KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-39
Akan tetapi, biar pun mereka selalu dapat mengatasi segala macam masalah kehidupan yang timbul dalam rumah tangga mereka secara bijaksana, dengan kebesaran hati dan kematangan batin, mereka runtuh juga saat mereka kehilangan putera tunggal mereka, yaitu Suma Ceng Liong! Mereka, sebagai suami isteri pendekar, sudah berusaha ke sana-sini mencari jejak putera mereka, namun selalu gagal dan akhirnya mereka seperti orang yang putus asa dan terendam dalam kesedihan dan kekecewaan.
Anak mereka hanya Ceng Liong satu-satunya. Kini anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak, kalau hidup tidak diketahui di mana adanya, kalau mati tidak diketahui bagaimana matinya dan di mana makamnya. Mereka menjadi sedih dan seolah-olah merasa jemu akan kehidupan, selama bertahun-tahun mereka hanya bertapa di rumah mereka yang kini tidak terawat, yaitu di dusun Hong-cun di lembah Huang-ho.
Mempunyai tidak sama dengan memiliki. Mempunyai lahiriah adalah wajar, karena manusia hidup dalam masyarakat ramai yang dikuasai oleh hukum-hukum. Mempunyai isteri atau suami, mempunyai anak, keluarga, harta henda, kedudukan, kepandaian, semua itu memang perlu dan ada manfaatnya bagi kehidupan.
Akan tetapi, kalau batin sudah memiliki, akan terciptalah ikatan dan ikatan ini yang menjadi pangkal kesengsaraan! Kalau batin sudah memiliki, maka akan tumbuhlah akar yang memasuki hati sehingga setiap perpisahan dari yang kita miliki itu akan mencabut akar-akar dan hati kita akan terasa perih dan nyeri sekali. Yang memiliki tentu akan mempergunakan segala cara dan kekerasan untuk mempertahankan miliknya sehingga timbullah pertentangan dan permusuhan. Yang memiliki tentu akan bergantung karena dalam pemilikan itu terdapat kesenangan yang amat menghibur. Memiliki ini jelas timbul dari keinginan untuk senang, mengulang kesenangan itu, dan tidak mau kehilangan kesenangan itu. Kalau dari yang dimiliki itu tidak dapat lagi dinikmati kesenangan, tentu yang tadinya dimiliki dan dipertahankan itu akan dicampakkan begitu saja, dibuang karena dianggap tidak berguna lagi.
Cinta bukanlah memiliki. Yang memiliki adalah palsu. Tetapi kita manusia sedemikian lemahnya sehingga selalu ingin memiliki sesuatu, baik itu berupa manusia lain, berupa benda, atau pun hanya berupa gagasan. Kita takut dan bahkan merasa ngeri untuk membiarkan diri kosong tanpa memiliki ketergantungan, takut untuk berdiri bebas tanpa pegangan. Padahal, hanya dalam keadaan bebas ini sajalah kita akan dapat merasakan bagaimana hakekat hidup ini.
Dalam keadaan bersandar atau tergantung, kita hanya seperti robot saja yang bergerak di bawah pengaruh yang kita gantungi. Dan karena kita selalu ingin memiliki, timbullah kecondongan di dalam hati kita untuk dimiliki. Karena, di dalam memiliki dan dimiliki orang lain terdapat perasaan aman, perasaan bersandar yang teguh. Kita lupa sama sekali bahwa HANYA YANG MEMILIKI YANG AKAN KEHILANGAN, dan kehilangan ini mendatangkan duka dan sengsara.
Bukan berarti bahwa kita menjadi tidak peduli akan segala yang kita punyai. Bukan berarti bahwa kita lalu menjadi tidak peduli kepada isteri atau suami, kepada keluarga, dan anak-anak, kedudukan, kekayaan, kepandaian kita dan sebagainya. Mencinta bukan memiliki akan tetapi juga bukan acuh tak acuh. Mencinta berarti memberi kebebasan kepada yang dicintanya, tidak mengikat, tidak menginginkan agar yang dicintanya itu selalu mentaatinya dan melakukan segalanya sesuai dengan kehendak dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti tanpa pamrih dan tanpa pamrih baru ada kalau si-aku yang ingin senang sendiri itu tidak ada
.Suma Kian Bu yang sudah berusia lima puluh satu tahun dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang ditakuti kaum sesat dan disegani kaum pendekar, tetap saja kini membuktikan bahwa dia pun hanya seorang manusia biasa yang lemah saja. Dia merasa sangat kehilangan Ceng Liong dan menjadi berduka, hidup dalam penderitaan kesengsaraan batin yang membuat ia dan isterinya setiap hari lebih banyak bersemedhi dari pada melakukan pekerjaan lain. Tubuhnya dan tubuh isterinya yang sudah berusia hampir lima puluh tahun itu masih nampak segar dan sehat berkat semedhi dan latihan-latihan silat, akan tetapi wajah kedua suami isteri ini nampak berkeriput dan nampak tua karena setiap saat dibakar penderitaan hati yang berduka dan kecewa.
Pagi itu sangat cerah di sepanjang lembah Huang-ho. Matahari pagi bersinar terang, tanpa gangguan awan, dan dengan riangnya sinar matahari bermain-main mengejar pergi kabut pagi dari permukaan air sungai dan rumput.
Dan secerah itu pula wajah seorang pemuda yang berjalan memasuki dusun Liong-cun. Seorang pemuda berusia lima belas tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya sedikit agak lonjong dengan dagu meruncing dan lekuk dagu yang membayangkan kekuatan batin. Mulutnya selalu tersenyum, membayangkan kenakalan anak-anak. Pemuda ini berjalan sambil memandang ke kanan kiri, mulutnya tersenyum dan matanya yang bersinar sinar membuat wajah itu nampak cerah sekali.
Pemuda itu adalah Suma Ceng Liong! Sudah lima tahun lebih dia meninggalkan dusun tempat tinggalnya ini. Sejak dia kecil berusia kurang dari sepuluh tahun. Kampung halaman atau tanah air di mana orang dilahirkan dan dibesarkan selalu mempunyai daya tarik mukjijat yang dirasakan oleh orang itu sendiri. Demikian pula dengan Ceng Liong.
Seluruh permukaan dusun ini amat dikenalnya, bagai seorang sahabat lama yang amat baik. Setiap batang pohon, padang rumput, batu besar dan gundukan tanah berbukit, dikenalnya dengan baik karena semua itu dahulu pernah menjadi tempat dia bermain. Baru sekarang setelah dia kembali dan melihat itu semua, terasa olehnya betapa dia amat mencinta tempat ini, jauh lebih besar dari pada tempat-tempat lain walau pun tempat ini sederhana sekali dan tidak sangat menonjol.
Beberapa orang penghuni dusun yang sedang bekerja di ladang hanya menoleh dan memandang kepada Ceng Liong dengan sinar mata penuh pertanyaan, akan tetapi dia tidak pernah ditegur orang. Agaknya semua orang sudah lupa kepadanya, karena ketika pergi dahulu dia masih seorang anak-anak dan kini telah menjadi seorang pemuda menjelang dewasa yang tingginya sudah melebihi orang-orang dewasa pada umumnya.
Ceng Liong masih mengenal wajah-wajah itu, tetapi dia hanya menahan senyum dan sengaja berdiam diri karena dia telah memilih orang-orang pertama untuk ditegurnya, yaitu ayah bundanya sendiri. Setelah berjumpa mereka, barulah dia akan menjumpai semua penghuni dusun dan memperkenalkan diri. Tentu mereka itu akan geger karena heran melihat dia sudah begini besar dan akan meledak tawa gembira di dusun itu. Dia amat dikenal sebelum pergi, bahkan seluruh penghuni dusun mengenalnya.
Teringat akan ayah bundanya, Ceng Liong lantas mempercepat langkahnya menuju ke rumah pondok yang dari jauh sudah amat dikenalnya dan mendatangkan debar pada jantungnya itu.
Dia merasa heran melihat betapa rumah keluarganya nampak sunyi dan agak kotor tak teratur, seperti rumah kosong atau terlantar saja. Daun-daun pohon memenuhi halaman depan dan meja kursi di serambi depan penuh debu, juga lantainya kotor tanda sudah lama tidak disentuh sapu. Dia merasa heran. Apakah orang tuanya tidak berada di rumah? Kalau mereka ada, tidak mungkin rumah sekotor ini. Apalagi ibunya adalah seorang wanita yang rapi dan rajin, tidak senang melihat tempat yang kotor.
Ahhh, jangan-jangan kedua orang tuanya tidak berada di rumah. Atau jangan-jangan malah mereka sudah pindah dari rumah lama ini. Akan tetapi kalau pindah, kenapa meja kursi lama itu masih ada?
Dengan hati gelisah Ceng Liong mendorong daun pintu yang ternyata mudah dibuka. Tiba-tiba terdengar suara halus dari dalam, suara yang halus tapi tidak ramah.
“Siapa di luar?”
Suara ibunya! Tidak mungkin dia salah dengar. Walau pun sudah bertahun-tahun tidak mendengar suara ibunya, akan tetapi selamanya dia tidak akan lupa kepada suara itu. Agaknya ibunya sedemikian lihainya sehingga ada sedikit suara saja di luar, dia sudah mendengar dan mengetahui adanya orang yang datang tanpa melihatnya. Jantungnya berdebar penuh haru dan gembira.
“Saya.... saya tamu....!” katanya dengan suara gemetar.
Hening agak lama, kemudian terdengar lagi suara ibunya, “Tamu siapa? Ada urusan apa? Jangan ganggu kami....!”
Ceng Liong terkejut mendengar ini. Biar pun suara itu suara ibunya, halus merdu, akan tetapi nada suaranya tidak seperti nada suara ibunya. Ibunya biasanya bicara ramah kepada siapa pun dan juga selalu menyambut tamu dengan ramah dan hormat, biar tamu orang desa sekali pun. Akan tetapi suara ibunya ini demikian ketus dan galak, seolah-olah ibunya merasa kesal dan merasa terganggu oleh datangnya seorang tamu walau pun belum diketahuinya siapa adanya tamu itu. Mengapa demikian? Benarkah wanita yang bicara dari dalam itu ibunya?
“Saya.... saya ingin bertemu dengan pendekar Suma Kian Bu dan pendekar wanita Teng Siang In!” jawabnya menahan getaran hati sehingga suaranya terdengar lantang.
Hening lagi setelah ucapan Ceng Liong itu. Suasana sedemikian heningnya sehingga Ceng Liong dapat menangkap suara air terjun yang berada tak jauh di belakang rumah. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dari dalam dan seorang wanita cantik yang bermuka kurus dan agak pucat telah berada di situ, sikapnya seperti orang marah.
“Hemm, siapa engkau yang berani lancang mengganggu ketenteraman.... ehhh, siapa engkau....?” Kini sepasang mata itu terbelalak menatap wajah Ceng Liong, bibir wanita itu gemetar dan bergerak-gerak akan tetapi tidak mengeluarkan suara, tubuhnya tidak bergerak, hanya sinar matanya saja yang menjelajahi seluruh tubuh Ceng Liong.
Wanita itu adalah Teng Sian In, isteri pendekar Suma Kian Bu, ibu kandung Ceng Liong. Ketika Ceng Liong pergi ke Pulau Es, dia baru berusia kurang dari sepuluh tahun, masih kanak-kanak. Semenjak itu, dia berpisah dari ibunya dan kini, biar pun usianya baru sekitar enam belas tahun, namun tubuhnya tinggi besar seperti orang yang sudah dewasa benar. Tentu saja nyonya itu tidak dapat mengenalnya lagi, walau pun ia merasa tidak asing dengan pemuda yang kini berdiri di depannya itu.
Di lain pihak, Ceng Liong juga memandang bengong. Hatinya seperti disayat rasanya. Seperti suaranya tadi, kini dia pun dapat mengenal ibunya walau pun jauh bedanya dengan wajah ibunya yang sering dijumpainya dalam mimpi atau jika dia merenungkan dan membayangkan wajah ibunya. Wanita ini jauh lebih tua dan lebih kurus.
Biar pun demikian, tidak mungkin dia dapat melupakan sepasang mata indah tajam mencorong itu, mata ibunya, mata yang mengandung sinar aneh dan penuh kekuatan, yang dahulu sering kali memandangnya dengan penuh kemesraan seperti yang belum pernah ditemuinya dalam pandang mata siapa pun. Dan mulut itu! Biar pun kini mulut itu membayangkan kekerasan dan kedukaan, namun dia masih ingat akan mulut yang dahulu sering tersenyum lembut kepadanya, yang mengeluarkan kata-kata indah dan penuh kasih sayang kepadanya. Inilah ibunya, tak salah lagi!
Dan tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu.
“Ibu....!” Seruan ini keluar dari lubuk hatinya. Panggilan yang telah sering kali disuarakan hatinya selama bertahun-tahun ini. Panggilan penuh kerinduan, penuh kasih sayang, penuh keharuan.
Wajah itu menjadi semakin pucat. Mata itu terbelalak semakin lebar dan memandang seperti orang tidak percaya akan apa yang dilihatnya, seperti orang melihat setan di siang hari.
“Siapa.... siapakah.... anda....?” tanyanya gagap dan merasa seperti dalam mimpi.
Ia ingat wajah ini, ingat pandang mata ini, tetapi hatinya tidak berani mengharapkan bahwa pemuda tinggi besar ini benar-benar Ceng Liong puteranya. Ia takut kalau-kalau akan kecelik dan mengalami lagi kekecewaan yang sudah terlalu sering dirasakannya. Setiap kali melihat pemuda jantungnya bagaikan disentakkan, penuh harapan bahwa pemuda itu adalah puteranya yang pulang, akan tetapi selalu ia kecewa. Kini ia tidak mau kecewa lagi.
“Ibu.... ibu.... aku anakmu, Ceng Liong, ibu....!”
“Ceng.... Ceng Liong....?” Bibir itu berbisik lemah dan seluruh tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Lalu kedua tangannya menangkap pundak Ceng Liong, ditariknya pemuda itu berdiri. Sepasang mata itu memandangi lagi penuh selidik, harus berdongak ia kalau memandang wajah pemuda itu karena jauh lebih tinggi dari padanya.
“Ceng Liong....? Ya.... ya.... engkau Ceng Liong, anakku....!” Dan wanita itu terkulai hampir pingsan, cepat dipeluk oleh Ceng Liong yang tak dapat menahan mengalirnya air matanya saking terharu.
“Ceng Liong.... ohhh.... anakku....!” Kini wanita itu dapat menangis, menangis tersedu-sedu di atas dada yang bidang itu, membasahi baju Ceng Liong yang merangkul ibunya.
“Kau.... kau diculik Hek-i Mo-ong....?” Akhirnya, di antara sedu sedannya, Teng Siang In dapat bertanya.
Wanita yang biasanya berhati baja ini akhirnya bisa menekan keharuan dan kegirangan hatinya, memandang wajah puteranya melalui genangan air mata. “Apa yang telah dilakukan iblis itu kepadamu?”
Ceng Liong mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu tersenyum. “Dia.... dia mengajarku, ibu. Dia menjadi guruku.”
Siang In melapaskan rangkulannya, surut ke belakang dan terbelalak. “Selama ini, selama bertahun-tahun ini, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong....?”
“Benar, ibu. Dia sudah menolongku, menyelamatkanku, dan mewariskan semua ilmunya kepadaku. Dia bukan iblis, ibu, dia amat baik kepadaku....”
“Haiiiittttt....!”
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu bayangan itu menyerang Ceng Liong dengan dahsyatnya. Suara pukulannya mengandung angin yang kuat sehingga Ceng Liong terkejut bukan main. Pemuda ini menggunakan kelincahan tubuhnya, mendorong ibunya ke samping dan dia pun meloncat ke belakang. Serangan pukulan itu luput dan dia memperoleh kesempatan untuk memandang. Yang menyerangnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan topeng hitam sehingga mukanya tak dapat dikenal.
“Ehhh, kenapa kau menyerangku? Siapa engkau?” tanyanya heran dan penasaran.
Akan tetapi orang itu sudah kembali menerjang, bahkan dengan serangan yang lebih dahsyat. Biar pun tangan itu sendiri belum menyentuhnya, namun dia sudah merasakan hawa pukulan yang amat hebat. Ceng Liong terkejut, maklum bahwa lawannya ini seorang sakti dan mempergunakan pukulan jarak jauh yang mengandung sinkang amat kuat. Maka dia pun cepat bergerak, menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Dukkkk....!”
Kedua pihak merasa betapa mereka barusan didorong oleh tenaga yang kuat sehingga keduanya terpental ke belakang. Ceng Liong merasa semakin penasaran.
“Siapa engkau dan kenapa menyerangku? Ibu, siapakah dia ini?”
Namun ibunya sudah berdiri di sudut dan hanya memandang dengan mata terbelalak. Dan karena orang itu sudah menyerangnya lagi, Ceng Liong tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bertanya. Dia hanya tahu bahwa ibunya tidak berdaya dan tidak pula berniat membantunya atau melerai, maka dia pun cepat mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang dia tahu amat tangguh dan berbahaya ini.
Ia melihat datangnya serangan yang ke tiga kalinya. Ia mengerti pula bahwa lawannya tidak main-main melainkan menyerangnya dengan hebat, dengan serangan maut yang amat berbahaya. Dia pun mengelak dan balas menyerang! Terjadilah perkelahian yang amat seru dan baru sekarang Ceng Liong menemui lawan yang demikian lihai.
Akan tetapi dia pun merasa heran ketika lambat laun mengenal dasar ilmu silat yang digunakan lawan ini. Walau pun lawan agaknya hendak merubah dan menyembunyikan ilmu silatnya agar jangan dikenal, namun akhirnya dia mendapat kenyataan bahwa lawannya mempergunakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Jantungnya berdebar tegang dan penuh keheranan.
“Hyaaaaatt....!”
Untuk ke sekian kalinya, orang itu menyerangnya, kini dari kedua tangan orang itu keluar dua macam hawa pukulan yang berlainan, yang kiri mengeluarkan hawa dingin luar biasa, akan tetapi yang kanan mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap panas.
Mata Ceng Liong terbelalak. Itulah pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang yang dilakukan serentak. Yang dapat menggunakan dua pukulan ini sekaligus dengan kedua tangan hanyalah tokoh-tokoh tertinggi dari Pulau Es saja, termasuk ayahnya! Ayahnyakah orang ini? Ataukah pamannya, ataukah seorang di antara murid mendiang Pendekar Super Sakti? Tak peduli siapa adanya orang bertopeng ini, yang jelas serangan gabungan itu adalah serangan maut yang sukar ditahan oleh lawan yang bagaimana kuat pun juga.
Melihat bahaya maut mengancam dirinya, Ceng Liong lalu mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong, yaitu Coan-kut-ci. Jari-jarinya terbuka menyambut dua tangan lawan dan dia mengerahkan tenaga sinkang-nya yang kini sudah sangat kuat, tenaga yang berdasar tenaga yang diterimanya dari mendiang kakeknya. Tusukan-tusukan jari tangannya dengan ilmu Coan-kut-ci ini dimaksudkan untuk membuyarkan dan mengancam telapak tangan lawan.
“Blarrrr....!”
Dua tenaga yang amat dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terlempar ke belakang, akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting jatuh. Sebaliknya, lawan yang bertopeng itu terpelanting. Ceng Liong menjadi terkejut bukan main saat melihat ibunya lari menghampiri orang itu dan merangkulnya, membantunya bangkit berdiri.
“Ha-ha-ha, bagus, kiranya belum ada hawa sesat memasuki tubuhmu....!” Kata orang bertopeng itu sambil merenggut lepas topengnya.
“Ayah....!” Ceng Liong terkejut mengenal wajah ayahnya yang juga kurus seperti wajah ibunya. “Ayah.... maafkan aku....!” Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya.
Yang dimaksudkau dengan maaf itu bukan karena perlawanannya tadi karena dia tahu bahwa ayahnya sengaja hendak mengujinya, akan tetapi dia minta maaf karena melihat betapa ayah bundanya menjadi kurus, tentu banyak berduka karena ditinggalkannya selama ini. Dia kini merasakan, betapa dia telah menyusahkan dan menggelisahkan hati mereka, dengan kepergiannya mengikuti Hek-i Mo-ong tanpa memberi tahu orang tua.
Tentu saja hati Suma Kian Bu tidak kalah terharunya melihat puteranya yang tadinya sudah tak diharapkan akan dapat bertemu kembali dengannya itu tiba-tiba saja pulang! Di samping keharuan dan kegirangan, juga terdapat rasa penasaran dan kemarahan di hati ayah ini.
Apalagi ketika tadi dia mendengar percakapan antara puteranya dan isterinya, bahwa puteranya itu selama ini menjadi murid Hek-i Mo-ong, hatinya merasa panas dan marah. Hek-i Mo-ong adalah orang yang membawa tokoh-tokoh sesat menyerbu Pulau Es, mengakibatkan tewasnya ayah dan kedua ibunya, juga mengakibatkan Pulau Es menjadi musnah, dan kini puteranya mengaku malah selama ini menjadi murid musuh besar itu! Hati siapa yang tidak akan marah? Yang paling tidak menyenangkan hatinya adalah membayangkan betapa puteranya menjadi pewaris ilmu-ilmu hitam, ilmu kotor dan keji dan jahat.
Maka dia lalu cepat mengenakan topeng dan sengaja dia menyerang puteranya itu dengan pukulan-pukulan maut dengan maksud untuk memancing dan mencoba kepandaian puteranya, ingin melihat apakah puteranya benar-benar telah mewarisi ilmu jahat dari Hek-i Mo-ong. Lebih baik melihat puteranya mati dari pada melihatnya hidup menjadi seorang calon datuk sesat! Akan tetapi, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa ketika mereka beradu tenaga, dasar tenaga yang dipergunakan Ceng Liong adalah tenaga Pulau Es! Walau pun harus diakuinya bahwa ilmu terakhir yang dipergunakan puteranya dengan jari-jari tangan terbuka tadi amat mengerikan dan mengandung hawa iblis!
Kini dia melangkah maju dan meraba kepala puteranya dengan jari-jari tangannya, membelai rambut di kepala itu sebentar. “Bangkitlah, Ceng Liong, ingin kulihat berapa tinggimu sekarang!”
Dengan hati terharu karena dalam rabaan tangan ayahnya pada kepalanya tadi dia merasakan sentuhan kasih sayang yang mesra, Ceng Liong bangkit berdiri di depan ayahnya. Dua orang laki-laki ayah dan anak itu saling berhadapan dan berpandangan, dengan sinar mata berseri dan mulut tersenyum dan ternyata bahwa Ceng Liong kini sedikit lebih tinggi dari pada ayahnya!
“Ha-ha-ha, engkau sudah lebih tinggi dari pada aku! Mari kita duduk di dalam. Mari kita bicara. In-moi, mana arak....? Aih, sudah lama sekali aku tidak minum arak. Mana arak dan mana masakan?”
Siang In menghampiri mereka dan memeluk keduanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang suami dan puteranya. Suasana menjadi gembira bukan main.
“Arak? Ahhh, ada kusimpan di gudang. Tentu kini sudah menjadi tua dan harum. Dan masih ada beberapa ekor ayam kita. Tunggu, akan kumasak untuk kalian....!”
“Nanti saja, ibu. Nanti kubantu. Aku sekarang pun sudah pandai masak setelah banyak merantau,” kata Ceng Liong gembira.
“Engkau benar. Nanti saja. Mari kita bicara dulu. Mari kita dengarkan dulu apa yang selama ini dialami Ceng Liong, baru kita merayakan pulangnya dengan makan minum,” kata Suma Kian Bu.
Suami isteri itu kini berseri wajahnya, bersinar-sinar matanya, bagaikan hidup kembali setelah bertahun-tahun tenggelam dalam kecewa dan duka nestapa. Dan tidak lama kemudian, mereka telah membersihkan meja di ruangan dalam, juga kursi-kursinya mereka bersihkan dengan sapu bulu ayam. Maka duduklah ketiga orang itu saling berhadapan dan Ceng Liong pun mulai menceritakan semua pengalamannya, sejak Pulau Es diserbu dan dia dilarikan Hek-i Mo-ong. Diceritakan betapa raja iblis itu telah berkali-kali menyelamatkan nyawanya sehingga akhirnya dia diambil murid.
“Mula-mula aku hanya ingin membalas budinya sebab telah dua kali dia menyelamatkan nyawaku. Akan tetapi lambat-laun, ilmu-ilmunya menarik hatiku dan selain itu, juga dia amat baik kepadaku, amat menyayangku sehingga timbul rasa kasihan dan suka di dalam hatiku terhadap orang tua itu.”
Ceng Liong melanjutkan ceritanya, tentang petualangannya bersama gurunya itu ke barat, bahkan sampai di Bhutan. Betapa dia bertemu dengan bibi Syanti Dewi dan suaminya, pendekar sakti Ang Tek Hoat dan puteri mereka yang bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee.
Suma Kian Bu dan isterinya mendengarkan penuturan putera mereka dengan penuh perhatian. Mereka merasa amat heran, kadang-kadang terkejut, penasaran, kagum dan bermacam perasaan mengaduk hati mereka. Mereka tidak dapat menilai lagi apakah mereka harus menyalahkan atau membenarkan putera mereka. Begitu banyaknya pengalaman aneh dan hebat dialami putera mereka.
Ceng Liong menceritakan semuanya sampai matinya Hek-i Mo-ong. Betapa dia pernah bertemu dan bertempur melawan pendekar sakti Kam Hong. Hanya di bagian dia dijodohkan kepada Kam Bi Eng oleh mendiang Hek-i Mo-ong tidak dia ceritakan kepada orang tuanya. Hal ini terlalu memalukan, dan dia dapat mengerti bahwa ayah bundanya tentu tidak akan cocok dan tidak akan menerima begitu saja putera mereka dijodohkan oleh Hek-i Mo-ong tanpa setahu mereka.
Setelah pemuda itu menceritakan semua pengalamannya, Suma Kian Bu lalu menarik napas panjang. Teng Siang In lalu pergi mengambil arak dan mempersiapkan makanan, memotong ayam peliharaan mereka dan mengambil sayur-sayuran dari kebun mereka di belakang rumah.
“Ceng Liong, tahukah engkau mengapa aku tadi menyerangmu sambil mengenakan topeng?” Kian Bu bertanya kepada puteranya.
Ceng Liong tersenyum. “Tadinya aku tidak tahu bahwa yang bertopeng adalah ayah. Baru setelah aku mengenal dasar gerakan ayah, aku menduga tentu ayah atau paman lain dari keluarga Pulau Es dan kalau benar ayah, tentu untuk mengujiku.”
Kian Bu menggelengkan kepala. “Bukan sekedar menguji, anakku. Dari dalam aku mendengar percakapanmu dengan ibumu. Mendengar bahwa selama bertahun-tahun ini engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong, aku terkejut bukan main, juga marah dan kecewa. Kalau menjadi murid Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun, tentu engkau sudah memperoleh warisan ilmu sesat dan hawa yang kotor. Dari pada melihat engkau menjadi seorang calon datuk sesat lebih baik melihat engkau mati. Maka aku lalu keluar dan selain mencobamu, juga untuk melihat apakah engkau benar-benar mewarisi ilmu kotor.”
“Kalau benar demikian?”
“Aku akan berusaha memukulmu roboh.”
“Ayah hendak membunuhku?”
“Bukan, tetapi hendak melenyapkan ilmu-ilmumu yang kotor. Kalau dalam penyerangan itu engkau roboh dan tewas.... yah, lebih baik mati dari pada menjadi orang jahat. Akan tetapi, ternyata engkau memiliki dasar sinkang keluarga kita, bahkan teramat kuat sehingga terus terang saja, kalau engkau mengerahkan semua, belum tentu aku akan kuat melawannya. Sungguh aneh, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong akan tetapi engkau memiliki sinkang keluarga kita yang amat kuat. Bagaimana ini, anakku?”
“Ayah, tenaga itu bukan kudapat dari mendiang suhu Hek-i Mo-ong, melainkan kuwarisi dari mendiang kakek Suma Han....”
“Ahhh....?”
Ceng Liong lalu menceritakan tentang pengoperan tenaga sinkang dari kakeknya, sebelum terjadi mala petaka menimpa keluarga Pulau Es itu. Mendengar cerita ini, bukan main girang rasa hati Suma Kian Bu. Wajahnya berseri gembira dan matanya bercahaya.
“Ah, jadi kakekmu telah mengoperkan tenaga sinkang kepadamu? Bukan main! Kepada putera-puteranya sendiri beliau tidak melakukan hal ini! Engkau menerima pengoperan sumber tenaga yang amat hebat, anakku, dan kalau engkau mampu menghimpun dan menggunakannya, sungguh tenaga itu amat dahsyat. Sumber tenaga itu mengandung tenaga Swat-im Sinkang dan Hwi-yang Sinkang yang sudah tergabung. Akan tetapi.... sayang, engkau telah mempelajari ilmu-ilmu kotor dari Hek-i Mo-ong....”
“Maaf, ayah. Akan tetapi apakah ayah lupa akan nasehat-nasehat ayah dahulu yang pernah kuterima dan masih kuingat? Ayah, kita harus melihat kenyataan. Ilmu apakah yang kotor dan bersih? Bukankah segala ilmu, segala benda, hanya dapat ditentukan bersih kotornya tergantung dari pada si pemakai?”
Ucapan pemuda itu memang tepat sekali. Kita ini sudah biasa menilai-nilai, sudah biasa menentukan pendapat akan sesuatu, memisah-misahkan menjadi yang baik dan yang tidak baik. Padahal, segala ilmu, segala benda di dunia ini baru mempunyai predikat baik atau buruk kalau sudah dipergunakan manusia. Penggunaannya itulah yang mengandung baik atau buruk, bukan si ilmu atau si benda itu sendiri.
Sebatang pisau umpamanya, apakah pisau itu benda baik atau buruk? Tentu saja pisau ya pisau, sebuah benda mati, tidak baik tidak buruk. Baru disebut buruk kalau orang mempergunakan pisau itu untuk menusuk perut orang lain, untuk membunuh atau melukai, benda itu menjadi bernoda dan menjadi buruk. Akan tetapi sebaliknya, kalau pisau itu dipergunakan untuk merajang bumbu masak, untuk membuat kerajinan tangan, untuk keperluan pembedahan dan banyak lagi kegunaan yang baik, benda itu pun menjadi benda baik. Demikian pula dengan ilmu. Apa pun macamnya ilmu itu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, menjadilah ia ilmu jahat, kalau untuk kebaikan, menjadi ilmu baik. Jadi, baik buruk hanya terdapat dalam penilaian yang timbul karena adanya penggunaan
.Suma Kian Bu menarik napas panjang. “Engkau benar, akan tetapi jangan keliru. Di dalam ilmu silat terdapat ajaran-ajaran yang mengandung kekejian dan kecurangan, dan hal-hal semacam itu tidak akan dipergunakan oleh seorang pendekar.”
Pemuda itu mengangguk. “Aku mengerti, ayah. Keji dan curang hanya terdapat dalam batin seorang yang menyeleweng dari kebenaran, yang batinnya dilanda kebencian. Walau pun mendiang suhu mengajarkan banyak pukulan beracun dan kecurangan-kecurangan lain dalam ilmu silat, aku tidak akan mempergunakannya untuk mencelakai orang. Betapa pun juga, ilmu-ilmu itu tetap masih berguna, misalnya untuk melindungi diri dari mala petaka.”
Kembali pendekar itu mengangguk-anguk. Dia merasa gembira sekali melihat betapa puteranya yang baru berusia enam belas tahun itu telah memiliki pandangan yang luas dan matang.
“Ceng Liong, engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es. Karena itu, engkau harus mewarisi ilmu-ilmu keluarga kita. Engkau dipilih oleh mendiang kakekmu untuk mewarisi tenaga yang mukjijat, sumber tenaga sinkang itu. Akan tetapi ilmu-ilmu keluarga kita belum kau kuasai sepenuhnya, baru kau ketahui dasar-dasarnya dan teori-teorinya belaka. Maka, mulai sekarang, engkau harus menerima latihan-latihan dariku secara tekun agar kelak tidak akan mengecewakan menjadi keturunan kakekmu di Pulau Es.”
Demikianlah, mulai hari itu juga, Suma Ceng Liong kembali menerima gemblengan-gemblengan, sekali ini dari ayahnya sendiri yang menurunkan semua ilmu-ilmu Pulau Es kepada puteranya. Ceng Liong sudah memiliki dasar yang kuat, juga sudah mewarisi tenaga sakti kakeknya, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk memahami ilmu-ilmu keluarganya.
Bahkan diam-diam pemuda yang cerdik ini lalu dapat menciptakan ilmu-ilmu gabungan antara ilmu keluarga Pulau Es dan ilmu-ilmu yang dulu dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong. Tentu saja penggabungan dua ilmu yang amat tinggi itu hasilnya hebat sekali dan semua ini dilakukan secara diam-diam oleh Ceng Liong, bahkan ayahnya sendiri pun tidak diberi tahu. Selama beberapa tahun Ceng Liong digembleng oleh ayahnya, bahkan ibunya juga mengajarkan semua ilmunya, termasuk ilmu sihirnya.....
********************
Sang waktu meluncur dengan pasti, tak terelakkan oleh siapa pun juga, menerkam dan menelan segala sesuatu di jagad raya ini. Kalau lepas dari perhatian, waktu meluncur dengan sangat cepatnya, seakan-akan baru kita memejamkan mata sebentar saja, bertahun-tahun telah lewat tanpa terasa. Sebaliknya kalau diperhatikan, sang waktu merayap dengan amat lambatnya, kadang-kadang tak tertahankan oleh kesabaran kita. Nampak jelas betapa cepatnya waktu meluncur lewat kalau kita menengok ke belakang. Seolah-olah masa kanak-kanak kita baru terjadi kemarin dulu!
Waktu meluncur amat cepatnya sehingga kehidupan normal seorang manusia antara enam puluh sampai delapan puluh tahun itu nampak pendek sekali. Hal ini membuat kita termenung memikirkan. Apakah yang telah kita lakukan di dalam waktu sesingkat itu sebagai manusia hidup? Apakah kita mengisi penuh waktu singkat dalam hidup itu hanya dengan mengejar kesenangan? Hanya untuk diombang-ambingkan oleh suka dan duka? Dihimpit bermacam penderitaan, kekecewaan, kegelisahan, kebencian dan lebih banyak sengsara dari pada bahagia? Pernahkah kita mengisi waktu yang sesempit itu dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain?
Kalau tidak atau belum, mengapa tak kita lakukan mulai saat ini juga sebelum terlambat, sebelum kita kembali ke dalam tiada? Dan perbuatan yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain dan bagi dunia, hanyalah perbuatan yang lahir dan batin yang penuh cinta kasih. Perbuatan apa pun juga, tanpa dasar cinta kasih, adalah palsu dan hanya akan menimbulkan pertentangan batin.
Sungguh amat menyedihkan melihat betapa kita sudah hampir kehilangan sinar cinta kasih itu, sehingga hampir semua perbuatan di sekitar kita adalah perbuatan pura-pura, tidak wajar, kesemuanya didasari perhitungan rugi untung, dan kebaikan-kebaikan yang dilakukan hanyalah kebaikan rugi untung, bahkan apa yang kita namakan cinta kita juga adalah cinta berdasarkan rugi untung. Si-aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan itu tak pernah lepas dari pada perhitungan rugi untung ini, baik keuntungan lahir mau pun keuntungan batin yang dicarinya. Karena itu, setiap gerak perbuatan adalah palsu
.Tak terasa tiga tahun telah lewat. Tiga tahun yang merupakan waktu penggemblengan bagi para tokoh muda kita dalam cerita ini. Dan sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui dan Suma Ciang Bun, enci adik yang bernasib malang itu.
Seperti telah kita ketahui, enci adik ini pun menerima gemblengan yang amat keras dan tekun dari ayah mereka sendiri, yaitu pendekar sakti Suma Kian Lee dan ibu mereka, pendekar wanita Kim Hwee Li. Karena ayah bunda mereka khawatir kalau-kalau kedua orang anak mereka itu tidak akan dapat mengalahkan Louw Tek Ciang musuh besar mereka, maka keduanya menurunkan semua ilmu mereka. Kedua orang muda itu mewarisi semua ilmu keluarga Pulau Es dari ayah mereka, bahkan ibu mereka turut pula menurunkan ilmu-ilmunya termasuk ilmu menaklukkan ular.
Dengan bekal banyak ilmu, Suma Hui dan Suma Ciang Bun meninggalkan Thian-cin, pergi mencari musuh besar mereka, yaitu Louw Tek Ciang. Bukan hanya mencari murid ayah mereka yang jahat dan murtad itu, tetapi juga hendak mencari musuh-musuh yang telah menimbulkan mala petaka di Pulau Es, yaitu Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan kawan-kawan mereka.
Tentu saja mereka tidak tahu bahwa para tokoh yang pernah melakukan penyerbuan ke Pulau Es itu telah meninggal dunia. Dan mereka tidak tahu pula bahwa musuh besar mereka, Louw Tek Ciang, telah berada di tempat yang amat sukar untuk didatangi karena pemuda itu beruntung sekali terpilih oleh keluarga Cu untuk menjadi murid keluarga sakti itu dan berada di Lembah Naga Siluman, digembleng oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, bersama Pouw Kui Lok pemuda murid Kun-lun-pai itu.
Tentu saja semua usaha enci dan adik itu untuk mencari musuh-musuh mereka tak kunjung berhasil. Akan tetapi mereka tidak mau pulang ke Thian-cin sebelum berhasil, terutama sebelum berhasil mencari Louw Tek Ciang. Dan untuk lebih mudah mencari, akhirnya mereka berpencar dan berpisah, dengan perjanjian bahwa enam bulan kemudian, sebulan sebelum tiba hari raya Sin-cia (Hari Raya Musim Semi), mereka akan saling jumpa di kota raja untuk kemudian bersama-sama pulang terlebih dahulu ke Thian-cin, berhasil mau pun tidak.
Selama melakukan perjalanan bersama enci-nya, Suma Ciang Bun juga melakukan segala usaha untuk mengatasi masalah dirinya sendiri. Dibantu oleh enci-nya, dia berusaha untuk menyelidiki keadaan dirinya yang mempunyai kelainan di bidang sex, tidak seperti pria pada umumnya. Dia melakukan penyelidikan mengapa dirinya memiliki kelainan seperti itu agar dia dapat mengobatinya kalau hal itu merupakan penyakit, dan merubahnya kalau memang seharusnya demikian. Dengan latihan pernapasan dia mencoba untuk mengatasi masalah tubuhnya.
Dari penyelidikan bersama Suma Hui, dia dapat menemukan kesimpulan. Ada berbagai kemungkinan yang mungkin dapat menimbulkan kelainan itu. Pertama adalah pengaruh sekeliling. Kalau seorang anak laki-laki semenjak kecil lebih dekat dengan ibunya, lebih banyak bergaul dengan anak perempuan, maka kebiasaan-kebiasaan dan selera-selera wanita dapat mempengaruhinya dan menular kepada anak laki-laki itu yang lambat laun bisa saja memberinya selera wanita sehingga dia lebih menyenangi apa yang disukai wanita dari pada laki-laki biasa. Dan hal ini pun dapat saja membuat dia lebih condong merasa peka dalam soal sex terhadap seorang pria dari pada terhadap seorang wanita.
Ke dua, terjadinya suatu peristiwa yang hebat dan mengguncangkan batin, misalnya kekecewaan berulang kali dengan wanita, mungkin saja dapat membuat hati seorang pria menjadi hambar terhadap wanita dan dia mengalihkan perhatian untuk melepaskan gairah sexnya kepada pria lain, atau karena di samping kekecewaan terhadap wanita itu kebetulan dia bertemu dengan seorang sahabat pria yang amat menyenangkan dan disayangnya.
Ke tiga, seorang pria yang bertemu dengan seorang pria lain yang memiliki kelainan seperti itu, dapat saja terpengaruh dan ketularan. Dan ke empat, kelainan pada tubuh, pada kelenjar-kelenjar dan mungkin syaraf, dapat pula mendatangkan kelainan selera di bidang sex seperti yang dialaminya itu.
Dari penyelidikan dia dan enci-nya, dia menarik kesimpulan bahwa sebab-sebab lain itu tidak pernah terjadi pada dirinya sehingga satu-satunya kemungkinan adalah bahwa memang terdapat kelainan di dalam tubuhnya. Dan hal ini tentu saja hanya dapat diatasi dengan pengobatan jasmani. Akan tetapi, siapakah yang akan mampu memberi obat? Pula, berkali-kali Ciang Bun bertanya kepada batin sendiri. Adakah dia menghendaki dirinya berubah? Dan jawabannya adalah : Tidak!
Dia suka berdekatan dengan pria, dan hal ini sama sekali bukan hal yang aneh baginya, bahkan terasa wajar. Kalau pun dia menjadi prihatin adalah karena dia melihat betapa pria pada umumnya tidak demikian, sehingga dia seolah-olah merasa dirinya ganjil dan terasing.
“Bun-te,” kata Suma Hui setelah mereka berdua berbincang-bincang tentang hal dirinya. “Engkau adalah seorang gagah, keturunan keluarga Pulau Es. Bagaimana pun juga beratnya, engkau tentu kuat untuk melawan dorongan yang tidak wajar itu. Kalau perlu, kita tidak usah berurusan dengan cinta birahi pun kita akan kuat! Pergunakanlah tenaga dalam untuk melawan dorongan-dorongan tidak wajar itu, dan jika engkau belum dapat menemukan obatnya, lawan saja dengan tenaga sakti. Pendeknya, engkau jangan menurutkan dorongan hasrat hati sehingga melakukan perbuatan yang ganjil. Apa sih sukarnya melawan dorongan birahi? Kita kan sudah terlatih.”
Suma Ciang Bun mengangguk dan menarik napas panjang. “Benar, enci. Memang hal ini tidak perlu dipersoalkan, tidak perlu dijadikan masalah. Ternyata yang paling berat adalah karena adanya pertentangan dalam batinku. Jika kudiamkan saja dan kuanggap sebagai sesuatu yang wajar, dan aku tidak menurutkan dorongan hasrat nafsu, maka sebetulnya juga tidak ada apa-apa.”
Demikianlah, setelah berpisah dari enci-nya, Ciang Bun mulai dapat menguasai diri sepenuhnya. Dia tidak lagi mau memaksa diri untuk menjauhi pria atau pun berusaha mendekati wanita, melainkan memandang dan mengikuti saja hasrat yang tenggelam timbul di batinnya sebagai dorongan naluri jasmaninya. Dan dia mengerti bahwa satu-satunya jalan terbaik untuk penyaluran hasratnya tanpa menyinggung orang lain adalah kalau dia dapat bertemu dengan seorang pria yang mempunyai masalah yang sama dengan dirinya!
Akan tetapi, hal ini pun merupakan suatu kesukaran tersendiri. Pria yang tidak diganggu kelainan akan dapat memilih di antara laksaan wanita dan tentu akan bertemu dengan seorang yang disukainya. Akan tetapi, berapa banyak adanya pria seperti dia? Andai kata ada pun tentu tidak akan terang-terangan mengaku dan sukar dikenal dari keadaan lahirnya saja. Tentu hanya ada beberapa orang saja dan andai kata bertemu dengan satu dua orang yang sama keadaannya dengan dia, belum tentu dia menyukai orang itu. Maka, Ciang Bun kemudian mengambil keputusan untuk berdiam diri saja dan melihat perkembangan hidupnya tanpa banyak mengeluh dan tanpa banyak menentang.
Keadaan jasmaninyalah yang membuatnya seperti itu, bukan keadaan batinnya. Tetapi, untuk sementara waktu, kekuatan batinnya dapat menundukkan jasmaninya, sehingga dia tidaklah menderita lagi.
Suma Ciang Bun kini sudah dewasa. Usianya sudah dua puluh tiga tahun. Kumis tipis mulai tumbuh bersama jenggot tipis. Mukanya yang bulat dengan kulit yang agak gelap membuat dia nampak gagah, dan keadaan dirinya membuat wataknya yang memang pendiam itu menjadi semakin serius. Pakaiannya selalu rapi dan indah karena dia memang suka akan pakaian yang halus dan indah. Kesukaan akan pakaian yang merupakan satu di antara kecondongannya seperti wanita ini tidak ditekannya dan Ciang Bun selalu mengenakan pakaian yang rapi dan rambutnya selalu disisir dan dikuncir dengan rapi pula. Pemuda ini selalu nampak bersih dan tampan sekali.
Kalau pun ada nampak sifat kewanitaannya mungkin hanya pada kerling matanya. Biji matanya bergerak tanpa mukanya ikut bergerak, seperti kebiasaan wanita mengerling ke kanan kiri. Akan tetapi kebiasaan ini pun tidak akan mudah diketahui orang kalau tidak amat memperhatikannya. Sepasang siang-kiam yang tergantung di punggungnya juga bergagang indah, dengan ronce-ronce merah. Bahkan untuk memilih senjata rahasia pun dia memilih jarum-jarum halus yang berbau harum! Senjata rahasia ini dia peroleh dan dia pelajari dari ibunya. Dandanan dan sikapnya yang halus pendiam itu tentu akan membuat dia disangka seorang pelajar dari pada seorang pendekar, kalau saja tidak nampak sepasang pedang di punggungnya.
Pada waktu itu, untuk mengurangi terjadinya kekerasan, pemerintah melarang orang berlalu-lalang membawa senjata tajam. Akan tetapi, para pendekar tidak mengabaikan larangan ini dan memang bagi para pendekar, bukan penjahat, larangan itu tidak begitu menekan. Apalagi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es yang amat dikenal oleh para pejabat tinggi. Bagaimana pun juga, keluarga Pulau Es masih mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga kaisar.
Hari masih pagi ketika dia memasuki taman umum di kota raja itu. Sejak kemarin dia berada di kota raja, sesuai dengan janji yang telah diadakan dengan enci-nya, enam bulan yang lalu. Selama ini dia merantau dan mencari jejak musuh-musuhnya tanpa hasil. Dia telah berpencar dengan enci-nya, enci-nya mengambil jalan barat dan dia mengambil jalan timur.
Dia telah merantau memasuki Propinsi An-hwi, Ce-kiang, Kian-su dan Shan-tung. Banyak pengalaman dirasakan dan perjalanan berbulan-bulan sendirian itu membuat pemuda ini menjadi semakin matang. Banyak pertemuan dengan penjahat-penjahat dan di mana pun dia berada, dia selalu menentang para penjahat. Akan tetapi belum pernah dia bertemu dengan Louw Tek Ciang atau musuh-musuh lain, bahkan menemukan jejak mereka pun tidak pernah.
Janji pertemuannya dengan Suma Hui di kota raja, di dalam taman umum itu, masih beberapa hari lagi. Dia datang terlampau pagi dan memang dia ingin melihat-lihat dan berjalan-jalan di kota raja yang indah. Dan pagi hari itu dia memasuki taman, bukan untuk bertemu dengan enci-nya karena memang belum waktunya, melainkan untuk pelesir. Dia mengenakan pakaian serba biru sehingga wajahnya yang memang tampan nampak semakin gagah.
Taman itu sudah mulai dibanjiri tamu. Di situ terdapat kolam-kolam ikan dengan bunga teratainya. Juga banyak terdapat kedai-kedai arak yang diatur indah menarik. Ada pula beberapa pondok yang menjulang ke kolam teratai di mana orang dapat bersembunyi diri menikmati ikan-ikan di kolam, atau termenung sendirian melihat bunga-bunga teratai yang beraneka warna. Sebuah telaga buatan yang cukup lebar berada di ujung taman dan di situ para pelancong dapat berperahu sambil minum arak.
Ciang Bun merasa perutnya lapar karena ketika meninggalkan kamar hotel di pagi hari itu dia belum sarapan. Dimasukinya sebuah di antara kedai-kedai arak itu. Ketika dia masuk, di ruangan itu sudah terdapat beberapa orang pelancong dan ada pula beberapa orang gadis dari keluarga hartawan yang duduk di situ. Mereka ini segera mengangkat muka memandang kagum kepada Ciang Bun.....
Komentar
Posting Komentar