KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-45
Seorang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan bersikap gagah bukan main. Pakaiannya dari kain kasar seperti yang biasa dipakai para pemburu. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Pria ini, dari kepala sampai ke kaki, seluruh sikap dan gerak-geriknya, semua membayangkan kegagahan yang sangat mengagumkan hati Ceng Liong.
Ceng Liong dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang gagah yang tidak dikenalnya, maka dia pun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan dan berkata, “Bolehkah saya bertanya? Siapa nama saudara yang gagah dan ada keperluan apakah mendatangi pondok kami?”
Pria itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih terpelihara rapi. “Aku melihat engkau berlatih dan merasa kagum sekali. Ingin aku berlatih bersamamu. Orang muda, layanilah aku barang sepuluh dua puluh jurus!” Berkata demikian, pria itu sudah menyerang maju dan mengirim pukulan ke arah dada Ceng Liong!
Tentu saja pemuda ini cepat mengelak ke belakang. Akan tetapi, pukulan yang tidak mengenai sasaran itu sudah disusul oleh serangkaian pukulan lagi yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.
“Plakk! Plakk!”
Terpaksa Ceng Liong yang terdesak dan selalu mengelak ke belakang itu sekarang menggunakan lengannya menangkis. Tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dan akibatnya keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan yang beradu dengan lengan lawan itu tergetar hebat! Ceng Liong kini membalas serangan dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru, saling serang dengan jurus-jurus pukulan yang aneh dan dahsyat.
Keduanya menjadi semakin gembira ketika mendapatkan kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh. Karena dari cara orang itu menyerang, Ceng Liong maklum bahwa orang itu memang hanya ingin mengujinya, maka dia pun melayani orang itu dengan gembira dan diam-diam dia pun mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk memenangkan pertandingan itu.
Ketika pertandingan yang seru itu sudah berlangsung kurang lebih dua puluh jurus, nampak bayangan dua orang berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Sian In sudah berdiri di tempat itu dan mereka menonton pertandingan itu dengan alis berkerut dan terheran-heran. Mereka tak mengenal siapa adanya pria gagah perkasa berpakaian pemburu yang bertanding dengan putera mereka itu. Akan tetapi, melihat gerakan kedua orang itu, suami isteri sakti ini pun maklum bahwa mereka itu tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh, melainkan lebih tepat kalau dikatakan berlatih atau saling menguji ilmu masing-masing.
Mendadak, pria gagah perkasa yang mukanya dihias kumis dan jenggot pendek itu meloncat ke belakang, lalu menghadapi suami isteri itu sambil menjura dengan sikap hormat dan muka tersenyum ramah.
“Aku berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah putera Pendekar Siluman Kecil!”
Suma Kian Bu dan isterinya cepat-cepat membalas penghormatan tamu itu. “Siapakah saudara yang gagah perkasa ini?” tanyanya, ditujukan kepada tamunya dan kepada puteranya juga.
Ceng Liong tidak menjawab karena memang dia sendiri tidak mengenal orang itu. Akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha begitu banyakkah aku berubah? Suma-taihiap sudah tidak mengenali aku, si pemburu miskin ini?”
Suma Kian Bu memandang lebih teliti kepada pria berusia empat puluh tahunan itu, kemudian wajahnya nampak berseri, sepasang matanya mencorong dan dia pun lalu berseru, “Aihhh.... kiranya saudara Sim Hong Bu! Ceng Liong, beri hormat kepada paman Sim Hong Bu ini! Dia adalah jagoan yang lihai sekali dari Lembah Gunung Naga Siluman, ha-ha-ha!” Kian Bu girang bukan main dan Ceng Liong lalu memberi hormat kepada orang yang tadi telah mengujinya.
Sim Hong Bu juga tertawa. “Suma-taihiap bersama isteri semakin gagah saja, dan telah memiliki seorang putera yang sedemikian hebatnya, sungguh Thian Maha Pemurah, menurunkan berkah melimpah kepada keluarga pendekar budiman!”
“Sudahlah, saudara Sim, buang semua pujian-pujianmu itu dan mari kita bicara di dalam, kami rasa kedatanganmu ini bukan sekedar kunjungan biasa,” kata Suma Kian Bu.
“Sesungguhnyalah, saya datang dengan sengaja karena hendak membicarakan hal yang amat penting.”
Dengan sikap gembira mereka berempat lalu memasuki pondok keluarga itu dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam, menghadapi hidangan dan minunan yang dikeluarkan oleh Teng Siang In. Setelah makan hidangan sekedarnya dan saling menceritakan keadaan masing-masing, Suma Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi lalu bertanya,
“Nah, saudara Sim, sekarang keluarkanlah isi hatimu. Apa sebenarnya maksud yang terkandung di hatimu dan yang mendorongmu jauh-jauh datang mengunjungi kami?”
“Tidak begitu jauh, Suma-taihiap, karena sudah semenjak kurang lebih tiga tahun lalu aku meninggalkan Lembah Gunung Naga Siluman. Taihiap, apakah taihiap sekeluaga selama ini tidak mendengar sesuatu yang sedang bergejolak di dunia para pendekar?”
Suma Kian Bu saling pandang dengan isterinya dan puteranya, lalu menggeleng kepala. “Selama tiga tahun ini, kami bertiga tidak pernah meninggalkan rumah. Kami tidak tahu dan tidak mendengar apa pun tentang dunia kang-ouw. Ada terjadi apakah, saudara Sim?”
“Taihiap, kami para patriot menganggap bahwa kini sudah terlalu lama kita membiarkan diri ditindas kaum penjajah, bahwa kini tiba masanya bagi kita untuk melakukan usaha meronta dan membebaskan diri dari pada belenggu penjajahan!”
Suma Kian Bu dan Teng Siang In mendengarkan dengan alis berkerut. Itu berarti pemberontakan! “Tapi.... tapi....,” keduanya menggagap.
Sim Hong Bu bersikap serius. “Harap ji-wi jangan terkejut. Apa anehnya kalau kini para patriot bangkit? Hendaknya ji-wi tidak lupa bahwa negara dan bangsa kita telah dikuasai penjajah asing selama kurang lebih seratus tahun lamanya! Masih kurang lamakah itu? Kekayaan tanah air dikeruk oleh bangsa lain. Semua kedudukan tinggi di pegang oleh tangan asing. Lihat ini....!” Sim Hong Bu menggerakkan kepalanya dan kuncirnya yang tebal itu terlepas dari gelungnya. “Kita harus berkuncir seperti ekor anjing! Kita dihina, ditindas, diperas. Bangsa Han yang besar kini telah menjadi bangsa penjajahan yang diperbudak oleh segelintir orang-orang Mancu. Kalau kita tidak bersatu, tidak serempak bergerak melawan penjajahan, apakah kita akan membiarkan anak cucu kita selamanya menjadi bangsa budak?”
Pria yang gagah perkasa itu bicara dengan sikap gagah, dengan sepasang mata yang mencorong seperti berapi-api. Agaknya semangat kepatriotannya itu membakar pula dada Suma Kian Bu dan Teng Siang In. Kedua orang suami isteri ini beberapa kali saling pandang dan wajah mereka berubah merah, mata mereka bersinar-sinar dan bersemangat.
Teng Siang In mulai mengangguk-angguk mendengarkan ucapan tamunya yang penuh semangat itu. Akan tetapi, sebelum dia mengeluarkan sepatah kata pun, suaminya telah mendahuluinya berkata,
“Memang, sesungguhnya kami pun tidak buta terhadap itu semua, saudara Sim. Sejak kecil aku sudah melihat akan semua itu, sejak aku mengerti bahwa Bangsa Han dijajah oleh orang-orang Mancu. Akan tetapi.... karena kita tidak berdaya....”
“Tentu saja tidak berdaya kalau kita tetap diam saja!” Sim Hong Bu memotong ucapan pendekar yang selalu dikaguminya itu. “Di tangan kita sendirilah terletak nasib bangsa kita. Kita diamkan saja berarti anak cucu kita akan terus menjadi budak-budak hina. Dan apa artinya kita menyebut diri sebagai orang-orang gagah kalau kita membiarkan mala petaka ini terjadi? Apakah kita tidak akan malu terhadap leluhur kita? Terhadap tanah air kita?”
“Engkau betul!” Teng Siang In berseru, tak tahan lagi. “Kita memang harus bergerak!”
Suma Kian Bu mengangguk-angguk. “Biar pun nampaknya mustahil, akan tetapi, kalau kita mau bersatu, mengumpulkan dan menyusun kekuatan, agaknya bukan tak mungkin pada suatu hari kita melihat negara dipimpin oleh bangsa sendiri.” Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan. “Dan kedatanganmu ini, selain bicara tentang itu, mengandung tugas apa lagi, saudara Sim?”
“Harap taihiap ketahui bahwa selama beberapa bulan ini, secara rahasia para pendekar yang berjiwa patriot telah mulai mengadakan hubungan, di mana-mana telah diadakan pertemuan rahasia dan akhirnya dicapai kesepakatan untuk bekerja sendiri-sendiri lebih dahulu, menyebar luaskan niat rahasia untuk mengusir penjajah. Mengumpulkan teman-teman sehaluan, menyusun kekuatan dan kelak akan diadakan pertemuan besar di antara para tokoh besar dunia kang-ouw. Dalam pertemuan itulah akan dibahas lebih terperinci lagi apa yang harus kita lakukan. Nah, dalam tugas menyebar luaskan dan mencari teman sehaluan inilah aku teringat kepada taihiap dan datang ke sini.”
“Bagus! Kami setuju sekali dan kami siap untuk membantu!” kata Suma Kian Bu dengan nada suara gembira dan penuh semangat. Wajah pendekar ini berseri-seri sedangkan sepasang matanya semakin mencorong dan bersinar.
“Ah, sudah kuduga bahwa Pendekar Siluman Kecil sekeluarganya yang gagah perkasa tentu akan mendukung. Perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah ini membutuhkan persatuan tenaga semua pendekar, terutama sekali tenaga-tenaga muda seperti putera Suma-taihiap ini.”
Sim Hong Bu memandang kepada Ceng Liong yang semenjak tadi nampak diam dan menundukkan mukanya saja itu. Sepasang alis pemuda itu kini berkerut dan dia tidak nampak segembira ayah ibunya.
“Tentu saja Ceng Liong akan menjadi seorang patriot dan membantu perjuangan para pendekar. Bukankah begitu, anakku?” kata Teng Siang In dengan bangga.
Pemuda itu mengangkat muka memandang ibunya, kemudian ayahnya dan tamu itu. Akhirnya dia menarik napas panjang. “Nanti dulu, ibu. Aku tentu tidak bisa mengambil keputusan seketika saja. Peristiwa ini datangnya secara tiba-tiba sekali, membuat aku bingung dan banyak sekali hal-hal yang tidak aku mengerti.”
“Hal-hal apakah yang belum kau mengerti?” Ayahnya bertanya.
“Maaf, ayah. Aku sungguh merasa bingung melihat betapa ayah dan ibu secara tiba-tiba merubah pendirian menjadi berlawanan dari yang sudah-sudah seperti ini. Bukankah ayah dan ibu selalu menentang pemberontakan? Bukankah ayah juga selalu memihak kepada kaisar kalau terjadi pemberontakan? Bahkan ayah pernah bercerita kepadaku betapa ayah dan ibu menyelamatkan kaisar dari serangan kaum pemberontak. Dan sekarang? Aku mendengar ayah dan ibu menyetujui paman Sim ini dan berjanji akan membantu para pemberontak! Bagaimanakah ini?”
“Liong-ji! Tidak pantas kau menegur ayahmu di depan tamu!” Ibunya berseru menegur.
Akan tetapi Sim Hong Bu dan Suma Kian Bu nampak kagum dan wajah mereka berseri.
“Biarlah, dia berhak mengeluarkan ganjalan hatinya dan aku suka akan kejujurannya,” kata Suma Kian Bu.
“Hemm, pertanyaan-pertanyaan Suma Siauw-sicu tadi memang bagus, menandakan bahwa dia mempergunakan akal budi dan tidak hanya main ikut-ikutan saja seperti kebanyakan orang lain,” kata pula Sim Hong Bu sambil mengangguk-angguk.
“Ceng Liong, kalau tidak diberi penjelasan, memang kebimbangan dan keraguan akan selalu menghantui batinmu. Engkau harus tahu membedakan antara pendekar dan patriot. Keduanya itu sama sekali berbeda. Tidak semua pendekar berjiwa patriot walau pun sebenarnya pendekar yang tidak mencinta dan membela tanah air dan bangsa bukanlah pendekar lengkap. Sebaliknya, tidak semua patriot berjiwa pendekar walau pun hal ini patut disayangkan.”
“Adakah perbedaan antara pendekar dan patriot?” Ceng Liong bertanya.
“Seorang pendekar adalah seorang pembela kebenaran dan keadilan dipandang dari sudut peri kemanusiaan. Seorang pendekar selalu membela yang lemah tertindas, dan menentang yang kuat dan jahat, tanpa memandang bulu, tidak melihat kedudukan atau derajat. Biar kaisar mau pun pengemis, bila terancam dan membutuhkan pertolongan, tentu akan ditolongnya. Itulah sebabnya dahulu ayah ibumu menolong kaisar, ketika itu kami bertindak seperti pendekar. Akan tetapi seorang patriot adalah seorang pembela tanah air dan bangsa, baik untuk menentang pihak yang hendak mencelakakan bangsa mau pun untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi nusa bangsa. Kini, sebagai seorang patriot, aku harus membantu pejuangan yang hendak membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu.”
“Akan tetapi, bukankah ayah sendiri mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana?” bantah Ceng Liong.
Mendengar pertanyaan ini, Suma Kian Bu dan isterinya saling pandang dengan Sim Hong Bu yang tersenyum sabar dan mengangguk-angguk. Tiga orang sakti ini tentu saja maklum sepenuhnya akan pertanyaan itu. Mereka harus mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar bijaksana yang bahkan disayang oleh para pendekar.
“Ceng Liong, urusan patriot adalah urusan negara dan bangsa, bukan urusan pribadi atau perorangan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana. Akan tetapi jangan lupa bahwa dia itu kaisar penjajah! Pemerintahannya menindas dan memeras bangsa kita. Bukan pribadi Kaisar Kian Liong yang kita musuhi, melainkan pemerintah penjajah! Mengertikah engkau?”
Pemuda itu menggeleng kepala. “Aku masih bingung, ayah. Menurut kitab-kitab sejarah yang pernah aku baca, ketika bangsa kita diperintah oleh pemerintahan bangsa sendiri, rakyat banyak pula mengalami penderitaan. Bahkan di jaman Beng-tiauw sebelum Bangsa Mancu datang, banyak tercipta kaisar lalim dan pemerintahanya menindas dan menghisap rakyat. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong ini mencinta rakyat. Bukankah itu berarti bahwa pemerintah penjajah di dalam tangan Kaisar Kian Liong jauh lebih baik dari pada pemerintah bangsa sendiri di dalam tangan kaisar-kaisar lalim?”
Ketiga orang sakti itu menggelengkan kepala. “Tidak, tidak demikian, anakku. Hal ini menyangkut martabat bangsa! Betapa pun jeleknya pemerintahannya, kalau berada di tangan bangsa sendiri, kekayaan tanah air tidak akan mengalir keluar. Pula, rakyat jelata akan dapat sewaktu-waktu mengganti kaisar seperti yang sering kali terjadi. Sebaliknya, kalau pemerintahan penjajah, kita menjadi bangsa taklukan, menjadi budak dan mengalami penghinaan. Seperti keharusan memakai kuncir seperti ekor binatang, larangan membawa senjata, pajak-pajak yang berat, kerja paksa dan lain-lain.” Suma Kian Bu menjelaskan.
“Akan tetapi, kalau begitu mengapa tidak dari dulu-dulu ayah ibu bangkit menentang pemerintah penjajah? Mengapa ayah dan ibu pernah membantu pemerintah menentang pemberontakan?”
“Itu lain lagi, anakku.” kata ibunya. “Kalau saatnya belum tiba, patriot menyimpan saja cita-cita dalam hatinya dan kita bertindak sebagai pendekar. Bagi patriot, yang penting adalah membantu dan membela rakyat. Pada garis besarnya, memang tugas para patriot adalah mengusir penjajah. Akan tetapi sementara itu, kalau saatnya belum tiba, lebih dulu kita membantu penguasa yang baik, menentang penguasa lalim.”
“Tapi, bukankah sudah beberapa kali terjadi pemberontakan? Gubernur di barat pernah memberontak ketika aku merantau ke sana, dan mengapa ayah ibu tidak membantu pemberontakan seperti itu?”
“Bolehkah aku menjelaskan?” berkata Hong Bu, dan melihat tuan dan nyonya rumah mengangguk, dia melanjutkan. “Ada bermacam-macam pemberontak, orang muda yang gagah. Pemberontakan yang dilakukan oleh golongan atau bangsa yang tadinya sudah menakluk, seperti Tibet atau Nepal. Tentu saja kita harus menentang pemberontakan seperti itu karena kalau perberontakan itu menang, berarti negara kita jatuh ke dalam cengkeraman penjajah asing lainnya. Ada pemberontakan golongan penguasa yang berusaha merebut kekuasaan demi ambisi pribadi, dan pemberontakan macam ini pun tidak akan didukung para patriot karena golongan itu tidak mewakili rakyat. Para patriot sudah menanti sampai seratus tahun, menanti kesempatan baik. Dan kini masanya tiba para patriot ingin menyumbangkan tenaga, berjuang membebaskan rakyat, mengusir penjajah!”
“Kita usir penjajah!” teriak Suma Kian Bu dan isterinya.
Melihat ini, Ceng Liong mengerutkan alisnya. “Ayah, satu pertanyaan lagi.”
“Tanyalah.”
“Tapi harap ayah dan ibu tidak marah.”
“Mengapa marah? Pertanyaan jujur memang terdengar kasar dan menyakitkan, akan tetapi baik sekali.”
“Nah, ayah dan ibu kini bersikap menentang pemerintahan penjajah Mancu. Akan tetapi, ayah, ada suatu kenyataan dalam keluarga kita yang tak dapat dibantah oleh siapa pun juga, yaitu bahwa keluarga Pulau Es tidak dapat dipisahkan dengan keluarga Kerajaan Ceng. Ayah, bukankah dalam tubuh kita masih mengalir darah Mancu? Apakah kita harus melupakan kenyataan bahwa nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu yang bahkan pernah menjadi panglima? Dan bibi Puteri Milana pernah menjadi panglima juga? Bukankah mendiang kakek Suma Han tidak pernah menentang kerajaan?”
Mendengar pertanyaan ini, Teng Siang In terbelalak lalu menundukkan mukanya. Juga Sim Hong Bu terkejut dan menundukkan muka. Mereka ini tahu betapa gawatnya pertanyaan itu dan hendak menyerahkan jawabannya sepenuhnya kepada Pendekar Siluman Kecil itu. Suma Kian Bu sendiri terdiam dan agaknya pertanyaan anaknya ini merupakan serangan yang membuatnya lumpuh sejenak. Akan tetapi, dia pun lalu tersenyum dan menatap wajah puteranya dengan tenang.
“Liong-ji, dengarkan baik-baik. Aku tak pernah menyangkal bahwa ibuku, yaitu nenekmu Puteri Nirahai, adalah seorang puteri Mancu! Akan tetapi lihatlah kenyataannya. Beliau sampai tua pergi ikut suaminya, hidup di Pulau Es. Kakekmu, mendiang ayahku itu pun tidak pernah membantu pemerintah Mancu. Mereka memang tidak memperlihatkan permusuhan, tidak bersikap menentang Kerajaan Mancu, akan tetapi karena selama itu belum pernah para patriot berkesempatan untuk bangkit. Lihat saja. Bukankah bibimu, Puteri Milana juga sekali waktu saja menjabat panglima, hanya untuk memadamkan pemberontakan golongan lain dan sama sekali bukan pemberontakan para patriot? Hendaknya engkau mengetahui betul. Puteri Milana juga pergi mengikuti suaminya, pamanmu yang gagah perkasa Gak Bun Beng, menyepi di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Memang banyak pendekar-pendekar besar yang membantu pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong sekarang ini, dan hal itu tak dapat terlalu disalahkan. Seperti kau dengar tadi, tugas seorang patriot terbagi dua. Kalau para patriot belum sempat bangkit mengusir penjajah, mereka itu bertugas melindungi rakyat dan mengarahkan pemerintahan penjajah itu pada jalan yang benar, dan hal itu baru dapat dilaksanakan kalau mereka duduk di dalam roda pemerintahan itu sendiri. Mengertikah engkau?”
Mendengar kuliah-kuliah yang diberikan oleh ayahnya, ibunya dan kadang-kadang Sim Hong Bu juga memberi penjelasan, akhirnya Suma Ceng Liong mengerti dan dia pun menyambut cita-cita perjuangan para patriot itu dengan semangat menyala-nyala.
Sampai larut malam empat orang itu bercakap-cakap, hanya diselingi makan minum, dan Sim Hong Bu menceritakan dengan panjang lebar tentang usaha yang dilakukan oleh para patriot sampai sekarang. Menghubungi para pendekar sehaluan, menyelidiki keadaan dan kekuatan pemerintah.
“Ada satu hal yang amat penting dan yang menjadi bahan perundingan kawan-kawan seperjuangan,” antara lain Sim Hong Bu bercerita. “Yaitu mengenai diri Jenderal Muda Kao Cin Liong.”
Tentu saja nama ini membuat keluarga Suma itu tertarik sekali, terutama
sekali Ceng Liong yang mengenal baik jenderal yang dimaksudkan itu, yang
membuat dia teringat akan semua pengalamannya di Pulau Es menjelang
hancurnya dan lenyapnya pulau itu.
“Paman Sim, ada apakah dengan kanda Cin Liong?” tanyanya.
Mendengar sebutan ini, Sim Hong Bu mengangguk-angguk. “Aku sudah mendengar bahwa antara keluarga Kao dan keluarga Suma terdapat hubungan yang cukup dekat. Dan karena itu pula aku datang.”
“Apakah yang terjadi?” Suma Kian Bu khawatir. “Kami baru saja menerima kabar baik dari kota raja, yaitu undangan pernikahan Jenderal Kao Cin Liong dengan keponakanku, Suma Hui.”
“Bagus! Kami pun sudah mendengar akan berita pernikahan itu. Saat yang tepat bagi kita semua untuk berkumpul di kota raja. Kami semua merasa khawatir melihat betapa Jenderal Kao Cin Liong menjadi seorang panglima yang amat disayang dan dekat sekali dengan kaisar. Dia dan keluarganya akan merupakan kawan seperjuangan yang amat kuat dan menguntungkan, sebaliknya akan menjadi lawan yang berbahaya.”
“Dan maksudmu dengan kami?” tanya Kian Bu.
“Demi perjuangan, semua kawan mengharapkan taihiap dapat melakukan penjajagan, menyelidiki kemungkinan-kemungkinan menarik jenderal itu ke pihak kita. Ia menguasai pasukan besar dan amat berpengaruh. Kalau kita berhasil menariknya, berarti bahwa setengah dari perjuangan kita sudah menang!”
Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Memang siasat itu bagus sekali. Akan tetapi engkau juga tahu, saudara Sim, bahwa ayah jenderal itu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Kita tidak boleh sembarangan bertindak. Agaknya untuk menarik jenderal itu, harus lebih dulu meyakinkan ayahnya. Sayang aku tidak terlalu dekat dengan keluarga Kao....”
“Serahkan saja padaku, ayah! Aku sudah kenal baik dengan Jenderal Kao Cin Liong! Aku dapat mengunjunginya dan perlahan-lahan menjajagi hatinya, melihat bagaimana nada bicaranya,” kata Ceng Liong.
Ayahnya mengangguk setuju. “Tepat sekali! Dan engkau boleh pula mewakili kami mengadakan kontak dengan para patriot lain, Ceng Liong. Kami berdua sudah tua. Kami hanya akan turun tangan membantu kalau saat perjuangan itu tiba.”
Setelah mengadakan perundingan matang, pada keesokan harinya, Sim Hong Bu berpamit. Tiga hari kemudian, Ceng Liong juga meninggalkan orang tuanya untuk mulai dengan perantauannya, sekali ini kepergiannya berbeda dengan ketika dia hilang diculik Hek-i Mo-ong. Kini dia melakukan perjalanan sebagai pendekar muda yang lihai sekali, yang mewakili orang tuanya untuk mengadakan kontak dengan para patriot, membantu persiapan perjuangan dan berusaha menarik Jenderal Kao Cin Liong ke pihak para pejuang.
Dia kini sudah berusia hampir sembilan belas tahun dan dalam hal ilmu silat, dia sudah setingkat dengan ayahnya! Hanya mungkin dia masih kalah dalam hal ginkang, akan tetapi sudah pasti dia lebih kuat dalam hal sinkang. Dia kini dapat mempergunakan sumber tenaga sinkang yang diterima langsung dari kakeknya, mendiang Suma Han atau Pendekar Super Sakti atau majikan Pulau Es! Bahkan kini dia telah menguasai pula ilmu sihir yang diajarkan oleh ibunya kepadanya.....
********************
Rumah perkumpulan Pek-eng-pang di kota Nam-san di sebelah selatan Tai-goan pada pagi hari itu nampak ramai sekali dikunjungi banyak tamu. Pek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Putih) adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang sangat terkenal. Ketuanya, Song-pangcu yang usianya sudah lima puluh tahun lebih adalah seorang murid Siauw-lim-pai, tentu saja lihai ilmu silatnya. Karena dia mempunyai keistimewaan dalam Ilmu Silat Garuda dan mengembangkannya, maka dia menamakan perguruannya Pek-eng-pang. Dia dan para muridnya selalu memakai baju putih, sesuai pula dengan nama perkumpulan.
Song-pangcu terkenal sebagai orang gagah yang rendah hati dan semua muridnya menerima gemblengan keras sehingga para murid itu selain pandai bersilat, juga pandai membawa diri dalam masyarakat. Hal ini membuat Pek-eng-pang terpandang dan dihormati golongan kang-ouw.
Tidak mengherankan apabila pada pagi hari itu rumah perkumpulan Pek-eng-pang dibanjiri tamu yang rata-rata adalah ahli silat dan orang-orang gagah, karena pada hari itu Pek-eng-pang merayakan hari ulang tahun ke sepuluh dari perkumpulan itu. Mereka terdiri dari wakil-wakil perguruan silat, piauwsu, orang-orang gagah dan bahkan ada pula golongan perorangan yang tidak diketahui benar kedudukannya, mungkin dari golongan hitam. Akan tetapi mereka semua disambut dengan hormat oleh Song-pangcu sendiri yang ditemani empat orang murid pertama yang bersikap gagah.
Para tamu kehormatan dipersilakan duduk di panggung kehormatan bersama pihak tuan rumah. Tamu-tamu yang tidak dikenal pun dipersilakan duduk di panggung samping kiri. Pihak Pek-eng-pang sudah bersikap hati-hati dalam hal ini. Mereka tidak mengenal para tamu itu. Siapa tahu di antara mereka terdapat orang-orang pandai. Maka agar cukup menghormat, mereka dipersilakan duduk di panggung kiri. Panggung kanan ditempati wakil-wakil perkumpulan lain yang memiliki kedudukan sebagai murid saja, sedangkan orang-orang muda diberi tempat paling belakang.
Ketika tidak nampak ada tamu baru, hidangan mulai dikeluarkan, disambut gembira oleh para pemuda yang duduk di bagian belakang. Seperti biasanya, di mana pun juga, dalam setiap pesta para pemuda yang berkumpul tentu bergembira ria dan suasana menjadi meriah.
Akan tetapi tiba-tiba muncul serombongan baru. Rombongan ini menarik perhatian karena sikap dan pakaian mereka. Rata-rata belasan orang itu berwajah menyeramkan, bersikap kasar dan congkak. Pakaian mereka serba hitam dan di tubuh mereka terdapat senjata-senjata tajam.
Rombongan tamu baru ini jelas-jelas merupakan sekelompok orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi kurus yang mengiringkan seorang kakek berusia enam puluh tahun yang berperut gendut. Hanya mereka berdua ini yang bersikap tenang dan halus tidak seperti belasan anak buah mereka, walau pun pada pandangan mereka dan gerak bibir seperti anggota rombongan yang lain, yaitu penuh kecongkakan dan ketinggian hati.
Melihat munculnya belasan orang yang jelas merupakan suatu golongan tertentu itu, Song-pangcu dan empat muridnya cepat mengadakan sambutan. Dengan sikap hormat ketua Pek-eng-nang ini memberi hormat, diturut oleh para muridnya, kepada belasan orang tamu yang masih berdiri dengan sikap angkuh itu.
Akan tetapi, hanya kakek gendut dan si tinggi kurus itu yang membalas penghormatan Song-pangcu, sedangkan tiga belas orang anak-anak buah mereka sama sekali tidak mempedulikan penghormatan itu. Kini Si tinggi kurus yang melangkah maju dan bicara mewakili kakek gendut.
“Sudah lama sekali kami dari Hek-i Mo-pang mendengar tentang Song-pangcu beserta Pek-eng-pang. Karena kebetulan lewat dan mendengar bahwa Pek-eng-pang sedang merayakan ulang tahun, kami semua dipimpin oleh suhu Boan It sengaja singgah dan mengucapkan selamat!” Ucapan itu terdengar nyaring, dapat didengar oleh semua yang hadir.
Banyak di antara mereka yang terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Hek-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Hitam). Nama ini tak pernah menjadi kenyataan di dunia kang-ouw, tetapi siapakah yang belum mendengar nama Hek-i Mo-ong pendiri Hek-i Mo-pang?
Song-pangcu juga terkejut sekali, akan tetapi diam-diam kurang percaya dan menduga bahwa rombongan ini tentu hanya gerombolan liar saja yang mempergunakan nama itu untuk menakuti orang. Betapa pun juga karena mereka datang sebagai tamu, dia pun menghaturkan terima kasih atas ucapan selamat itu dan mempersilakan mereka duduk. Dia mengisyaratkan para muridnya untuk mengantar rombongan baju hitam itu ke panggung kiri di mana berkumpul tamu yang tak begitu dikenal. Panggung inilah yang masih agak kosong.
Akan tetapi ketika rombongan baju hitam tiba di panggung itu, si tinggi kurus menjadi marah. Teriakannva lantang terdengar oleh semua tamu yang tentu saja memandang ke arah rombongan yang masih berdiri berkelompok di depan panggung kiri itu, dan tidak seorang pun di antara mereka mau duduk.
“Ini penghinaan besar namanya! Dan kami dari Hek-i Mo-pang tidak bisa menerima penghinaan orang begitu saja!” Si kurus berseru keras sedangkan kakek gendut hanya berdiri dan menumbuk-numbukkan tongkat hitamnya di atas lantai dengan alis berkerut marah.
Tentu saja empat orang murid kepala Pek-eng-pang merasa tak senang. Sejak tadi pun mereka merasa tak senang melihat sikap kasar orang-orang berpakaian hitam itu. Kalau bukan suhu mereka yang mempersilakan gerombolan hitam itu duduk, agaknya mereka akan lebih suka mengusir tamu-tamu tak diundang itu. Kini mendengar teriakan si kurus yang sejak tadi menjadi pembicara, murid kepala yang tertua yang berkumis panjang segera menjura kepada si tinggi kurus.
“Maafkan kami yang tidak mengerti akan maksud ucapan saudara tadi! Siapa yang menghina kalian?”
“Siapa lagi kalau bukan Pek-eng-pang? Huh!”
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap si tinggi kurus, murid kepala yang termuda dari Pek-eng-pang, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun bertubuh tegap yang memang berdarah panas, segera menegur, “Ehh, saudara ini tamu tanpa diundang, sudah kami terima dengan ramah, kenapa menuduh kami menghina? Jika bicara urusan menghina, sikap kalian yang congkak itu baru menghina!”
Si tinggi kurus mendelik ketika dia menoleh kepada murid Pek-eng-pang itu, kemudian bertanya lambat-lambat dengan nada suara yang memandang rendah, “Kamu ini murid Pek-eng-pang yang kelas berapa?”
Lelaki tegap itu membusungkan dada. “Aku murid termuda di antara murid-murid kepala Pek-eng-pang!”
“Begitukah? Anak kecil mencampuri urusan orang tua. Pergilah!” Berkata demikian, si tinggi kurus itu menggerakkan tangan kiri mendorong dada murid Pek-eng- pang. Tentu saja yang didorong tidak tinggal diam dan cepat mengerahkan tenaga menangkis.
“Plak.... desss....!”
Kiranya dorongan tangan kiri si kurus itu begitu tertangkis lantas mencuat ke atas dan menampar muka murid Pek-eng-pang dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka. Akibatnya muka murid termuda itu yang kena tampar dengan kerasnya sehingga tubuh yang tegap itu terpelanting jauh dan roboh tak mampu bergerak lagi. Kiranya tamparan itu telah membuat murid Pek-eng-pang itu pingsan dengan rahang patah! Beberapa orang muda baju putih segera menolong dan menggotong masuk kawan mereka yang pingsan itu.
Si tinggi kurus tersenyum sinis. “Ha-ha, kiranya hanya sebegitu saja kemampuan murid kepala Pek-eng-pang? Dan kelemahan seperti itu berani menghina Hek-i Mo-pang? Hm, aku Ciong Ek Sim tak akan mau mengampuni!” Suaranya lantang, sikapnya sombong, petentang-petenteng bertolak pinggang seperti seekor jago menantang tanding.
Sikapnya itu membuat para tamu merasa muak dan marah, tetapi nama Hek-i Mo-ong masih membuat mereka merasa ngeri. Apa lagi tadi mereka telah melihat sendiri betapa lihainya orang she Ciong yang tinggi kurus dan yang segebrakan saja telah merobohkan seorang murid utama Pek-eng-pang itu.
Tiga orang murid Pek-eng-pang yang lainnya menjadi penasaran, juga murid yang lain sudah mengurung maju, siap menyerang tamu-tamu yang tak diundang yang agaknya mau membikin kacau itu. Akan tetapi Ciu Hok Tek memberi isyarat kepada para anak buah untuk mundur. Dia sendiri bersama dua orang sute-nya maju menghadapi Ciong Ek Sim.
“Maafkanlah kelancangan sute kami. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti, kenapa Hek-i Mo-pang menuduh kami dari Pek-eng-pang melakukan penghinaan?”
Si tinggi kurus mengerutkan alis. Dia maklum betapa semua orang yang berada di situ kini menaruh perhatian dan semua orang memandang kepadanya. Maka dia berlagak, bertolak pinggang dan mendelik kepada Ciu Hok Tek, murid pertama Pek-eng-pang itu.
“Sudah bersalah, masih pura-pura bertanya lagi? Sudah jelas kami semua mengiringi suhu hadir di sini, tetapi kami orang Hek-i Mo-pang hanya disuruh duduk di panggung samping! Kami mau disejajarkan dengan orang-orang biasa? Bukankah itu penghinaan namanya. Apakah mereka yang duduk di panggung kehormatan itu lebih tinggi ilmunya dari kami?”
“Sobat, sikapmu ini sungguh terlalu!” Murid pertama Pek-eng-pang itu berkata, suaranya dingin dan tegas. “Tuan rumah adalah raja di rumah sendiri. Semua peraturannya harus ditaati tamu. Kalau tamu tidak suka dengan peraturan itu, silakan pergi, kami pun tidak pernah mengundang Hek-i Mo-pang!”
Ucapan ini mendapat sambutan para tamu yang rata-rata mengangguk membenarkan. Agaknya tidak ada tamu yang memihak Hek-i Mo-pang. Akan tetapi Ciong Ek Sim si tinggi kurus baju hitam itu tersenyum mengejek.
“Ha-ha, kau mau bersikap gagah-gagahan ya? Bagaimana pun juga, Pek-eng-pang telah menghina kami dan aku tidak terima!”
“Habis, kau mau apa?” Ciu Hok Tek membentak.
“Ketua Pek-eng-pang sendiri harus minta maaf kepada suhu kami, barulah kami mau mengampuni, dan memberi tempat di panggung kehormatan untuk kami!” kata Ciong Em Sim dengan galak.
Mendengar ucapan ini, para tamu menjadi semakin penasaran. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara Song-pangcu yang tenang menyuruh tiga orang muridnya mundur. Kemudian dia sendiri turun dari panggung kehormatan, menghampiri kakek gendut baju hitam yang bernama Boan It, menjura dan berkata, “Saudara pemimpin Hek-i Mo-pang harap maafkan kelancangan murid-murid kami.”
Sikap merendah tuan rumah ini memanaskan hati para tamu. Mereka melihat sendiri bahwa gerombolan baju hitam itulah yang membikin kacau, bahkan berani melukai murid tuan rumah, akan tetapi malah pihak tuan rumah yang meminta maaf. Ini sudah keterlaluan sekali.
Boan It, kakek gendut tokoh Hek-i Mo-pang yang sejak tadi hanya diam saja, kini menumbuk lantai dengan tongkatnya dan membentak, “Berlutut!”
Suasana menjadi bising. Para tamu berbisik-bisik marah. Betapa kurang ajarnya kakek gendut itu. Betapa sombongnya. Song-pangcu sendiri menjadi merah mukanya. Dia sudah banyak mengalah untuk menghindarkan keributan dalam pestanya. Akan tetapi gerombolan hitam itu sungguh tak tahu diri!
“Sobat-sobat dari Hek-i Mo-pang! Sebetulnya, kalian datang mau apakah? Kami merasa tidak ada urusan dengan kalian!” Akhirnya dia pun berkata, hilang kesabarannya.
“Ha-ha-ha! Pangcu dari Pek-eng-pang! Kamu sudah terlanjur menghina kami, sekarang kami menantang. Hayo perlihatkan bahwa Pek-eng-pang memang berkulit baja dan bertangan besi! Kalau kami dapat dikalahkan, baru kami mau pergi!” kata si tinggi kurus mewakili gurunya.
Setelah berkata demikian, dengan tangan kirinya dia membuat gerakan mendorong ke samping. Angin pukulan menyambar ke arah seorang tamu muda yang sedang enak- enak duduk nonton percekcokan itu. Pemuda itu berseru kaget ketika tubuhnya tiba-tiba terdorong dan terpental jatuh dari kursinya.
Ketika Ciong Ek Sim menarik tangannya, kursi kosong bekas pemuda itu melayang ke arahnya. Kursi ditangkapnya dan dia berkata kepada si kakek gendut, “Harap suhu duduk saja, biar aku yang menghajar tikus-tikus yang sudah berani menentang Hek-i Mo-pang!”
Kakek gendut itu tersenyum, menerima kursi lalu duduk di atasnya. Muridnya berkata, “Tidakkah suhu sebaiknya menanti di panggung kehormatan?”
Kakek itu mengangguk. Tiba-tiba dia menggunakan tongkatnya menekan lantai dan.... tubuhnya berikut kursi yang sedang diduduki itu terbang melayang ke atas panggung kehormatan dan akhirnya hinggap berada di deretan terdepan!
Tentu saja demonstrasi yang baru diperlihatkan Ciong Ek Sim dan Boan It itu membuat semua orang melongo! Itulah bukti kepandaian yang amat hebat! Bahkan Song-pangcu sendiri terkejut. Dia maklum bahwa yang diperlihatkan kakek gendut Boan It itu adalah kehebatan ginkang dan sinkang sekaligus!
Akan tetapi, para murid Pek-eng-pang selalu digembleng kegagahan oleh guru mereka. Biar pun mereka juga tahu akan kelihaian si kurus Ciong Ek Sim, akan tetapi mereka tidak menjadi gentar. Seorang di antara tiga murid utama sudah meloncat ke depan Ciong Ek Sim, membentak dengan marah.
“Ciong Ek Sim! Seorang gagah tak takut mati dalam menentang kejahatan, dan kalian orang-orang Hek-i Mo-pang adalah penjahat-penjahat besar!” Setelah berkata demikian, dia menyerang dengan pukulan tangan kanan yang terbuka sehingga membentuk cakar garuda ke arah kepala si tinggi kurus. Itulah jurus serangan Pek-eng-kun (Silat Garuda Putih) ciptaan Song-pangcu sebagai perkembangan dari ilmu silat garuda Siauw-lim-pai.
“Plakkk!”
Tanpa merubah kedudukan tubuhnya, seenaknya saja Ciong Ek Sim menangkis dengan tangan kiri, akan tetapi agaknya dia sudah mengerahkan tenaganya sehingga tubuh murid Pek-eng-pang terhuyung ke belakang.
“Ha-ha, tikus macam kamu ini tidak ada harganya, tak pantas melawanku! Suruh saja gurumu yang maju, atau kalian bertiga maju berbareng!” Ciong Ek Sim tertawa dengan congkaknya.
Tiga orang murid Pek-eng-pang menjadi semakin marah. Ciu Hok Tek sendiri, si murid kepala, berseru keras dan menerjang ke depan, melakukan serangan dahsyat. Ciu Hok Tek ini adalah murid pertama, tentu saja tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada para sute-nya. Ketika dia menyerang, kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan yang menyambar keras dengan bunyi bersiutan.
Akan tetapi, tetap saja Ciong Ek Sim merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya. Semua pukulan atau cengkeramannya dapat dielakkan atau ditangkis. Dan dia pun hanya dapat bertahan selama sepuluh jurus saja karena begitu Ciong Ek Sim membalas dengan tendangan kaki yang menyambar dari samping, lambungnya terkena tendangan yang membuat tubuhnya terbanting cukup keras!
Dua orang sute-nya maju menyerang, tetapi mereka pun bukan lawan yang seimbang, segera disambut tamparan dan tendangan yang membuat mereka jatuh bangun! Ciong Ek Sim menghajar tiga orang murid pertama Pek-eng-pang sambil tertawa-tawa. Jelas dia mempermainkan karena kalau dia menghendaki, agaknya dengan mudah dia akan mampu membunuh tiga orang lawan itu.
Kini semua tamu menjadi terkejut. Mereka semua kini tahu bahwa orang Hek-i Mo-pang itu lihai bukan main. Tiga belas orang anak buah Hek-i Mo-pang dengan mudah segera memperoleh kursi yang ditinggalkan para tamu yang menjauhkan diri, nonton sambil bersorak dan tertawa-tawa, kadang-kadang bertepuk tangan setiap kali tangan Ciong Ek Sim merobohkan seorang lawan. Suasana menjadi tegang. Para tamu memandang marah, tegang dan khawatir. Hanya orang-orang Hek-i Mo-pang itu saja yang gembira sambil menyambar guci-guci arak dan meminumnya.
“Haaaitt....!”
Seorang murid Pek-eng-pang menyerang dengan tubuh meloncat dan menerkam. Inilah jurus Garuda Putih Menyambar Ayam yang dilakukan sambil meloncat, merupakan jurus serangan nekat dan berbahaya, baik yang diserang mau pun yang menyerang. Akan tetapi, sambil tersenyum mengejek, Ciong Ek Sim menyambutnya dengan tendangan keras yang mengenai perut lawan.
“Ngekk!”
Tubuh murid Pek-eng-pang itu terpental dan terbanting dalam keadaan pingsan. Anak buah Hek-i Mo-pang bersorak gembira.
“Hyaaatt!”
Murid kepala Pek-eng-pang yang ke dua juga menerjang marah, bahkan sekali ini dia menggunakan sebatang pedang. Namun Ciong Ek Sim dapat mengelak dengan mudah. Ketika pedang itu lewat, tendangan kakinya pada tangan lawan membuat pedang terlempar ke atas lantai kemudian sekali sambar, tangan kirinya menjambak rambut kepala lawan dan tangannya menampari kedua pipi lawan. Terdengar suara plak-plok berkali-kali dan ketika dia melepaskan jambakan dan mendorong, tubuh lawan itu terpelanting tak mampu bangun lagi, dengan kedua pipi bengkak-bengkak matang biru!
Melihat ini, Ciu Hok Tek kemudian menjadi nekat. Di antara empat orang murid kepala Pek-eng-pang, tiga orang sudah roboh pingsan dan digotong pergi kawan-kawannya, tinggal dia seorang sebagai murid pertama. Tadi pun kalau dia tidak bertindak hati-hati dan pertahanannya lebih kuat dari pada sute-nya, tentu dia pun sudah roboh.
“Biar aku mengadu nyawa denganmu!” teriaknya marah dan dia pun menerjang sengit, mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan bertubi-tubi dan dahsyat karena dia telah mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Tingkat kepandaian Ciu Hok Tek tidak boleh disamakan dengan tingkat para sute-nya. Biar pun dia masih bukan tandingan murid kepala Hek-i Mo-pang, namun desakan yang dilakukan dengan nekat itu sempat membuat lawan terhuyung dan sebuah tendangan kilat sempat mencium pinggul Ciong Ek Sim.
Melihat ini, terdengar sorakan gembira yang segera disusul tepuk tangan pujian para tamu. Jelaslah, para tamu ini ingin sekali melihat si tinggi kurus yang congkak itu kalah.
Si tinggi kurus menjadi marah, melirik ke arah orang yang pertama kali menyorakinya tadi. Kiranya orang itu adalah pemuda yang tadi kursinya dirampas untuk diberikan kepada gurunya. Pemuda itu memang kelihatan gembira sekali dengan desakan murid Pek-eng-pang tadi dan kini pun masih bertepuk-tepuk tangan walau pun tamu-tamu lain sudah berhenti bersorak karena dia telah mampu mematahkan serbuan Ciu Hok Tek.
“Hem, hanya sekiankah kepandaianmu? Keluarkan semua, atau kamu berlutut minta ampun dengan mencium kakiku, baru akan kuampuni kamu!” kata Ciong Ek Sim dengan lagak sombong.
Pemuda bersorak tadi kini berteriak, “Ciu-eng-hiong, hajar monyet hitam itu! Pukul dan tendang lagi!”
Teriakannya ini pun diikuti teriakan banyak orang untuk menambah semangat pria baju putih yang mewakili Pek-eng-pang itu. Namun diam-diam Ciu Hok Tek terkejut sekali. Dia tadi sudah mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun hanya mampu membuat lawan keserempet tendangan dan terhuyung. Maklum bahwa dia tidak akan menang, dia menjadi nekat. Disambarnya sebatang pedang dari tangan salah seorang sute-nya dan sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia pun menerjang maju.
Sekali ini Ciong Ek Sim sudah siap. Kalau tadi dia sampai terkena tendangan adalah karena dia terlalu memandang rendah sehingga agak lengah. Kini, melihat lawan menyerang dengan pedang, dia menghadapi dengan tangan kosong saja. Si baju hitam itu mendengus penuh ejekan dan tubuhnya berkelebatan menjadi bayangan bergerak-gerak lincah di antara sambaran sinar pedang.
“Plakkk!”
Tiba-tiba dengan tangan terbuka Ciong Ek Sim menangkis pedang membuat pedang terpental dan hampir terlepas! Ciu Hok Tek kaget bukan main, demikian pula para tamu. Si tinggi kurus itu demikian lihainya sehingga berani menangkis pedang dengan tangan terbuka! Bukan hanya menangkis karena di lain saat dua buah tangan yang jarinya kecil-kecil panjang itu sudah berhasil pula menangkap pergelangan tangan Ciu Hok Tek sedemikian kuatnya membuat murid Pek-eng-pang itu tidak mampu berkutik!
Akan tetapi Hok Tek sudah nekat. Karena kedua tangannya seperti terjepit baja yang amat kuat, dia lalu menggerakkan kaki untuk menendang ke arah selangkangan lawan!
“Heh-heh-heh-heh!” Ciong Ek Sim terkekeh mengejek dan menekan tangan lawan yang memegang pedang ke bawah!
Hok Tek terkejut, tetapi sudah terlambat untuk menghindar! Paha kaki yang menendang disambut ujung pedang sendiri dan celana berikut kulit dan daging pahanya terobek. Darah muncrat dan terpaksa dia melepaskan pedangnya. Pada saat itu Ciong Ek Sim sudah memuntir tangannya yang kiri ke belakang. Demikian kuatnya puntiran itu, tak terlawan olehnya sehingga tubuhnya terputar membelakangi lawan. Ketika itu si tinggi kurus berbaju hitam mendorong lengan kirinya ke atas punggung, dia terbungkuk dan tak mampu bergerak lagi. Rasa nyeri pada pangkal lengan yang ditekuk itu membakar seluruh tubuhnya.
“Ha-ha-ha, tikus cilik! Kamu murid pertama Pek-eng-pang, bukan? Nah, berlututlah dan minta ampun pada tuanmu baru aku akan mengampunimu!” kata si tinggi kurus dengan muka penuh ejekan.
Para tamu melihat dengan muka tegang dan pucat. Keadaan Ciu Hok Tek memang sudah tak mampu bergerak lagi, nyawanya berada dalam tangan tokoh Hek-i Mo-pang itu. Tentu saja mereka tegang sekali, ingin sekali melihat apakah murid Pek-eng-pang itu mau minta ampun secara terhina itu dan apakah si baju hitam itu benar-benar akan membunuh lawannya yang sudah tak berdaya itu.....
Komentar
Posting Komentar