KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-37
Keberangkatan Bi Eng diantar oleh ayah bundanya. Bu Ci Sian, walau pun ia seorang wanita yang tabah dan keras hati, hanya mampu menahan tangis selama Bi Eng masih nampak saja. Setelah bayangan dara itu lenyap, ia tidak dapat membendung tangisnya karena kesedihannya ditinggalkan puteri tunggalnya. Suaminya mendiamkannya saja, lalu merangkul dan menghiburnya.
“Bi Eng hanya pergi sementara dan mempelajari ilmu, sedangkan kita pun memperoleh penggantinya, murid yang cerdik dan juga calon mantu. Apa yang perlu disedihkan?”
“Bagaimana hati ini tidak akan merasa sedih?” bantah isterinya. “Semenjak lahir sampai sekarang, Eng-ji tak pernah berpisah dari sampingku, dan sekarang aku harus berpisah darinya untuk selama bertahun-tahun....”
“Jangan terlalu dipikirkan, bukankah semua itu memang sudah kita sengaja? Pula, kita yakin bahwa ia berada di tangan yang baik dan dapat dipercaya sepenuhnya. Kita telah mengenal benar keadaan dan watak Sim Hong Bu, bukan?”
Ci Sian mengangguk dan akhirnya hatinya terhibur juga, apalagi ketika ternyata bahwa Sim Houw adalah seorang murid yang amat baik. Bukan saja pemuda ini memiliki bakat yang tidak kalah dibandingkan dengan Bi Eng, akan tetapi pemuda ini berwatak pendiam, tidak banyak cakap akan tetapi amat rajin bekerja di ladang. Kam Hong dan isterinya merasa suka sekali kepada calon mantu ini dan Kam Hong mengajarkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut dengan sepenuh hatinya, memberi sebatang suling emas kepada murid atau calon mantunya ini.....
********************
Kepercayaan penuh keyakinan yang terkandung dalam hati Kam Hong dan Ci Sian terhadap Sim Hong Bu yang membawa pergi puteri mereka tidaklah sia-sia belaka. Sim Hong Bu adalah seorang pendekar besar yang berhati bersih. Semenjak semula dia memandang Bi Eng sebagai calon mantu, jadi seperti anaknya sendiri. Apalagi kini dara itu telah mengakuinya sebagai guru, maka sikapnya terhadap dara itu pun penuh rasa sayang. Lebih lagi karena bagaimana pun juga, dia merasa kehilangan puteranya yang ditinggalkan di rumah keluarga Kam. Dara itu kini menjadi pengganti anaknya.
Biar pun hati Sim Hong Bu penuh dengan kegembiraan karena pinangannya diterima, bahkan kini mereka saling menukar anak untuk dididik selama tiga tahun, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya dan yang amat menggembirakan hatinya, namun diam-diam ada rasa khawatir dalam hatinya. Dia teringat akan isterinya, Cu Pek In, yang pada mulanya merasa agak tidak setuju mendengar suaminya mengajak putera mereka pergi ke timur untuk berkunjung kepada keluarga Kam. Apalagi nanti kalau mendengar bahwa putera mereka telah dijodohkan dengan puteri keluarga Kam, bahkan kini dia pulang membawa calon mantu itu.
Hong Bu tahu bahwa di lubuk hati isterinya masih ada perasaan dendam dan tidak suka kepada Kam Hong bersama isterinya yang oleh keluarga Cu dianggap sebagai pencuri ilmu keluarga Cu! Walau pun demikian, Hong Bu yakin akan dapat melunakkan hati isterinya dan memperoleh persetujuan isterinya, karena isterinya amat mencintanya dan selalu taat kepadanya. Yang membuat dia ragu-ragu adalah kedua orang gurunya, yaitu Kim-kong-sian Cu Han Bu ayah Pek In dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu.
Keluarga Cu terdiri dari tiga saudara, yang pertama adalah Kim-kong-sian Cu Han Bu yang kini sudah berusia lima puluh delapan tahun. Ke dua adalah Bu-eng-sian Cu Seng Bu berusia lima puluh tiga tahun dan selamanya tidak menikah. Dua orang kakak beradik ini sejak kalah bertanding melawan Kam Hong lalu pergi bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia lagi.
Ada pun orang ke tiga dari keluarga Cu itu adalah Ban-kin-sian Cu Kang Bu yang menikah dengan Yu Hwi bekas tunangan Kam Hong. Suami isteri itu kini tinggal pula di Lembah Naga Siluman, tempat tinggal keluarga Cu yang dahulunya disebut Lembah Suling Emas dan dirubah namanya setelah keluarga itu kalah oleh Kam Hong. Demikian sekelumit riwayat keluarga Cu. Riwayat yang lengkap dapat dibaca dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’.
Sim Hong Bu merupakan pewaris tunggal dari ilmu simpanan keluarga Cu, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia pula yang dulu memanggul tugas untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan ilmu pedangnya itu dan dia sudah pula menantang Kam Hong bertanding.
Dua ilmu yang sebetulnya dari satu sumber itu pernah dipertandingkan dan Hong Bu yang ketika itu memenuhi tugas sebagai murid dan pewaris keluarga Cu, hanya kalah sedikit saja. Akan tetapi, di dalam hati Hong Bu sama sekali tidak memusuhi Kam Hong, apalagi Bu Ci Sian yang merupakan dara pertama yang pernah menjatuhkan hatinya. Dia malah merasa suka dan kagum sekali kepada Kam Hong.
Ini pula yang membuat dia ingin mengikat tali perjodohan antara anak mereka, agar suasana persaingan itu dapat dilenyapkan. Maka dia pun merasa berbahagia sekali menerima usul Kam Hong untuk menyatukan kedua ilmu yang dipertentangkan oleh keluarga Cu itu dalam diri anak-anak mereka sehingga persaingan atau pertentangan itu lenyap dan menjadi persatuan yang kokoh kuat.
Kekhawatiran hati Sim Hong Bu bahwa usahanya membuat ikatan kekeluargaan antara keluarganya dan keluarga Kam akan mendapat tentangan dari keluarga isterinya, bukan tanpa alasan. Keluarga Cu adalah sebuah keluarga kuno yang tinggi hati, menganggap keluarga mereka tinggi dan mulia. Kekalahan mereka terhadap Kam Hong merupakan pukulan batin hebat bagi mereka. Apalagi kalau diingat bahwa suling emas dan ilmunya di tangan Kam Hong itu berasal dari nenek moyang mereka.
Biar pun Kam Hong menemukan ilmu itu secara kebetulan, bukan mencuri, dan senjata suling emas itu pun merupakan warisan nenek moyangnya, akan tetapi karena pusaka dan ilmunya itu memang berasal dari nenek moyang keluarga Cu, maka keluarga Cu tetap menganggap Kam Hong sebagai pencuri! Dan mereka telah berusaha keras untuk menyaingi dan mengalahkan Kam Hong, dengan mengangkat Sim Hong Bu sebagai pewaris tunggal ilmu Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi ini pun gagal. Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menderita pukulan batin dan mereka tekun bertapa di goa rahasia di lembah mereka.
Pada pagi hari itu, tiga orang penghuni Lembah Naga Siluman duduk di serambi depan sambil menikmati udara pagi dan minum teh panas. Mereka adalah Cu Pek In isteri Sim Hong Bu, dan pamannya yang ke tiga, yaitu Cu Kang Bu dan isterinya yang bernama Yu Hwi. Seperti diceritakan dalam kisah ‘Suling Emas Naga Siluman’, Yu Hwi adalah bekas tunangan Kam Hong, maka tentu saja dalam pertentangan itu, Yu Hwi sepenuhnya berpihak kepada keluarga suaminya!
Cu Pek In sudah berusia tiga puluh empat tahun, wajahnya yang cantik membayangkan kekerasan hatinya, terutama pada mulut yang kecil dan dikatupkan rapat-rapat itu. Pamannya yang termuda, Cu Kang Bu, adalah seorang pria berusia empat puluh enam tahun yang perawakannya kokoh kuat dan tinggi besar, nampak gagah sekali.
Cu Kang Bu berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Seribu Kati) dan dari julukannya saja dapat diduga bahwa dia memiliki tenaga yang amat kuat. Di antara tiga saudara Cu, yang termuda ini memiliki hati yang paling terbuka, jujur dan gagah perkasa. Maka, dia pun juga mengagumi Kam Hong dengan sejujurnya dan tidak mendendam atas kekalahannya seperti halnya kedua orang kakaknya yang sampai kini masih bertapa dengan tekunnya.
Dia hidup saling mencinta dengan Yu Hwi, isterinya yang usianya sekarang sudah empat puluh tahun. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai keturunan dan karena sejak Sim Houw terlahir selalu tinggal bersama mereka dalam Lembah Naga Siluman itu, maka suami isteri yang tidak mempunyai anak ini juga amat menyayang Sim Houw, cucu keponakan itu. Kini, tiga orang itu merasa kehilangan sekali semenjak Sim Houw pergi merantau bersama ayahnya.
“Aahhh....,” terdengar Yu Hwi menarik napas panjang. “Alangkah sepinya tempat ini semenjak Houw-ji pergi....”
Mendengar ucapan isterinya, Cu Kang Bu melirik keponakannya, akan tetapi yang dilirik hanya menundukkan muka tanpa menanggapi.
“Ahh, engkau ini!” katanya mencela isterinya sambil tersenyum. “Sebelum Sim Houw lahir, engkau tidak pernah merasa sepi!”
“Tentu saja!” Yu Hwi membantah. “Akan tetapi semenjak lahir, anak itu telah menjadi sebagian dari pada hidup kita semua. Kalau sekarang ditinggal pergi, tentu akan merasa kehilangan dan kesepian. Pek In, kapan sih suami dan puteramu akan pulang?”
“Dia tidak pernah mengatakan kapan, bibi. Akan tetapi mengingat akan jauhnya tempat yang akan dikunjunginya, kurasa akan memakan waktu berbulan-bulan.”
Yu Hwi menghela napas. “Aku tidak mengerti mengapa suamimu itu jauh-jauh pergi ke Bukit Nelayan mengunjungi keluarga Kam yang sepantasnya malah harus dijauhinya. Bukankah keluarga Kam itu musuh keluarga kita?”
Cu Pek In diam saja, akan tetapi Cu Kang Bu mengerutkan alisnya mendengar ucapan isterinya yang membakar ini. Akan tetapi, pendekar tinggi besar ini terlalu mencinta isterinya untuk menegur dengan keras, maka dia pun tertawa.
“Ha-ha-ha, agaknya engkau lupa bahwa istana tua di puncak Bukit Nelayan itu adalah peninggalan nenek moyangmu sendiri yang sudah kau serahkan kepada Kam-taihiap untuk dijadikan tempat tinggal! Dan mengapa pula Hong Bu tidak mengunjunginya? Kam-taihiap adalah seorang sahabat baik.”
Yu Hwi adalah seorang wanita yang galak, genit dan tentu saja sejak menikah ia sudah menguasai suaminya. Kini dia cemberut memandang suaminya, lalu berkata dengan suara mengandung kejengkelan. “Aihh, sungguh aku tidak mengerti jalan pikiranmu! Ke manakah harga dirimu sebagai anggota penting keluarga Cu? Hemm, kalau sampai kedua kakak kita mendengar kata-katamu tadi, tentu mereka takkan merasa senang.”
Cu Kang Bu tidak marah. Dia tahu bahwa di balik segala kecerewetannya, isterinya amat mencintanya dan selalu akan membela pendiriannya. Dia hanya menarik napas panjang dan berkata. “Sejak dahulu aku tidak suka menyimpan dendam. Apalagi urusan antara keluarga kita dengan keluarga Kam sebetulnya tak perlu diributkan lagi. Menurut keadaannya bahkan di antara kita masih ada sangkutan perguruan, jadi, kalau kini Sim Hong Bu mendekatinya, itu malah baik sekali!”
Cu Pek In yang semenjak tadi diam saja, tiba-tiba berkata dan suaranya mengandung penyesalan besar yang ditahan-tahan. “Paman, bukan hanya mendekati, bahkan dia pernah mengatakan bahwa kalau Kam Hong mempunyai seorang anak perempuan, dia ingin menjodohkan Houw-ji dengan keturunan keluarga Kam!”
“Ahhh.... gila itu!” Yu Hwi berseru kaget dan marah.
Akan tetapi Cu Kang Bu tertawa gembira. “Bagus! Itu adalah niat yang bagus sekali! Dengan ikatan perjodohan, kelak antara keluarga Cu dan keluarga Kam tidak ada lagi dendam dan menjadi keluarga. Bagus!”
“Tidaaak, aku tidak mau....!” Tiba-tiba Cu Pek In menjerit, menangis lalu bangkit dari tempat duduknya dan lari memasuki kamarnya.
Cu Kang Bu dan isterinya terkejut dan saling pandang. Tak mereka sangka Cu Pek In akan bersikap seperti itu. Memang nyonya muda ini sudah menahan-nahan kemarahan dan penasaran dalam hatinya, akan tetapi dia tidak tega untuk menentang suaminya. Kini, selagi suaminya tidak ada, tekanan batin itu meledak dan dia pun menjerit dan menangis.
“Ahhh, lihat, engkau membuat Pek In marah dan berduka,” Yu Hwi mengomel. “Sudah jelas ia tidak menyetujui suaminya, akan tetapi engkau malah mendukung Hong Bu sehingga menjengkelkan hati Pek In.”
“Akan tetapi, aku memang melihat kebaikan bagi keluarga Cu dengan adanya niat Hong Bu itu....”
“Hemm, engkau sudah pikun agaknya. Siapa yang bilang ini urusan keluarga Cu? Yang hendak dijodohkan adalah keturunan keluarga Sim dan Kam, apa ada sangkut pautnya dengan keluarga Cu? Dalam hal ini, kiranya kita tidak perlu mencampurinya.”
Cu Kang Bu termangu-mangu. Baru dia teringat bahwa putera Pek In adalah keturunan Sim, bukan Cu! Dia pun menarik napas panjang dan tidak mau membantah lagi, sedangkan Yu Hwi lalu menyusul Pek In untuk menghiburnya.
Dalam keadaan seperti itu, dapat dibayangkan betapa kemunculan Sim Hong Bu yang pulang ke Lembah Naga Siluman membawa Kam Bi Eng mendatangkan bermacam perasaan pada keluarga itu.
Cu Kang Bu sendiri menyambutnya dengan ramah dan diam-diam pendekar raksasa ini setuju dengan tindakan yang diambil mantu keponakannya. Yu Hwi menerima tanpa bicara akan tetapi nyonya ini jelas tidak senang hatinya. Yang paling menderita batinnya adalah Pek In. Bermacam perasaan mengaduk hatinya ketika suaminya bercerita di depan keluarga Cu. Ada rasa marah, penasaran, kecewa dan juga berduka. Terutama sekali mendengar bahwa puteranya kini berada di rumah keluarga Kam, menjadi murid!
Kam Bi Eng sendiri bersikap tenang. Di sepanjang perjalanan, gurunya bersikap baik sekali dan ia sudah mulai merasa hormat dan sayang kepada gurunya, juga calon ayah mertuanya. Di sepanjang perjalanan ia sudah mulai menerima petunjuk mengenai teori ilmu Koai-long Kiam-sut. Ternyata pengetahuan pendekar itu amat luas mengenai ilmu silat dan petunjuk pendekar itu amat berharga.
Maka, ketika ia bersama gurunya tiba di depan jurang yang lebar dan curam, yang memisahkan Lembah Naga Siluman dengan dunia luar, ia memandang dengan penuh kagum. Sudah beberapa kali Bi Eng diajak pergi ayah ibunya, akan tetapi belum pernah ia pergi merantau sejauh ini. Perjalanan yang memakan waktu berpekan-pekan dan melalui daerah-daerah yang sama sekali asing baginya.
Apalagi setelah tiba di daerah Pegunungan Himalaya, dia merasa kagum menyaksikan kebesaran alam yang sedemikian luas dan hebatnya. Dia berdiri di tepi jurang lebar, lalu melihat gurunya memberi tanda ke seberang dengan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon dan pegunungan, melihat betapa ada tali perlahan-lahan naik dari dalam jurang yang tertutup kabut, dia semakin kagum.
“Mari kita masuk lembah,” kata gurunya yang meloncat ke atas tambang itu, setelah tambang terentang lurus.
Hati Bi Eng merasa ngeri. Berjalan di atas tambang sebesar itu bukan merupakan pekerjaan sukar baginya. Akan tetapi, kalau tambang itu melintang di atas jurang yang demikian lebarnya, demikian dalamnya sehingga dasarnya yang tertutup kabut itu tidak nampak, merupakan hal lain lagi. Melintasi jembatan tambang seperti itu membutuhkan ketahahan yang luar biasa.
Akan tetapi ia bukan seorang dara penakut dan ia pun meloncat di belakang gurunya. Hong Bu tersenyum girang dan mereka pun berjalan, setengah berlari, menyeberangi jurang itu di atas tambang yang hanya bergoyang sedikit saja karena keduanya telah mempergunakan ilmu meringankan tubuh mereka yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sebentar saja mereka sudah tiba di seberang dan disambut oleh tiga orang penjaga jembatan yang cepat memberi hormat kepada Hong Bu dan Bi Eng.
“Suhu, apakah jalan ke lembah hanya melalui jembatan tambang ini?” tanya Bi Eng.
Ia menyebut suhu kepada calon mertuanya, karena untuk menyebut ayah mertua ia merasa malu. Lagi pula, bukankah ia memang sudah resmi menjadi murid sehingga layak menyebut suhu, sedangkan ia masih belum resmi menjadi mantu?
“Benar, tidak ada jalan lain kecuali melalui jembatan tambang karena Lembah Naga Siluman dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam, tidak mungkin dilalui manusia.” Sim Hong Bu menerangkan ketika mereka berjalan melalui lorong penuh pohon-pohon besar.
“Sebuah tempat yang hebat, tidak mungkin didatangi orang jahat dari luar,” gadis itu memuji.
“Keluarga Cu amat terkenal, Bi Eng. Para datuk sesat tidak ada yang berani main-main di sini, karena selain tempatnya sukar diserbu, juga keluarga Cu termasuk keluarga sakti. Pula, keluarga Cu tidak pernah mencampuri urusan orang luar, maka dapat dikata tidak mempunyai musuh pribadi.”
Kecuali ayah, pikir Bi Eng, dan hatinya menjadi kecut mengenang cerita ibunya betapa ayahnya pernah dimusuhi oleh keluarga Cu yang lihai. Dan kini ia datang sebagai murid. Akan tetapi gurunya hanya mantu keluarga Cu, dan gurunya she Sim, bukan she Cu. Hal ini agak menenangkan hatinya yang mulai merasa tidak enak, seolah-olah di dalam dada gadis ini timbul perasaan bahwa tempat yang angker ini tidak suka didatangi olehnya.
Dan perasaan hatinya itu ternyata tidak menipunya. Ia merasakan penyambutan yang dingin sekali ketika akhirnya ia berhadapan dengan tiga orang penghuni rumah besar di lembah itu. Ban-kin-sian Cu Kang Bu menyambut Hong Bu dengan gembira, hanya nampak heran dan terkejut ketika Hong Bu memperkenalkan Bi Eng sebagai muridnya. Tetapi Yu Hwi dan Cu Pek In tidak dapat menyembunyikan perasaan tak senangnya ketika mendengar bahwa dara remaja itu adalah puteri Kam Hong!
“Apa.... apa artinya ini?” Cu Pek In bertanya kepada suaminya dengan muka pucat. “Di mana anakku....?”
“Mari kita bicara di dalam. Aku membawa kabar yang baik dan menggembirakan sekali,” kata Hong Bu sambil tersenyum, menyembunyikan rasa gelisahnya karena dia tahu bahwa berita yang dibawanya itu belum tentu menggembirakan hati isterinya.
Demikianlah, akhirnya mereka semua berada di ruangan dalam, duduk mengitari meja dan Hong Bu lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan keluarga Kam. Dia menceritakan dengan singkat akan tetapi jelas dan mengakhiri dengan kata-kata yang mengandung nada gembira.
“Begitulah. Kami bersepakat untuk saling mendidik anak masing-masing selama tiga tahun dan aku akan memimpin Bi Eng untuk menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut dan sebaliknya, Houw-ji akan digembleng oleh Kam-taihiap. Setelah lewat waktu itu, baru kami akan mematangkan pembicaraan tentang perjodohan antara kedua anak itu.”
Tiba-tiba Cu Pek In bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan muka pucat memandang kepada Hong Bu, lalu terdengar suaranya yang bernada marah, “Suamiku, mengapa engkau bertindak begini lancang?”
Hong Bu mengerutkan alisnya, lalu tersenyum, senyum yang agak masam. “Isteriku, mengapa engkau berkata demikian? Urusan Houw-ji adalah urusan pribadi kita berdua, karena dia adalah anak kita berdua, dan sebelum berangkat aku sudah memperoleh persetujuanmu untuk mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga Kam!”
“Bukan itu maksudku!” bantah isterinya. “Akan tetapi tentang ilmu pusaka keluarga Cu itu! Bagaimana engkau berani lancang hendak mengajarkannya kepada orang lain tanpa lebih dulu mendapat perkenan dari ayah?”
Hong Bu yang diserang dengan kata-kata keras itu menjadi terkejut. Dia menoleh kepada Cu Kang Bu yang sedikit banyak berhak pula bersuara dalam hal ini, akan tetapi pendekar raksasa itu hanya menunduk. Bibinya bahkan memandang padanya dengan sikap marah, jelas sekali betapa wanita itu mendukung pendirian Cu Pek In.
“Ini adalah urusan dan tanggung jawabku, biarlah aku akan menghadap ayah mertua untuk mohon perkenan beliau,” akhirnya dia berkata dan pertemuan itu dibubarkan dalam keadaan yang amat tidak menyenangkan semua pihak.
Namun, meski hatinya sendiri diliputi ketegangan melihat betapa suhu-nya menghadapi sikap menentang keluarganya, sikap Bi Eng sendiri tetap tenang. Hanya ada perasaan tidak suka kepada ibu dari Sim Houw itu yang memiliki pandang mata demikian dingin kepadanya, bahkan seperti orang membenci.
Menghadap atau menemui Kim-kong-sian Cu Han Bu bukanlah merupakan hal yang mudah. Semenjak dikalahkan oleh Kam Hong kemudian mengasingkan diri bertapa, Kim-kong-sian Cu Han Bu dan adiknya, Bu-eng-sian Cu Seng Bu, jarang mau diganggu dan kalau tidak ada hal yang amat penting sekali, mereka tidak mau keluar dari tempat mereka bertapa atau membolehkan orang luar datang menghadap. Dua kakak beradik ini bertapa bukan hanya untuk memenuhi janjinya terhadap Kam Hong akibat kekalahan mereka, akan tetapi juga diam-diam keduanya tekun mempelajari ilmu-ilmu mereka dan memperdalamnya dengan cara menciptakan ilmu-ilmu secara bersama hingga selama belasan tahun mengasingkan diri itu mereka telah menjadi semakin lihai saja!
Dua hari kemudian barulah Hong Bu diperkenankan untuk menghadap guru atau ayah mertuanya. Karena dia berwatak terbuka dan ingin agar semua urusan segera beres, dia mengajak Bi Eng menghadap bersama. Dara itu pun pergi bersama gurunya dengan sikap tenang dan di dalam hatinya, ingin sekali dia melihat wajah orang-orang yang pernah menjadi musuh ayahnya, dan ingin ia mengetahui bagaimana sikap keluarga Cu itu.
Tempat pertapaan itu sunyi sekali, berada di lereng bukit, di dalam sebuah goa besar ciptaan alam yang disempurnakan oleh tenaga keluarga Cu. Goa itu menerima sinar matahari yang cukup banyak, dibersihkan dan dibagi menjadi tiga ruangan. Dua buah tempat untuk bersemedhi yang terpisah, semacam kamar tidur kecil dan di tengah terdapat sebuah ruangan lebar yang lantainya rata dan tempat ini selain menjadi semacam ruangan duduk, juga menjadi tempat kakak beradik pertapa ini berlatih silat dan menciptakan ilmu baru bersama. Di ruangan inilah Sim Hong Bu diterima oleh ayah mertua dan pamannya.
Dua orang pendekar Cu itu sudah duduk menanti di ruangan tengah yang luas itu. Matahari pagi menyorotkan sinarnya melalui lubang di atas sebelah kiri sehingga ruangan itu terang dan bersih.
Cu Han Bu sudah berusia lima puluh enam tahun akan tetapi wajahnya masih nampak segar. Hanya rambutnya yang putih semua itu yang menunjukkan bahwa dia sudah berusia agak lanjut. Pakaiannya bersih sederhana dan longgar seperti pakaian pertapa akan tetapi pinggangnya memakai sabuk emas yang bukan hanya merupakan sabuk biasa, melainkan menjadi senjata andalannya yang ampuh. Dia duduk bersila di atas dipan panjang bertilam kasur bulu, bersanding dengan Cu Seng Bu.
Kakek ke dua yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) ini usianya baru lima puluh satu tahun, akan tetapi kelihatan tidak lebih muda dari kakaknya. Tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan. Di punggungnya tergantung sebatang pedang tipis. Mereka berdua duduk bersila seperti orang sedang semedhi ketika Sim Hong Bu melangkah memasuki goa itu bersama Bi Eng.
“Suhu, susiok, teecu datang menghadap,” kata Hong Bu sambil berlutut di depan dipan panjang bersama Bi Eng yang diam saja, hanya melirik ke arah dua orang itu.
Hening sejenak. Kedua orang tua itu membuka mata dan beberapa lamanya mereka memandang kepada Bi Eng dengan pandang mata penuh selidik. Melihat betapa dua pasang mata itu mengeluarkan sinar mencorong, Bi Eng merasa tegang dan ia cepat menundukkan mukanya.
“Hong Bu, ada keperluan penting apakah maka engkau berani mengganggu ketenangan kami?” ayah mertua atau gurunya bertanya.
Sampai kini, sesuai dengan kehendak para tokoh keluarga Cu, dia menyebut suhu dan susiok kepada mereka. Hal ini menunjukkan kekerasan hati keluarga itu mengenai perguruan mereka. Hong Bu merupakan pewaris ilmu pusaka keluarga mereka, oleh karena itu dipentingkan kenyataan bahwa pendekar itu adalah murid mereka yang berhak mewarisi ilmu keluarga, bukan sekedar mantu!
“Suhu, seperti telah teecu laporkan ketika teecu berpamit kepada suhu, teecu telah mengajak Houw-ji merantau ke timur dan sekarang teecu hendak melaporkan segala peristiwa yang kami alami dalam perjalanan itu.”
“Hong Bu, siapakah anak perempuan yang kau ajak masuk ini?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya datar saja akan tetapi pandang matanya mengeras.
“Anak ini bernama Kam Bi Eng....”
“She Kam....?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya mengeras.
“Benar, susiok. Bi Eng adalah puteri Kam Hong-taihiap.”
“Ehhh? Tindakan apa yang kau ambil ini, Hong Bu?” Cu Seng Bu berseru, matanya terbelalak.
“Biarkan dia menceritakan semua. Bicaralah, Hong Bu, kami siap mendengarkan,” kata Cu Han Bu dengan suara tenang, akan tetapi jelas bahwa dia pun menekan perasaan marahnya.
Hong Bu memang sudah siap. Dia tahu bahwa tindakannya itu tentu akan menghadapi tentangan, maka dengan sikap tenang tapi hormat dia pun bercerita.
“Teecu bersama Houw-ji pergi ke Puncak Bukit Nelayan dan berkunjung ke tempat kediaman Kam-taihiap. Di sana teecu melihat bahwa Kam-taihiap mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Kam Bi Eng ini dan timbullah niat di dalam hati teecu, yang sebelumnya memang sudah teecu rundingkan dengan isteri teecu, untuk mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga Kam, menjodohkan Houw-ji dengan Bi Eng.” Sim Hong Bu berhenti sebentar untuk melihat reaksi dua orang tua itu.
Akan tetapi Cu Seng Bu diam saja sedangkan Cu Han Bu hanya mengeluarkan suara tidak jelas, dan disusul kata-kata tak acuh.
“Hemm, niat yang ganjil. Teruskan ceritamu.”
“Pinangan teecu diterima, lalu kami bersepakat untuk menukar anak masing-masing, untuk saling dididik ilmu sehingga kedua anak itu kelak akan dapat menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, maka Houw-ji teecu tinggalkan di sana sedangkan Bi Eng teecu bawa pulang....”
“Sim Hong Bu....! Apa yang kau lakukan ini? Apakah engkau sudah gila?” Cu Han Bu membentak. Sekarang dia tak lagi menahan-nahan kemarahannya yang memang sudah dipendamnya semenjak kemarin ketika dia mendengar pelaporan Pek In yang datang bercerita sambil menangis.
“Suhu, teecu kira tidak ada sesuatu yang ganjil dalam tindakan teecu itu,” Sim Hong Bu berkata dengan sikap masih tetap tenang.
“Tidak ganjil? Engkau hendak berbesan dengan keluarga Kam dan kau katakan tidak ganjil? Sejak dahulu keluarga Kam adalah saingan dan musuh keluarga Cu dan engkau malah hendak mengikat tali perjodohan anakmu, mengikat tali kekeluargaan dengan pihak musuh?”
“Suhu, harap Suhu maafkan. Urusan perjodohan putera teecu adalah urusan teecu sendiri dan Houw-ji adalah she Sim, jadi tidak dapat disangkutkan dengan adanya permusuhan keluarga. Pula, sejak dahulu teecu tidak melihat suatu kesalahan pada Kam-taihiap maka teecu tidak dapat menganggapnya sebagai musuh. Harap suhu maafkan.”
Cu Han Bu mengepal tinju dan mengerutkan alis. “Baiklah, Sim Houw hanyalah cucu luarku, bukan she Cu. Aku tidak akan mencampuri urusanmu itu. Akan tetapi, engkau adalah muridku dan engkau pewaris ilmu pusaka keluarga kami. Bagaimana kini engkau berani hendak menurunkan ilmu keluarga kami kepada seorang murid, dan murid itu orang luar, bahkan anak musuh kami?”
“Suhu, kiranya dalam hal menerima murid, tidak dapat dibatasi dengan keluarga saja. Buktinya, suhu menurunkan ilmu pusaka keluarga kepada teecu yang she Sim. Andai kata harus diturunkan kepada keluarga sendiri, Bi Eng ini adalah calon anak mantu teecu, berarti dia pun anggota keluarga sendiri. Maka teecu berani mengangkatnya menjadi murid.”
“Brakkk!”
Ujung dipan di depan Cu Han Bu pecah berantakan oleh tangan pendekar ini
ketika dia menamparnya untuk menyatakan kemarahannya. “Sim Hong Bu!
Bagaimana pun juga, aku tidak rela kalau ilmu keluarga kami diberikan
kepada anak si pencuri Kam Hong!”
Sejak tadi Bi Eng mendengarkan dengan hati merasa tidak senang. Kini,
mendengar ayahnya dimaki pencuri, dia bangkit berdiri. “Suhu, bawa aku
pergi dari sini! Mereka begini sombong, siapa sih yang kepingin belajar
ilmu keluarga Cu? Jika dibandingkan dengan ilmu keluarga Kam, ilmu
keluarga Cu tidak ada artinya!”
Bi Eng mengeluarkan kata-kata itu dengan bernapsu dan dia berdiri sambil bertolak pinggang. Tentu saja Sim Hong Bu terkejut bukan main sampai mukanya menjadi pucat, sedangkan ucapan dan sikap yang merendahkan dan menantang itu membuat Cu Seng Bu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia pun meloncat turun dari atas dipan.
“Lihat kesombongan setan cilik ini! Dan anak seperti ini akan mewarisi ilmu kita? Bocah she Kam, ingin kulihat sampai di mana kehebatan ilmu keluarga Kam!” berkata demikian Cu Seng Bu meloncat ke depan dan menggunakan tangan kirinya menampar ke arah leher Bi Eng!
Orang ini berjuluk Bu-eng-sian atau Dewa Tanpa Bayangan, maka tentu saja dapat diduga bahwa dia adalah seorang ahli ginkang yang telah tinggi tingkatnya. Gerakannya demikian cepat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan Bi Eng dan tangannya menyambar seperti kilat cepatnya.
Akan tetapi tidak percuma Bi Eng sejak kecil digembleng ayahnya sendiri sebagai anak tunggal Pendekar Suling Emas itu. Ia memiliki kewaspadaan dan gerakan yang amat lincah. Begitu melihat tangan menyambar, ia sudah mengelak ke samping dan bersiap untuk membalas.
Namun, belum sempat ia membalas, Cu Seng Bu sudah menyusulkan totokan-totokan ke arah pelipis, pundak dan pinggang secara bertubi dan cepat sekali. Melihat ini, Bi Eng terpaksa melempar tubuhnya ke belakang dan membuat jungkir balik sebanyak tiga kali ke belakang. Gerakannya indah dan gesit seperti burung walet saja.
Cu Seng Bu merasa penasaran bukan main. Empat kali dia menyerang dan empat kali dara remaja itu dapat menghindarkannya dengan mudah! Jika dara ini tidak dihajar dan berkenalan dengan kelihaian keluarga Cu, tentu kelak akan mentertawakan keluarga Cu, apalagi diingat bahwa dara ini adalah anak Kam Hong! Maka kini ia pun menerjang lagi ke depan dengan niat untuk menurunkan tangan yang lebih keras!
Tetapi tiba-tiba Sim Hong Bu meloncat dan menghadangnya. “Susiok, harap maafkan Bi Eng yang masih kanak-kanak,” katanya.
“Kau.... kau pun berani melawan susiok-mu?” Cu Seng Bu membentak, kemarahannya semakin menjadi.
“Teecu bukan melawan susiok, melainkan melindungi Bi Eng yang menjadi tanggung jawab teecu,” jawab Hong Bu dengan suara tegas.
“Bagus, engkau sudah terang-terangan melindungi anak musuh!” Cu Seng Bu sekarang dengan dahsyatnya menyerang dan mengirim pukulan ampuh kepada Hong Bu.
Pendekar ini terpaksa menggunakan tangannya menangkis, akan tetapi karena dia merasa sungkan dan hanya menggunakan tenaga setengah-setengah saja, dia lantas terdorong ke belakang dan hampir roboh.
Sementara itu, ketika tadi Bi Eng berjungkir balik membuat salto tiga kali, tahu-tahu pundaknya dicengkeram orang dari belakang dan ia tidak mampu berkutik lagi. Kiranya ia telah dipegang oleh Cu Han Bu secara aneh dan pegangan kakek itu kuat sekali. Begitu Bi Eng mengerahkan sinkang dan hendak meloloskan diri dari cengkeraman, dara itu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, maka ia berhenti meronta. Kini, melihat suhu-nya terdorong oleh pukulan kakek yang tadi juga menyerangnya, ia pun menjadi marah.
“Hemm, bagus sekali! Kiranya jagoan-jagoan she Cu ini hanya tukang keroyok saja, tukang menghina murid sendiri dan kakek tidak tahu malu yang beraninya melawan anak kecil. Kalau kalian memang gagah, mengapa menyerang aku dan tidak berani menghadapi ayah dan ibuku? Cih, sungguh tak tahu malu, pengecut dan curang!”
Hebat bukan main makian yang dilontarkan oleh mulut dara remaja itu, terasa oleh kedua orang kakek itu seperti kotoran busuk dilemparkan ke muka mereka. Mereka berdua adalah pendekar-pendekar perkasa yang semenjak kecil menjunjung tinggi kehormatan, nama dan kegagahan. Kini mereka dicaci-maki seorang anak perempuan yang mengatakan mereka curang, pengecut dan tak tahu malu.
Kalau menurutkan napsu kemarahannya, ingin Cu Han Bu sekali pukul menghancurkan kepala anak itu, akan tetapi dia tidak mungkin melakukan hal ini karena dia akan merasa menyesal selama hidup dan caci maki anak itu akan menjadi kenyataan! Maka dengan hati mendongkol dia melempar tubuh anak itu ke atas lantai.
“Brukk!”
Tubuh Bi Eng terbanting, akan tetapi anak itu dapat menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangun lagi dengan sikap penuh keberanian.
“Anak setan yang tekebur, segera suruh ayah ibumu datang ke sini dan kami akan memperlihatkan bahwa kami tidak takut menghadapi mereka!” Kata Cu Seng Bu yang maklum betapa kakaknya marah sekali akan tetapi juga tidak berdaya.
“Ayahku bukan tukang cari perkara seperti kalian! Kalau kalian datang menyerbu rumah kami, tentu ayah dan ibu akan menghajar kalian sampai kalian terkentut-kentut!” Memang dara ini lincah jenaka dan pandai bicara, maka kembali muka dua orang kakek itu menjadi merah karena marah. Belum pernah selamanya, sebagai orang-orang yang paling dihormati dunia kang-ouw, mereka dimaki seperti itu.
Sim Hong Bu juga sudah mengenal watak muridnya yang berani mati dan pandai bicara dan menggoda orang, maka dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut.
“Suhu dan susiok, maafkanlah murid teecu....”
“Sim Hong Bu! Keluarkan anak setan ini dari lembah kita, baru engkau menghadap lagi dan akan kami pertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni tindakanmu yang dangkal ini!” bentak ayah mertuanya.
“Suhu, teecu adalah seorang laki-laki sejati, murid dan mantu suhu! Apakah suhu ingin melihat teecu menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan, melanggar janji sendiri? Tidak, suhu. Teecu sudah mengikat janji dengan Kam-taihiap dan teecu tidak akan melanggarnya.”
“Maksudmu?”
“Teecu akan tetap mendidiknya sampai tiga tahun seperti yang sudah teecu janjikan kepada Kam-taihiap.”
“Engkau lebih memberatkan keluarga Kam dari pada kami?”
“Teecu memberatkan janji, dan teecu memberatkan nasib Sim Houw anak teecu. Teecu tidak mau membawa anak teecu terseret ke dalam permusuhan antara keluarga Cu dan keluarga Kam yang tidak ada gunanya itu.”
“Mantu jahat! Murid murtad! Kalau begitu, engkau boleh pilih antara kami dan anak ini. Kalau engkau memilihnya, pergilah dari Lembah Naga Siluman dan jangan injakkan kaki lagi di tempat kami! Juga kami tidak lagi mengakuimu sebagai murid atau mantu! Pergilah!” Cu Han Bu berteriak marah dan dalam suara teriakannya terkandung isak kekecewaan dan kedukaan hatinya.
Dahulu, dia dan adik-adiknya mendidik Sim Hong Bu dengan harapan bahwa murid itu yang kelak akan membalaskan kekalahan mereka terhadap Kam Hong. Harapan itu tidak pernah terkabul karena biar pun Hong Bu sudah melaksanakan tugasnya dan menandingi Kam Hong, ternyata murid mereka itu tidak mampu mengalahkan Pendekar Suling Emas. Dan sekarang, selagi mereka prihatin dan berusaha menciptakan ilmu lain, dengan harapan masih tertuju kepada murid yang juga menjadi mantu itu, tumpuan harapan mereka ambyar dan porak-poranda. Murid itu bahkan mau berbesan dengan musuh, bukan itu saja, malah saling bertukar ilmu!
“Baiklah, suhu. Teecu akan pergi dari sini bersama Bi Eng dan.... dan kalau dia mau, dengan isteri teecu.” Setelah berkata demikian, dia lalu bangkit berdiri dan memegang tangan Bi Eng, untuk diajak pergi dari tempat itu.
“Nanti dulu! Engkau lupa mengembalikan Koai-liong Po-kiam! Engkau tidak berhak lagi memiliknya!” bentak Cu Han Bu dengan hati penuh rasa sesal dan kecewa.
Tanpa banyak cakap, Sim Hong Bu menanggalkan pedang dan sarungnya, kemudian menyerahkannya kepada gurunya yang menyambarnya dari tangannya dengan kasar. Setelah menjura sekali lagi, pendekar itu kemudian menggandeng tangan muridnya dan meninggalkan goa itu. Dia kembali ke rumah besar di mana Cu Pek In menyambutnya dengan muka pucat.
Isteri yang mencinta suaminya ini memandang khawatir. Sinar matanya mengandung kedukaan ketika ia melihat betapa gadis cilik itu masih bersama suaminya, akan tetapi pedang Koai-liong-kiam tidak lagi berada di punggung pendekar itu. Sebelum suaminya berbicara, dia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi sebagai akibat pertemuan suaminya dengan ayahnya.
Dengan lemas Sim Hong Bu menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi. Isteri yang menyambutnya juga duduk di depannya sedangkan Bi Eng berdiri saja di belakang kursi gurunya. Hati Bi Eng diliputi keharuan karena dia merasakan benar perlindungan dan pembelaan gurunya terhadap dirinya. Kini ia merasa tegang karena tahu bahwa gurunya akan menghadapi suatu hal yang paling berat, yaitu isterinya yang sejak semula sudah memperlihatkan sikap tidak setuju.
“Suhu tadi mengusirku karena aku bertahan untuk mendidik Kam Bi Eng. Terpaksa aku harus pergi dan terserah kepadamu, apakah engkau akan ikut bersamaku ataukah tetap tinggal di sini.”
Suara pendekar itu datar saja karena dia menekan batinnya yang terguncang hebat. Dia mencinta isterinya dan tentu saja merasa berat kalau harus berpisah, akan tetapi keadaan memaksanya. Dia tidak sudi menjadi seorang lemah yang mengingkari janji sendiri.
Wanita itu menangis, akan tetapi tanpa suara. Hatinya terlalu keras untuk menangis sampai mengeluarkan suara. Semenjak kecil Pek In seperti laki-laki. Hanya air matanya yang mengalir keluar dan segera ia menghapus air matanya.
“Keluarga Cu tidak mempunyai anak kecuali aku, dan tadinya engkau diharapkan untuk menjadi keturunan mereka. Akan tetapi sekarang engkau malah menentang, dan kalau aku juga pergi, habis siapa lagi yang akan dipandang oleh ayah dan para paman? Aku tidak bisa meninggalkan ayah, aku akan tinggal di sini sampai mati.... sampai engkau atau Houw-ji ingat kepadaku....” Wanita itu menutupi mukanya dan air matanya mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya.
Sim Hong Bu merasa terharu dan kasihan sekali. Ingin dia merangkul dan menghibur isterinya, akan tetapi dia tahu bahwa hal itu akan percuma saja. Maka dia mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sudah kuduga akan begini jadinya.... dan aku sama sekali tidak menyalahkan engkau, isteriku. Biarlah aku memenuhi janjiku, setelah lewat tiga tahun tentu aku akan mencarimu di sini. Selamat tinggal, isteriku, dan kau maafkan suamimu ini....”
Sim Hong Bu lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu bersama Bi Eng, diikuti oleh pandang mata isterinya yang masih terus berlinang air mata. Pada saat itu muncullah Cu Kang Bu dan Yu Hwi.
“Ehhh, engkau hendak pergi lagi?” Cu Kang Bu menegur.
Hong Bu menjura kepada paman dan bibinya. “Suhu mengusir teecu pergi karena teecu bertahan hendak mendidik Bi Eng. Teecu memilih pergi dari pada harus mengingkari janji yang telah teecu ikat bersama Kam-taihiap. Sam-susiok, bibi dan engkau Pek In, harap diketahui bahwa aku sama sekali tidak memihak musuh, bahwa aku sama sekali tidak menentang keluarga Cu. Kalau aku terpaksa pergi dan tidak mentaati suhu, hanyalah karena aku sudah mengikat janji, dan semua ini kulakukan demi kebaikan anakku Sim Houw. Aku tidak ingin Sim Houw terseret dalam permusuhan antar keluarga yang tidak ada gunanya ini. Kalau pendirianku ini benar, semoga Thian melindungiku, dan kalau aku bersalah, biarlah aku terhukum karena kesalahanku. Selamat tinggal!”
Sim Hong Bu bergegas pergi sambil menggandeng tangan Bi Eng yang sejak tadi diam saja. Cu Kang Bu dengan kakinya yang panjang melangkah lebar mendampingi Hong Bu, mengantarnya sampai di tepi jurang.
“Aku harus melihatmu sendiri menyeberang dengan selamat,” katanya lirih.
Diam-diam Hong Bu bersyukur dan berterima kasih. Agaknya paman yang dikenalnya amat jujur dan gagah ini meragukan kalau-kalau dua orang kakaknya akan berbuat curang dan karena dendam lalu berusaha melenyapkan Hong Bu dan Bi Eng dengan misalnya membuat mereka terjatuh ke dalam jurang selagi melakukan penyeberangan melalui tali.
“Terima kasih, susiok, terutama akan sikap susiok yang tidak marah kepada teecu.”
Pendekar tinggi besar itu tersenyum dan menghela napas. “Tak tahulah, Hong Bu. Aku menghargai sikapmu yang memegang teguh perjanjian, tetapi kalau sudah menyangkut nama dan kehormatan, orang dapat berbuat apa saja dan aku tidak tahu lagi mana benar mana salah. Kalau dipikir, bukankah mati-matian memegang janji juga merupakan usaha mempertahankan nama dan kehormatan? Nah, selamat jalan, mudah-mudahan segalanya akan dapat berakhir dengan baik kelak.”
“Selamat tinggal, susiok.”
Sim Hong Bu lalu mengajak muridnya meloncat ke atas jembatan tambang yang sudah direntang. Mereka berlarian menuju ke seberang, dan pada saat itu, dari balik batang pohon muncul dua bayangan orang yang bukan lain adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Mereka melihat adik mereka Cu Kang Bu berdiri di tepi jurang. Keduanya lalu menyelinap pergi lagi tanpa mengeluarkan kata-kata.....
********************
Komentar
Posting Komentar