KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-35


Begitu melihat siapa yang datang, Hek-i Mo-ong mendorong tangan muridnya dengan halus dan dia pun seperti memperoleh kekuatan baru, bangkit duduk kemudian berdiri menghadapi Pendekar Suling Emas dan isterinya!

“He-he-heh, orang she Kam! Engkau datang untuk melanjutkan perkelahian denganku? Baik, hayolah, aku sudah siap!” katanya menantang.

Tentu saja Kam Hong menjadi marah. Gara-gara kakek ini dan kaki tangannya, dia kehilangan nyawa beberapa orang murid, bahkan puteri mereka pun terculik dan nyaris celaka.

“Hek-i Mo-ong, orang seperti engkau ini adalah iblis jahat yang sudah sepatutnya dienyahkan dari muka bumi!” bentak Kam Hong, siap untuk menyerang.

“Ha-ha-ha, biar jahat seperti aku atau baik seperti engkau, kita semua pada akhirnya akan lenyap dari muka bumi! Hayo, sudah lama aku menanti saat ini, dan aku tidak akan merasa penasaran kalau engkau yang mengantar kematianku, orang she Kam, karena engkaulah yang berhasil mengalahkan aku!”

Keadaan kakek itu sebetulnya sudah payah sekali, bicara pun sudah terengah-engah, sudah lebih mendekati mati dari pada hidup. Akan tetapi dia kelihatan sangat gembira menghadapi kematiannya. Dengan kedua tangan membentuk cakar penuh pengerahan hawa sakti dari Ilmu Coan-kut-ci, dia berdiri menghadapi musuh besarnya.

Akan tetapi, Kam Hong adalah seorang pendekar besar yang pantang melakukan hal-hal yang rendah atau licik. Dia sudah melihat betapa payah keadaan musuhnya, maka biar pun dia marah sekali mengingat betapa kakek iblis ini telah menyebabkan tewasnya para pelayannya yang dianggap sebagai murid-murid pula, namun dia nampak ragu-ragu untuk menyerang orang yang sudah tidak mampu melawan lagi.

Mendadak nampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda remaja sudah berdiri menghadang di antara pendekar ini dan kakek iblis itu. Pemuda yang bertubuh tinggi tegap, wajahnya cerah dan gagah, sinar matanya mencorong aneh, akan tetapi belum dewasa benar sehingga nampak lucu bahwa seorang pemuda remaja yang masih hijau itu berani berdiri menghadapi dan menentang seorang pendekar seperti Kam Hong!

“Suhuku sudah terluka dan tidak dapat melawan, biarlah aku yang menggantikannya menghadapimu kalau engkau hendak menyerangnya,” kata Ceng Liong dengan sikap tenang sekali, menandakan bahwa nyalinya amat besar dan dia tidak takut menghadapi lawan yang berpakaian sasterawan sederhana ini. Dia pun tahu dari ucapan gurunya tadi bahwa sasterawan inilah musuh besar gurunya yang dapat diduganya tentu lihai bukan main.

Kam Hong mengerutkan alisnya. Kini dia tahu bahwa tentu pemuda ini yang mengaku murid Hek-i Mo-ong yang telah menculik Bi Eng. “Hemm, tidak patut aku menyerang seorang bocah, akau tetapi mengingat engkau murid iblis tua ini, sudah semestinya kalau aku mengenyahkan engkau pula yang tentu akan menjadi lebih jahat dari pada gurunya kelak!”

Akan tetapi anak muda itu hanya terus berdiri memandangnya dan tidak juga bergerak menyerang.

“Majulah,” kata Kam Hong. “Engkau boleh mewakili gurumu menghadapiku!”

Akan tetapi Ceng Liong menggeleng kepala. “Aku tidak ingin memusuhi siapa pun juga, akan tetapi aku harus melindungi guruku dari serangan siapa pun juga!”

Kerut di antara alis pendekar itu mendalam dan dia mengeluarkan dengus mengejek dari hidungnya. “Hemm, seorang murid yang berbakti, ya? Murid iblis tua tentu menjadi calon iblis pula!”

“Heh-heh-heh, muridktu yang baik! Tidak percuma aku mendidikmu bertahun-tahun dan mewariskan semua ilmuku kepadamu. Lebih baik menjadi murid iblis akan tetapi berbakti dari pada menjadi murid pendekar akan tetapi murtad, heh-heh!” Hek-i Mo-ong terkekeh, akan tetapi terpaksa dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena kata-katanya dan tawanya tadi membuat darah mengucur keluar lagi dari luka di dadanya.

“Hahh!” Kam Hong sudah menyerang dengan tamparan kilat ke arah leher Ceng Liong. Tamparan yang selain amat cepat, juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat sehingga terdengar suara angin mendesis.

“Dukk! Dukk! Dukkk!”

Tiga kali Kam Hong melakukan tamparan bertubi yang amat hebat, akan tetapi semua serangan itu dapat ditangkis dengan baiknya oleh Ceng Liong. Barulah mata Kam Hong terbelalak ketika dia merasa betapa tangkisan-tangkisan itu selain cepat dan tepat, juga mengandung tenaga yang hebat, yang mampu menahan tenaganya sendiri! Tahulah dia bahwa ucapan Hek-i Mo-ong tadi tidaklah bualan belaka. Anak ini, biar pun masih muda, telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakek iblis itu!

Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya, pada saat itu, andai kata diadukan antara Hek-i Mo-ong dengan Ceng Liong, agaknya kakek itu pun belum tentu akan mampu mengalahkan muridnya, terutama sekali dalam hal tenaga sakti. Seperti kita ketahui, Suma Ceng Liong telah mewarisi tenaga sakti dari kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti Suma Han. Selain itu, pemuda tanggung ini juga telah mewarisi semua ilmu yang dimiliki Hek-i Mo-ong.

Setelah merasa yakin akan kelihaian lawan yang amat muda ini, Kam Hong tidak mau membuang waktu lagi dan dia pun mencabut suling emasnya. Sinar emas berkilat menyilaukan mata ketika suling tercabut dan melihat ini, tiba-tiba saja Bi Eng melompat ke depan. Gadis ini sejak tadi dirangkul oleh ibunya yang merasa lega dan girang sekali melihat bahwa puterinya dalam keadaan sehat dan selamat.

Tadinya, Bi Eng juga diam saja tidak mau mencampuri urusan antara Hek-i Mo-ong dan ayahnya karena ia pun tahu bahwa Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya datang untuk memusuhi dan menyerbu keluarga ayahnya sehingga mengakibatkan tewasnya para pelayan. Namun ketika ia melihat ayahnya menyerang Ceng Liong, kemudian ayahnya mencabut suling emas, hatinya merasa ngeri. Ia tahu akan kehebatan suling emas di tangan ayahnya dan ia tidak ingin ayahnya membunuh Ceng Liong yang telah begitu baik terhadap dirinya.

“Ayah....! Jangan....!” teriaknya sambil melompat.

Kam Hong terkejut, juga heran sekali melihat puterinya mencegahnya menyerang murid musuh besar yang berbahaya itu. Dia menunda gerakannya, berdiri dan memandang puterinya dengan mata tajam dan alis berkerut tak senang.

“Bi Eng! Kau kenapakah?” bentak ayah ini.

Tentu saja dia marah. Bukankah para pelayannya telah terbunuh oleh musuh, bahkan Bi Eng sendiri diculik. Sekarang, anaknya itu malah melarangnya membunuh musuh yang jahat ini!

Bi Eng maklum apa yang dipikirkan ayahnya, maka ia dengan cepat maju dan berdiri di dekat Ceng Liong dengan sikap seperti hendak melindungi pemuda itu dari kemarahan ayahnya.

“Ayah, jangan serang dia! Ceng Liong tidak bersalah apa-apa....!”

“Hemm, bukankah dia murid iblis tua itu?” tanya Kam Hong meragu.

“Benar, akan tetapi dialah yang menyelamatkan aku, ayah. Aku roboh oleh penjahat cabul dan tentu akan celaka kalau tidak dibawa lari dan diobati oleh Ceng Liong ini. Ayah, dia telah menyelamatkan puterimu, apakah sekarang, sebagai imbalannya ayah hendak membunuhnya?”

Kam Hong menjadi bingung. Tentu saja dia merasa heran. Pemuda yang lihai ini adalah murid Hek-i Mo-ong, lalu bagaimana dia harus bersikap kalau murid musuh besarnya itu menolong puterinya.

“Tapi.... tapi mereka membunuh para pelayan kita....!”

“Bukan Ceng Liong yang membunuh, melainkan penjahat cabul itu dan gurunya!” Bi Eng membela.

Kam Hong mengangguk-angguk. Dia tahu siapa yang dimaksudkan puterinya dengan penjahat cabul itu. Tentu pemuda lihai yang menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok itu. Kalau memang pemuda remaja ini tidak ikut melakukan pembunuhan, dan bahkan sudah menyelamatkan Bi Eng, memang tidak layak kalau dia membunuhnya.

“Baik,” katanya, “akan tetapi suruh dia minggir agar aku dapat membunuh raja iblis jahat Hek-i Mo-ong itu.” Dia pun melangkah maju dengan suling di tangannya.

“Siapa pun hanya dapat menyerang suhu dengan melangkahi mayatku!” kata Ceng Liong, sikapnya tenang akan tetapi suaranya terdengar tegas.

Sikap pemuda ini kembali membangkitkan kemarahan di hati Kam Hong. Siapakah orangnya yang tidak akan marah kalau menghalangi dia menghukum iblis yang telah menyebar maut di tempat tinggalnya?

“Ayah, Hek-i Mo-ong juga telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan.... dia berkorban nyawa untuk membelaku....”

“Apa....?!” Ayahnya bertanya, terkejut juga kini karena pernyataan puterinya itu sungguh tak disangkanya.

“Aku dirobohkan oleh penjahat cabul lalu ditolong oleh Ceng Liong. Akan tetapi aku terluka parah karena pukulan beracun penjahat itu. Ketika penjahat-penjahat guru dan murid itu hendak merampasku, kakek ini mempertahankan dan dia membunuh guru penjahat itu akan tetapi dia sendiri terluka. Dan luka beracun di tubuhku juga diobati oleh Hek-i Mo-ong.”

Kembali Kam Hong menjadi bingung, tak tahu harus berbuat apa. Dia tahu benar bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk kaum sesat, seorang penjahat besar yang kejam dan ganas. Entah berapa banyak orang yang celaka atau tewas di tangannya. Akan tetapi, kakek itu telah menyelamatkan puterinya. Kalau sekarang dia menyerang dan membunuhnya, apakah dia tidak akan merasa menyesal selama hidupnya? Akan tetapi, kalau dia tidak turun tangan, berarti pula bahwa dia membiarkan saja penjahat keji berkeliaran dan ini bertentangan dengan watak seorang pendekar.

Hek-i Mo-ong yang duduk bersila itu kini membuka matanya memandang, mulutnya menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum mengejek, akan tetapi dia tidak berani tertawa karena luka di dalam tubuhnya amat parah. Dengan mengerahkan kekuatan terakhir yang masih bersisa, dia berkata, “Orang she Kam, lihat bagaimana seorang jahat dan sesat seperti aku dibela oleh dua orang muda yang gagah! Dan yang seorang puterimu sendiri malah. Hati siapa takkan bangga dan senang? Jangan khawatir, tanpa kau turun tangan pun aku takkan hidup lama lagi. Akan tetapi sebelum mati aku ingin memberi tahu kepadamu bahwa puterimu ini akan menjadi isteri muridku....”

“Apa?! Tidak mungkin! Hek-i Mo-ong, aku tidak akan membunuhmu karena engkau pernah menolong puteriku, akan tetapi jangan harap lebih dari pada itu. Sampai mati kami tidak sudi berbesan denganmu!”

“Tapi.... tapi.... puterimu telah berjanji untuk menjadi isteri Ceng Liong muridku ini!”

Kam Hong dan isterinya terkejut dan Bu Ci Sian yang sejak tadi hanya menonton saja, tiba-tiba menjadi marah. “Bi Eng! Apa artinya ini? Benarkah engkau berjanji seperti itu?”

“Tidak, ibu. Aku tidak pernah berjanji!” jawab Bi Eng dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi Bu Ci Sian yang biasanya berwatak keras, hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja ia dapat merubah kekerasannya di bawah pimpinan suaminya, masih belum puas dengan jawaban itu. Hati ibu ini sungguh merasa khawatir kalau membayangkan puterinya akan menjadi isteri murid seorang datuk seperti Hek-i Mo-ong, walau pun ia harus mengakui bahwa pemuda remaja itu gagah, tampan dan juga berilmu tinggi seperti yang dilihatnya tadi ketika pemuda itu mampu menahan serangan suaminya.

“Bi Eng, katakanlah, apakah engkau mau menjadi mantu seorang penjahat terkutuk seperti Hek-i Mo-ong itu? Apakah engkau mau menjadi calon isteri murid orang sesat ini?”

Didesak oleh ibunya seperti itu, Bi Eng menggeleng kepalanya. Ia sendiri sebetulnya tidak pernah mempertimbangkan hal itu. Ketika Hek-i Mo-ong mengajukan syarat agar ia berjanji mau menjadi calon isteri Ceng Liong untuk diobati, ia menolak keras, bukan karena ia membenci Ceng Liong melainkan karena ia tidak sudi ditekan dan ia tidak mau tunduk. Namun mengenai perjodohannya, sama sekali ia tidak pernah memikirkan. Biar pun demikian, ketika didesak ibunya, dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia merasa tidak enak dan jalan satu-satunya bagi Bi Eng hanyalah dengan menolak.

“Tidak, ibu, aku tidak mau.”

Hening sejenak setelah dara itu memberikan jawabannya dan diam-diam Ceng Liong merasa sesuatu yang amat tidak enak dalam hatinya. Dia sendiri sama sekali belum pernah memikirkan tentang perjodohan dan perasaannya terhadap Bi Eng hanyalah perasaan suka biasa saja. Kalau tadi dia bersikeras menolong dara itu adalah karena terdorong rasa iba dan karena pada dasarnya dirinya memang tidak senang melihat kejahatan dilakukan orang di depan matanya.

Biar pun demikian, melihat dan mendengar betapa dara itu dan ayah bundanya jelas memperlihatkan sikap tidak suka kepadanya, merupakan suatu hal yang amat tidak enak. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau membuka mulut dan hanya memandang kepada suhu-nya dengan hati kasihan. Dia sudah berjanji kepada gurunya untuk kelak menjadi suami dara ini, bukan karena memang dia sudah mengambil keputusan itu, melainkan hanya untuk menyenangkan hati gurunya dan agar kakek itu mau mengobati Bi Eng.

“Hemm, kakek iblis! Engkau mendengar sendiri bahwa puteriku tidak sudi menjadi isteri muridmu!” kata nyonya itu dengan hati lega.

Hati Ceng Liong diliputi rasa iba melihat betapa gurunya yang sudah tua itu sekarang memandang dengan mata sayu dan wajah kakek yang biasanya keras itu kini nampak begitu kecewa hingga mewek-mewek bagai anak kecil yang mau menangis. Sepasang mata kakek itu yang sudah mulai kehilangan sinarnya memandang kepada Ceng Liong, kemudian kepada Bi Eng dengan penuh duka, kemudian kepada suami isteri pendekar itu.

“Tapi.... tapi.... muridku sudah berjanji akan menjadi suaminya.... dan aku.... ahh, aku tidak akan dapat mati dengan tenang kalau mereka belum terikat jodoh....” Seluruh sikap dan kata-kata, terutama pandang mata kakek itu penuh diliputi kekecewaan dan penyesalan yang amat menyedihkan.

Akan tetapi, tentu saja hal ini hanya terasa oleh Ceng Liong. Bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian, sikap itu tentu saja malah menjengkelkan sekali. Puteri tunggal mereka hendak dijodohkan dengan murid datuk sesat itu? Sungguh merupakan suatu penghinaan besar! Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu pernah menyelamatkan Bi Eng dan kini berada dalam keadaan luka parah sekali, tentu Kam Hong atau Bu Ci Sian sudah menyerangnya.

“Hek-i Mo-ong,” kata Kam Hong dengan sikap tenang, mendahului isterinya yang dikhawatirkannya akan mengeluarkan kata-kata keras. “Engkau tentu tahu bahwa kami sekeluarga tidak sudi mengikat pertalian keluarga denganmu. Puteri kami tidak suka menjadi calon isteri muridmu, juga kami berdua sebagai ayah bundanya tidak sudi. Maka, tidak perlu kau melanjutkan mimpi kosongmu itu. Bi Eng, mari kita pulang!” kata Kam Hong mengajak puterinya dan isterinya untuk meninggalkan tempat itu.

“Kam Hong, kau.... kau....!” Hek-i Mo-ong meloncat bangun berdiri dan menerjang ke depan, maksudnya untuk menyerang pendekar itu yang sudah melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan roboh terguling.

“Suhu....!” Ceng Liong dengan sigap merangkulnya dan ternyata kakek itu terkulai lemas dalam pelukannya, tak bernapas lagi!

Kakek itu tewas dengan muka membayangkan kekecewaan dan kedukaan, juga matanya terbuka melotot penuh rasa penasaran! Setelah merasa yakin bahwa kakek itu sudah tidak bernyawa lagi, Ceng Liong merebahkannya di atas tanah dengan sikap tenang.

Kam Hong bertiga tidak jadi pergi dan mereka memandang kepada Ceng Liong. Kemudian Kam Hong melangkah maju. “Orang muda, ketahuilah bahwa permusuhan antara Hek-i Mo-ong dan kami dimulai oleh kejahatan kakek yang menjadi gurumu itu. Kini, di akhir hidupnya dia masih membawa teman-teman menyebar maut sehingga menewaskan para pelayan yang juga menjadi murid-muridku. Akan tetapi, karena dia telah menyelamatkan puteri kami, maka aku sudah membuang rasa permusuhan itu. Kini dia sudah mati, engkaulah murid yang mewarisi kepandaiannya. Nah, jika memang engkau mempunyai dendam terhadap kami dan ingin melanjutkan sikap bermusuh mendiang gurumu, silakan agar urusan itu dapat diselesaikan sekarang juga.” Jelaslah bahwa sikap dan ucapan Kam Hong merupakan tantangan.

Sebenarnya bukan ini maksud hati pendekar itu. Dia dapat melihat betapa pemuda remaja itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan kalau kelak sudah dewasa dan matang, akan merupakan lawan yang amat berbahaya sekali. Selain itu, sikap pemuda itu juga sama sekali tidak mirip penjahat. Maka kini dia mempergunakan kesempatan itu untuk menyelesaikan dan menghabiskan permusuhan antara dia dengan pihak Hek-i Mo-ong sampai di situ saja. Dia mengharapkan pemuda itu agar mau menyadari keadaan, bahwa setelah raja iblis itu tewas maka tidak ada lagi persoalan yang perlu dijadikan bahan permusuhan, akan tetapi kalau pemuda itu masih mendendam, tentu saja dia ingin segera diadakan perhitungan agar beres.

Bagaimana pun juga, Ceng Liong adalah seorang pemuda yang darahnya masih panas. Bertahun-tahun lamanya dia ikut Hek-i Mo-ong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa menegangkan bersama gurunya itu, dan dia merasakan betul kasih sayang gurunya terhadap dirinya. Gurunya telah mewariskan semua kepandaiannya kepadanya dan gurunya telah menunjukkan cintanya dengan berbagai cara, membelanya mati-matian. Biar pun dia tahu bahwa gurunya adalah seorang tokoh bahkan datuk kaum sesat, namun dia tidak pernah melihatnya melakukan kejahatan, dan terhadap dirinya amat baik.

Memang dia melihat dan mengalami sendiri, betapa gurunya bersekongkol dengan datuk-datuk lain telah menyerbu Pulau Es dan menyebabkan terbasminya kakek dan para neneknya di pulau itu. Akan tetapi hal itu terjadi karena ada dendam permusuhan antara mereka.

Dia sendiri tak menyetujui cara hidup gurunya. Andai kata suhu-nya tidak menolong dan menyelamatkan nyawanya berkali-kali, tentu dia sendiri akan memusuhi Hek-i Mo-ong sebagai musuh besar keluarganya. Kini, melihat Hek-i Mo-ong membela dia dan Bi Eng sampai berkorban nyawa, hatinya terharu dan berduka juga. Dan mendengar tantangan Kam Hong, hatinya terasa panas. Pendekar ini telah memperlihatkan sikap angkuh dan menghina terhadap Hek-i Mo-ong.

Dia sendiri tidak menyesal kalau tidak diperbolehkan berjodoh dengan Bi Eng karena hal itu adalah kehendak gurunya, bukan kehendaknya sendiri. Namun cara penolakan keluarga Kam itu terhadap gurunya sungguh menghina. Dan kini dia ditantang!

“Kam-locianpwe,” katanya dengan sikap dan nada suara menghormat. “Aku tak pernah mencampuri urusan pribadi suhu dan ini memang telah menjadi janji antara kami. Kalau aku membelanya di waktu dia masih hidup, hal itu adalah sepatutnya mengingat dia guruku. Kini dia telah tewas, dan aku tidak mendendam kepada siapa pun juga. Akan tetapi, pernyataanku ini bukan sekali-kali berarti bahwa aku takut. Kalau ada yang masih hendak memperlihatkan rasa bencinya kepada suhu, dan setelah suhu meninggal kini hendak memperlihatkannya melalui aku sebagai muridnya, aku pun tak akan mengelak. Kalau memang locianpwe hendak memusuhi aku sebagai murid suhu, aku pun tidak akan melarikan diri.”

Ucapan pemuda ini terdorong oleh rasa panas mendengar tantangan Kam Hong tadi. Walau pun dia bersikap hormat, ucapannya mengandung penyambutan tantangan!

Kam Hong tersenyum dan dia akan merasa malu kalau harus mundur. Apalagi dia didahului isterinya yang berkata, “Kalau gurunya seperti Hek-i Mo-ong, mana mungkin muridnya orang baik-baik? Aku khawatir anak ini kelak akan lebih jahat dari pada gurunya!” Bu Ci Sian memang sejak gadis memiliki watak keras dan hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja dia tidak begitu binal lagi. Akan tetapi ia sudah biasa mengeluarkan semua isi hatinya melalui kata-kata tanpa sungkan-sungkan lagi.

“Hemm, orang muda. Engkau telah kematian gurumu, akan tetapi aku pun kematian enam orang muridku. Biar pun para muridku itu bukan tewas di tangan gurumu, akan tetapi sesungguhnya gurumulah yang menjadi biang keladinya sehingga mereka tewas. Agaknya biar pun di antara kita pribadi tidak ada dendam, namun kita telah berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Dari pada berlarut-larut, marilah kita selesaikan urusan itu sekarang saja. Nah, kau majulah, orang muda!”

Ini merupakan tantangan terbuka bagi Ceng Liong. Lebih dari itu malah, pendekar itu telah mencabut suling emasnya dan memegang senjata itu dengan sikap siap tempur.

Wajah Ceng Liong berubah merah dan dia menahan kemarahannya. Gurunya sering kali mengatakan bahwa kalau kaum sesat dianggap jahat, sebaliknya kaum pendekar amat angkuh dan tinggi hati, selalu memandang rendah kepada golongan lain yang dianggap sesat dan jahat. Dia sendiri memang tidak membenarkan orang-orang yang suka melakukan kejahatan seperti mendiang Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu, akan tetapi sikap para pendekar yang tinggi hati seolah-olah menyudutkan golongan lain itu sehingga mereka tidak akan dapat merubah jalan kehidupan mereka, bahkan sikap para pendekar itu akan membuat mereka menjadi semakin menjauh dan ganas.

“Locianpwe, sekarang aku sudah bebas, berdiri sendiri. Maka, kalau locianpwe hendak menantangku, maka tantangan itu langsung kuterima pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Hek-i Mo-ong. Dan karena locianpwe menantang, aku pun tidak akan mundur selangkah pun. Siapa yang menantang dia yang harus menyerang dulu. Nah, silakan!”

Dia pun sudah siap memasang kuda-kuda dan karena selama ini memang dia tidak pernah memegang senjata, maka dia pun menghadapi pendekar itu dengan tangan kosong saja! Melihat sikap pemuda yang menantangnya seperti itu, wajah Kam Hong juga menjadi merah.

“Bagus, orang muda. Kuhargai kegagahanmu. Nah, keluarkanlah senjatamu!”

“Aku hanya memiliki sepasang lengan dan sepasang kaki, itulah senjataku!”

Tentu saja Kam Hong merasa malu kalau harus menghadapi seorang lawan muda dengan suling emasnya, maka dia pun menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya, kemudian dengan kedua tangan di pinggang, dia maju menghampiri Ceng Liong.

“Orang muda, lihat seranganku!” katanya.

Kam Hong pun menerjang dengan amat cepatnya. Pada waktu itu, tingkat kepandaian Kam Hong sudah amat tinggi. Serangannya itu membawa hawa pukulan yang dahsyat hingga angin pukulannya sudah terasa oleh Ceng Liong, menyambar dan mengeluarkan suara bersiutan. Hebatnya, bukan hanya tangan kiri itu saja yang menyambar sebagai alat penyerang ampuh, juga ujung lengan baju yang panjang itu mendahului tangan menyambar, membuat totokan ke arah leher Ceng Liong, sedangkan jari-jari tangan itu menampar ke dada.

Melihat dahsyatnya pukulan orang, Ceng Liong yang memang sudah tahu betapa lihainya lawan, cepat mengelak dengan geseran-geseran kaki ke kiri, masih belum mau balas menyerang. Dia harus mempelajari dulu bagaimana perkembangan serangan lawan yang lihai ini.

Akan tetapi, ujung lengan baju dan tangan pendekar she Kam itu tidak melanjutkan pukulannya. Tangan kirinya ditarik mundur dan kini tangan kanan yang menyambar, mengikuti arah elakan Ceng Liong. Dan kini tangan kanan yang memukul itu melayang tanpa suara, tidak membawa angin seolah-olah tidak mengandung tenaga sedikit pun.

Heranlah hati pemuda itu. Mengapa pendekar selihai ini menggunakan pukulan yang sama sekali tidak mengandung sinkang, seperti pukulan orang biasa saja, bahkan lebih lembut dan lunak? Apakah pendekar itu memandang rendah kepadanya sehingga sengaja melakukan serangan seperti itu ringannya? Dia merasa penasaran kalau dipandang rendah, maka dia pun kini menangkis dengan pengerahan tenaga untuk membuat lengan lawan yang lemah itu terpental.

“Dukkk!”

Tubuh Ceng Liong terpental ke belakang, sebaliknya Kam Hong terpaksa melangkah dua tindak. Keduanya terkejut. Kam Hong tidak mengira bahwa pemuda itu akan mampu membuatnya terdorong mundur dua langkah. Sebaliknya, Ceng Liong terkejut dan merasa heran. Jelas bahwa pukulan lawannya tadi tidak mengandung tenaga sinkang tetapi begitu ditangkisnya, dia merasa betapa tenaga tangkisannya membalik dan membuat dia terpental tanpa dapat dipertahankannya lagi.

Akan tetapi dengan ringan dia mampu berjungkir balik dan tidak sampai terhuyung. Dia makin waspada. Memang tadi Kam Hong mempergunakan Ilmu Khong-sim Sin-ciang, ilmu pukulan wasiat dari Khong-sim Kai-pang. Keistimewaan ilmu ini adalah seperti Ilmu Silat Bian-kun (Silat Kapas) yang mengutamakan kekosongan dan kelembutan untuk melawan kekerasan. Maka Ceng Liong yang mempergunakan sinkang tadi terpukul oleh kekuatannya sendiri yang membalik.

Ceng Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Begitu bertemu tenaga, dia pun maklum akan sifat ilmu yang dipergunakan lawan. Sekarang dia pun membalas dengan serangannya yang dahsyat. Karena maklum bahwa menghadapi lawan seperti Kam Hong ini dia tidak boleh memandang ringan sama sekali, begitu menyerang dia pun mempergunakan ilmunya yang paling ampuh dan paling baru, yaitu Coan-kut-ci!

Melihat serangan dengan jari-jari tangan yang meluncur demikian cepatnya, sambil mengeluarkan bunyi bercicitan, Kam Hong terkejut.

“Ilmu keji....!” serunya.

Dia pun tidak berani sembarangan menangkis melainkan mengelak. Akan tetapi, ilmu ini memang hebat, bukan hanya ampuh karena dipenuhi tenaga kuat, melainkan juga mukjijat dan mengandung hawa mengerikan karena ketika melatih, yang dipergunakan sebagai sasaran adalah tulang-tulang dan tengkorak manusia. Jari-jari tangan ilmu ini seolah-olah dapat mencium tulang dan seperti ada daya tarik sembrani. Maka, biar pun Kam Hong sudah bergerak mengelak, jari-jari tangan Ceng Liong tetap saja menyambar dan mengikuti ke mana arah elakan lawan dengan cepat sekali, seolah-olah setiap batang jari hidup sendiri-sendiri seperti ular-ular yang ganas.

“Plak-plak-plakk!”

Terpaksa Kam Hong menangkis beberapa kali untuk memunahkan daya serang lawan. Agaknya, mengelak saja dari serangan Coan-kut-ci ini amat berbabaya dan setelah berturut-turut dia menangkis dengan pengerahan sinkang, barulah daya serang jari-jari tangan itu dapat ditolak. Kembali kedua pihak merasa lengan mereka tergetar hebat oleh beradunya kedua tangan itu.

“Ayah, jangan serang dia! Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Dia adalah Suma Ceng Liong, keluarga para pendekar Pulau Es!” Tiba-tiba Bi Eng berteriak karena dara ini merasa khawatir melihat perkelahian antara ayahnya dan Ceng Liong.

Mendengar ini, Kam Hong dan juga Bu Ci Sian mengeluarkan seruan kaget, bahkan Kam Hong sudah cepat meloncat ke belakang seperti diserang ular. Matanya terbelalak memandang wajah pemuda remaja yang tampan itu dan alisnya berkerut.

“Apa katamu....?” Dia berseru kepada puterinya, akan tetapi matanya tetap menatap wajah Ceng Liong. “Dia.... dia she Suma....?”

“Ayah, Ceng Liong adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, Hek-i Mo-ong yang memberi tahu padaku,” kata Bi Eng.

Kam Hong masih memandang heran. Sikapnya sudah berbeda, tidak lagi siap tempur. Bahkan dia kini bertanya halus. “Orang muda, benarkah engkau cucu Suma Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalau benar demikian, bagaimana engkau dapat menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong? Sungguh sukar dipercaya....”

Ceng Liong mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara tegas, “Kam-locianpwe, orang tak dapat dinilai begitu saja dari namanya. Urusan bagaimana aku menjadi murid Hek-i Mo-ong adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan siapa pun juga. Kam-locianpwe, selamat tinggal!”

Dia lalu menghampiri mayat Hek-i Mo-ong, mengangkat dan memondongnya, kemudian meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa mau menoleh lagi.

“Ceng Liong....!” Bi Eng memanggil, akan tetapi pemuda itu tetap tidak menoleh dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata.

Dara remaja itu merasa kecewa dan menyesal. Ia sudah merasakan benar kebaikan-kebaikan pemuda yang menjadi sahabat barunya itu dan merasa berhutang budi. Maka, tentu saja dia merasa menyesal sekali melihat penolongnya itu telah berkelahi melawan ayahnya dan pergi dalam keadaan tidak bersahabat.

“Bi Eng, sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Dan mana mungkin seorang cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong?” kini Bu Ci Sian bertanya.

Bi Eng lalu menceritakan semua yang telah dialaminya sejak ia dirobohkan oleh Louw Tek Ciang secara curang, kemudian ia diselamatkan oleh Suma Ceng Liong dan Hek-i Mo-ong. “Entah, ayah dan ibu, dalam pandanganku, biar pun ia berwatak aneh, akan tetapi Hek-i Mo-ong tidak jahat kepadaku. Dan Ceng Liong amat baik.”

Kam Hong mengangguk-angguk dan mengelus dagunya. “Hemmm, sungguh aneh sekali, sukar dipercaya bahwa cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid Hek-i Mo-ong! Setahuku, Pendekar Super Sakti mempunyai tiga orang keturunan. Pertama adalah Puteri Milana yang menikah dengan pendekar sakti she Gak, kemudian dua orang puteranya adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Entah yang mana di antara kedua pendekar itu yang menjadi ayah Suma Ceng Liong. Dan bagaimana sampai bisa menjadi murid datuk sesat yang julukannya saja Raja Iblis itu? Sungguh sukar dimengerti....”

“Dan bagaimana tentang perjodohan seperti dikatakan oleh iblis itu tadi?” Bu Ci Sian bertanya.

Nada suaranya masih penasaran, walau pun kini nadanya agak lunak karena pemuda yang menjadi murid iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti! Kita dapat memaafkan sikap Ci Sian ini.

Jika kita membuka mata memandang kehidupan masyarakat kita ini, di mana termasuk juga diri kita, bukankah kita semua sudah mempunyai penyakit yang sama? Kedudukan dan nama seorang amat penting bagi kita sehingga kita tak lagi memandang orangnya, manusianya, tetapi kedudukannya, hartanya, kepandaiannya, namanya, agamanya, dan sebagainya lagi.

Pada waktu mendengar puterinya akan dijodohkan dengan murid Hek-i Mo-ong yang dikenalnya sebagai seorang datuk sesat, hati nyonya ini menjadi marah karena merasa direndahkan atau terhina dan tentu saja seratus prosen ia menentang. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa murid kakek iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti, terdapatlah suatu perasaan lain! Kalau keturunan Para Pendekar Pulau Es yang hendak berbesan dengannya, hal itu menjadi lain sama sekali!

“Ibu, mengenai perjodohan itu adalah satu di antara keanehan watak Hek-i Mo-ong. Dia berpura-pura tidak mau mengobatiku kalau aku tidak mau berjanji kelak akan menjadi isteri Ceng Liong. Tentu saja aku menolak dan aku tidak sudi berjanji seperti itu. Dan ternyata dia mengobatiku juga sampai sembuh, hanya dia memaksa Ceng Liong yang berjanji agar kelak mau menjadi suamiku. Ceng Liong berjanji karena ingin agar gurunya menyembuhkanku.”

Suami isteri itu saling pandang, tidak tahu harus bicara apa. “Sudahlah, memang orang-orang sesat memiliki watak yang aneh-aneh, akan tetapi dia sudah mati dan tentu saja tidak ada ikatan apa-apa antara Bi Eng dari pemuda itu. Mari kita pulang untuk mengurus jenazah para pelayan.”

Mereka bertiga, ayah, ibu dan anak itu, beriringan melangkah ke arah yang sama, tapi jalan pikiran mereka belum tentu seiring dan sama.....

********************

Biar pun mereka itu hanya pelayan, akan tetapi mereka menerima pelajaran ilmu silat dari Kam Hong sehingga mereka pun dapat disebut murid-muridnya. Maka, ketika menyembahyangi enam buah peti mati yang berjajar di halaman depan rumahnya, Kam Hong, Ci Sian dan Bi Eng merasa berduka sekali. Bahkan Ci Sian dan Bi Eng tak kuasa menahan air mata mereka. Enam orang itu tewas karena membela keluarga mereka. Akan tetapi, siapakah yang akan dikutuk? Hek-i Mo-ong yang agaknya menjadi biang keladi penyerbuan itu telah tewas, juga Jai-hwa Siauw-ok sudah tewas. Hanya tinggal murid-murid mereka.

Banyak juga tamu berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah enam orang itu. Mereka sebagian besar adalah penduduk dusun di sekitar pegunungan itu. Ada pula beberapa orang tokoh ilmu silat yang kebetulan mendengar akan mala petaka yang menimpa keluarga pendekar Kam kemudian datang pula berkunjung untuk menyatakan bela sungkawa.

Malam itu tidak ada tamu lain. Hanya tiga orang anggota keluarga itu saja yang masih duduk di ruangan depan sambil menjaga enam buah peti jenazah. Bulan bersinar terang sehingga pekarangan depan pondok itu, yang merupakan istana tua, nampak jelas. Maka, ayah, ibu dan anak itu pun dapat melihat dengan jelas ketika ada dua bayangan orang berkelebat di pekarangan mereka.

Kam Hong memberi isyarat dengan tangan kepada isteri dan puterinya agar waspada. Akan tetapi dua orang wanita itu juga sudah melihat berkelebatnya bayangan dua orang itu dan mereka pun sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah peristiwa penyerbuan Hek-i Mo-ong dengan kawan-kawannya, keluarga Kam menjadi waspada dan selalu dalam keadaan tegang dan curiga.

Kini dengan gerakan gesit, dua bayangan itu telah tiba di tengah pekarangan, berdiri di situ dengan tegak. Di bawah sinar bulan, nampak jelas bahwa mereka adalah dua orang pria.

Yang seorang berusia hampir empat puluh tahun, kira-kira tiga puluh enam tahun. Tubuhnya tegap dan bersikap gagah, dengan pakaian sederhana dan ringkas sehingga membayangkan tubuh yang masih kekar. Wajahnya cerah, mulutnya membayangkan senyum ramah.

Ada pun pria yang ke dua, berusia kurang lebih enam belas tahun, wajahnya putih bundar dan alisnya tebal, nampak tampan dan gagah. Kalau pria setengah tua itu membawa sebatang pedang di punggung, pemuda itu membawa sebatang pedang di pinggang dan kedua orang itu jelas merupakan orang-orang yang datang bukan dengan maksud baik.

Maka, terdorong oleh rasa duka dan marah kehilangan enam orang pelayan yang tewas, Bi Eng tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi dan sambil mengeluarkan suara melengking, tubuhnya sudah melayang ke depan, agak tinggi dan membuat gerakan jungkir balik tiga kali baru tubuhnya itu hinggap dengan ringannya di depan dua orang pria itu yang memandang dengan kagum.

“Ginkang yang bagus!” Pria setengah tua itu berseru memuji.

Sementara itu, Bu Ci Sian sudah bangkit berdiri, dan wanita inilah yang lebih dulu mengenal pria itu. “Hong Bu....! Dia Hong Bu, Sim Hong Bu....!”

Dan sekali meloncat, tubuh nyonya ini pun melayang sampai ke depan dua orang pria itu, di sisi puterinya yang memandang ragu mendengar seruan ibunya. Kam Hong juga melangkah keluar menyambut dengan wajah berseri. Kini dia pun mengenal pria yang gagah itu, dan dia pun terkenang akan masa lalu, belasan tahun yang lalu.

Pria itu bernama Sim Hong Bu, seorang ahli pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang amat lihai dan boleh dibilang masih seketurunan dalam ilmu silat dengannya, karena Ilmu Pedang Naga Sihunan berasal dari sumber yang sama dengan Ilmu Pedang Suling Emas (baca kisah’Suling Emas dan Naga Siluman’).

Bukan itu saja. Sim Hong Bu dahulu, di masa mudanya, pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian. Ketika masih gadis, Bu Ci Sian menjatuhkan hati banyak sekali pemuda-pemuda pilihan, di antaranya Jenderal Muda Kao Cin Liong dan pendekar pedang Sim Hong Bu ini. Akan tetapi akhirnya Bu Ci Sian memilih yang dekat, memilih dia yang menjadi suheng-nya sendiri walau pun usianya belasan tahun lebih tua.

Selain pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian, juga Hong Bu inilah yang merupakan lawan paling tangguh di antara semua jagoan yang pernah dilawannya. Sim Hong Bu inilah yang paling gigih melawan Ilmu Pedang Suling Emas, merupakan lawan yang seimbang, dan sungguh tidak mudah mengalahkan Hong Bu pada belasan tahun yang lalu itu. Mereka pernah saling gempur, bertanding mati-matian, kemudian berpisah sebagai sahabat. Dan kini, setelah belasan tahun berpisah dan tidak saling memberi kabar, tahu-tahu pendekar itu muncul pada saat mereka berkabung atas kematian enam orang pelayan atau murid itu.

Pendekar bernama Sim Hong Bu itu menjura kepada Bu Ci Sian. “Nona Bu Ci Sian.... ehhh, maaf, nyonya Kam Hong, selamat bertemu! Aku berani bertaruh bahwa nona ini tentulah puterimu!” Sikap Sim Hong Bu nampak gembira sekali.

Kam Hong yang sudah tiba pula di situ tersenyum. “Saudara Sim Hong Bu, apa kabar? Dan aku pun berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah puteramu!”

Sim Hong Bu tertawa bergelak, kemudian menepuk pundak pemuda di sebelahnya. “Houw-ji (anak Houw), lihatlah baik-baik. Inilah keluarga yang sudah sering kuceritakan padamu. Inilah Kam-taihiap yang perkasa, Pendekar Suling Emas yang tanpa tanding, dan isterinya yang lihai pula!”

Pemuda itu adalah putera tunggal Sim Hong Bu. Setelah cintanya dengan Bu Ci Sian mengalami kegagalan, pendekar ini kemudian menikah dengan Cu Pek In, puteri dari gurunya sendiri yang bernama Cu Han Bu. Dia bersama isteri dan anak mereka itu tinggal di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Himalaya, di mana tinggal keluarga Cu yang merupakan keluarga sakti itu. Dan di sini pula Sim Hong Bu menggembleng putera tunggalnya yang kini diajaknya melawat ke timur mengunjungi bekas lawan, juga bekas sahabat yang menikah dengan wanita yang menjadi cinta pertamanya itu.

Pada saat dia diperkenalkan kepada keluarga Kam yang memang sudah sering kali diceritakan oleh ayahnya, Sim Houw memberi hormat.

“Saya Sim Houw memberi hormat kepada Kam-locianpwe dan....”

“Wah, anak baik. Kalau engkau putera saudara Sim Hong Bu, engkau jangan menyebut locianpwe kepadaku. Sebut saja paman!” kata Kam Hong gembira.

Pemuda itu kembali menjura. “Terima kasih, paman Kam Hong dan bibi!”

Bu Ci Sian memandang kepada pemuda itu sambil tersenyum. Ia merasa suka kepada pemuda yang gagah ini, yang mengingatkan ia akan keadaan Sim Hong Bu di waktu mudanya. Sejak kecil Sim Hong Bu adalah seorang pemburu binatang buas di hutan sehingga sikapnya gagah dan jantan. Demikian pula sikap pemuda yang menjadi putera Sim Hong Bu ini.

“Sim Houw, apakah seperti ayahmu, engkau juga suka berburu binatang?” tanya nyonya ini sambil tersenyum.

“Karena daerah tempat tinggal kami penuh dengan hutan-hutan, maka saya memang kadang-kadang suka pergi berburu, bibi,” jawab Sim Houw sederhana.

“Kam-taihiap,” kata Hong Bu yang memang sejak dahulu menyebut taihiap kepada Kam Hong. “Maafkan kami yang datang mengganggu di waktu malam. Akan tetapi kami tadi menjadi ragu-ragu melihat adanya perkabungan di sini. Ada enam buah peti jenazah! Apakah yang telah terjadi dan siapakah yang meninggal dunia?”

“Mereka adalah enam orang muridku yang tewas di tangan penjahat-penjahat yang datang menyerbu tempat tinggal kami. Engkau tentu masih ingat pada Hek-i Mo-ong?”

“Apa? Iblis tua itu yang datang menyerbu?” Sim Hong Bu bertanya kaget.

“Dia dan Jai-hwa Siauw-ok murid Im-kan Ngo-ok, bersama dua orang murid mereka.”

“Ahhh....!” Sim Hong Bu berseru kaget dan marah. “Dan di mana mereka? Tentu taihiap telah dapat memukul mundur mereka.”

Kam Hong menarik napas panjang. “Dua orang datuk sesat itu tewas dan murid-murid mereka melarikan diri. Mari, mari kita bicara di dalam, saudara Hong Bu,” ajak Kam Hong.

Sim Hong Bu dan Sim Houw lalu mengikuti Kam Hong sekeluarga setelah Bu Ci Sian memperkenalkan Kam Bi Eng yang segera memberi hormat kepada ‘paman Sim Hong Bu’. Ayah dan anak yang datang sebagai tamu itu lalu memasang hio di depan enam buah peti jenazah. Kemudian mereka duduk di ruangan depan sambil bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman-pengalaman mereka sejak berpisah belasan tahun yang lalu.

“Tempat tinggal kalian terlalu jauh, di Himalaya, maka kami tidak pernah mendapat kesempatan untuk berkunjung ke tempat sejauh itu,” kata Bu Ci Sian kepada tamunya. “Baik sekali kalian datang berkunjung, kami merasa gembira dan berterima kasih.”

Sim Hong Bu menarik napas panjang. “Bertahun-tahun kami seperti hidup terasing di Lembah Gunung Naga Siluman. Baru sekarang saya mendapat kesempatan mengajak anak kami memperluas pengetahuan dan menjelajah ke timur. Di dalam perjalanan menuju ke sini, saya mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa Kam-taihiap telah mempunyai seorang puteri. Maka ketika puteri kalian tadi muncul, saya dapat segera mengenalnya, apalagi karena wajahnya mirip benar dengan ibunya.”

“Dan puteramu mirip sekali dengan ayahnya,” kata Bu Ci Sian.

“Kam-taihiap dan lihiap, begitu melihat puteri kalian, saya merasa terharu dan timbul suatu niat dalam hati, bahkan maksud hati ini pernah saya bicarakan dengan isteri saya sebelum saya berangkat.”

“Kenapa isterimu tidak ikut datang berkunjung juga?” Bu Ci Sian bertanya seperti baru teringat.

“Ibunya Houw-ji pasti akan datang berkunjung kalau maksud hati kami ini mendapatkan sambutan baik dari Kam-taihiap berdua.”

“Saudara Sim Hong Bu, katakanlah terus terang, apakah maksud baik kalian itu?” Kam Hong sudah dapat menduga, tetapi dia menginginkan kepastian maka dia mengajukan pertanyaan itu.

“Baiklah, saya akan berterus terang saja. Dan kehadiran anak-anak kita di sini pun saya kira tidak menjadi halangan, karena bukankah kita senantiasa menghargai keterbukaan dan kejujuran? Kam-taihiap, kita menikah dalam waktu yang tidak begitu jauh selisihnya, bahkan mungkin saya lebih dahulu beberapa bulan. Mengingat bahwa setahun kemudian terlahir Houw-ji, maka saya yakin Houw-ji lebih tua dari puteri taihiap berdua. Nah, maksud hati kami adalah untuk mengharapkan persetujuan Kam-taihiap berdua, kalau berkenan di hati, kami ingin sekali melihat anak kami yang bodoh dapat berjodoh dengan puteri taihiap yang mulia.”

Hening sejenak, keheningan yang terasa seperti mencekik leher Bi Eng. Sebagai seorang dara remaja, biar pun sejak kecil ia digembleng menjadi orang gagah yang berpikiran terbuka, namun kalau orang-orang membicarakan tentang perjodohannya, tentu saja ia merasa risih, rikuh dan malu. Akhirnya, keheningan yang menyambung akhir ucapan Sim Hong Bu yang jujur itu, begitu mencekam hatinya dan dia pun tanpa bicara bangkit berdiri perlahan-lahan, dengan kepala tunduk lalu pergi meninggalkan ruangan itu, masuk ke dalam kamarnya!

Ada pun Sim Houw, pemuda remaja itu, juga tak berani bergerak dari tempat duduknya, hanya menundukkan mukanya yang menjadi merah. Ayah dan ibunya tidak pernah mengajaknya bicara tentang perjodohan, apalagi tentang maksud hati ayahnya yang berkunjung ke rumah keluarga Kam, yang kini ternyata adalah untuk membicarakan perjodohannya atau melamar gadis orang.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es