KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-46
Ciong Ek Sim meludah. “Cuhh! Manusia sombong dan tolol. Apa sukarnya kalau aku hendak membunuhmu?”
Pada saat itu Song-pang-cu berseru, nada suaranya nyaring dan mengandung penuh perasaan marah. “Orang she Ciong! Kalau engkau berani membunuhnya, kami seluruh anggota Pek-eng-pang akan mengadu nyawa dengan gerombolan Hek- i Mo-pang, dan kami minta bantuan semua enghiong yang hadir!”
Mendengar ini, Ciong Ek Sim memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa mata para tamu mengandung permusuhan ditujukan kepadanya, dan dia tahu kalau tuan rumah minta bantuan, mereka semua tentu akan mengeroyok dia dan rombongannya. Apalagi pemuda baju hijau yang tadi dirampas kursinya tadi bersorak dan memihak tuan rumah. Pemuda itu mengepal kedua tinjunya dan sedang berbisik-bisik ke kanan kiri membakar semangat para tamu lain dan agaknya sudah siap untuk maju mengeroyok!
“Ha-ha!” Ciong Ek Sim terkekeh. “Pek-eng-pang mengandalkan keroyokan? Pula siapa yang mau membunuh? Kami hanya mau menghajar orang yang berani menghina Hek-i Mo-pang!” Setelah berkata demikian, dia mendorong lengan kiri Ciu Hok Tek ke atas dengan tenaga disentakkan.
“Krekkk....!”
Ciu Hok Tek terbelalak pucat, keringat sebesar kedele-kedele membutir di muka dan di leher. Tapi dia menahan nyeri yang membakar itu dengan menggigit bibir sendiri sampai pecah berdarah. Ketika lawan mendorongnya, ia terpelanting dan pingsan. Sambungan pangkal lengan dan sikunya putus terlepas!
Suasana menjadi riuh dan bising. Semua orang menjadi marah dan penasaran sekali melihat kesadisan orang Hek-i Mo-pang itu. Murid-murid Pek-eng-pang menolong Ciu Hok Tek yang pingsan sedangkan Song-pangcu segera berusaha mengembalikan letak sambungan tulang-tulang lengan kiri muridnya dan memberi obat.
Pemuda baju hijau yang menjadi tamu dan sahabat baik Hok Tek ikut sibuk. Ketika dia mengambilkan arak untuk diminumkan sahabatnya yang pingsan itu, dia lewat dekat Ciong Ek Sim.
Si tinggi kurus itu sudah membusungkan dada dan berkata, “Siapa saja yang berani menentang kami boleh maju satu per satu!”
Pada saat itu si baju hijau lewat membawa guci arak. Tiba-tiba tangan Ciong Ek Sim menyambar dan tahu-tahu leher baju pemuda itu telah dicengkeramnya!
Pemuda itu terkejut bukan main, tetapi karena bencinya dia mendelik dan membentak, “Ehh, mau apa kau pegang-pegang aku?”
Ciong Ek Sim tersenyum sinis. “Sejak tadi kamu memperlihatkan sikap anti kepada kami! Nah, sekarang kalau ada kepandaian, mari perlihatkan kepada tuanmu!”
“Ehhh, wah, apa-apaan kau ini? Hayo lepaskan aku! Siapa yang mau berkelahi? Kalau memang gagah dan mau cari lawan, carilah yang sepadan di antara para orang gagah, jangan ganggu setiap orang!”
“Huh, kamu punya jago? Suruh dia maju!” Ciong Ek Sim mendorong dan pemuda baju hijau terpelanting, guci araknnya terlempar dan isinya tumpah.
“Wah, galak dan jahat sekali!” si baju hijau merangkak dan mengambil gucinya, lalu dia menjauhkan diri.
Song-pangcu sudah tak bisa menahan kesabarannya lagi. Orang-orang Hek-i Mo-pang ini sungguh keterlaluan. Bukan hanya datang mengacau pesta, akan tetapi membikin malu pula pada Pek-eng-pang dan sudah merobohkan dan melukai empat orang murid kepala! Jelas bahwa tidak ada lagi jago di Pek-eng-pang kecuali dia sendiri!
“Keparat!” Dia membentak dan menyambar sebatang toya besi yang menjadi senjata andalannya dan sekali loncat dia sudah berada di depan Ciong Ek Sim! “Ciong Ek Sim! Kami Pek-eng-pang selamanya tidak pernah mencari permusuhan. Akan tetapi bukan berarti kami penakut. Kau dan gerombolanmu datang-datang memusuhi kami, biar aku membela Pek-eng-pang dengan nyawaku!”
Ciong Ek Sim memandang ketua itu dan bibirnya tersenyum menyeringai penuh ejekan, sikapnya memandang rendah sekali. “Bagus Pangcu, kau maju sendiri dan bersenjata pula! Apakah kau ingin membunuhku? Dan tadi kau melarang aku membunuh muridmu, ha-ha-ha!”
“Orang she Ciong! Tewas dalam perkelahian adalah wajar dan tidak perlu lagi dibuat penasaran. Akan tetapi kau tadi hendak membunuh lawan yang sudah tidak berdaya melawan lagi. Itu namanya pengecut! Nah, lihat seranganku!”
Ketua Pek-eng-pang itu menggerakkan toyanya dan terdengar suara bersuitan saking cepatnya toya itu bergerak dan saking kuatnya tenaga yang terkandung di dalamnya. Song-pangcu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sudah berani membuka sebuah perguruan silat. Ini berarti bahwa tingkat kepandaiannya sudah tinggi, maka serangan toyanya pun hebat sekali.
Akan tetapi ternyata lawannya tak kalah hebatnya. Biar hanya bertangan kosong, Ciong Ek Sim sama sekali tidak kewalahan menghadapi serangan lawan. Dengan cekatan dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, kadang-kadang berani menangkis toya besi dengan tangan dan kakinya, bahkan membalas serangan lawan tiap ada kesempatan!
Terjadilah pertandingan seru dan mati-matian. Para tamu yang menonton perkelahian ini, kebanyakan berpihak kepada tuan rumah. Mereka semua merasa benci kepada Ciong Ek Sim, walau pun sebagian dari mereka, terutama dari golongan hitam, merasa kagum. Terutama pemuda baju hijau yang memang sudah membenci sekali orang Hek-i Mo-pang yang tadi menghinanya. Dia terang-terangan berpihak kepada Song-pangcu dan selalu bersorak gembira setiap kali Ciong Ek Sim nampak terdesak atau kadang- kadang terhuyung.
Ilmu toya dari Siauw-lim-pai sudah terkenal di dunia persilatan sebagai ilmu silat yang amat tangguh dan sukar dikalahkan. Meski si tinggi kurus itu memiliki gerakan ilmu silat yang aneh, dan memiliki tenaga besar dan kekebalan sehingga berani menggunakan kaki tangan untuk menangkis toya, namun desakan-desakan dari Song-pangcu kadang-kadang membuat ia kerepotan sekali. Tentu saja hal ini melegakan hati para tamu yang mengharapkan agar si sombong itu bisa diberi hajaran keras dan agaknya Song-pangcu akan mampu melakukan itu. Terutama si pemuda baju hijau tiada hentinya bersorak dan bertepuk tangan menjagoi Song- pangcu.
Akan tetapi tiba-tiba terjadi perubahan dalam perkelahian itu. Gerakan Song-pangcu berubah menjadi kacau dan beberapa kali dia nampak ragu-ragu dan bingung. Bahkan, dalam keadaan mendesak, dia berbalik terdesak dan sebuah tendangan menyerempet pinggangnya, membuat dia terhuyung!
Tentu saja para tamu menjadi terkejut dan setelah mendengar seruan-seruan tertahan, suasana menjadi sunyi dan tegang. Song-pangcu memang terkejut dan bingung. Ketika dia sudah mulai berhasil mendesak lawan tadi, mendadak saja di dekat telinganya ada suara, “Song-pangcu, engkau sudah dikepung dari empat penjuru! Engkau tidak akan menang!”
Suara ini berulang-ulang berbisik di telinganya dan memaksanya untuk percaya. Suara itu demikian penuh dengan daya pengaruh, membuat dia merasa benar-benar dikeroyok dari empat penjuru! Tentu saja dia menggerakkan toyanya untuk melindungi dirinya dari serangan-serangan yang datang dari empat penjuru! Karena terbagi, daya tahannya berkurang sehingga dia kini terdesak oleh Ciong Ek Sim yang mulai terkekeh-kekeh lagi.
Para tamu tidak memperhatikan kakek gendut Boan It. Padahal, kakek inilah yang telah membuat keadaan perkelahian menjadi berubah itu. Kakek gendut itu duduk seperti tadi, akan tetapi sekarang pandang matanya ditujukan ke arah muka Song-pangcu, tak pernah berkedip!
Seorang pemuda yang terselip di antara para tamu muda di panggung yang paling belakang, semenjak tadi sudah mengikuti semua peristiwa itu dengan penuh perhatian. Beberapa kali pemuda ini mengerutkan kening, akan tetapi wajahnya yang gagah itu selalu tersenyum. Pemuda ini berpakaian sederhana dan dari pakaian, sikap dan gerak-geriknya sama sekali tidak terbayang bahwa dia pandai ilmu silat. Sikapnya sederhana sekali walau pun wajahnya amat gagah. Padahal, dia bukan sembarang orang, tetapi seorang pendekar muda yang amat lihai, memiliki kesaktian. Pemuda ini adalah Suma Ceng Liong!
Sejak munculnya gerombolan baju hitam, Ceng Liong sudah mengenal mereka. Dia mengenal pula kakek gendut Boan It dan tahu bahwa mereka adalah bekas anak buah gurunya, mendiang Hek-i Mo-ong! Dan Boan It memang seorang di antara para murid Hek-i Mo-ong. Baru satu dua kali dia bertemu dengan Boan It yang masih terhitung suheng-nya, walau pun tadinya dia tidak mau mengaku guru terhadap Hek-i Mo-ong dan menjelang akhir hidup Raja Iblis itu dia mengakuinya.
Tadinya Ceng Liong yang sedang melakukan perantauan mewakili ayahnya tidak ingin mencampuri perkelahian itu selama perkelahian dilakukan dengan adil. Akan tetapi, kini dia tahu akan kecurangan Boan It yang menggunakan kekuatan sihir atau ilmu hitam untuk membantu Ciong Ek Sim dan mengacau batin Song-pangcu. Hal ini membuat Ceng Liong penasaran sekali. Dipungutnya sebutir kacang dari tempat hidangan di atas meja dan tanpa diketahui para tamu yang menonton perkelahian dengan tegang melihat Song-pangcu terdesak, Ceng Liong menjentikkan jarinya membuat sebutir kacang itu meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arah Boan It.
“Tungg....!”
Kacang itu menyambar hidung yang besar pesek itu dan biar pun hanya sebutir kacang, tetapi karena diluncurkan melalui sentilan jari tangan yang bertenaga sinkang amat kuatnya, tiada ubahnya sebutir peluru baja saja!
“Aduhhh....!” Si gendut mengeluh dan cepat meraba batang hidungnya yang ternyata sudah bengkak!
Dia terkejut dan heran, mengira tentu ada lebah yang tadi menyengatnya. Akan tetapi tentu saja gangguan ini sudah cukup membuyarkan pengaruh ilmu hitamnya terhadap Song-pangcu.
“Sialan....!” gerutunya.
Masih untung baginya bahwa peristiwa yang menimpa dirinya itu tidak diketahui orang lain. Apalagi kini muridnya tak perlu dibantunya lagi karena Ciong Ek Sim telah berhasil merampas toya lawan!
Memang benar. Kini keadaan Song-pangcu makin payah. Lawannya berhasil memukul pundaknya dan merampas toya. Dan sambil tertawa berlagak, Ciong Ek Sim yang juga ternyata pandai main toya itu memainkan toyanya dan menyerang Song-pangcu kalang kabut. Tentu saja beberapa kali gebukan mengenai tubuh ketua Pek-eng-pang itu, akan tetapi orang gagah ini pantang menyerah dan melawan terus dengan mati-matian.
Semua tamu memandang gelisah. Bahkan pemuda baju hijau beberapa kali menutupi muka dengan tangan ketika toya menyambar ke arah kepala Song-pangcu, seolah takut melihat kepala itu pecah berhamburan.
Tiba-tiba sebuah tendangan keras mengenai paha Song-pangcu yang sudah terdesak, membuat ketua ini terpelanting dan ketika toya menyambar ke arah kepalanya, agaknya apa yang dikhawatirkan pemuda baju hijau itu akan terjadi kalau saja Song-pangcu tidak cepat menggulingkan tubuhnya menjauh.
“Darrr....!”
Bunga api bepijar ketika ujung toya menghajar lantai. Sebelum Ciong Ek Sim sempat menyerang lagi, para murid Pek-eng-pai telah menolong guru mereka dan memapahnya ke pinggir. Ciong Ek Sim bertolak pinggang bertongkat toya, memandang marah kepada seorang pemuda sederhana bertubuh tinggi besar yang sudah berdiri menghadangnya.
“Hem, siapakah kamu? Apakah kamu murid Pek-eng-pang yang sudah bosan hidup?” tanyanya dengan senyum mengejek.
Ceng Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Bukan, aku bukanlah murid Pek-eng-pang. Tapi karena aku menjadi tamu Pek-eng-pai, tentu saja aku tak mungkin membiarkan Hek-kaw mengacau di sini.”
Wajah Ciong Ek Sim berubah menjadi merah dan matanya mendelik. “Julukanku adalah Hek-houw (Macan Hitam), bukan Hek-kaw (Anjing Hitam)!” bentaknya.
“Ahh, begitukah? Tapi seekor harimau biasanya gagah perkasa, lebih banyak berbuat dari pada bersuara, sedangkan engkau menggonggong saja dan menggigit bagaikan anjing!”
Tentu saja sikap dan kata-kata yang dikeluarkan Ceng Liong menyenangkan hati para tamu, akan tetapi mereka merasa heran dan khawatir. Apakah pemuda ini sudah gila atau bosan hidup?
Si tinggi kurus yang berjuluk Hek-houw ini jelas lihai bukan main sehingga Song-pangcu sendiri pun kalah olehnya. Bagaimana seorang pemuda tidak ternama berani bersikap seperti itu? Padahal pemuda itu hanya seorang tamu dari panggung tamu biasa atau panggung paling belakang. Dan pemuda itu walau pun tubuhnya tinggi besar, sikapnya seperti seorang pemuda dusun yang bodoh!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Ciong Ek Sim mendengar ucapan itu. Saking marahnya dia hanya mendelik saja, tidak mampu mengeluarkan kata-kata! Ceng Liong amat benci kepada kekejaman orang ini, maka dia sengaja hendak mempermainkan dan memberi hajaran agar orang ini menjadi kapok.
“Engkau seperti anjing pencuri tulang, buktinya toya orang lain kau pertahankan saja!”
Semakin marahlah Ciong Ek Sim. Dia segera membanting toya besi itu sampai toya itu menancap setengahnya ke dalam lantai! Ceng Liong memeletkan lidah seperti orang heran.
“Wah, kau main sulap ya? Tentu pakai akal bulus!”
Dia lalu menghampiri toya itu dan meraba-raba sambil geleng-geleng kepala. Sikap yang ketolol-tololan itu membuat para tamu tak puas. Mereka mengharapkan jagoan tangguh yang akan maju melawan si tinggi kurus itu. Baru Ciong Ek Sim itu saja begitu lihai. Apalagi kalau gurunya, kakek gendut itu. Semua orang bergidik. Agaknya jeri terhadap kakek inilah yang membuat orang-orang gagah di situ tidak ada yang maju. Dan kini yang maju seorang pemuda mentah!
Ciong Ek Sim sendiri heran dan ragu melihat sikap Ceng Liong. Kalau pemuda ini gila, tentu tak patut dilawannya. Maka dia memberi isyarat kepada seorang anak buahnya. “Hajar tikus ini sampai terkencing-kencing minta ampun!” katanya.
Sekali tubuhnya melayang, dia sudah melompat ke dekat suhu-nya duduk, menyambar sebuah kursi kosong dan duduk tanpa mempedulikan para tamu kehormatan lain. Dia malah menggulung kedua lengan bajunya dan para tamu melihat betapa kedua lengan si kurus ini berwarna hitam membiru seperti besi saja!
Anak buah Hek-i Mo-pang itu bertubuh tinggi besar, satu kepala lebih tinggi dari pada Ceng Liong. Matanya besar beringas, kumis, jenggot dan cambangnya lebat sekali dan kelihatan kuat menyeramkam. Menerima perintah pemimpinnya, dia melangkah maju menghadapi Ceng Liong sambil menyeringai.
“Heh-heh-heh, aku akan menghajarmu sampai kau terkencing-kencing minta ampun, heh-heh!”
Dia nampak gembira sekali dengan tugasnya seperti seekor kucing disuruh menerkam tikus. Karena memandang rendah lawannya, dia tidak meraba golok besar yang terselip di punggungnya.
Ceng Liong hanya tersenyum dan berdiri seenaknya saja, tanpa memasang kuda-kuda seperti lajimnya orang yang menghadapi perkelahian. Si cambang bauk terbahak, lalu menggereng sambil mengembangkan kedua lengannya dan menubruk.
“Heeeiiitt!”
Semua tamu melihat betapa raksasa itu menerkam luput karena Ceng Liong lari ke samping dan.... si cambang bauk itu terjerumus dan jatuh menelungkup! Mukanya mencium lantai dan kontan saja hidungnya yang besar menjadi penyok berdarah.
Meledaklah sorak-sorai dan suara ketawa. Semua orang menganggap betapa tololnya orang Hek-i Mo-pang itu. Hanya lagaknya saja yang kereng tapi menubruk luput saja jatuh sendiri! Hanya Ciong Ek Sim dan gurunya yang merasa heran. Si cambang bauk itu mereka tahu bukan orang tolol, sama sekali tidak lemah karena ilmu silatnya tinggi, jauh lebih menang dibandingkan dengan murid-murid kepala Pek-eng-pang tadi. Tapi, mengapa menyerang luput saja bisa terbanting dan terjerembab?
“Eh, brewok, kau mencari katak? Atau memang kesukaanmu menciumi lantai? Jangan keras-keras, tuh hidungmu penyok!” Ceng Liong mengejek dan semua orang, terutama pemuda baju hijau, tertawa gembira sekali.
Tentu saja raksasa brewok itu pun terkejut dan marah. Terkamannya tadi luput, hal ini tidak aneh karena pemuda yang ketakutan itu lari mengelak, akan tetapi kenapa dia jatuh tertelungkup? Tentu tadi kakinya tersandung, pikirnya sambil bangkit dan menyeka darah dari hidungnya. Sialan, perih dan nyeri juga pikirnya. Tetapi dia harus menjaga gengsi, malu kalau harus menghadapi pemuda ingusan ini dengan senjatanya.
“Keparat, kakiku tersandung dan tergelincir!” gerutunya. “Bocah tolol, rasakan ini!”
Dan kakinya yang panjang itu pun menyambar dengan tendangan yang kalau mengenai tubuh Ceng Liong tentu akan membuat tubuh itu terlempar jauh seperti bola ditendang. Akan tetapi Ceng Liong meloncat dengan sikap orang ketakutan.
“Wah.... menendang! Wah.... luput....”
Tendangan itu luput dan.... agaknya, demikian anggapan semua orang, tendangan itu terlalu keras sehingga ketika luput tubuh raksasa brewok itu melambung ke atas lalu jatuh tunggang-langgang!
“Ha-ha-he-he.... heh! Lucu! Lucu!” si pemuda baju hijau kini tertawa-tawa dan semua orang pun tertawa.
Memang ulah si raksasa seperti badut saja! Raksasa brewok semakin marah. Ia bangkit dan memegangi pantatnya yang tadi terbanting keras. Meski dia sendiri tidak mengerti mengapa dia bisa terbanting hanya karena luput menendang saja, tetapi kemarahan membuat dia tidak peduli. Dicabutnya golok besarnya yang berkilauan itu!
“Wah, curang! Pakai senjata segala! Curang! Licik!” Pemuda baju hijau berteriak-teriak khawatir dan para tamu pun memandang gelisah. Akan tetapi pemuda sederhana itu nampak tenang-tenang saja.
“Wah, monyet hutan, mau apa kau bawa golok? Mau menyembelih babi? Hati-hati, bisa kena tubuhmu sendiri!” Ceng Liong mengejek.
“Bangsat!” Raksasa brewok itu mengayun goloknya dan dengan sikap yang lucu Ceng Liong pura-pura ketakutan, mengelak ke kanan kiri, lari ke sana-sini akan tetapi terus dikejar oleh lawannya.
Ketika dia berlari dekat pemuda baju hijau, pemuda itu cepat mengacungkan sebatang pedang yang entah diperoleh dari mana.
“Saudara yang baik, pergunakanlah pedang ini!”
“Aku.... aku tidak bisa menggunakan pedang....,” kata Ceng Liong sambil menyambar sebuah bangku. Ketika si brewok membacokkan goloknya, dia menangkis dengan kaku, menggunakan bangku.
“Crakkk....!”
Empat batang kaki bangku itu terbabat putus akan tetapi si raksasa brewok berteriak mengaduh dan goloknya terlempar ke lantai. Dia sendiri bergulingan di atas lantai sambil merintih-rintih. Kiranya empat potong kaki bangku yang putus itu secara aneh meluncur dan semua menancap di tubuh raksasa itu. Dua di kedua pundak, satu menembus paha dan satu lagi menancap betis. Dapat dibayangkan nyerinya dan ketika para anak buah Hek-i Mo-pang menggotongnya, nampak jelas raksasa itu terkencing-kencing saking nyerinya.
Terdengar ledakan sorak-sorai menyambut kemenangan pemuda sederhana itu. Walau pun mereka masih mengira bahwa kemenangan Ceng Liong hanya dapat terjadi karena nasib baik saja. Pemuda itu demikian pandainya berpura-pura sehingga tidak ada yang tahu bahwa dia memang ilmunya jauh lebih tinggi!
Dapat dimengerti betapa marahnya hati Ciong Ek Sim melihat anak buahnya yang diharapkan akan menghajar pemuda itu sampai terkencing-kencing malah sebaliknya dipukul roboh sampai terkencing-kencing. Dia mengeluarkan suara lengkingan panjang dan tubuhnya sudah meluncur ke depan. Kini dia berhadapan dengan Ceng Liong yang masih berdiri tegak sambil tersenyum-senyum.
“Ha, rupanya si Hek-kaw datang menggonggong lagi!” ejeknya.
Para tamu tertawa gembira melihat ada orang berani mempermainkan Ciong Ek Sim yang lihai itu, walau pun hati mereka masih khawatir memikirkan keselamatan pemuda yang pemberani itu. Yang menggelisahkan adalah karena gerakan-gerakan pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kepandaian silat, tetapi memperoleh kemenangan secara kebetulan saja. Dan yang paling khawatir adalah pemuda baju hijau yang segera mendekati Ceng Liong.
“Saudara yang baik, berhati-hatilah menghadapi iblis ini. Dia lihai sekali, sebaiknya dikeroyok saja!”
Ciong Ek Sim membanting kaki sehingga lantai tergetar dan si baju hijau terkejut, cepat meloncat ke belakang karena takut dipukul.
“Ihhhh.... galak benar....!” katanya sambil mundur kembali dan dia pun lalu mengejek dengan meniru suara anjing menyalak-nyalak.
“Huk.... huk-huk....!”
Semua tamu tertawa. Meski hatinya marah sekali Ciong Ek Sim maklum betapa semua tamu berpihak tuan rumah, maka dia tidak berani sembarangan mengejar pemuda itu dan mengamuk di antara para tamu.
“Sudahlah orang she Ciong, tidak perlu mengumbar kemarahan. Akulah lawanmu dan marilah perlihatkan apakah kepandaianmu selihai mulutmu yang sombong!” kata Ceng Liong.
“Bocah setan! Kalau aku tak dapat merobek-robek kulit dagingmu, mematah-matahkan tulang-tulangmu dan menghancurkan kepalamu, jangan aku disebut Hek-houw (Macan Hitam) lagi!”
“Memang engkau Anjing Hitam, bukan Macan Hitam! Huk-huk-huk!” Pemuda baju hijau mengejek di tengah-tengah para tamu, di tempat yang aman, sambil duduk di atas bangku dan seperti semua tamu lain, dia nonton dengan hati penuh ketegangan.
Ciong Ek Sim tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Tubuhnya menerjang maju, kaki tangannya bergerak aneh dan dia sudah mengirim pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Setiap pukulan atau tendangan amat kuat dan mendatangkan angin bersiutan dan terkena sekali tendangan atau pukulan itu tentu amat berbahaya.
Akan tetapi Ceng Liong mengenal gerakan jurus-jurus itu sebagai ilmu silat khas dari Hek-i Mo-pang tingkat pertengahan. Tentu saja tidak ada artinya bagi Ceng Liong dan walau pun tanpa melakukan gerakan silat, dengan langkah-langkah kaki yang memiliki dasar sama, dengan mudah dia dapat mengelak dari semua serangan itu.
Kini baru para tamu mulai mengerti atau setidaknya mulai menduga bahwa pemuda sederhana itu seorang yang lihai sekali. Walau pun tidak kelihatan bersilat, hanya melangkah ke sana-sini dan meliuk-liukkan tubuh, pemuda itu sudah mampu mengelak dari semua pukulan dan tendangan yang sedemikian dahsyatnya!
Si baju hijau girang dan kagum, berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan melihat betapa semua serangan si tinggi kurus gagal. Dan Ciong Ek Sim kini pun tahu bahwa lawannya tadi hanya berpura-pura saja. Lawannya ini ternyata lihai karena agaknya sudah tahu akan perkembangan jurus-jurus serangannya sehingga dapat menghindar dengan cepat, membuat semua pukulan dan tendangannya mengenai tempat kosong.
“Mampuslah! Wuuuttt....!” Dia berteriak.
Kini dia menggerakkan dan mengerahkan tenaga sinkang pada tangan kirinya dan mencengkeram. Cengkeramannya ini tak mungkin dielakkan karena setiap elakan akan dikejar terus oleh tangan kirinya.
Ceng Liong yang merasa sudah cukup mempermainkan lawan, mengenal jurus yang diberi nama Hek-mo-siok-mau (Iblis Hitam Menyisir Rambut) ini. Dia pun tahu bahwa mengelak tidak akan ada gunanya, maka dia mulai menghajar iblis kejam itu dengan tangkisannya pada tangan kiri lawannya sambil dia mengerahkan tenaga dengan gaya memotong dan memuntir.
“Krekk....! Aduuhh....!”
Tubuh Ciong Ek Sim terbawa memutar dan mukanya pucat sekali menahan rasa nyeri ketika dia memegangi lengan kirinya dengan lengan kanan. Kiranya tulang kirinya, di bawah siku, telah patah! Akan tetapi dasar jahat dan bandel, dia menyelipkan tangan kiri yang sudah lumpuh itu di ikat pinggangnya, matanya beringas dan merah memandang kepada Ceng Liong.
“Hyaaattt!”
Tiba-tiba dia menerjang dengan tangan kanan, kali ini tangannya menghantam dengan jari-jari terbuka ke arah perut Ceng Liong untuk dilanjutkan dengan cengkeraman ke arah kemaluan! Sebuah serangan yang amat keji dan berbahaya sekali.
Betapa kaget hati para tamu yang pandai main silat saat melihat betapa Ceng Liong menghadapi serangan ini dengan tenang saja, tanpa mengelak dan tanpa menangkis. Tentu akan pecah perut pemuda itu disambar tangan terbuka yang tak kalah kuatnya dari golok itu.
“Ceppp....!”
Tangan itu amblas seperti menancap ke dalam perut sampai sebatas pergelangan! Semua tamu terbelalak. Pemuda baju hijau bangkit berdiri dan menahan jeritannya.
Akan tetapi wajah Ceng Liong tetap tersenyum. Sebaliknya, wajah Ciong Ek Sim menyeringai kesakitan. Dia merasa betapa tangannya seperti masuk ke dalam tungku api! Rasanya panas seperti terbakar. Tentu saja dia berkutetan, meronta untuk menarik kembali tangan kanannya, akan tetapi tangannya tak mampu dilepaskan, seperti terjepit catut yang membara.
“Adudududuhh....!” Tak terasa lagi dia menjerit-jerit dan tiba-tiba tangan kiri Ceng Liong menabas ke bawah.
“Krekkk!”
Tangan Ceng Liong yang mengandung tenaga sakti dari Pulau Es itu memukul lengan kanan itu dan patah pulalah tulang kanan Ciong Ek Sim! Ketika perut Ceng Liong melepaskan tangan itu, lengan kanan si tinggi kurus itu tergantung lumpuh.
Semua orang bersorak ramai. Pemuda baju hijau yang tadinya khawatir sekali, kini demikian lega hatinya. Dia menjatuhkan dirinya di atas bangku dan tertawa-tawa.
“Ha-ha-heh-heh! Anjing hitam kena gebuk, patah kedua kaki depannya! Apakah masih bisa menggonggong? Huk-huk-heh-heh-heh....” Dia tertawa terpingkal-pingkal sampai terjungkal dari atas bangku!
Kini setelah kedua lengannya patah tulangnya dan tidak dapat dipergunakan untuk menyerang lagi, baru Ciong Ek Sim sadar. Matanya seperti baru terbuka bahwa yang dilawannya adalah seorang sakti yang luar biasa sekali lihainya! Akan tetapi semua tamu menyaksikannya dan dia ditertawakan semua orang. Lebih baik mati dari pada mundur dengan nama hancur. Dia berteriak seperti gerengan binatang buas dan dengan nekat dia menyerang, menggunakan kaki kanan untuk menendang, disusul kaki kiri, karena dia menggunakan ilmu tendangan meloncat ini harus disertai gerakan kedua lengan untuk mengatur keseimbangan. Akan tetapi kedua lengannya sudah lumpuh dan dia menendang dengan nekat.
Ceng Liong memang ingin memberi hajaran yang setimpal atas kekejaman orang ini terhadap empat murid kepala dan ketua Pek-eng-pang tadi, maka kini ia menggerakkan tangan dengan cepat, mengetuk ke arah kedua kaki yang saling susul itu dari samping setelah dia melangkah dengan elakannya.
“Krakk! Krakk!”
Dua batang tulang kaki itu pun tidak kuat menahan ketukan tangan Ceng Liong dan patah seketika. Tubuh yang kini sudah lumpuh kaki tangannya itu terbanting jatuh. Ceng Liong menendang dan tubuh itu lalu terlempar jauh sekali sampai keluar rumah dan terbanting ke atas tanah di pinggir jalan.
Para tamu bersorak girang. Mereka semua baru merasa kagum dan terkejut, menduga siapa gerangan pemuda perkasa ini. Song-pangcu sendiri bersama para muridnya juga merasa gembira dan terheran-heran karena mereka pun tidak mengenal tamu itu.
Tiba-tiba suara bentakan hebat menggetarkan seluruh ruangan dan para tamu terkejut dan berhenti bergembira. Semua mata memandang kepada kakek gendut yang nampak sudah bangkit berdiri dan mengangkat tongkat hitamnya di atas kepala. Kakek yang disebut dengan nama Boan It suhu itulah yang barusan tadi mengeluarkan bentakan atau teriakan yang menggetarkan ruangan itu.
Kini semua tamu melihat betapa kakek ini melangkah turun dari panggung kehormatan, menghampiri Ceng Liong dengan langkah tegap dan muka keruh. Sikapnya penuh ancaman dan menyeramkan. Akan tetapi sekarang para tamu mulai percaya akan kemampuan pemuda itu dan mengharapkan pemuda itu akan dapat mengalahkan pula pemimpin Hek-i Mo-pang ini.
Setelah berhadapan dengan Ceng Liong, kakek gendut itu lantas mengangkat tongkat hitamnya ke atas, memutar-mutar tongkat itu sehingga ujungnya membentuk suatu lingkaran hitam dan terdengarlah suaranya yang menggelegar dan menggeledek penuh getaran yang mengandung wibawa yang amat kuat.
“Orang muda, aku perintahkan kamu! Berlututlah dan jilatilah sepatuku sampai bersih! Haaaiiiitt!”
Bukan main dahsyatnya suara bentakan ini sehingga di antara para tamu bahkan ada yang tiba-tiba berlutut tanpa dapat mereka pertahankan lagi!
Semua orang menonton dengan tegang dan terpesona. Akan tetapi Ceng Liong nampak tenang saja, masih berdiri tegak menatap wajah kakek itu. Dua pasang mata saling pandang dan saling serang! Sepasang mata Ceng Liong semakin mencorong dan nampak betapa dalam adu mata ini akhirnya Boan It berkedip beberapa kali, tak dapat menahan matanya yang terasa perih dan panas.
Kemudian, Ceng Liong mengangkat tangan kiri membuat gerakan seperti menggapai ke arah Boan It sambil berkata, suaranya halus dan ramah sekali. “Boan It, engkau ingin sekali berlutut dan menjilati sepatuku sampai bersih? Aku akan senang sekali, silakan Boan It, penuhi keinginan itu. Berlututlah dan jilati sepatuku!”
Semua orang nampak heran sekali, dan Boan It nampak betapa tubuhnya menegang, beberapa kali kepalanya digeleng keras-keras akan tetapi sepasang matanya mulai pudar kehilangan cahaya dan akhirnya dia pun berlutut, merangkak maju lalu mulai.... menjilati sepatu Ceng Liong seperti seekor anjing besar menjilati kaki majikannya!
Tentu saja peristiwa aneh ini membuat semua orang melongo keheranan. Mereka masih belum mengerti bahwa tadi antara kakek gendut dan pemuda itu telah terjadi suatu pertandingan sihir! Boan It telah menjadi korban sihirnya sendiri yang telah dikembalikan oleh Ceng Liong.
Seperti diketahui, pemuda ini ketika digembleng oleh orang tuanya sendiri selama tiga tahun terakhir ini, telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri. Maka, menghadapi ilmu sihir Boan It yang mempelajari dari mendiang Hek-i Mo-ong, tentu saja dia sudah mengenal baik sihir itu dan dapat mengalahkannya dengan mudah.
Hanya sebentar saja para tamu terbelalak melihat Boan It menjilati sepatu Ceng Liong. Segera terdengar sorak-sorai dan ketawa meledak-ledak dan hal ini mengguncang Boan It ke dalam kesadarannya kembali. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia segera menggereng langsung menyerang Ceng Liong dengan tongkatnya dari posisi berlutut itu! Akan tetapi Ceng Liong sudah bersiap-siap dan dapat mengelak dengan loncatan ke belakang.
Boan It meloncat bangun. Sejenak dia memandang, mukanya sebentar pucat sebentar merah, kemudian dia mulai memainkan toyanya, diputar-putar cepat sekali di sekeliling tubuh sebelum menyerang. Terdengar suara berdesing-desing dan tongkat itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam lebar yang menyelimuti tubuh kakek gendut itu dan angin menyambar-nyambar ke depan.
Namun, Ceng Liong kini tidak mau main-main lagi. Dia pun mulai menggerakkan kaki tangannya, memasang kuda-kuda yang kokoh dan nampak betapa indah dan gagahnya dia mengatur sikap untuk menghadapi lawan yang bersenjata tongkat itu. Sikapnya ini tentu saja mengundang pujian dan sekarang baru semua tamu tahu betapa indah dan gagahnya gaya permainan silat pemuda itu.
“Haaaiiiit!” Boan It membentak dan mulailah dia menyerang.
“Hem....!” Ceng Liong mengelak dan ketika gulungan sinar hitam itu menyelimutinya, tubuh pemuda ini pun lenyap berubah menjadi bayangan putih yang berkelebat cepat sekali menyelinap di antara sinar hitam, menyambar-nyambar ke sana-sini.
Para tamu mengikuti pertandingan yang seru ini dengan hati tegang, maklum bahwa yang berkelahi adalah dua orang yang tinggi ilmu silatnya.
Jurus demi jurus berlangsung dengan cepatnya dan semakin lama Boan It semakin terkejut dan heran, juga hatinya mulai merasa gentar ketika pemuda ini seolah-olah mengenal semua gerakannya dan bahkan berani menangkis tongkatnya dengan lengan tangan.
“Plakkk! Dukkk!”
Tangkisan itu membuat tubuh Boan It terhuyung dan terpelanting, nyaris roboh kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri dan bergulingan.
“Tahan dulu!” Bentaknya ketika meloncat berdiri, melintangkan tongkatnya, napasnya terengah-engah.
Belum pernah dia bertanding dengan lawan setangguh ini dan selain gentar, dia pun ingin tahu siapa sebenarnya pemuda ini. “Sebelum engkau mati di ujung tongkatku, katakanlah dulu siapa engkau agar tidak mati tanpa nama.”
Para tamu juga menantikan jawaban pemuda itu dengan tak sabar karena mereka pun ingin sekali mengetahui siapa gerangan pemuda yang amat perkasa itu. Kini Ceng Liong menghentikan sikapnya yang main-main dan pandang matanya mencorong penuh wibawa.
“Boan It, engkau seorang murid murtad! Hek-i Mo-pang telah bubar atau dibubarkan oleh gurumu dan melarang kalian bergerak dengan nama perkumpulan itu. Akan tetapi engkau berani memimpin anak buah, bertindak liar dan sewenang-wenang dengan menggunakan nama Hek-i Mo- pang!”
Mendengar ini Boan It terkejut sekali. Dia memandang tajam penuh perhatian, dan dia pun teringat pemuda cilik yang dulu menjadi tawanan dari Pulau Es kemudian menjadi murid Hek-i Mo-ong itu.
“Kamu....! Kamu.... bocah dari Pulau Es itu? Kamu Suma Ceng Liong?”
“Bagus kalau masih ingat padaku!”
“Hah! Sejak dahulu aku ingin membunuhmu dan sekaranglah baru terbuka kesempatan itu!” Boan It menggereng seperti binatang buas, tidak menggunakan sihir lagi karena tadi pun dia mendapat malu ketika menggunakan sihirnya. Kini dia mengerahkan segala ilmu dan tenaganya, menyerang dengan dahsyat.
Ceng Liong tak mau memberi hati lagi. Ia mengelak, menangkis dan membalas dengan lebih cepat lagi. Para tamu menjadi berisik, dan mereka saling berbisik membicarakan pemuda itu. Mendegar bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda Pulau Es yang she Suma, semua orang menjadi kaget dan kagum. Tahulah mereka bahwa pemuda ini adalah keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang namanya di dunia persilatan seperti dewa saja.
Pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaian Ceng Liong jauh lebih tinggi dari pada Boan It. Bahkan kini setelah dia menerima gemblengan dari ayah bundanya selama tiga tahun terakhir ini, andai masih hidup, Hek-i Mo-ong sendiri belum tentu dapat menandinginya. Bahkan Suma Kian Bu sendiri harus mengakui bahwa setelah mengusai ilmu-ilmu Pulau Es dan Ilmu-ilmu dari Hek-i Mo-ong, puteranya itu jauh lebih lihai darinya sendiri.
Betapa pun, Ceng Liong tidak dapat melupakan mendiang Hek-i Mo-ong, bekas gurunya yang amat menyayanginya. Dia tahu bahwa Boan It pernah menjadi kepercayaan Hek-i Mo-ong. Maka mengingat mendiang gurunya itu, tiba-tiba dia merasa tidak tega untuk membunuh Boan It.
Pada saat tongkat itu meluncur ke arah tenggorokannya, Ceng Liong meloncat ke samping dan tiba-tiba ujung tongkat itu mengeluarkan uap hitam yang menyambar ke arah muka Ceng Liong. Pemuda ini tidak terkejut karena dia sudah mengenal uap beracun yang keluar dari ujung tongkat. Dia pun membuka mulut dan uap hitam itu buyar, bahkan kini membalik terdorong oleh uap panas yang menyambar dari mulut Ceng Liong.
“Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun)....!” Boan It berseru kaget saat hawa panas menyengat mukanya.
Ketika itu sebuah totokan jari tangan Ceng Liong melumpuhkan tangannya dan tongkat hitam itu pun pindah tangan. Sebelum Boan It mampu mengelak, tongkatnya sendiri telah mengalungi lehernya. Tongkat itu telah ditekuk oleh tangan Ceng Liong dan kini mengalungi lehernya dengan kuat. Dua kali totokan lagi membuat kaki tangan Boan It menjadi lumpuh dan dia pun roboh terguling!
“Pergilah, dan mulai hari ini bubarkan perkumpulanmu dan jangan lagi mengacau dunia dengan nama Hek-i Mo-pang!” kata Ceng Liong mengulang larangan mendiang Hek-i Mo-ong. Dia kemudian memberi isyarat kepada para anak buah baju hitam yang segera menggotong tubuh Boan It dan Ciong Ek Sim meninggalkan tempat itu tanpa banyak cakap lagi.
Tentu saja kemenangan ini disambut dengan gembira dan kagum oleh para tamu. Mereka mengelu-elukan pemuda itu, apalagi ketika Ceng Liong memperkenalkan diri sebagai putera Suma Kian Bu, pendekar sakti yang setengah mengasingkan diri di dusun Hong-cun di tepi Sungai Huang-ho itu.
Dalam kesempatan ini, dengan cerdik Ceng Liong memilih-milih beberapa orang tokoh kang-ouw yang gagah dan bersemangat untuk diajak bicara tentang negara dan bangsa yang dijajah, tentang kepahlawanan dan akhirnya dia pun berhasil membangkitkan dan membakar semangat beberapa orang pendekar yang menyatakan kebulatan tekadnya untuk membantu perjuangan mengusir penjajah apabila saatnya tiba. Juga mereka berjanji untuk menarik kawan-kawan sehaluan agar memperkuat barisan para patriot dan mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu membantu bila mana saatnya tiba.
Dengan hati gembira dan puas Ceng Liong meninggalkan Nam-san untuk mengunjungi kota raja dalam tugasnya mendekati dan menjajagi hati Jenderal Kao Cin Liong…..
********************
Suma Kian Lee dan isterinya tentu saja menerima berita keluarga Kao dengan gembira dan terharu. Pendekar ini sudah merasa bersalah besar terhadap keluarga Kao dan terhadap puterinya sendiri. Maka kini dia menyetujui saja ketika menerima berita bahwa pernikahan antara Suma Hui dan Kao Cin Liong akan segera diresmikan di rumah keluarga Kao atau di rumah jenderal muda itu. Mereka telah merasa salah langkah.
Puteri mereka sudah merayakan pernikahannya dengan Louw Tek Ciang, di Thian-cin. Tak mungkin mereka dapat merayakan lagi di Thian-cin, apalagi menikah dengan pria lain sedangkan perjodohan puteri mereka dengan Louw Tek Ciang belum lagi diceraikan secara resmi. Tentu umum mengira Suma Hui adalah isteri yang sah dari Louw Tek Ciang!
Karena keadaan ini pula perayaan pernikahan antara Suma Hui dan Kao Cin Liong diadakan dengan amat bersahaja, amat sederhana. Keluarga Kao tidak mengundang banyak tamu, hanya keluarga dekat dan rekan-rekan Jenderal Kao saja yang hadir. Dari pihak keluarga Suma, yang hadir hanya Kian Bu, isterinya dan putera mereka saja.
Suma Ceng Liong masih belum berhasil bicara mengenai negara dengan Cin Liong. Dia harus hati-hati karena jenderal muda itu nampak amat disayang kaisar, juga jenderal itu kelihatan amat setia. Biar pun ada ikatan keluarga melalui Suma Hui, akan tetapi kalau sampai dia salah bicara dan jenderal itu lebih berat terhadap kaisar, tentu perjuangan akan menghadapi jalan buntu atau setidaknya menghadapi penghalang besar. Inilah sebabnya, kenapa sampai dia hadir sebagai tamu perayaan pernikahan itu, Ceng Liong masih belum pernah bicara tentang negara dan perjuangan.
Yang menyedihkan hati Suma Hui adalah tidak hadirnya Suma Ciang Bun! Kepada ayah bundanya, juga kepada suaminya, terpaksa dia berterus terang tentang keadaan Ciang Bun yang mempunyai kelainan itu. Mendengar ini Kim Hwee Li lalu membanting-banting kaki kanan dan menjambak rambut sendiri!
“Dosaku....! Semua akibat dosaku. Thian telah mengutuk aku sehingga anak-anakku yang mengalami hukuman! Ah.... dulu aku adalah seorang wanita sesat, seorang gadis iblis yang liar....! Aih, suamiku, kenapa engkau memilih seorang perempuan macam aku sehingga kini engkau dan anak-anakmu ikut menderita....!” wanita ini menangis.
Suma Kian Lee cepat merangkulnya. ”Hushhh.... jangan berkata begitu, isteriku. Semua ini sudah terjadi. Dari pada mengeluh dan menyesali hal-hal yang lalu, lebih baik kita berusaha memberikan jalan keluar untuk putera kita itu kelak setelah selesai urusan pernikahan Hui-ji....!”
Suma Hui dan Cin Liong, dua orang lain kecuali Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li yang tahu keadaan Ciang Bun, merasa terharu. Suma Hui cepat menceritakan kepada orang tuanya perihal Ganggananda.
“Harap ayah dan ibu tenang saja. Aku rasa usahaku bersama Gangga akan berhasil baik.”
“Siapa itu Gangga?” tanya ibunya.
“Pemuda tampan dari Bhutan itu?” tanya Cin Liong.
Suma Hui menoleh kepada calon suaminya sambil tersenyum. “Dia bukan pemuda, melainkan pemudi. Dan dia adalah puteri tunggal dari Puteri Syanti Dewi dari Bhutan....”
“Ahhh, puteri Ang Tek Hoat?” Suma Kian Lee memotong.
Suma Hui mengangguk lalu berceritalah ia. Betapa Ciang Bun bertemu dengan gadis Bhutan yang menyamar pria bernama Ganggananda dan menjadi sahabat baik.
“Bun-te telah jatuh cinta kepada Gangga yang dianggapnya pria! Dan dia gelisah sekali, tetapi tak mampu berpisah dari Gangga. Dan aku telah menceritakan perihal diri Bun-te kepada Gangga. Dan gadis itu agaknya juga mencinta Ciang Bun, dan berjanji mau membantu. Aku minta agar ia meninggalkan Bun-te, kelak menemuinya lagi dan setelah Bun-te benar-benar jatuh cinta, akhirnya mengaku bahwa ia seorang wanita.” Dengan panjang lebar Suma Hui bercerita dan sepasang suami isteri itu diam-diam memuji kecerdikan Suma Hui.
“Mudah-mudahan usahamu berhasil baik,” Suma Kian Lee berkata.
Pada esok harinya, upacara dilangsungkan secara sederhana numun meriah. Di antara para tamu undangan yang menjadi rekan jenderal Kao Cin Liong, terdapat seorang pembesar tinggi yang menjabat sebagai seorang menteri. Menteri Siong ini sudah berusia lima puluh tahun dan selain dia hadir sebagai undangan, juga sebagai utusan dan wakil kaisar, maka semua orang berlutut ketika dia tiba dan membacakan amanat kaisar. Seorang utusan dan wakil kaisar memang dihormati sebagai kaisar sendiri ketika menyampaikan amanat. Menteri Siong lalu dipersilakan duduk di tempat kehormatan sebagai tamu yang dihormati.
Menteri Siong Ci Kok ini diam-diam menaruh hati dendam dan merasa tidak senang atas pernikahan Cin Liong dan Suma Hui. Menteri itu mempunyai seorang anak gadis dan tadinya Menteri Siong ingin sekali menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong. Sudah berkali-kali dia memancing, namun jenderal muda yang dikaguminya itu tak pernah menanggapi. Jenderal muda itu amat disayang kaisar, kalau dapat menjadi mantunya tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat.
Bahkan kaisar sendiri tertarik kepada gadisnya. Dan ketika dia yang khawatir kaisar akan tertarik kepada gadisnya dan menjadikan selir, maka dia menyindir bahwa ingin menjodohkan puterinya dengan Cin Liong. Kaisar segera menyatakan kegembiraannya dan persetujuannya.
Akan tetapi ketika akhirnya dia secara terus terang menyatakan keinginannya kepada Cin Liong, jenderal muda itu menolak dengan halus dan menyatakan bahwa dia sudah punya calon isteri! Tentu saja dia merasa kecewa dan menyesal sekali. Maka dari itu, dalam kehadirannya sebagai utusan kaisar itu dia hendak melampiaskan rasa kecewa dan penasaran hatinya. Dia sudah memiliki sarananya untuk itu, sebuah surat wasiat yang kini sudah berada di saku bajunya.....
Komentar
Posting Komentar