KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-40


Bukan hanya para wanita yang memandang kagum melihat kegagahan pemuda yang baru masuk ini, akan tetapi juga para tamu pria memandang, tertarik melihat sepasang pedang yang tergantung di punggung itu. Ciang Bun tidak mempedulikan semua perhatian yang ditujukan kepadanya dan dia segera makan bak-pauw dan minum teh panas sambil memandang lurus ke depan.

Akan tetapi, di sebelah depannya, di meja yang berdekatan, terdapat seorang pemuda lain yang juga sedang duduk sendirian, agaknya sudah selesai makan minum karena ada mangkok bubur kosong di depannya, juga cangkir teh. Dan kini pemuda itu sedang mencoret-coret menggunakan pencil buhr di atas sehelai kertas putih, nampaknya asyik sekali.

Berdebar rasa jantung dalam dada Ciang Bun, akan tetapi segera ditekannya perasaan itu. Kambuh kembali penyakitnya, pikirnya tak enak. Kenapa baru melihat saja seorang pemuda yang amat tampan ini lalu jantungnya berdebar-debar? Benarkah dia semata keranjang ini? Apakah seorang wanita juga akan berdebar seperti ini kalau melihat seorang pemuda tampan? Apakah wanita-wanita yang duduk di sana itu pun berdebar ketika melihat dia masuk dan mereka tadi memandang kepadanya?

Tanpa menggerakkan mukanya yang kini dimiringkan agar tidak lurus memandang ke depan, Ciang Bun mengerling ke arah pemuda itu. Seorang pemuda yang masih amat muda, paling-paling baru tujuh belas atau delapan belas tahun usianya. Pakaiannya sederhana, berwarna hijau. Tubuhnya agak kecil kurus, akan tetapi wajahnya sungguh amat menarik hati.

Wajah itu berbentuk tampan bukan main, dengan hidung kecil mancung, mulut kecil yang mengarah senyum, sepasang mata yang hidup dan tajam menatap kertas yang dicoretinya. Rambutnya dikuncir besar karena rambut itu hitam gemuk dan panjang. Alisnya hitam dan agak terlalu tebal, akan tetapi bulu matanya lentik panjang. Seorang pemuda yang amat tampan, terlalu tampan malah, seperti seorang wanita saja. Akan tetapi bulu alis tebal itu jelas bukan alis wanita.

Agaknya pemuda remaja itu sudah selesai menulis. Kini dia menyimpan alat tulisnya di dalam buntalan pakaian yang berada di atas meja. Sambil tersenyum-senyum sendiri dia mengambil kertas itu dan diangkatnya untuk dibaca. Karena Ciang Bun duduk arah belakangnya, tentu saja Ciang Bun dapat ikut pula membaca tulisan itu yang ditulis dengan huruf besar dan indah. Tulisan indah bersajak! Ciang Bun membacanya cepat.

Pergi merantau seorang diri
Berkelana menjelajah negeri
Pamer senjata menimbulkan ngeri
Apakah hanya untuk menakuti?

Wajah Ciang Bun berubah merah. Biar pun tidak secara langsung, bukankah isi sajak itu menyindir, bahkan mengejeknya? Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa semua tamu yang berada di situ tidak ada yang membawa senjata. Dialah satu-satunya orang yang membawa pedang dan karena pedangnya itu tergantung di punggung, maka disebut pamer oleh si penulis sajak. Akan tetapi penulis itu mengejeknya, mengatakan bahwa senjatanya itu hanya untuk menakut-nakuti! Sungguh pemuda remaja ini usil, lancang, akan tetapi jenaka dan tulisannya halus indah, dengan goresan-goresan aneh seperti yang biasa terdapat pada tulisan seorang asing.

Ciang Bun semakin tertarik dan memperhatikan. Hatinya tidak marah oleh sindiran dan ejekan itu, bahkan dia pun merasa geli dan lucu. Pemuda bengal, pikirnya, akan tetapi menarik hati. Ingin dia berkenalan dengannya. Sekedar berkenalan karena selama ini dia malah menjauhkan diri dari para pemuda. Kini dia tidak perlu khawatir. Dia sudah dapat menguasai hatinya, lagi pula pemuda itu masih remaja dan dia pun hanya ingin bersahabat, tidak lebih…..

Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu memanggil pelayan dengan suaranya yang lantang dan benar dugaannya, pemuda remaja itu mempunyai suara yang nadanya asing. Setelah membayar harga makanan, pemuda remaja itu bangkit berdiri, menyandang buntalannya yang cukup panjang, lalu melangkah ke luar. Akan tetapi ketika lewat di dekat Ciang Bun, pemuda remaja itu mengerling dan tersenyum, kerling dan senyum yang mengejek.

Ciang Bun membalas senyuman itu, senyuman yang mengandung kesabaran dan menawarkan persahabatan. Akan tetapi pemuda remaja itu malah membuang muka dan melangkah lebar keluar dari kedai arak.

Ciang Bun menarik napas panjang dan menenteramkan hatinya. Terasa benar olehnya bahwa penyakit pada dirinya itu belum sembuh. Kalau selama ini dia tidak merasakan getaran seperti ini, getaran yang pertama kali dirasakan ketika dia berada di Pulau Nelayan bersama Liu Lee Siang, adalah karena memang hatinya tidak pernah tertarik kepada seorang pemuda seperti halnya Lee Siang atau pemuda remaja ini. Biar pun dia lebih condong menyukai pria, akan tetapi tidak sembarang pria membuatnya berdebar seperti ini.

Setelah membayar harga makanan, Ciang Bun bangkit berdiri dan dengan keputusan hati untuk segera melupakan pemuda tampan tadi, dia pun melangkah keluar dari kedai arak. Dia berjalan-jalan di taman itu. Karena tertarik oleh keadaan telaga buatan, dia menyewa sebuah perahu dan membeli seguci arak, karena akan nikmat sekali naik perahu sambil minum arak nanti kalau matahari sudah naik agak tinggi.

Taman ini indah sekali. Dahulu merupakan taman pribadi milik kaisar. Tapi sejak kaisar Kian Liong bertahta, kaisar yang mencinta atau lebih dekat dengan rakyat dibandingkan kaisar-kaisar terdahulu, kemudian membuka taman itu menjadi taman umum yang boleh dikunjungi rakyat. Kaisar Kian Liong memang bijaksana dan pandai menyenangkan hati rakyatnya, maka di jaman pemerintahannyalah rakyat merasa lebih tenteram hidupnya.

Ciang Bun mendayung perahunya berputar-putar di telaga buatan itu. Semua orang yang berada di sekitar tempat itu, tidak ada yang tidak berseri wajahnya tanda bahwa mereka semua bergembira. Ketika Ciang Bun mendayung perahunya sampai di dekat sebuah pondok kecil yang berada di atas permukaan air di tepi telaga, tiba-tiba dia mendengar suara lantang disertai ketawa mengejek.

“Ha-ha-ha, Siang-kiam taihiap (Pendekar Besar Sepasang Pedang) nongol lagi untuk memamerkan pedangnya!”

Ciang Bun menghentikan dayungnya dan mengangkat muka. Kiranya pemuda remaja yang tadi sedang nongkrong di pondok itu menjenguk keluar dari sebuah jendela kecil dan tersenyum mengejek. Mendongkol juga rasa hati Ciang Bun. Pemuda itu sungguh bengal, suka menggoda orang. Akan tetapi dia masih dapat menahan rasa marahnya dan sambil tersenyum ramah dia pun berkata.

Bersama pedang menjelajah negeri
bukan pamer bukan menakuti
sekedar alat pembela diri
harap adik jangan salah mengerti!

Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak. “Aihh, kiranya engkau adalah seorang terpelajar, pandai bersajak, bukan tukang pukul yang suka menakut-nakuti orang!”

Ciang Bun tersenyum. “Aku seorang biasa saja yang suka bersahahat. Kalau adik suka, kita boleh berkenalan dan menunggang perahu bersama.”

Sepasang mata itu bersinar-sinar. “Benarkah? Engkau tidak marah kepadaku karena aku telah mengganggumu tadi?”

Ciang Bun tersenyum dan menggeleng kepalanya. Hatinya merasa semakin tertarik dan suka kepada pemuda remaja itu yang walau pun bengal akan tetapi ternyata pandai membawa diri dan juga jujur, mau mengakui kesalahannya. Buktinya, dia kini mengaku terus terang bahwa tadi telah mengganggunya.

“Engkau gembira dan jenaka, bukan mengganggu melainkan bicara sebenarnya. Di jaman sekarang memang banyak orang berlagak, dan engkau tadi menganggap aku tukang menjual lagak, jadi sajakmu tadi wajar saja.”

Pemuda remaja itu nampak semakin gembira. “Ahh, begitukah? Kalau begitu, biar aku ikut naik perahu bersamamu.”

Gembira sekali rasa hati Ciang Bun. “Tunggu, akan kudaratkan perahu ini....”

“Tidak usah. Awas, aku melompat turun!” Dan tiba-tiba saja pemuda remaja itu sudah meloncat keluar dari jendela itu, meluncur turun ke atas perahu yang jaraknya masih cukup jauh.

Ciang Bun terkejut bukan main, akan tetapi dia memandang kagum ketika pemuda itu sudah tiba di dalam perahu dan perahu itu sama sekali tidak terguncang seolah-olah yang tiba di dalam perahu dari atas itu hanya sehelai daun kering saja. Dia terkejut dan kagum, tahu bahwa pemuda remaja ini memiliki ginkang yang amat hebat.

“Aihhh, kiranya engkaulah sebenarnya seorang taihiap!” katanya jujur. “Sungguh malu sekali aku yang tidak bisa apa-apa ini berani membawa-bawa pedang di depan seorang pendekar lihai sepertimu ini.”

Pemuda remaja itu tertawa. Wajahnya nampak semakin muda dan tampan. “Sudahlah, toako, tak perlu merendahkan diri. Dari sikapmu menanggapi gangguanku dan pujianmu tadi, menunjukkan bahwa engkau berhati lapang dan juga berwatak rendah hati. Dan sikap ini hanya dimiliki oleh orang yang sudah patut disebut pendekar. Pula, siapa lagi kalau bukan pendekar yang lihai yang berani membawa-bawa pedang secara berterang, di kota raja pula?”

Seorang pemuda yang ahli ginkang dan juga cerdik, pikir Ciang Bun. Juga dari nada suaranya jelas menunjukkan lidah asing, walau pun bicaranya cukup lancar. Tentu seorang pemuda asing yang sudah lama berada di sini atau yang mempelajari Bahasa Han dengan baik.

“Siauw-te, tak perlu engkau memuji. Akan tetapi sungguh ginkang yang kau perlihatkan tadi mengagumkan hatiku. Dan mendengar suaramu, agaknya engkau adalah seorang yang datang dari jauh. Kalau boleh aku bertanya, siapakah namamu dan dari mana engkau datang?”

“Aku pun seorang pengembara seperti engkau, toako, hanya saja aku datang jauh dari luar negeri, dari barat. Dan karena orang tuaku kagum akan kebesaran Sungai Gangga, aku diberi nama Ganggananda (Putera Sungai Gangga).”

“Ahh....! Kalau begitu engkau tentu datang dari See-thian (Negara Barat). Akan tetapi kulitmu putih dan mukamu, biar pun agak asing, tidak jauh bedanya dengan muka bangsa kami. Dan semuda ini engkau sudah berani merantau sejauh itu. Bukan main! Padahal, usiamu tentu baru lima belas atau enam belas tahun, masih belum dewasa benar.”

“Siapa bilang? Aku telah berusia delapan belas tahun! Dan aku sudah merantau selama satu tahun lebih. Girang sekali hari ini di kota raja dapat bertemu dengan seorang pendekar seperti engkau, toako. Siapakah namamu?”

Biasanya, Suma Ciang Bun segan memperkenalkan nama, apalagi nama keturunannya, karena she Suma akan mendatangkan daya tarik dan kecurigaan, membuka rahasia bahwa dia masih keturunan keluarga Suma dari Pulau Es. Memang tidak semua orang she Suma keluarga Pulau Es, akan tetapi she ini jarang terdapat sehingga menarik perhatian. Akan tetapi terhadap pemuda remaja yang jujur ini, yang amat menarik hatinya, dia tidak mau berbohong.

“Namaku Suma Ciang Bun....”

“Wah....! Kau tentu cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!”

Kini wajah Ciang Bun berubah agak pucat. Tak disangkanya bahwa pemuda remaja yang asing ini begitu mendengar namanya langsung saja menebak dengan demikian tepatnya. Biar pun tokoh kang-ouw kenamaan tentu masih akan meragu.

“Pantas saja begitu bertemu aku tertarik untuk menggoda agar dapat berkenalan denganmu!” kata lagi pemuda yang bernama Ganggananda itu.

“Eh, Ganggananda, bagaimana engkau bisa tahu?”

Pemuda itu tertawa. “Dan engkau tentu masih saudara dari Suma Ceng Liong, bukan?”

Sekarang Ciang Bun yang terbelalak, memegang lengan pemuda remaja itu. “Engkau mengenalnya? Engkau bertemu dengan Ceng Liong? Dia masih hidupkah?”

Ganggananda tersenyum. “Tentu saja dia masih hidup, setidaknya enam tujuh tahun yang lalu dia masih hidup. Aku bertemu dan kenal dengannya ketika dia pergi ke barat.” Tiba-tiba wajah pemuda ini menjadi muram. “Heran sekali mengapa engkau tidak tahu dan mukamu berubah ketika mendengar namanya?”

“Dengar, Nanda, aku berterus terang saja. Kami semua mengira bahwa Ceng Liong sudah tewas kurang lebih sembilan tahun yang lalu. Dan sekarang, bertemu denganmu mendengar bahwa dia masih hidup, sungguh amat mengejutkan dan menggembirakan.”

“Memang dia masih hidup, akan tetapi ada hal aneh sekali yang tentu akan membuatmu menjadi semakin terkejut.”

“Apa itu?”

“Katakanlah dahulu. Betulkah engkau dan Ceng Liong cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalian adalah keluarga para pendekar Pulau Es?”

“Benar, ayahku dan ayahnya adalah kakak beradik, dan Pendekar Super Sakti adalah kakek kami.”

“Nah, itulah yang aneh. Ceng Liong cucu Pendekar Super Sakti, akan tetapi dia juga menjadi murid seorang raja iblis.”

“Apa? Siapa?”

“Hek-i Mo-ong!”

“Ahhh....!” Tentu saja Ciang Bun kaget setengah mati mendengar berita ini, lebih kaget dari pada berita bahwa adiknya itu masih hidup.

Hek-i Mo-ong adalah raja iblis yang memimpin penyerbuan ke Pulau Es. Dialah musuh besar nomor satu. Bagaimana mungkin kini Ceng Liong malah menjadi muridnya? Dia begitu terkejut sehingga memandang ke depan, jauh ke depan dan tiba-tiba wajahnya berubah pucat pada saat dia melihat dua orang pria berada di dalam sebuah perahu meluncur datang dan sudah dekat.

“Kau.... kau kenapa....?” Ganggananda memegang lengan Ciang Bun melihat pemuda itu wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi.

“Diamlah,” bisik Ciang Bun, “Dan jangan mencampuri kalau aku nanti berkelahi. Aku bertemu dengan musuh besarku!”

Perahu di depan itu kini mendekat dan yang membuat hati Ciang Bun terkejut adalah ketika dia mengenal bahwa seorang di antara dua pria yang berada di dalam perahu itu adalah Louw Tek Ciang! Dia tidak mungkin pangling. Pria itu biar pun kini sudah lebih tua, masih seperti dahulu. Pakaiannya mewah dan bibirnya masih tersenyum-senyum mengejek, pandang matanya membayangkan kecerdikan dan kelicikan. Biar pun dia belum bertemu dengan enci-nya, akan tetapi setelah kini melihat musuh besar itu, dia harus turun tangan membunuh orang yang telah merusak kehidupan enci-nya!

Akan tetapi, agaknya Tek Ciang juga bermata tajam. Mula-mula dia tidak mengenal Ciang Bun, tetapi begitu Ciang Bun berdiri di dalam perahunya dan dia memandang penuh perhatian, Tek Ciang segera mengenalnya. Dengan sikap congkak dan manis dibuat-buat penuh ejekan, dia melambaikan tangan.

“Aha, kiranya bertemu dengan adikku Ciang Bun di sini! Apa kabar, adikku?”

Akan tetapi Ciang Bun membentak sambil mencabut sepasang pedangnya. “Louw Tek Ciang keparat busuk! Bersiaplah untuk mampus!”

“Aihh, anak kurang ajar. Lupakah engkau bahwa aku ini kakak iparmu, juga suheng-mu sendiri? Keturunan keluarga Suma memang kurang ajar semua!” Louw Tek Ciang juga membentak.

Kawannya, pemuda yang berpakaian serba hijau, memandang dengan alis berkerut. Pemuda ini adalah Pouw Kui Lok, murid Kun-lun-pai yang kini menjadi sute dari Tek Ciang itu. Seperti kita ketahui, dua orang ini beruntung sekali diangkat menjadi murid-murid oleh kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman, yaitu Kim-kong-sian Cu Han Bu dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu. Mereka diajak ke Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya dan selama kurang lebih tiga tahun mereka menerima gemblengan dari dua orang tokoh sakti itu.

Karena Louw Tek Ciang adalah murid Suma Kian Lee yang sudah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari pendekar Pulau Es itu, juga murid Jai-hwa Siauw-ok yang lihai, sedangkan Pouw Kui Lok adalah murid utama Kun-lun-pai, keduanya memiliki dasar yang kuat. Karena itulah, dalam waktu tiga tahun saja mereka mampu menguasai ilmu-ilmu tertinggi ciptaan Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Juga kedua orang muda itu oleh guru mereka diberi masing-masing sebuah suling emas dan mereka mahir menggunakannya sebagai senjata.

Setelah turun gunung, kedua orang muda itu lalu kembali ke timur dan untuk bersenang-senang setelah mereka bertapa selama tiga tahun itu, mereka pergi ke kota raja untuk bersantai. Secara kebetulan sekali, ketika mereka berdua sedang berpesiar di dalam taman itu, Tek Ciang melihat Ciang Bun yang segera dikenalnya. Tentu saja Tek Ciang merasa terkejut sekali, akan tetapi dia tidak merasa takut, malah mengejek. Selain ilmunya sendiri sudah memperoleh kemajuan pesat, juga di sebelahnya terdapat Pouw Kui Lok, seorang sute-nya dan juga sahabat baiknya yang tentu akan membelanya kalau ada bahaya mengancam dirinya. Apa yang ditakutkan lagi?

Pouw Kui Lok telah menjadi saudara seperguruan Tek Ciang dan hubungan di antara mereka akrab sekali. Tek Ciang memang seorang yang amat cerdik. Seperti ketika dia mengelabui Suma Kian Lee sehingga pendekar itu amat percaya kepadanya, ketika berada di Lembah Naga Siluman pun dia dapat membawa diri sehingga tidak nampak sama sekali sifat jahatnya.

Kedua orang sakti she Cu itu menganggapnya seorang murid yang baik dan yang berwatak gagah perkasa, pantas menjadi seorang pendekar yang akan menjunjung tinggi nama dan kehormatan keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Juga Kui Lok, murid Kun-lun-pai yang berwatak pendekar itu merasa suka kepada Tek Ciang dan menganggap suheng-nya ini benar-benar seorang gagah sejati. Apalagi suheng-nya pernah menjadi murid, bahkan mantu pendekar sakti Suma Kian Lee keluarga Pulau Es itu.

Dengan cerdik Tek Ciang pernah menceritakan riwayatnya kepada Kui Lok. Ia bercerita bahwa dia sebagai murid Suma Kian Lee lalu diambil mantu. Akan tetapi akhirnya keluarga Suma yang tinggi hati itu merasa menyesal karena dia hanya anak seorang guru silat yang tak ternama. Dan keluarga itu hendak memisahkan dia dari isterinya.

Pouw Kui Lok tadinya merasa terkejut dan heran mendengar cerita itu. Sukar untuk dapat dipercaya. Akan tetapi, ketika dia menyebut nama Suma Ceng Liong sebagai murid Hek-i Mo-ong yang merupakan musuh besarnya, dia mendengar dari suheng-nya bahwa Suma Ceng Liong juga cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, masih adik sepupu isterinya.

Barulah timbul semacam perasaan tidak suka di hati Kui Lok dan dia percaya bahwa keluarga Suma dari Pulau Es memang congkak, tinggi hati dan condong ke arah penyelewengan, seperti dibuktikan dengan kenyataan bahwa Suma Ceng Liong menjadi murid Hek-i Mo-ong, dan keluarga Suma Kian Lee bersikap tidak adil terhadap Tek Ciang. Bukan hanya Kui Lok yang terpengaruh. Saking pandainya Tek Ciang bersikap dan bicara, kedua orang gurunya, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang tadinya kagum kepada keluarga Pulau Es, kini pun merasa tidak senang.

“Engkau atau aku yang mati!” bentak Ciang Bun yang sudah mencabut sepasang pedangnya dan pemuda ini meloncat ke arah perahu di depan.

Ganggananda menjadi bingung dan menahan agar perahu yang terguncang itu tidak sampai terguling, kemudian dia cepat mendayung perahu agak menjauh sambil memandang dengan alis berkerut dan hati khawatir. Dia tidak tahu harus berbuat apa karena sahabat barunya itu tidak bercerita tentang musuh besarnya. Dia tidak tahu bagaimana urusannya. Apalagi ketika mendengar betapa orang yang diserang Ciang Bun tadi bicara seperti kakak ipar Ciang Bun sendiri, dia menjadi semakin bingung dan tidak berani sembarangan mencampuri.

“Trang.... trangg....!”

Bunga api berpijar ketika sepasang pedang di tangan Ciang Bun yang menyerang itu ditangkis oleh suling di tangan Tek Ciang.

Pemuda yang baru saja turun dari Lembah Naga Siluman ini terkejut ketika menangkis sepasang pedang Ciang Bun. Tadinya dia mengira bahwa tingkat kepandaian Ciang Bun tentu tidak banyak bedanya dengan dahulu. Maka dia tadi mengerahkan tenaga untuk menangkis dengan keyakinan bahwa tangkisan itu akan membuat sepasang pedang lawan terpental. Tetapi ternyata ketika sulingnya bertemu dengan sepasang pedang, dia merasa lengannya tergetar dan tenaga bekas adik iparnya itu bukan main kuatnya.

Di lain pihak, Ciang Bun juga kaget sekali karena selain tiba-tiba saja musuh besar itu memiliki senjata aneh, yaitu sebatang suling emas yang digerakkan menangkis dengan tenaga dahsyat, juga suling itu dapat mengeluarkan suara melengking yang seolah-olah menusuk telinganya. Akan tetapi karena hati Ciang Bun sudah penuh kemarahan dan dendam, dia tak peduli akan kenyataan itu dan dia pun sudah menggerakkan sepasang pedangnya lagi, menyerang dengan dahsyat. Dan terjadilah perkelahian sengit di atas perahu kecil itu.

Pouw Kui Lok yang masih duduk di ujung perahu sambil memegang dayung, menjadi bingung melihat perkelahian seru di atas perahu kecil itu. Seperti juga Ganggananda, dia pun tak tahu harus berbuat apa. Bedanya, jika Ganggananda tidak tahu urusannya, dia sendiri sudah tahu dan karenanya tidak berani lancang mencampuri. Bukankah urusan antara suheng-nya dan keluarga Suma adalah urusan pribadi mereka? Perahu itu terguncang hebat dan dengan susah payah Kui Lok berusaha menahan dengan dayungnya agar perahu tidak sampai terguling.

Tingkat kepandaian Ciang Bun pada waktu itu sungguh tak dapat dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Semenjak ayahnya sadar akan kekeliruannya, pendekar itu menggembleng Suma Hui dan Ciang Bun dengan tekun sehingga kedua orang anaknya itu memperoleh kemajuan pesat sekali.

Namun lawannya sekarang adalah Louw Tek Ciang yang bukan saja telah mengenal semua ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi di samping itu juga telah mewarisi ilmu-ilmu silat dari para datuk Ngo-ok melalui gurunya yang lain, yaitu Jai-hwa Siauw-ok. Apalagi setelah selama tiga tahun dia digembleng oleh orang-orang sakti she Cu dari Lembah Naga Siluman, tentu saja tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Ciang Bun.

Maka, meski Ciang Bun menggerakkan siang-kiamnya dan menyerang dengan sengit, tetap saja Tek Ciang dapat menguasai keadaan. Dia mengenal jurus-jurus gerakan Siang-mo Kiam-hoat yang dimainkan Ciang Bun. Sebaliknya Ciang Bun sama sekali tidak mengenal ilmu serangan yang dimainkan dengan suling itu, yang penuh dengan totokan-totokan amat berbahaya. Ciang Bun terdesak hebat dan menjadi bingung.

Betapa pun juga, karena mereka berkelahi di atas perahu kecil yang terombang-ambing, tentu saja gerakan mereka tidak sempurna benar. Sebagian dari perhatian mereka dikerahkan untuk menjaga agar tubuh mereka jangan sampai terjungkal jatuh keluar perahu. Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Tek Ciang yang lebih unggul belum juga mampu merobohkan Ciang Bun yang melawan dengan gigih.

Karena maklum akan kelihaian lawan yang ternyata memiliki tenaga amat kuat dan dapat memainkan suling itu sedemikian aneh dan berbahaya, Ciang Bun memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya. Dua gulung sinar menyelimuti tubuhnya, merupakan perisai yang kokoh kuat dun sukar ditembus.

Tek Ciang menjadi penasaran sekali. Dia tahu bahwa kalau mereka berkelahi di darat, tentu tidak akan begitu sukar baginya untuk merobohkan pemuda ini. Perahu yang terombang-ambing dan miring ke sana-sini itu sungguh membuat gerakannya amat sukar dan tidak leluasa, bahkan besar bahayanya dia akan terkena senjata lawan yang selain lebih panjang juga berjumlah dua itu. Maka tiba-tiba dia lalu merendahkan tubuhnya, mengerahkan tenaga sakti Hoa-mo-kang, yaitu ilmu pukulan Katak Buduk yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok sebagai ilmu peninggalan mendiang Su-ok, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok.

“Arrghhh....!” Suara yang menyerupai katak berkokok keluar dari perutnya dan tangan kirinya sudah mendorong ke depan, ke arah Ciang Bun.

Serangkum angin pukulan dahsyat yang mengandung bau amis sekali menyambar. Ciang Bun terkejut bukan main. Dia maklum akan datangnya pukulan jahat. Cepat dia miringkan tubuh untuk mengelak sambil meloncat, akan tetapi karena perahu miring, dia terpeleset. Sebelum dia mampu mengatur keseimbangan tubuhnya, suling di tangan Tek Ciang meluncur. Ciang Bun masih dapat melihat sinar kuning emas menyambar pusarnya dan dalam keadaan miring hampir jatuh itu dia merendahkan tubuhnya agar suling tidak mengenai tempat berbahaya. Dia mengerahkan sinkang untuk menerima suling yang kini menyambar ke arah perutnya.

“Dukkk!”

Sinkang dari Pulau Es memang hebat, membuat tubuhnya kebal, akan tetapi, totokan suling itu pun dahsyat sekali sehingga biar pun kulit perutnya tidak terluka, namun hawa pukulan kuat menembus dan mengguncangkan isi perut, membuat Ciang Bun menahan keluhannya karena rasa nyeri dan kepalanya pun pening. Sementara itu, kaki Tek Ciang masih menyusulkan tendangan.

“Bukk.... byuurrr....!” Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ciang Bun terlempar keluar dari perahu dan menimpa air telaga.

“Ha-ha-ha-ha, mampus engkau sekarang!” Tek Ciang tertawa bergelak. Da baru sadar bahwa dia telah membiarkan perasaannya meliar ketika melihat pandang mata Kui Lok terbelalak ditujukan kepadanya.

Memang pemuda Kun-lun-pai itu terkejut dan ngeri melihat sikap Tek Ciang. Dia pun mengenal pukulan keji tadi dan kini melihat sikap Tek Ciang demikian kejam tertawa-tawa buas, dia terheran sampai terbelalak!

Tek Ciang sudah cepat menguasai dirinya, maklum bahwa dia telah tanpa disengaja memperlihatkan perasaannya yang sesungguhnya. Dia pun menghentikan tawanya, dan menarik napas panjang.

“Aihhh.... betapa tega hatiku melihat dia roboh. Pemuda itu lihai sekali dan tadi dia bersungguh-sungguh hendak membunuhku.” Ucapan ini agaknya untuk membela diri mengapa dia tadi kelihatan kejam.

Tiba-tiba dua orang itu terkejut bukan main. Perahu mereka tiba-tiba terguncang hebat dan miring, seperti ada yang membalikkannya dari bawah! Tentu saja Tek Ciang sama sekali tidak tahu bahwa biar pun sudah terkena pukulan dan tendangannya, namun Ciang Bun belum tewas dan begitu tubuhnya terlempar ke dalam air, pemuda ini bahkan menjadi semakin berbahaya! Dia tidak tahu bahwa Ciang Bun telah memiliki ilmu dalam air yang jarang tandingannya, berkat latihan yang diperolehnya dari keluarga di Pulau Nelayan.

Bagaikan seekor ikan, walau pun dirinya sudah terluka, Ciang Bun dapat menyelam, menyimpan sepasang pedangnya dan kini dia berusaha menggulingkan perahu yang ditumpangi Tek Ciang dan kawannya. Kalau sampai Tek Ciang dapat terlempar ke air, dia yakin akan dapat membunuh musuh besar itu!

“Hei, apa ini....?” Tek Ciang berseru kaget dan mengatur keseimbangan tubuhnya.

“Ada yang hendak menggulingkan perahu!” Kui Lok juga berseru kaget.

Mereka melongok ke bawah dan melihat kepala Ciang Bun nongol. Dengan marah Tek Ciang lalu memukul ke arah kepala itu, akan tetapi kepala itu menyelam dan lenyap. Kemudian perahu terguncang lagi dan tiba-tiba ada pedang menembus dasar perahu yang tentu saja menjadi bocor! Air memasuki perahu dari bawah!

“Celaka! Perahu bocor....!” seru Tek Ciang.

Tiba-tiba dia tersentak kaget ketika ada pedang menyambar dari luar perahu. Kiranya, dengan kecepatan seperti ikan berenang Ciang Bun sudah muncul lagi dan langsung menyerangnya dari luar perahu. Tek Ciang cepat mengelak dan siap untuk melawan, namun tubuh Ciang Bun sudah lenyap menyelam lagi. Kini kembali terasa guncangan-guncangan dan perahu itu pun berlubang-lubang karena ditusuki dari bawah oleh Ciang Bun!

“Ahh, iblis itu pandai bermain di air!” kata pula Tek Ciang terbelalak kaget dan khawatir.

“Berbahaya! Kita harus pergi dari sini!” Pouw Kui Lok juga berseru kaget melihat betapa dengan cepat air memasuki perahu yang hampir tenggelam.

“Byarrrr....!”

Kembali perahu yang hampir tenggelam itu terguncang hebat, membuat kedua orang muda itu terhuyung dan pada saat itu, sinar pedang menyambar pula, membabat ke arah kaki Tek Ciang. Pemuda ini cepat meloncat, akan tetapi pedang ke dua menusuk dan walau pun dia mengelak pula, tetap saja ujung pedang menyerempet pahanya. Celananya robek berikut kulit paha dan darahpun mengucur deras.

Pouw Kui Lok yang melihat bahaya mendadak menyambar tubuh suheng-nya yang pahanya terluka itu, membawanya melompat ke arah sebuah perahu lain yang datang mendekat. Perahu itu ditumpangi dua orang yang agaknya melihat keributan di situ menjadi tertarik. Terkejutlah mereka melihat betapa pemuda berpakaian hijau sambil memondong seorang pemuda lain yang terluka, tiba-tiba melompat ke perahu mereka. Bukan main hebatnya lompatan pemuda itu dan mereka mengeluarkan teriakan kaget ketika Kui Lok berhasil hinggap di atas perahu bersama suheng-nya.

Akan tetapi dengan mata terbelalak Tek Ciang dan Kui Lok melihat betapa Ciang Bun berenang dengan amat cepatnya menuju ke perahu itu. Bukan main cepatnya pemuda itu bergerak dalam air. Seperti seekor ikan saja.

“Ikan besar....!” Dua orang penumpang perahu yang masih belum hilang kagetnya itu pun kini melihat Ciang Bun dan mengira bahwa ada ikan besar hendak menyerang perahu mereka.

Kini Pouw Kui Lok merasa khawatir dan dengan sendirinya dia pun harus melindungi dirinya. Kalau perahu terbalik, tentu dia pun menjadi korban. Dia merasa ngeri ketika menyaksikan kehebatan gerakan pemuda tampan di dalam air itu sehingga dia tahu bahwa sekali mereka terjatuh ke air, tentu nyawa suheng-nya tidak akan tertolong lagi. Maka dia lalu menyambar sebatang dayung dalam perahu itu dan secepat kilat dia menggerakkan dayungnya menyerang ketika pemuda yang berenang seperti ikan itu mendekati perahu.

Ciang Bun sudah terluka. Perutnya terasa nyeri. Juga pahanya biru terkena tendangan Tek Ciang tadi. Akan tetapi dengan gigih dia menyerang terus, karena dia melihat satu-satunya kesempatan baginya untuk membalas semua sakit hati keluarganya terhadap iblis itu. Kalau dia mampu membuat Tek Ciang terlempar ke air, dia pasti akan dapat membunuhnya.

Maka, ketika melihat betapa pemuda teman Tek Ciang membawa Tek Ciang meloncat ke perahu lain, dia pun mengejar. Tak disangkanya pemuda teman iblis itu pun memiliki ginkang sedemikian baiknya sehingga dapat menolong Tek Ciang yang sudah terobek sedikit pahanya oleh pedangnya. Dan kini, tiba-tiba saja ada dayung menyambutnya dari atas perahu. Ciang Bun terpaksa mengangkat pedangnya menangkis.

“Tranggg....!”

Tubuh Ciang Bun tenggelam dan dia terkejut sekali. Tenaga hantaman dayung itu kuat bukan main! Kiranya teman Tek Ciang itu pun memiliki kepandaian tinggi. Ciang Bun diam-diam mengeluh. Makin tipis harapannya kalau teman iblis itu kini membantu Tek Ciang.

Dia muncul kembali dan kini bukan hanya sebuah dayung, melainkan ada dua buah dayung panjang menyambutnya sehingga terpaksa dia menyelam kembali. Kiranya kini Tek Ciang juga memegang sebatang dayung panjang dan bersama dengan Kui Lok berjaga di kedua ujung perahu.

“Lekas dayung perahu ke tepi!” Tek Ciang berkata kepada dua orang penumpang perahu yang masih ketakutan itu. Mereka tidak membantah dan mendayung dengan dayung pendek.

Sementara itu, Ciang Bun masih penasaran. Dia menyelam dan mencoba untuk menggulingkan perahu dari bawah. Akan tetapi selagi dia mengerahkan tenaga untuk menggulingkan perahu, dayung Tek Ciang menghantam punggungnya dengan cara diluncurkan. Ternyata Tek Ciang dapat melihat bayangan tubuhnya dalam air dan dari atas, iblis itu menusuknya dengan dayung yang mengenai punggungnya.

“Bukkk....!”

Hantaman itu tidak terlalu kuat karena tenaga hantaman sudah dilawan air, akan tetapi karena tenaga Tek Ciang memang besar, tetap saja Ciang Bun merasa nyeri sekali pada punggungnya. Kembali ada rasa muak dan bau amis membuat kepalanya terasa pening.

Dia tidak tahu bahwa yang paling hebat dideritanya adalah pukulan Hoa-mo-kang yang dilakukan Tek Ciang di atas perahu tadi. Pukulan itu tidak mengenai dengan tepat, tapi karena perut Ciang Bun terkena sodokan suling, membuat isi perutnya terguncang sehingga hawa beracun pukulan Hoa-mo-kang yang hanya menyerempet itu pun dapat menerjang dan meracuninya.

Menerima pukulan dengan dayung yang mengenai punggungnya itu membuat Ciang Bun merasa pening. Sejenak pandang matanya menjadi gelap. Antara sadar dan tidak sadar dia menggerakkan kaki tangannya menjauhi perahu karena kalau sampai dalam keadaan seperti itu dia diserang lagi, tentu dia akan celaka.

Dia masih dalam keadaan setengah pingsan terapung ketika tiba-tiba ada dua tangan yang kuat mencengkeram leher bajunya dan menariknya ke atas perahu. Dengan terengah-engah karena terlalu lama bertahan dalam air, Ciang Bun terguling ke dalam sebuah perahu kecil dan dengan pandang mata masih berkunang-kunang dia melihat wajah Ganggananda, sahabat barunya. Lega hatinya melihat sahabatnya ini dan kini dia pun dapat melepaskan pertahanannya untuk jatuh tak sadarkan diri lagi. Hanya dalam keadaan seperti itu saja semua rasa nyeri dan kecewa lenyap dari dirinya.

Ganggananda sejak tadi nonton perkelahian itu dan hatinya merasa amat khawatir ketika melihat Ciang Bun terlempar ke dalam air. Akan tetapi, dia pun terbelalak kagum melihat betapa Ciang Bun masih mampu membuat dua orang lawan dalam perahu itu kebingungan dengan cara menyerang perahu dari bawah. Pemuda keturunan penghuni Pulau Es itu sungguh hebat sekali! Kiranya memiliki ilmu di dalam air yang hebat pula.

Akan tetapi dia pun melihat betapa dua orang dalam perahu yang menjadi musuh besar Ciang Bun itu bukan orang-orang sembarangan. Mereka dapat menyelamatkan diri ke lain perahu, bahkan dapat memukul Ciang Bun dengan dayung. Tadinya dia merasa terkejut karena perahu itu didayung pergi dan tidak lagi nampak gerakan Ciang Bun dalam air. Celaka, pikirnya, agaknya Ciang Bun terkena pukulan dayung dan tenggelam ke dasar telaga!

Ganggananda mendayung perahunya mendekat dan akhirnya dia melihat tubuh Ciang Bun bergerak-gerak lemah di bawah permukaan air. Cepat dia lalu mendekatinya dan meraihnya, berhasil menangkapnya dan menariknya ke dalam perahu. Kini Ciang Bun rebah di dalam perahu, tidak nampak dari jauh dan dia pun dengan pengerahan tenaga sinkang, cepat mendayung perahu ke tepi yang berlawanan dengan tempat di mana dua orang musuh besar Ciang Bun tadi mendarat.

Begitu mendarat, Ganggananda cepat memondong tubuh Ciang Bun dan meloncat ke darat. Dia sengaja mendarat di bagian yang sunyi, di mana tidak terdapat pelancong karena bagian itu penuh dengan batu-batu koral dan semak-semak belukar. Pemuda remaja ini pun bukan seorang bodoh, sebaliknya, dia cerdik sekali.

Dia dapat menduga bahwa tentu dua orang musuh besar Ciang Bun itu tidak akan tinggal diam dan tentu mencurigai perahunya karena tadi mereka melihat Ciang Bun berperahu bersamanya. Maka dia pun mendarat di bagian yang berlawanan dan sunyi, dan begitu dia mendarat, dia memondong tubuh Ciang Bun yang masih pingsan itu dan melarikan diri.

Ketika dia menoleh, benar saja dugaannya. Dua bayangan orang mengejarnya dan biar pun mereka masih jauh dan tidak dapat melihat wajah mereka, namun dia yakin bahwa mereka itu tentulah dua orang musuh besar tadi. Hal ini dapat diketahui betapa seorang di antara mereka terpincang-pincang.

Memang dugaan Ganggananda itu benar. Begitu mendarat, Tek Ciang lalu mengobati lukanya sambil memperhatikan ke tengah telaga. Dia melihat perahu kecil di mana terdapat seorang pemuda remaja yang menjadi teman berperahu Ciang Bun tadi. Kini perahu itu meluncur cepat ke daratan yang berlawanan.

“Hemm, mencurigakan. Agaknya perahu itu membawa Ciang Bun. Mari kita mengejar mereka.” Dan tanpa mempedulikan pahanya yang terluka, Tek Ciang lalu lari memutari telaga untuk mengejar, dibayangi oleh Pouw Kui Lok yang mengerutkan alisnya karena hatinya sungguh merasa kurang enak melihat bahwa dia terlibat dalam permusuhan itu.

“Lihat, benar saja! Itu pemuda cilik memondong dan melarikannya. Mari cepat!” teriak Tek Ciang saat melihat perahu itu mendarat dan Ganggananda meloncat keluar sambil memondong tubuh Ciang Bun.

Akan tetapi sekali ini, dua orang murid Lembah Naga Siluman itu kecelik. Pemuda remaja itu ternyata dapat berlari luar biasa cepatnya sehingga biar pun mereka sudah mengerahkan tenaga, pemuda remaja yang memondong Ciang Bun itu sebentar saja sudah berlari jauh seperti terbang cepatnya.

Tek Ciang membanting-banting kakinya yang tidak sakit ketika melihat pemuda itu lenyap. “Ahhh, kalau saja kakiku tidak terluka, tentu aku akan dapat menyusulnya!”

Akan tetapi Pouw Kui Lok menggelengkan kepalanya. “Suheng, apakah engkau tidak melihat kehebatan itu? Pemuda remaja itu memiliki ginkang yang amat luar biasa, dan aku hampir percaya bahwa kepandaiannya dalam hal ginkang dan berlari cepat, lebih lihai dari pada suhu Cu Seng Bu sendiri!”

Tek Ciang cemberut, walau pun diam-diam dia juga terkejut menyaksikan kehebatan pemuda remaja itu yang ternyata dapat berlari sedemikian cepatnya walau pun sambil memondong tubuh orang yang jelas lebih berat dari pada tubuh pemuda itu sendiri. Dengan uring-uringan Tek Ciang terpaksa kembali ke rumah penginapan bersama sahabat atau sute-nya itu, untuk mengobati luka di pahanya yang pecah kembali karena dipakai berlari cepat tadi.

“Hemmm, kalau kakiku sudah sembuh, aku harus dapat mencari keparat itu untuk membuat perhitungan!” Dia mengomel di dalam kamar ketika mengobati lukanya.

Sejak tadi Pouw Kui Lok mengerutkan alisnya. “Suheng, aku tidak ingin mencampuri urusan pribadimu, dan aku pun tidak ingin memberi pendapat karena sesungguhnya hal itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Mungkin saja keluarga Pulau Es memang congkak dan tinggi hati, akan tetapi hal itu pun tidak ada sangkut-pautnya dengan aku. Kepada mereka aku tidak mempunyai dendam, tidak ada urusan apa-apa antara aku dan mereka. Maka, aku tidak ingin terbawa-bawa dalam urusan pribadimu, suheng.”

“Sute, lupakah engkau bahwa Suma Ceng Liong adalah murid Hek-i Mo-ong, seperti yang pernah kau ceritakan itu? Tidakkah sepatutnya engkau memusuhi keluarga Suma mengingat bahwa Ceng Liong juga musuhmu?”

Kui Lok menggelengkan kepalanya. “Seperti sudah kuceritakan kepadamu, suheng. Mendiang guruku, Yang I Cin-jin, tewas di tangan Hek-i Mo-ong dan kepada raja iblis itu sajalah aku mendendam dan aku bersumpah di depan mayat suhu untuk membalas kematiannya. Dan aku telah berhasil membunuh Hek-i Mo-ong. Suma Ceng Liong, biar pun murid iblis itu, tidak ada sangkut-pautnya dengan aku. Kecuali kalau dia hendak membalaskan kematian Hek-i Mo-ong kepadaku, tentu saja akan kulawan. Sementara ini, aku menganggap urusanku dengan Hek-i Mo-ong sudah habis dan aku tidak ingin bermusuhan dengan Suma Ceng Liong.”

“Akan tetapi, selama keluarga itu masih ada, mereka akan selalu memusuhiku.”

“Hem, mengapa begitu, suheng?”

“Seperti sudah kuceritakan, Suma Kian Lee merasa menyesal telah mengambil aku sebagai mantu. Dia tentu hendak menjodohkan puterinya dengan orang lain, kabarnya dia telah memilih calon mantu yang dianggapnya sederajat, yaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong di kota raja....”

“Ahh, jenderal gagah perkasa yang terkenal itu, putera Pendekar Naga Gurun Pasir?” seru Kui Lok terbelalak karena pemuda ini pernah mendengar akan kebebatan jenderal muda ini.

Tek Ciang mengangguk dan tersenyum kecut. “Benar, keluarga itu menganggap bahwa Suma Hui, isteriku itu, lebih cocok menjadi isteri jenderal muda itu yang juga jatuh cinta kepada isteriku. Akan tetapi, karena perkawinan antara kami sudah disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw, mana mungkin Suma Hui menikah dengan orang lain kalau aku masih hidup? Karena itulah, keluarga Suma menginginkan aku mati. Engkau sudah melihat sendiri betapa ganasnya adik isteriku tadi menyerangku.”

“Begitu jahatkah mereka?” Kui Lok mengerutkan alisnya dan hatinya merasa amat ragu. Keluarga Suma dari Pulau Es terkenal sebagai keluarga sakti yang berjiwa besar, bahkan siapakah tidak mengenal nama-nama hebat seperti Puteri Nirahai, Puteri Milana, Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan lain-lainnya itu?

“Sute, kalau tidak mengalaminya sendiri tentu tidak percaya. Akan tetapi, kalau orang sudah tergila-gila akan kedudukan dan derajat, tentu mampu berbuat kejam. Aku dianggap penghalang kebahagiaan mereka, tentu saja mereka berdaya upaya agar aku lenyap dari muka bumi. Tidak, aku tidak mau mati konyol. Aku harus cepat mendahului mereka, dan pertama-tama Suma Ciang Bun yang sudah menyerangku tadi akan kucari dan kubunuh.”

“Aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu, suheng, akan tetapi harap kau ingat pesan suhu. Kita bertugas untuk pergi ke Puncak Bukit Nelayan, mencari kemudian menantang Kam Hong sebagai wakil suhu, wakil Lembah Naga Siluman untuk mengadu ilmu dengan keluarga Suling Emas.”

“Hem, itu pun bukan urusan pribadi kita, sute.”

Kui Lok memandang suheng-nya dengan mata terbelalak. “Ehhh, bagaimana engkau dapat berkata demikian, suheng? Kita tahu bahwa para suhu di Lembah Naga Siluman mengambil kita sebagai murid, bukan hanya untuk mewarisi ilmu keluarga Cu, akan tetapi juga untuk mewakili Lembah Naga Siluman dalam menghadapi satu-satunya musuh atau saingan keluarga Cu, yaitu Pendekar Suling Emas Kam Hong di Puncak Bukit Nelayan!”

Melihat ketegasan sikap Kui Lok, Tek Ciang merasa tidak enak kalau mengingkari hal itu. Memang para suhu di Lembah Naga Siluman sudah menekankan hal itu dan kini pun mereka diserahi tugas mewakili para suhu itu untuk menghadapi Kam Hong. Mengingkarinya berarti akan merupakan kemurtadan dan dia tentu akan dihadapi oleh Kui Lok dan keluarga Cu sebagai musuh pula. Sungguh tidak enak. Musuh-musuhnya sudah terlalu banyak dan mereka semua sakti, kalau ditambah lagi dengan keluarga Cu, sungguh berbahaya.

“Baiklah, sute. Aku terpaksa membiarkan Ciang Bun pergi. Mari kuturuti kehendakmu, kita pergi ke Puncak Bukit Nelayan. Akan tetapi setelah itu, maukah engkau berjanji untuk membantuku?”

“Suheng, urusan pribadimu seharusnya kau hadapi sendiri. Jangan kau melibatkan aku dalam urusan pribadimu. Akan tetapi kalau aku melihat engkau terancam bahaya, tentu aku akan turun tangan melindungi dan membantumu. Hal itu wajar, bukan?”

Tek Ciang tidak berani terlalu banyak cakap lagi. Dia khawatir kalau sute-nya ini mencurigainya dan dapat melihat rahasia di balik semua sikapnya. Dia tidak tahu bahwa memang Kui Lok sudah menjadi heran dan mulai menaruh curiga. Hari itu juga mereka meninggalkan kota raja, melanjutkan perjalanan menuju ke pegunungan Tai-hang-san untuk mencari Pendekar Kam Hong sebagai wakil keluarga Cu di Lembah Naga Siluman.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es