KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-33


Hampir saja Ceng Liong berseru kaget pada saat dia mengenali gerakan ilmu silat keluarganya dimainkan oleh murid Jai-hwa Siauw-ok yang bernama Tek Ciang itu. Bagaimana penjahat muda yang menjijikkan ini mampu memainkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang sedemikian mahirnya? Bahkan setiap kali bergerak, muncullah hawa panas sekali atau dingin sekali dari kedua lengannya, tanda bahwa orang itu telah benar-benar menguasai kedua ilmu keturunan keluarga Pulau Es itu!

Juga Hek-i Mo-ong diam-diam terkejut dan kagum. Murid dari sekutunya benar-benar hebat dan tak boleh dipandang ringan, mungkin lebih hebat dari pada gurunya. Sedang Jai-hwa Siauw-ok hanya tersenyum-senyum bangga. Tek Ciang adalah muridnya dan dia tahu bahwa muridnya itu telah menguasai ilmu-ilmu keturunan keluarga Pulau Es!

Akan tetapi, di lain pihak mereka juga kagum sekali melihat dara remaja yang jelita itu. Ilmu silatnya tinggi, sulingnya benar-benar amat lihai sehingga dengan gulungan sinar emas, gadis itu mampu membendung semua serangan balasan lawan. Diam-diam gadis itu sendiri pun kaget betapa lawannya amatlah tangguhnya. Maka dia pun tidak mau kalah dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya.

Ilmu Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mukjijat, akan tetapi ia belum menguasai secara mendalam, hanya menguasai teorinya dan baru berlatih selama beberapa bulan. Kepandaiannya dalam ilmu silat ini belum matang dan menurut ayahnya, kematangan itu membutuhkan ketekunan dan latihan yang lama dan tepat.

Maka, ia pun mengeluarkan bermacam ilmu yang dipelajarinya dengan penuh semangat dari ayah bundanya. Sulingnya berkelebatan, bergulung-gulung memainkan ilmu-ilmu pedang yang langka di dunia ini. Di antaranya ia memainkan Pat-sian Kiam-hoat, juga Hong-in Bun-hoat dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut sendiri.

Oleh karena merasa memperoleh kesukaran untuk mengalahkan lawannya dengan mengandalkan ilmu silat dan kecepatan, Tek Ciang merasa penasaran dan dia hendak mengadu tenaga. Dia maklum bahwa lawannya ini memiliki tenaga sinkang yang kuat, tetapi dia tidak percaya kalau dia kalah kuat. Bagaimana pun juga, lawannya hanyalah seorang dara remaja!

Maka, ketika untuk kesekian kalinya suling itu berkelebat dan ada gulungan sinar emas menyambar ke arah dadanya, dia tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanannya menangkis dengan usaha menangkap suling itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.

“Plakkk!”

Telapak tangan Tek Ciang bertemu dengan suling. Jangankan menangkap, telapaknya malah terasa bagaikan dibakar. Cepat-cepat dia mengerahkan Hwi-yang Sinkang untuk melawannya, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, sedangkan dara itu hanya melangkah mundur dua langkah saja! Dari pertemuan ini, ternyatalah bahwa dara itu lebih kuat dalam tenaga sinkang dari padanya!

Sesungguhnya tidaklah demikian. Kalau saja Tek Ciang bukan seorang jai-hwa-cat yang hampir setiap malam menghamburkan tenaganya dengan mempermainkan wanita yang diculik dan diperkosanya, tentu dia tidak kalah kuat, bahkan mungkin lebih kuat dari Bi Eng. Akan tetapi, dia malas berlatih, malah memboroskan tenaganya dengan perbuatan jahat menculik dan memperkosa wanita seperti yang sering dilakukan pula oleh sang guru, Jai-hwa Siauw-ok.

Benturan tenaga sinkang yang membuat Tek Ciang terhuyung itu membuat orang ini merasa malu, penasaran dan marah sekali. Bagaimana pun juga, sejak tadi masih belum ada niat di dalam hatinya untuk membunuh atau mencelakai gadis ini. Ingin dia membuat gadis itu tidak berdaya, mengalahkannya tanpa membunuhnya agar dia dapat lebih dulu mempermainkannya sebelum membunuhnya kelak. Akan tetapi, sikapnya yang mengalah ini bahkan hampir mencelakakan dirinya sendiri.

“Ciiiittt.... ciiittt....!”

Tek Ciang menyerang ganas. Kini tusukan-tusukan jari tangannya yang menggunakan Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) mengeluarkan bunyi mengerikan. Bi Eng terkejut. Belum pernah ia melihat ilmu yang ganas dan aneh seperti itu. Ketika ia mengelak dan tusukan jari tangan itu melanggar ujung sabuknya, maka ujung sabuknya itu terbabat putus seperti disambar pedang! Cepat ia mengandalkan kelincahannya sambil membalas dengan sulingnya.

Tiba-tiba Tek Ciang tergelincir dan roboh miring. Jika saja Bi Eng sudah berpengalaman dalam perkelahian, apalagi kalau saja ia sudah sering berhadapan dengan lawan dari golongan sesat, tentu ia akan bersikap waspada karena ia tentu tahu bahwa golongan sesat tidak segan mempergunakan siasat curang untuk memperoleh kemenangan. Ia tidak mengira bahwa Tek Ciang mempergunakan siasat itu. Maka sulingnya menyambar dalam kemarahannya hendak membalaskan kematian enam orang pelayannya.

Pada saat ia menubruk itu, tiba-tiba Tek Ciang mengeluarkan suara berkokok dan dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah Bi Eng, sambil mengerahkan ilmu pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Ilmu pukulan ini dahulu merupakan ilmu pukulan yang ampuh dari Su-ok, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok yang berhasil dicuri oleh Jai-hwa Siauw-ok melalui Ji-ok dan telah dipelajari dengan baik oleh Tek Ciang.

“Desss....!”

Bi Eng yang sama sekali tidak pernah menyangka lawan yang sudah tergelincir itu akan mampu melakukan pukulan sehebat itu, terlanda pukulan Hoa-mo-kang dan tubuhnya terpelanting roboh dalam keadaan pingsan!

Memang kehebatan ilmu pukulan Hoa-mo-kang itu adalah cara penggunaannya dari bawah, dari dalam keadaan rebah miring atau berjongkok. Bau amis tercium ketika ilmu pukulan ini dilakukan dan Bi Eng yang roboh pingsan itu mukanya berubah agak kehijauan karena ia telah terkena pukulan beracun yang amat hebat.

“Tolol kamu....!” Hek-i Mo-ong melangkah maju dan memaki Tek Ciang yang segera melangkah mundur dengan muka pucat.

Biar pun dia telah berhasil, akan tetapi pukulannya tadi bertemu dengan kekuatan sinkang yang membuatnya jantungnya terasa tergetar. Kini dia dibentak dan dimarahi, maka dia menjadi sangat khawatir.

“Mo-ong, kenapa engkau marah-marah? Bukankah muridku telah berhasil....”

“Berhasil apa? Apa sukarnya mengalahkan anak perempuan itu? Ia merupakan sandera yang paling berharga, kenapa malah dibunuh? Kalau ia ditangkap dalam keadaan hidup dan sehat, kita akan mudah menundukkan ayah ibunya!”

Jai-hwa Siauw-ok baru mengerti dan dia pun menyesal. “Bagaimana pun juga, dara itu belum mati, dan menghadapi suami isteri itu, kita berempat tentu mampu mengalahkan mereka.”

“Hei, ke mana engkau akan membawanya?” Tiba-tiba Tek Ciang berteriak.

Semua orang menengok dan ternyata Ceng Liong sudah memanggul tubuh Bi Eng yang sudah lemas tak berdaya itu.

“Mo-ong, aku akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya,” Ceng Liong berkata, ditujukan kepada Hek-i Mo-ong dan sama sekali tidak mempedulikan teriakan Tek Ciang.

“Tahan dulu....!” Tek Ciang hendak mengejar.

“Diam kau....!” Jai-hwa Siauw-ok membentak muridnya.

Tek Ciang menoleh dan melihat betapa kakek iblis Hek-i Mo-ong sedang memandang kepadanya dengan marah. Tahulah dia mengapa gurunya menghardik, karena kalau dia mengejar murid iblis itu, siapa tahu Hek-i Mo-ong akan membunuhnya. Watak dan sikap kakek iblis itu memang sukar diselami, maka dia pun mengalah, bahkan diam-diam tersenyum mengejek. Biarlah, biarlah dicobanya oleh anak setan itu untuk mengobati bekas tangannya dengan pukulan Hoa-mo-kang tadi, pikirnya.

Dia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengobatinya, akan tetapi sebelum dara itu mati, ingin dia mempermainkannya lebih dahulu. Sayang kalau dara yang cantik jelita dan sedang mekar itu dibiarkan mati tanpa diganggu.

“Sudahlah, mari kita segera mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian,” kata Hek-i Mo-ong, kemarahannya mereda ketika Jai-hwa Siauw-ok memperlihatkan rasa takut kepadanya. “Biar nanti muridku menyusul dan biarkan dia mencoba untuk menyembuhkan sandera kita.”

“Locianpwe, gadis itu tadi akulah yang merobohkannya, maka aku yang berhak untuk menikmatinya, bukan murid locianpwe,” kata Tek Ciang yang masih merasa penasaran, akan tetapi suaranya menghormat karena dia takut kalau-kalau kakek iblis ini akan menjadi marah.

“Cihhh! Jangan samakan muridku dengan manusia gila perempuan macam engkau! Muridku adalah laki-laki sejati. Kalau dia bilang mau mencoba mengobati, tentu dia akan mengobati saja dan tidak melakukan hal lain! Mari kita pergi!”

Jai-hwa Siauw-ok berkedip kepada muridnya dan Tek Ciang tidak berani banyak cakap lagi. Bagaimana pun juga, hatinya masih mendongkol karena dia membayangkan betapa Ceng Liong tentu akan mempergunakan kesempatan itu untuk menguasai gadis cantik yang sudah pingsan itu!

Memang, orang yang sudah biasa melakukan penyelewengan di dalam kehidupannya, akan selalu menganggap orang lain sama seperti dia sendiri dan dia tidak akan dapat mempercayai orang lain. Demikian pula dengan Louw Tek Ciang ini. Dia dan gurunya adalah dua orang jai-hwa-cat, maka dia menganggap bahwa semua orang laki-laki tentu mempunyai watak seperti dia pula dan timbul cemburu dan tidak percaya ketika Ceng Liong membawa pergi gadis cantik yang pingsan itu.

Hek-i Mo-ong sendiri tentu saja sudah mengenal watak muridnya. Kadang-kadang, kalau dia sedang melamun, dia merasa malu sendiri kepada muridnya. Jelas nampak olehnya bahwa biar pun selama bertahun-tahun Ceng Liong menjadi muridnya, namun anak itu sungguh memegang teguh janjinya, yakni hanya belajar ilmu saja kepadanya dan tidak mau belajar menjadi manusia sesat! Dia kadang-kadang merasa malu mengapa anak itu dapat memiliki watak gagah, seorang pendekar tulen!

Kadang-kadang timbul penyesalan pula di dalam hatinya, mengapa dia yang di waktu mudanya juga mempelajari banyak tentang kebatinan, kemudian dapat menyeleweng dan sekali menceburkan diri ke dalam jurang kesesatan, sukarlah untuk keluar dari situ. Dia sudah merasa terlanjur menjadi tokoh kaum sesat dan dia akan merasa malu kalau keluar dari lingkungan itu.

Ia tahu pasti bahwa sekali berkata hendak mengobati gadis yang terkena pukulan murid Jai-hwa Siauw-ok itu, tentu hal ini akan dilaksanakan oleh Ceng Liong dan tak mungkin ada sedikit pun niat buruk lain di dalam hati muridnya. Diam-diam kakek iblis ini malah merasa bangga sekali bahwa muridnya adalah seorang pendekar, bahkan bukan sembarangan pendekar melainkan cucu asli dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!

Dia pun tahu bahwa korban pukulan macam yang dilakukan oleh Tek Ciang itu sukar sekali ditolong. Apalagi muridnya tidak pernah mempelajari cara menyembuhkan korban seperti itu, maka tentu muridnya akan gagal. Gadis itu akan tewas dan tidak lama kemudian muridnya tentu akan menyusulnya.

Akan tetapi, dia merasa kehilangan muridnya ketika mendadak dia dan kedua orang kawannya mendengar bunyi suling ditiup secara aneh. Mereka berhenti serentak, saling pandang dan jelas betapa wajah mereka menjadi tegang. Bahkan Tek Ciang yang biasanya bersikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, agak berubah air mukanya mendengar suara suling itu.

Suara suling itu aneh sekali, tidak seperti suara suling biasanya. Melengking-lengking naik turun, dan terdengar dua suara suling yang saling susul, saling belit dan saling mengisi. Kadang-kadang terdengar seperti nyanyian lagu gembira, kadang-kadang seperti berbisik-bisik, seperti sepasang kekasih sedang memadu asmara, dan ada kalanya berubah menjadi gegap-gempita seperti ada perang di sana. Dan dalam nada bagaimana pun juga, selalu ada getaran yang amat kuat, yang membuat tiga orang itu harus mengerahkan sinkang untuk melawannya.

Kemudian suara suling itu merendah, sampai rendah sekali dan jantung tiga orang itu terasa seperti dipukuli palu godam yang amat berat, berdentang-dentang dan dada seperti akan pecah rasanya. Hanya dengan pengerahan sinkang saja mereka dapat bertahan. Tiba-tiba, suara yang amat rendah itu melengking, makin lama makin tinggi. Tiga orang itu hampir tak kuat bertahan, lalu mereka duduk bersila dan mengerahkan sinkang. Suara itu melengking terus sampai tinggi sekali, sampai lenyap suaranya tak dapat tertangkap lagi oleh pendengaran, akan tetapi getarannya amat kuatnya seperti jarum menusuk-nusuk jantung mereka rasanya.

Akhirnya, suara itu berhenti dan lenyap. Legalah hati mereka dan mereka membuka mata, saling pandang dan muka mereka menjadi agak pucat. Bukan main hebatnya suara tadi dan tanpa bicara pun mereka dapat menduga siapa yang meniup suling seperti itu. Dugaan mereka terbukti dengan munculnya dua orang dari puncak, jalan bergandengan tangan dan suling yang mereka bunyikan tadi, yang menciptakan suara aneh, kini terselip aman di ikat pinggang mereka.

Yang seorang laki-laki, berpakaian sasterawan sederhana, dengan jubah luar yang terlalu lebar kedodoran. Usianya antara lima puluh tahun, namun masih nampak tampan dan anggun, halus gerak-geriknya dan mulutnyapun membayangkan keramahan dan kehalusan budi. Hanya sepasang matanya yang tidak dapat dicuri memiliki sinar mencorong seperti naga. Kumis dan jenggotnya tidak begitu panjang dan terawat baik. Seorang sasterawan yang tampan dan halus!

Dan di sebelahnya berjalan seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, masih nampak cantik dan manja, kadang-kadang menggandeng lengan pria itu dan kalau bicara melirik dan tersenyum, kadang-kadang memandang wajah pria itu dengan perasaan cinta dan sayang dan manja! Itulah pendekar sakti Kam Hong, keturunan dari keluarga Pendekar Suling Emas, bersama isterinya, Bu Ci Sian yang juga menjadi sumoi-nya dalam mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan khikang yang sangat tinggi. Mereka kelihatan begitu rukun dan saling mencinta.

Melihat musuh besarnya, Hek-i Mo-ong lupa akan rasa gentarnya dan dia sudah memandang dengan mata mendelik dan napas memburu, didorong oleh hawa amarah yang menyesak dada. Ada pun Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya memandang ke arah wanita itu. Seorang wanita cantik yang sudah matang, agaknya inilah musuh besarnya, pikir Jai-hwa Siauw-ok dengan jantung berdebar. Kalau saja dia mampu membalaskan sakit hati guru-gurunya! Dengan mengalahkan wanita ini, merobohkannya, kemudian memperkosanya sepuas mungkin baru menyiksa dan membunuhnya! Alangkah akan puas rasa hatinya.

Sekarang sepasang suami isteri yang bukan lain adalah Kam Hong dan Bu Ci Sian itu, melihat adanya tiga orang laki-laki yang berdiri menghadang di jalan. Mereka merasa heran dan amat kaget. Biasanya, setelah berjalan-jalan dan menikmati matahari terbit, mereka suka iseng-iseng dan berlatih suling. Tadi pun mereka berlatih dan mereka tahu bahwa di sekitar tempat itu sunyi tidak ada orang lain. Kini, tahu-tahu ada tiga orang dan melihat betapa tiga orang itu agaknya tidak mengalami sesuatu oleh suara suling mereka, mudah diduga bahwa tiga orang ini tentu ‘berisi’.

Akan tetapi, keheranan hati mereka segera lenyap ketika mereka mengenal kakek berpakaian hitam yang sedang berdiri tegak sambil mengipas-ngipaskan tubuhnya dengan sebuah kipas merah itu. Hek-i Mo-ong! Siapa lagi kalau bukan kakek iblis itu yang kini berdiri dengan kipas merahnya yang amat berbahaya itu?

Ketika mengerling kepada dua orang laki-laki di dekat Hek-i Mo-ong, Kam Hong dan isterinya tidak mengenal mereka, akan tetapi dapat menduga bahwa dua orang yang datang bersama seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong, mudah diduga tentu juga bukan orang-orang baik dan juga tentu memiliki kepandaian yang tinggi.

Sikap Kam Hong amat tenang ketika sambil tersenyum dia menjura. “Ah, kiranya Hek-i Mo-ong yang datang berkunjung! Sudah belasan tahun tidak bertemu, apakah engkau dalam keadaan sehat, Mo-ong?”

Sungguh tidak dapat dimengerti oleh Tek Ciang bagaimana seorang yang dianggap musuh menyambut Hek-i Mo-ong dengan keramahan seperti itu, seolah-olah bertemu dengan seorang sahabat lama saja. Dan Hek-i Mo-ong juga menjawab dengan suara wajar, akan tetapi mengandung penuh ancaman.

“Orang she Kam, selama belasan tahun ini aku menjaga diriku baik-baik agar aku dapat bertemu lagi denganmu dan menebus kekalahanku dahulu. Nah, sekarang kita bertemu di sini. Bersiaplah untuk menebus dan membayar hutangmu dahulu!”

Kam Hong menarik napas panjang. “Mo-ong, seorang tua seperti engkau ini, pantaskah untuk meracuni batin dengan dendam yang hanya disebabkan oleh kekalahan dalam suatu perkelahian? Sungguh kasihan!”

Saat itu dipergunakan oleh Jai-hwa Siauw-ok untuk menudingkan telunjuknya ke arah muka wanita cantik itu sambil bertanya, “Apakah engkau yang bernama Bu Ci Sian dan dahulu telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu?”

Bu Ci Sian memandang laki-laki yang usianya sedikit lebih tua dari suaminya itu, yang berwajah ganteng berpakaian pesolek, mengamatinya akan tetapi ia tidak ingat pernah berkenalan dengan orang ini. Juga, mendengar pertanyaannya, jelas bahwa laki-laki ini pun baru sekarang bertemu dengannya.

“Benar, siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Im-kan Ngo-ok?” tanyanya, suaranya juga tenang karena wanita ini telah menerima gemblengan dari suaminya sendiri dan kini menjadi seorang wanita yang jauh lebih lihai dibandingkan dahulu sebelum ia menjadi isteri Kam Hong. Sikap seorang yang penuh kepercayaan akan diri sendiri.

“Namaku Ouw Teng dan orang mengenalku sebagai Jai-hwa Siauw-ok. Im-kan Ngo-ok adalah guru-guruku. Maka tidak perlu kiranya kujelaskan apa maksud kedatanganku ini.”

Bu Ci Sian tersenyum dan menoleh kepada suaminya, saling pandang, lalu berkata kepada suaminya, sikapnya tak acuh, “Aihh, sudah belasan tahun kita tidak pernah mencampuri urusan dunia, siapa tahu kini bajingan-bajingan ini malah yang datang sendiri mengantar nyawa. Sungguh tidak dapat disalahkan peri bahasa ular mencari penggebuk!”

Kam Hong mengerti bahwa isterinya sengaja mengejek para datuk sesat itu, maka dia pun hanya mengangkat pundak mengembangkan kedua tangan, “Apa boleh buat. Akan tetapi berhati-hatilah, isteriku. Orang yang sudah berani datang mengantar nyawa tentu telah memperhitungkan sebelumnya dan agaknya mereka ini sudah membawa bekal yang cukup memadai.” Setelah berkata demikian, pendekar ini berdiri membelakangi isterinya beradu punggung.

Isyarat ini dapat dimengerti oleh Bu Ci Sian. Suaminya bersikap hati-hati dan karena lawan mereka bertiga, sedangkan mereka belum mengenal sampai di mana kepandaian mereka bertiga itu, suaminya minta agar ia berhati-hati dan saling jaga dengan berdiri saling membelakangi. Ia sudah mencabut sulingnya yang tadi terselip di pinggang dan memasang kuda-kuda dengan melintangkan suling di depan mulut, persis seperti orang yang hendak meniup suling!

Akan tetapi, suaminya berdiri seenaknya, bahkan belum mencabut sulingnya, seolah-olah hendak menjajaki dulu sampai di mana kelihaian lawan. Akan tetapi karena Kam Hong menduga bahwa di antara tiga orang lawan itu yang terlihai adalah Hek-i Mo-ong maka dia pun sengaja berdiri menghadapi kakek iblis itu dan membiarkan isterinya menghadapi dua orang lawan lainnya.

Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sudah bernafsu sekali untuk dapat segera merobohkan wanita musuh besarnya itu, maka dia sudah memberi isyarat kepada muridnya untuk maju bersama mengeroyok wanita itu. Sedangkan Hek-i Mo-ong ketika melihat sikap Kam Hong yang demikian tenangnya, muncul kembali rasa gentar di hatinya.

Memang benar bahwa dia sudah menguasai ilmu-ilmu barunya seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi dia pun dapat menduga bahwa selama ini tentu Kam Hong juga memperdalam ilmunya! Baru tiupan sulingnya tadi saja sudah membuat dia dapat mengerti akan kelihaian lawan ini. Maka teringatlah dia akan muridnya yang diandalkan dan cepat dia mengerahkan khikangnya. Suaranya hanya terdengar lirih, akan tetapi sebenarnya suara itu dibawa oleh tenaga khikang sampai jauh sekali.

“Ceng Liong, cepat engkau ke sinilah....!”

Kam Hong tersenyum. “Mo-ong, apakah tiga lawan dua masih belum cukup untukmu? Haruskah engkau mendatangkan teman lagi untuk mengeroyok kami?”

Ucapan yang halus ini lebih menusuk dari pada makian. Hek-i Mo-ong menjadi merah mukanya dan dia pun mengeluarkan suara gerengan.

Akan tetapi sebelum dia menggerakkan tubuhnya, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya telah lebih dahulu maju menyerang Bu Ci Sian. Begitu maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya mengeluarkan ilmunya yang istimewa, yaitu Kiam-ci yang merupakan ilmu andalan mendiang gurunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Suara mencicit segera terdengar ketika jari-jari tangannya menyambar ke arah lawan.

Ci Sian sudah mengenal ilmu ini dan tahu akan kehebatannya, maka ia pun sudah mengebutkan sulingnya menghalau dan balas menotok. Dari samping, Tek Ciang mengirim serangan hebat karena pemuda ini menggunakan Ilmu Thian-te Hong-i (Badai Langit Bumi) yang dahulu pernah menjadi ilmu andalan dari Sam-ok Ban Hwa Sengjin. Tubuhnya berpusingan dan dari pusingan itu mencuat lengannya yang mengirim serangan amat cepat dan kuatnya!

Ci Sian terkejut, tak mengira bahwa laki-laki muda ini demikian hebat sudah menguasai ilmu andalan dari Sam-ok yang pernah menjadi musuh lamanya, maka ia pun cepat menyambut lengan lawan yang menyerang dengan totokan ke arah pergelangan tangan. Melihat kecepatan wanita ini, Tek Ciang terpaksa menarik kembali lengannya. Dia tahu bahwa betapa pun cepat serangannya tadi, kalau dilanjutkan, dia kalah cepat dan sebelum tangannya mengenai tubuh lawan, tentu pergelangan tangannya akan tercium ujung suling dan akibatnya tentu hebat.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga sudah menyerang Kam Hong. Karena maklum akan kelihaian pendekar itu, begitu menyerang Hek-i Mo-ong sudah mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya. Dia tidak mau mencoba untuk menggunakan kekuatan sihirnya, maklum betapa kuatnya sinkang dan khikang pendekar itu yang tidak akan dapat ditundukkan oleh kekuatan sihirnya. Maka dia pun sudah menyerang dengan hebat, menggunakan tombaknya menyerang dan kipas merahnya menyambar ke arah muka, mendahului tombak yang menusuk ke arah perut. Serangan ini amat hebatnya karena Hek-i Mo-ong tidak mau berlaku sungkan dan begitu menyerang telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya!

“Tringg.... trakkk....!”

Hebat sekali cara Kam Hong mencabut suling dan menggunakannya. Sekali bergerak, suling itu menangkis tombak dan kipas berturut-turut dan lawannya terdorong dua langkah ke belakang! Hek-i Mo-ong terkejut, jelaslah bahwa selama ini Kam Hong telah melatih diri dan tenaga sinkang-nya menjadi jauh lebih hebat dari pada dahulu. Dia harus mengakui bahwa dia kalah kuat dalam mengadu tenaga sinkang.

“Hiyeeeeehhhh!”

Dia mengeluarkan bentakan aneh dan tangan kiri yang sudah menyimpan kipasnya itu kini menyambar ke depan dengan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala. Gerakan itu sedemikian hebat dan cepatnya dan mengandung hawa yang menyeramkan, seperti digerakkan oleh tenaga mukjijat. Itulah Ilmu Coan-kut-ci yang selama itu dilatih secara tekun oleh kakek ini bersama muridnya! Entah sudah berapa banyak tengkorak yang menjadi bulan-bulanan jari-jari tangannya ketika dia berlatih. Dan sebelum serangan dengan ilmu menyeramkan ini dilakukan, tombaknya juga sudah menyambar lebih dahulu ke arah lambung lawan!

Kini Kam Hong terkejut bukan main. Dia tidak mengenal ilmu serangan aneh itu, tetapi dengan tenang dia hantamkan lengan kirinya menyambut tombak, sambil mengerahkan sinkang sekuatnya. Karena pada saat itu Hek-i Mo-ong lebih mencurahkan tenaganya pada tangan kiri yang mencengkeram dengan Ilmu Coan-kut-ci, maka pegangan pada tombaknya tidak begitu kuat. Dan tombaknya itu pun tadi hanya menggertak saja, sedangkan serangan dipusatkan pada tangan kiri yang mencengkeram ke arah ubun-ubun itu.

Karena itu, begitu kena dihantam oleh lengan kiri Kam Hong, tombaknya terlepas dan terlempar jauh. Akan tetapi jari-jari tangan kirinya sudah menyambar ke arah kepala dengan kedahsyatan yang mengerikan. Akan langsung hancurlah kepala itu kalau kena cengkeraman itu!

Kam Hong mengenal bahaya. Tangan kirinya sudah mencabut kipasnya dan kini sekali bergerak, kipasnya yang berkembang menyambut cengkeraman sedangkan dia sendiri melempar kepala ke belakang.

“Bretttt....!” Kipas itu hancur berkeping-keping terkena cengkeraman Coan-kut-ci.

Kam Hong terpaksa melanjutkan lemparan tubuhnya ke belakang, bergulingan dan meloncat bangun. Kipasnya hancur dan dia melemparkan kipasnya. Keadaan mereka seperti satu lawan satu. Tombak Hek-i Mo-ong terlempar dan kipas Kam Hong juga hancur. Kam Hong tersenyum gembira. Ternyata lawannya ini jauh lebih lihai dari pada dahulu. Tentu saja memperoleh lawan yang demikian kuatnya, timbul kegembiraannya.

“Mo-ong, engkau makin tua makin hebat saja!” katanya dengan tenang dan gembira, seolah-olah dia baru saja tidak terancam bahaya dan nyaris pecah kepalanya!

Kini Kam Hong menerjang dengan sulingnya. Demikian hebat terjangannya sehingga Hek-i Mo-ong terpaksa meloncat ke sana-sini sambil mengerahkan Ilmu Coan-kut-ci yang hebat itu. Ketika Hek-i Mo-ong terdesak oleh gulungan sinar emas suling, tiba-tiba dia membuka mulutnya dan uap putih yang amat panas menyambar ke arah muka Kam Hong!

Kembali pendekar ini terkejut. Dia tidak mengenal Ilmu Tok-hwe-ji itu, tapi dia tahu bahwa uap itu berbahaya sekali. Cepat dia meloncat ke samping dan dari samping dia memutar sulingnya. Untung dia melakukan ini karena serangan Tok-hwe-ji tadi sudah disusul dengan cengkeraman tangan maut itu lagi. Putaran suling menahan serangan ini karena Hek-i Mo-ong juga maklum bahwa sekali tubuhnya tertotok suling, tentu dia akan celaka. Mereka bertanding lagi dengan hati-hati karena maklum bahwa lawan masing-masing sungguh tak boleh dihadapi dengan ceroboh.

Sementara itu, Bu Ci Sian juga mendapat kenyataan bahwa dua orang pengeroyoknya itu lihai bukan main, dan terutama sekali yang muda! Tak disangkanya bahwa laki-laki muda itu malah jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan Jai-hwa Siauw-ok! Yang membuat ia terheran-heran adalah ketika mengenal pukulan-pukulan dari ilmu silat keluarga Pulau Es!

Ia sendiri pernah menerima pelajaran penggabungan tenaga Im dan Yang dari Suma Kian Bu, dan kini ia melihat betapa laki-laki muda yang mengeroyoknya itu bahkan pandai sekali memainkan ilmu sakti dari Pulau Es yang pernah dilihatnya, yaitu Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang! Ia terheran-heran mengapa ada murid Pulau Es yang membantu penjahat macam murid Im-kan Ngo-ok ini. Akan tetapi karena tidak ada kesempatan lagi bertanya, ia pun mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menghalau setiap serangan dengan memutar sulingnya yang memiliki kecepatan dan kekuatan luar biasa itu.

Melihat betapa dia dan gurunya mampu menandingi wanita yang hebat ini, timbullah kegembiraan di hati Tek Ciang dan laki-laki yang cerdik ini lalu mempergunakan siasat untuk memancing kemarahan Ci Sian.

“Ha-ha-ha, suhu, perempuan ini lebih montok dari pada puterinya. Biarlah dia nanti diserahkan kepadaku saja. Timbul birahiku melihatnya, suhu!” Mendengar ucapan ini, Jai-hwa Siauw-ok maklum akan akal muridnya dan dia pun tertawa bergelak untuk memanaskan hati lawan.

Akal muslihat Tek Ciang ini memang baik sekali untuk memanaskan hati lawan. Bagi orang yang sedang bertanding, sungguh menjadi pantangan besar untuk membiarkan hatinya panas dan marah. Kemarahan mengurangi kewaspadaan. Akan tetapi tentu saja kalau akal itu ditujukan kepada orang lain baru akan berhasil. Terhadap suami isteri itu, akal Tek Ciang bahkan mendatangkan mala petaka bagi dia dan kawan-kawannya sendiri.

Tadinya, Kam Hong dan Ci Sian hanya mengerahkan ilmu dan tenaga mereka yang biasa saja untuk menghadapi lawan karena memang mereka yang sudah belasan tahun menjauhkan pertikaian itu tidak berniat untuk mencelakai lawan. Cukup asal dapat menahan mereka dan mengusir mereka saja. Akan tetapi, ucapan Tek Ciang yang amat menghina tadi sama sekali tidak dapat memanaskan hati Ci Sian atau Kam Hong, hanya mendatangkan rasa khawatir karena mereka berdua teringat akan puteri mereka yang disebut oleh Tek Ciang tadi.

Mereka khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan puteri mereka. Siapa tahu apa yang dilakukan oleh orang-orang sesat ini! Dan kekhawatiran inilah yang membuat suami isteri itu merubah gerakan mereka. Mereka hendak mengakhiri perkelahian itu secepatnya untuk dapat segera menengok puteri mereka yang berada sendirian saja, hanya ditemani enam orang pelayan di dalam istana tua.

Kini terjadilah keajaiban. Bukan hanya permainan suling mereka yang berubah, akan tetapi terdengarlah bunyi suara melengking-lengking dari suling mereka. Terutama sekali suling di tangan Kam Hong mengeluarkan bunyi melengking demikian kuatnya sehingga Hek-i Mo-ong merasa kedua telinganya seperti ditusuk-tusuk pedang. Dia terkena pengaruh yang paling hebat, sedangkan dua orang kawannya juga menjadi pusing oleh serangan suara suling yang melengking-lengking itu. Permainan silat mereka kacau-balau dan kesempatan ini dipergunakan oleh suami isteri pendekar itu untuk mendesak.

Mula-mula Hek-i Mo-ong yang terkena pukulan suling pada dadanya. Tidak begitu keras, akan tetapi akibatnya, kakek ini muntah darah dan roboh, terus bergulingan sampai jauh. Kam Hong tidak mengejarnya, melainkan membantu isterinya dan dengan cepat mereka juga telah mengalahkan dua orang lawannya. Suling di tangan Ci Sian berhasil menotok lambung Tek Ciang. Pemuda ini berteriak kesakitan dan terjengkang lalu bergulingan, sedangkan pundak Jai-hwa Siauw-ok juga terkena hantaman suling Kam Hong. Tulang pundaknya remuk dan dia pun terpelanting jauh.

“Mari pulang!” kata Kam Hong kepada isterinya dan tanpa mempedulikan tiga orang yang sudah terluka parah itu, suami isteri ini mempergunakan ilmu lari cepat seperti terbang menuju ke istana tua tempat tinggal mereka.

Mereka memasuki semua ruangan akan tetapi rumah besar itu kosong. Ketika mereka berlari-larian memasuki taman, mereka berseru kaget melihat tubuh keenam orang pelayan mereka malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Akan tetapi seorang di antara mereka masih merintih. Cepat Kam Hong dan Ci Sian berlutut di dekat orang itu. Sekali pandang saja tahulah mereka bahwa orang ini pun tak mungkin tertolong lagi karena kepalanya retak.

“Mana.... mana nona?” tanya Ci Sian.

Orang itu mengumpulkan kekuatan terakhir. “Nona.... nona.... dilarikan.... seorang di antara.... mereka, seorang pemuda....” dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan terkulai, tewas.

Tentu saja suami isteri pendekar itu terkejut bukan main. Mereka tidak tahu ke mana puteri mereka dilarikan orang dan siapa pula yang melarikannya. Bagaimana mereka akan dapat melakukan pengejaran?

“Iblis-iblis itu! Mereka tentu tahu ke mana Bi Eng dilarikan!” tiba-tiba Kam Hong berkata dan dia pun meloncat dan lari, diikuti isterinya.

“Kulumatkan kepala orang-orang itu kalau anakku diganggu!” teriak Bu Ci Sian yang teringat bahwa laki-laki pesolek setengah tua itu berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang penjahat pemerkosa wanita!

Dengan kecepatan seperti terbang saja, suami isteri pendekar perkasa itu lalu lari ke tempat di mana mereka merobohkan tiga orang lawan tadi. Akan tetapi, betapa kaget, gelisah dan marah rasa hati mereka ketika mereka tidak menemukan tiga orang bekas lawan yang telah mereka lukai tadi di tempat itu. Mereka mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka. Tentu saja suami isteri ini menjadi bingung sekali dan mereka lalu mencari di sekitar puncak Bukit Nelayan, bahkan setelah gagal mereka lalu menjelajahi Pegunungan Tai-hang-san untuk mencari puteri mereka yang dilarikan orang.

Sebelumnya, mereka minta bantuan penduduk yang tinggal di dusun terdekat untuk mengurus mayat enam orang pelayan mereka, sedangkan mereka sendiri terus mencari-cari tanpa jejak dan tujuan tertentu. Selama belasan tahun hidup dalam keadaan aman dan tenteram, baru sekaranglah suami isteri pendekar itu mengalami bencana yang menggelisahkan hati mereka.....

********************

Ceng Liong memang tidak pergi jauh. Setelah melihat betapa dara remaja yang lihai itu terpukul roboh oleh Tek Ciang yang mempergunakan siasat curang, hatinya merasa penasaran sekali. Hanya karena sungkan kepada gurunya maka dia tidak mau mencampuri perkelahian itu, akan tetapi hatinya berfihak sepenuhnya kepada gadis yang tidak berdosa itu dan diam-diam dia merasa tidak suka sekali kepada Tek Ciang yang dianggapnya tak tahu malu dan jahat.

Maka begitu melihat nona itu terpukul roboh dan pingsan, dia lalu mendekati dan menyambar tubuh dara itu, dipanggul dan dibawanya pergi. Dia tidak mempedulikan teguran Tek Ciang dan hanya berkata kepada gurunya bahwa dia hendak berusaha mengobati dara itu.

Dia sudah memperhitungkan bahwa andai kata Tek Ciang menghalanginya, tentu dia akan menyerang murid Jai-hwa Siauw-ok itu dan menghajarnya. Akan tetapi, berkat kehadiran Hek-i Mo-ong, Tek Ciang dan gurunya tidak berani menghalanginya maka Ceng Liong cepat membawa tubuh yang pingsan itu menuruni lereng.

Setelah tiba di tempat sunyi, dia menurunkan tubuh itu di bawah sebatang pohon. Dengan hati-hati dia rebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas tanah dan memeriksanya sejenak. Dilihatnya wajah yang jelita itu pucat kehijauan, napasnya tinggal satu-satu dan detik jantungnya lemah, juga tubuhnya lunglai dan lemas tak berdaya sama sekali. Ketika dia membuka kelopak mata, ternyata mata itu kehilangan cahayanya.

Baju di pundak kanan nona itu hancur dan kulit pundak kanan nampak matang biru kehijauan. Agaknya pukulan ampuh dari Tek Ciang tadi mengenai pundak kanan ini. Ketika disentuhnya pundak itu, Ceng Liong merasa betapa bagian itu amat dinginnya, seperti ada esnya di bawah kulit. Hemm, kiranya pukulan ampuh itu mengandung hawa dingin, pikirnya.

Dia bukan seorang ahli pengobatan, tetapi merantau selama bertahun-tahun dengan seorang sakti seperti Hek-I Mo-ong, sedikit banyak membuka matanya dan dia pun tahu bahwa dara itu menjadi korban pukulan yang memiliki dasar tenaga sakti Im. Maka dia pun lalu meletakkan telapak tangannya pada pundak dan perut dara itu, kemudian perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga panas Hwi-yang Sinkang disalurkan melalui kedua telapak tangannya. Tangan yang menempel di pundak berusaha untuk mengusir hawa dingin yang meracuni tubuh nona itu, sedangkan yang menempel di perut dimaksudkan untuk mengalirkan sinkang-nya ke dalam pusar nona itu untuk membantu nona itu membangkitkan kembali sinkang-nya.

Dengan hati-hati dan penuh ketekunan Ceng Liong menyalurkan sinkang-nya yang panas, dan tiba-tiba nona itu mengeluarkan suara rintihan. Giranglah hatinya ketika melihat betapa tubuh itu mulai dapat bergerak dan pernapasannya mulai kuat, juga telapak tangannya merasa betapa detak jantung nona itu tidak selemah tadi.

Akan tetapi, yang membuat dia terkejut dan gelisah adalah ketika melihat bahwa warna kehijauan pada wajah dara remaja itu menjadi semakin gelap! Pemuda remaja ini sama sekali tidak tahu bahwa Hwi-yang Sinkang yang disalurkan pada tubuh dara itu memang benar mampu mengusir hawa dingin dari pukulan Hoa-mo-kang, akan tetapi sama sekali tidak mampu mengeluarkan racun yang terkandung dalam hawa dingin itu. Maka, nona itu hanya terbebas dari rasa nyeri saja, akan tetapi tidak terbebas dari racun yang kini ditinggalkan hawa dingin dan mulai meracuni jalan darahnya!

Betapa pun juga, ada rasa girang di hati Ceng Liong ketika melihat nona itu membuka kedua matanya. Sesaat dua pasang mata itu bertemu dan bertaut. Nona itu kelihatan terkejut dan hendak meronta. Akan tetapi ketika merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya dari pundak dan perut, puteri suami isteri pendekar sakti ini pun mengerti bahwa pemuda yang duduk bersila di dekatnya ini sedang berusaha mengobatinya. Maka dia pun diam saja, bahkan dia lalu menerima hawa panas yang memasuki perutnya itu dan mencoba untuk membangkitkan hawa sinkang-nya sendiri dari dalam tiantan (pusar). Akan tetapi, begitu ia mencoba mengerahkan sinkang, ia merasakan kenyerian hebat di perutnya dan ia pun mengeluh.

“Aduuuhhh....!”

Mendengar keluhan ini dan mendengar pula perut dara itu mengeluarkan bunyi suara berkeruyuk, Ceng Liong terkejut dan melepaskan kedua tangannya, lalu bangkit sambil membantu nona itu bangkit duduk.

“Bagaimana? Sakitkah rasanya? Mana yang sakit?” tanyanya dengan wajah khawatir.

Bi Eng adalah seorang dara lincah dan tabah. Ia segera teringat bahwa mengeluh merupakan suatu kecengengan dan tidak pantas bagi seorang gagah, maka sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri yang mengaduk perutnya, ia menggeleng kepala. “Tidak sangat nyeri.... ehhh, bukankah engkau yang datang bersama iblis-iblis itu?”

Ceng Liong menarik napas panjang dan menundukkan mukanya sebentar, kemudian diangkatnya lagi memandang wajah yang masih kehijauan itu. “Benar, aku adalah.... eh, murid Hek-i Mo-ong.”

Wajah yang gelap kehijauan itu nampak kaget. Memang, Bi Eng sering mendengar cerita ayah ibunya tentang dania kang-ouw, juga tentang tokoh-tokoh sesat dan Hek-i Mo-ong pernah disebut oleh ayahnya sebagai seorang di antara para datuk sesat yang paling berbahaya dan lihai. Akan tetapi menurut ibunya, tokoh ini pernah dikalahkan oleh ayahnya dan sekarang pemuda itu menyebut nama Hek-i Mo-ong. Dara ini pun teringat akan kakek berjubah hitam yang tua renta tadi. Seperti itulah penggambaran orang tuanya tentang diri Hek-i Mo-ong.

“Jadi kakek berjubah hitam tadi Hek-i Mo-ong dan engkau muridnya? Lalu mengapa engkau.... berusaha mengobati dan menolongku?”

Melihat betapa dara itu memandang kepadanya dengan sinar mata amat tajam penuh selidik, Ceng Liong menunduk lagi. Dara itu memiliki sepasang mata yang amat indah dan tajam, membuat dia merasa tidak enak untuk menentang pandang matanya, apa lagi karena dia merasa malu akan sekutunya.

“Mo-ong dan aku sudah berjanji bahwa aku hanya belajar ilmu silat darinya, bukan mempelajari kejahatannya. Aku melihat engkau tidak berdosa dan engkau dirobohkan secara curang oleh murid Jai-hwa Siauw-ok itu, maka aku membawamu ke sini untuk mengobatimu, akan tetapi aku bodoh dan tidak tahu bagaimana caranya....”

Hati Bi Eng merasa tertarik sekali. “Aneh.... engkau menjadi murid iblis itu dan engkau.... berani menentangnya?”

“Mo-ong baik kepadaku, sayang aku tidak mampu merubah wataknya.... tetapi.... aku menjadi bingung bagaimana aku harus mengobatimu, nona?”

“Engkau sudah berhasil, aku sudah siuman dan tidak merasa sangat nyeri lagi....”

“Tapi.... wajahmu masih berwarna gelap kehijauan, tanda keracunan. Aku khawatir sekali.”

Bi Eng memaksa senyum. “Bagaimana pun juga, engkau sudah menyelamatkan dan menolongku, mungkin tanpa kau turun tangan, aku sudah mereka bunuh. Tentang pengobatan, biarlah ayah ibuku yang akan mengobatiku. Ehh, siapa namamu?”

“Namaku Ceng Liong.... dan.... dan engkau, nona?”

“Aku Kam Bi Eng dan orang tuaku....”

“Aku sudah tahu dan mendengar dari mereka. Ayahmu seorang pendekar keturunan keluarga Pendekar Suling Emas, bernama Kam Hong, dan ibumu bernama Bu Ci Sian.”

“Ahh, mereka itu sedang mencari ayah dan ibu! Mari kita kembali ke sana....”

Dara remaja itu bangkit berdiri, tetapi segera memegangi kepalanya dan memejamkan matanya, terhuyung-huyung sehingga terpaksa Ceng Liong menangkap lengannya agar dara itu tidak sampai jatuh.

“Kenapa, nona....?”

“Kepalaku.... ah, kepalaku pening sekali....” Terpaksa Bi Eng duduk kembali dan setelah duduk barulah ia dapat membuka kedua matanya walau pun masih agak pening. Sepasang matanya nampak kemerahan dan Ceng Liong menjadi semakin khawatir.

“Bagaimana rasanya, nona? Apakah engkau tidak dapat berjalan....?”

Bi Eng menggelengkan kepala. “Jangankan berjalan, baru berdiri saja rasanya tanah di sekelilingku berombak dan kepalaku pening bukan main.”

“Kalau begitu, mari kupondong engkau....”

“Ihh! Tidak sudi! Jangan kurang ajar engkau, Ceng Liong!” Tiba-tiba Bi Eng menghardik.

Pemuda remaja itu memandang dengan mata terbelalak. Selama ini sudah beberapa kali dia bertemu anak perempuan dan selalu sikap mereka itu aneh-aneh. Agaknya nona ini pun tidak terkecuali, baru sekali bertemu sudah membuat dia bingung karena wataknya yang aneh.

“Apa salahnya? Bukankah ketika membawamu ke sini aku pun memanggulmu, nona? Apanya yang kurang ajar?” dia membantah penasaran.

Agaknya Bi Eng menyadari bahwa dengan tergesa-gesa ia telah menuduh orang. Ia teringat betapa Ceng Liong telah berusaha mengobatinya dan sedikit pun tdak memperlihatkan tanda-tanda atau sikap kurang ajar. Ia pun tersenyum. “Maafkan, Ceng Liong, dan jangan engkau menyebut nona-nonaan segala kepadaku. Namaku Bi Eng, lupakah engkau?”

Ceng Liong semakin heran. Dara ini sikapnya berubah-ubah seperti angin di musim hujan! Akan tetapi dia tidak membantah dan mengangguk. “Baiklah, Bi Eng. Bagaimana sekarang baiknya? Engkau harus cepat diobati oleh ahli dan kalau orang tuamu dapat mengobatimu, itu baik sekali. Akan tetapi engkau tidak dapat berjalan sendiri, dan tidak mau kupondong....”

“Siapa bilang tidak mau?”

“Engkau tadi....”

“Bukankah tadi aku sudah minta maaf? Kalau memang perlu kau pondong dan engkau memondongnya dengan sungguh-sungguh, dan bukan untuk main-main, tentu saja aku mau.”

Ceng Liong menggeleng-gelengkan kepala dan mengangkat pundak, merasa bodoh dan tidak dapat menyelami hati wanita. “Kalau begitu marilah, non.... ehh, Bi Eng.”

Dia lalu menggunakan kedua lengannya untuk memondong tubuh dara remaja itu, bukan memanggulnya seperti tadi. Kini Bi Eng tidak pingsan, tentu saja tidak baik kalau dipanggulnya seperti tadi. Dan begitu dipondong, tanpa ragu-ragu lagi Bi Eng juga merangkulkan lengan kanannya pada pundak dan leher Ceng Liong.

“Tidakkah terlalu berat, Ceng Liong?” tanya Bi Eng, tidak enak hati karena ia merasa mengganggu pemuda itu.

“Engkau? Berat? Tidak, engkau ringan sekali, Bi Eng. Sepuluh kali beratmu pun aku masih mampu mengangkatnya.”

“Hemm, jangan sombong. Kalau saja aku tidak keracunan dan dapat mengerahkan sinkang, hendak kulihat apakah engkau akan mampu memondongku....”

Tiba-tiba Ceng Liong menghentikan langkahnya ketika melihat tiga orang sekutunya berlari turun dari puncak dan wajah mereka nampak pucat. Tadi ketika dia sedang mengobati Bi Eng, dia mendengar suara suhu-nya memanggil, akan tetapi dia sengaja diam saja tidak menjawab karena hatinya masih mendongkol melihat kecurangan Tek Ciang dan juga tadi dia sedang mengobati Bi Eng sehingga tidak ada waktu untuk memenuhi panggilan gurunya. Kini dia melihat mereka turun dan melihat gelagatnya, mereka bertiga itu sedang menderita luka.

Memang demikianlah. Tiga orang itu, Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang melarikan diri dari puncak dalam keadaan menderita luka oleh pukulan-pukulan suling suami isteri yang sakti itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es