KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-34


“Ceng Liong, dia milikku, lekas berikan kepadaku!” kata Tek Ciang sambil menyerang ke depan, menubruk dan hendak merampas tubuh Bi Eng dari pondongan Ceng Liong. Namun dengan sigapnya Ceng Liong meloncat dan menghindarkan tubrukan Tek Ciang.

“Berikan sandera ini kepadaku!” Jai-hwa Siauw-ok juga berteriak dan kakek cabul ini menubruk pula ke depan.

Ceng Liong terkejut dan kembali dia melompat ke kiri untuk mengelak. Kini guru dan murid itu menghadapinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam. Ceng Liong menjadi bingung. Melawan mereka dia tidak takut sama sekali. Namun kalau kedua lengannya memondong tubuh Bi Eng, bagaimana dia akan mampu melawan mereka yang lihai itu? Dan menurunkan dulu tubuh Bi Eng lalu menghadapi mereka, dia khawatir kalau-kalau salah seorang di antara mereka akan merampas dan mencelakai dara itu. Dia sudah mengenal watak mereka yang cabul dan jahat.

“Perlahan dulu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong melangkah maju menghadapi guru dan murid itu.

Ceng Liong melihat betapa gerakan gurunya ini amat lemah, bahkan wajah gurunya pucat sekali. Napasnya juga memburu tanda bahwa gurunya itu pun terluka, mungkin lebih parah dari pada luka yang diderita oleh guru dan murid cabul itu. Dan memang sesungguhnya begitulah. Luka dalam yang diderita oleh Hek-i Mo-ong paling parah. Akan tetapi, melihat muridnya diancam oleh kedua orang itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan membelanya.

Melihat Hek-i Mo-ong maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya menjadi marah. Mereka kini tidak merasa takut lagi karena mereka berdua maklum bahwa iblis tua itu telah menderita luka yang lebih parah dari pada mereka.

“Mo-ong, sandera ini harus kutawan untuk memaksa ibunya tunduk kepadaku!” katanya.

“Aku yang tadi merobohkannya, maka akulah yang berhak memilikinya!” kata pula Tek Ciang.

Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Siauw-ok, kalau muridku tidak membolehkannya, berarti aku pun tidak membolehkan kalian merampas gadis ini. Pergilah dan jangan ganggu kami lagi!”

Akan tetapi, sekali ini Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya tidak mau mentaati perintah kakek iblis itu. Mereka melawan bukan hanya karena ingin memiliki gadis itu, melainkan terutama sekali mengingat akan keselamatan mereka sendiri. Setelah mereka dihajar oleh suami isteri dari Istana Khong-sim Kai-pang, mereka menjadi gentar sekali.

Kalau suami isteri itu mengetahui bahwa puteri mereka terculik, apalagi terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok, tentu mereka berdua akan melakukan pengejaran dan celakalah kalau sampai suami isteri itu dapat mengejar atau menyusul. Maka, gadis itu harus mereka kuasai untuk dijadikan sandera kalau-kalau orang tua gadis itu dapat menyusul mereka. Inilah sebabnya mengapa mereka berkeras hendak merampas Bi Eng dari tangan Ceng Liong.

“Mo-ong, kami sama sekali tidak ingin mengganggumu, akan tetapi muridmulah yang merusak rencana kita. Kalau tadi dia datang membantu, tentu keadaan kita lebih kuat dan belum tentu kita kalah. Dan sekarang gadis itu dirobohkan oleh muridku, maka kami berdualah yang berhak memilikinya. Serahkan gadis itu kepada kami dan kami akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi,” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil memandang dengan mata disipitkan.

“Setan, berani engkau menentangku, manusia rendah?”

Hek-i Mo-ong marah sekali dan tubuhnya bergerak ke depan, tangannya membentuk cakar menyambar ke arah ubun-ubun kepala Jai-hwa Siauw-ok. Hebat sekali serangan dengan Ilmu Coan-kut-ci ini, akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok yang sudah tahu akan kelihaian lawan, cepat meloncat ke belakang, kemudian bersama muridnya dia maju membalas dan mengeroyok Hek-i Mo-ong!

Hek-i Mo-ong sudah terluka parah oleh pukulan suling dari Kam Hong tadi. Dadanya terasa sesak dan napasnya memburu, akan tetapi dia adalah seorang datuk sesat yang lihai sekali. Biar pun sudah terluka parah, dia menghadapi dua orang pengeroyoknya dengan gagah. Apalagi keadaan Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya juga sudah terluka, walau pun tidak separah luka yang diderita Hek-i Mo-ong namun setidaknya mengurangi kekuatan mereka.

Dan oleh karena dikeroyok dua, Hek-i Mo-ong terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok yang menggunakan Ilmu Kiam-ci. Jari tangan yang tajam seperti pedang itu menyerempet lambungnya, merobek baju dan kulit lambung sehingga mengeluarkan darah dan pada saat itu juga, hantaman tangan Tek Ciang yang disertai tenaga Hwi-yang Sin-ciang mengenai punggung kakek iblis itu.

“Dukkk....!”

Hek-i Mo-ong terpelanting roboh. Melihat ini, giranglah hati Jai-hwa Siauw-ok. Kakek iblis ini harus ditewaskan dulu, baru dengan mudah muridnya akan dapat mereka hadapi dan merampas gadis itu. Ia pun menubruk ke bawah, hendak menghabisi nyawa Hek-i Mo-ong dengan Kiam-ci. Akan tetapi, pada saat itu, tiba-tiba saja Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan nyaring sekali.

“Diam kau....!”

Dibentak dengan kekuatan sihir ini, seketika Jai-hwa Siauw-ok terdiam dan tubuhnya seperti menjadi kaku. Pengaruh bentakan itu hebat sekali dan biar pun hanya beberapa detik dia berhenti, sudah cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk melontarkan serangannya. Jari tangan kirinya mencengkeram, lalu terdengar suara berbeletok ketika jari-jari tangan itu terhunjam ke dalam kepala Jai-hwa Siauw-ok. Penjahat cabul ini menjerit mengerikan, tubuhnya terjengkang roboh dan dari kepala yang berlubang-lubang itu mengalir keluar darah bercampur otak!

Melihat ini, wajah Tek Ciang menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tanpa menoleh lagi ke arah mayat gurunya, pemuda pengecut ini pun sudah meloncat jauh dan melarikan diri tunggang-langgang! Hek-i Mo-ong bangkit berdiri, terhuyung-huyung dan dari mulutnya dia muntahkan darah segar! Kiranya tenaga yang diperas dalam perkelahian itu, apalagi akibat pukulan-pukulan lawan, membuat luka yang dideritanya semakin parah. Dia pun cepat-cepat menjatuhkan dirinya, duduk bersila dan mengatur pernapasan.

Ceng Liong menurunkan tubuh Bi Eng. Setelah Jai-hwa Siauw-ok tewas dan kini tinggal Tek Ciang yang juga sudah melarikan diri, dia tidak khawatir lagi menurunkan dara itu. Andai kata Tek Ciang datang lagi, dia dapat menghadapinya tanpa mengkhawatirkan keadaan Bi Eng. Kemudian Ceng Liong menghampiri gurunya yang duduk mengatur pernapasan.

Tadi dia tidak membantu Hek-i Mo-ong karena melihat bahwa gurunya belum perlu dibantu. Ketika gurunya terjatuh, dia pun sudah tahu bahwa jatuhnya kakek itu setengah disengaja untuk memancing lawan dan ternyata akalnya itu berhasil. Akan tetapi dia pun tahu bahwa luka di dalam tubuh gurunya semakin hebat.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ceng Liong bersila di depan gurunya, menempelkan kedua tangannya di dada dan pundak, lalu dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk membantu gurunya. Ketika Hek-i Mo-ong merasa ada saluran hawa panas memasuki tubuhnya, dia membuka matanya dan melihat betapa muridnya yang membantunya, dia pun tersenyum lebar dengan wajah berseri gembira.

“Heh-heh, manusia macam Ouw Teng itu berani melawan aku? Hah, dia bosan hidup!” katanya terengah-engah.

“Mo-ong, engkau tenanglah dan beristirahatlah. Biarkan aku membantumu meringankan penderitaanmu,” kata Ceng Liong dengan halus.

Kakek itu terdiam dan beberapa lamanya mereka duduk bersila berhadapan dan Ceng Liong membantu gurunya dengan penuh ketekunan. Bi Eng melihat semua itu dengan sinar mata penuh keheranan. Jelas bahwa Ceng Liong bukan orang jahat, akan tetapi bagaimana seorang pemuda seperti ini bisa menjadi murid datuk sesat yang demikian mengerikan seperti Hek-i Mo-ong?

Akhirnya Hek-i Mo-ong berkata, “Cukup untuk sementara ini. Ceng Liong, lekas bawa aku pergi dari sini....!” Di dalam ucapan itu terkandung rasa gentar.

“Akan tetapi.... aku ingin membawa nona Kam kepada orang tuanya supaya dia dapat memperoleh pengobatan,” Ceng Liong membantah.

“Apa engkau ingin melihat aku dibunuh mereka? Aku sudah terluka dan tidak mungkin melakukan perlawanan.”

“Tapi, luka nona Kam Bi Eng juga parah....”

“Bawa ia bersama kita, aku dapat mengobati luka akibat pukulan Hoa-mo-kang,” kata kakek itu.

Melihat keraguan Ceng Liong, Bi Eng berkata, “Turutilah permintaannya, Ceng Liong, karena kalau ayah dan ibu melihatnya tentu mereka akan turun tangan membunuhnya, membikin aku merasa tidak enak kepadamu. Mari kita pergi.”

Ceng Liong memandang heran. Sungguh makin tidak mengerti saja dia terhadap watak gadis ini. Akan tetapi dia pun menjadi girang dan tanpa banyak cakap dia memondong tubuh Bi Eng dan bersama gurunya dia pun lari meninggalkan tempat itu. Gurunya yang mencari jalan dan ternyata Hek-i Mo-ong yang banyak pengalamannya itu amat cerdik.

Dia menuruni kaki gunung dan meninggalkan Pegunungan Tai-hang-san karena dia dapat menduga bahwa Kam Hong dan isterinya yang tidak tahu harus mengejar ke mana itu tentu akan mencari-cari di sekitar Pegunungan Tai-hang-san dan untuk mencari daerah yang luas itu membutuhkan waktu sedikitnya tiga hari! Maka dia meninggalkan daerah Tai-hang-san. Kalau tidak cerdik, tentu dia memilih yang dekat, dan dianggap aman, yaitu di dalam hutan-hutan yang lebat dari daerah itu dan kalau dia berbuat demikian, tak mungkin dia dapat menghindarkan diri dari suami isteri yang luar biasa lihainya itu.

Pada keesokan harinya, di dalam sebuah hutan di luar Tai-hang-san, di tepi pantai Sungai Huang-ho, mereka beristirahat. Seperti yang telah dijanjikannya, Hek-i Mo-ong mencarikan obat untuk Bi Eng. Obatnya aneh karena dia menyuruh Ceng Liong mencari anak-anak katak yang banyak terdapat di tepi sungai. Puluhan ekor katak kecil itu diremas-remas oleh Hek-i Mo-ong, air perasan ditampung dan dicampur dengan obat pulung yang dibawanya. Hampir tidak dapat Bi Eng menelannya karena baunya yang amis, akan tetapi Ceng Liong membujuknya dengan halus.

“Minumlah, Bi Eng. Ini obat dan aku yakin bahwa obat dari Hek-i Mo-ong tentu manjur. Minumlah.”

Bi Eng teringat akan puluhan ekor anak katak yang diperas dan ia bergidik. Akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada Ceng Liong dan sambil memejamkan kedua matanya ia pun menuang obat cair itu ke dalam mulut dan terus ditelannya. Dengan menutup hidungnya, obat itu tidak terasa apa-apa, bahkan baunya yang amis pun tidak terasa. Baru setelah obat itu memasuki perutnya dan ia melepaskan jari tangan yang menutup hidung, tercium bau amis yang hampir membuat ia muntah. Akan tetapi, dara remaja yang sejak kecil menerima gemblengan orang tuanya itu cepat mengerahkan tenaga mencegah muntah.

Akan tetapi, dorongan dari dalam hampir tidak dapat dikuasainya lagi dan pada saat wajahnya menjadi pucat sekali menahan rasa hendak muntah, terdengar suara Hek-i Mo-ong, “Ha-ha, nona kecil, kalau engkau muntah, engkau akan langsung mati, dan kalau engkau menahan muntah itu, engkau baru akan mati dalam waktu tiga hari lagi, ha-ha-ha!”

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bi Eng mendengar ucapan itu dan seketika rasa hendak muntah itu hilang. Tentu saja ia tidak mau muntah langsung mati! Biar pun demikian, wajahnya menjadi semakin pucat karena nyawanya hanya tinggal tiga hari saja.

Kekagetan hati Bi Eng kiranya tidak sehebat Ceng Liong ketika dia mendengar ucapan gurunya. Dia meloncat ke depan kakek itu, matanya mencorong menakutkan. “Mo-ong, apa artinya kata-katamu itu?” tanyanya dengan suara membentak.

“Heh-heh, Ceng Liong. Kata-kataku sudah jelas bukan? Gadis ini akan mati seketika kalau muntah, dan akan mati tiga hari kemudian kalau tidak muntah.”

“Mo-ong, engkau sengaja meracuni Bi Eng?” Ceng Liong berkata lagi dan dia mengepal kedua tangannya.

Kakek itu mengangguk dan tertawa. “Ha-ha, aku melakukan demi engkau, muridku yaug baik.”

Keheranan yang amat besar melanda hati Ceng Liong, membuat dia melupakan rasa marahnya. “Apa.... apa maksudmu....?”

“Heh-heh, kau tunggulah saja.” Kakek itu lalu memandang Bi Eng yang masih duduk dengan muka pucat dan memegangi perutnya yang mual. “Nona, nyawamu tergantung kepada keputusanmu sendiri. Yang engkau makan tadi menambah hebatnya pengaruh pukulan Hoa-mo-kang dan engkau tentu akan mati dalam waktu tiga hari. Tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkanmu kecuali obat dari pemilik ilmu Hoa-mo-kang atau.... obat dariku. Sekarang, aku mau menukar nyawamu itu dengan sebuah janjimu.”

Bi Eng merasa marah sekali, akan tetapi karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan kakek itu, ia menjawab dengan ketus, “Kakek iblis berhati keji! Janji apakah yang kau kehendaki dariku maka engkau tidak segan melakukan kekejian yang kotor ini?”

“Berjanjilah bahwa engkau kelak akan menjadi isteri Ceng Liong, dan aku berjanji akan mengembalikan nyawamu!”

“Ahhhh....!” Teriakan ini keluar dari mulut Ceng Liong yang sudah menerjang gurunya dengan pukulan keras.

“Dukkk!”

Hek-i Mo-ong menangkis dan terjengkang, dari mulutnya keluar darah segar lagi karena untuk menangkis pukulan hebat tadi dia harus mengeluarkan tenaga sinkang sekuatnya, padahal luka di dalam tubuhnya belum sembuh benar.

“Ahhhhh....” kembali Ceng Liong berseru, kini bukan karena marah melainkan karena kaget melihat suhu-nya terjengkang lalu bangkit berdiri sambil terhuyung. Cepat dia menubruk dan merangkul suhu-nya, dipapahnya duduk di atas rumput.

“He-he-heh....!” Hek-i Mo-ong terkekeh melihat betapa muridnya yang tadi memukulnya itu kini malah memapahnya. “Engkau murid yang baik, heh-heh.... selama menjadi muridku, baru sekarang berani memyerangku, kusangka tadinya engkau lemah, kiranya berani memukulku. Hebat....”

Ceng Liong sudah lama hidup di dekat kakek iblis itu dan sudah mengenal wataknya yang amat aneh, tidak lumrah manusia. Dia pun tahu bahwa kakek itu dalam pandangan umum tentu merupakan iblis yang kejam dan ganas, tetapi dia sendiri mengenalnya sebagai seorang kakek yang wataknya aneh dan kekejaman-kekejamannya itu pun termasuk satu di antara keanehan-keanehannya yang tidak normal.

Kadang-kadang dia berpikir bahwa gurunya ini sebenarnya menderita suatu penyakit dalam otaknya atau jiwanya, sudah gila sehingga segala yang dilakukannya itu sama sekali bukan karena kekejaman, namun karena pandangannya yang berbeda, bahkan kadang-kadang terbalik dari pandangan umum. Kini pun gurunya telah melakukan hal yang amat luar biasa. Guru ini dapat tertawa bergelak kesenangan melihat muridnya berani melawan dan memukulnya. Mana ada guru macam ini di seluruh dunia ini?

Dan dia sendiri merasa amat menyesal. Dia dapat merasakan cinta yang mendalam di hati gurunya terhadap dirinya, dan kini dia berani memukul gurunya yang sedang terluka parah itu! Dia pun merasa tidak perlu minta maaf walau pun hatinya menyesal. Bagi orang seperti Hek-i Mo-ong, tidak ada kata maaf!

“Mo-ong, mengapa kau lakukan itu? Terlalu sekali engkau!”

“Apanya yang terlalu? Sudahlah, kau diam saja. Biarkan aku menyelesaikan urusanku dengan gadis itu!”

Kakek itu masih bersila, akan tetapi kini sambil mengatur pernapasan, dia memandang kepada Bi Eng yang berdiri bengong terlongong, sebentar memandang kepada Ceng Liong dan sebentar pula kepada kakek iblis itu. Mukanya yang tadi pucat tiba-tiba berubah merah, lantas pucat kembali.

“Bagaimana, nona cilik? Jawablah sebelum terlambat. Kalau racun itu keburu bekerja, engkau takkan bisa menjawab lagi.”

“Kakek iblis! Kau kira aku ini orang macam apa? Kau kira aku takut mampus? Lebih baik mati dari pada menuruti kehendakmu yang hina!”

“Eh-ehh-ehh, bocah sombong! Kau bilang hina kalau aku minta engkau menjadi calon isteri Ceng Liong? Ha-ha-ha, bercerminlah. Sepuluh kali engkau pun belum tentu pantas menjadi isteri muridku, tahu?”

“Mo-ong....!” Ceng Liong memprotes.

“Diamlah dan jangan mencampuri urusanku!” kakek itu membentak muridnya.

Ceng Liong terdiam sambil cemberut. Sungguh keterlahuan gurunya ini. Membicarakan urusan perjodohannya dan mengatakan bahwa dia tidak boleh mencampuri urusannya. Diam-diam dia merasa geli. Biarkan saja kakek gila ini melanjutkan kehendaknya. Masih ada batu penghalang besar bagi keinginannya yang gila itu. Kalau gurunya itu nanti hendak melanjutkan niatnya, masih ada dia yang tentu saja boleh dan berhak menolak! Kalau gadis itu tidak mampu menolak karena tertekan dan terancam nyawanya, masih ada dia yang dapat menolak dan dia tidak terancam apa pun!

“Iblis tua, kenapa engkau mempunyai pikiran yang gila ini, tanpa sebab menyuruh aku berjanji.... seperti itu?” Bi Eng yang menjadi sangat tertarik dan ingin tahu, mengajukan pertanyaan sebelum mengambil keputusan, walau pun dara ini tadi sudah menunjukkan ketidak setujuannya tanpa mempedulikan ancaman nyawa.

“Heh-heh-heh, kenapa aku ingin menjodohkan muridku denganmu, begitukah maksud pertanyaanmu? Karena.... karena dia mencintamu, anak bodoh!”

“Ahhhh....!” Kembali Ceng Liong yang berteriak mendengar ini dan matanya melotot, mukanya menjadi merah sekali dan dia memandang gemas kepada gurunya, namun dia teringat bahwa dia harus membiarkan gurunya itu menyelesaikan ‘urusannya’ dengan gadis itu.

Bi Eng memandang kepada Ceng Liong dan berjebi, tersenyum mengejek. Perbuatan kakek itu otomatis membuat dia juga membenci pemuda yang menjadi murid kakek iblis ini. Bahkan kini timbul dugaannya bahwa Ceng Liong menolongnya dengan niat buruk, mungkin sudah diatur terlebih dahulu dengan gurunya! Siapa tahu sikap pemuda itu pun hanya pura-pura, hanya sandiwara saja!

“Kakek iblis, kau kira aku sudi menjadi isteri murid seorang iblis macam engkau? Lebih baik seribu kali mati dari pada.... aukhhh....!”

Dara remaja itu hampir muntah. Dia menekuk tubuhnya dan menekan perutnya yang terasa mual. Sekali meloncat, Ceng Liong sudah berada di dekatnya dan menyentuh pundak dara itu.

“Bi Eng, jangan muntah....,” katanya khawatir sekali. Sekali muntah, dara ini akan tewas! Betapa mengerikan bayangan ini.

“Ha-ha-ha, bocah sombong kau! Kau belum tahu siapa muridku ini, hah? Dia adalah Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan kau bilang seribu kali lebih baik mati dari pada menjadi isterinya?”

“Mo-ong....!” Ceng Liong meloncat dan kembali dia memukul ke arah gurunya karena tidak dapat menahan kemarahan hatinya. Gurunya ini sungguh amat menghina Bi Eng dan seolah-olah memaksa gadis itu agar mau berjanji menjadi isterinya!

“Desss....!”

Dalam keadaan bersila itu, Hek-i Mo-ong menangkis hantaman muridnya yang tertuju ke arah kepalanya dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia bangkit duduk, dia tertawa-tawa sambil muntahkan darah segar lagi.

“Ahhh!” Ceng Liong terkejut dan dia cepat-cepat menghampiri, berlutut dan membantu pernapasan gurunya dengan saluran sinkang dari telapak tangannya.

“Heh-heh-heh,” Hek-i Mo-ong merangkulnya penuh kasih sayang. “Tahukah engkau bahwa baru kini engkau memukulku? Semua terjadi karena engkau mencinta gadis itu, tahukah engkau?”

Ceng Liong terkejut bukan main. Memang aneh. Dia merasa berhutang budi kepada kakek ini, bahkan tanpa disadarinya, dia merasa sayang kepadanya. Dan memang benarlah, dia menyerang gurunya sampai dua kali karena kemarahan melihat gurunya menghina Bi Eng!

“Tapi, Mo-ong, kenapa kau lakukan ini? Kenapa....?”

“Uakhhhh....!”

Mendengar suara muntah ini, Ceng Liong menoleh. Bisa dibayangkan betapa kagetnya melihat Bi Eng tak dapat menahan lagi muntahnya, dan sudah mulai hendak muntah. Melihat ini, sekali meloncat tubuh Ceng Liong mencelat ke dekat Bi Eng dan tangannya bergerak menotok. Bi Eng yang sedang dilanda rasa muak hebat itu tidak sempat mengelak dan roboh terkulai. Ceng Liong cepat memondongnya dan merebahkannya di atas rumput. Dalam keadaan tertotok pingsan, dara itu tidak jadi muntah.

Kini Ceng Liong kembali meloncat ke dekat gurunya. “Mo-ong, cepat, sembuhkan Bi Eng! Cepat sebelum ia muntah!” teriaknya kepada gurunya sambil memegang pundak gurunya.

“Heh-heh-heh....!” Kakek itu hanya tertawa.

“Cepat, Mo-ong!” Ceng Liong mengguncang-guncang pundak itu sehingga tubuh Hek-i Mo-ong bergoyang-goyang keras.

“Heh-heh, kalau aku tidak mau mengobatinya?”

Tangan yang mengguncang pundak itu mencengkeram makin kuat. “Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!” bentak Ceng Liong.

“Ha-ha-ha, muridku yang pandai. Dengan cara bagaimana....?”

Ceng Liong kehabisan akal dan tidak mampu menjawab. Bagaimana mungkin dia akan dapat memaksa kakek iblis ini? Gertakan-gertakannya tentu hanya akan disambut dengan ketawa geli saja. Menghadapi kakek iblis ini dia merasa kalah segala-galanya.

“Ha-ha-ha, engkau paling-paling hanya dapat membunuhku! Dan kalau engkau sudah membunuhku, gadis itu pun akan mati dan engkau ditinggalkan oleh dua orang yang mencintamu, atau setidaknya ditinggalkan aku yang mencintamu dan gadis itu yang kau cinta. Ha-ha-ha, apa enaknya hidup begitu? Masih lebih enak aku yang mati!”

Melihat bahaya mengancam nyawa Bi Eng dan mendengar ucapan gurunya yang menutup semua harapan dan jalan keluar, tiba-tiba Ceng Liong menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya! “Suhu, kau tolonglah Bi Eng....!”

Tiba-tiba sepasang mata Hek-i Mo-ong terbelalak dan dia meloncat berdiri, mukanya yang tadinya pucat itu berubah merah. Memang seorang manusia yang luar biasa kakek ini! Menerima penghormatan seperti itu dia malah merasa tersinggung dan marah, sedangkan kalau muridnya bersikap tidak acuh dan tidak menghormat, menyebutnya Mo-ong saja, dia malah merasa girang!

“Enak saja! Aku baru mau mengobatinya kalau kau mau berjanji. Kalau tidak, biar kau membunuhku, aku tidak akan sudi mengobatinya!”

“Baiklah, suhu, aku akan memenuhi semua permintaanmu.”

“Nah, berjanjilah bahwa kelak engkau akan menjadi suami gadis ini!”

Ceng Liong terbelalak. Bi Eng sendiri yang rebah tak berdaya juga terkejut mendengar permintaan aneh itu.

“Hayo cepat berjanji sebelum aku berubah pikiran dan menolak pengobatan atas diri gadis ini!” Hek-i Mo-ong mengancam.

Tidak ada lain jalan bagi Ceng Liong. “Baiklah, aku berjanji kelak akan menjadi suami gadis ini....”

“Sebutkan namamu dan nama nona itu!”

“Aku Suma Ceng Liong berjanji kelak akan menjadi suami nona Kam Bi Eng....,” katanya dengan suara terpaksa sekali.

Sementara itu, wajah Bi Eng berubah merah, akan tetapi nona ini tidak mampu berkutik. Kalau ia bisa berkutik, tentu ia akan mengamuk dan menyerang guru dan murid itu kalang kabut. Akan tetapi ada keheranan besar di dalam hatinya, keheranan yang muncul ketika ia mendengar bahwa Ceng Liong she Suma dan cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es. Benarkah itu?

Menurut penuturan ayahnya, Pendekar Super Sakti adalah seorang pendekar yang amat tinggi ilmunya, seorang pendekar terkenal yang memiliki keluarga hebat terdiri dari pendekar-pendekar budiman. Mengapa kini cucu pendekar itu malah menjadi murid seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong? Benar-benar ia tidak mengerti sama sekali.

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Ingat, seorang gagah harus memegang teguh janjinya sampai mati!” kata kakek itu dengan girang bukan main.

“Suhu....”

“Heh? Apakah engkau sudah lupa bahwa aku ini Hek-i Mo-ong dan tidak menyebutku Mo-ong lagi?”

“Tidak, engkau adalah guruku, sudah sepatutnya kusebut suhu. Nah, suhu, sekarang cepatlah obati Bi Eng agar sembuh dan tidak terancam nyawanya.”

“Ha-ha-ha, siapa yang mengancam nyawanya? Ia sudah sembuh kalau engkau tidak usil tadi. Bebaskan totokan itu dan biarkan ia muntah-muntah, tentu sembuh!”

Ceng Liong melongo. “Ehhh....? Jadi....”

“Jadi apa? Yang kuminumkan tadi memang obatnya, dan memang wajar kalau ia mau muntah karena racun itu sudah terkumpul dan tersedot oleh obat, kini tinggal muntahkan saja dan sembuh!”

Ceng Liong tertegun. Kiranya kakek ini tidaklah sekejam yang disangkanya. Sama sekali kakek ini bukan hendak mencelakai Bi Eng! Dia percaya sepenuhnya dan cepat dia menotok tubuh Bi Eng sehingga gadis itu dapat bergerak kembali. Begitu bangkit duduk, Bi Eng lalu muntah-muntah! Dan yang dimuntahkan adalah gumpalan-gumpalan darah hitam!

Ceng Liong mendekatinya. Dia berlutut dan menekan-nekan tengkuk serta mengelus punggung gadis itu untuk membantu mengeluarkan semua racun dari dalam tubuhnya. Mula-mula Bi Eng yang dirangsang muntah itu membiarkan saja, akan tetapi setelah ia berhenti muntah-muntah, ia menepiskan tangan Ceng Liong, meloncat bangun berdiri dengan sinar mata galak.

Ia merasa kepalanya agak pening dan tubuhnya gemetar. Wajah dan lehernya penuh keringat, akan tetapi dalam tubuhnya terasa ringan dan enak. Ia benar-benar telah sembuh. Dengan pikiran tidak karuan, bercampur aduk antara rasa girang dan marah, terima kasih dan dendam, ia memandang kepada guru dan murid itu, kehabisan akal harus bicara apa dan bertindak bagaimana.

Mereka telah menghinanya, menipunya, namun juga telah menyelamatkan nyawanya! Apa yang sekarang harus dilakukannya untuk mengimbangi semua perbuatan mereka? Mendadak ia memejamkan matanya karena rasa pusing membuat pandangan matanya berputar melihat segala di sekelilingnya.

“Calon mantuku, engkau baru saja terbebas dari serangan racun yang amat berbahaya. Duduklah dan bersilalah menghimpun hawa murni,” kata Hek-i Mo-ong.

Dan seperti mimpi Bi Eng duduk bersila dan ia memejamkan mata, menaati perintah itu karena sebagai puteri seorang pendekar sakti ia pun tahu bahwa nasehat itu amat tepat baginya. Begitu bersila dan mengatur pernapasan, tubuhnya terasa sangat enak dan nyaman. Akan tetapi pikirannya tidak mau diam, terus melayang-layang tidak karuan. Penyebab kacaunya pikiran itu adalah ingatan tentang keadaan Ceng Liong seperti yang dikatakan oleh kakek iblis itu tadi. Cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Hal inilah yang mengganggu pikirannya.

Pada saat itu terdengar bentakan orang. “Hek-i Mo-ong, akhirnya aku dapat juga menemukanmu setelah mencari bertahun-tahun lamanya!”

Hek-i Mo-ong saat itu sudah duduk bersila dan mengatur pernapasannya. Dia telah menderita luka yang cukup berat. Pukulan yang diterimanya dari mendiang Jai-hwa Siauw-ok membuat luka dalam yang dideritanya ketika dia melawan Pendekar Suling Emas Kam Hong makin menghebat dan dalam keadaan luka parah sekali itu dia masih mengadu tenaga dengan muridnya sendiri. Kalau bukan Hek-i Mo-ong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, tentu dia sudah roboh dan tewas oleh pukulan sakti yang melandanya bertubi-tubi itu.

Maka ketika terdengar bentakan itu, walau pun telinganya dapat menangkapnya, dia masih saja duduk bersila dengan mata terpejam dan dia sibuk mengatur pernapasan. Juga Bi Eng masih duduk bersila dan mengatur pernapasan untuk mengusir kepeningan kepalanya. Tinggal Ceng Liong seorang yang begitu mendengar bentakan ini kemudian membalikkan tubuh menghadapi orang yang baru datang itu.

Ternyata yang muncul itu seorang pemuda yang usianya antara sembilan belas atau dua puluh tahun. Seorang pemuda bertubuh jangkung, dengan punggung agak sedikit bongkok. Pakaiannya sederhana dan sikapnya juga sederhana seperti orang biasa saja. Namun sepasang mata yang mencorong itu, dan wajah yang mengandung bayangan dendam penuh kebencian, membuat Ceng Liong cukup waspada karena dia dapat menduga bahwa orang ini datang bukan dengan niat hati yang baik. Dengan penuh perhatian dia mengamati wajah pemuda itu karena dia merasa seperti pernah mengenal wajah ini, akan tetapi telah lupa lagi kapan dan di mana.

Pemuda itu agaknya tak memperhatikan Ceng Liong sebab pandang matanya ditujukan terus pada Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila. Kemudian, dengan sikap perlahan dan tenang namun penuh ketegasan, dia melolos pedang dari balik jubahnya dan terkejutlah Ceng Liong ketika dia mengenal sebatang pedang pusaka yang ampuh. Pedang itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dicabut dan tahulah dia bahwa pedang itu bukan pedang sembarangan, melainkan sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang amat baik dan ampuh.

“Hek-i Mo-ong, janganlah berpura-pura tidak tahu. Bangkitlah dan lunasi hutangmu!” pemuda itu membentak dan dengan langkah perlahan dia menghampiri Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila tanpa membuka kedua matanya.

“Perlahan dulu, sobat!” Tiba-tiba Ceng Liong berseru dan sekali menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya sudah mencelat ke depan pemuda berpedang itu dan dia bertolak pinggang menghadang. “Mau apa engkau menghampiri guruku dengan menghunus pedang?”

Pemuda itu tertegun, mengamati wajah Ceng Liong dan akhirnya dia berkata setelah menarik napas panjang. “Aihh, jadi engkau ini murid Hek-i Mo-ong, bocah setan itu? Bagus, membasmi pohon beracun harus dengan akar-akarnya agar tidak tumbuh lagi!”

Ceng Liong mengerutkan alisnya. Kini dia melihat sesuatu yang menggugah ingatannya. Tahi lalat di ujung bawah telinga kiri itu! Terbayanglah dia ketika anak laki-laki berusia tiga belas tahunan itu memondong jenazah Yang I Cin-jin yang tewas di tangan Hek-i Mo-ong, pandang mata anak laki-laki itu yang penuh dendam kebencian kepada Hek-i Mo-ong!

“Ahh, kiranya engkau murid mendiang Yang I Cin-jin....!”

Pemuda itu tersenyum. “Dan engkau murid Hek-i Mo-ong yang memiliki ingatan baik sekali. Memang, aku Pouw Kui Lok, murid suhu yang dahulu membawa pergi jenazah suhu ketika suhu terbunuh oleh gurumu. Dan sekarang telah tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk!”

Ceng Liong melihat betapa sikap pemuda ini gagah dan tidak kelihatan jahat. Dia pun teringat pada mendiang Yang I Cin-jin yang juga lebih pantas menjadi seorang pendekar dari pada seorang sesat, walau pun pada waktu itu Yang I Cin-jin agaknya ikut pula bersekutu dengan para pemberontak. Dia pun menarik napas panjang.

“Pouw Kui Lok, urusan antara guruku dan gurumu dahulu itu adalah urusan pribadi. Tentu engkau pada waktu itu mengetahui juga bahwa yang menyerang lebih dahulu adalah gurumu dan mereka lalu berkelahi secara adil. Kalau seorang di antara mereka kalah dan tewas, bukankah hal itu wajar saja? Urusan di antara mereka, kenapa engkau harus mencampurinya?”

Diam-diam Pouw Kui Lok tertegun mendengar ucapan ini. Sama sekali tidak diduganya bahwa murid seorang iblis seperti Hek-i Mo-ong itu mempunyai pandangan seperti itu! Maka, kemarahannya terhadap Ceng Liong sebagai murid Hek-i Mo-ong mereda dan suaranya pun terdengar lembut.

“Orang muda, urusan antara aku dan gurumu juga urusan pribadi. Engkau tidak tahu berapa banyak hutang gurumu kepadaku. Dia pernah membunuh mendiang kakek guruku yang bernama Thian Teng Losu, kemudian membunuh paman guruku Yang Heng Cin-jin dan memperkosa isterinya. Kemudian, ketika guruku mencoba untuk membalas dendam, guruku malah tewas di tangannya. Sebagai muridnya, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Selama ini aku menggembleng diri tak kenal lelah, semua kulakukan hanya untuk hari ini, untuk membalas semua itu kepada gurumu. Sebaiknya engkau jangan mencampuri, dan aku tidak akan mengganggumu. Biarlah permusuhan habis di sini saja setelah gurumu atau aku tewas dalam suatu perkelahian yang adil!”

Sikap Pouw Kui Lok gagah sekali. Diam-diam Ceng Liong merasa menyesal mengapa dia harus berdiri di situ sebagai murid Hek-i Mo-ong, sehingga dia terpaksa terlibat dalam urusan permusuhan pribadi yang tidak menyenangkan itu, karena bagaimana pun juga dia dapat merasakan bahwa permusuhan itu diawali oleh perbuatan gurunya yang tidak benar.

“Pouw Kui Lok, adalah hakmu untuk menuntut balas kematian gurumu. Aku tidak akan mencampuri urusan permusuhan pribadi, akan tetapi pada saat ini Hek-i Mo-ong sedang dalam keadaan sakit, maka aku akan melarangmu jika engkau hendak menyerangnya. Aku terpaksa mencampuri karena melihat ketidak adilan....”

“Ho-ho-ho, siapa bilang aku sakit? Ha-ha, kalau hanya murid Yang I Cin-jin, jangankan hanya seorang, biar ada sepuluh orang aku masih sanggup untuk membunuhnya satu demi satu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan tertawa-tawa dengan sikap mengejek.

“Suhu....!” Ceng Liong berseru kaget dan juga marah karena dia tahu bahwa suhu-nya hanya berpura-pura saja karena sebenarnya suhu-nya terluka parah dan tidak mungkin dapat menghadapi lawan tangguh.

“Heh-heh, Ceng Liong. Sejak kapan gurumu ini gentar menghadapi ancaman musuh? Jangan kau turut campur, biar kuhabiskan riwayat bocah sombong itu!”

Mendengar ini, Pouw Kui Lok menjadi marah. Kalau tadinya dia merasa agak ragu-ragu mendengar bahwa musuh besarnya berada dalam keadaan sakit, kini mendengar ucapan dan tantangan Hek-i Mo-ong, tentu saja dia merasa lega. Dengan pedang di tangan, dia kemudian mengeluarkan suara geraman nyaring menyerang ke arah Hek-i Mo-ong. Akan tetapi, bayangan Ceng Liong berkelebat dan pemuda remaja ini sudah menghadangnya dan memandangnya dengan tajam.

“Guruku sedang sakit, engkau tidak boleh mengganggunya sekarang!”

“Bocah tolol, minggirlah dan jangan mencampuri urusanku!”

Tetapi Ceng Liong tidak mau minggir sehingga terpaksa Pouw Kui Lok menusukkan pedangnya. Ceng Liong mengelak dan membalas dengan tendangan kilat, membuat Pouw Kui Lok terkejut dan meloncat ke samping.

Pada saat itu, muncul dua orang tosu berpakaian kuning. Mereka segera menghadapi Ceng Liong dari kanan kiri sambil berkata, “Pouw-taihiap, biar pinto berdua menghadapi iblis muda ini!” Dan mereka pun langsung menyerang Ceng Liong dengan tangan kosong.

Ceng Liong melihat betapa gerakan kedua orang tosu ini cukup lihai. Mereka bertangan kosong, tetapi ketika mereka menyerang, ujung kedua lengan baju mereka menyambar dahsyat dengan kekuatan yang cukup ampuh. Tahulah dia bahwa dua orang tosu ini bukan lawan yang lunak, maka dia pun cepat mengelak dan menangkis pukulan tosu ke dua untuk mengukur tenaganya.

“Dukkk!”

Tosu itu hampir terjengkang dan melangkah sampai lima langkah ke belakang dengan muka berubah.

“Siancai....! Iblis muda ini berbahaya....!” katanya dan mereka berdua bersikap hati-hati sekali menahan Ceng Liong agar pemuda ini tidak dapat membantu gurunya yang sudah diserang oleh Pouw Kui Lok.

Hek-i Mo-ong memang seorang aneh. Dia sengaja tadi mengejek dan menantang musuhnya, hanya untuk melihat sampai di mana kesetiaan muridnya kepadanya! Padahal, sikapnya ini amat membahayakan dirinya. Gerakan Pouw Kui Lok amat cepat dan kuat, pedangnya lenyap bentuknya berubah menjadi sinar terang yang menyambar laksana kilat.

Memang sesungguhnya pemuda ini telah menggembleng diri dan berhasil mewarisi ilmu pedang mendiang Yang I Cin-jin. Bahkan telah pula memperdalam ilmu pedangnya di Kun-lun-pai sehingga dia menjadi seorang ahli pedang yang lihai. Yang I Cin-jin adalah seorang tosu, dan biar pun bukan menjadi pendekar budiman yang terkenal, setidaknya bukan penjahat dan sudah kenal baik dengan para tosu Kun-lun-pai. Inilah sebabnya ketika Pouw Kui Lok menceritakan tentang kematian gurunya di tangan datuk sesat Hek-i Mo-ong, mereka mau membantunya, menggemblengnya, bahkan ketika pemuda ini mencari musuh besarnya, dua orang tosu Kun-lun-pai yang menjadi para suheng-nya menemaninya.

Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, dua orang tosu itu tidak berniat mengeroyok Hek-i Mo-ong karena urusan antara Hek-i Mo-ong dan Pouw Kui Lok adalah urusan pribadi. Akan tetapi mereka menemani pemuda itu karena ingin membantunya kalau-kalau sute mereka yang ilmu pedangnya amat lihai itu dikeroyok oleh kawan-kawan atau anak buah Hek-i Mo-ong. Inilah sebabnya ketika Ceng Liong maju, mereka berdua langsung turun tangan mencegah Ceng Liong untuk membantu gurunya dan memberi kesempatan kepada Pouw Kui Lok untuk dapat bertanding secara adil melawan musuh besarnya.

Walau pun kini tingkat kepandaian Pouw Kui Lok sudah lebih tinggi dari mendiang gurunya, akan tetapi andai kata keadaan Hek-i Mo-ong seperti biasa, sehat dan tidak sedang menderita luka yang amat parah, jangan harap pemuda itu akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi saat itu Hek-i Mo-ong memang sudah payah sekali. Dipakai bernapas saja dadanya terasa nyeri, apalagi kalau dia mengerahkan sinkang, rasanya seperti ditusuk-tusuk jantungnya.

Dan penyerangnya yang muda itu benar-benar amat lihai. Pedangnya membuat sinar bergulung-gulung dan repotlah Hek-i Mo-ong mengelak ke sana sini. Dia tidak berani menggunakan kekebalannya untuk menghadapi pedang lawan. Pertama karena pedang lawan amat ampuh dan kuat, kedua kalinya karena dia tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga sinkang. Hal ini bisa membuat lukanya menjadi semakin parah. Maka tidaklah mengherankan apabila dia terdesak hebat dan main mundur terus, mengelak ke kanan kiri dan terhuyung-huyung.

Hek-i Mo-ong bukanlah seorang tolol yang ingin membiarkan dirinya mati konyol. Kalau dia tahu bahwa pemuda musuh besarnya itu dibantu oleh dua orang tosu Kun-lun-pai yang demikian lihai, tentu dia tidak mengeluarkan ejekan dan tantangan tadi. Kini, dia terkejut melihat betapa muridnya dihadang dua orang tosu itu sehingga tentu saja Ceng Liong tidak dapat membantunya. Dia harus menghadapi sendiri amukan Pouw Kui Lok dan ternyata pemuda ini lihai bukan main ilmu pedangnya. Lewat beberapa puluh jurus saja, sudah dua kali tubuhnya terserempet ujung pedang sehingga bajunya robek dan kulitnya juga robek. Darah bercucuran!

Sejak tadi Bi Eng menonton perkelahian itu dengan mata terbelalak dan bingung. Dara ini tidak mengenal siapa adanya pemuda dan kedua orang tosu yang memusuhi Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Akan tetapi, ia pun cukup mengerti bahwa biasanya, tosu adalah pendeta yang mengutamakan kebaikan. Bagaimana pun juga, ia adalah puteri Pendekar Suling Emas.

Ayahnya sudah sering kali memperingatkan kepadanya bahwa ia tidak boleh menilai orang dari keadaan lahirnya. Manusia tidak dapat dinilai dari pakaiannya, kekayaannya, kepandaiannya, agamanya dan sebagainya. Semua itu hanya pakaian. Yang penting adalah manusianya itu sendiri, lepas dari pada semua pakaiannya yang kadang-kadang hanya dipakai untuk menutupi dan menyembunyikan kekotoran dan keburukannya.

Ternyata dua orang tosu itu lihai sekali, walau pun mereka belum juga dapat mendesak Ceng Liong. Melihat betapa pemuda itu mampu menahan dua orang tosu yang demikian lihainya, diam-diam Bi Eng menjadi semakin kagum saja kepadanya. Dan ketika dara remaja ini menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong, ia mengerutkan alisnya.

Kakek itu sedang terluka parah dan sekarang didesak amat hebatnya oleh pemuda berpedang. Sudah terluka di sana-sini dan tubuhnya berlumuran darah. Akan tetapi, Bi Eng memiliki harga diri. Ia tidak mungkin dapat turun tangan membantu Hek-i Mo-ong. Hal itu akan berarti pengeroyokan dan ia sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan pribadi dua orang itu.

Bagaimana pun juga, kakek iblis itu telah menyelamatkan nyawanya. Kalau kini dia mendiamkan saja kakek itu terancam bahaya, kalau sampai kakek itu dibunuh orang di depan matanya tanpa ia berusaha menyelamatkannya, sungguh ia akan menjadi orang yang tidak mengenal budi sama sekali! Secara otomatis, matanya mulai mencari-cari senjata karena suling emasnya telah hilang ketika ia berkelahi melawan Louw Tek Ciang.

Melihat keadaan Hek-i Mo-ong makin lemah, Pouw Kui Lok memperhebat desakannya. Pedangnya membentuk sinar bergulung-gulung yang seperti tali-temali melibat-libat tubuh Hek-i Mo-ong.

“Cetttt....!”

Kembali ujung pedang itu merobek pundak kiri Hek-i Mo-ong. Kakek itu terhuyung dan terjengkang. Melihat ini, Pouw Kui Lok menubruk ke depan dengan serangan kilatnya. Demikian hebat serangannya itu sehingga tahu-tahu pedangnya telah amblas ke dalam dada Hek-i Mo-ong.

“Cratttt....!”

Kakek itu meregang, akan tetapi tangan kirinya dengan membentuk cakar menyambar ke arah kepala Pouw Kui Lok. Pemuda ini terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa kakek yang sudah ditembusi pedang dadanya itu masih mampu melakukan serangan sedemikian hebatnya! Itulah ilmu mukjijat Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dari Hek-i Mo-ong!

Kalau tadi kakek itu tidak mengeluarkan ilmu ini adalah karena ilmu ini membutuhkan pengerahan sinkang yang amat kuat dan untuk mengerahkan ini, sama saja dengan membunuh diri karena luka di dalam tubuhnya tentu akan makin menghebat. Maka baru sekarang, setelah pedang lawan menembus dadanya, dia mengeluarkan ilmu ini.

“Crokkk....!”

Betapa pun lihainya Pouw Kui Lok dan biar pun dia sudah berusaha untuk mengelak, dia hanya berhasil menyelamatkan kepalanya saja dan jari-jari tangan kakek itu tetap saja mencengkeram pundaknya sehingga kulit dan daging pundak itu menjadi hancur, dan ujung tulang pundak juga patah! Pouw Kui Lok mengeluh kesakitan dan meloncat ke belakang. Pundak kirinya terluka parah dan lengan kirinya lumpuh sama sekali. Akan tetapi melihat kakek itu masih belum tewas, dia menjadi nekat dan maju lagi untuk memberi tusukan-tusukan lagi. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan sebatang ranting digerakkan secara istimewa menyerangnya dari samping!

Pouw Kui Lok terkejut dan menangkis dengan pedangnya.

“Trakkk!”

Ranting itu tertangkis, akan tetapi melesat dengan gerakan menyerong dan tahu-tahu ujung ranting hampir menusuk matanya! Pouw Kui Lok berseru kaget dan melempar tubuhnya ke belakang, terus bergulingan. Dia selamat, akan tetapi keringat dingin membasahi lehernya karena nyaris matanya buta oleh tusukan ranting tadi. Ketika dia meloncat dan menyeringai kesakitan karena pundak yang terluka tadi terasa nyeri sekali ketika dipakai bergulingan, dia melihat dengan heran bahwa yang menyerangnya dengan ranting hanyalah seorang gadis remaja yang wajahnya masih pucat, agaknya baru sembuh dari sakit.

“Suheng, pergi....!” Pouw Kui Lok berseru.

Dia sudah terluka parah, dan dia sudah berhasil menusuk tembus dada musuhnya sehingga dia merasa yakin bahwa musuh besarnya pasti akan mati. Dan di situ selain ada murid Hek-i Mo-ong yang amat lihai, terdapat pula gadis remaja yang memiliki ilmu silat istimewa pula. Dua orang tosu yang memang kewalahan menghadapi Ceng Liong, meloncat jauh ke belakang dan mereka bertiga melarikan diri.

“Suhu....!” Ceng Liong berseru ketika melihat kakek itu berdiri dengan mendekapkan tangan kiri ke dadanya. Wajahnya berseri akan tetapi pucat sekali dan berdirinya terhuyung-huyung. Ketika Ceng Liong merangkul gurunya, kakek itu tertawa.

“Ha-ha-ha, dalam saat terakhir hidupku, muridku membelaku dan calon isterinya juga membantuku. Aku puas sudah.... ha-ha-ha, Hek-i Mo-ong.... hari akhirmu diantar oleh hati orang-orang muda yang sayang kepadamu.... ha-ha!” Dan kakek itu tentu terguling kalau tidak cepat dipondong oleh Ceng Liong.

Gurunya setengah pingsan dan ketika Ceng Liong memondongnya dan merebahkannya di atas rumput, terasa oleh Ceng Liong betapa kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu kini amatlah kurusnya dan amat ringannya. Hatinya merasa terharu, apalagi saat melihat bahwa gurunya telah menderita luka parah sekali. Dada dan punggungnya berlubang dan mengucurkan darah, napasnya tinggal satu-satu. Bi Eng juga berlutut di dekat tubuh kakek itu yang dengan lemah memandangi mereka berdua.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es