KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-44


Barangkali Gangga yang tidak mau tidur sekamar, pikirnya. Andai kata dirinya menjadi Gangga, dalam penyamaran sebagai seorang pria, ia pun tentu tidak mau tidur sekamar dengan seorang kawan pria, dan akan mencari dalih apa pun agar mereka dapat tidur berpisah. Betapa pun juga, untuk menghilangkan keraguannya apakah adiknya itu tahu atau tidak akan keadaan Gangga, ia lalu mendatangi kamar adiknya dan bertanya.

“Bun-te, di mana Gangga?”

“Dia berada di kamarnya, di sudut lorong ini.”

“Ehh, kenapa tidak di sini saja, sekamar denganmu? Bukankah tempat tidur ini cukup besar untuk kalian berdua?”

Wajah Ciang Bun berubah merah dan dia lalu menyuruh enci-nya duduk, kemudian menutupkan daun pintu. “Hui-ci, aku mau bicara denganmu,” katanya serius.

“Bicara apa? Katakanlah,” berkata Suma Hui sambil duduk di tepi pembaringan dan memandang adiknya dengan sinar mata penuh kasih sayang. Ia tahu akan kesulitan yang berkecamuk di dalam hati adiknya dan ia merasa kasihan karena keadaan adiknya sungguh membuat ia sendiri menjadi bingung.

“Enci, maukah enci andai kata harus tidur sepembaringan dengan seorang pemuda seperti halnya Gangga?”

“Ehhh? apa maksud pertanyaanmu ini? Aneh-aneh saja engkau. Tentu saja aku tidak mau!” Suma Hui berkata tegas dan heran.

“Nah, begitulah perasaanku, enci. Mana mungkin aku tidur sekamar dengan seorang pemuda seperti Gangga kalau aku mempunyai perasaan wanita seperti engkau itu? Dan aku.... aku takut kepada diriku sendiri, dan aku.... tidak ingin kehilangan Gangga, Hui-ci. Aku cinta padanya, aku cinta padanya dan aku tidak ingin kehilangan dia, tidak ingin berpisah darinya. Karena itulah aku selalu berusaha menjauhkan diri.... aku khawatir dia akan merasa jijik dan membenciku kalau dia tahu akan keadaanku, dan aku.... aku tidak ingin kehilangan dia, Hui-ci.”

Melihat adiknya yang gagah perkasa itu kini duduk menundukkan muka, dengan kedua pundak bergantung ke depan, gambaran seorang yang patah semangat dan penuh kegelisahan, Suma Hui merasa kasihan sekali. Hal ini sudah diduganya ketika mereka bertiga berada dalam perahu, yang membuat dia menepuk paha sendiri mengejutkan Ciang Bun.

Di dalam perahu itu ia pun teringat bahwa Ciang Bun tentu jatuh cinta kepada Gangga sebagai seorang pria! Teringat ia akan kelainan adiknya. Tak dapat dibayangkan bagai mana akan jadinya kalau adiknya tahu bahwa Gangga bukan pria, melainkan wanita!

Tiba-tiba saja dia seperti memperoleh ilham! Inikah cara pengobatan untuk memulihkan keadaan adiknya sehingga batinnya akan seirama dengan badannya? Ingin ia melihat Ciang Bun pulih seperti seorang laki-laki biasa, bertubuh pria dan juga berselera dan berbatin pria agar adiknya tidak akan mengalami rintangan dan kesulitan-kesulitan di dalam hidup selanjutnya. Dan kini Suma Hui melihat cahaya berkilat yang agaknya akan dapat memberi penerangan dalam kehidupan adiknya. Ia tidak ingin melihat adiknya mengalami derita hidup seperti yang pernah dialaminya.

“Adikku yang baik,” katanya sambil memegang kedua pundak Ciang Bun dan kemudian menegakkannya. “Seorang gagah tidak pernah putus asa dan tunduk terhadap nasib! Aku sudah tahu keadaanmu dan aku dapat ikut merasakan betapa hebat penderitaan batinmu. Akan tetapi, janganlah kau membiarkan kedukaan mengotori batinmu. Duka dan putus asa hanya permainan orang lemah. Engkau harus berani melihat kenyataan dirimu sendiri, berani menghadapinya dan berusaha mengatasinya. Segala yang tidak wajar berarti suatu keadaan yang tidak seimbang, katakanlah suatu penyakit. Karena itu, engkau tidak perlu merasa malu. Bersikaplah wajar saja namun dengan penuh kesadaran dan tertib diri, tidak hanya menurutkan dorongan nafsu yang timbul dari ketidak wajaran atau penyakitmu itu.”

“Aku tahu akan hal itu, Hui-ci dan selama ini, aku pun sudah bertahan dan menentang dorongan hasrat nafsuku sendiri yang tidak wajar. Akan tetapi, aku jatuh cinta kepada Gangga, bukan semata karena dorongan nafsu birahi, bukan hanya karena gairah, akan tetapi segala-galanya pada diri Gangga menarik hatiku, menimbulkan rasa cinta dan aku tidak mau kehilangan dia, Hui-ci.”

Suma Hui menarik napas panjang. Ia dapat merasakan apa yang terkandung di dalam hati adiknya. Seperti itulah agaknya perasaannya sendiri terhadap Cin Liong. Mencinta, sayang dan mesra, ingin sekali berdekatan dan selamanya tidak ingin berpisah lagi.

“Adikku, engkau pun tahu dan tentu ingat akan semua pelajaran dari ayah. Cinta kasih adalah sesuatu yang suci. Jangan sekali-kali salah kira dan mencampur adukkan cinta kasih dengan cinta birahi. Gejolak hatimu yang timbul dari gairah birahi itu bukanlah cinta kasih yang sesungguhnya. Itu hanya birahi yang timbul dari pikiran dan badan, dan bagi dirimu yang mempunyai kelainan, birahimu timbul kalau engkau melihat seorang pria yang tampan atau yang menyenangkan hatimu. Maka, sekarang juga aku hendak bertanya, adikku. Engkau bilang bahwa engkau cinta kepada Gangga, apakah cintamu itu semata-mata timbul karena kenyataan bahwa Gangga adalah seorang pemuda tampan dan gagah?”

“Kurasa kesemuanya itu mengambil bagian, Hui-ci. Bukan hanya karena dia seorang pemuda tampan dan gagah, akan tetapi juga karena dia berhati mulia, karena semua gerak-geriknya amat menarik dan menyenangkan hatiku, karena ia pernah menolongku dan secara mati-matian menyelamatkan diriku. Pendek kata, aku cinta padanya karena pribadinya, bukan semata karena dia seorang pemuda tampan.”

“Jika begitu, bersikaplah wajar saja dalam cintamu, adikku. Anggap dia seorang sahabat yang baik sekali. Dan sekali waktu kelak, kalau keadaan mengijinkan, lebih baik engkau berterus terang kepadanya tentang keadaan dirimu, tentang kelainanmu.”

“Ah, aku tidak berani, enci! Dia tentu akan marah dan jijik dan membenciku....!”

“Belum tentu, adikku. Apalagi kalau dia mencintamu sebagai seorang sahabat baik yang sudah dibuktikannya ketika dia mencarikan obat untukmu. Dia, seperti aku, tentu akan dapat memaklumi kelainanmu sebagai suatu penyakit dan dia tidak akan membencimu, malah akan merasa kasihan kepadamu.”

Setelah menghibur adiknya, Suma Hui lalu meninggalkannya untuk pergi tidur. Akan tetapi, gadis ini tidak pergi ke kamarnya, melainkan diam-diam dia justru pergi ke kamar Ganggananda di sudut lorong. Dia bersikap hati-hati sekali dan menjaga agar adiknya jangan sampai mengetahui perbuatannya.

Setelah tiba di depan pintu kamar Gangga, ia mengetuk pintu perlahan.

“Siapa....?” terdengar suara Gangga dari dalam.

“Adik Gangga, bukalah, aku ingin bicara,” kata Suma Hui lirih.

Daun pintu terbuka dan Ganggananda muncul, memandang kepada Suma Hui dengan sinar mata penuh selidik. Tentu saja Ganggananda merasa heran mengapa malam-malam begini seorang gadis seperti Suma Hui mengetuk pintu kamar seorang ‘pemuda’.

“Ahhh, kiranya nona Suma Hui. Ada keperluan apakah....?”

Belum habis Gangga bicara, Suma Hui sudah melangkah masuk dan menutupkan daun pintu kamar itu. Gangga memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Suma Hui tersenyum dan berkata, “Adik yang manis, tak perlu lagi bersandiwara. Kita sama-sama perempuan, apa salahnya bicara dalam kamar tertutup?”

Ganggananda atau Gangga Dewi terkejut, lalu menarik napas panjang dan tersenyum. “Ahhh, enci Suma Hui, kiranya engkau sudah tahu? Lupa aku bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan bermata tajam. Maafkan penyamaranku.”

“Sstt, adik Gangga. Mari kita keluar dari kamarmu, melalui jendela saja agar jangan sampai ketahuan Ciang Bun. Aku ingin bicara empat mata denganmu,” kata Suma Hui yang segera menghampiri jendela kamar Gangga Dewi yang menembus ke kebun samping rumah penginapan. Ia memberi isyarat, dan tidak lama kemudian dua orang gadis itu telah meloncat keluar pagar setelah menutupkan daun jendela kamar itu.

“Kita ke taman dan bicara di tempat sepi....,” kata Suma Hui.

Mereka pun kemudian berloncatan naik ke atas genteng-genteng bangunan rumah di sepanjang jalan. Suma Hui sudah mendengar penuturan Ciang Bun, betapa dengan mengandalkan ginkang-nya, Gangga sudah menyelamatkannya dan berhasil mencari obat penawar racun Hoa-mo-kang. Maka kini Suma Hui memperoleh kesempatan untuk menguji kehebatan ginkang dari gadis Bhutan itu.

Ia sengaja mengerahkan ginkang dan berlompatan dengan cepat sekali, melompati rumah-rumah dan kadang-kadang melayang turun dan berlari cepat menuju ke taman besar di mana siang tadi dia mencari adiknya dan kemudian melihat coretan-coretan di batang pohon.

Memang pemuda ini dengan cerdik telah membuat coretan-coretan di batang pohon dengan harapan enci-nya akan dapat menemukannya kalau enci-nya datang. Coretan-coretan itu dibuatnya dengan kuku jari tangan sebelum dia bersama Gangga berangkat mencari dua orang kakek yang melarikan muda-mudi itu. Dan ternyata Suma Hui yang cermat itu dapat menemukan coretan itu yang berisi pesan bahwa adiknya itu pergi keluar kota melalui pintu barat.

Suma Hui harus mengakui kehebatan Gangga, karena betapa pun dia mengerahkan tenaga untuk meninggalkan Gangga, dia tetap tidak berhasil. Gadis Bhutan itu seperti bayangannya sendiri saja, selalu di belakang atau sampingnya, tidak pernah tertinggal jauh. Bahkan dari gerakan Gangga kalau berkelebat di sampingnya ia maklum bahwa kalau gadis itu menghendaki tentu akan dengan mudah mendahuluinya. Percayalah ia kini akan kehebatan ilmu ginkang gadis ini.

Tak lama kemudian dua orang gadis itu telah duduk di atas batu-batu yang disusun secara nyeni sekali di tepi kolam ikan yang sunyi. Sepi sekali malam itu di taman karena tidak ada orang mengunjunginya di waktu malam. Dan dua orang gadis itu memang memilih tempat yang sunyi dan terbuka agar mereka dapat melihat kalau ada orang lain mendekat.

“Nah, enci Hui. Apakah yang akan kau bicarakan denganku?” tanya Gangga sambil memandang wajah yang cantik dan gagah itu.

Sepasang mata Suma Hui yang cerdik itu memandang kepada Gangga penuh selidik, kemudian ia berkata dengan suara yang penuh kesungguhan. “Adik Gangga, sekarang ceritakanlah siapa sebetulnya dirimu, siapa namamu yang sebenarnya dan dari mana kau datang.”

Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Nada suara Suma Hui seperti orang menyelidik! Hal ini membuat hatinya merasa tidak senang. Mengapa Suma Hui curiga kepada dirinya? Bukankah sudah jelas bahwa dia adalah sahabat baik Ciang Bun yang bahkan sudah membuktikan dengan usahanya menyelamatkan pemuda itu? Mengapa kini enci-nya malah seperti orang menaruh curiga dan bertanya dengan nada menyelidik?

“Enci Suma Hui, sebelum aku menjawab, katakanlah dahulu kenapa engkau kelihatan seperti orang sedang menyelidiki diriku? Apakah engkau curiga kepadaku?”

Suma Hui mengangguk. Di bawah sinar bulan, Gangga Dewi dapat melihat betapa sepasang mata gadis itu bagai mengeluarkan cahaya mencorong, membuatnya bergidik kagum. Gadis ini tentu memiliki sinkang yang hebat, pikirnya, teringat bahwa gadis ini adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!

“Terus terang saja, aku memang merasa heran dan curiga. Engkau seorang gadis cantik menyamar sebagai pria dan engkau membiarkan adikku mengira engkau seorang pria tulen. Kenapa begitu? Dan engkau datang dari Bhutan. Semua ini merupakan teka-teki yang mencurigakan hatiku. Karena itulah maka kini, sebagai sama-sama wanita, aku ingin mendengar sendiri darimu tentang keadaan dirimu.”

“Engkau adalah seorang wanita yang lihai, gagah perkasa dan juga sangat jujur dan cerdik, enci Hui. Baiklah, aku berterus terang saja karena aku pun sudah tahu bahwa engkau dan Ciang Bun adalah cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang terkenal itu. Sudah sejak kecil aku mendengar nama keluarga Pulau Es, dan Ciang Bun sedemikian percayanya kepadaku sehingga dia telah ceritakan semua tentang keadaan keluargamu. Bahkan tentang semua peristiwa menyedihkan yang menimpa keluarga kalian dan dirimu.”

“Hemmm, dia cerita tentang aku?” Suma Hui bertanya kaget dan semakin yakin hatinya bahwa adiknya tentu sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya dan benar-benar amat mencinta gadis yang menyamar sebagai pria ini.

“Ya, dan maafkan dia, enci Hui. Aku sudah mendengar semuanya, maka tidak adillah kalau aku tidak mengaku terus terang siapa diriku. Aku bernama Gangga Dewi atau juga Wan Hong Bwee....”

“Kau.... peranakan....?”

“Benar, ayahku bernama Wan Tek Hoat dan ibuku bernama Syanti Dewi....”

“Ahh, Puteri Bhutan yang terkenal itu?”

“Enci, engkau sudah mengenal ibuku?”

“Sejak kecil, seperti engkau pula, aku sudah mendengar tentang bibi Puteri Syanti Dewi. Ahhh, adik Gangga, kiranya engkau puterinya? Kalau begitu.... kita bukan orang lain. Engkau masih adikku sendiri....!” Suma Hui lalu merangkul Gangga dan puteri Bhutan ini juga membalas pelukan gadis itu walau pun hatinya merasa heran.

“Enci Hui, menurut ibu dan ayah, memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga yang dekat dengan mereka, dan ayah ibuku amat menghormati keluarga Pulau Es. Akan tetapi, tentang hubungan keluarga, aku belum tahu....”

“Memang antara keluarga kita tidak ada hubungan langsung, akan tetapi ketahuilah bahwa ayahmu itu, Wan Tek Hoat, adalah cucu kandung dari mendiang nenekku Lulu....! Nah, bukankah dengan demikian di antara kita masih ada hubungan keluarga, walau pun jauh?”

Gangga Dewi mengangguk-angguk dan hatinya merasa girang bukan main. “Setelah engkau mengenal keadaanku, tentu engkau tidak menaruh hati curiga lagi kepadaku, bukan?”

Suma Hui menggeleng kepala dan tersenyum. “Semenjak tadi pun aku tidak menaruh curiga, hanya aku ingin merasa yakin tentang hubunganmu dengan Ciang Bun. Engkau seorang gadis, dan engkau menyembunyikan keadaanmu, menyamar sebagai pemuda. Akan tetapi engkau membela adikku mati-matian. Hal ini hanya mempunyai arti, yaitu bahwa engkau.... engkau jatuh cinta kepada adikku Suma Ciang Bun. Tidak benarkah dugaanku, adik Gangga?”

Seketika wajah Gangga Dewi menjadi kemerahan dan menundukkan mukanya. “Enci Hui, aku tidak tahu.... akan tetapi sesungguhnya aku amat suka kepadanya aku merasa kasihan melihat dia menghadapi maut ketika terluka. Tentang cinta.... aku tidak tahu....”

“Adikku yang baik,” Suma Hui memegang tangan Gangga dan menggenggamnya. “Biarlah aku berterus terang saja kepadamu. Memang, kejujuranku ini mungkin akan menyakitkan, tetapi demi kebaikanmu, demi kebaikan adikku, dan demi kebahagiaanmu berdua, sekarang aku harus berterus terang. Gangga, ketahuilah bahwa Ciang Bun juga mencintamu, dia sudah mengaku kepadaku bahwa dia jatuh cinta padamu....”

“Ahhh....!” Gangga Dewi memandang wajah Suma Hui dengan mata terbelalak. “Tidak mungkin! Dia mengira bahwa aku seorang pria! Ataukah.... jangan-jangan dia sudah tahu akan keadaanku, bahwa aku seorang wanita?”

Suma Hui menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. Bagian tersukar dari tugasnya kini harus ia lalui. Maka dia pun duduk mendekat dan merangkul pundak Gangga Dewi karena apa yang akan diceritakannya adalah rahasia adiknya yang amat gawat dan tidak boleh sampai terdengar orang lain. Dengan suara lirih ia pun berkata setelah menengok ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa tempat itu sunyi tidak terdapat orang lain kecuali mereka berdua.

“Adik Gangga, dari sikapmu dan juga pertolonganmu terhadap Ciang Bun aku merasa yakin bahwa engkau sungguh mencinta dia seperti juga dia mencintaimu. Oleh karena itu, jika kuberitahu kepadamu bahwa Ciang Bun menderita suatu penyakit yang amat gawat, sudikah kiranya engkau membantuku untuk menyembuhkannya kembali?”

Gangga terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya yang cerah itu berubah sedikit pucat, alisnya berkerut penuh kekhawatiran. “Sakit? Dia sakit? Akan tetapi, ketika tabib itu memeriksa, penyakitnya hanya keracunan pukulan Hoa-mo-kang, tidak ada penyakit lain. Dan dia kelihatan begitu sehat dan segar!”

“Memang benar, akan tetapi penyakitnya bukan penyakit badan. Tidak ada yang dapat mengetahui kecuali dia sendiri dan aku karena dia percaya kepadaku dan menceritakan tentang penyakitnya itu. Dan aku yakin bahwa pengobatannya hanya ada pada dirimu. Hanya engkaulah yang dapat menyembuhkannya, Gangga.”

“Ahhh, enci Hui, jangan main-main. Engkau membikin hatiku bingung dan khawatir. Seperti orang-orang lain yang pernah belajar silat, aku hanya membawa bekal obat-obat luka dan hanya dapat mengobati luka-luka pukulan dan senjata saja. Mana mungkin aku bisa mengobati penyakit Ciang Bun jika orang lain yang ahli tak mampu menyembuhkan dirinya? Penyakit apakah itu?”

“Kami berdua pun tidak tahu penyakit apa itu namanya. Akan tetapi adikku menderita sekali karenanya. Jangan kaget, Gangga. Adikku itu adalah seorang laki-laki, seorang jantan sejati, berwatak pendekar yang tidak memalukan keluarga kami. Akan tetapi, dia.... dia mempunyai penyakit aneh, yaitu dia.... condong untuk menyukai pria dari pada wanita.”

Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan mulut yang kecil itu ternganga saking herannya hati Gangga Dewi mendengar ucapan Suma Hui itu. “Apa.... apa yang kau maksudkan, enci Hui? Aku tidak mengerti....!”

“Adik Gangga, memang penyakit itu amat aneh. Biar pun Ciang Bun adalah seorang pemuda, jasmaninya adalah seorang pria yang sempurna, namun selera dan birahinya seperti seorang wanita. Dia.... dia lebih tertarik dan suka kepada seorang pria dari pada seorang wanita. Mengertikah engkau?”

“Ahhh....!” Gangga Dewi menunduk, kedua pipinya kemerahan dan alisnya berkerut. Ia merasa bingung sekali, dan tidak tahu harus bicara apa untuk menanggapi keterangan yang amat mengejutkan dan mengherankan hatinya itu.

Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ada penyakit yang sedemikian anehnya, apalagi kalau penyakit seperti itu ternyata diderita oleh Ciang Bun yang amat dikaguminya itu. Dia seorang gadis yang cerdik dan tanpa dijelaskan sekali pun kini tahulah ia akan kenyataan yang amat menusuk perasaannya. Jadi kalau begitu, Ciang Bun dikatakan mencinta dirinya karena mengira ia seorang pria!

“Enci, kalau.... kalau begitu.... engkau hendak mengatakan bahwa kalau Ciang Bun kelak mengerti bahwa aku sebenarnya seorang wanita, maka dia.... dia tidak akan suka kepadaku, begitukah?”

Suma Hui mengangguk. “Akan tetapi, cinta tidak dapat disamakan dengan rasa suka yang terdorong gairah birahi, adikku. Ciang Bun mengaku kepadaku bahwa dia amat mencintamu, walau pun rasa cintanya itu mengandung gairah birahi karena mengira bahwa engkau seorang pemuda. Nah, rasa cintanya inilah yang harus kita pergunakan untuk menyembuhkan penyakit aneh yang dideritanya itu. Tentu saja.... tentu saja kalau engkau juga mencintanya seperti yang kuduga. Adik Gangga yang baik, demi hubungan antara orang tua kita, demi cinta Ciang Bun kepadamu, dan demi cintamu sendiri.... sudikah engkau menolongnya?”

Dalam suaranya terkandung nada yang penuh permohonan dan ketika Gangga Dewi memandang, ternyata kedua mata gadis perkasa itu berlinang air mata! Gangga Dewi merasa terharu sekali dan dia dapat merasakan betapa besar cinta kasih gadis itu kepada adiknya. Ia sendiri pun merasa kasihan kepada Ciang Bun, walau pun terdapat perasaan tidak enak menganggu hatinya mendengar akan keadaan Ciang Bun yang aneh itu.

“Enci Hui, tentu saja aku suka menolong, akan tetapi bagaimana mungkin? Kalau dia tidak suka kepada wanita, dan setelah nanti dia tahu bahwa aku sesungguhnya adalah seorang wanita dan dia pun tidak suka kepadaku, bagaimana aku akan dapat merubah seleranya?”

“Kita menggunakan cinta sebagai obatnya, adikku. Biarlah cinta kasih murni yang akan menyembuhkannya dari penyakit aneh itu.”

“Akan tetapi, bagaimana caranya, enci Hui?”

“Begini, Gangga. Biarkan cinta kasihnya kepadamu bersemi dengan subur dan berakar kuat dalam hatinya dan untuk itu perlu pemupukan.”

“Pemupukan bagaimana maksudmu, enci? Aku.... aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang cinta.”

“Sekali waktu engkau harus meninggalkan dia, kita harus memberi pupuk kepada cintanya dengan kerinduan. Biar dia merasakan betapa besar rasa kehilangannya kalau engkau tidak berada di dekatnya. Rasa cintanya yang semakin subur itu mungkin akan menghapus perbedaan antara wanita dan pria. Dia akan mencintamu, tak peduli engkau pria atau pun wanita. Rasa cinta murni itu mungkin sekali akan merupakan obat dan lebih kuat dari pada sekedar birahinya yang ganjil itu. Maukah engkau melakukannya, demi cinta kalian berdua, adikku?”

Gangga Dewi mengangguk.

“Kita sama sekali tidak boleh menyalahkannya, Gangga. Keadaan diri Ciang Bun itu adalah suatu kelainan yang bukan timbul akibat disengaja, atau pun karena memang wataknya yang kotor, tetapi karena tentu ada sebab-sebabnya. Dia adalah penderita suatu penyakit aneh, suatu kelainan yang mungkin timbul dari keadaan darahnya, atau susunan tubuhnya, atau juga karena sebab-sebab batiniah yang kita tidak mengerti. Bagaimana pun juga, karena keadaan itu menggambarkan hal yang tidak sebagaimana mestinya, tidak sebagaimana umumnya, maka biarlah kita menamakannya suatu penyakit. Keadaan setengah-setengah itu, setengah pria karena bertubuh laki-laki, dan setengah wanita karena berselera perempuan, tentu saja merupakan hal yang amat mengganggu dan menyiksa batin. Jalan satu-satunya hanyalah menjadikannya wanita sepenuhnya atau pria sepenuhnya. Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya, akan lebih sempurnalah jika ia dapat dijadikan pria sepenuhnya. Hal ini mungkin saja disembuhkan dengan cinta kasih.”

Gangga Dewi mendengarkan dengan kagum. Dari kata-katanya bisa dimengerti bahwa Suma Hui adalah seorang gadis yang luas pengetahuannya dan pintar. Dan memang demikianlah. Semenjak menderita aib yang menimpa dirinya, setelah mengalami banyak hal-hal yang amat menyakitkan hatinya, setelah memperdalam ilmunya dan banyak melakukan perantauan, Suma Hui berubah menjadi seorang wanita yang matang dan berpemandangan luas. Masalah adiknya sangat mengganggu hatinya dan selama ini banyak ia memikirkan tentang adiknya sehingga ia dapat mengambil kesimpulan seperti yang dikatakannya kepada Gangga Dewi.

Demikianlah, terdapat suatu kerjasama antara Suma Hui dan Gangga Dewi, untuk menolong pemuda yang sama-sama mereka cinta. Yang seorang mencintanya sebagai seorang kakak perempuan sedangkan, yang lainnya mencinta sebagai seorang wanita terhadap seorang pria yang dikaguminya.....

********************

Dengan mudah mereka dapat menemukan Kao Cin Liong. Kiranya panglima muda ini masih menduduki pangkatnya di kota raja sebagai seorang jenderal muda. Ketika Kao Cin Liong menghadap kaisar untuk meletakkan jabatannya agar dia dapat mencurahkan semua tenaganya untuk membantu tunangannya mencari musuh besar mereka, kaisar menyatakan keberatan! Dan ketika Kao Kok Cu, ayah pemuda itu mendengar akan hal ini, dia pun memarahi puteranya dan menyatakan tidak setuju pula.

“Cin Liong, lupakah engkau akan ceritaku tentang kakekmu? Kakekmu adalah seorang panglima besar yang amat setia dan berjiwa pahlawan. Dan sejak dahulu, keluarga Kao adalah keturunan para panglima yang gagah perkasa. Sayang bahwa aku sendiri tidak memperoleh kesempatan untuk melanjutkan kepahlawanan nenek moyang kita. Akan tetapi engkau yang masih muda, mempunyai kesempatan cukup dan engkau bahkan berhasil menjadi jenderal yang banyak jasanya. Bagaimana sekarang engkau hendak mengundurkan diri dalam usia muda hanya karena urusan wanita?”

“Akan tetapi, ayah, demi cintaku terhadap Suma Hui, aku rela melepaskan apa pun juga. Ia menderita aib, siapa lagi kalau bukan aku yang mengangkatnya dan mencuci nama baiknya dengan mencari dan membunuh jahanam yang telah mencemarkan kehormatannya, juga mencemarkan namaku karena dia mempergunakan namaku dan melakukan fitnah?”

“Benar, tetapi engkau harus berpikir panjang. Ingat, keluarga Suma adalah keluarga besar dan gagah. Karena lengah dan lalai, mereka terjebak dan mengalami aib. Biarlah mereka itu mempertanggung jawabkan sendiri kelalaian mereka, kemudian menghukum sendiri jahanam itu. Engkau hanya membantu saja. Kalau engkau yang turun tangan membalas, apakah hal itu tidak bahkan menyinggung harga diri keluarga Suma?”

Bujukan ayahnya dan larangan kaisar akhirnya membuat Cin Liong mengalah dan itulah sebabnya, ketika Suma Hui dan Ciang Bun mencarinya, kakak beradik ini mendapatkan Cin Liong di gedungnya, masih menjadi seorang jenderal muda yang disegani.

Dapat dibayangkan betapa girang dan terharu hati Jenderal Muda Kao Cin Liong ketika dia keluar menyambut tamu dan melihat bahwa tamunya adalah Suma Hui dan Ciang Bun bersama seorang pemuda asing. Melihat kekasihnya yang selama ini sangat dirindukannya, ingin Cin Liong merangkulnya. Akan tetapi tentu saja di depan banyak orang dia tidak dapat melakukan hal ini dan dia hanya membalas penghormatan para tamu itu dengan menjura.

“Liong-ko....!” kata Suma Hui lirih.

Biar pun ia masih terhitung bibi dari kekasihnya itu, akan tetapi karena dapat dibilang secara resmi telah mendapatkan restu dari orang tua dan mereka adalah tunangan, maka tanpa ragu lagi ia kini menyebut koko kepada pemuda itu.

“Hui-moi, kau baik-baik saja, bukan?” Cin Liong juga menyapa dengan halus.

Hanya itulah yang dapat mereka sampaikan melalui mulut di depan orang banyak, akan tetapi dua pasang mata itu saling bertemu, bertaut dengan sinar penuh kasih sayang dan bicara banyak sekali. Keharuan membuat sepasang mata Suma Hui agak basah.

“Bun-te, engkau kelihatan semakin gagah saja!” Cin Liong menegur pemuda yang dulu disebutnya paman itu. “Dan siapakah saudara ini?”

“Saya adalah sahabat saudara Suma Ciang Bun, dan nama saya Ganggananda,” kata Gangga memperkenalkan diri sambil memberi hormat.

“Ahh, saudara dari Nepal?”

“Bukan, saya dari Bhutan,” jawab Gangga singkat dan matanya menatap tajam wajah jenderal muda itu.

Hatinya menjadi terharu karena dia sudah mendengar penuturan ibunya bahwa ibunya mempunyai seorang saudara angkat yang sangat disayanginya, dan saudara angkat ibunya itu adalah ibu dari jenderal ini! Bukan hanya di situ saja hubungannya dengan jenderal gagah perkasa ini, melainkan lebih dekat lagi. Ada hubungan saudara antara ayah kandungnya dengan ibu jenderal ini karena mereka itu masih saudara tiri, seayah berlainan ibu.

Ayahnya she Wan, dan ibu jenderal ini juga she Wan. Akan tetapi, ia diam saja dan tidak membuka rahasia itu. Ia sudah memesan kepada Suma Hui, satu-satunya orang yang sampai kini sudah tahu akan rahasianya, agar tidak membuka rahasia itu kepada siapa pun juga, tidak pula kepada Ciang Bun atau kepada jenderal Kao Cin Liong yang masih ada pertalian keluarga dekat, karena satu kakek dengannya. Demi penyamaran Gangga, dan demi kepentingan adiknya, Suma Hui memegang janji itu dan tidak bicara tentang Gangga.

“Silakan masuk, kita bicara di dalam. Kebetulan sekali ayah berada di sini, baru pagi tadi ayah dan ibu datang mengunjungiku.”

Mendengar bahwa ayah bunda kekasihnya berada di situ, wajah Suma Hui berubah merah. Ia merasa malu sekali teringat akan sikapnya dahulu terhadap mereka, maka tentu saja kini ia merasa canggung, malu dan takut. Melihat sikap kekasihnya, Cin Liong maklum. Tanpa malu-malu lagi terhadap Ciang Bun dan Ganggananda, dia pun lalu menggandeng tangan gadis itu dan ditariknya, diajak ke dalam, diikuti oleh Ciang Bun dan Ganggananda.

Mereka menunggu di ruangan dalam. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya. Biar pun usia mereka sudah lanjut, si pendekar enam puluh tahun lebih dan isterinya, Wan Ceng sudah lima puluh tujuh tahun, akan tetapi keduanya masih nampak sehat dan gagah.

Karena maklum apa yang sedang dirasakan kekasihnya dan ingin menolong kekasihnya mengurangi perasaan tidak enak itu, begitu tiba di depan ayah bundanya, Cin Liong menarik tangan Suma Hui dan diajaknya menjatuhkan diri berlutut, sedangkan Ciang Bun dan Ganggananda memberi hormat dengan menjura.

“Ayah, ibu, terimalah hormat kami, putera dan mantu ayah ibu,” kata Cin Liong.

Melihat wajah gadis yang tengah menunduk itu, wajah yang membayangkan kecantikan, kegagahan dan kekerasan hati, yang menunduk dengan bayangan kesedihan, hati Wan Ceng menjadi lunak. Teringatlah ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih gadis. Ia pun dahulu pernah menjadi korban perkosaan orang yang menghancurkan hidup dan kebahagiaannya, membuat selalu ingin mencari dan membunuh pemerkosanya itu.

Kini Suma Hui mengalami nasib yang sama. Hanya bedanya, kalau ia bahkan bertemu jodohnya dengan pemerkosanya yang bukan lain adalah suaminya yang sekarang, yang melakukan hal itu di luar kesadarannya, sebaliknya Suma Hui menjadi korban kekejian seorang laki-laki yang amat jahat. Laki-laki yang memperkosanya dengan menyamar sebagai Cin Liong! Dan penjahat itu sedemikian pandainya memikat hati keluarga Suma sehingga selain diterima menjadi murid, juga menjadi mantu!

Semua telah didengarnya dari Cin Liong dan kini melihat gadis itu menghadapnya, Wan Ceng melupakan semua kesalah fahaman antara keluarganya dan keluarga gadis itu. Ia pun turun dari kursinya, membungkuk menghampiri Suma Hui dan merangkulnya.

“Suma Hui, engkau adalah calon mantu kami yang baik....” Dan ia pun menarik bangun gadis itu, menuntunnya dan mengajaknya duduk di kursi.

Mereka semua duduk di kursi menghadap meja besar dan sikap Wan Ceng ini ternyata telah melenyapkan perasaan canggung, malu dan tidak enak dari hati Suma Hui. Ketika ditanya, Suma Ciang Bun dan Ganggananda memperkenalkan diri. Suami isteri perkasa itu merasa girang dan bersikap amat manis.

Diam-diam Gangga Dewi terharu sekali. Dia mengerti bahwa wanita yang rambutnya sudah bercampur uban itu, yang demikian cantik dan gagah perkasa, adalah bibinya sendiri! Nyonya itu adalah saudara seayah berlainan ibu dengan ayahnya. Akan tetapi, demi menjaga perjanjian rahasianya dengan Suma Hui untuk menolong Ciang Bun, ia diam saja dan hanya duduk sebagai penonton dan pendengar.

Dalam pertemuan kekeluargaan ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng secara terang-terangan menyatakan keinginan hati mereka kepada Suma Hui agar pernikahan antara Suma Hui dan Cin Liong dapat dilaksanakan dengan secepatnya.

“Saatnya sudah lebih dari matang,” antara lain pendekar berlengan satu itu berkata. “Hendaknya kalian berdua ingat bahwa aku dan ibumu sudah tidak muda lagi. Kukira demikian pula dengan ayah bunda Suma Hui, tentu seperti juga kami, mereka sudah ingin sekali menimang cucu. Itu alasan pertama. Ke dua, tahun ini Cin Liong sudah berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun dan kami kira Suma Hui juga bukan seorang gadis remaja lagi. Karena cintanya dan setianya kepadamu, Suma Hui, putera kami itu sampai sekarang sama sekali tidak mau mendekati wanita lain, tidak menikah, bahkan memiliki seorang selir pun tidak sehingga kawan-kawannya suka menggodanya dan mengatakan bahwa dia banci.”

Hanya Suma Hui, Ganggananda dan tentu saja Ciang Bun sendiri yang merasakan kata ‘banci’ ini sebagai sindiran terhadap diri Ciang Bun.

“Akan tetapi.... saya.... saya telah bertekad untuk mencari dan membunuh musuh besar saya....”

“Kami semua juga mengerti akan perasaanmu itu, anak Hui,” kata Wan Ceng sambil menyentuh kepala gadis itu yang duduk di sebelahnya. “Menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam Louw Tek Ciang itu merupakan tugas tiap orang gagah, bukan? Tidak peduli urusan pribadi, akan tetapi perbuatannya itu cukup membuat kita semua memusuhinya. Akan tetapi, urusan dendam itu dapat dilakukan setelah menikah. Suamimu tentu akan membantumu, dan kami juga.”

“Jangan khawatir, Suma Hui,” sambung Kao Kok Cu, “Suamimu terikat tugas dan kiranya hanya mempunyai sedikit waktu untuk urusan pribadi. Akan tetapi, kalau kalian sudah menikah, aku sendiri yang akan turun tangan menyeret iblis itu ke depan kakimu!”

“Tapi.... iblis itu harus mampus di tangan saya sendiri!” Suma Hui berkata penuh geram.

Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. “Baiklah, terserah padamu, tapi kami sungguh mengharapkan engkau akan dapat mempertimbangkan dengan baik untuk segera menikah dengan tunanganmu.”

Suma Hui termenung. Ia memang merasa terharu dan kasihan kepada kekasihnya yang begitu setia dan mencintanya, padahal ia sudah bukan seorang perawan lagi. Jarang di dunia ini terdapat seorang pria seperti Cin Liong dan kalau sekarang ia menolak lagi, berarti dia yang keterlaluan dan tidak mengenal budi orang. Akhirnya ia menyetujui.

Bukan main girangnya hati Wan Ceng. Ia melompat dan merangkul calon mantunya, menciumnya dengan kedua mata basah. Keluarga itu lalu menahan Suma Hui, Ciang Bun dan juga Ganggananda yang dianggap sebagai tamu, untuk bermalam di gedung besar jenderal Kao Cin Liong dan utusan lalu dikirimkan ke Thian-cin untuk memberi kabar kepada keluarga Suma tentang akan dilangsungkannya pernikahan itu. Menurut usul keluarga Kao, pernikahan itu diadakan di kota raja dan di rumah keluarga Suma tidak diadakan pernikahan lagi karena Suma Hui pernah dinikahkan di situ dengan Louw Tek Ciang tiga tahun yang lalu. Untuk keperluan itu, keluarga Suma diundang untuk datang ke kota raja agar dapat bersama-sama merayakan pernikahan yang sudah lama ditunggu-tunggu itu.

Akan tetapi Ganggananda hanya tinggal di gedung itu semalam saja. Malam itu, setelah mempunyai kesempatan bertemu dan bicara berdua saja dengan Suma Hui, gadis itu menganjurkan kepadanya agar supaya segera mulai dengan usahanya menolong dan menyelamatkan Ciang Bun seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.

Rencana itu adalah pertama-tama meninggalkan Ciang Bun agar pemuda itu merasa kehilangan dan menderita rindu. Maka pada keesokan harinya, secara tiba-tiba saja Ganggananda berpamit dari keluarga Kao untuk melanjutkan perjalanannya. Karena hal itu ia lakukan pagi-pagi sekali, yang mengetahui kepergiannya hanyalah Suma Hui dan suami isteri Kao Kok Cu, sedangkan Cin Liong dan Ciang Bun masih berada di dalam kamarnya.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ciang Bun ketika keluar dari kamarnya, dia tidak mendapatkan lagi Ganggananda yang sudah pergi. Apalagi ketika dia mendengar dari enci-nya bahwa pemuda Bhutan itu memang benar-benar sudah pergi dari rumah itu.

“Ahhh, kenapa dia tidak pamit kepadaku? Kenapa dia pergi begitu saja....?” Ciang Bun mengeluh dengan muka berubah pucat, nampaknya dia terpukul sekali.

Diam-diam Suma Hui merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi ini merupakan siasatnya bersama Gangga Dewi untuk menolong Ciang Bun.

“Adikku, Gangga adalah seorang perantau yang biasa hidup menyendiri. Kemudian dia menemukan engkau sebagai seorang sahabat yang amat baik. Ketika dia kita ajak ke sini dan melihat pertemuan antara kita dengan keluarga Kao, baru dia merasa bahwa dia adalah orang luar, maka dia merasa tidak enak dan tidak betah tinggal lebih lama di sini, merasa tidak berhak. Karena itulah maka sepagi ini dia pergi tanpa dapat kucegah.”

“Ahh.... kasihan Gangga. Kenapa begitu? Setidaknya dia dapat menunggu aku dan bicara denganku. Ke mana dia pergi, enci? Ke mana aku akan dapat mencarinya?”

“Ke mana lagi kalau tidak pulang ke negerinya?”

Seketika wajah pemuda itu berubah pucat. “Ke Bhutan? Ya Tuhan.... Gangga, engkau pergi begitu saja meninggalkan aku untuk selamanya? Enci, aku pergi, aku harus cepat mengejarnya....”

Pemuda itu meloncat dan sebentar saja dia sudah berada di luar gedung itu. Akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan enci-nya telah berdiri di depannya dengan pandang mata serius, “Adikku, engkau mau apa?”

“Enci Hui, tidak tahukah engkau bahwa aku.... aku amat mencintanya? Aku akan mati kalau harus berpisah darinya, enci, sungguh.... aku.... aku....” Ciang Bun tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Kedua matanya sudah basah oleh air mata! Melihat adiknya menangis, Suma Hui merasa terharu sekali. Dipegangnya kedua tangan adiknya itu.....

********************

Pemuda yang sedang berlatih silat seorang diri dalam taman di samping rumah itu sungguh amat tampan dan gagah. Pagi itu matahari belum nampak walau pun sinarnya telah lama mengusir kabut dan menciptakan tetes embun menjadi mutiara-mutiara yang bergantungan di ujung daun-daun dan kelopak-kelopak bunga. Rumah itu agak terpencil di sebuah dusun yang sunyi di Lembah Sungai Kuning. Pagi yang sunyi, segar dan sejuk.

Pemuda itu berusia antara delapan belas atau sembilan belas tahun, bertubuh tinggi tegap. Wajahnya yang tampan itu berbentuk lonjong dengan dagu meruncing, mulutnya dan matanya membayangkan watak yang gemibira. Pada waktu itu, walau pun hawa udara cukup dingin, dia membuka baju dan hanya memakai celana sederhana saja.

Akan tetapi yang amat menarik adalah gerakan-gerakannya dalam berlatih silat. Kedua kaki itu seolah-olah dua batang tiang baja yang kokoh kuat, tidak tergoyahkan apa pun ketika dia memasang kuda-kuda, hanya menggeser ke sana-sini. Akan tetapi tubuh atasnya demikian lincah dan ringan. Dan orang yang tidak mengerti akan menduga bahwa pemuda itu hanya sedang berlatih dalam taraf permulaan saja dari pelajaran ilmu silat karena ketika dia melakukan gerakan memukul atau menendang, gerakan itu nampak tanpa tenaga.

Tetapi tidak demikian anggapan orang yang sejak tadi menonton sambil bersembunyi. Ketika tadi dia memasuki dusun Hong-cun dan tiba di depan rumah itu, dia memasuki pekarangan. Akan tetapi karena masih nampak sunyi, dia mencari-cari dengan pandang matanya. Cepat dia menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat seorang pemuda sedang berlatih silat seorang diri lalu mengintai. Dari sinar matanya, jelas bahwa orang ini merasa kagum bukan main.

Pengintai itu menarik napas panjang dan menggumam seorang diri, “Hebat.... seorang pemuda yang hebat tidak ubahnya Pendekar Siluman Kecil di waktu muda....”

Kakinya bergerak sedikit dan tanpa disegaja kakinya menginjak daun-daun kering dan mematahkan sepotong ranting. Bunyi itu sebenarnya tidak berapa keras, akan tetapi cukup bagi Suma Ceng Liong untuk menghentikan latihan silatnya dan dia menghadap ke arah pohon itu.

“Saudara yang berada di belakang pohon, kalau ada keperluan keluar dan bicaralah, sebaliknya jika tidak ada keperluan, harap suka pergi. Tidak ada gunanya bersembunyi dan mengintai.”

Ceng Liong mengira bahwa yang mengintai tentu seorang penghuni dusun Hong-cun. Sudah tiga tahun dia berada di dusun itu, di rumah orang tuanya dan menerima penggemblengan dengan keras dari kedua orang tuanya. Kini dia bukanlah Ceng Liong tiga tahun yang lalu, yang masih kekanak-kanakan. Kini dia seorang pemuda dewasa yang semakin mantap dan matang ilmunya. Mantap.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es