KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-28
Suma Kian Lee dan isterinya telah merebahkan diri beristirahat. Ciang Bun bergulingan gelisah di tempat tidurnya. Tak dapat dia melepaskan pikirannya dari membayangkan keadaan enci-nya. Dia menjadi gelisah dan sedih.
Sementara itu, di dalam kamar pengantin sendiri, sepasang pengantin sudah bertukar pakaian. Suma Hui duduk termenung di atas kursi. Kamar yang terhias amat indah itu, dengan bau semerbak harum kamar pengantin, seperti tidak dirasakannya. Ia merasa seperti ada kelumpuhan di dalam batinnya, dan kadang-kadang ia tersentak kaget dan memejamkan mata membayangkan orang yang juga berada di kamar ini, yang kini menjadi suaminya dan yang harus dilayaninya!
Ngeri ia membayangkan semua itu, akan tetapi ia maklum bahwa bagaimana pun juga, ia harus taat! Tek Ciang sendiri nampak gugup dan canggung. Pengantin pria ini pun sudah berganti pakaian yang longgar, pakaian dari sutera biru yang membuat dia nampak tampan.
Pada saat Tek Ciang menghampirinya dan menyentuh pundaknya, Suma Hui merasa tubuhnya seperti dimasuki ratusan ekor semut yang membuatnya gemetar dan bulu tengkuknya meremang. Mengerikan, pikirnya. Tapi dia adalah seorang wanita pendekar, seorang gagah yang tidak akan mengingkari janji. Apa pun yang terjadi, dia sudah menyerah dan ia harus mempertanggung jawabkan semua itu.
“Hui-moi.... Hui-moi....” terdengar suara Tek Ciang, suara yang kedengaran aneh bagi telinga Suma Hui.
Biasanya, kalau memanggilnya sumoi dan kalau bicara kepadanya, di dalam suara Tek Ciang mengandung suara halus merayu dan juga perendahan diri. Kini, suara itu selain mengandung rayuan juga kekuasaan! Maka aneh kedengarannya. Namun ia menoleh dan menjawab lirih, “Ada apakah?”
Tentu saja jawaban ini membuat Tek Ciang menjadi agak gugup. Dia bukan orang yang tidak biasa berdekatan dengan wanita-wanita. Banyak sudah dia mendekati wanita dan berhubungan dengan wanita, yang dilakukan secara diam-diam selama ini. Akan tetapi, dia harus mengakui bahwa berdekatan dengan Suma Hui ini lain lagi, ada sesuatu yang membuatnya merasa agak gentar.
Tadi, panggilannya sudah jelas maknanya, panggilan seorang suami untuk isterinya, seorang pengantin pria kepada mempelainya, yang bernada rayuan, tuntutan atau pun pembuka jalan. Namun isterinya itu langsung bertanya terang-terangan ada keperluan apa, maka tentu saja dia menjadi canggung.
Dia pun membelai tangan Suma Hui yang dipegangnya. Tangan yang memiliki jari-jari tangan kecil runcing dan berkulit halus, akan tetapi agak dingin dan Tek Ciang tahu betapa berbahayanya jari-jari tangan berkulit halus ini! Suma Hui mendiamkan saja ketika tangannya dibelai, hanya jantungnya berdebar demikian kencangnya sampai kedua telinganya dapat mendengar detak jantungnya sendiri.
“Moi-moi, engkau tentu lelah. Mari kita mengaso di pembaringan....”
Suma Hui melirik ke arah lilin di atas meja, lalu bangkit berdiri dan berkata lirih seperti berbisik, “Padamkan dulu lilinnya....”
Tek Ciang tersenyum gembira, melepaskan tangan halus itu dan menghampiri meja. Sementara itu, Suma Hui sudah mendahuluinya menuju ke pembaringan dan segera menyingkap kelambu dan naik ke atas pembaringan yang berbau harum itu. Detak jantungnya makin menghebat. Lilin padam dan kamar itu hanya remang-remang saja, mendapat sedikit penerangan yang menerobos masuk melalui celah-celah atas jendela dari luar.
Detak jantung di dalam dada Suma Hui hampir disusul jerit yang ditahan ketika dia merasa betapa Tek Ciang sudah naik ke atas pembaringan pula dan merangkulnya, menindihnya dan menggelutinya, lalu menciumi seluruh mukanya, matanya, pipinya, hidungnya dan mengecup bibirnya. Akan tetapi ia tidak mengelak, tidak menolak, tidak pula menyambut, hanya diam saja bergumul dengan perasaan hatinya sendiri. Hatinya ingin menolak, akan tetapi dengan kekerasan kemauan dia melumpuhkan keinginan hatinya sendiri dan menyerah saja, bahkan memejamkan matanya, hanya merasakan apa yang diperbuat oleh Tek Ciang atas dirinya.
“Moi-moi.... ahh, Hui-moi.... akhirnya engkau menjadi isteriku.... ahh, betapa aku cinta padamu....” Dengan bisikan tersendat-sendat dan jari-jari tangan gemetar Tek Ciang menggeluti isterinya.
Mendadak terdengar jeritan melengking keluar dari mulut Suma Hui. Tanpa disengaja tangannya meraba punggung suaminya yang tak berpakaian lagi itu dan jari tangannya meraba benjolan daging di punggung kiri. Tonjolan daging sebesar telur burung yang ditumbuhi rambut!
“Engkau....!” Dan ia pun menghantamkan tangannya ke arah kepala suaminya!
Tek Ciang kaget setengah mati. Akan tetapi dia masih sempat menggulingkan tubuhnya dari atas pembaringan sehingga terhindar dari hantaman maut.
“Hui-moi, ada apakah....?”
“Keparat jahanam! Kiranya engkau malah orangnya....?” Suma Hui pun menjerit sambil menangis.
Cepat Suma Hui membereskan kembali pakaiannya yang tadi sudah hampir tertanggal seluruhnya oleh jari-jari tangan Tek Ciang. Tek Ciang sendiri dalam kekagetannya cepat membereskan pakaiannya sendiri, lalu menyalakan lilin. Kamar itu kini menjadi terang kembali dan Suma Hui meloncat turun dari atas pembaringan, menghadapi suaminya dengan sepasang mata berapi-api walau pun ada air mata menetes-netes turun.
“Engkau....!” Telunjuknya menuding ke arah muka Tek Ciang yang memandang dengan mata terbelalak. “Engkaulah orangnya! Jahanam terkutuk, engkaulah orangnya yang telah memperkosaku dahulu!”
Setelah berkata demikian, dengan kemarahan meluap Suma Hui menerjang ke depan dan menyerang dengan sekuat tenaganya, menghantam ke arah dada Tek Ciang dengan tangan terbuka. Akan tetapi Tek Ciang mengelak dan meloncat ke belakang.
“Hui-moi, apa yang kau katakan ini....? Sudah jelas perbuatan terkutuk itu dilakukan oleh Kao Cin Liong....”
“Tutup mulutmu yang busuk! Baru sekarang aku mengerti! Ternyata engkau adalah seekor ular busuk yang amat jahat, khianat, curang dan pengecut! Engkaulah yang melakukan perbuatan terkutuk itu, dan engkau menimpakan kesalahan kepada orang lain! Tidak perlu engkau menyangkal, daging menonjol dan berambut yang tumbuh di punggungmu itulah saksinya.” Suma Hui menyerang lagi dengan sengit.
“Kau salah sangka....” Tek Ciang membela diri akan tetapi suaranya gemetar dan lemah karena dia kehabisan akal setelah rahasianya terbuka.
Dia merasa menyesal sekali mengapa di punggungnya tumbuh daging jadi itu, dan mengapa pula sampai Suma Hui mengetahui tentang tonjolan daging itu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa dahulu ketika dia memperkosa Suma Hui, biar pun gadis itu berada dalam keadaan terbius, namun Suma Hui masih setengah sadar ketika tangannya bergerak dan jari-jari tangannya menyentuh punggung yang telanjang dan bertemu dengan tonjolan daging berambut itu. Dia menyimpan rahasia itu di dalam hatinya. Hanya itulah satu-satunya tanda yang dikenalnya dari tubuh pemerkosanya. Sungguh tak pernah dia mengira bahwa yang punggungnya menonjol itu adalah Tek Ciang!
Suma Hui menyerang dengan beringas dan kini Tek Ciang juga berusaha untuk menundukkan. Pria ini maklum bahwa rahasianya sudah terbuka dan dia hendak menundukkan Suma Hui melalui kekerasan. Maka, sambil mengelak dia pun balas menyerang dan sebuah tendangan mengenai paha Suma Hui, membuat wanita ini terguling.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara keras dan daun pintu jebol. Muncullah Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li. Suami isteri ini terkejut sekali mendengar suara gaduh di kamar pengantin dan ketika mereka keluar dari kamar menghampiri kamar pengantin, mereka mendengar perkelahian itu, bahkan mereka sempat mendengarkan kata-kata Suma Hui yang terakhir tadi yang membuat mereka terkejut setengah mati.
Pada saat perkelahian menghebat, Suma Kian Lee tidak sabar lagi dan sekali dorong robohlah daun pintu. Mereka melihat Suma Hui baru merangkak hendak bangkit dan Louw Tek Ciang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.
“Apa yang telah terjadi?” Suma Kian Lee bertanya, suaranya marah, penuh selidik.
“Hui-ji, apa artinya kata-katamu tentang pemerkosaan dan daging tumbuh di punggung tadi?” Kim Hwee Li juga bertanya.
Tendangan tadi tidak mendatangkan luka berat, tetapi tetap saja Suma Hui melangkah dengan terpincang-pincang menghampiri ibunya. Air matanya bercucuran.
“Ibu.... ayah.... dia.... dialah.... iblis terkutuk yang dahulu memperkosaku! Buktinya adalah tonjolan daging berambut di punggungnya.... dahulu aku mengetahui tanda itu secara tidak disengaja dan tadi.... tadi pun hanya kebetulan saja.... dialah jahanam busuk itu!”
“Aihhhh....!” Kim Hwee Li menjerit.
“Hahhh....?!” Suma Kian Lee juga berteriak kaget.
Dia lalu melangkah maju menghampiri muridnya. Tek Ciang menjadi semakin pucat dan dia sudah melirik ke arah jendela dan pintu, seperti tikus tersudut hendak mencari jalan keluar untuk melarikan diri.
“Tek Ciang! Apa artinya ini? Benarkah apa yang diceritakan Hui-ji?” Suma Kian Lee bertanya ragu karena dia belum mau percaya begitu saja akan hal yang demikian jauh berlawanan dengan perkiraan dan harapan hatinya.
“Ti.... tidak.... suhu....,” jawab Tek Ciang gugup dan suaranya gemetar.
“Kalau tidak, buka bajumu dan perlihatkan kepada kami apakah benar ada tonjolan daging jadi di punggungmu!” Kim Hwee Li membentak.
Kini wanita yang cerdik itu pun sudah dapat menduga dan membayangkan apa yang dahulu telah terjadi. Suma Kian Lee hanya berdiri terbelalak, sampai tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking hebatnya perasaan memenuhi hatinya. Marah, heran, ragu-ragu, menyesal dan malu bercampur aduk menjadi satu.
Dialah yang setengah memaksakan terikatnya perjodohan antara puteri tunggalnya dan Tek Ciang, bahkan dia telah mengangkat Tek Ciang menjadi murid utama, murid yang mewarisi semua ilmu-ilmu keluarga Pulau Es dan kini, ternyata pemuda ini yang telah memperkosa Suma Hui! Tentu saja sukar baginya untuk dapat menerima kenyataan ini.
“Ayah, aku sekarang mengerti semuanya!” Suma Hui berteriak lantang. “Ayahnya tewas karena bersama penjahat bayaran bermaksud membunuh Cin Liong. Penyerangan itu tentu dilakukan oleh karena mereka hendak menyingkirkan Cin Liong yang dianggap menghalangi niat mereka untuk menarik kita sebagai keluarga. Keparat ini mendendam kepada Cin Liong atas kematian ayahnya maka dia merencanakan perbuatan terkutuk itu dengan mempergunakan nama Cin Liong untuk memfitnah. Cin Liong kita musuhi sedangkan dia sendiri, si keparat busuk ini, tampil sebagai pahlawan yang membela nama baik keluarga kita! Dia memperoleh keuntungan ganda. Dapat membalas dendam kepada Cin Liong dengan fitnah itu, dapat menguasai diriku, dan dapat mewarisi ilmu keturunan keluarga kita, ayah....”
“Louw Tek Ciang! Cepat jawablah dan coba sangkal semua itu dengan penjelasan yang tepat kalau memang engkau bukan seorang iblis terkutuk seperti yang digambarkan oleh Hui-ji!” Suma Kian Lee membentak dan mukanya berubah merah sekali.
“Suhu, teecu....” Tek Ciang berkata gagap karena memang apa yang dikatakan Suma Hui itu semua tepat sekali, menelanjangi seluruh perbuatannya sehingga dia tidak dapat menyangkal lagi.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara ketawa seorang laki-laki. “Ha-ha-ha, Tek Ciang, apakah engkau bukan laki-laki lagi yang tidak berani menghadapi semua ini?”
Mendengar suara yang amat dikenalnya ini, suara Jai-hwa Siauw-ok, gurunya yang lain, guru rahasia, wajah Tek Ciang menjadi cerah. Datangnya bantuan ini sungguh di waktu yang tepat sekali. Dia mengangkat dadanya dan berkata, “Suhu, semua itu benar dan setelah sekarang aku menjadi suami Hui-moi....”
“Jahanam!” Suma Kian Lee sudah menubruk maju dan langsung melakukan pukulan maut dengan tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Angin keras yang amat panas menyambar ke depan.
Tek Ciang tentu saja mengenal pukulan ini dan tahu betapa hebat dan berbahayanya serangan gurunya. Akan tetapi karena hatinya sudah menjadi besar dengan datangnya Jai-hwa Siauw-ok, dia pun mengerahkan tenaganya. Sambil mengelak dia menangkis, mengerahkan tenaga sambil membongkokkan tubuhnya. Ketika lengannya menangkis, terdengar suara aneh seperti suara katak dari perutnya.
“Desss....!”
Tubuh Tek Ciang terhuyung, akan tetapi dengan menggulingkan tubuhnya, dia dapat meloncat bangkit kembali.
Suma Kian Lee terbelalak. Tenaga tangkisan itu tadi cukup kuat dan bukan dari ilmu keluarganya, melainkan ilmu aneh yang mirip Ilmu Hoa-mo-kang atau Ilmu Katak Buduk. Memang dugaannya benar. Ketika menangkis tadi, Tek Ciang mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, untuk menyatakan bahwa mulai saat itu dia adalah lawan keluarga Suma, pula kalau dia mengeluarkan Hwi-yang Sin-ciang pula, jelas dia kalah kuat oleh gurunya.
Kim Hwee Li dan Suma Hui sudah menerjang maju pula, akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan dari luar, “Tek Ciang, keluarlah!”
Tek Ciang menggerakkan tangan, melemparkan sesuatu ke tengah kamar itu. Segera terdengar bunyi ledakan keras dan asap memenuhi kamar.
“Awas asap beracun!” teriak Suma Kian Lee untuk memperingatkan anak isterinya dan dia sendiri cepat melompat ke arah jendela dari mana tadi dia melihat tubuh Tek Ciang berkelebat keluar.
Setibanya di luar, dia melihat pemuda itu telah meloncat ke atas genteng dan di atas wuwungan telah berdiri seorang laki-laki yang berusia lima puluh tahun lebih, berpakaian indah pesolek dan wajahnya ganteng.
“Iblis busuk, jangan lari!”
Suma Kian Lee yang kini merasa marah bukan main itu kembali menyerang Tek Ciang. Serangannya jauh lebih hebat dari pada tadi karena dia menggunakan kedua tangan menyerang secara beruntun, tangan kanannya mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan tangan kiri menghantam dengan pengerahan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang yang amat dingin.
Walau pun belum mampu menggabungkan kedua tenaga yang berlawanan intinya itu, pendekar ini ternyata kini sudah demikian mahirnya untuk mempergunakannya secara beruntun dengan kedua tangan. Tentu saja Tek Ciang menjadi gentar. Dia maklum akan kehebatan gurunya ini, dan dia sendiri walau pun telah mempelajari kedua ilmu mukjijat itu, namun latihannya belum matang dan tentu saja dia belum mampu menggunakannya secara berbareng pada kedua lengannya.
Melihat serangan hebat ditujukan kepada muridnya, Jai-hwa Siauw-ok mendengus dan berkata, “Mana ada murid dibunuh gurunya sendiri?” Dan dia pun melangkah maju menangkis dari kiri sedangkan Tek Ciang menangkis dari kanan.
“Dess! Desss!”
Kedua orang itu menangkis dua macam pukulan. Tek Ciang yang menangkis pukulan Swat-im Sin-ciang itu merasa tubuhnya kedinginan dan dia terhuyung ke belakang. Akan tetapi, tangkisan Jai-hwa Siauw-ok membuat dia dan Suma Kian Lee melangkah mundur, tanda bahwa kekuatan mereka berimbang.
“Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan antara guru dan murid?” bentak Suma Kian Lee, terkejut melihat bahwa orang ini lihai pula.
“Ha-ha, dia muridku, tentu saja kubela dia,” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil membalas serangan lawan. Kedua tangannya bergerak, jari-jari tangan terbuka dan terdengar suara bercicitan ketika jari-jari tangan itu meluncur cepat sekali mendatangkan hawa dingin.
“Cuiiiittt....!”
Jari tangan Jai-hwa Siauw-ok kembali menyambar ke arah dada Suma Kian Lee dan pada saat itu, Tek Ciang juga menyerangnya dengan pukulan Toat-beng Bian-kun!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Suma Kian Lee melihat muridnya sendiri berani menyerangnya dengan pukulan maut. Bahkan mengeroyoknya bersama seorang tokoh jahat, dan menggunakan ilmu keluarga Pulau Es untuk menghantamnya.
“Iblis murtad!” bentaknya dan dia menyambut pukulan Tek Ciang dengan pengerahan tenaga untuk merobohkan murid itu.
Akan tetapi, sambaran jari tangan Jai-hwa Siauw-ok sudah tiba dan biar pun Kian Lee mengelak dan membatalkan niatnya merobohkan Tek Ciang, tetapi hanya menangkis serangan pemuda itu, tetap saja jari tangan Jai-hwa Siauw-ok menyerempet bajunya.
“Brettttt....!”
Baju di dada Kian Lee terobek, kulitnya tergurat sehingga terasa perih seperti tergurat pedang. Dia terkejut dan maklum bahwa itu adalah ilmu yang disebut Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat lihai.
Pada saat itu, Suma Hui dan Kim Hwee Li berlompatan naik ke atas genteng. Ketika Suma Hui melihat kakek pesolek itu, ia terkejut dan membentak, “Jai-hwa Siauw-ok manusia iblis! Engkau datang mengantar kematian!”
Suma Hui sudah menerjang ke depan membantu ayahnya, juga Kim Hwee Li yang melihat bahwa lawan suaminya seorang lihai, cepat membantu suaminya. Kian Lee dan isterinya terkejut mendengar bentakan puteri mereka itu. Baru mereka tahu bahwa yang datang membantu Tek Ciang adalah datuk sesat yang pernah menculik dan melarikan Suma Hui itu.
Marahlah hati Kian Lee. Kini makin jelas baginya. Kiranya sejak dahulu, Tek Ciang adalah seorang yang palsu, dan diam-diam mengelabuinya, dengan sikap pura-pura baik, sehingga bukan hanya berhasil mempelajari ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga malah berhasil memperisteri Suma Hui setelah memperkosanya! Berhasil pula mengadu domba antara keluarganya dan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir!
“Bedebah!” bentaknya dan dia bersama isteri dan puterinya mengamuk.
Melihat keluarga yang lihai itu sudah keluar semua karena kini nampak pula bayangan Ciang Bun membawa pedang, Jai-hwa Siauw-ok berseru. “Tek Ciang, mari kita pergi!”
Guru dan murid itu menggerakkan tangan dan terdengar ledakan-ledakan diikuti asap tebal ketika mereka membanting benda-benda bulat ke atas wuwungan. Di dalam kegelapan asap tebal ini mereka pun menghilang.
Kian Lee, Hwee Li, Suma Hui dan Ciang Bun berusaha untuk melakukan pengejaran, akan tetapi malam gelap telah menelan dua orang itu.
“Jangan mengejar secara terpisah, mereka itu berbahaya.” Kian Lee memperingatkan sehingga dengan mengejar berkelompok, mereka tidak berhasil dan akhirnya terpaksa kembali ke rumah mereka.
Suma Hui menangis dalam rangkulan ibunya. “Uhh, ibu.... aku berdosa besar sekali.... aku telah memaki, menghina dan membenci Cin Liong.... padahal dia sama sekali tidak berdosa.... ah, ibuuu....”
Ingin rasanya Suma Hui menjerit-jerit ketika ia membayangkan pemuda yang dicintanya itu. Dapat dibayangkan betapa sakit dan sengsaranya hati Cin Liong dan betapa sakit pula hati orang tuanya menerima tuduhan yang keji itu. Ibunya hanya dapat merangkul dan menciuminya dengan hati penuh iba.
Suma Kian Lee terduduk di atas kursi, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Perasaan menyesal yang amat hebat seperti gelombang menyeretnya, dan di antara celah-celah jari tangannya ada beberapa tetes air. Terdengar suaranya penuh getaran dan tubuhnya menggigil ketika dia bicara dari balik kedua telapak tangan yang menutupi mukanya.
“Aku.... aku telah merusak anak sendiri.... dan aku pun telah mengkhianati ilmu keluarga sendiri.... aku telah berdosa terhadap keluarga Kao.... ahhh, orang bodoh macam aku layak mati.... layak mati....!” Pendekar ini mengeluh panjang dan tubuhnya lalu terguling.
“Ayahhh....!” Ciang Bun menubruk dan merangkul sehingga tubuh ayahnya tidak sampai terguling jatuh. Ternyata pendekar itu telah roboh pingsan saking hebatnya guncangan batin yang dideritanya.
Kim Hwee Li menjerit dan melepaskan rangkulan pada puterinya, kemudian menubruk suaminya sambil menangis dan mengguncang-guncang pundak suaminya yang pingsan itu. Setelah dipijat bagian leher dan bawah lengannya, Kian Lee siuman kembali. Melihat dia rebah di pembaringan ditangisi oleh isterinya dan kedua orang anaknya, pendekar ini sadar lalu bangkit duduk. Dia memandang kepada Suma Hui yang berlutut di depan pembaringannya sambil menangis. Melihat puterinya ini, tak dapat lagi Suma Kian Lee menahan hatinya.
“Hui-ji....!” Dia menubruk dan merangkul, mendekap kepala puterinya itu, air matanya bercucuran. “Hui-ji, kau maafkan aku....”
“Ayaahh.... ayaahhh....!” Suma Hui juga hanya dapat menangis tersedu-sedu di dada ayahnya. Suasana sungguh amat mengharukan ketika empat orang anggota keluarga itu membiarkan diri mereka tenggelam dalam kedukaan, dalam penyesalan yang amat mendalam.
Akan tetapi Kim Hwee Li yang pada dasarnya memiliki watak keras itu dapat lebih dahulu menguasai dirinya dan ia pun berkatalah. “Sudahlah, apa gunanya penyesalan yang berlarut-larut ini? Lebih baik kita melihat apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki semua kesalahan.”
“Ayah, yakinkah ayah sekarang bahwa Cin Liong tidak berdosa?” Dengan halus akan tetapi suaranya membayangkan kesedihan Suma Hui bertanya.
Suma Kian Lee mengangguk dan pendekar itu tiba-tiba saja nampak jauh lebih tua dari pada biasanya. “Aku pernah melupakan bahwa dia adalah keturunan Naga Sakti Gurun Pasir....”
“Dan ayah.... ayah masih berkeberatan terhadap hubungan antara kami?” tanya pula Suma Hui.
Suma Kian Lee menarik napas panjang. “Aku bersalah.... tadinya memang kuanggap tidak baik melakukan ikatan jodoh antara keluarga sendiri. Aku lupa bahwa urusan jodoh adalah urusan yang mutlak menyangkut diri kedua orang itu sendiri.... akan tetapi aku telah menggagalkan segalanya, aku telah merusak kebahagiaanmu, Hui-ji.”
“Disesalkan pun tiada gunanya lagi,” Suma Hui menyusut air matanya. “Aku tidak patut lagi mendekatinya. Hidupku hanya untuk dua tujuan kini. Pertama, menemui Cin Liong dan minta agar dia sudi mengampuni dosaku, dan ke dua, aku belum mau mati sebelum dapat membunuh si jahanam Louw Tek Ciang!”
“Hemmm, aku sendiri yang akan menanganinya!” kata Suma Kian Lee penuh geram.
“Tidak, ayah. Harus aku sendiri yang membunuh jahanam itu!” kata pula Suma Hui.
“Dan aku akan membantumu, enci Hui!” kata Ciang Bun yang juga ikut merasa dendam.
Suma Kian Lee mengangguk. “Kita semua akan maju karena jahanam itu berkawan dengan tokoh-tokoh sesat yang pandai. Akan tetapi, kepandaian kalian masih belum cukup untuk menandinginya, maka mulai sekarang, biar kuajar semua ketinggalan, akan kucurahkan seluruh waktu dan perhatianku untuk mewariskan semua ilmu keluarga kita kepada kalian.”
Demikianlah, peristiwa hebat yang mengguncang keluarga pendekar ini bahkan membuat ayah dan anak menjadi akrab, dan mulai hari itu, Suma Hui dan Ciang Bun digembleng oleh ayah mereka secara tekun dan keras. Suma Kian Lee yang merasa bersalah kepada dua orang anaknya karena dia telah mengambil murid dan ahli waris dari luar yang ternyata seorang penjahat itu, sekarang hendak menebus kesalahannya dengan menguras semua kepandaiannya untuk diwariskan kepada mereka. Sebaliknya, Suma Hui dan Ciang Bun yang bertekad untuk menandingi Tek Ciang, berlatih dengan sungguh-sungguh sehingga dalam waktu dua tahun lebih mereka sama sekali tidak pernah meninggalkan rumah dan tempat latihan!
Segala macam peristiwa yang terjadi dan menimpa diri kita adalah kenyataan-kenyataan yang tak dapat dirubah lagi dan kesemuanya itu tentu mengandung sebab. Sebab-sebab itu pun tidak akan jauh dari pada diri kita sendiri, dan sumber segala peristiwa yang menimpa diri kita berada di dalam diri kita sendiri. Menyesalkan peristiwa yang terjadi sungguh tidak ada gunanya sama sekali, karena penyesalan itu hanya akan mendatangkan duka dan karenanya pikiran bahkan menjadi keruh dan tidak dapat bekerja dengan baik.
Lebih baik kita membuka mata melihat kenyataan itu, karena semua peristiwa yang terjadi adalah suatu kenyataan, suatu fakta. Pengamatan yang mendalam dan terbuka terhadap suatu peristiwa akan membuka mata kita, membuat kita waspada dan di dalam setiap peristiwa terkandung pelajaran kehidupan yang amat berharga.
Hujan yang jatuh tak mungkin ditahan dan diminta untuk terbang ke atas lagi. Hujan turun merupakan satu di antara peristiwa-peristiwa yang terjadi, suatu kenyataan yang wajar, tidak baik tidak buruk. Tidak ada manfaatnya sama sekali kalau kita bermurung atau marah-marah oleh turunnya hujan karena kita merasa dirugikan. Juga berbahaya kalau sebaliknya kita bersenang-senang melampaui batas karena kita merasa diuntungkan oleh turunnya hujan itu karena segala macam kesenangan setiap saat bisa saja berubah menjadi kedukaan.
Para petani yang merasa diuntungkan oleh turunnya hujan tidak akan bersenang hati saja, melainkan waspada menjaga agar jangan sampai air hujan itu terlalu membanjiri sawahnya sehingga bahkan merusak padinya. Anak-anak yang bergembira dan bermain dalam hujan pun harus diamati dengan waspada, jangan sampai mereka menjadi kedinginan bahkan sebaliknya lalu menjadi sakit.
Jadi, dalam setiap peristiwa tentu terkandung segi baik buruknya, kalau kita sudah membiarkan diri terseret dalam perhitungan untung rugi. Lalu apa yang kita lakukan menghadapi setiap peristiwa, setiap kenyataan? Apakah lalu berdiam diri saja, masa bodoh dan tidak perduli? Sama sekali tidak bijaksana kalau begitu! Alangkah baiknya kalau dalam menghadapi setiap periswa yang menimpa diri, kita bersikap waspada, membuka mata dan menghadapi kenyataan tanpa dipengaruhi untung rugi.
Misalnya hujan turun di waktu kita hendak keluar. Perlu apa mengeluh? Yang penting, akal budi kita pergunakan untuk mengatasi halangan itu, menggunakan payung, kendaraan, atau berteduh. Tindakan ini yang penting, bukan keluhan. Keluhan muncul kalau pikiran kita sibuk menimbang-nimbang untung rugi. Dan ini tidak ada manfaatnya sedikit juga. Demikian pula, seperti peristiwa hujan turun, dalam menghadapi segala peristiwa apa pun dalam hidup, kewaspadaan dan pengamatan yang mendalam akan menciptakan tindakan-tindakan yang tepat! Tepat.....
********************
Kao Cin Liong bukan hanya seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi juga sudah digembleng oleh banyak pengalaman, baik dalam kehidupannya sebagai seorang pendekar yang berkecimpung di dunia kang-ouw mau pun sebagai seorang panglima muda yang berkecimpung di dalam kancah-kancah peperangan. Semua pengalaman pahit dalam hidupnya membuat pemuda ini matang dan dia dapat menghadapi segala peristiwa dengan tenang.
Akan tetapi, ketika pemuda yang kini usianya sudah tiga puluh dua tahun itu pulang dari tugasnya membebaskan Tibet dari pasukan Nepal, bahkan kemudian dia menyerang Nepal dan berhasil menundukkan negara ini sehingga Kerajaan Nepal terpaksa harus mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng yang kuat itu, dia menghadapi hal yang membuat dirinya tertegun. Setelah kembali ke kota raja dan menerima hadiah dan anugerah Kaisar Kian Liong yang memuji-mujinya, Jenderal Kao Cin Liong lalu berpamit meminta cuti untuk menengok orang tuanya di utara.
Akan tetapi, begitu dia memasuki rumahnya dan menghadap ayah bundanya, jenderal muda itu tertegun melihat sikap ayah bundanya terhadap dirinya. Ayahnya memandang dengan mata mencorong sedangkan ibunya menyambutnya dengan mata merah dan basah! Cin Liong dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, maka cepat dia menjatuhkan diri berlutut depan kedua orang tuanya yang duduk di kursi panjang.
“Ayah, ibu, aku datang membawa berita kemenangan dan berhasilnya tugas yang kupikul. Akan tetapi, mengapa ayah dan ibu nampak marah dan duka? Harap ayah dan ibu suka mengampunkan kalau aku membuat kesalahan, dan harap memberi tahu kesalahan apa gerangan yang telah kulakukan?”
“Cin Liong, karena ulahmu, atau setidaknya karena engkaulah maka kami berdua, ayah bundamu menerima penghinaan dan makian orang,” kata Kok Cu.
Pendekar ini sudah hampir enam puluh tahun usianya, namun masih nampak gagah perkasa. Buntungnya sebelah lengannya sama sekali tidak membayangkan kelemahan, bahkan menambah kegagahannya, kegagahan yang aneh. Sikapnya tenang dan serius, sepasang matanya mencorong seperti mata naga sehingga patutlah kalau dia dikenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir.
Di sampingnya duduk isterinya, Wan Ceng yang kini sudah berusia lima puluh tiga tahun. Nenek yang biasanya gembira itu nampak muram dan ketika ia memandang kepada puteranya, hampir ia tidak dapat menahan air matanya.
Tentu saja Cin Liong merasa terkejut sekali mendengar teguran ayahnya itu. Akan tetapi sebagai seorang yang sudah matang dan berpengalaman, dia tetap tenang. Dia lalu bangkit duduk menghadapi ayah bundanya, dan sambil memandang kepada mereka bergantian dengan sinar mata penuh selidik, dia pun bertanya. “Ayah dan ibu, apakah yang telah terjadi? Harap suka segera memberi tahu kepadaku.”
Wan Ceng yang tetap tidak mau percaya akan kesalahan puteranya, segera mendahului suaminya. “Liong-ji, kami telah pergi ke Thian-cin....”
“Ahhh....!” Cin Liong teringat akan urusannya dengan Suma Hui dan tentang permintaan kepada ayah bundanya untuk mengajukan pinangan. “Lalu bagaimana, ibu?”
“Kami tiba di Thian-cin, berhasil menemui paman Suma Kian Lee dan keluarganya, dan kami telah mengajukan pinangan terhadap diri Suma Hui seperti yang kau minta.” Wan Ceng berhenti karena suaminya memotong.
“Pinangan yang janggal karena masih keluarga, dan menurut hitungan, kita kalah tua lagi, dan berakhir dengan aneh dan memalukan pula.”
“Ibu, apakah yang terjadi selanjutnya?”
“Singkatnya, pinangan kita ditolak, bahkan kami berdua dihina dan dimaki!” kata Wan Ceng gemas.
Cin Liong bangkit berdiri dan mengepal tinju, alisnya berkerut. “Ahhh, sungguh tidak pantas! Mereka boleh saja menolak pinangan, akan tetapi mengapa harus memakai penghinaan dan makian? Sungguh tidak patut, apakah mereka itu begitu tinggi hati karena merasa sebagai keluarga Pulau Es?”
“Cin Liong, lupakah engkau bahwa segala macam penilaian adalah palsu karena penilaian didasari pendapat sendiri yang muncul dari perhitungan untung rugi? Dapatkah kita menilai orang dari keadaan luarnya? Memang, menolak pinangan sambil marah-marah tidak patut sekali, akan tetapi engkau harus menyadari bahwa setiap sikap dan perbuatan itu tentu ada sebab-sebabnya! Jadi, tanpa mengetahui sebab-sebabnya, kita sama sekali tidak berhak menilai sikap atau perbuatan orang lain!”
“Maaf, ayah. Aku terbawa oleh perasaan penasaran mendengar betapa ayah dan ibu sudah ditolak pinangannya masih juga dihina dan dimaki. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi, ayah? Mengapa keluarga Suma marah-marah kepada kita?”
“Nah, begitu lebih tepat. Setiap menghadapi persoalan, amatilah diri sendiri dan cari tahu kenapa demikian, cari sebab-sebabnya sehingga kita tidak hanya berbuat menuruti perasaan hati dan nafsu belaka. Ketahuilah, Cin Liong, pada waktu kami mengajukan pinangan, paman Suma Kian Lee dan isterinya menolak. Bukan hanya itu, bahkan Suma Hui dengan lantang mengatakan bahwa engkau telah memperkosanya!”
“Ahhh....!” Cin Liong terbelalak kaget dan untuk kedua kalinya dia bangkit berdiri, sekali ini dengan muka menjadi pucat dan pandang mata penuh keheranan.
“Kami tidak pernah meragukan dirimu, anakku,” kata Wan Ceng. “Tentu saja kami tidak percaya dan hampir terjadi kesalah pahaman. Akan tetapi, kiranya tidak mungkin pula kalau Suma Hui mengada-ada hendak menjatuhkan fitnah kepadamu. Sebetulnya ada apakah antara engkau dan Suma Hui?”
Cin Liong sudah terduduk kembali dan menutupi muka dengan kedua tangannya, mulutnya menggumam heran, “Diperkosa.... dan.... dan aku yang memperkosanya? Ya Tuhan, apa artinya semua ini? Ibu dan ayah, aku tidak perlu bersumpah kiranya bahwa aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Tidak kepada Suma Hui dan tidak pula kepada siapa pun juga. Melihat penjahat memperkosa wanita, aku akan turun tangan membunuhnya. Kalau aku sendiri yang melakukan perbuatan keji itu, tentu aku akan membunuh diriku sendiri. Tidak, aku tidak pernah melakukan itu. Dan sekarang baru aku mengerti, kiranya ada hubungannya dengan itu maka sikap Suma Hui dahulu itu demikian aneh.”
“Apa yang kau maksudkan?” tanya ibunya.
“Seperti pernah kuceritakan kepada ayah ibu, antara aku dan Suma Hui sudah terjalin tali cinta kasih. Kami saling mencinta dan biar pun kami tahu akan besarnya halangan di antara kami karena ikatan keluarga, kami berdua sudah bertekad untuk bersama-sama menghadapinya. Akan tetapi, ketika aku pergi ke kota raja dan sebelum menerima perintah kaisar, aku pergi ke Thian-cin. Ketika bertemu denganku, secara aneh dan tiba-tiba saja ia menyerangku dan hendak membunuh! Ia begitu marah sehingga sukar diajak bicara, maka aku lalu pergi meninggalkannya. Kemudian, aku terikat tugas dan sampai demikian lamanya tak pernah bertemu dengannya, dan selama ini aku memang bertanya-tanya bagaimana jadinya dengan pinangan ayah berdua.”
Ayahnya mengangguk-angguk, “Aku makin yakin bahwa tentu ada sesuatu di balik semua itu. Suma Hui menuduhmu memperkosa, bahkan berusaha membunuhmu. Dan engkau tidak merasa sama sekali telah melakukan perbuatan keji itu. Tentu terselip suatu rahasia di antara kedua perbedaan yang saling berlawanan itu.”
“Sudah menjadi kuwajibanku untuk membikin terang persoalan ini, ayah. Aku akan segera berangkat ke Thian-cin dan aku akan bicara terus terang dengan mereka.”
“Akau tetapi, keluarga Suma sudah begitu marah kepadamu....,” kata ayahnya sambil mengerutkan alisnya.
“Ayah. Kita semua tahu bahwa Suma Kian Lee locianpwe adalah seorang pendekar besar. Aku yakin bahwa kalau kuajak dia terus terang membicarakan persoalan itu dan menyelidiki rahasianya, dia akan dapat menerimanya.”
“Tapi, Cin Liong....” Suara Wan Ceng menjadi lembut dan pandang matanya penuh iba kepada putera tunggalnya. “Engkau terlambat sudah.... karena tak lama setelah engkau pergi, Suma Hui telah menikah....”
Ciu Liong adalah seorang pemuda yang amat kuat batinnya. Berita yang diucapkan dengan lembut oleh ibunya ini sebetulnya amat hebat menikam jantungnya. Akan tetapi hanya mukanya saja yang sedikit pucat dan matanya tergetar sedikit, akan tetapi selanjutnya dia nampak tenang.
“Ahh, begitukah....?”
“Kami tidak datang karena.... engkau tahu sendiri, tentu tidak enak bagi kami untuk hadir setelah peristiwa peminangan dahulu itu,” kata Kao Kok Cu.
“Kami mendengar bahwa ia menikah dengan suheng-nya sendiri, murid tunggal paman Suma Kian Lee,” sambung Wan Ceng.
“Ah, tentu Louw Tek Ciang itu! Hemmm.... syukurlah kalau begitu, karena pemuda itu kelihatan baik dan berbakat.” Cin Liong menunduk, tidak tahan melihat pandang mata ibunya yang penuh iba. Dia telah gagal lagi dalam asmara!
“Engkau tentu tidak jadi ke Thian-cin, bukan?” tanya ibunya.
Cin Liong mengangkat muka, memandang kepada ibunya dengan senyum. Senyum layu!
“Tentu saja, ibu. Aku pergi untuk menjernihkan kekeruhan antara keluarga kita dengan keluarga Suma. Bagaimana pun juga, di antara kita masih ada hubungan keluarga, maka tidaklah baik kalau sampai awan hitam itu tidak dijernihkan. Aku harus dapat menyadarkan mereka bahwa aku terkena fitnah, bahwa aku tidak melakukan perbuatan itu.”
“Tapi.... tapi Suma Hui telah menjadi isteri orang. Tidak baik kalau sampai urusannya yang mendatangkan aib itu dibicarakan,” Kao Kok Cu memperingatkan.
“Aku akan membicarakannya dengan Suma-locianpwe dan isterinya. Pula, ketika terjadi keributan, Louw Tek Ciang juga mengetahui sehingga dia pun telah mengetahui segala-galanya. Dia pun sudah mengenalku.”
Karena memang masalah yang merisaukan itu perlu dijernihkan, akhirnya Kao Kok Cu dan Wan Ceng tidak dapat membantah dan setelah bermalam di rumah orang tuanya selama sepekan, berangkatlah Cin Liong kembali ke selatan, hendak pergi ke Thian-cin.
Suatu hari tibalah dia di dusun Pei-san yang terletak di kaki Pegunungan Tai-hang-san, tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat. Karena hari sudah lewat senja dan dia pun merasa lelah setelah pada hari itu sejak pagi dia melakukan perjalanan jauh naik turun gunung, maka Cin Liong ingin bermalam di dusun itu. Biar pun dusun Pei-san berada tidak jauh dari kota raja, akan tetapi Cin Liong belum pernah lewat dusun ini.
Dia kini memang sengaja mengambil jalan lain di sepanjang kaki Gunung Tai-hang-san ketika dia menuju ke Thian-cin, untuk melihat-lihat keadaan dan dia memang hendak mengambil jalan memutar agar jangan melalui kota raja. Kalau dia melalui kota raja, dia khawatir kalau dia mendengar sesuatu yang membuat dia menunda kepergiannya ke Thian-cin. Kalau urusannya dengan keluarga Suma sudah selesai, barulah dia akan kembali ke kota raja menunaikan tugasnya sebagai panglima kembali.
Dan karena jenderal muda ini bepergian dengan pakaian preman, tidak ada pejabat atau petugas yang mengenalnya sehingga dia dapat melakukan tugasnya secara bebas kalau dia sedang melakukan penyelidikan. Baru dia mengenakan pakaian kebesaran kalam dia memimpin pasukan dengan resmi.
Pei-san merupakan sebuah dusun di lereng bukit Pegunungan Tai-hang-san. Sebuah dusun yang cukup makmur karena tanahnya yang subur karena letaknya yang dekat dengan kota raja, di sebelah baratnya sehingga dusun ini menjadi semacam pintu masuk atau jembatan, juga menjadi tempat perhentian mereka yang datang dari barat hendak menuju ke kota raja. Para pedagang yang datang dari barat atau pergi ke barat, selalu singgah di dusun ini, untuk mengaso, atau makan, atau juga untuk melewatkan malam kalau mereka kemalaman di jalan. Tidaklah mengherankan apabila di dusun itu bertumbuhan usaha penginapan dan kedai-kedai makan minum.
Ketika Cin Liong memasuki dusun Pei-san, kesan pertama dalam hatinya adalah bahwa dusun ini amat ramai dan sibuk. Akan tetapi, penglihatannya yang tajam dapat menangkap bayangan-bayangan ketakutan tersembunyi di balik senyum dan pandang mata para penduduk. Agaknya ada sesuatu, atau telah terjadi sesuatu yang membuat hati penghuni dusun itu dicekam ketakutan.
Kesan ini dirasakannya pula ketika Cin Liong memasuki sebuah kedai makan yang tidak begitu ramai dan terletak di ujung jalan raya. Perutnya lapar dan tubuhnya lelah sekali. Dia tidak suka memasuki kedai makan yang penuh sesak oleh tamu, melainkan memilih kedai yang sepi itu. Dalam keadaan lapar, tidak perlu terlalu memilih makanan yang enak. Segala macam makanan terasa enak di mulut kalau perut sedang lapar.
Di kedai itu ada beberapa orang tamu yang duduk berpencaran. Cin Liong memilih sebuah meja di sudut dalam. Seorang pelayan tua segera menghampirinya dan dengan ramah lalu bertanya makanan apa yang hendak dipesan oleh pemuda itu. Cin Liong juga melihat betapa di wajah kakek pelayan ini pun terbayang rasa cemas seperti yang dilihatnya pada wajah orang-orang lain itu.
Dia memesan makanan dan ketika pelayan tua itu datang membawakan makanan, Cin Liong lalu berkata, “Lopek, aku melihat wajahmu seperti orang ketakutan, dan juga pada wajah penghuni dusun ini ada bayangan ketakutan seperti itu. Apakah yang telah terjadi, lopek?”
Kakek pelayan itu memandang dengan muka pucat, lalu dia menoleh ke kanan kiri, nampaknya semakin takut, akan tetapi juga ada pandang mata heran mengapa ada orang menanyakan hal itu, karena bukankah semua orang sudah tahu?
“Lopek, aku bukan orang sini, dan aku baru saja masuk ke dusun Pei-san ini. Ada peristiwa apakah?” tanya pula Cin Liong secara sambil lalu seperti lumrahnya seorang tamu yang ingin tahu dan dia pun makan hidangan yang diantarkan oleh pelayan itu.
“Tidak ada apa-apa, tuan.... tidak ada apa-apa....”
Cin Liong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengerling ke arah para tamu yang duduk di situ. Akan tetapi para tamu itu tidak memperlihatkan suatu ketidak wajaran. Mereka duduk, ada yang sedang makan minum, ada yang sedang bercakap-cakap urusan perdagangan dan pekerjaan mereka. Dia tahu bahwa kakek ini membohong dan takut bicara.
“Lopek, jangan takut. Ceritakanlah, kalau ada apa-apa aku yang akan tanggung. Kalau ada kesukaran menimpa dusun ini, tentu aku akan berusaha untuk membereskannya,” kata pula Cin Liong lirih agar tidak sampai terdengar oleh orang lain.
Pelayan itu memandang dengan ragu, akan tetapi matanya terbelalak ketika dia melihat betapa tangan tamunya itu meremas sebuah sendok batu yang menjadi hancur seperti tepung di antara jari-jari tangannya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Tahulah pelayan itu bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar.
“Di.... di dusun ini semenjak dua pekan yang lalu ada.... ada.... Eng-jiauw-pang....”
Hanya sampai di situ saja pelayan itu berani bicara karena dia pun cepat meninggalkan Cin Liong sambil menoleh ke kanan kiri penuh rasa cemas. Cin Liong tidak mendesak lebih jauh, lalu melanjutkan makan sambil termenung. Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda)?
Dia pernah mendengar nama itu. Kalau dia tidak salah ingat, Eng-jiauw-pang adalah perkumpulan orang jahat, perkumpulan para perampok yang amat lihai, terkenal dengan anggota-anggota mereka yang mempergunakan sarung tangan kuku garuda yang selain ahli dalam ilmu silat, juga lihai dalam penggunaan racun. Akan tetapi, perkumpulan perampok Eng-jiauw-pang itu berada di daerah Se-cuan, jauh di barat. Bagaimana bisa muncul di tempat ini dan apa yang telah mereka lakukan sehingga orang-orang menjadi ketakutan?
Tiba-tiba terdengar jeritan lemah dan Cin Liong cepat menoleh. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat kakek pelayan yang tadi melayaninya, tiba-tiba jatuh terpelanting dan mangkok-mangkok terisi makanan dalam baki yang dibawanya ikut terbanting dan menimbulkan suara gaduh. Gegerlah di rumah makan itu.
Para pelayan lain dan para tamu segera menghampiri. Cin Liong tidak ketinggalan, malah dia paling dulu menghampiri kakek ini, lalu dia berlutut dan memeriksa. Ternyata pelayan itu telah tewas dengan muka berubah kebiruan, sedangkan di leher sebelah kanan nampak tiga guratan yang masih mengeluarkan darah. Guratan tanda kuku garuda! Dan sekali lihat saja maklumlah Cin Liong bahwa kakek ini tewas keracunan yang memasuki tubuhnya melalui guratan-guratan pada leher itu.
Dia menjadi marah sekali dan memandang kepada semua orang yang berada di situ penuh selidik. Akan tetapi, karena dia tidak melihat sendiri penyerangan itu, siapa yang hendak dituduhnya? Pula, melihat kenyataan bahwa tidak ada orang yang melihat bagai mana caranya kakek itu diserang dan dibunuh, menjadi bukti bahwa penjahat itu lihai sekali. Juga bahwa penjahat itu bisa mendengar atau mengetahui bahwa kakek pelayan tadi telah menceritakan sedikit tentang Eng-jiauw-pang kepadanya, membuktikan bahwa gerombolan penjahat itu benar-benar lihai.....
Komentar
Posting Komentar