KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-36


Sim Hong Bu cepat bangkit dan menjura dengan hormat. “Maaf.... harap ji-wi maafkan karena memang aku telah tergesa-gesa dan lancang sekali. Baik, tentu saja aku harus tahu diri, lupa bahwa sekarang bukan saatnya yang baik. Saya akan menanti dengan sabar, Kam-taihiap.”

“Akan tetapi, kalian tinggal saja di sini,” kata Bu Ci Sian.

“Benar, tinggallah di sini selama beberapa hari,” sambung suaminya.

Hong Bu tidak menolak dan ayah bersama puteranya ini tinggal di rumah gedung tua itu, bahkan membantu pihak tuan rumah ketika mengurus penguburan enam buah peti jenazah. Pekerjaan ini dibantu pula oleh para penduduk yang berdekatan. Selama itu, biar pun sering kali jumpa, Bi Eng dan Sim Houw tidak pernah bicara.

Bi Eng biasanya lincah jenaka dan gembira, juga pandai bicara. Akan tetapi karena para orang tua membicarakan perjodohannya dengan pemuda ini, ia menjadi malu dan tidak berani mendahului menegur pemuda itu. Sebaliknya, Sim Houw memang seorang pemuda yang pendiam dan canggung kalau berhadapan dengan wanita, maka mereka hanya saling bertukar pandang saja sekilas tanpa saling menegur kecuali mengangguk tanda hormat.

Kam Hong selalu membicarakan perkara perjodohan itu dengan isterinya. Sebetulnya mereka merasa suka melihat putera Hong Bu itu. Mereka mengenal ayah pemuda itu sebagai seorang pendekar perkasa, juga ibunya adalah keturunan keluarga Cu yang sakti. Sim Houw adalah keturunan orang-orang gagah. Pemuda itu pun cukup tampan dan bersikap baik, pantas kalau menjadi suami Bi Eng. Akan tetapi, mereka harus berhati-hati agar jangan sampai salah memilih calon suami puteri tunggal mereka. Oleh karena itu, setelah upacara penguburan para jenazah itu selesai, suami isteri ini lalu mengadakan perundingan dan memanggil puteri mereka.

Keluarga ini selalu bersikap bebas dan dalam hal ini pun mereka akan bersikap terbuka kepada puteri mereka.

“Eng-ji,” kata ibunya yang bertugas menyampaikan urusan itu kepada puteri mereka, “seperti telah kau dengar sendiri, keluarga Sim datang meminangmu. Engkau telah melihat sendiri pemuda itu dan kami dapat menerangkan bahwa keluarga Sim adalah keluarga gagah perkasa dan ayah pemuda itu sejak dahulu telah menjadi sahabat baik kami. Betapa pun juga, ayah ibumu ingin mengetahui isi hatimu karena engkaulah yang akan menjalani dan urusan pernikahan adalah urusan yang menyangkut diri selamanya. Nah, bagaimana pendapatmu, Eng-ji, setujukah engkau kalau menjadi calon isteri Sim Houw?”

Biar pun pada waktu itu belum dikenal orang tentang kebebasan memilih jodoh sendiri, dan hampir setiap perjodohan yang terjadi selalu terjadi atas pilihan orang tua masing-masing bahkan jarang ada pemuda atau pemudi yang dapat mengenal lebih dahulu siapa calon jodohnya dan tahu-tahu saling berjumpa di waktu upacara pernikahan, namun keluarga Kam memang menganut sikap bebas dalam kehidupan keluarga mereka. Bagaimana pun juga, tentu saja pengaruh tradisi yang sudah mengakar dan menjadi kebiasaan dan kesopanan umum itu tidak dapat terlepas begitu saja, maka Kam Hong dan Ci Sian juga terpengaruh dan mereka lebih condong untuk menilai dan memilih calon jodoh puteri mereka, walau pun mereka kini menyerahkannya kepada penilaian Bi Eng sendiri.

Di lain pihak, juga Bi Eng sebagai seorang dara muda yang hidup di jaman itu, tidak terlepas dari rasa kikuk dan malu untuk membicarakan urusan perjodohannya. Pada jaman itu, hubungan antara pria dan wanita merupakan suatu hal yang dianggap rahasia dan amat memalukan kalau dilihat atau didengar orang lain, sedangkan urusan pernikahan adalah urusan hubungan antara pria dan wanita. Maka tiap orang, terutama gadisnya, tentu akan merasa malu sekali kalau diajak berunding tentang pernikahannya.

Bi Eng yang baru berusia lima belas tahun itu sebetulnya belum pernah berpikir tentang perjodohan, maka ketika tempo hari mendengar pinangan yang diajukan tamunya, ia tidak kuat mendengar terus saking malunya, dan ia melarikan diri bersembunyi ke dalam kamarnya. Kini, mendengar pertanyaan ibunya, ia pun menunduk dan mukanya berubah merah sekali. Ia menjadi bingung karena sama sekali belum pernah membayangkan bahwa ia akan dilamar orang, akan menjadi isteri orang.

Harus diakuinya bahwa pemuda yang akan dijodohkan dengannya itu cukup ganteng dan gagah, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia akan suka menjadi isteri pemuda itu. Kini, ia merasa bingung harus berkata apa. Untuk menolak begitu saja tentu dia tidak sampai hati kepada orang tuanya, karena bukankah urusan jodoh adalah urusan orang tua dan anak yang berbakti tinggal mentaatinya saja? Demikianlah anggapan umum para muda pada jaman itu. Menyimpang dari anggapan ini akan dianggap hal yang amat tidak patut sekali! Maka, seperti sikap seorang gadis sopan yang diharapkan semua orang pada jaman itu, ia pun menunduk ketika menjawab lirih.

“Aku.... aku tidak tahu, ibu.... hal ini.... terserah kepada ayah dan ibu saja!” setelah berkata demikian, Bi Eng lalu pergi meninggalkan orang tuanya, keluar dari rumah melalui pintu belakang dan memasuki kebun belakang yang luas.

Hatinya bingung dan perasaannya masih terguncang akibat pertanyaan ibunya tadi. Selama ini belum pernah ia berpikir tentang perjodohan, maka datangnya pertanyaan itu sungguh merupakan hal yang mengejutkan dan membingungkan hatinya.

“Ahh, ia masih terlalu muda untuk dapat mengambil keputusan tentang perjodohannya sendiri,” kata Ci Sian kepada suaminya.

Suaminya mengangguk. “Akan tetapi kita sudah menanyakan pendapatnya sehingga kelak ia tak akan dapat menuduh kita melakukan pemaksaan dalam hal perjodohannya. Dan sebagai seorang anak yang amat baik ia telah menyerahkan urusan itu kepada kita untuk mengambil keputusan.”

“Apakah ini berarti bahwa engkau akan menerima begitu saja pinangan Sim Hong Bu?” isterinya bertanya.

Suaminya menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Memang, dilihat begitu saja tiada alasan apa pun bagi kita untuk tidak menerima pinangan Hong Bu. Dia seorang gagah perkasa yang sudah kita kenal benar wataknya, dan isterinya pun keturunan keluarga Cu yang perkasa. Pemuda itu sendiri kelihatan tidak ada cacatnya dan cukup gagah. Betapa pun juga, kita harus berhati-hati sekali memilihkan jodoh anak kita. Aku pun tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, maka aku mengajakmu berunding dan kita pun tadi sudah menanyakan pendapat Eng-ji sendiri.”

Suami isteri itu termenung, masih diliputi kebimbangan meski mereka berdua memang telah condong sebelumnya untuk menerima pinangan itu dengan girang karena merasa bahwa puteri mereka telah mendapatkan jodoh yang cocok.

Pada jaman itu memang belum ada apa yang dinamakan pergaulan bebas antara para gadis dan pemuda seperti sekarang. Gadis yang sudah mulai dewasa dikurung oleh orang tuanya, dijadikan semacam benda berharga yang menanti penawaran yang tentu saja diharapkan mendapat penawaran tertinggi! Pingitan para gadis itu oleh orang tua mereka dianggap sebagai hal yang amat baik, bahkan akan mengangkat derajat dan harga diri gadis mereka dalam pandangan para calon besan.

Keadaan yang sudah menjadi tradisi ini, yang pada jamannya masing-masing berlaku pula di seluruh bagian dunia agaknya, tidak memungkinkan adanya perjodohan atas pilihan hati sendiri. Pernikahan terjadi atas pilihan dan kehendak orang tua yang tentu saja dengan cara masing-masing, dengan perhitungan dan pertimbangan masing-masing, bertindak dengan tujuan membahagiakan anak sendiri.

Pada jaman dulu dan mungkin masih ada pula terjadi di jaman sekarang, orang-orang tua lebih menilai keadaan si calon mantu dari keadaan keluarganya, keturunannya, kedudukannya, kekayaannya dan sebagainya. Ini penilaian orang tua si gadis. Ada pun orang tua si pemuda akan menilai seorang gadis calon mantu dari keadaan keluarga, keturunannya, kecantikannya, dan kepandaiannya atau juga sikapnya.

Mereka itu, orang-orang tua yang memang tak mengerti itu, tak tahu bahwa perjodohan adalah urusan hati, urusan cinta. Bersatunya dua orang manusia pria dan wanita untuk hidup bersama, membentuk rumah tangga dan keluarga, hanya dapat berhasil apabila terdapat cinta di dalam hati masing-masing. Tanpa adanya cinta kasih, segala macam sarana lahiriah seperti kedudukan, harta benda, kepandaian dan sebagainya itu tidak mungkin dapat mengokohkan hubungan antara dua orang manusia yang berjumpa setelah keduanya dewasa dan hidup bersama selamanya!

Bukan kebahagiaan yang nantinya diperoleh, bahkan sebaliknya, mereka akan tersiksa selamanya. Berkumpul terus menyiksa hati, bercerai tidak mungkin seperti keadaan di jaman itu. Sebaliknya, kasih sayang akan mengalahkan segala rintangan.

Harus diakui bahwa memang ada pertumbuhan cinta kasih setelah keduanya bertemu dalam upacara pernikahan. Namun, kebanyakan tidaklah demikian. Kebanyakan hanya memaksa dirinya sendiri sesuai dengan tradisi yang sudah menjadi peraturan, kesusilaan dan kesopanan di jaman itu. Mereka, terutama yang wanita, hanya mampu menangis dan menerima nasib, lalu memaksa diri melayani suaminya sebaik mungkin agar disebut sebagai seorang isteri dan ibu rumah tangga yang baik!

Pada jaman itu ‘nama baik’ merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. Untuk mengejar ‘nama baik’ ini, orang rela mengorbankan apa saja, kalau perlu berkorban nyawa sekali pun! Betapa banyaknya wanita di jaman itu, bahkan mungkin juga masih ada di jaman sekarang, yang hidup tersiksa batinnya dan menderita sengsara, sebagai seorang isteri yang sebenarnya tidak mencinta suaminya, namun memaksa diri mempertahankan nasibnya itu sampai selama hidupnya, hanya karena ingin menjaga nama baiknya.

Lebih baik hidup menderita selamanya namun mendapat nama baik sebagai seorang isteri yang setia, yang baik dan sebagainya dari pada bebas penderitaan batin namun menjadi bahan cemoohan dan celaan umum. Demikianlah pegangan batin mereka.

Perjodohan adalah urusan hati dan dasarnya hanya satu, ialah cinta kasih. Hanya cinta kasih sajalah yang kekal. Cinta bukanlah nafsu. Nafsu hanya sementara saja dan mudah luntur. Boleh saja untuk menentukan jodoh orang memperhitungkan keadaan lahiriah, misalnya keadaan pekerjaan dan keuangan sebagai sarana hidup berumah tangga, namun sesungguhnya bukan itu yang menentukan.

Uang, kedudukan, dan segala keadaan lahiriah dapat berubah sewaktu-waktu. Pangkat dapat dicopot, uang dapat habis. Akan tetapi cinta kasih akan dapat mengatasi segala macam gelombang hidup dan akan dapat bertahan dalam keadaan bagaimana pun juga. Tetapi, kenapa kita masih saja tidak mau membuka mata melihat kenyataan ini? Mengapa kita sampai sekarang masih meributkan urusan perjodohan dan menilai orang dari keadaan lahiriah seperti keturunan, kekayaan, kedudukan, agama, suku, bangsa dan sebagainya?

Setelah suami isteri itu termenung beberapa lamanya, akhirnya Ci Sian memperoleh suatu hasil pemikiran yang dianggapnya baik sekali. “Memang kita harus berhati-hati, dan kurasa ada jalan yang amat baik. Kita berdua memang sudah merasa cocok, kalau anak kita menjadi mantu Sim Hong Bu. Bagaimana kalau kita menerima pinangan mereka, tetapi menangguhkan pernikahannya sampai satu dua tahun lagi? Pertama, mengingat Bi Eng sekarang baru berusia lima belas tahun dan ke dua, penangguhan ini dapat kita pergunakan sebagai waktu untuk melakukan penyelidikan. Kita amati bagai mana tingkah laku calon mantu itu agar hati kita menjadi lega dan puas.”

Kam Hong menjawab hati-hati, “Usulmu itu memang baik sekali, akan tetapi kurasa sangat tidak mudah untuk dilaksanakan. Engkau tahu, keluarga itu tinggal jauh sekali di Pegunungan Himalaya. Dalam jarak sejauh itu, bagaimana mungkin kita akan dapat mengamati kelakuan calon mantu kita? Tidak, kita harus mencari jalan lain yang lebih baik.”

“Jalan lain bagaimana?”

“Aku mempunyai pikiran yang kukira baik sekali. Ingat, ilmu yang kita warisi, yaitu Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, merupakan lawan paling seimbang dan juga pasangan yang amat baik dari ilmu pedang warisan mereka, yaitu Koai-liong Kiam-sut. Kurasa Sim Houw telah memarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut, sedangkan anak kita pun sudah mewarisi Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut kita, walau pun belum sempurna benar dan tinggal memperdalam dengan latihan saja. Untuk dapat menilai keadaan Sim Houw, satu-satunya jalan adalah kalau dia tinggal bersama kita di sini.”

“Ehh? Bagaimana mungkin? Tidak pantas kalau dia tinggal dulu di sini sebelum menjadi suami Bi Eng....”

“Bukan begitu maksudku. Biarlah perjodohan itu kita ikat, akan tetapi masa pertunangan itu kita manfaatkan, baik juga sebagai syarat pernikahan. Biar Eng-ji mereka didik dan diajari Koai-liong Kiam-sut, sedangkan Sim Houw kita didik dan kita ajari Kim-siauw Kiam-sut. Dengan demikian, kita mendapat dua keuntungan. Pertama, dengan menjadi murid kita beberapa tahun lamanya, tentu saja kita akan dapat mengenal wataknya yang sebenarnya dan kita dapat menilai apakah dia memang pantas menjadi jodoh anak kita. Dan ke dua, dengan penukaran ilmu itu, tentu anak kita akan menguasai dua ilmu itu dan menggabungnya sehingga ia akan menjadi seorang yang amat tangguh, lebih tangguh dari pada kita. Bagaimana?”

Bu Ci Sian termenung. Usul suaminya itu sungguh baik sekali, akan tetapi kalau ia membayangkan harus berpisah dari puterinya selama beberapa tahun, hatinya merasa sedih. Agaknya Kam Hong dapat mengetahui isi hati isterinya. Dia memegang lengan isterinya dengan mesra lalu berkata, suaranya halus dan penuh kasih sayang.

“Isteriku, engkau tahu bahwa demi cinta kita kadang-kadang harus berani berkorban. Aku sendiri pun tentu saja merasa berat harus berpisah dari puteri kita yang kita cinta. Akan tetapi, ingatlah bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Sekali waktu, pasti kita akan berpisah dari orang-orang yang kita cinta, termasuk Bi Eng. Akan tetapi, biar pun kita merasa tidak senang kalau harus berpisah dari anak kita, kita harus ingat bahwa perpisahan sementara ini adalah demi kebaikan anak yang kita cinta. Maka, demi anak kita, perasaan kita sendiri haruslah dikesampingkan. Setujukah engkau?”

Bu Ci Sian menghela napas panjang. Tentu saja, demi kebaikan Bi Eng sendiri, mau tidak mau ia harus menyetujui usul suaminya ini. Bagaimana pun juga, amat baik kalau Bi Eng memperdalam ilmunya dengan menguasai Koai-liong Kiam-sut. Ilmu yang amat tinggi dan penting untuk kehidupan puterinya. Bukankah ia dan suaminya sendiri, walau pun sudah memiliki kepandaian tinggi, tidak luput dari pada bencana pada saat Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya muncul?

Dan Bi Eng pernah hendak dijodohkan oleh iblis itu dengan muridnya! Biar kemudian ternyata bahwa murid iblis itu adalah cucu Pendekar Super Sakti, namun sebagai murid iblis itu tentu saja ia tidak setuju kalau menjadi suami Bi Eng. Putera Sim Hong Bu jauh lebih baik dibandingkan dengan murid iblis itu. Maka ia pun mengangguk setuju.

Tiba-tiba suami isteri ini terkejut mendengar suara angin dan lengkingan-lengkingan nyaring diseling suara mengaum dan berdesing. Lengkingan itu adalah suara senjata suling anak mereka, dan hal itu berarti bahwa Bi Eng sedang berkelahi mempergunakan sulingnya! Seperti disengat binatang berbisa karena teringat akan mala petaka yang baru saja menimpa keluarga mereka dengan kemunculan datuk-datuk sesat, suami isteri perkasa ini sudah meloncat dan seperti berlomba saja mereka lari menuju ke arah datangnya suara itu, ialah dari kebun belakang.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati Bu Ci Sian melihat bahwa puterinya itu sedang bertanding mati-matian melawan Sim Houw, pemuda yang direncanakan akan menjadi mantunya itu! Tentu saja ia marah dan hendak meloncat dan membentak, akan tetapi lengannya dipegang Kam Hong dan ketika isteri itu menoleh kepada suaminya, ia melihat suaminya memberi tanda agar ia diam saja.

“Agaknya mereka sedang berlatih,” bisik Kam Hong.

Ci Sian memandang dengan mata terbelalak khawatir. Ia sama sekali tidak melihat mereka sedang berlatih, tetapi karena perkelahian yang nampak sungguh-sungguh itu agaknya dikuasai oleh Bi Eng yang lebih banyak menyerang dan mendesak dengan sulingnya dibandingkan dengan Sim Houw yang lebih banyak mengelak atau menangkis dengan pedangnya, maka ia pun diam saja.

Apakah yang telah terjadi antara Sim Houw dan Bi Eng? Seperti kita ketahui, ketika ia diajak bicara tentang perjodohan oleh ayah ibunya, Bi Eng menyerahkan urusan itu kepada orang tuanya dan karena merasa risi, canggung dan malu, ia pun meninggalkan orang tuanya dan memasuki kebun belakang rumahnya. Kebun ini luas, terdapat banyak pohon buah, sayur dan bunga-bunga yang dirawatnya sendiri dibantu oleh para pelayan yang kini telah tewas semua.

Melihat kebunnya, Bi Eng teringat kepada para pembantu yang juga merupakan murid-murid ayahnya dan hatinya bersedih. Apalagi teringat akan pembicaraan ayah ibunya tadi, hatinya menjadi semakin sedih. Ia belum mengenal Sim Houw dan ia tidak tahu apakah ia suka atau tidak menjadi isteri pemuda itu. Ia lebih suka kepada Ceng Liong, walau pun bukan suka sebagai isterinya. Masih terlalu jauh memikirkan hal itu. Ia suka kepada Ceng Liong yang dianggapnya amat baik kepadanya, juga seorang pemuda gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, cucu Pendekar Super Sakti pula!

Tentang Sim Houw, ia tidak tahu sama sekali. Pernah ayah dan ibunya bercerita tentang Sim Hong Bu, yang menurut cerita ayahnya merupakan seorang pendekar gagah perkasa yang kepandaiannya setingkat dengan ayahnya. Bahkan menurut ibunya, pernah terjadi pertandingan antara ayahnya dan Sim Hong Bu dan ayahnya hanya menang tipis saja.

Menurut orang tuanya, keluarga Sim mempunyai ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang masih sesumber dengan Kim-siauw Kiam-sut. Hal ini membuat hatinya penasaran. Kalau begitu, keluarga Sim adalah musuh, atau setidaknya juga saingan! Mengapa sekarang ia akan dijodohkan dengan puteranya? Pikiran ini membuat hati dara remaja itu menjadi bimbang dan penasaran. Keputusan orang tuanya untuk menjodohkannya dengan putera keluarga Sim apakah tidak akan diartikan orang bahwa keluarga Kam merasa takut terhadap keluarga Sim sehingga ingin mengakhiri persaingan itu dengan perjodohan?

Api penasaran dan kemarahan yang mulai bernyala ini menjadi berkobar ketika tiba-tiba ia melihat seorang pemuda berjalan-jalan di dalam tamannya itu. Pemuda itu adalah Sim Houw. Karena ia sedang merasa penasaran dan marah, timbul tidak senangnya melihat pemuda itu dan di dalam pandangan mata yang dipengaruhi perasaan tidak senang itu. Sim Houw kelihatan angkuh dan congkak! Hatinya menjadi semakin panas. Pemuda yang selalu membawa pedang di pinggang itu kelihatan seperti memamerkan pedangnya!

Ketika Sim Houw melihat Bi Eng, mukanya berubah merah, akan tetapi dia melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat. “Selamat pagi, nona Kam. Maafkan, karena mengganggu, aku telah berjalan-jalan di dalam kebunmu yang indah ini tanpa ijin.”

Hemm, ternyata pemuda pendiam ini pandai juga bicara, pikir Bi Eng, akan tetapi perasaan marah dan penasaran membuat ia beranggapan bahwa sikap pendiamnya tempo hari itu tentu hanya palsu saja untuk menarik perhatian!

“Pedang di pinggangmu itu tentulah Koai-liong Po-kiam, bukan?” Tanya Bi Eng tanpa mempedulikan salam dan ucapan orang.

Sim Houw menunduk. Ia memandang pedangnya, merabanya sambil menahan senyum dan menggelengkan kepala. “Bukan, nona. Koai-liong Po-kiam adalah senjata pusaka milik ayahku, pedangku ini biasa saja.”

“Akan tetapi engkau tentu telah mewarisi semua kepandaian ayahmu dan sudah pandai pula memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut!”

“Memang aku pernah mempelajari ilmu silat ayah dan ibu, akan tetapi tidak berani aku mengatakan pandai,” jawab Sim Houw sederhana.

Akan tetapi karena Bi Eng sedang marah, kesederhanaan jawaban itu dianggap sebagai kepura-puraan yang menyembunyikan kesombongan.

“Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pedang yang tiada bandingannya di dunia ini, bukan?”

“Aku tidak beranggapan begitu, nona.”

“Tak perlu berpura-pura. Keluarga Sim sangat membanggakan ilmu pedang itu dan aku ingin sekali merasakan sendiri sampai bagaimana kehebatannya!” Berkata demikian Bi Eng mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang suling emas kecil, panjangnya tidak sampai dua kaki, besarnya hanya seibu jari dan berlubang-lubang seperti sebatang suling biasa.

Sim Houw membelalakkan matanya.

“Ahhh, nona Kam, mana aku berani?” katanya bingung.

“Tidak usah berpura-pura! Orang tua kita pernah saling bertanding, kini apa salahnya jika kita melanjutkan dan menguji kehebatan ilmu masing-masing? Ingin kulihat apakah Koai-liong Kiam-sut sehebat Kim-siauw Kiam-sut kami. Cabutlah pedangmu!”

“Aku.... aku tidak berani, nona. Ayah akan marah....”

“Pengecut! Kau bukan anak kecil dan mau atau tidak, aku tetap akan menyerangmu!”

“Wuuuuttt.... singggg....!”

Suling itu meluncur dan mengeluarkan suara berdesing saat menyambar di atas kepala Sim Houw yang cepat mengelak tadi. Pemuda yang pada dasarnya pendiam ini pun memiliki keberanian besar dan hatinya keras. Dimaki pengecut, mukanya berubah pucat dan dia tidak mau bicara lagi. Ketika suling yang ternyata amat hebat itu berkelebat mendesaknya, pemuda ini pun terpaksa mencabut pedangnya menangkis.

Bi Eng makin penasaran sebab jurus-jurus serangannya dapat dielakkan atau ditangkis lawan, maka ia melanjutkan serangannya semakin dahsyat. Sim Houw terus melindungi diri dan hanya membalas dengan serangan kalau dia betul-betul terdesak. Serangan balasan itu hanya untuk menahan hujan serangan lawan. Maka kini terdengarlah suara suling yang melengking-lengking dan suara pedang di tangan Sim Houw yang mengeluarkan suara mengaum seperti suara singa marah.

Kam Hong dan Ci Sian melihat pertandingan yang amat menarik itu dan diam-diam Kam Hong melihat kenyataan bahwa sesungguhnya tingkat kepandaian pemuda itu masih menang dibandingkan Bi Eng. Bukan karena ilmu silatnya lebih tinggi, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu menang matang dalam latihan, juga memiliki tenaga yang lebih kuat.

Hati pendekar ini merasa puas, juga girang melihat kenyataan betapa pemuda itu bertanding dengan hati-hati dan selalu mengalah. Hal ini menunjukkan bahwa pemuda itu mempunyai kelembutan hati, dan juga kegagahan yang membuat dia berpantang mengalahkan seorang dara remaja dalam suatu perkelahian latihan. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa puterinya sama sekali bukan berlatih, melainkan dengan sungguh hati menyerang pemuda itu untuk mengalahkannya!

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di dekat dua orang yang bertanding itu muncul Sim Hong Bu.

“Tahan....! Houw-ji.... apakah engkau sudah gila? Berani engkau kurang ajar terhadap nona rumah?” bentak Sim Hong Bu dengan marah, mukanya merah dan matanya melotot memandang puteranya.

Sim Houw cepat meloncat mundur dan dengan gerakan kilat, tahu-tahu pedangnya sudah berada kembali di dalam sarung pedang dan dia pun menunduk.

“Aku tidak berani, ayah....,” katanya lirih.

Jawaban ini cukup melegakan hati ayahnya dan Hong Bu kini menoleh kepada dara itu. Tadi dia melihat betapa puteranya mengalah dan betapa dara itu menyerang dengan sungguh hati, maka timbullah kekhawatirannya dan mengira bahwa tentu puteranya melakukan suatu kesalahan maka dara itu menjadi marah.

Kam Hong dan isterinya juga sudah meloncat keluar dari tempat mereka menonton. Ci Sian segera mendekati puterinya dan menegur, “Bi Eng, apa yang terjadi? Kenapa kau menyerang Sim Houw?”

Wajah dara itu menjadi merah. Dasar ia masih remaja dan berdarah panas, ia tidak merasa betapa pemuda itu tadi banyak mengalah dan ia mengira bahwa sulingnya dapat mengungguli pedang lawan sehingga biar pun ia belum dapat mengalahkan Sim Houw, setidaknya ia dapat mendesaknya dan ini berarti bahwa Kim-siauw Kiam-sut lebih lihai dari pada Koai-liong Kiam-sut! Akan tetapi kini ia ditegur ibunya. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia sengaja menantang pemuda itu, bahkan memaksa pemuda itu mengadu ilmu pedang. Dan ia merasa takut kepada ayahnya yang tentu akan marah kalau tahu akan tantangannya. Maka kini ia menjawab.

“Ibu, kami hanya berlatih. Dia.... dia mengajakku berlatih maka kulayani!”

“Houw-ji, benarkah kalian tadi sedang berlatih?” Sim Hong Bu tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya dengan penuh harapan karena dia akan merasa lega kalau dua orang muda itu tadi hanya berlatih, bukan berkelahi sungguh-sungguh yang tentu akan membuat keadaan menjadi tidak enak sekali. Dia datang untuk melamar gadis itu sebagai calon isteri Sim Houw, maka akan repotlah hatinya kalau mereka berdua itu tadi berkelahi sungguh-sungguh.

Sim Houw melirik ke arah Bi Eng yang tengah memandang kepadanya dengan senyum mengejek. Dia mengangguk. “Benar, ayah, kami hanya berlatih, dan nona Kam telah memberi banyak pelajaran kepadaku.”

Mendengar ucapan ini, Bi Eng merasa bangga dan girang sehingga kedua pipinya merah berseri, matanya bersinar dan hidungnya kembang kempis. Ayahnya melihat hal ini dan dia pun tertawa. Pendekar Kam Hong tertawa bergelak menghampiri puterinya.

“Anak bodoh! Kau kira engkau unggul dalam latihan tadi, ya? Hayo lekas mengucapkan terima kasih kepada kakakmu Sim Houw karena ia telah banyak mengalah dan memberi pelajaran kepadamu!”

Lenyaplah seri wajah dara itu, alisnya berkerut. Kegembiraannya lenyap dan berbalik ia menjadi marah. Benarkah pemuda itu tadi mengalah? Jika begitu, dia mempermainkan aku dan diam-diam mentertawakan aku, pikirnya jengkel dan ketika dia melirik, sinar matanya panas mengejutkan Sim Houw.

“Locianpwe, nona Kam tadi benar-benar hebat ilmu sulingnya, saya sungguh merasa kewalahan....”

Kam Hong saling pandang dengan Sim Hong Bu dan keduanya tertawa, sama-sama maklum bahwa Sim Houw sengaja melindungi muka Bi Eng supaya jangan sampai menjadi malu. “Sudahlah, mari kita semua masuk ke dalam. Saudara Sim, kami ingin bicara denganmu sebagai jawaban atas maksud kedatanganmu.”

Mereka lalu masuk ke dalam dan duduk di dalam ruangan dalam. Dua orang pelayan baru yang diambil dari dusun terdekat, kemudian menghidangkan arak dan makanan. Kemudian mereka disuruh mundur dan Kam Hong lalu berkata kepada Sim Hong Bu yang mendengarkan dengan hati penuh harapan.

“Saudara Hong Bu, kami sekeluarga mengulang pernyataan terima kasih kami kepada saudara yang telah mengajak kami untuk mengikat tali kekeluargaan. Pinangan saudara sangat kami hargakan dan dapat kami terima dengan baik, akan tetapi....”

Wajah Sim Hong Bu yang tadinya berseri itu kini berubah dan timbul kerut-merut di antara kedua alisnya karena ucapan tuan rumah itu seperti akan mengusir harapan yang sudah membesar tadi.

“Akan tetapi....?” Dia mengulang ketika Kam Hong menghentikan kata-katanya.

Kam Hong tersenyum. “Jangan salah mengerti, saudara Sim. Kami mempunyai usul atau permintaan, akan tetapi usul kami ini adalah untuk kebaikan kedua pihak.”

Sim Hong Bu menggeser kursinya, bangkit dan memberi hormat. “Saya percaya akan kebijaksanaan Kam-taihiap, katakanlah apa yang taihiap kehendaki dan saya tentu akan mempertimbangkannya dengan seksama.”

“Kami berdua sudah sepakat menerima pinanganmu dan kami akan merasa gembira kalau puteri kami kelak menjadi jodoh puteramu. Akan tetapi, karena mengingat bahwa puteri kami baru berusia lima belas tahun, dan kami pun melihat betapa puteramu juga belum berusia dewasa benar, kami minta agar pernikahan antara mereka sementara ditangguhkan dahulu.”

“Bagus! Memang itu pun menjadi keinginan kami berdua ayah dan ibu Sim Houw. Kami sekeluarga sudah merasa terhormat dan berbahagia andai kata pinangan kami diterima, sedangkan mengenai upacara pernikahan, kami serahkan kepada taihiap berdua, kapan sekiranya waktu yang paling tepat. Kami pun tidak tergesa-gesa dan memang benar bahwa putera kami pun baru berusia enam belas tahun, jadi belum matang benar.”

“Syukurlah kalau begitu, dalam hal ini kita sudah ada kecocokan. Sekarang kami hendak menyampaikan keinginan kami. Sebelum tiba saatnya, biarlah urusan jodoh ini dirahasiakan dahulu, belum terdapat pengikatan apa pun, dan kami minta agar saudara Sim suka mendidik puteri kami, mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepadanya....”

“Ahhh....!” Sim Hong Bu terkejut setengah mati mendengar ini.

Mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain merupakan pantangan besar dan tentu takkan diperkenankan oleh para gurunya. Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pusaka keluarga Cu yang dikuasai olehnya seorang, bahkan guru-gurunya, keluarga Cu tidak ada yang mampu menguasai ilmu itu. Bahkan juga pedang Koai-liong Po-kiam menjadi miliknya. Ilmu itu hanya boleh diwariskan kepada keturunannya dan Sim Houw sudah pula mempelajarinya dengan baik. Kini, mendengar permintaan Kam Hong agar dia menurunkan ilmu itu kepada Bi Eng calon mantunya, dia menjadi ragu-ragu dan terkejut juga. Ada apakah di balik permintaan aneh ini?

“Kalau boleh saya bertanya, mengapa Kam-taihiap mengajukan syarat seperti itu?”

“Saudara Sim, engkau melihat sendiri betapa kami sekeluarga baru saja ditimpa bencana yang mengakibatkan tewasnya enam orang pembantu kami. Melihat ini, timbul gagasanku untuk memberi ilmu yang setinggi-tingginya kepada anak kami. Kami tahu bahwa kedua ilmu kita merupakan ilmu dari satu sumber yang kalau digabungkan akan menjadi semacam ilmu yang amat hebat. Jangan engkau khawatir, saudara Sim. Engkau mendidik dan melatih anak kami selama beberapa tahun sampai ia menguasai Koai-liong Kiam-sut, sedangkan puteramu pun sebagai gantinya akan kami didik di sini untuk mempelajari Kim-siauw Kiam-sut sampai berhasil.”

“Ahhh....!” kembali Sim Hong Bu mengeluarkan seruan, akan tetapi sekali ini bukan seruan kaget dan bimbang melainkan seruan lega dan girang, walau pun masih ada keraguan di dalam hatinya, bagaimana mungkin dia menurunkan Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain.

Dia bangkit berdiri lagi dan menjura. “Saya tahu bahwa Kam-taihiap amat bijaksana dan usul itu memang baik sekali. Akan tetapi tetap saja saya masih belum dapat menangkap maksud yang sebenarnya dari usul taihiap ini. Karena, kalau mereka sudah menjadi suami isteri, bukankah mereka dapat saling mengajarkan ilmu mereka?”

Kam Hong dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum, lalu Bu Ci Sian berkata dengan jujur, “Sudah kukatakan bahwa Hong Bu memang cerdik sekali. Lebih baik kita berterus terang. Beginilah maksud kami. Kalau mereka itu belajar dari kita, kita yang lebih berpengalaman dan sudah mendalam penguasaan kita akan ilmu masing-masing, akan dapat membantu mereka untuk menggabungkan kedua ilmu kita itu sehingga lahir suatu ilmu gabungan yaug amat kuat. Selain itu, sambil mengajar, bukankah kita memperoleh kesempatan banyak sekali untuk lebih mengenal watak dan keadaan calon mantu kita masing-masing?”

Mendengar ucapan ini, Sim Hong Bu tertawa pula dan mengangguk-angguk. “Sungguh bijaksana sekali. Memang tepat. Orang tua tentu akan memilihkan orang yang paling cocok untuk anaknya. Baiklah, aku terima usul itu. Houw-ji, lekas kau memberi hormat kepada calon mertuamu, juga gurumu!”

Dengan muka merah Sim Houw mentaati perintah ayahnya dan dia pun berlutut di depan kaki Kam Hong, menyebut ‘suhu’ lalu memberi hormat di depan kaki Bu Ci Sian sambil menyebut ‘subo’.

Kam Hong dan isterinya tersenyum gembira menerima penghormatan itu. “Bi Eng, lekas kau beri hormat kepada suhu-mu dan calon mertuamu!” kata Kam Hong.

Akan tetapi dara itu memandang ragu. Sejak tadi ia sudah mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut dan muka agak pucat. Walau pun mulutnya tidak mengeluarkan bantahan, namun hatinya sangat tidak setuju. Dara yang berhati keras ini lalu berkata, “Ayah, aku tidak ingin mempelajari Koai-liong Kiam-sut! Dengan ilmu-ilmu kita sendiri, aku merasa sudah cukup untuk melindungi diri sendiri!”

Ucapan dara ini mengejutkan tiga orang pendekar itu. Kam Hong dan isterinya merasa tidak enak sekali dan wajah Kam Hong menjadi merah. Akan tetapi dia tidak marah. Memang sejak kecil dia mendidik puterinya untuk hidup bebas dan memberi kebebasan kepadanya mengeluarkan pendapat dan isi hati. Kini, dara itu bicara terus terang seperti itu, sesungguhnya tak dapat dipersalahkan. Maka, dia pun mendebat, bukan memarahi.

“Bi Eng, jangan engkau tekebur! Lupakah engkau betapa baru beberapa hari yang lalu engkau dirobohkan penjahat? Hal itu tidak akan terjadi kalau ilmu kepandaianmu tinggi, tidak akan terjadi kalau engkau sudah menguasai gabungan antara ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut. Mengapa engkau kini memandang rendah Koai-liong Kiam-sut?”

“Ayah, aku dikalahkan penjahat karena dia menggunakan kecurangan. Pula, kalau aku sampai kalah, tentu karena aku kurang matang berlatih ilmu-ilmu kita sendiri. Aku tadi sudah merasakan Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi tidaklah seberapa hebat. Apa artinya kalau aku membuang waktu bertahun-tahun mempelajarinya? Bukankah lebih baik aku memperdalam ilmu-ilmu yang kudapat dari ayah?”

Hati Kam Hong semakin tidak enak terhadap Sim Hong Bu. “Saudara Sim, harap kau sudi memaafkan kelancangan mulut anak kami.”

Tapi Sim Hong Bu tertawa girang dan wajar, tidak dibuat-buat. “Ha-ha-ha, Kam-taihiap, aku kagum sekali kepada puterimu. Ia memiliki kewajaran dan kejujuran yang amat mengagumkan!”

Ucapan ini bukan basa basi belaka. Pendekar ini di waktu kecilnya adalah seorang pemburu dan hidup di antara keluarga pemburu. Keluarganya, para pemburu, memang sudah biasa dengan sikap wajar dan watak yang jujur berterus terang, maka kini dia merasa kagum sekali melihat dan mendengar betapa dara calon mantunya ini berani mengemukakan pendapatnya sebebas itu tanpa pura-pura!

Tentu saja hati suami isteri itu merasa lega mendengar tanggapan Sim Hong Bu terhadap sikap yang diperlihatkan Bi Eng. Akan tetapi diam-diam Kam Hong merasa malu karena biar pun Bi Eng memperlihatkan kebebasannya bersikap dan berpendapat, namun pendapatnya tentang ilmu silat tadi hanya menunjukkan betapa dara itu masih mentah.

“Bi Eng, engkau bodoh dan tekebur sekali. Memang, biar pun engkau masih kalah matang dalam ilmu silatmu dibandingkan dengan Sim Houw, akan tetapi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut sebanding dengan Ilmu Koai-liong Kiam-sut. Memang kedua ilmu pedang itu dari sumber yang sama, walau pun mempunyai perbedaan besar karena Kim-siauw Kiam-sut memang khusus diciptakan untuk dimainkan dengan suling, adapun Koai-liong Kiam-sut khusus diciptakan untuk dimainkan dengan pedang. Akan tetapi, kalau kedua ilmu itu digabung, kehebatannya menjadi berlipat ganda dan satu di antara kedua ilmu itu kalau dihadapi dengan gabungan kedua ilmu, akan mati kutu.”

“Tapi, bagaimana hal itu dapat dibuktikan sehingga dapat meyakinkan hatiku, ayah?” tanya Bi Eng yang masih merasa penasaran. Ia merasa yakin bahwa ilmu keluarganya masih menang atas ilmu keluarga Sim, maka ia pun segan kalau harus mempelajari ilmu itu. Bukankah dahulu ayahnya juga menang ketika bertanding melawan Sim Hong Bu?

Kembali Sim Hong Bu tertawa. “Ha-ha-ha, jujur, tabah dan juga cerdik, tidak mudah dibujuk. Sungguh watak yang amat baik untuk mempelajari Koai-liong Kiam-sut!” Dia memuji sejujurnya, bukan sembarang memuji untuk menyenangkan hati calon mantu itu.

“Bi Eng, engkau tahu bahwa tingkat kepandaianmu dalam ilmu Kim-siauw Kiam-sut sudah setaraf dengan tingkat ibumu dan aku sendiri belum tentu dapat menundukkanmu kurang dari tiga puluh jurus. Nah, sekarang engkau cobalah hadapi penggabungan ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan oleh ibumu dan saudara Sim Hong Bu. Padahal, kalau dia seorang diri saja, aku berani tanggung bahwa dalam tiga puluh jurus belum tentu dia pun akan dapat menundukkanmu. Lihat kehebatan penggabungan kedua ilmu itu,” kata Kam Hong.

Bu Ci Sian mengerti akan maksud hati suaminya. Ia sendiri dahulu, di waktu gadisnya, pernah menghadapi lawan berat dengan cara bergabung dengan Sim Hong Bu dan hasilnya memang hebat. Ilmu mereka menjadi kuat sekali karena kedua ilmu itu mengandung unsur saling membantu. Maka dengan gembira ia pun mencabut sulingnya dan berkata kepada tamunya.

“Hong Bu, mari kita perlihatkan kepada calon muridmu yang bandel ini!”

Tentu saja Hong Bu merasa tidak enak hati. Akan tetapi dia pun maklum bahwa seorang anak keras hati seperti Bi Eng ini perlu diyakinkan, maka dia pun mencabut pedangnya sambil tertawa. “Baik, aku pun ingin melihat bekal yang dibawa muridku.”

Bukan main kagetnya hati Bi Eng ketika melihat pedang itu dicabut. Terdengar suara mengaum dan nampak sinar yang demikian berkilau menyeramkan sehingga ia pun harus memicingkan matanya. Sungguh sebatang pedang yang luar biasa hebatnya!

Kedua orang tua itu kini sudah memasang kuda-kuda dengan gaya masing-masing menghadapi Bi Eng, bukan mengurung dari kanan kiri atau depan belakang, melainkan maju bersama dari depan. Melihat ini, Bi Eng merasa agak lega. Ia pun tahu bahwa ibunya memiliki gerakan yang amat cepat, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah itu tentu lihai sekali mengingat dia pernah bertanding dengan ayahnya dan kata ayahnya tingkat mereka seimbang. Kalau mereka itu maju mengepung, ia akan repot juga.

Akan tetapi kini mereka maju bersama, biar pun ia tidak mungkin dapat mengharapkan menang, namun setidaknya ia akan dapat membela diri dan akan diperlihatkan kepada mereka bahwa penggabungan kedua ilmu itu pun tidak banyak artinya. Ia akan berusaha mempertahankan diri selama tiga puluh jurus agar ayahnya dan keluarga Sim ayah dan anak itu akan menjadi kecelik dan ia pun tidak usah belajar ilmu kepada ayah Sim Houw!

Dengan tenang ia pun menggerakkan sulingnya, melintang di depan dada, memasang kuda-kuda untuk bertahan sebaik mungkin.

Melihat ini, ibunya lalu berseru, “Bi Eng, kami berdua akan menundukkanmu secepat mungkin. Engkau harus siap menjaga diri dan pergunakan segala daya tahan Kim-siauw Kiam-sut dengan sulingmu!”

Hemm, ibunya terlalu memandang rendah kepadanya, pikir Bi Eng. Masih diberi peringatan dan nasehat pula, seolah-olah ia tidak akan mampu bertahan. Ia telah mengenal semua jurus serangan yang akan dilakukan ibunya dan tahu pula bagaimana harus menghindarkan diri dari jurus itu, dan biar pun ia belum mengenal jurus serangan Koai-liong Kiam-sut, namun dengan mengandalkan kehebatan gerakan sulingnya, mustahil ia akan dapat dikalahkan dalam waktu singkat!

“Baik, ibu. Aku sudah siap! Majulah dan keroyok aku!”

Ci Sian menoleh kepada Hong Bu sambil berkata, “Aku menjadi inti dan engkau pelengkap.”

Hong Bu tersenyum mengangguk dan membiarkan wanita yang pernah menjatuhkan hatinya itu bergerak lebih dulu.

“Singgg....!”

Suling emas di tangan nyonya itu menyambar ke arah kaki puterinya dengan totokan-totokan. Tentu saja Bi Eng mengenal jurus ini dan tahu bahwa cara menghindarkannya adalah meloncat ke atas dan ke belakang. Akan tetapi, pada saat itu, nampak sinar berkelebat dibarengi suara mengaum dan tahu-tahu pedang Koai-liong Po-kiam telah menyambar dari atas dan terus ke arah belakangnya, menutup jalan keluarnya! Bi Eng terkejut dan cepat memutar sulingnya menangkis pedang itu.

“Cringg....! Tukk....!”

Dan dia pun roboh terguling. Ketika dia menangkis pedang, ternyata perhatiannya ke bawah menjadi lengah dan dengan mudah ibunya telah menotok betisnya sehingga betis itu menjadi kesemutan dan tanpa dapat ditahan lagi ia pun terguling.

Dengan muka merah Bi Eng meloncat bangun lagi. “Aku masih belum puas!” teriaknya.

“Sekarang engkau penyerang inti dan aku pelengkap!” kata Ci Sian kepada Hong Bu sambil tersenyum. Hong Bu mengangguk.

“Nona, awas serangan!” Pedangnya berkelebat dan nampaklah gulungan sinar pedang menyambar dengan lengkungan indah, menyambar ke arah leher dan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut.

Bi Eng mengelak dan menggerakkan sulingnya menangkis. Ketika itu, suling di tangan ibunya berkelebat ke arah pinggangnya. Ia pun tahu bagaimana harus menghindarkan serangan ini, akan tetapi karena pedang tadi mengancam perutnya, ia tidak dapat menangkis pedang dan suling sekaligus dan terpaksa hanya menangkis pedang sambil meloncat ke belakang menghindarkan suling ibunya. Akan tetapi pedang itu meluncur terus dari atas, membuat ia terpaksa memutar suling ke atas dan saat itu, kaki Hong Bu menyambar, ujung sepatunya menyentuh lutut dan kembali Bi Eng terguling roboh!

Kini Bi Eng yakin akan kehebatan penggabungan dua ilmu itu. Rasanya tidak mungkin ia dapat dirobohkan sedemikian cepatnya oleh seorang di antara mereka. Gerakan dua orang itu begitu tepat pada waktunya, dan kedua senjata itu saling bantu secara tepat pula, menutup jalan keluar dan menyambung serangan dengan serangan lain yang tak terduga-duga.

Sebagai seorang yang keras hati namun jujur dan memegang teguh janjinya, Bi Eng lalu menyelipkan suling di pinggang dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sim Hong Bu seperti yang dilakukan Sim Houw tadi sambil berkata, “Suhu....!”

Sim Hong Bu tertawa girang. “Ha-ha, anak baik.... anak baik....”

Akan tetapi muridnya yang dipuji sebagai anak baik itu seorang anak yang bandel dan kritis. “Suhu, teecu memang telah dijatuhkan dua kali secara mudah. Akan tetapi, yang maju adalah ibu dan suhu berdua, berarti teecu dikeroyok dua. Kalau yang maju seorang saja, biar pun sudah memiliki kedua ilmu itu, mana mungkin? Seorang dan dua orang tentu berbeda sekali!”

“Anak baik, kalau engkau sudah menguasai kedua ilmu itu dan menggabungnya, gerakanmu akan jauh lebih lihai dari pada penggabungan yang dimainkan dua orang. Gerakanmu menjadi otomatis. Karena sejak kecil engkau telah menguasai Kim-siauw Kiam-sut, biarlah ilmu itu akan menjadi penyerang inti, sedangkan Koai-liong Kiam-sut menjadi pelengkapnya, dan untuk itu tangan kirimu akan memegang sebatang pedang pendek atau pisau belati.”

“Bi Eng, kata-kata suhu-mu itu tepat sekali. Tadi pun mereka berdua maju dengan jurus-jurus yang saling melengkapi, bukan merupakan jurus terpisah. Dan kelak engkau akan mainkan Kim-siauw Kiam-sut yang dilengkapi oleh Koai-liong Kiam-sut, sebaliknya Sim Houw akan memainkan Koai-liong Kiam-sut dengan pedang di tangan kanan, dilengkapi oleh Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling di tangan kiri.”

“Bagus sekali! Dan kita sama lihat saja kelak siapa di antara keduanya yang lebih lihai!” kata Sim Hong Bu dengan suara setengah bersorak. “Kurasa tiga tahun pun sudah cukup karena sumber kedua ilmu itu sama sehingga tidak sukar mempelajari gerakan dasar pada kaki.”

“Benar!” kata pula Kam Hong gembira. “Tiga tahun lagi dan kita boleh coba murid kita masing-masing, gabungan siapa yang lebih jitu!”

Diam-diam Bu Ci Sian tersenyum geli. Dua orang pendekar itu begitu gembira dengan murid baru mereka sehingga seperti bersaing, agaknya sudah lupa bahwa murid saingan masing-masing adalah anak sendiri dan juga agaknya sudah lupa akan urusan perjodohan.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es