KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-38
Wanita ini wajahnya pucat sekali dan matanya merah oleh karena banyak menangis. Ia menghadap ayahnya di goa pertapaannya. Dia pulalah yang kemarin dulu mendahului suaminya, menghadap ayahnya dan melaporkan tentang tindakan suaminya yang amat tidak disetujuinya itu. Ayahnya dan pamannya terpengaruh sehingga begitu Hong Bu dan Bi Eng muncul, kedua orang tua ini sudah menghadapinya dengan hati dicekam kemarahan.
Dan kini, setelah Hong Bu pergi bersama Bi Eng, Pek In menghadap ayahnya lagi dan merengek, minta agar ayahnya suka pergi mengambil Sim Houw dari tangan keluarga Kam yang dibencinya.
“Baiklah, memang aku sendiri pun berpikir bahwa Sim Houw harus diajak pulang. Kami ingin menggemblengnya dan kelak dia akan menjadi seorang yang lebih lihai dari pada ayahnya. Dialah kelak yang akan membersihkan nama keluarga kita,” jawab kakek itu dengan suara mengandung kekerasan dan ketegasan. “Panggil pamanmu Cu Kang Bu ke sini.”
Ketika Cu Kang Bu datang menghadap kedua orang kakaknya, Cu Han Bu berkata bahwa dia dan Cu Seng Bu hendak pergi menyusul Sim Houw dan mengajak pulang anak itu, dan dia memesan agar Cu Kang Bu menjaga lembah baik-baik.
“Akan tetapi, toako. Bukankah Houw-ji telah diserahkan kepada Kam Hong dan yang menyerahkannya adalah ayahnya sendiri?” Cu Kang Bu membantah.
Saudara termuda keluarga Cu ini maklum bahwa kepergian kakaknya itu berarti hanya akan memperdalam permusuhannya dengan keluarga Kam saja.
“Akan tetapi, aku adalah ibu kandungnya, paman! Aku berhak memintanya kembali dan dalam hal ini aku diwakili ayah. Sebagai kakeknya, ayah berhak mewakili aku untuk minta kembali Houw-ji!” Pek In berseru dengan nada suara penuh kemarahan. Ia pun tahu bahwa watak paman ke tiga ini lain, dan dalam banyak hal, Cu Kang Bu condong kepada suaminya.
Cu Kang Bu menggerakkan kedua pundaknya. “Terserah kepadamu. Sebagai ibunya tentu saja engkau berhak mengaturnya. Akan tetapi kalau yang menyerahkan ayahnya, dan yang meminta ibunya, hal itu sama saja dengan membuka borok di muka umum, membuat orang mengerti bahwa ada ketidak cocokan antara suami isteri,” kata Cu Kang Bu.
“Sudahlah, sam-te. Kami sendiri tidak mempersoalkan itu, yang kami ingat hanyalah bahwa kalau kita menyerahkan Houw-ji kepada keluarga Kam, sama saja artinya bahwa kita telah merasa jeri dan merasa tidak mampu menandinginya. Penyerahan Houw-ji sama saja dengan tanda takluk. Karena itulah maka aku dan ji-te akan pergi ke sana untuk memintanya kembali.”
Cu Kang Bu tidak dapat membantah, hanya merasa prihatin sekali ketika kedua orang kakaknya berangkat meninggalkan Lembah Naga Siluman untuk pergi menyusul Sim Houw dan mengajak anak itu kembali ke lembah. Dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi ketegangan di sana. Dia hanya mengharapkan saja agar kedua orang kakaknya yang sudah belasan tahun bertapa dan berlatih siu-lian itu sekarang sudah memiliki cukup kesabaran untuk menjauhkan pertikaian baru.
Dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu melakukan perjalanan secepatnya. Mereka memiliki cukup bekal untuk membeli kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan membalapkan kuda mereka, ditukar di setiap tempat setelah kuda mereka kelelahan. Karena mereka hanya merupakan dua orang laki-laki setengah tua berpakaian pendeta, maka tidak ada gangguan di perjalanan dan akhirnya, pada suatu siang, tibalah mereka di Puncak Bukit Nelayan, di sebelah selatan kota Pao-ting.
Mereka langsung mendaki bukit itu dengan jalan kaki, meninggalkan kuda mereka di dusun sebelah bawah dan ketika mereka tiba di gedung tua tempat tinggal keluarga Kam, kebetulan sekali saat itu Kam Hong dan isterinya sedang melihat murid mereka berlatih silat yang baru pada taraf gerakan dan geseran kaki membentuk dan merubah kuda-kuda yang dipergunakan dalam Kim-siauw Kiam-sut.
Melihat munculnya dua orang laki-laki setengah tua berpakaian pertapa, Kam Hong dan isterinya memandang penuh curiga, teringat akan mala petaka yang baru saja menimpa keluarganya. Tentu saja mereka merasa curiga karena mereka tidak mengenal siapa adanya dua orang ini yang melihat sinar mata mereka tentu sedang berada dalam keadaan marah.
“Kong-kong....!” Sim Houw menghentikan latihannya, lari menghampiri dan berlutut di depan seorang di antara dua kakek itu dan seketika teringatlah Kam Hong dan Ci Sian siapa adanya dua orang kakek itu. Kiranya dua orang tokoh Lembah Naga Siluman yang dahulu disebut Lembah Suling Emas!
“Aihhh, kiranya ji-wi locianpwe Kim-kong-sian Cu Han Bu dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu yang datang berkunjung!” kata Kam Hong sambil menjura dengan hormat, diturut oleh isterinya.
Dua orang pertapa itu membalas penghormatan Kam Hong dengan sikap kaku, hanya mengangkat dan merangkap kedua tangan di depan dada sebentar saja, kemudian Cu Han Bu berkata dengan lantang.
“Kam-sicu, kami datang untuk menjemput cucu kami Sim Houw dan mengajaknya pulang!”
Suami isteri itu saling pandang dan bersikap waspada. Dari sikap dan nada suara kakek itu saja mereka berdua maklum bahwa dua orang itu datang bukan membawa iktikad baik, melainkan didorong oleh hawa permusuhan yang panas.
“Locianpwe, Sim Houw adalah murid saya dan dia datang dibawa oleh ayahnya sendiri.”
“Kam Hong!” kini Cu Han Bu tidak lagi berpura-pura sopan melainkan menurutkan kata hatinya yang panas. “Mana mungkin ada keganjilan seperti ini? Mana mungkin keturunan keluarga Cu berguru kepada orang she Kam? Apakah kau kira kami sudah takluk dan tunduk kepadamu, sudah menganggap kepandaianmu paling hebat di dunia sehingga cucu kami harus menjadi muridmu?”
Ucapan itu sudah bernada menyerang. Kam Hong masih tenang saja, akan tetapi Bu Ci Sian yang memang memiliki watak keras, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka tamunya. “Orang she Cu, dengarkan baik-baik! Bukan kami yang membujuk Sim Hong Bu datang ke sini. Dia datang sendiri bersama puteranya dan mengajukan pinangan kepada puteri kami. Dan adanya puteranya di sini adalah atas persetujuan kedua pihak untuk saling menurunkan ilmu kepada anak kita masing-masing. Kalau kalian datang mencari perkara dan mengajak berkelahi, bilang saja terus terang, jangan memakai kata-kata yang memutar!”
“Eh, siapa takut kepadamu?” Cu Seng Bu juga membentak dan meloncat ke depan. Dia dan nyonya rumah sudah saling berhadapan, seperti dua ekor ayam yang berlagak hendak saling terjang.
Namun Kam Hong maju memegang lengan isterinya dan dengan lembut menariknya mundur, sedangkan Cu Han Bu juga menyentuh lengan adiknya agar adiknya bersabar.
“Kami bukan datang untuk mengajak berkelahi walau pun kami tidak pernah akan mundur apabila ditantang. Kami adalah kakek Sim Houw, dan kami datang mewakili ibu kandung anak itu untuk mengajaknya pulang. Hanya itu saja keperluan kami dan terserah bagaimana kalian menyambut dan menanggapinya!”
Ci Sian hendak menerjang dengan kata-kata lagi, akan tetapi suaminya menyentuh tangannya dan Kam Hong mendahuluinya. “ Maaf Cu-locianpwe. Sebagai tuan rumah, tentu saja kami menyambut kunjungan ji-wi locianpwe sebagai tamu dengan hormat dan senang hati. Mari, silakan ji-wi duduk di sebelah dalam dan kita bicara dengan leluasa.”
“Tidak perlu, terima kasih. Cukup di sini saja, karena keperluan kami hanya menjemput cucu kami,” jawab Cu Han Bu yang masih bersikap kaku.
Kam Hong tersenyum dan menarik napas panjang. “Sesuka locianpwe kalau begitu. Harap ji-wi suka mendengarkan dengan baik-baik. Di dalam urusan Sim Houw menjadi murid saya ini tidak terdapat sesuatu yang buruk dan tercela....”
“Hemm, bagi kami tetap saja buruk kalau ada seorang keturunan keluarga Cu berguru kepada orang she Kam!” Cu Seng Bu memotong.
Kam Hong tetap tersenyum. “Agaknya ji-wi lupa bahwa Sim Houw bukanlah she Cu melainkan she Sim, jadi yang berhak menentukan tentang keadaan dirinya adalah ayah kandungnya, Sim Hong Bu yang menjadi sahabat baik kami. Sim Houw dibawa ke sini oleh ayahnya, dia diserahkan oleh ayahnya sendiri kepada kami sebagai penukar anak kami yang dibawa Sim Hong Bu untuk dididik.”
“Jadi jelasnya, engkau tidak mau menyerahkan Sim Houw kepada kami yang menjadi kakeknya? Begitukah?” Cu Han Bu bertanya, nadanya menantang.
“Ada tiga cara untuk mengajak Sim Houw pergi dan kalau satu di antara tiga cara itu terpenuhi, dengan senang hati kami akan melepas Sim Houw pergi. Pertama, karena yang menyerahkan dia kepada kami adalah Sim Hong Bu, maka biarlah Sim Hong Bu sendiri yang datang menjemput dan memintanya kembali. Ke dua, karena anak ini berada di sini sebagai penukar anak kami, maka kalau anak kami dikembalikan, boleh saja kedua anak itu ditukar kembali. Ke tiga, kalau memang Sim Houw yang menghendaki sendiri pergi dari sini, tentu kami pun tidak akan mau menahan atau memaksanya. Nah, kami harap saja ji-wi locianpwe dapat berpikiran luas dan bertindak bijaksana sesuai dengan nama besar ji-wi, dan tidak hanya menuruti nafsu kemarahan sehingga kelak dapat ditertawakan orang gagah sedunia!”
Cu Han Bu dan adiknya adalah orang-orang gagah dan tentu saja mereka dapat menerima ucapan itu dan dapat melihat bahwa Kam Hong sudah bersikap jujur dan adil. Kalau mereka tidak dapat menerima, berarti merekalah yang bo-ceng-li (tidak mengenal aturan) dan mereka akan berada di pihak salah kalau sampai terjadi bentrokan antara mereka.
Akan tetapi, cara pertama menyuruh Sim Hong Bu datang sendiri tidak mungkin, juga cara ke dua menukarkan kembali dua orang anak itu tidak mungkin pula, yang ada hanya tinggal cara ke tiga. Mereka dapat membujuk Sim Houw untuk pulang dan kalau memang Sim Houw mau pulang, keluarga Kam tidak akan mau menahan atau memaksanya. Maka Cu Han Bu lalu menghampiri Sim Houw, mengelus kepala anak itu dan berkata dengan suara halus.
“Houw-ji, cucuku yang baik. Ibumu menyuruh kami menjemputmu dan mengajakmu pulang. Ibumu selalu menangis dan rindu kepadamu, dan kalau kau pulang, aku sendiri yang akan menggemblengmu dengan ilmu-ilmu ciptaanku yang baru, yang tidak akan kalah dibandingkan dengan ilmu yang bagaimana pun. Marilah, kau pamitlah kepada tuan rumah dan ikut kami pulang ke lembah, cucuku.”
Sim Houw memang adalah seorang anak yang pendiam, akan tetapi bukannya tidak cerdik. Mendengar ucapan kakeknya, dia tahu bahwa kakeknya hanya membujuknya. Selamanya, belum pernah dia melihat ibunya menangis! Ibunya adalah seorang wanita gagah yang pantang menangis. Mana mungkin kini mendadak ibunya begitu cengeng, menangis hanya karena rindu kepadanya? Dia tidak percaya.
Dan tentang mempelajari ilmu, bukan dia tidak ingin menerima pelajaran ilmu-ilmu sakti dari kakeknya, akan tetapi setelah dia mengetahui untuk apa dan sebab apa dia belajar di bawah bimbingan Pendekar Suling Emas Kam Hong, dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan tempat ini tanpa setahu ayahnya. Dia dapat menduga bahwa tentu terjadi pertentangan antara ayahnya dan kakeknya, dan tentu saja dia berpihak pada ayahnya. Sejak kecil, jarang dia bertemu dengan kakeknya, apalagi bergaul karena kedua orang kakeknya yang kini muncul itu selalu bersembunyi di dalam goa pertapaan dan tidak pernah bersikap manis kepadanya.
“Tidak kong-kong,” katanya dengan suara tegas. “Aku tidak mau pulang dan akan tetap tinggal di sini.”
Wajah Cu Han Bu menjadi merah. “Anak bandel! Berani engkau membantah perintah kakekmu?”
“Kong-kong, aku tidak berani melanggar perintah ayah. Aku akan tetap berada di sini sampai ayah datang menjemputku. Harap kong-kong maafkan!” kata pula Sim Houw dengan suara tegas.
Kakek itu marah sekali, bukan marah karena penolakan cucunya, tetapi marah karena kembali dia merasa dikalahkan oleh Kam Hong. Jari-jari kedua tangannya meregang dan melihat ini, Kam Hong sudah siap-siap untuk melindungi muridnya. Tiba-tiba Cu Han Bu memutar tubuhnya, kedua tangannya bergerak ke arah dua batang pohon yang tadi berada di belakangnya. Mereka memang berada di dalam kebun di mana Kam Hong melatih muridnya.
“Ciutt… ciuuuttt.... brakkk....!”
Dua batang pohon itu tumbang dan runtuh, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Inilah satu di antara ilmu-ilmu baru ciptaan kedua orang kakek yang sakti itu. Diam-diam Kam Hong kagum sekali. Pukulan tadi memang hebat. Batang pohon yang kuat dan sebesar perut manusia itu sekali pukul remuk dan tumbang, apalagi badan manusia!
Setelah merobohkan dua batang pohon untuk memuntahkan kedongkolan hatinya, Cu Han Bu lalu melangkah lebar pergi dari situ diikuti oleh adiknya. Kam Hong hanya memandang dengan sikap tenang, dan isterinya tersenyum, sementara itu Sim Houw memandang dengan mata terbelalak karena terkejut melihat ulah kakeknya tadi.
“Sim Houw, lihat betapa saktinya kakekmu. Sayang dia pemarah. Kesaktiannya boleh kau tiru, hasil dari pada ketekunan, akan tetapi pemarahnya itu jangan kau tiru. Nah, mulai sekarang belajarlah dan berlatihlah dengan tekun agar kelak tidak mengecewakan keluargamu, juga kakek-kakekmu itu.”
Mulai hari itu, Kam Hong menggembleng muridnya lebih tekun lagi dan pemuda remaja itu pun mengimbangi ketekunan gurunya dengan berlatih setiap ada kesempatan. Terjadilah perlombaan antara Kam Hong dan Sim Hong Bu dalam melatih murid masing-masing, seperti juga perlombaan antara keluarga Kam dan keluarga Cu. Akan tetapi bentuk perlombaan antara kedua orang pendekar sekali ini adalah perlombaan yang sehat, yang dapat membawa kemajuan kepada kedua pihak.....
********************
Senja itu cerah akan tetapi tidak mampu menjernihkan batin orang-orang yang sedang melakukan perbuatan jahat itu. Senja yang cerah dan tadinya hening itu kini dikotori oleh teriakan-teriakan, tawa bergelak, dan jerit tangis. Segerombolan orang laki-laki yang rata-rata bersikap kasar, dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang berkumis lebat sedang menyerbu dua rumah yang agak terpencil di luar dusun pada sore hari itu. Pihak tuan rumah mengadakan perlawanan yang sia-sia, karena beberapa orang pria dari dua keluarga itu dalam waktu singkat saja sudah rohoh bermandi darah terkena bacokan dan tusukan golok gerombolan perampok itu.
Kemudian, kepala gerombolan muncul dari rumah sebelah kiri, tertawa-tawa dan kedua lengannya yang berbulu dan besar-besar itu mengempit tubuh dua orang wanita dusun yang cukup cantik. Dua orang wanita itu menjerit dan meronta-ronta, namun mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan kedua lengan yang kekar itu. Para anak buahnya bersorak dan tertawa-tawa ketika melihat pemimpin mereka menawan dua orang wanita itu dan teriakan-teriakan yang bernada kotor dan cabul terlontar dari mulut mereka.
Di balik sebatang pohon besar, seorang pria muda mengintai semua peristiwa itu sejak tadi. Pria itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, tubuhnya agak pendek namun tegap, mukanya putih dan matanya bersinar-sinar, pakaiannya mewah. Dia seorang pesolek muda yang cukup tampan dan yang sejak tadi mengintai dan diam-diam menjadi penonton ketika gerombolan perampok itu menjalankan aksi mereka merampok dua rumah yang terpencil itu. Rumah itu milik dua keluarga yang terhitung kaya di daerah itu, maka kini para anak buah perampok dengan gembira mengangkuti peti-peti berisi pakaian dan harta benda mereka.
Ketika kepala perampok itu merangkul dua orang wanita muda yang meronta-ronta sehingga kaki seorang di antara dua orang wanita itu nampak keluar sampai ke atas lutut, pemuda pesolek itu memandang penuh gairah sambil menggumam, “Hemm, lumayan untuk hiburan malam ini!”
Kini para perampok keluar membawa peti-peti harta dan melihat ini, kembali pemuda pesolek itu menggumam, “Lumayan untuk penambah bekal!”
Dia sudah membayangkan betapa malam ini dia akan menghibur diri bersenang-senang menggumuli salah seorang atau mungkin keduanya dari wanita itu, dan menambah isi buntalan pakaiannya dengan emas permata dari dalam peti itu.
Orang muda ini adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah kita ketahui, putera mendiang Louw-kauwsu ini berhasil menipu keluarga Suma Kian Lee. Bukan hanya diambil murid dan mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, bahkan juga diambil mantu dan dia bahkan telah berhasil memperkosa puteri Pendekar Pulau Es itu. Tapi semua perbuatannya itu telah ketahuan dan dia nyaris tewas kalau saja dia tidak berhasil melarikan diri ditolong oleh gurunya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok. Kemudian, dia mengikuti Jai-hwa Siauw-ok pergi ke Puncak Bukit Nelayan untuk membantu suhu-nya yang hendak membalas dendam kepada keluarga Kam. Di tempat itu mereka bertemu dengan Hek-i Mo-ong dan seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, akhirnya Jai-hwa Siauw-ok tewas di tangan Hek-i Mo-ong sendiri karena memperebutkan Bi Eng, sedangkan Louw Tek Ciang terpaksa melarikan diri.
Semenjak kehilangan gurunya yang amat menyayangnya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok, Tek Ciang hidup bertualang seorang diri. Dia sudah tidak mempunyai keluarga dan kini keluarga Suma malah memusuhinya dan tentu akan selalu mencari-carinya untuk menghukumnya. Dia hidup seorang diri, merantau ke mana-mana dan dari Jai-hwa Siauw-ok, selain mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, dia juga mewarisi kegemarannya yang amat merusak, yaitu kalau membutuhkan, tidak segan-segan melakukan pencurian dan setiap melihat wanita cantik, hatinya terpikat dan dia pun melakukan kebiasaannya yang terkutuk, yaitu mempergunakan kepandaian menculik dan memperkosa wanita yang disukainya.
Pada senja hari itu, tanpa disengaja dia menyaksikan segerombolan perampok beraksi menyerbu rumah dua keluarga. Dia menjadi penonton yang melihat peristiwa itu sebagai suatu kejadian yang lucu. Biarkan mereka itu bekerja untukku, pikirnya. Kalau mereka sudah selesai, dia tinggal turun tangan merampas dua orang wanita yang kelihatan montok dan cukup menarik itu dan merampas beberapa buah barang berharga.
Ketika gerombolan itu sambil tertawa-tawa meninggalkan dua rumah yang sudah mereka rampok ludes dan hendak menghilang ke dalam hutan yang berdekatan dengan rumah-rumah itu, tiba-tiba saja Tek Ciang meloncat keluar. Gerakannya amat cepat, tahu-tahu sudah berada di depan kepala gerombolan yang berjalan di muka.
“Serahkan dua anak ayam ini kepadaku!” bentak Tek Ciang dan tangannya sudah menusuk ke arah sepasang mata kepala perampok itu dengan totokan yang sangat berbahaya. Agaknya pemuda ini bukan hanya hendak merampas wanita, akan tetapi juga ingin membikin buta kepala perampok itu dengan tusukan dua buah jari tangan kanannya.
“Wuuuuuttt....!”
Tiba-tiba saja kepala perampok yang kumisnya tebal itu membuat gerakan meloncat ke belakang. Sambil tetap mengempit tubuh dua orang wanita itu, dia dapat membuat gerakan meloncat ke belakang sedemikian ringan dan cepatnya sehingga mengejutkan hati Tek Ciang. Orang yang dapat meloncat ke belakang secepat itu sambil mengempit tubuh dua orang berarti memiliki ilmu kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan!
Agaknya kepala perampok itu pun menyadari akan kelihaian pemuda yang hendak merampas tawanannya, karena tusukan jari tangan ke arah matanya tadi benar-benar amat berbahaya dan kalau kurang cepat sedikit saja dia meloncat, tentu kedua matanya telah menjadi buta! Marahlah dia. Dengan suara menggeram hebat, dia menggerakkan tangan kanannya melontarkan tubuh wanita yang dipegang tangan kanannya ke arah Tek Ciang sedangkan wanita yang dipeluk tangan kirinya dia lemparkan begitu saja ke kiri. Tubuh dua orang wanita itu melayang dan ini pun membuktikan betapa kuat tenaga kepala perampok berkumis lebat itu.
Dengan mudah saja Tek Ciang menyambut tubuh yang melayang ke arahnya itu dan dengan lunak tubuh wanita itu dapat dirangkulnya, kemudian dia menurunkan wanita itu yang segera lari menjauh dan menangis di bawah pohon dengan ketakutan.
Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat menyambar tubuh wanita ke dua yang tadi dilemparkan tangan kiri si kepala perampok. Cara bayangan ini menyambar tubuh itu mengagumkan hati Tek Ciang, apalagi ketika dilihatnya bahwa yang menyambar tubuh itu adalah seorang pemuda berusia antara dua puluh tahun dan berwajah gagah. Pemuda itu pun menurunkan tubuh si gadis yang terculik, yang berlari menghampiri kawannya dan mereka berdua berangkulan sambil menangis.
“Kau....?” Si kepala perampok terkejut dan marah ketika melihat pemuda yang baru tiba itu. Sebaliknya, si pemuda juga memandang tajam dan tersenyum mengejek.
“Murid murtad, kiranya benar engkau yang mengotorkan nama Kun-lun-pai!” pemuda itu meloncat ke depan menghadapi kepala perampok berkumis tebal.
Kepala perampok itu marah sekali. Dia cepat mencabut pedang yang tergantung di punggungnya, lalu menyerang pemuda baju hijau yang menghadapinya itu. Serangan itu dahsyat sekali, akan tetapi si pemuda dapat mengelak dengan gesitnya.
“Phang Hok, aku datang atas nama suhu. Menyerahlah dari pada harus kuwakili suhu membunuhmu!” Pemuda baju hijau itu masih mencoba untuk mengajak damai. Akan tetapi lawannya mendengus dan pedangnya berkelebat semakin dahsyat menyerang.
“Singggg....!”
Pemuda baju hijau itu mengelak sambil mencabut pedangnya dan sekarang terjadilah pertandingan yang amat seru dan menarik.
Tek Ciang berdiri menonton dengan hati kagum. Tidak disangkanya bahwa kepala perampok itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat, ilmu pedangnya juga dahsyat. Akan tetapi pemuda baju hijau itu pun ternyata memiliki ilmu pedang yang sama gerakannya, bahkan lebih mantap dan lebih cepat. Dia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah saudara seperguruan dan melihat kelihaian pemuda baju hijau itu, Tek Ciang mengambil keputusan lain. Melihat betapa belasan orang perampok itu kini telah mencabut senjata dan bersikap hendak mengeroyok, dia pun menerjang ke depan.
“Perampok-parampok hina, kalian hanya mengotorkan dunia saja!” bentaknya dan sebagai seorang pendekar tulen, dia pun lalu menghadapi pengeroyokan belasan orang perampok itu dengan tangan kosong saja.
Memang sukar mengatakan bahwa Tek Ciang seorang penjahat, walau pun dia jauh dari pada seorang pendekar! Dia tidak pernah melakukan kejahatan secara berterang. Kalau sekali waktu dia mencuri uang, hal itu dilakukan karena dia membutuhkan untuk bekal perjalanan, dan dia selalu tidak pernah meninggalkan jejak. Demikian pula kalau dia menculik dan memperkosa wanita, dia melakukannya tanpa ada yang melihatnya dan untuk menghilangkan jejaknya, bukan jarang dia membunuh wanita yang sudah dipermainkannya sampai puas itu.
Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa dia suka berhubungan atau berdekatan dengan kaum penjahat. Bahkan tidak jarang dia menentang kalau terjadi kejahatan, bukan karena tergerak hatinya menentang kejahatan itu sendiri, melainkan karena dia ingin mencari kepuasan dengan anggapan sendiri bahwa dia adalah seorang pendekar. Bagaimana pun juga, dia adalah seorang keluarga pendekar sakti Suma, keturunan para Pendekar Pulau Es!
Kecondongan untuk mencari nama dan kehormatan bukan hanya merupakan penyakit yang diderita Louw Tek Ciang ini. Keinginan agar dianggap sebagai seorang baik, orang pandai dan yang serba menonjol merupakan penyakit kita semua, walau pun kadang-kadang sifat itu kita lakukan di luar kesadaran kita sendiri. Kita sukar menghentikan perbuatan-perbuatan buruk yang sudah menjadi kebiasaan, kebiasaan-kebiasaan buruk yang sesungguhnya menjadi cara untuk mencari atau mencapai kesenangan.
Akan tetapi di samping itu, ada hasrat dalam batin kita untuk dianggap sebagai orang baik tanpa cacat. Inilah sebabnya mengapa para koruptor condong untuk menjadi penderma paling royal. Bahkan orang yang dianggap paling jahat sekali pun, di lubuk hatinya merindukan kehormatan dan nama baik ini. Maka terjadilah konflik dalam batin antara kenyataan yang ada dengan keinginan yang kita dambakan.
Kalau saja pelaku kejahatan mengakui kejahatannya lahir batin, maka kehidupan dan dunia ini agaknya akan menjadi berbeda. Kita condong untuk membela perbuatan kita, memulasnya agar nampak tidak kotor, bahkan kita selalu mengingkari semua perbuatan buruk kita, hanya karena ingin memenuhi hasrat hati, yaitu ingin dianggap baik dan terhormat itulah! Maka timbullah kepura-puraan, timbullah kemunafikan.
Perbuatan yang oleh umum dianggap baik bagaimana pun juga, kalau hal itu dilakukan karena ada pamrih ingin dianggap baik, maka perbuatan itu adalah suatu hal yang kotor dan palsu, yang munafik dan karenanya jelas tidak baik lagi. Perbuatan baik adalah perbuatan yang sama sekali tak dinilai oleh pelakunya, perbuatan yang wajar, perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sehingga perbuatan itu tidak ada ujung pangkalnya, tidak ada sebab akibatnya, tidak terikat karma. Perbuatan berdasarkan cinta kasih adalah wajar, tidak melepas atau menanamkan budi, tidak menimbulkan dendam, tidak ditumpuk dalam ingatan, dan selesai sampai di saat itu saja!
Pemuda berbaju hijau itu pun kaget dan girang melihat munculnya seorang pemuda tampan yang mengamuk dan menghadapi pengeroyokan anak buah perampok yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan itu. Dia pun kagum karena segera dapat melihat betapa lihainya pemuda bertangan kosong itu menghadapi para pengeroyoknya yang semuanya bersenjata.
Perkelahian antara pemuda baju hijau itu sendiri melawan kepala perampok tidak berlangsung terlalu lama. Betapa pun lihainya kepala perampok itu, menghadapi si pemuda baju hijau, dia kalah cepat dan kalah tinggi tingkatnya, kalah segala-galanya. Dalam waktu kurang dari lima puluh jurus, pedang di tangan pemuda baju hijau itu sudah menusuk leher lawannya yang roboh dan tewas seketika.
Ketika pemuda itu menyimpan kembali pedangnya dan menoleh, dia melihat betapa belasan orang perampok itu semua sudah roboh dan tewas, sedangkan pemuda tampan itu sedikit pun tidak terluka, bahkan pakaiannya yang mewah itu sama sekali tidak kusut atau kotor. Pemuda itu sekarang berdiri memandang kepadanya sambil tersenyum.
“Ilmu pedangmu hebat sekali, sobat!” kata Tek Ciang memuji.
“Engkaulah yang berilmu tinggi sehingga dapat mengalahkan pengeroyokan para perampok dengan tangan kosong saja,” pemuda baju hijau itu balas memuji.
Tek Ciang tertawa, girang dan bangga karena dipuji. “Ahhh, dibandingkan dengan ilmu pedangmu, apa artinya kepandaianku? Kalau tidak salah, ilmu pedangmu itu adalah ilmu pedang dari Kun-lun-pai, benarkah? Sudah lama aku mengagumi ilmu-ilmu silat Kun-lun-pai dan baru sekarang aku bertemu dengan seorang ahlinya. Perkenalkan, sobat, namaku adalah Louw Tek Ciang.” Tek Ciang memberi hormat yang cepat dibalas oleh pemuda itu.
“Engkau adalah penolongku, Louw-toako dan terima kasih atas bantuanmu. Namaku adalah Pouw Kui Lok. Dugaanmu memang tepat karena aku adalah murid Kun-lun-pai, akan tetapi sama sekali bukan tokoh ahli.”
Para pembaca tentu masih ingat akan nama ini. Pemuda baju hijau itu adalah Pouw Kui Lok pemuda murid Kun-lun-pai yang pernah mencari Hek-i Mo-ong untuk membalaskan kematian gurunya, yaitu Yang I Cinjin yang dahulu tewas oleh Hek-i Mo-ong.
“Ah, Pouw-lauwte, kalau orang yang sudah pandai ilmu pedang seperti engkau ini masih bukan ahli, lalu yang ahli yang bagaimana? Janganlah terlalu merendahkan diri. Akan tetapi, kalau tidak salah, kepala perampok itu mempunyai ilmu dari Kun-lun-pai pula. Benarkah?”
“Benar, dia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang murtad dan tersesat. Aku diutus oleh para pimpinan Kun-lun-pai untuk mencari dan menghukumnya. Dia cukup lihai dan anak buahnya juga rata-rata pandai ilmu silat. Untung ada engkau yang membantuku. Akan tetapi marilah kita antarkan dulu dua orang nona itu pulang dan membawa barang-barang rampasan itu kembali ke keluarga mereka, baru kita bicara dan mempererat perkenalan.”
“Baik, kita harus menolong mereka tidak kepalang tanggung,” berkata pula Tek Ciang dengan sikap gagah. Dua orang muda itu lalu menghampiri dua orang wanita yang masih berlutut menangis.
“Sudahlah, nona-nona, jangan menangis. Lihat, semua penjahat telah kami bunuh. Sekarang mari kami antar pulang dan kami bawakan barang-barang keluarga nona yang dirampok.” Dengan sikap ramah Tek Ciang menghampiri mereka dan dua orang gadis itu pun menghentikan tangis mereka dan ketika mereka melihat bahwa semua penjahat telah tewas, keduanya menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Ciang.
“Kami menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan taihiap....”
Tek Ciang tersenyum. Kebanggaan bagaikan hendak meledakkan dadanya. Kadang-kadang, kegembiraan yang timbul karena kebanggaan ini lebih nikmat dari pada kalau dia memperkosa wanita.
“Ah, bukan hanya aku seorang yang turun tangan, nona. Kami dua orang she Pouw dan she Louw tidak akan membiarkan kejahatan merajalela di dunia ini,” katanya dengan sikap orang yang berhati lapang dan pandai merendahkan hati.
Dua orang muda itu lalu mengangkut semua barang rampokan, kemudian mengawal dua orang gadis itu kembali ke rumah mereka yang tadi dirampok. Dan di tempat itu mereka disambut ratap tangis, bukan hanya karena bersyukur melihat mereka pulang dengan selamat membawa semua barang yang dirampok, akan tetapi juga karena terlukanya para anggota keluarga laki-laki yang tadi melakukan perlawanan.
Kui Lok dan Tek Ciang tidak berlama-lama di tempat itu. Mereka segera meninggalkan keluarga itu tanpa memberi kesempatan mereka berterima kasih, sesuai dengan watak para pendekar yang tidak mengharapkan balas jasa atas pertolongan yang mereka berikan kepada orang-orang yang dilanda mala petaka.
Demikianlah perkenalan yang terjadi antara dua orang muda itu. Ketika Pouw Kui Lok mendengar bahwa pemuda yang lihai itu adalah murid pendekar sakti Suma Kian Lee keluarga Pulau Es, kekagumannya bertambah dan dia pun mempersilakan Tek Ciang untuk singgah di Kun-lun-pai cabang kota Tung-keng yang meliputi cabang perguruan silat ini di daerah tengah, di mana Kui Lok kini tinggal bersama para tosu yang menjadi pimpinan kuil Kun-lun-pai cabang Tung-keng itu.
Kui Lok ingin lebih mempererat persahabatannya dengan Tek Ciang karena sejak lama dia sudah mendengar tentang keluarga Pulau Es dan merasa kagum sekali. Juga para tosu Kun-lun-pai merasa gembira sekali dan kagum ketika mendengar bahwa pemuda yang pesolek itu adalah murid keluarga Pulau Es!
Tek Ciang telah tinggal di kuil itu selama tiga hari ketika pada pagi hari ke empat, Hong Tan Tosu, ketua kuil itu, seorang tosu tinggi kurus berusia enam puluh lima tahun, yang sejak pagi tadi keluar kuil, kembali membawa dua orang tamu. Dan dua orang tamu itu adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu.....
********************
Seperti kita ketahui, dua orang sakti dari Lembah Naga Siluman ini baru saja kembali dari Puncak Bukit Nelayan dimana mereka menanggung kecewa dan malu karena tidak berhasil membawa pulang cucu mereka, Sim Houw. Dengan hati kesal mereka menuju pulang dan di kota Tung-keng mereka berdua bertemu dengan Hong Tan Tosu.
Tosu Kun-lun-pai ini dahulu, ketika masih berada di Kun-lun-san, pernah bertemu di lembah keluarga Cu sehingga dia mengenal baik keluarga Cu. Maka, ketika bertemu dengan dua orang sakti itu, dia merasa gembira sekali dan mempersilakan dua orang kenalannya itu untuk singgah di kuilnya.
Cu Han Bu yang sedang kesal hatinya menerima undangan ini, maka mereka lalu mengikuti Hong Tan Tosu mengunjungi kuil Kun-lun-pai. Dan di sinilah dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu bertemu dengan Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang.
Kebetulan sekali pada saat itu, ketika dua orang sakti memasuki kuil, mereka melihat dua orang pemuda itu sedang berlatih silat di dalam kebun di samping kuil. Sebagai ahli-ahli silat tinggi, dua orang kakak beradik Cu itu segera merasa tertarik sekali karena sekali pandang saja maklumlah mereka bahwa dua orang muda yang sedang berlatih silat itu memainkan ilmu-ilmu silat tinggi.
Dua orang muda itu adalah Kui Lok dan Tek Ciang. Mereka telah menjadi sahabat karib dan pada pagi hari itu, atas usul Kui Lok, mereka berlatih silat bersama. Melihat gerakan Kui Lok, dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu mengenal ilmu silat Kun-lun-pai dan mereka kagum karena pemuda itu memiliki gerakan yang amat ringan dan kuat. Akan tetapi mereka terbelalak memandang dan memperhatikan gerakan Tek Ciang. Pemuda ini memainkan ilmu silat yang aneh dan hebat, apalagi ketika terasa oleh mereka betapa dari kedua tangan pemuda ini menyambar hawa yang berubah-rubah, kadang-kadang dingin kadang-kadang panas.
Hong Tan Tosu yang menemani mereka, melihat kekaguman dua orang sakti itu, lalu berkata lirih. “Orang-orang muda sekarang bertambah hebat saja, akan kalah kita yang tua-tua ini.”
“Hong Tan To-yu, siapakah mereka ini?” tanya Cu Han Bu dengan hati tertarik.
“Yang berbaju hijau itu adalah Pouw Kui Lok, sute pinto sendiri dan dia memang sudah mencapai tingkat tertinggi di dalam perguruan kami. Dan yang ke dua itu bukan orang sembarangan. Namanya Louw Tek Ciang. Dia adalah murid Suma Kian Lee, pendekar Pulau Es.”
“Ahhh....!” Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menahan seruan mereka dan memandang kagum.
Pantas saja pemuda itu demikian lihainya, tidak tahunya murid pendekar Pulau Es! Pada waktu yang bersamaan, kakak beradik ini saling pandang dengan gejolak hati yang sama. Alangkah baiknya kalau mereka bisa menarik dua orang pemuda perkasa itu sebagai ahli waris baru mereka yang akan mewarisi ilmu-ilmu silat keluarga Cu dan kelak menjunjung tinggi nama keluarga Cu!
Setelah mereka duduk di dalam, Cu Han Bu langsung saja menyampaikan keinginan hatinya kepada sahabatnya. “To-yu, melihat gerakan dua orang muda itu, hati kami jadi sangat tertarik. Kebetulan sekali kami memang sedang mencari orang-orang yang agaknya tepat untuk mewarisi semua ilmu kami, yang lama mau pun yang baru saja kami ciptakan, dan kami melihat bahwa dua orang muda itu agaknya tepat dan berjodoh sekali. Bagaimana pendapatmu andai kata kami mengajak mereka ke lembah kami untuk menerima ilmu-ilmu silat keluarga kami?”
Mendengar ucapan ini, sejenak mata tosu itu terbelalak penuh keheranan. Dia sudah mengenal benar keluarga Cu ini yang selalu merahasiakan ilmu-ilmu mereka dan tidak akan menurunkan kepada orang luar, maka pernyataan tokoh nomor satu dari keluarga Cu itu tentu saja amat mengherankan hatinya.
Dia pun sudah mendengar bahwa keluarga Cu tidak memiliki keturunan laki-laki, akan tetapi sudah mempunyai seorang mantu yang lihai sekali dan kabarnya mantu itu yang telah mewarisi ilmu-ilmu keluarga Cu. Kenapa sekarang mendadak Kim-kong-sian ini menyatakan hendak mewariskan ilmu-ilmu keluarga Cu kepada orang luar? Akan tetapi, wajahnya segera berseri gembira ketika teringat bahwa yang dipilih adalah sute-nya sendiri.
“Ahh, entah bintang apa yang menerangi nasib sute!” Dia berseru gembira. “Tentu saja dua orang muda itu akan beruntung sekali kalau dapat terpilih menjadi murid-muridmu, Cu-taihiap! Biar pinto panggil mereka datang!”
Tosu itu sendiri segera bangkit dan meninggalkan dua orang tamunya untuk memanggil dua orang muda yang sedang berlatih silat di kebun. Setelah tosu itu pergi, Cu Han Bu berkata kepada adiknya.
“Bagaimana pendapatmu, ji-te?”
Cu Seng Bu mengangguk-angguk. “Aku setuju sekali, toako. Agaknya merekalah yang amat tepat menjadi ahli waris kita yang kelak akan menghadapi orang-orang yang hendak meremehkan nama kita. Apalagi mereka itu yang seorang adalah murid utama Kun-lun-pai dan yang ke dua bahkan murid keluarga Pendekar Pulau Es. Tepat sekali!” jawab adiknya.
Keduanya diam-diam merasa girang sekali. Memang pilihan mereka tepat. Dengan mengangkat murid dua orang muda itu, sedikit banyak Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es akan berdiri di belakang mereka dan kalau sudah begitu, siapa berani meremehkan mereka?
Tak lama kemudian, Hong Tan Tosu datang kembali ke dalam ruangan tamu diikuti dua orang muda yang tadi berlatih dan kini leher dan muka mereka masih basah berpeluh. Keduanya sudah mendengar secara singkat pemberitahuan Hong Tan Tosu bahwa dua orang sakti dari Lembah Naga Siluman datang dan tertarik kepada mereka, dan mengambil keputusan untuk mewariskan ilmu-ilmu sakti dari lembah itu kepada mereka.
Tentu saja dua orang itu terkejut dan heran juga, terutama Pouw Kui Lok yang sama sekali tidak pernah membayangkan akan berguru kepada orang lain kecuali Kun-lun-pai. Akan tetapi diam-diam Louw Tek Ciang merasa girang bukan main. Dia tahu bahwa dirinya mempunyai banyak sekali musuh-musuh yang sangat lihai, terutama sekali keluarga Pulau Es, maka kalau dia dapat mengumpulkan ilmu-ilmu tinggi sebanyaknya, berarti dia akan lebih mampu membela diri.
“Ahh, Pouw-lauwte, sungguh kita beruntung sekali!” katanya sambil memegang lengan Kui Lok. “Aku sudah mendengar nama besar keluarga Cu dari Himalaya itu, dan kalau kita dapat mewarisi ilmu-ilmu mereka, sungguh kita memperoleh keuntungan besar.”
“Akan tetapi....” Kui Lok memandang kepada suheng-nya dengan sinar mata ragu-ragu.
Agaknya Hong Tan Tosu dapat menduga pikiran sute-nya. “Pouw-sute, jangan khawatir. Setiap orang murid Kun-lun-pai memang dilarang berguru kepada orang lain, akan tetapi kalau sudah mendapat perkenan orang yang berhak, dan mengingat bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar besar yang kukenal baik, maka pinto memberi perkenan kepadamu dan pintolah yang akan bertanggung jawab kalau ada pertanyaan dari para suhu dan susiok.”
Tentu saja ucapan Hong Tan Tosu ini membesarkan hati Kui Lok dan dengan girang mereka berdua lalu mengikuti tosu itu ke ruangan tamu di mana telah menanti Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Melihat dua orang setengah tua yang bersikap angker itu, Kui Lok dan Tek Ciang cepat memberi hormat.
Setelah kini berhadapan dengan Kui Lok dan Tek Ciang, pandang mata kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu memandang penuh selidik dan mereka merasa puas dengan apa yang mereka lihat. Kedua orang muda itu jelas memiliki tubuh yang baik sekali dan juga memiliki sinar mata yang tajam dan cerdik. Calon-calon murid yang baik sekali, apalagi karena mereka telah memiliki dasar ilmu-ilmu silat yang tinggi pula.
Dalam keadaan sekarang ini pun, mereka sendiri belum tentu akan dapat mengalahkan dua orang muda ini dengan mudah. Apalagi kalau dua orang muda ini sudah menguasai ilmu-ilmu silat keluarga Cu, tentu keduanya akan jauh lebih lihai dari pada mereka sendiri dan akan dapat menjunjung nama kehormatan keluarga Cu dengan baiknya, jauh lebih baik dari pada Sim Hong Bu yang murtad itu!
“Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang,” kata Cu Han Bu secara langsung setelah dua orang muda itu diajak berkenalan. “Kami berdua telah mendengar keadaan kalian dari Hong Tan To-yu, dan melihat kalian, kami tertarik sekali untuk mengajak kalian ke lembah kami dan mengajarkan ilmu-ilmu silat keluarga Cu kepada kalian. Tentu saja kalau kalian sudi menjadi murid kami.”
“Saya akan merasa gembira dan terhormat sekali, locianpwe,” kata Tek Ciang dengan cepat tanpa ragu-ragu lagi.
“Saya.... saya juga merasa setuju kalau memperoleh perkenan dari suheng sebagai wakil para suhu di Kun-lun-pai,” kata Kui Lok hati-hati.
“Ha-ha-ha, sute. Pinto sudah memberi perkenan dan harap saja engkau sebagai murid Kun-lun-pai tidak mengecewakan menerima ilmu-ilmu keluarga Cu yang amat tinggi itu.”
Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menjadi girang. Tak mereka sangka akan semudah itu mereka menerima murid-murid yang begini lihai.
“Pouw Kui Lok sudah disetujui oleh Kun-lun-pai untuk menjadi pewaris ilmu-ilmu kami, akan tetapi bagaimana dengan engkau, Louw Tek Ciang? Kami mendengar bahwa engkau adalah murid pendekar Suma Kian Lee tokoh Pulau Es, apakah gurumu tidak akan marah dan berkeberatan kalau mendengar engkau belajar silat kepada kami?”
Hampir saja Tek Ciang tertawa. Gurunya akan berkeberatan? Gurunya sekarang telah menjadi musuh besarnya. Akan tetapi dengan cerdik dia memberi hormat dan berkata, “Suhu telah memberi kebebasan kepada saya untuk memperluas pengetahuan dan mempelajari ilmu apa saja asal ilmu itu digunakan demi kebaikan, menentang kejahatan seperti layaknya seorang pendekar. Karena itulah maka saya berani menerima uluran tangan locianpwe.”
Tentu saja hati kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu menjadi girang bukan main. Dua hari kemudian, Kui Lok dan Tek Ciang berangkat mengikuti dua orang kakek itu ke lembah di Pegunungan Himalaya itu. Di sana mereka berdua digembleng secara telaten oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang merasa girang dan beruntung sekali melihat betapa dua orang murid baru ini benar-benar tidak mengecewakan. Selain berbakat dan tekun, juga mereka adalah dua orang muda yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, terutama sekali Tek Ciang. Benar-benar tidak mengecewakan.....
********************
Komentar
Posting Komentar