihat pemuda tampan ini, Si Naga Besi segera dapat menduga bahwa tentu inilah musuh yang dinanti-nanti, maka tanpa banyak cakap dia sudah menerjang ke depan dan menyerang dengan dahsyatnya. Pemuda itu tidak mengelak, melainkan menangkis dan begitu lengannya beradu dengan lengan Si Naga Besi, penjahat itu terpelanting dan meringis kesakitan. Lengannya yang tertangkis tadi rasanya seperti bertemu dengan baja membara saja, keras dan panas! Dia maklum akan kelihaian lawan dan sekali meloncat dia telah menyambar golok besarnya yang tadi dia letakkan di atas meja.
“Bocah setan bosan hidup!” bentaknya.
Dia memutar-mutar goloknya yang besar di atas kepalanya kemudian menerjang maju, menyerang secara membabi buta. Pemuda itu mengelak dengan loncatan ke kanan kiri, lalu menggerakkan tangan kiri. Nampak betapa golok menyambar lewat kepalanya dan tangan kirinya itu menonjok ke depan, disusul tendangan kaki kanannya.
“Tuk....! Bruukk!”
Golok terlepas ketika sodokan tangan kiri pemuda itu mengenai dada di bawah ketiak kanan lawan, dan pada saat tendangan mengenai perut membuat tubuh Si Naga Besi terlempar menimpa tembok, nyawanya telah melayang. Ternyata pukulan tangan kiri tadi sedemikian hebatnya sehingga mengguncang dan memecahkan jantungnya!
Pada saat itu daun pintu kamar pecah dan masuklah dua orang kakek yang bukan lain adalah Naga Merah dan Naga Hitam, masing-masing memegang pedang dan tombak gagang panjang. Di belakangnya nampak belasan orang pengawal yang memegang senjata, siap mengeroyok!
Pemuda itu tidak mempedulikan mereka. Dia memungut golok Si Naga Besi dan sekali menggerakkan kaki dia telah meloncat ke pembaringan, dengan tangan kiri menjambak Koo-taijin. Pembesar itu sedemikian ketakutan dan mendekap selirnya lebih kuat lagi sehingga ketika tubuhnya terseret turun dari pembaringan, selirnya ikut tertarik dan terbanting.
“Ampun....ampunkan saya....!” Pembesar itu meratap dan kini dia sudah melepaskan tubuh selirnya dan berlutut, merangkak dengan kedua tangan di depan dada.
“Orang she Koo! Engkau ini seorang pembesar kepala daerah yang jahat! Engkau sudah bersekongkol dengan para penjahat, korup dan makan sogokan. Engkau bukan pemimpin rakyat yang baik. Orang macam engkau ini sudah selayaknya mampus!”
“Ampun.... ampun, taihiap....!” Pembesar itu meratap.
Sementara itu, Naga Merah dan Naga Hitam sejenak tertegun saat melihat Naga Besi menggeletak tak bernyawa lagi. Kemudian melihat pemuda itu membelakangi mereka dan mencurahkan perhatiannya kepada pembesar yang berlutut di depannya, Naga Merah menggerakkan pedangnya sedangkan Naga hitam menggerakkan tombaknya, menyerang dari belakang.
“Wuuutt....! Singg....!”
Pedang menyambar kepala sedangkan tombak meluncur ke arah lambung pemuda itu. Pemuda itu masih tetap menjambak rambut si pembesar dengan tangan kirinya. Dia tidak mengelak, juga tidak menengok menghadapi serangan-serangan itu. Akan tetapi ketika pedang dan tombak itu sudah menyambar dekat, tangan kanannya bergerak dan golok tadi dia gerakkan ke belakang tubuhnya.
“Trang....! Cringg....!”
Pedang dan tombak itu tertangkis golok dan terpental, hampir saja terlepas dari tangan pemegangnya yang meloncat ke belakang dengan kaget. Kulit telapak tangan yang memegang pedang terasa panas dan perih.
“Pembesar Koo, sekali ini aku ampuni nyawamu. Lekas kau rubah cara hidupmu dan menjadi pembesar pelindung rakyat. Kalau tidak, lain kali aku pasti datang mengambil kepalamu!”
Golok berkelebat dan pembesar itu menjerit. Rambutnya terbabat habis dan hidungnya putus. Dia mendekap mukanya, dan darah mengalir dari celah-celah jari tangannya, mulutnya mengeluarkan suara sengau. “Aduh.... aduh.... aduh....!”
Sementara itu, dua orang jagoan sudah memberi aba-aba kepada para pengawal untuk mengeroyok. Akan tetapi para pengawal itu hanya mengacung-acungkan senjata dan tidak berani maju. Betapa pun juga, dengan adanya belasan orang pengawal itu, hati kedua jagoan menjadi besar dan mereka berdua sudah menerjang maju lagi. Si Naga Merah yang memegang pedang memutar pedang di atas kepala sedangkan Si Naga Hitam menggerak-gerakkan ujung tombak untuk menggertak, mencari saat yang tepat untuk menusuk.
“Penjahat-penjahat keji macam kalian hanya mengotorkan dunia saja!” Nampak dua sinar berkelebat.
“Trang.... trang....!”
Dua jagoan itu terbelalak kaget melihat senjata mereka yang patah-patah disambar dua sinar tadi. Akan tetapi sebelum mereka sempat menghindar, dua sinar pedang yang berada di kedua tangan pemuda itu kembali berkelebat dan robohlah Naga Merah dan Naga Hitam. Mereka berkelojotan dan nampaknya tidak luka, akan tetapi dari celah jari tangan mereka yang menutup dada nampak darah bercucuran. Kiranya dua batang pedang di tangan pemuda itu telah menusuk dada menembus jantung!
Para pengawal terkejut dan berebutan menyerbu. Pemuda itu sudah siap memutar sepasang pedangnya, akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan sengau dari Koo-taijin, “Tahan....! Jangan serang dia! Taihiap, harap ampunkan kami. Mulai sekarang kami hendak merubah semua kesalahan!”
Pemuda itu menoleh kepada pembesar yang terus mendekap hidungnya yang masih berdarah. Bukit hidung itu sudah lenyap terbabat pupus oleh golok tadi. Nyeri bukan main dan berdarah terus. Pemuda itu mengangguk, kemudian melemparkan sebuah bungkusan kepada pembesar itu.
“Bagus, taijin. Biar cacad badan, kelak paduka akan menjadi pemimpin rakyat yang baik. Pakailah obat ini, dilumurkan pada lukamu, tentu segera sembuh. Selamat tinggal!”
Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, tubuh pemuda itu berkelebat ke arah langit- langit kamar. Terdengar suara keras pada saat atap itu jebol berlubang dan tubuhnya lenyap menerobos atap!
Ternyata di kemudian hari bahwa Koo-taijin benar-benar bertobat, berubah menjadi seorang pembesar yang baik, memperhatikan kepentingan rakyatnya dan mengerahkan pasukan keamanan untuk mengadakan pembersihan-pembersihan, membasmi sarang-sarang penjahat, bahkan tidak segan-segan menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan.
Pemuda perkasa yang telah membunuh Lok-yang Sam-liong dan menghukum Koo-taijin itu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain dengan kecepatan seperti terbang saja. Dia terus keluar kota dan memasuki kuil tua yang tak dipergunakan orang lagi. Tak lama kemudian dia sudah membuat api unggun di ruangan belakang, duduk bersemedhi di dekat api unggun. Buntalan pakaiannya terletak di dekatnya. Biar pun dia telah berhasil baik sekali dalam tugasnya sebagai pendekar pada malam itu, namun ketika cahaya api unggun menerangi wajahnya, dia sama sekali tidak kelihatan puas dan gembira.
Sebaliknya malah, wajahnya nampak suram muram. Wajah yang tampan itu digelapkan awan kedukaan dan sekali-kali dia menarik napas panang, lalu terdengar keluhannya dengan suara menggetar, “Gangga.... ahhh, Gangga....!”
Pemuda itu adalah Suma Ciang Bun. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika mendengar bahwa Gangga pergi tanpa pamit dan menurut enci-nya pemuda Bhutan itu pergi ke Bhutan, Ciang Bun menjadi kaget dan berduka. Dia pun segera melakukan pengejaran ke barat. Akan tetapi, dia tidak menemukan jejak pemuda Bhutan itu!
Hatinya semakin rindu dan semakin berduka, takut kalau selamanya dia takkan dapat bertemu lagi dengan orang yang sangat dicintainya itu. Dia tidak berani melakukan perjalanan terlalu cepat, takut membuatnya semakin jauh dari Gangga. Dia melakukan perjalanan perlahan-lahan, berhenti di setiap kota untuk melakukan penyelidikan, lalu melanjutkan terus ke barat. Yang membuat dia berduka adalah karena dia tidak pernah berhasil mendapat keterangan tentang pemuda itu.
Untuk mengurangi kedukaan dan menghibur kekesalannya, Ciang Bun mulai bertindak sebagai seorang pendekar yang menentang semua penjahat yang diketahuinya. Juga dia memberi hajaran kepada para pejabat yang korup, seperti yang telah dilakukannya di Lok-yang tadi. Mulai dia dikenal sebagai seorang pendekar muda yang berilmu tinggi dan yang bertangan maut terhadap para penjahat. Memang dia tak mau mengampuni penjahat. Hal ini mungkin menjadi akibat dari semua pengalamannya.
Di Pulau Es dahulu dia menyaksikan betapa kakek dan kedua orang neneknya tewas dan Pulau Es lenyap karena perbuatan penjahat. Kemudian, betapa keluarga ayahnya tertimpa aib karena perbuatan penjahat pula. Semua ini memupuk semacam dendam kebencian di dalam hatinya terhadap para penjahat sehingga dia tak mau memberi ampun kepada setiap penjahat yang ditemuinya.
Suma Ciang Bun terbenam dalam kedukaan. Dia teringat akan rencana pernikahan enci-nya. Dia takkan dapat hadir dalam perayaan pernikahan itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali sebelum dia dapat bertemu kembali dengan ‘pemuda’ yang dicintanya, Ganggananda.
“Aih.... Gangga, di manakah engkau berada....?” keluhnya penuh kerinduan sebelum dia tenggelam ke dalam semedhinya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Bun sudah meninggalkan kuil itu dan melanjutkan perjalanannya ke barat. Dia tidak lagi memasuki kota Lok-yang karena selama beberapa hari ini dia sudah melakukan penyelidikan dan agaknya tidak ada seorang pun melihat pemuda Bhutan seperti Ganggananda di kota itu. Ciang Bun mulai menduga bahwa mungkin sekali pemuda itu mengambil jalan yang lain, tidak melalui Lok-yang. Akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda itu terus menuju ke barat dan dia akan mencari terus sampai ke negeri Bhutan!
Ciang Bun mengambil jalan ke barat menyusuri sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Pada waktu musim hujan membuat Sungai Huang-ho pasang dan airnya berlimpah-limpah. Dalam keadaan seperti itu, sungai ini menjadi liar, arusnya kuat sekali sehingga amat berbahaya untuk naik perahu menentang arus. Maka Ciang Bun hanya berjalan kaki saja, kadang-kadang mempergunakan ilmu lari cepat kalau melalui jalan sunyi. Dia akan pergi ke kota Si’an yang jauhnya masih antara tiga ratus kilometer dari situ. Kalau dia melakukan perjalanan cepat, dalam waktu empat hari saja dia sudah sampai di sana. Tentu saja kalau di tengah jalan tak ada sesuatu yang akan menyita waktunya.
Dua hari kemudian tibalah dia di sebuah puncak bukit. Dari puncak itu dia dapat melihat pemandangan yang amat indah. Sungai Huang-ho yang lebar nampak berkilauan dari atas. Sejauh mata memandang, tak nampak adanya dusun di sebelah barat, melainkan penuh hutan memanjang di sepanjang tepi sungai. Maka dia pun mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat indah ini.
Ciang Bun lalu melepaskan buntalan dan siang-kiamnya dari punggung, menjatuhkan diri duduk di atas rumput hijau tebal lunak. Indah bukan main pemandangan menjelang senja itu. Indah dan sunyi. Sunyi sekali. Dia mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci air jernih dari buntalan. Akan tetapi ketika dia menoleh ke kanan kiri, merasa betapa sunyinya keadaan, betapa sepi dan kosong perasaan hatinya, roti kering itu tak jadi digigitnya.
Dia menyimpan kembali roti dan guci air. Tidak jadi makan atau minum walau pun perutnya lapar dan tenggorokannya haus. Dia tidak dapat makan karena pada saat itu hatinya dicekam keresahan dan kedukaan. Dia merasa betapa sepi hidupnya, betapa rindu kepada Ganggananda dan justru kerinduan inilah yang mendukakan hatinya. Terngiang di telinganya pertanyaan enci-nya ketika dia akan pergi mengejar Gangga.
“Yakinkah engkau bahwa cintamu terhadap Gangga itu murni? Ataukah hanya nafsu yang timbul karena dia seorang pemuda tampan?” Demikian enci-nya bertanya.
Ciang Bun menundukkan mukanya. Gangga adalah seorang pria! Dan bagaimana kalau Gangga mendengar pengakuan cintanya, mengerti bahwa dia adalah seorang dengan kelainan? Apakah Gangga akan memandangnya dengan jijik, akan menjadi marah, membencinya dan takkan sudi berdekatan lagi dengannya?
Ciang Bun mengangkat mukanya dan ternyata kedua pipinya yang menjadi pucat itu sudah basah semua. Dia menangis dan tidak mampu menahan perasaannya lagi. Ditutupnya mukanya dengan kedua tangan dan dia menangis tersedu-sedu, bagaikan anak kecil, seperti perempuan!
“Ciang Bun....!” Suara halus terdengar oleh Ciang Bun seperti nyanyian sorga. Seketika dia menurunkan kedua tangan dari mukanya.
“Gangga....? Gangga....?” bisiknya penuh keraguan, penuh harapan, penuh kegelisahan kalau-kalau tadi pendengarannya telah menipunya dan harapannya akan hampa. Akan tetapi ketika dia menoleh, di dalam cuaca remang-remang itu dia melihat pemuda itu dengan jelas! Bukan mimpi, bukan khayal!
“Gangga....!” Dia meloncat berdiri dan berlari menghampiri dengan lengan terbuka. Di situ Ganggananda berdiri memandang kepadanya dengan mata penuh haru, dengan bibir tersenyum.
“Ciang Bun....!” Katanya dengan air mata berlinang.
Ciang Bun mengembangkan kedua lengannya dan merangkul. Gangga diam saja dan membiarkan pemuda itu memeluk dan mendekapnya dengan kuat sekali. Ganggananda diam-diam harus melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam dari pelukan Ciang Bun, kalau tidak bisa patah-patah tulang iganya didekap sekuat itu!
“Gangga.... ah, Gangga.... betapa girang hatiku, betapa.... rinduku kepadamu....!” Ciang Bun berbisik berkali-kali.
Dia mendekap tubuh itu seolah-olah hendak memasukkan Gangga ke dalam dadanya supaya tidak sampai dapat berpisah lagi. Kemudian, saking girangnya dapat bertemu dengan Gangga kembali, dan saking rindunya, dia lalu mencium pemuda itu, ciuman sayang dan mesra pada pipi kanannya. Dia merasa betapa tubuh Gangga gemetar keras dan tiba-tiba Ciang Bun teringat akan keadaan dirinya.
“Ahhh....!” Dia melepaskan pelukannya seperti melepas ular, lalu membalikkan tubuhnya dan menjambak-jambak rambutnya sambil menangis!
“Ciang Bun....!” Ganggananda terkejut, menghampiri dan menyentuh pundaknya. “Ada apakah....?”
Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan, pundaknya bergoyang-goyang dan air mata menetes dari celah-celah jari tangannya. Melihat ini, Gangga Dewi menjadi terharu sekali. Betapa sikap pemuda ini seperti seorang wanita saja, padahal sepak terjangnya selama ini begitu gagah perkasa sebagai seorang pendekar sejati. Sungguh sulit membayangkan betapa seorang pemuda selihai ini, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat menangis sesenggukan seperti seorang wanita cengeng!
“Ciang Bun, ada apakah? Apakah yang menyusahkan hatimu?” tanyanya.
Ciang Bun mengusap air matanya dan dia lalu duduk di atas rumput tebal. Gangga Dewi juga duduk dan untuk menghilangkan suasana yang tidak enak itu, ia berkata. “Tahukah engkau betapa selama beberapa hari ini, dari sebelum engkau tiba di Lok-yang sampai sekarang, aku selalu membayangimu?”
Ucapan ini berhasil menolong. Ciang Bun yang sudah dapat menguasai hatinya, memandang heran. “Begitukah?” katanya. “Pantas aku tidak pernah dapat menyusulmu, kiranya engkau berada di belakangku.”
Gangga Dewi tersenyum dan suasana yang amat tidak enak bagi Ciang Bun tadi agak berubah, hatinya menjadi tenang kembali.
“Gangga, sebetulnya engkau hendak ke manakah? Apakah benar seperti keterangan enci Hui bahwa engkau hendak pulang ke Bhutan?”
“Dan kau sendiri hendak ke mana?” Gangga balas bertanya.
“Aku.... aku hendak menyusulmu. Karena engkau pergi tanpa pamit padaku....”
“Aku memang tidak pamit karena masih pagi sekali dan aku memang ingin pulang ke Bhutan. Kenapa engkau mengejarku?”
“Aku....? Aku.... merasa kehilangan sekali ketika engkau pergi, Gangga. Aku.... aku rindu sekali kepadamu.”
“Kau memang sahabatku yang amat baik, Ciang Bun. Akan tetapi di antara sahabat, ada waktu berkumpul dan ada waktu berpisah.”
“Akan tetapi aku tidak mau berpisah darimu, Gangga. Selamanya jangan sampai kita berpisah!”
“Ehhh, mengapa begitu? Mana mungkin begitu?”
“Gangga, aku.... aku cinta padamu, Gangga!”
Gangga Dewi sengaja mengatur sikap untuk menguji batin Ciang Bun sesuai dengan rencananya menolong pemuda itu sembuh, walau pun jantungnya terasa berdebar dan kedua pipinya terasa panas. Ia pura-pura terbelalak heran.
“Tentu saja, aku pun suka sekali kepadamu, Ciang Bun. Kita memang sahabat yang saling mencinta, sahabat karib, bukan?”
“Tidak, tidak! Bukan begitu, aku.... aku.... ahhh....!” Dan pemuda itu menunduk untuk menyembunyikan mukanya.
Gangga Dewi memegang pundak Ciang Bun. “Ciang Bun, ada apakah? Sikapmu begini aneh. Tadi juga kau.... menangis. Ada apakah?”
Inilah saatnya! Saat yang selama ini amat menggelisahkan hatinya. Tetapi, bagaimana pun, apa pun yang akan menjadi akibatnya, dia harus mengaku terus terang kepada Ganggananda. Mungkin Gangga akan menjadi jijik kepadanya, mungkin menjadi marah, membencinya sehingga mungkin juga akan meninggalkannya, untuk selamanya. Akan tetapi dia harus berani menanggung akibatnya.
Lebih baik menghadapi kenyataan dan memperoleh kepastian, betapa pun pahitnya, dari pada tersiksa dalam keraguan dan ketidaktentuan, terus-menerus tenggelam dalam kerinduan dan kebimbangan. Dia harus berani bersikap gagah sebagaimana layaknya seorang pendekar!
Maka, dia cepat menghapus air matanya. Untung baginya bahwa cuaca sudah mulai gelap sehingga Gangga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas. Hal ini menolongnya dan mengurangi rasa sungkan dan malunya.
“Gangga, sahabatku yang baik, kalau aku berterus terang dan kata-kataku menyinggung dan tidak menyenangkan hatimu, maukah engkau.... memaafkan aku?”
Diam-diam Gangga Dewi merasa terharu sekali. Ia merasa kasihan kepada pemuda itu dan ia tahu betapa sukarnya bagi Ciang Bun untuk menjawab pertanyaannya tadi.
“Tentu saja, Ciang Bun. Orang yang berterus terang, berarti mempunyai maksud baik dan sudah sepatutnya kalau dimaafkan.”
“Tapi.... tapi aku....” Ciang Bun menghentikan lagi kata-katanya, nampak berat sekali untuk membuat pengakuan dan menceritakan keadaan dirinya.
“Engkau kenapa? Katakanlah!”
Ciang Bun mengepal tinju dan menguatkan hatinya. Dia seorang pendekar, tdak boleh bersikap lemah. “Gangga, aku akan bicara terus terang dan mungkin sekali akan tidak menyenangkan hatimu, tidak enak kau dengar.”
Melihat sikap tegas ini, Gangga tersenyum. “Nah, begitu lebih patut bagimu, pendekar Suma Ciang Bun. Bicaralah!”
“Gangga, tadi aku mengatakan bahwa aku cinta padamu, tetapi bukan seperti yang kau maksudkan, tidak seperti yang kau sangka. Bukan cinta sebagai seorang sahabat!”
Gangga sudah tahu akan keadaan pemuda ini dari Suma Hui, akan tetapi ia pura-pura heran. Dia memandang dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, Ciang Bun.”
“Tidak terasakah olehmu saat aku.... memelukmu tadi? Aku.... ketika aku.... menciummu tadi? Nah, cintaku seperti itulah!”
“Tapi aku.... aku seorang pria juga!” Gangga memancing.
“Itulah, Gangga, justru itulah! Aku.... aku bukan seorang yang waras.... aku seorang yang sakit dan menderita kelainan. Karena itulah aku merana dan aku.... takut kalau kau menjadi benci kepadaku, menjadi jijik lalu meninggalkan aku untuk selamanya....”
Pemuda itu menundukkan mukanya, tidak menangis lagi tapi terbenam dalam kedukaan besar. Gangga Dewi memandang dan hatinya terharu. Ia sendiri belum merasa yakin benar apakah ia mencinta pemuda ini setelah mengetahui rahasianya dari Suma Hui. Yang jelas ia tidak membenci, tidak jijik melainkan heran, terkejut dan kasihan sekali.
“Ciang Bun,” katanya halus. “Sebetulnya apakah yang sedang kau derita itu? Kelainan dan penyakit bagaimanakah yang kau maksudkan?”
Ciang Bun menghela napas panjang. Betapa pun sukar dan beratnya, dia tetap harus berterus terang, harus menceritakan semua tentang dirinya kepada orang yang sangat dicintanya ini.
“Gangga, mungkin engkau akan kaget, heran dan jijik setelah mendengar penyakit apa yang mengganggu diriku. Baiklah aku mengaku terus terang saja, Gangga. Aku adalah seorang laki-laki yang berselera wanita. Aku tidak tertarik kepada wanita sebagai teman hidup, tetapi aku tertarik kepada sesama pria. Aku hanya bergairah terhadap seorang pemuda, aku hanya dapat jatuh cinta kepada seorang pria! Dan aku…. aku…. cinta padamu. Bukan hanya sebagai sahabat, melainkan lebih mendalam lagi, seperti.... seperti cinta suami isteri.... Aku ingin hidup bersamamu, selamanya di sampingmu dalam suka mau pun duka, tidak akan terpisah lagi. Nah, aku sudah menceritakan semua dan.... dan engkau tentu muak dan membenciku!”
Hening sejenak. Gangga Dewi teringat akan siasat yang diatur Suma Hui. Memang, ia berjanji untuk membantu penyembuhan pemuda ini. Tetapi hanya untuk mengguncang batinnya, menyadarkannya dengan harapan mudah-mudahan pemuda itu akan dapat sembuh, melalui cinta pemuda itu terhadap dirinya. Akan tetapi, ia sendiri tidak yakin apakah ia juga mencinta pemuda ini. Ia merasa suka dan kagum, akan tetapi cinta? Ia sendiri belum tahu benar, apalagi setelah melihat kelainan yang ada pada batin Ciang Bun.
“Ciang Bun, jadi kau.... kau mencinta diriku?”
“Aku cinta padamu, Gangga, walau pun aku maklum bahwa mungkin sekali engkau akan merasa muak dan membenciku.”
“Engkau mencinta diriku karena.... aku seorang pria, seorang pemuda yang menarik hatimu?” Sepasang mata yang bening tajam itu bersinar menyaingi bintang-bintang yang mulai bertebaran di langit, berusaha menembus kegelapan untuk dapat menjenguk isi dada pemuda itu dan mengetahui isi hatinya.
Ciang Bun mengangguk, teringat bahwa cuaca gelap dan Gangga tidak akan dapat melihatnya, maka dia berkata gagap, “Ya.... ya, begitulah....!”
Tiba-tiba Gangga bangkit berdiri. “Hemm, jadi yang kau cinta hanyalah diriku sebagai seorang pemuda yang menarik? Ciang Bun, jika engkau hanya membutuhkan pemuda tampan menarik, mudah saja bagimu untuk memperolehnya setiap saat dan di mana pun! Aku.... aku tidak sudi menjadi korban nafsu-nafsumu!” Setelah berkata demikian Gangga meloncat jauh dan lari.
Sejenak Ciang Bun termangu. Dia sudah menduga bahwa pengakuannya itu tentu akan berakibat hebat, namun begitu dia teringat bahwa Gangga telah pergi meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, dia pun meloncat dan mengejar turun dari puncak bukit.
“Gangga....! Tunggu dulu, aku mau bicara denganmu!”
Gangga berhenti, membalik dan menanti sambil bertolak pinggang. “Mau bicara apa lagi?” tanyanya angkuh.
“Gangga, maafkan kalau aku telah menyinggung perasaanmu dengan kata-kataku tadi yang bodoh dan canggung. Gangga, aku cinta padamu, sungguh bukan hanya karena engkau seorang pemuda tampan yang menarik. Tidak! Aku cinta padamu karena dirimu, karena pribadimu, biar ditukar seribu orang pemuda tampan sekali pun aku tidak mau!”
“Ciang Bun, engkau tadi mengatakan bahwa engkau tidak suka kepada wanita, begitu bukan?”
“Benar, Gangga, dan itulah penyakitku, itulah kelainan diriku....”
“Nah, sekarang lihat baik-baik, Ciang Bun, lihat baik-baik!”
Gangga lalu menggunakan tangannya melepas kain pengikat dan penutup rambutnya, menanggalkan pula alis palsunya. Rambutnya yang halus panjang terurai lepas. Biar pun cuaca remang-remang akan tetapi cukup terang bagi Ciang Bun untuk melihat perubahan itu dan dia pun terbelalak.....
Komentar
Posting Komentar