KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-41


“Tenanglah, Ciang Bun, tenanglah. Engkau berada di rumah Gu-sinshe, seorang tabib kenamaan di kota raja.”

“Ohhh....!”

Ciang Bun teringat dan meraba dadanya. Dadanya terasa sesak dan perutnya mual. Muak rasanya bau amis itu dan dia menahan diri agar tidak muntah. Ganggananda duduk di dekatnya dan dia rebah di atas pembaringan.

“Bagaimana rasanya, Ciang Bun?” pemuda remaja itu bertanya dengan nada suara khawatir.

Ciang Bun teringat, memandang wajah tampan itu dan memaksa tersenyum. “Nanda, engkau seorang sahabat baru, namun ternyata engkau telah menyelamatkan nyawaku. Aku berhutang nyawa padamu, adik Nanda.”

“Sudahlah, tak perlu bicara tentang hutang-pihutang. Yang penting sekarang ini adalah menyembuhkanmu dari luka dalam penuh hawa beracun itu.”

“Hawa beracun? Di tubuhku? Ahhh, aku merasa dada sebelah kanan kadang-kadang panas kadang-kadang dingin dan ada rasa muak, bau amis....”

“Itulah! Menurut Gu-sinshe, engkau terkena pukulan beracun yang amat berbahaya.”

“Mana dia sekarang?”

“Dia sedang mengundang seorang hwesio tua ahli racun untuk datang memeriksamu.”

Ciang Bun merasa heran. Ia juga pernah mendengar nama Gu-sinshe sebagai seorang tabib yang pandai, bahkan kabarnya kadang-kadang tabib ini dipanggil ke istana kaisar untuk memberi pengobatan dan pemeriksaan. Bagaimana sekarang tabib itu demikian memperhatikan dia, bahkan mengundang seorang ahli untuk memeriksanya?

“Nanda, apakah engkau mengenal baik tabib itu sehingga dia mau memperhatikan aku seperti ini?”

Ganggananda tersenyum dan jantung Ciang Bun berdebar kencang. Dia pun terpaksa membuang muka karena senyum pemuda remaja itu seperti mencengkeram jantungnya dan membuatnya merasa aneh. Dia teringat bahwa beginilah perasaannya ketika dulu dia dicium oleh Liu Lee Siang ketika pemuda itu mengajarnya menolong orang yang tenggelam atau kecelakaan di air.

“Ciang Bun, aku bingung saat membawamu ke darat. Engkau pingsan terus dan segala usahaku untuk menyadarkanmu gagal. Maka terpaksa kau kubawa ke sini dan karena aku tahu bahwa seorang tabib terkenal tidak sembarangan mau mencurahkan perhatian kepada orang biasa, aku pun lalu berkata bahwa engkau adalah seorang anggota keluarga Suma dari Pulau Es. Benar saja dugaanku, mendengar ini dia tergopoh-gopoh memeriksamu dengan teliti, kemudian bahkan dia keluar untuk mengundang seorang hwesio kenalannya yang ahli tentang pukulan beracun.”

“Ahh....! Berapa lama aku pingsan?”

“Dua hari dua malam! Baru sekarang siuman, itu pun setelah diberi obat tusuk jarum dan macam-macam oleh Gu-sinshe. Nah, menurut pesan Gu-sinshe, jika engkau sudah sadar, aku harus menyuapimu dengan bubur encer ini. Makanlah.” Dan Ganggananda lalu menyuapkan sesendok bubur.

“Biar kumakan sendiri....!” Ciang Bun hendak bangun, akan tetapi kepalanya seperti terputar-putar rasanya sehingga dia harus memejamkan mata kembali dan terpaksa merebahkan diri lagi.

“Nah, jangan rewel, biar kusuapkan. Makanlah.”

Baru habis beberapa suap, Ciang Bun tidak mau lagi. “Rasanya semakin mual dan hendak muntah....”

Tiba-tiba seorang kakek masuk ke dalam kamar itu. Ciang Bun memandang dengan mata yang agak kabur. Seorang kakek berpakaian sasterawan yang tubuhnya jangkung kurus dan melihat pakaiannya dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu Gu-sinshe. Orang kedua adalah seorang hwesio gendut yang mukanya riang dan selalu tersenyum, matanya lebar dan tajam.

“Inikah Suma-taihiap yang terkena pukulan beracun?” kata hwesio itu. “Ahhh, untung taihiap memiliki tubuh yang kuat. Mudah-mudahan pinceng dapat menemukan racun apa yang sudah digunakan orang untuk memukul taihiap sehingga sahabatku ini dapat memberikan obatnya yang tepat.”

“Terima kasih, locianpwe....,” kata Ciang Bun.

Hwesio itu lalu membuka baju Ciang Bun, dibantu oleh Ganggananda. Dia kemudian memeriksa seluruh tubuh Ciang Bun bagian atas, memijat sana-sini, menepuk sana-sini dan berkali-kali dia menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. “Taihiap, bagai mana rasanya kalau sebelah sini kutekan seperti ini?” Dan hwesio itu menekan dada kanan.

Ciang Bun menggigit bibirnya. “Rasanya perih dan panas.”

“Dan taihiap mencium sesuatu?”

“Amis.... mau muntah....”

“Omitohud....! Tak salah lagi, taihiap terkena pukulan yang mengandung hawa racun katak buduk!”

“Ehh, apakah itu? Aku belum pernah mendengarnya, dan apa obatnya?”

Hwesio itu menggelengkan kepala. “Masih untung bahwa, seperti menurut ceritamu tadi, Sinshe, Suma-taihiap sudah diselamatkan oleh sahabatnya yang membawanya ke sini. Terlambat akan celaka. Dan kalau dalam waktu tiga hari dia tidak memperoleh obatnya yang tepat, kurasa tidak akan ada obat yang dapat menolongnya lagi.”

“Apakah obat itu? Dan di mana obat itu bisa aku dapatkan?” Ganggananda bertanya dengan lantang dan tak sabar.

“Obatnya hanya terdapat di tepi Sungai Huang-ho, akan tetapi pernah pinceng melihat katak buduk hitam di dalam rawa di sebelah utara kota raja yang serupa dengan katak-katak di Sungai Huang-ho itu. Katak buduk berkulit hitam yang matanya merah. Nah, kalau bisa didapatkan belasan ekor saja anak katak buduk itu, tentu Suma-taihiap ini akan dapat disembuhkan dari pengaruh racun pukulan Hoa-mo-kang.”

“Biar aku pergi mencarinya! Tunjukkan dan gambarkan di mana rawa itu, locianpwe.” kata Ganggananda.

Hwesio itu sejenak memandang wajah pemuda remaja itu dan menarik napas panjang. “Omitohud, anda seorang pemuda yang baik sekali dan amat setia kawan. Akan tetapi, rawa itu terlalu jauh. Dengan menunggang kuda yang paling cepat pun, belum tentu akan dapat dilakukan pulang pergi selama tiga hari. Belum lagi waktu mencari anak katak itu....”

“Tapi aku dapat melakukannya, locianpwe!” kata Ganggananda penuh semangat.

Gu-sinshe menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang putih jarang. “Bagai mana caranya, orang muda? Apa yang dapat berlari lebih cepat dari pada seekor kuda yang baik?”

“Aku dapat, Sinshe. Lariku lebih cepat dari kuda. Lekas gambarkan di mana rawa itu dan bagaimana aku harus mencari anak-anak katak itu dan aku akan segera lari ke sana.”

Dua orang kakek itu saling pandang dan menggerakkan pundak seolah-olah tidak percaya kepada Ganggananda akan tetapi karena tidak ada jalan lain, si hwesio lalu menggambarkan di mana letak rawa-rawa di sebelah utara di luar tembok kota raja itu. Ternyata tempat itu memang amat jauh, naik turun gunung dan sudah dekat dengan Tembok Besar. Sesudah memperoleh keterangan lengkap, Ganggananda merenggut buntalan pakaiannya.

“Aku pergi sekarang juga. Kau tunggulah aku, Ciang Bun!” Dan sekali berkelebat, pemuda itu pun lenyap dari dalam ruangan itu.

Mereka semua hanya melihat bayangan berkelebat lenyap seakan-akan pemuda itu dapat menghilang dan merubah dirinya menjadi asap. Saking heran dan kagumnya, dua orang kakek itu lari ke jendela, membuka daun jendela dan memandang keluar. Dan mereka melihat sebuah titik hitam bergerak cepat jauh di depan dan sebentar saja lenyap. Mereka kembali saling pandang dan hwesio itu berbisik.

“Sinshe, hebat sekali orang muda itu, dan makin percayalah aku bahwa pendekar yang terluka itu memang benar keturunan para pendekar Pulau Es.”

Sementara itu, Ganggananda berlari cepat. Tidak mengherankan kalau dia dapat berlari secepat itu karena Ganggananda ini, seperti para pembaca tentu sudah dapat menduganya, adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri dari Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi!

Dara yang kini sudah berusia tujuh belas tahun ini memang suka sekali berkelana. Sudah sering ia meninggalkan Bhutan, menjelajahi hutan-hutan dan pegunungan di sekitarnya sehingga kadang-kadang orang tuanya menjadi gelisah dan mencari-carinya. Akan tetapi kesukaannya ini tidak pernah berkurang dan akhirnya, jalan satu-satunya untuk menenteramkan hati mereka, ayah dan ibu ini lalu menggembleng puteri mereka, menurunkan semua ilmu mereka agar puteri mereka menjadi seorang gadis yang tangguh dan cukup kuat untuk menjadi bekal pembela diri dalam perantauannya.

Wan Tek Hoat pendekar sakti yang di waktu mudanya pernah mempunyai julukan Si jari Maut mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang tinggi. Juga Syanti Dewi mengajarkan ilmu ginkang-nya yang hebat, yang dahulu dipelajarinya dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hwi.

Setelah menguasai banyak ilmu, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee pergi berangkat merantau menuju dunia timur (Tiongkok), yaitu negara tempat asal ayahnya. Sejak usia belasan tahun, ketika mulai gemar merantau, Hong Bwee suka menyamar sebagai pria dan ia memakai nama Ganggananda. Hal ini pun dianjurkan oleh orang tuanya yang berpendapat bahwa sebagai pria, tentu puteri mereka tidak terlalu banyak menghadapi gangguan di waktu melakukan perjalanan seorang diri.

Dari seorang kakek pemain sandiwara di istana Raja Bhutan, Hong Bwee juga sudah mempelajari cara berhias dan menyamar sebagai pria sehingga ia dapat membuat kulit mukanya nampak kasar. Bahkan ia dapat menambah alisnya menjadi tebal dengan alis tempelan namun sama sekali tidak kentara kepalsuannya.

Demikianlah, dengan bekal semua kepandaian ini, dara yang sejak kecil digembleng bu (ilmu silat) dan bun (ilmu sastera) oleh orang tuanya itu, berangkat merantau sampai ia bertemu dengan Ciang Bun. Selain dibekali kepandaian, juga ia fasih berbahasa Han walau pun agak asing terdengarnya, dan dia pun sudah banyak mendengar cerita ayah ibunya tentang para tokoh dunia persilatan, baik para pendekar mau pun para datuk sesat. Hal ini perlu diketahui agar ia dapat bersikap hati-hati kalau bertemu dengan para tokoh itu.

Raja Bhutan sendiri dan para pembesar tadinya merasa tidak setuju dan tidak rela melihat Hong Bwee yang mereka sayang itu, sebagai seorang gadis dewasa, pergi merantau sendiri sejauh itu. Akan tetapi, Syanti Dewi dan Tek Hoat menenangkan hati mereka. Syanti Dewi mengingatkan bahwa dia sendiri pada waktu masih gadisnya juga meninggalkan Bhutan dan merantau ke timur. Ada pun Tek Hoat sendiri adalah seorang pendekar yang suka merantau, tentu saja tidak berkeberatan akan kesukaan puterinya.

Di samping itu juga, bagaimana akan dapat mencegah kehendak Hong Bwee? Anak ini memiliki kekerasan hati melebihi ibunya, tidak mungkin kehendaknya dihalangi. Tidak mungkin merantainya di rumah. Kalau dihalangi tentu gadis itu malah akan minggat dan hal ini jauh lebih buruk dari pada jika gadis itu berangkat merantau dengan restu orang tuanya.

Biar pun demikian, diam-diam Raja Bhutan mengutus beberapa orang pengawal pilihan untuk membayangi dan melindungi gadis itu. Sialnya, tidak ada seorang pun di antara para pengawal itu yang mampu menandingi kecepatan lari Hong Bwee sehingga dalam waktu beberapa hari saja mereka sudah kehilangan jejak dan tertinggal jauh. Terpaksa mereka melanjutkan perjalanan ke timur dan mencari-cari karena mereka tidak tahu ke mana tujuan perjalanan gadis itu.

Demikianlah, dengan menyamar sebagai pria, Hong Bwee tiba di kota raja. Ia merasa gembira sekali melihat kota raja yang besar, megah dan indah itu, jauh lebih besar dan lebih indah dari pada kota raja Bhutan. Ketika ia bertemu dengan Suma Ciang Bun, ada sesuatu pada diri pemuda itu yang menarik perhatiannya. Baru dara ini mengerti bahwa ada suatu persamaan atau kemiripan pada diri pemuda ini dengan Ceng Liong sehingga menarik perhatiannya ketika ia mendengar bahwa Ciang Bun adalah saudara sepupu Ceng Liong.

Mendengar bahwa Suma Ciang Bun ialah saudara sepupu Ceng Liong, hatinya merasa hangat dan tertarik. Bagaimana pun, ada hubungan akrab antara ibunya dan keluarga Pulau Es sehingga ia merasa seperti bertemu sahabat lama atau sanak keluarga ketika berjumpa dengan Ciang Bun.

Kini ia mengerahkan semua tenaga dan ilmunya berlari cepat untuk menyelamatkan nyawa pemuda itu. Ia harus dapat mencari dan menemukan katak-katak buduk hitam dalam waktu tiga hari. Menurut perhitungannya setelah mendengar penjelasan hwesio ahli racun, kalau ia berlari cepat, dalam waktu sehari tentu ia akan dapat tiba di rawa yang dimaksudkan itu. Ia harus dapat menemukan obat itu. Ngeri ia membayangkan betapa pemuda yang tampan, pendiam dan halus lagi gagah perkasa dan pandai bersajak itu akan mati konyol keracunan.

Ilmu berlari cepat Jouw-sang Hui-teng (Terbang Di Atas Rumput) dari Wan Hong Bwee memang hebat sekali. Tubuhnya ringan dan ia dapat berlari bagaikan terbang saja, dan dalam waktu sehari lebih, hanya berhenti untuk makan roti bekal dan minum air, ia telah tiba di tepi rawa.

Akan tetapi, hari telah malam dan cuaca gelap sekali. Tak mungkin dapat mencari katak buduk pada waktu malam gelap itu. Menurut keterangan hwesio ahli racun, katak-katak buduk hitam itu berkeliaran di waktu malam mencari mangsa. Berbeda dari katak-katak biasa yang makan serangga biasa seperti semut, nyamuk dan sebagainya, katak buduk hitam mencari makanan serangga berbisa dan suka sekali makan binatang berbisa seperti kelabang, kalajengking, bahkan ular-ular kecil yang berbisa. Hebatnya, katak ini tidak takut terhadap ular besar!

Menurut hwesio itu, sukar menangkap anak-anak katak di waktu malam karena selain katak-katak besar itu berkeliaran, juga amat berbahaya menangkap katak besar. Anak anaknya di waktu malam bersembunyi di dalam goa-goa kecil atau celah-celah batu, sukar ditemukan. Waktu yang tepat untuk menangkap adalah pada pagi hari di waktu induk-induk katak memberi makan anak-anaknya di tepi rawa. Caranya adalah dengan memberinya makanan yang dimuntahkan dari perutnya.

Karena itulah, Hong Bwee lalu mencari tempat yang kering dan enak untuk melewatkan malam, tak jauh dari rawa itu. Ia mengumpulkan rumput kering, menumpuknya di bawah sebatang pohon. Kemudian ia mencari kayu kering dan membuat api unggun, bukan untuk melawan dingin karena tubuhnya yang terlatih itu mampu menahan hawa dingin mau pun panas, melainkan untuk mengusir nyamuk. Memang ia dapat melindungi tubuhnya dari gigitan nyamuk, akan tetapi bunyi nyamuk di sekitar telinga sungguh amat mengganggu dan membuatnya tidak dapat mengaso enak. Api unggun akan membuat nyamuk-nyamuk itu menjauhkan diri karena panas dan asap.

Akan tetapi, baru saja api unggun itu jadi, tiba-tiba ada angin menyambar kuat dan nyala api itu padam! Padamnya api membuat bara api pada kayu-kayu itu mengeluarkan asap yang memedihkan mata. Akan tetapi Hong Bwee segera maklum bahwa angin yang menyambar tadi bukanlah angin biasa, melainkan angin pukulan yang datangnya dari arah kiri, maka ia terkejut sekali dan cepat meloncat ke arah tempat itu. Dan benar saja, di dalam cuaca remang-remang yang hanya diterangi oleh jutaan bintang di langit, ia melihat sesosok tubuh seorang wanita tua yang agak bongkok.

“Engkaukah yang tadi memadamkan api unggunku?” tanya Hong Bwee ragu-ragu karena ia tidak tahu pasti apakah benar nenek bongkok ini yang memadamkan api dari jauh menggunakan angin pukulannya.

Nenek itu agaknya melihat kelincahan Hong Bwee ketika meloncat, maka ia pun berkata dengan suara membela diri, “Api itu akan menakutkan ular dan katak!”

Disebutnya katak membuat hati dara ini tertarik sekali. Ia mendekat, namun sikapnya waspada dan ternyata nenek itu menyembunyikan sebuah teng (lampu minyak) yang tertutup kertas tipis merah sehingga lampu itu mengeluarkan cahaya kemerahan yang cukup menerangi wajah nenek itu ketika ia mengeluarkan lampu dari balik tubuhnya. Kini Hong Bwee dapat melihat bahwa biar pun tubuhnya agak bongkok, ternyata wajah nenek ini menunjukkan tanda-tanda bahwa dahulu di waktu muda ia tentu memiliki wajah yang cantik. Juga pakaiannya bersih dan rapi, rambutnya disisir rapi.

“Nenek yang baik, apa maksudmu dengan ular dan katak?”

“Hi-hik,” nenek itu terkekeh. “Engkau melakukan perjalanan seorang diri dan berani tidur di tepi rawa, tentu engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian lumayan. Akan tetapi pernahkah engkau melihat betapa ular besar dibunuh seekor katak? Aku sedang mengintai seekor ular besar dan tiba-tiba engkau di sini membuat api unggun. Tentu saja ular dan kataknya akan ketakutan dan mana mungkin aku dapat menangkap ular itu?”

“Ahh, maafkan aku, nek. Aku ingin sekali melihat engkau menangkap ular.”

Hati Hong Bwee tertarik sekali karena dia dapat menduga bahwa nenek ini tentulah seorang kang-ouw yang aneh dan berkepandaian tinggi. Hal ini terbukti dari keanehan sikap, bicara dan perbuatannya seperti ketika dia memadamkan api unggun tadi.

“Kau mau nonton? Heh-heh-heh, boleh sekali. Mari ikut aku.” Nenek itu membalikkan tubuhnya dan berjalan berindap-indap. Hong Bwee yang merasa tertarik sekali segera mendekati dan berjalan di dekat nenek itu.

“Engkau melarang aku membuat api unggun, akan tetapi engkau sendiri membawa lentera, apakah sinar lenteramu itu tidak akan menakutkan ular dan katak?”

“Heh-heh-heh, lentera ini merah, tidak akan menakutkan mereka. Sssttt.... sekarang diamlah....”

Nenek itu mendekati batu-batu besar di mana terdapat celah-celah dan ia mengeluarkan sebuah kantung hitam dari punggunguya, di mana tergantung buntalan besar. Kantong ini bergerak-gerak, tanda bahwa di dalamnya terdapat sesuatu yang bernyawa. Ketika nenek itu meneteskan arak dari sebuah guci ke mulut kantong hitam, terdengarlah bunyi “kok-kok-kok” keras sekali sehingga mengejutkan hati Hong Bwee.

Akan tetapi karena nenek ini sudah memberi tahu agar diam, Hong Bwee tidak berani membuka mulut, hanya memandang penuh perhatian. Ia menujukan pandang matanya ke arah mata nenek itu memandang, yaitu ke arah sebuah celah besar di antara batu-batu hitam.

Dan tiba-tiba saja terdengar bunyi berdesis, mula-mula perlahan, makin lama semakin nyaring dan akhirnya dari celah-celah batu itu tersembul keluar sebuah kepala ular yang besarnya sekepalan tangan. Kembali nenek itu meneteskan arak dan kembali terdengar suara “kok-kok-kok” berkali-kali. Agaknya suara inilah yang menarik perhatian ular itu. Binatang itu kini keluar dari dalam celah batu dan ternyata tubuhnya sebesar betis orang dan panjangnya ada enam tujuh kaki! Seekor ular kembang yang besar dan agaknya lapar.

Dengan tangan kanannya, nenek itu memungut sebuah batu dan sekali tangan terayun, batu itu meluncur dan memasuki celah tadi, menutupnya. Bidikannya demikian tepat sehingga kembali Hong Bwee menyadari bahwa nenek ini memang lihai. Dan kini nenek itu membuka mulut kantong hitam dan melemparkan isinya ke arah sang ular.

Kiranya isi kantong itu adalah seekor katak buduk hitam yang besarnya tiga empat kali katak biasa. Akan tetapi dibandingkan dengan ular itu, katak ini tentu saja amat kecil dan sekali caplok tentu ular itu akan dapat melahapnya. Lemparan nenek itu tepat pula. Katak terlempar dan terbanting ke atas kepala ular, membuat kedua binatang itu terkejut dan segera bersiap siaga ketika saling berhadapan. Agaknya sang ular menganggap bahwa ia memperoleh mangsa, sebaliknya katak itu merasa berhadapan dengan seekor binatang yang menjadi musuh besarnya.

Hong Bwee semakin tertarik. Ia tahu bahwa katak adalah satu di antara binatang yang menjadi makanan ular. Akan tetapi ia sudah mendengar dari hwesio itu bahwa katak buduk hitam demikian berbahaya dan lihainya sehingga berani melawan seekor ular besar. Agaknya kini secara kebetulan ia akan menyaksikan pertunjukan yang tak masuk akal itu.

Ular itu memandang dengan mata beringas, mengangkat kepalanya dan mendesis-desis, agaknya marah melihat sikap katak yang menantang. Memang katak itu bersikap menantang, tubuhnya merendah, perutnya menempel tanah dan dari lehernya keluar bunyi “kok-kok-kok!” nyaring sekali. Semua ini dapat dilihat jelas oleh Hong Bwee, di bawah cahaya lentera merah yang agaknya tidak mengganggu kedua ekor binatang yang sedang berlagak itu.

Tiba-tiba ular itu menyerang. Kepala yang diangkat itu bergerak meluncur ke depan dengan moncong terbuka, siap untuk mencaplok. Akan tetapi katak itu pun tiba-tiba menggunakan kaki belakangnya yang besar dan kuat, mengenjot tubuhnya menubruk ke depan, menyambut kepala ular dari samping dengan tak kalah cepat dan kuatnya.

“Plokkk!”

Tubuh bagian atas ular itu terpental dan ular itu kembali mengangkat kepala dan leher, menggoyang-goyang kepala seperti mengusir rasa pening. Lalu dia mendesis dan menyerang lagi. Kepalanya meluncur ke depan dengan moncong dibuka lebar hendak mencaplok ke arah katak. Katak itu meloncat ke samping mengelak dan tiba-tiba saja ia sudah melompat ke atas kepala ular itu dan menggigitnya.

“Bagus!” Ganggananda memuji kagum.

Akan tetapi ketika ular itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk melepaskan diri dari terkaman katak tanpa hasil, ia menggerakkan ekornya menghantam dari atas ke arah katak di kepalanya. Katak itu amat cekatan dan cerdik sekali, cepat mengelak dengan lompatan ke bawah.

“Tarrr!”

Ekor ular itu melecut kepalanya sendiri! Kepalanya sudah terluka oleh gigitan katak, kini masih dicambuknya sendiri membuat binatang itu merasa kesakitan dan makin marah. Ia pun menyerang lagi dengan ganasnya. Serangan ini disambut oleh katak buduk hitam dengan suara “kok-kok-kok!” dari mulutnya dan keluarlah uap hitam disemburkan ke depan.

Agaknya sang ular kebal terhadap racun katak, akan tetapi matanya terkena uap hitam, sehingga menjadi nyeri dan ia pun menggoyang kepala dengan gelisah. Kesempatan ini digunakan oleh katak hitam untuk meloncat dan menerkam lagi kepala ular, menggigit tengkuk yang agaknya menjadi sumber utama kekuatan ular. Ular itu mencoba untuk melepaskan diri dari gigitan. Akan tetapi tenaganya semakin lemah dan tubuhnya berkelojotan.

Tiba-tiba nenek itu menggerakkan tangannya dan kantong hitamnya sudah menubruk katak dan kepala ular. Sekali tangan kirinya dibacokkan miring ke arah leher ular, terdengar suara keras dan leher itu pun hancur dan putus! Dan kini kepala ular dan katak itu sudah masuk kantong yang mulutnya cepat diikatnya kembali. Katak buduk hitam bergerak-gerak di dalam kantong, lalu terdengar suara katak berkokok disusul suara berkerotokan seolah-olah katak itu sedang menggerogoti tulang kepala ular. Ganggananda bergidik ngeri.

Nenek itu menyimpan kantongnya dalam buntalan, lalu menusuk ekor bangkai ular dengan kayu yang ditancapkan pada akar pohon. Direntangnya bangkai itu dan ia pun merobek perut ular menggunakan kuku jari telunjuknya dan semua isi perut ular itu pun dikeluarkan. Ganggananda memandang heran.

Nenek itu mengangkat muka memandang dan terkekeh. “Apakah engkau tidak merasa lapar, orang muda?”

“Kalau lapar mengapa, nek?” Ganggananda bertanya, tertegun mendengar pertanyaan aneh itu.

“Hi-hik, orang muda yang bodoh. Ular ini adalah ular kembang. Dagingnya gurih dan manis, pula menguatkan otot-otot kaki, berguna bagi perantau-perantau seperti kita yang suka berjalan kaki dan melakukan perjalanan jauh. Nah, sekarang buatlah api unggun, biar kupanggang daging ini dan nanti kita makan sambil bercakap-cakap.”

Ganggananda dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang nenek yang luar biasa dan berilmu tinggi, dan yang dia yakin tentu tahu banyak tentang katak buduk hitam yang amat dibutuhkan itu. Maka dia pun tidak mau membantah. Nenek ini harus dibaiki, pikirnya, sehingga dia tentu dapat mengharapkan bantuan nenek ini untuk memperoleh obat bagi Ciang Bun.

Segera dia membuat api unggun yang cukup besar, bahkan membantu nenek itu ketika mulai memanggang daging ular yang sudah dikuliti dan dipotong-potong itu. Ternyata dagingnya putih bersih dan ketika dipanggang terciumlah bau sedap, apalagi karena nenek itu agaknya sudah membawa bekal bumbu. Terciumlah bawang dan garam yang membuat daging itu berbau sedap.

Ketika nenek itu mengajak Ganggananda makan, gadis yang menyamar pemuda ini pun tidak menolak. Dan ternyata bahwa memang daging ular panggang itu lezat sekali! Nenek itu pun mengeluarkan seguci arak sehingga lengkaplah kini hidangan mereka. Tanpa banyak cakap mereka makan dan nenek itu lahap sekali. Daging panggang itu diganyangnya panas-panas.

Setelah daging ular itu habis, barulah nenek itu bicara. “Orang muda, engkau seorang diri saja di tempat sunyi yang amat berbahaya ini, sebetulnya bermaksud apakah?”

“Nenek yang baik, memang ada kepentingan yang amat mendesak sehingga aku berada di tepi rawa ini, dan pertemuanku denganmu ini sungguh menggembirakan karena aku yakin bahwa engkau akan dapat membantuku sehingga aku akan berhasil dalam tugasku.”

Nenek itu mengerutkan alisnya dan terkena cahaya api unggun, wajahnya nampak kemerahan. Akan tetapi wajah itu tidak mengerikan, bahkan sebaliknya, wajah itu jelas membayangkan bahwa nenek itu amat cantik di waktu mudanya. “Kepentingan? Tugas? Tugas apakah itu yang membawamu ke tepi rawa ini?”

“Aku harus mencarikan obat untuk orang yang keracunan pukulan Hoa-mo-kang....”

“Ihh! Su-ok sudah lama mampus dan pukulan jahat itu dibawanya mati. Siapa yang mampu melukai orang dengan pukulan Hoa-mo-kang?”

“Entahlah. Pokoknya, seorang sahabat baikku sudah terkena pukulan itu dan menurut keterangan tabib yang ahli, obatnya harus dicari di tempat ini.”

“Katak buduk hitam?”

“Benar, nek, karena itu aku mengharapkan bantuanmu.”

“Engkau takkan berhasil!”

“Kenapa tidak? Menurut keterangan ahli itu, besok pagi aku akan dapat menangkap anak-anak katak di tepi rawa, ketika sedang diberi makan induknya.”

“Hi-hik, engkau tolol!”

Ganggananda mengerutkan alisnya, akan tetapi dia menahan kemarahannya. “Hemm, mungkin juga, akan tetapi mengapa engkau menyebutku tolol? Dalam hal apa?”

“Engkau takkan berhasil, tidak mungkin berhasil karena kini belum waktunya terdapat anak-anak katak. Tiga bulan lagi mungkin ada karena sekarang belum waktunya katak-katak itu bertelur. Yang ada hanyalah katak-katak buduk hitam besar dan engkau takkan mampu menangkap mereka.”

“Ahh....!” Ganggananda terkejut dan bingung, mukanya berubah pucat. “Lalu bagaimana baiknya? Sahabatku itu akan mati kalau selama tiga hari tidak memperoleh obat itu, nek.”

“Mengobati pukulan beracun Hoa-mo-kang dengan anak-anak katak memang tepat dan manjur sekali, akan tetapi tidak praktis. Aku mempunyai pel-pel racun katak buduk yang jauh lebih mudah ditelan, juga hanya menelan berturut-turut tiga butir saja sudah akan menyembuhkan, tak perlu menghancurkan belasan ekor anak katak untuk diminumkan airnya. Ihh, kejam membunuhi begitu banyak anak katak.”

“Nenek yang baik, kau tolonglah aku. Tolonglah sahabatku itu dan aku mohon kau suka memberi pel-pel itu kepadaku.”

Nenek itu memandang tajam. “Hemm, di dunia ini memang harus tolong-menolong. Kalau menolong sepihak saja tentu tidak mungkin. Aku mau menolongmu, akan tetapi ada syarat-syaratnya, orang muda.”

“Apa syarat-syarat itu, nek?”

“Pertama, engkau harus dapat mengalahkan aku, dan ke dua engkau harus dapat membantuku menghadapi musuh besarku.”

Ganggananda mengerutkan alisnya. Menandingi nenek ini merupakan hal yang berat, karena dia dapat menduga bahwa nenek ini tentu lihai sekali. “Nek, untuk menghadapi musuh bersama, aku mau membantu asal kau katakan terlebih dulu mengapa engkau memusuhinya. Akan tetapi apa perlunya aku harus menandingimu lebih dulu?”

“Heh-heh, kalau mengalahkan aku saja engkau tidak mampu, lalu apa perlunya engkau membantuku? Musuhku itu jauh lebih lihai dari pada aku. Kalau aku sendiri mampu mengalahkannya, apa perlunya minta bantuan orang lain?”

“Ah, begitukah?” Jantung Ganggananda berdebar tegang.

Nenek ini saja dia duga tentu sudah amat lihai, kalau musuhnya itu lebih lihai, wah, tugasnya sungguh tidak ringan. “Akan tetapi bagaimana engkau dapat mengira bahwa aku memiliki kepandaian silat, nek? Aku hanya seorang perantau yang tidak berilmu, mana bisa menandingimu?”

“Heh-heh, orang muda, jangan engkau mencoba untuk membodohi aku. Seorang muda seperti engkau ini sudah berani melakukan perjalanan jauh seorang diri, apalagi berani bermalam di tepi rawa berbahaya ini seorang diri, bahkan bertugas mencari katak buduk hitam, mana mungkin berani kalau tidak memiliki kepandaian lihai?”

“Mungkin aku pernah melakukan sedikit latihan silat, akan tetapi bagaimana akan dapat menandingimu? Engkau yang selihai ini saja tak mampu mengalahkan musuh besarmu itu, apalagi aku. Sudahlah, nek, lebih baik engkau berbaik hati memberi pel obat itu kepadaku dan hal itu berarti engkau telah berjasa besar menyelamatkan nyawa orang dari cengkeraman maut.”

“Enak saja kau bicara. Orang hidup harus saling menolong! Sebetulnya, dalam ilmu silat dan tenaga, aku tidak kalah oleh musuhku itu, hanya aku kewalahan dan selalu kalah karena dia memiliki ginkang yang amat tinggi. Dia terlampau cepat bagiku.”

“Ginkang?” Ganggananda bertanya dan sinar harapan muncul di dalam hatinya. “Jadi aku harus memiliki ginkang yang lebih tinggi darinya?”

“Setidaknya, harus setingkat agar engkau mampu membantuku.”

Ganggananda mengangguk. “Baiklah, nek, aku hendak mencoba. Bagaimana kalau kita berlomba memetik bunga putih di puncak pohon di depan itu?”

Biar pun malam itu hanya diterangi sinar bintang-bintang yang remang-remang, akan tetapi bunga-bunga putih bergerombol di puncak pohon tinggi di depan itu mudah dilihat karena menyolok warna putihnya di antara daun-daun yang nampak hitam.

Nenek itu mengangkat muka memandang. “Setinggi itu? Kita berlomba memanjat dan memetiknya?”

“Dengan ginkang, tentu akan dapat dilakukan dengan cepat, berloncatan dari cabang ke cabang.”

“Baik, nah, mari kita siap. Aku menghitung sampai tiga dan kita berlomba.” Nenek itu berkata dengan suara girang karena ia mulai memperoleh harapan. Kalau pemuda ini sanggup bertanding ginkang, berarti pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi yang boleh diharapkan akan dapat membantunya sampai ia berhasil menghadapi lawannya yang tangguh.

Mereka berdiri dan nenek itu menghitung “Satu.... dua.... tiga....!”

Dan melesatlah tubuh nenek itu ke depan karena dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk meloncat dan berlari ke arah pohon itu. Ia hanya melihat bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu ia melihat pemuda itu sudah tiba di pohon, padahal ia sendiri masih jauh dari tempat itu.

Ketika ia melihat betapa tubuh pemuda itu berloncatan tinggi sekali, kemudian seperti burung terbang atau seekor tupai berloncatan dari cabang ke cabang, maklumlah dia bahwa pemuda itu memiliki ginkang yang hebat. Maka ia pun tidak melanjutkan larinya, melainkan menonton saja dari bawah, melihat betapa pemuda itu dengan cepat sekali telah memetik bunga, lalu dari atas meloncat turun, bahkan melayang tanpa melalui cabang-cabang pohon lagi ke atas tanah, hinggap di tanah sedemikian ringannya bagai sehelai daun kering melayang, kemudian melesat ke dekat api unggun kembali.

“Hebat.... engkau telah mengalahkan aku....!” Nenek itu berkata sambil berlari menyusul. Wajahnya berseri gembira. “Engkau.... kiranya engkau lihai sekali, engkau tentu akan dapat mengalahkan ginkang-nya! Engkau bantulah aku, orang muda, dan kalau aku sudah berhasil membunuhnya, engkau akan kuberi tiga butir pel racun katak buduk hitam untuk menyembuhkan sahabatmu.”

“Nanti dulu, nek. Aku bukan tukang pukul yang suka membantu orang membunuh orang lain begitu saja. Aku hanya mau membantu orang tertindas, bukan membantu orang melakukan kejahatan atau berbuat sewenang-wenang. Ceritakan dulu, siapakah musuh besarmu itu dan kenapa engkau hendak membunuhnya?”

“Aha, ternyata engkau berjiwa pendekar, ya? Bagus, memang aku mencari bantuan dari pendekar, bukan dari kaum sesat. Orang muda, siapakah namamu dan siapa gurumu maka engkau dapat memiliki ginkang yang sedemikian hebatnya?”

“Namaku Ganggananda, nek.”

“Ha, orang Nepal?”

“Bukan, orang Bhutan. Dan yang mengajarkan sedikit ilmu silat kepadaku adalah ayah bundaku sendiri,” kata Ganggananda cepat dan segera menyambungnya karena ia tidak suka banyak cerita tentang keluarganya, tidak suka diketahui orang bahwa ia adalah keluarga Raja Bhutan. “Sekarang ceritakanlah, nek, agar supaya aku dapat mengambil keputusan apakah aku akan membantumu atau tidak.”

“Baik, dengarkanlah ceritaku. Puluhan tahun yang lalu, ketika usiaku baru tiga puluh tahun lebih, aku hidup sebagai isteri seorang pendekar dan tinggal di selatan. Pada suatu hari datanglah seorang sahabat suamiku bertamu di rumah kami. Dia amat tampan dan gagah, pandai merayu dan aku pun jatuh oleh rayuannya.”

Nenek itu menarik napas panjang dan Ganggananda memandang penuh perhatian, merasa tertarik sekali. Tak disangkanya bahwa nenek ini mempunyai riwayat yang demikian romantis, akan tetapi juga penuh aib. Seorang isteri jatuh hati kepada sahabat suaminya sendiri?

“Aku jatuh hati benar olehnya dan lupa daratan sehingga aku pun rela menyerahkan diri kepadanya, menyambut uluran cintanya. Akhirnya, hal ini diketahui oleh suamiku. Kami tertangkap basah. Tentu saja suamiku marah dan sahabat itu diserangnya. Terjadilah perkelahian seru. Ilmu kepandaian sahabat itu amat tinggi dan kalau dia mau, dengan mudah dia akan dapat membunuh atau mengalahkan suamiku, akan tetapi sahabat itu juga seorang pendekar gagah. Dia merasa bersalah, maka dia pun hanya melindungi diri saja tanpa mau membalas. Melihat ini, aku berpikir. Kalau sampai aku harus kembali pada suamiku, tentu suamiku akan membenciku, bahkan mungkin akan membunuhku, setidaknya menceraikan aku. Sudah kepalang bermain air sampai basah, lebih baik menyelam saja sekali, pikirku. Maka aku pun membantu kekasihku itu dan karena kesalahan tangan, suamiku roboh dan tewas oleh sahabatnya. Inilah yang kukehendaki agar aku dapat terlepas dari suamiku dan selanjutnya hidup bersama pria yang telah menjatuhkan hatiku itu.”

Ganggananda mengerutkan alisnya. “Ahhh, engkau kejam terhadap suamimu, nek,” celanya.

“Tidak, bukan kejam. Sejak menikah, pilihan orang tua, aku tidak pernah cinta suamiku. Dan aku sudah jatuh hati kepada orang she Bu, sahabat suamiku itu. Dan aku pun bukan turun tangan membunuh suamiku, melainkan hanya membantu sahabat itu, terutama sekali untuk membuka mata suamiku bahwa aku berpihak kepada kekasihku, juga membuka mata kekasihku agar dia tahu bahwa aku bersedia membantunya dan ikut dengannya. Akan tetapi terjadi kesalahan tangan sehingga suamiku roboh dan tewas.”

“Hemm, lalu bagaimana?” Ganggananda bertanya tidak puas. Dia sudah memperoleh gambaran bahwa nenek ini dan orang she Bu itu keduanya adalah orang-orang yang tidak baik! “Setelah suamimu tewas, engkau lalu hidup bersama orang itu?”

Nenek itu mengepal tinju tangan kanannya dan mengacungkannya ke atas. “Itulah yang membuat aku sakit hati, mendendam dan harus membunuhnya! Dia menolakku. Dia merasa menyesal sekali telah kesalahan tangan membunuh suamiku dan dia bahkan menyalahkan aku, memaki aku bahwa akulah yang menyebabkan sahabatnya tewas!”

Diam-diam Ganggananda mentertawakan nenek itu dan dalam hatinya berbisik, “Puas! Rasakan engkau!” akan tetapi mulutnya diam saja.

“Aku telah memohon, membujuk dan menangis, akan tetapi tetap saja dia tidak mau menerimaku dan meninggalkan aku. Tentu saja aku merasa sakit hati sekali. Aku memperdalam ilmuku dan mencarinya, menyelidiki siapa sebenarnya kekasihku itu yang belum kukenal baik karena baru pertama kali itulah aku bertemu dengan dia. Kemudian aku mendengar bahwa kiranya dia itu memang seorang laki-laki yang terkenal sebagai tukang mempermainkan wanita! Dengan modal kegagahannya, ketampanannya dan kepandaiannya yang tinggi, dia merayu dan menjatuhkan hati banyak wanita, tidak peduli masih gadis, isteri orang, muda atau tua. Orang she Bu yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu ternyata adalah seorang perayu dan lelaki gila perempuan!”

Ganggananda tidak pernah mendengar nama Bu-taihiap ini dan hatinya sudah merasa semakin tidak suka kepada laki-laki itu. Kini dia pun dapat membayangkan bahwa bukan semata kesalahan nenek ini kalau sampai menyeleweng, akan tetapi terutama karena pandainya orang she Bu itu merayu wanita sehingga nenek ini pernah tergelincir.

“Aku berusaha menemuinya dan minta pertanggungan jawabnya. Aku hidup sebatang kara setelah suamiku meninggal dunia, dan hanya dia satu-satunya orang yang menjadi harapanku. Akan tetapi, dia tetap marah-marah kepadaku dan mengusirku. Aku bahkan berusaha untuk menyerangnya, akan tetapi selalu aku kalah olehnya.”

Ganggananda merasa bingung. Dia merasa tidak tahu bagaimana dia harus bersikap menghadapi urusan itu. Dia ingin mendengarkan terus.

“Puluhan tahun aku menekan dendam ini. Aku bertapa, berkelana mencari guru-guru dan belajar silat dengan tekun dan mati-matian sampai akhirnya aku bisa mengimbangi tingkat musuh besarku itu. Akan tetapi, aku masih kalah dalam ginkang sehingga masih sukarlah bagiku untuk mencapai kemenangan. Maka, aku minta bantuanmu.”

“Hemm, tidak begitu mudah, nek. Aku hanya memiliki waktu tiga hari untuk mengobati sahabatku, dan sekarang sudah lewat sehari. Tinggal dua hari lagi. Kalau terlambat, sahabatku akan tewas. Jadi waktuku untuk membantumu hanya ada sehari saja, karena pada hari ke tiga harus kupergunakan untuk berlari cepat kembali ke kota raja.”

“Cukup, engkau tidak akan terlambat kalau sekarang juga kita berangkat. Kebetulan musuhku itu berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini. Dia senang melakukan perjalanan dan si bedebah itu membawa ketiga orang isterinya!”

“Tiga....?”

“Itu yang resmi menurut penyelidikanku. Di mana-mana dia mempunyai kekasih yang ditinggalkan begitu saja seperti aku. Mereka itu tidak berdaya menuntut, tidak mampu melawan. Dan sampai sekarang pun, si tua bangka itu masih saja suka merayu dan mempermainkan wanita-wanita muda.”

“Dia tentu sudah tua sekali!”

“Sedikitnya enam puluh lima tahun usianya, akan tetapi dia masih.... gagah dan tampan. Marilah, mari kita berangkat. Pada besok pagi-pagi kita sudah dapat tiba di tempatnya.”

“Tapi obat itu....”

Nenek itu mengeluarkan tiga butir pel dari dalam sebuah botol. “Inilah obatnya, akan tetapi kusimpan dulu sampai selesai tugas kita. Mari!” Dan nenek itu pun sudah lari meninggalkan tempat itu, seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada Ganggananda untuk membantah lagi.

Dara yang menyamar pria ini terkejut. Satu-satunya harapan untuk bisa menyelamatkan nyawa Ciang Bun adalah nenek itu. Dia pun cepat menyambar buntalan pakaiannya dan meloncat, berlari mengejar. Karena memang ginkang dari Ganggananda amat hebat, sebentar saja nenek itu sudah tersusul. Mereka turun dari lembah dan perjalanan itu melalui tanah datar, menuju ke sebuah bukit yang banyak batu-batu besarnya.

Kini perjalanan mendaki dan agak sukar, dan karena malam itu hanya diterangi bintang-bintang, cuaca suram muram, maka perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, tidak dapat berlari cepat lagi. Kesempatan ini digunakan oleh Ganggananda untuk mencari keterangan lebih lanjut.

Nenek itu memperkenalkan diri sebagai Gan Cui. Akan tetapi ketika ditanya tentang keadaan Bu-taihiap, ia tidak mau banyak bicara, hanya mengatakan bahwa Bu-taihiap adalah seorang laki-laki yang gila perempuan.

Kalau saja Ganggananda tahu siapa adanya Bu-taihiap, tentu dia akan terkejut sekali karena Bu-taihiap yang dianggap musuh besar oleh nenek Gan Cui sebetulnya adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi. Didalam Kisah ‘Suling Emas Naga Siluman’ banyak diceritakan tentang pendekar ini.

Bu-taihiap bernama Bu Seng Kin. Memang dia terkenal sebagai seorang pria yang ganteng, tampan dan gagah dan pandai sekali merayu wanita. Memang dia romantis sekali, dan tidak aneh kalau disebut gila perempuan karena dia jarang mau melepaskan kesempatan untuk menggoda dan merayu setiap kali bertemu wanita cantik. Entah berapa ratus wanita cantik yang sudah jatuh oleh rayuannya, menjadi kekasihnya.

Bahkan isterinya pun banyak, di antaranya yang terus mendampinginya sampai tua adalah Tang Cun Ciu yang berjuluk Cui-beng Sian-li, tokoh Lembah Suling Emas yang kini berganti nama menjadi Lembah Naga Siluman, karena nyonya ini tadinya adalah isteri seorang di antara tokoh keluarga Cu, yaitu mendiang Cu San Bu. Begitu bertemu dengan Bu-taihiap, nyonya ini pun dirayu dan jatuh. Dan akhirnya nyonya ini pun mencari Bu-taihiap dan ikut mendampinginya.

Ada pula yang bernama Gu Cui Bi, seorang nikouw! Nikouw yang sudah jatuh pula ini pun mendampingi suaminya yang bangor. Yang ke tiga adalah Nandini, seorang wanita Nepal, bukan sembarang orang karena wanita ini pernah menjadi panglima Nepal. Tiga orang isteri yang mendampinginya di hari tua ini rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Nenek Gan Cui adalah satu di antara ratusan orang wanita yang jatuh oleh rayuannya, kemudian ditinggalkannya begitu saja. Tidak mengherankan jika nenek itu tidak pernah berhasil membalas dendam, karena yang dihadapinya adalah seorang pendekar sakti yang amat terkenal. Kalau dahulu di waktu mudanya Bu-taihiap tinggal di Puncak Merak Emas di Pegunungan Himalaya, kini ia lebih suka merantau di seluruh daratan bersama tiga orang isterinya. Karena mereka kini sudah tua, sudah rata-rata enam puluh tahun usianya, maka kalau mereka memperoleh tempat yang indah menyenangkan, mereka tinggal di tempat itu untuk sementara. Setelah bosan lalu berangkat merantau lagi.

Dan pada waktu itu, Bu-taihiap dan tiga orang isterinya tinggal untuk sementara di bukit berbatu-batu itu. Bukit itu puncaknya ternyata datar dan indah, penuh dengan pohon bunga yang aneh-aneh dan yang jarang terdapat di daerah lain. Di tempat ini Bu-taihiap membangun sebuah pondok kayu yang cukup besar dengan beberapa buah kamar untuk dirinya dan tiga orang isterinya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es