KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-29


Ada kejahatan kejam terjadi di depan hidungnya, sungguh hal ini menjengkelkan sekali, merupakan tantangan kepadanya. Dia merasa menyesal mengapa tadi dia tidak sempat memperhatikan kakek pelayan itu sehingga dia akan dapat mengetahui kalau kakek itu diserang orang. Akan tetapi siapa pula mengira bahwa di situ akan terjadi pembunuhan?

Begitu Cin Liong mengeluarkan pertanyaan ini, semua orang terbelalak. Muka mereka menjadi pucat dan cepat-cepat mereka menjauhkan diri, meninggalkan tempat itu seperti orang ketakutan. Juga para pelayan yang lain menggelengkan kepala, tanpa menjawab pertanyaan itu.

“Wiirrr.... singgg....!”

Cin Liong dengan tenang mengelak dan tangannya bergerak menangkap benda hitam yang meluncur di dekat telinganya, yang tadinya menyambar ke arah lehernya. Dengan ibu jari dan telunjuk, ditangkapnya benda itu yang ternyata adalah sebatang senjata rahasia berbentuk paku yang biasanya disebut Touw-kut-ting (Paku Penembus Tulang). Akan tetapi melihat warnanya yang hitam kehijauan, mudah diduga bahwa paku ini mengandung racun yang amat berbahaya!

Begitu menangkap senjata rahasia itu, Cin Liong meloncat ke pintu, akan tetapi dia tidak melihat bayangan siapa pun yang boleh disangka melakukan penyerangan itu. Akan tetapi di daun pintu nampak sehelai kain yang tertancap pisau belati, di mana terdapat tulisan dengan huruf merah.

ENG-JIAUW-PANG MENANTI DI KUIL TUA HUTAN CEMARA DI SEBELAH TIMUR DUSUN.

“Hemm....!” Cin Liong merasa penasaran sekali dan marah.

Kiranya dia berhadapan dengan perkumpulan yang mempunyai orang-orang pandai dan kejam sekali. Tentu penyerangan senjata rahasia tadi dimaksudkan untuk mengujinya. Kalau dia lulus ujian, tidak mati oleh serangan itu, maka dia dianggap cukup berharga untuk berkunjung ke sarang perkumpulan itu! Dia tahu betapa bahayanya mendatangi sarang itu, karena para penjahat tentu telah siap siaga menanti kedatangannya. Akan tetapi, Cin Liong adalah seorang pendekar yang selain banyak pengalaman dan cukup waspada, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ketabahan luar biasa.

Cin Liong melemparkan paku itu dengan pengerahan tenaga sampai amblas ke dalam tanah, lalu dia meninggalkan rumah makan itu. Dia langsung menuju ke arah timur dan keluar dari dusun itu melalui pintu gerbang sebelah timur. Tidak sukar mencari hutan cemara itu karena begitu keluar dari pintu gerbang, hutan itu sudah nampak di sebuah lereng bukit di kaki Pegunungan Tai-hang-san.

Sebenarnya, perkumpulan apakah yang menamakan diri Eng-jiauw-pang dan menjadi momok bagi para penghuni dusun itu? Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda) sebetulnya adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang tadinya dipimpin oleh seorang tokoh yang condong kepada golongan hitam atau kaum sesat. Mereka itu kadang-kadang suka melakukan perampokan, meski perampokan kaliber besar, bukan sembarangan perampok dan maling kecil saja.

Mereka hanya melakukan perampokan terhadap rombongan besar para pedagang kaya atau pembesar tinggi yang melakukan perjalanan. Karena nama Eng-jiauw-pang sudah dikenal dan ditakuti, maka para piauwkiok (perusahaan pengawal barang kiriman) rata-rata mendekatinya dan mengirim upeti-upeti sehingga perjalanan mereka tidak akan diganggu oleh perkumpulan ini. Upeti-upeti yang cukup banyak itulah yang menjadi sumber nafkah perkumpulan ini di samping hasil-hasil perampokan mereka terhadap rombongan-rombongan yang tidak mangirim upeti kepada mereka.

Perkumpulan Eng-jiauw-pang memang tadinya berasal dari barat, dari daerah Se-cuan. Akan tetapi semenjak pendirinya, yaitu Eng-jiauw Siauw-ong, tewas, perkumpulan itu meninggalkan Se-cuan dan di bawah pimpinan ketua mereka yang baru, mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, pindah ke timur dan kini sedang mencari-cari tempat yang baik sampai mereka tiba di hutan cemara di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu.

Cin Liong memasuki hutan cemara dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa dia memasuki sarang harimau atau goa naga. Untung baginya bahwa hutan cemara itu tidaklah begitu liar atau gelap karena pohon-pohon itu tidak lebat.

Tidak lama kemudian setelah dia memasuki hutan cemara itu, nampaklah dinding kuil yang putih, agaknya tembok dinding itu baru mengalami perbaikan dan pengecatan baru. Juga pekarangannya nampak bersih, genteng-gentengnya ada pula sebagian yang baru, agaknya genteng-genteng tua yang jebol telah diganti dan diperbaiki. Akan tetapi, tempat itu kelihatan sunyi saja.

Biar pun begitu, Cin Liong tidak tertipu oleh keadaan yang sunyi dan dia tetap waspada, yakin bahwa pada saat itu, mata pihak musuh tentu sedang mengamati gerak-geriknya. Selagi dia merasa heran mengapa pihak musuh yang biasanya suka bertindak curang itu belum juga turun tangan menyerangnya, tiba-tiba dia melihat gerakan di sekelilingnya dan tahu-tahu tempat itu sudah terkurung oleh sedikitnya dua puluh orang yang kesemuanya nampak beringas dan kejam.

Dengan perasaan heran Cin Liong melihat betapa pada sinar mata dua puluh orang lebih itu terbayang kemarahan dan dendam kebencian yang mendalam kepadanya! Sungguh aneh pikirnya. Mengapa orang-orang Eng-jiauw-pang ini memusuhinya tanpa sebab? Padahal, dia baru saja datang ke dusun itu dan tadi hanya bertanya mengenai Eng-jiauw-pang kepada pelayan rumah makan yang kemudian dibunuh oleh orang-orang Eng-jiauw-pang sendiri.

Akan tetapi, hal ini tidak membuat pendekar ini merasa gentar dan dia pun mencari dengan matanya. Melihat lima orang tinggi besar yang nampak kereng dan agaknya menjadi pemimpin mereka semua, dia lalu menghadapi lima orang itu dan memandang tajam ke sekeliling.

“Kao Cin Liong, engkau datang mengantar kematian. Sungguh bagus dan memudahkan kami untuk membuat perhitungan denganmu!” Seorang di antara mereka yang berkumis lebat berkata.

Cin Liong mengerutkan alisnya. “Apakah kalian ini yang disebut Eng-jiauw-pang?”

“Benar!” jawab si kumis lebat. “Kami adalah para anggota Eng-jiauw-pang yang hendak membalas kematian ketua kami!”

Cin Liong memandang heran. “Aku hanya lewat di dusun itu dan mendengar bahwa perkumpulan Eng-jiauw-pang mengacau penduduk, melakukan kejahatan hingga para penghuni dusun hidup dicekam ketakutan. Akan tetapi sekarang kalian mengatakan hendak membalas kematian ketua kalian. Apa artinya ini?” Dia memandang si kumis dan melanjutkan pertanyaannya. “Dan bagaimana kalian dapat mengenal namaku?”

“Jenderal Kao Cin Liong, tidak perlu berpura-pura tanya lagi. Engkau telah membunuh ketua kami dan saat ini engkau akan menebus kematian ketua kami dengan nyawamu.”

“Dan siapakah ketua kalian itu?”

“Ketua kami adalah mendiang Eng-jiauw Siauw-ong Liok Cau Sui! Dan engkau telah membunuhnya di Pulau Es....”

“Ahhhh!”

Kini Cin Liong teringat. Ketika rombongan para datuk kaum sesat menyerbu Pulau Es, dia membela Pulau Es dan dalam pertempuran mati-matian itu dia telah merobohkan dan menewaskan seorang kakek yang memakai sarung tangan kuku garuda, yang merupakan lawan yang amat tangguh dan lihai. Kiranya kakek bersarung tangan kuku garuda itu adalah ketua dari gerombolan ini!

“Kiranya kakek jahat itu ketua kalian? Memang, aku telah menewaskannya karena dia bersama orang-orang jahat lainnya melakukan penyerbuan kepada keluarga Pulau Es. Nah, kalian mau apa? Apakah kalian hendak menyusul ketua kalian itu ke neraka jahanam?”

Tentu saja dua puluh orang lebih yang mengurung pemuda itu menjadi marah mendengar ucapan ini, terutama sekali lima orang pemimpin mereka yang merupakan murid-murid utama dari mendiang Eng-jiauw Siauw-ong.

“Bocah sombong! Kematian sudah berada di depan mata dan engkau masih besar mulut!” teriak si kumis yang agaknya merupakan pemimpin nomor satu dan memang sesungguhnya dia adalah murid kepala atau twa-suheng dari semua murid Eng-jiauw Siauw-ong.

Setelah memaki, lima orang itu lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan kuku garuda, diturut oleh semua anggota gerombolan itu dan kini semua tangan mereka telah mengenakan sarung kuku garuda yang terbuat dari pada baja. Setelah mengenakan sarung tangan kuku garuda, mereka itu nampaknya menjadi bertambah bengis.

Lalu, atas isyarat si kumis, kepungan mereka makin merapat dan tiba-tiba beberapa orang anggota gerombolan yang berdiri di belakang Cin Liong sudah menubruk dengan serangan mereka menggunakan kedua cakar garuda itu untuk mencengkeram. Mulut mereka mengeluarkan suara seperti teriakan parau burung garuda, ada pun gerakan-gerakan mereka juga seperti burung yang mencakar-cakar. Kedua lengan mereka kadang-kadang dikembangkan dan mereka meloncat dengan gesitnya, menubruk dari atas seperti gerakan burung menyambar dari angkasa, menggunakan kedua cakar baja yang amat runcing itu.

Akan tetapi, yang mereka serang adalah Kao Cin Liong, pendekar muda yang memiliki kesaktian, putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Begitu pemuda perkasa ini memutar tubuh dan menggerakkan kedua lengannya sambil membentak, tiga orang penyerang sudah terpelanting dan terbanting ke atas anah dengan keras, membuat mereka tidak dapat segera bangun kembali karena merasa kepala mereka pening.

Akan tetapi, teman-teman mereka sudah menyerang dari empat jurusan sehingga Cin Liong terpaksa harus mengeluarkan kepandaiannya karena pengeroyokan para anggota Eng-jiauw-pang itu, terutama lima orang pimpinan mereka, bukan merupakan lawan yang lunak!

Kao Cin Liong adalah seorang pendekar gemblengan yang berjiwa gagah perkasa, selalu siap untuk membela yang lemah menentang yang jahat tanpa dipengaruhi perasaan benci. Yang ditentangnya adalah perbuatan yang jahat dan mencelakakan orang lain, akan tetapi dia tidak pernah membenci orangnya. Oleh karena itu, dalam sepak terjangnya menghadapi kejahatan, selalu dia berniat untuk menghukum dan mendidik, tidak mau sembarangan membunuh orang. Jika dia sudah berpakaian jenderal, tentu saja sikap dan tindakannya lain lagi. Sebagai prajurit tentu saja dia harus membasmi musuh negara sesuai dengan hukum yang berlaku.

Menghadapi Eng-jiauw-pang ini, dia pun tadinya hanya bermaksud untuk menghajar dan menghukum mereka agar bertobat dan tidak berani mengacau rakyat lagi. Akan tetapi setelah mereka mengeroyok, dia terkejut dan mendapat kenyataan betapa para anggota perkumpulan ini benar-benar memiliki kepandaian silat yang kuat. Apalagi lima orang pemimpin mereka itu sungguh merupakan lawan berbahaya setelah mereka maju bersama, dan pengeroyokan kurang lebih dua losin orang itu membuatnya repot juga.

Untuk dapat menghajar lawan sedemikian banyaknya dia harus memiliki tingkat jauh lebih tinggi dari pada para lawan itu. Akan tetapi kenyataannya dialah yang terdesak karena dia tadinya tidak ingin membunuh dan hanya menggunakan ilmu silat biasa saja. Melihat betapa dia malah terdesak, terpaksa Cin Liong merubah permainannya dan demi keselamatannya sendiri, kalau perlu dia harus merobohkan beberapa orang lawan yang mungkin saja dapat menewaskan lawan karena dia hendak mengeluarkan ilmu simpanannya.

“Hyaaaattt....!”

Si kumis tebal menyerang dengan ganasnya, kedua tangan cakar bajanya menyambar cepat dan yang nampak hanya sinar hitam dua gulung menyambar ke arah muka dan dada Cin Liong. Serangan ini disusul oleh serangan empat orang kawannya dari kanan kiri dan belakang. Cin Liong meloncat dan tubuhnya melesat keluar dari kepungan, lalu tiba-tiba tubuhnya mendekam setengah menelungkup di atas tanah. Para pengeroyok merasa girang sekali, mengira bahwa pemuda itu lelah atau kehabisan tenaga atau terjatuh. Belasan orang anak buah Eng-jiauw-pang seperti berebut menubruk musuh yang sedang mendekam di atas tanah itu.

“Haiiiikkk!”

Tiba-tiba Cin Liong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya yang tadi mendekam secara tiba-tiba bergerak, kaki tangannya mencuat ke sekelilingnya dan angin yang dahsyat menyambar seperti badai mengamuk. Para pengeroyoknya terkejut sekali, mereka berteriak kaget dan kesakitan dan belasan orang itu pun terpelanting berjatuhan dengan terbanting keras dan ada yang terlempar sampai beberapa tombak jauhnya! Dalam segebrakan itu saja, empat orang pengeroyok tewas seketika, empat orang lain terluka parah dan beberapa orang lagi hanya terlempar dan mengalami kekagetan saja, hanya lecet-lecet karena terbanting dan terguling-guling.

Tentu saja para anggota Eng-jiauw-pang terkejut sekali. Mereka tidak tahu bahwa ketika mendekam tadi, Cin Liong mengeluarkan ilmu simpanan yang dipelajari dari ayahnya, Si Naga Sakti Gurun Pasir. Itulah Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam Di Tanah). Ketika dia mendekam sebetulnya dia sedang mengerahkan sinkang yang mengambil tenaga inti dari bumi. Dan pada waktu belasan orang pengeroyok itu menyerang dan menubruknya seperti hendak berlomba mencengkeramnya, Cin Liong mempergunakan Ilmu Sin-liong-cian-hoat (Silat Naga Sakti), maka akibatnya sedemikian hebat.

Lima orang pemimpin Eng-jiauw-pang dan sisa anak buah mereka melihat kehebatan pemuda ini menjadi gentar. Mereka tahu bahwa kalau dilanjutkan pengeroyokan itu, akhirnya mereka semua akan roboh dan tewas. Maka lima orang pemimpin itu mengeluarkan seruan memberi isyarat kepada para anak buahnya untuk melarikan diri. Mereka pun berloncatan pergi sambil menyeret teman-teman yang tewas atau terluka.

Cin Liong sendiri masih tertegun melihat akibat dari ilmunya tadi. Sangat jarang dia mau menggunakan ilmu simpanan itu, dan hingga saat ini dia masih selalu merasa tertegun menyaksikan kehebatan ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya. Dia termangu-mangu, mempertimbangkan apakah sepak terjangnya tadi tepat, dalam segebrakan saja dia telah membunuh dan melukai banyak orang. Karena dia sendiri merasa agak menyesal, maka ketika melihat semua lawan melarikan diri, dia pun tidak mau mengejar dan hanya berdiri memandang sampai mereka semua lenyap dari pandang matanya.

Setelah menarik napas panjang, Cin Liong lalu melangkah memasuki hutan itu lebih dalam karena dia ingin mencari kuil tua yang menjadi sarang Eng-jiauw-pang. Dia tadi sudah memberi hajaran kepada mereka, akan tetapi dia harus menemukan sarang mereka dan membasmi sarang itu agar mereka bertobat dan tidak berani lagi beraksi mengumbar kejahatan mereka.

Kuil tua itu ternyata sudah mengalami banyak perbaikan. Temboknya telah dicat baru, gentengnya banyak yang diganti baru dan dari luar saja sudah nampak bahwa kuil tua itu kini sudah menjadi bersih dan terawat. Bahkan di pekarangan kuil itu banyak ditanami kembang dan juga nampak bersih, tanda bahwa setiap hari tentu disapu. Akan tetapi ketika Cin Liong menghampiri kuil itu, kelihatan sunyi sekali. Tentu mereka sudah melarikan diri semua, pikirnya. Mereka agaknya dapat menduga bahwa aku tentu akan mendatangi sarang mereka.

Namun dia tetap bersikap hati-hati dan waspada ketika memasuki kuil. Dia tahu bahwa menghadapi musuh seperti Eng-jiauw-pang itu, dia harus bersikap hati-hati karena mereka tentu tidak segan-segan menggunakan kecurangan dan dia tidak akan merasa heran andai kata mereka kini memasang perangkap untuknya di dalam kuil ini. Maka, dia pun melangkah dengan hati-hati ke dalam kuil yang sudah tidak dipergunakan sebagai tempat sembahyang itu.

Ruangan depan kosong, juga ketika dia memeriksa ke ruangan dalam dan kamar-kamar di sekitarnya, tidak menemukan seorang pun. Akan tetapi Cin Liong tetap curiga. Dia melihat sesuatu yang tidak wajar dalam kekosongan kuil ini. Biasanya, kalau orang-orang meninggalkan sarang mereka dengan tergesa-gesa karena mengira bahwa sarang itu akan diserbu musuh, tentu para penghuninya akan pergi sambil membawa barang-barangnya dan kamar-kamar itu tentu akan mawut, barang-barang ada yang kececeran dan dibiarkan porak-poranda.

Akan tetapi di dalam ruangan dan kamar-kamar di kuil ini tidak nampak tanda-tanda demikian itu. Semua kamar tetap bersih dan barang-barang seperti tempat pakaian dan lain-lain masih utuh, juga tidak ada tanda-tanda orang membawa pergi barang-barang dengan tergesa-gesa. Apakah para anggota Eng-jiauw-pang itu langsuug melarikan diri tanpa singgah dulu di sarang mereka saking takutnya? Nampaknya begitulah atau.... ada maksud tertentu dari mereka. Kalau benar tidak ada orangnya dan tempat ini sudah ditinggalkan para penjahat itu, sebaiknya dibakar saja, pikir Cin Liong.

Mendadak Cin Liong tak bergerak dan mencurahkan perhatian kepada suara yang didengarnya. Suara itu datang dari arah belakang kuil itu, suara ah-ah-uh-uh, bukan seperti suara manusia, diselingi suara berdebukan seperti benda dipukul-pukulkan di lantai.

Dengan hati-hati sekali dan penuh kewaspadaan, seluruh syaraf di tubuhnya menegang dan siap bergerak melindungi diri, Cin Liong lalu menuju ke ruangan belakang, satu-satunya ruangan yang belum dimasukinya. Daun pintu yang menembus dari ruangan tengah ke ruang belakang itu tertutup dan dengan perlahan dan hati-hati Cin Liong mendorongnya terbuka.

“Uhhh.... uhhhh....!”

Cin Liong melihat seorang gadis cantik yang terbelenggu kaki tangannya, diikat di atas sebuah dipan kayu. Mulut gadis itu ditutup pula dengan sebuah sapu tangan yang diikatkan ke belakang kepalanya sehingga mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh. Gadis itu mencoba melepaskan diri, meronta-ronta dengan keras. Akan tetapi belenggu kaki tangannya itu terlampau kuat sehingga kaki dipan kadang-kadang terangkat sedikit dan memukul-mukul lantai mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk.

Meski apa yang dilihatnya itu sudah nampak jelas, yaitu seorang gadis tawanan yang ditinggalkan di dalam ruangan belakang kuil itu, namun Cin Liong tidak tergesa-gesa menghampiri, melainkan menoleh ke kanan kiri dan meneliti keadaan sekitar tempat itu. Dia tidak mau jika sampai terjebak memasuki perangkap yang dipasang para penjahat.

Melihat pintu terbuka dan muncul seorang pemuda tampan, gadis itu menghentikan gerakannya meronta-ronta tadi dan kini ia memandang kepada Cin Liong dengan kedua mata basah. Gadis itu menangis dan sinar matanya mewakili mulutnya untuk minta tolong kepada Cin Liong.

Setelah meneliti keadaan dan merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali dia sendiri dan gadis yang dibelenggu itu, Cin Liong melangkah masuk, menghampiri gadis itu sambil memperhatikannya. Seorang gadis yang cantik sekali, usianya tentu sudah dua puluh tahun lebih, dengan bentuk tubuh yang matang dan padat. Agaknya gadis itu menjadi tawanan baru dan belum diganggu oleh para penjahat. Hal ini dapat diduga melihat betapa pakaian gadis itu masih lengkap dan utuh.

Melihat pakaiannya yang serba mewah, dapat diduga pula bahwa gadis ini tentulah puteri seorang hartawan atau bangsawan. Pakaian itu belum diganggu, bahkan jubah luar terbuat dari pada bahan kain indah berwarna merah itu pun masih menempel di tubuhnya. Akan tetapi, kaki tangannya dibelenggu amat kuatnya, dengan menggunakan pintalan kain sebagai tali. Halus dan tidak menyakitkan kaki tangan, akan tetapi ulet dan sukar untuk melepaskan diri dari belenggu pintalan kain ini.

Cin Liong kini cepat menghampiri dan pertama-tama dia melepaskan sapu tangan yang menutupi mulut dan diikatkan ke belakang kepala itu. Begitu bebas, gadis itu segera berkata dengan suara memohon, “Ahhh, tolonglah aku.... tolonglah aku.... mereka membelengguku dan meninggalkan aku di sini, sebentar lagi mereka tentu datang lagi. Tolong lepaskan belenggu kaki tanganku....”

Tanpa diminta sekali pun tentu saja Cin Liong bermaksud membebaskannya. Dia lalu melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan merasa kasihan karena ternyata ikatan itu kuat sekali sehingga ketika dilepaskan, kulit kaki di pergelangan yang halus putih itu menjadi merah kebiruan! Dia pun cepat melepaskan tali pengikat kedua lengan.

Akan tetapi begitu dilepaskan kedua tangannya, tiba-tiba gadis itu mencengkeram ke arah perut sendiri. Wajahnya berubah pucat, keringat membasahi muka dan lehernya dan dia pun mengeluh, “Aduhhh.... perutku....aduhhh....”

Cin Liong terkejut sekali. “Perutmu kenapa, nona....”

“Aduhh.... di antara mereka tadi.... ada yang menampar ke arah perutku.... Tadi tidak begitu terasa, akan tetapi sekarang.... aduhhh.... seperti terbakar rasanya....” Dan gadis itu pun menangis, kedua tangannya mencengkeram ke arah perutnya dan tubuhnya berkelojotan seperti dalam keadaan yang amat nyeri.

Cin Liong teringat bahwa orang-orang Eng-jiauw-pang pandai mempergunakan racun. Agaknya gadis ini terluka atau terkena racun. “Maaf, biarkan aku memeriksanya, nona, mungkin aku dapat menolongmu....,” katanya dengan perasaan kasihan kepada gadis itu dan marah kepada para penjahat.

Agaknya orang-orang Eng-jiauw-pang itu telah menaruhkan racun entah apa, yang akan terasa apabila gadis itu terbebas dari belenggunya. Racun yang aneh dan jahat sekali. Karena khawatir kalau-kalau keadaan gadis sudah parah dan sukar ditolong lagi, Cin Liong mengesampingkan segala perasaan malu dan canggung. Dengan hati-hati dia menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan kancing baju gadis itu di bagian perut, untuk memeriksa keadaan perutnya yang agaknya terluka hebat itu, entah luka di luar ataukah di dalam.

Pada saat dia berdiri membungkuk dengan kedua tangan bekerja membuka kancing dan mukanya menunduk, matanya memandang penuh perhatian ke arah perut, tiba-tiba kedua tangan gadis itu bergerak dan jubah merahnya mengebut. Bubuk merah halus yang seperti asap memenuhi udara dan sebagian besar menimpa muka Cin Liong.

Pemuda ini sama sekali tidak menyangka. Tadi ketika dia melepaskan belenggu dan berada di dekat nona itu, memang dia mencium bau harum yang aneh. Akan tetapi karena keadaan gadis itu sebagai seorang tawanan yang dibelenggu kuat-kuat dan kemudian bahkan menderita nyeri yang hebat, keraguan dan kecurigaan sedikit pun terhadap gadis itu tidak ada. Maka, betapa pun lihainya, dalam keadaan berdiri bungkuk seperti itu, dan dekat sekali dengan nona yang ditolongnya, ketika nona itu menyerang dengan bubuk merah yang agaknya memang sudah sejak tadi memenuhi jubah merahnya, pendekar ini sama sekali tidak mampu menghindarkan diri dan mukanya terkena bubuk merah yang harum.
“Hehhh....!”

Dia masih dapat mencengkeram ke depan, maksudnya untuk menangkap gadis yang telah mengkhianatinya itu. Akan tetapi, dengan gerakan yang luar biasa gesitnya, gadis cantik itu menangkis dan meloncat jauh.

“Dukkk!”

Gadis itu terlempar dan Cin Liong juga merasa betapa tangkisan itu mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Tahulah dia bahwa gadis itu memang seorang pandai yang pura-pura tertawan sehingga dia terkecoh. Akan tetapi terlambat. Kepalanya terasa ringan dan tiba-tiba saja semuanya gelap baginya. Tanpa diketahuinya, dia roboh terkulai di atas pembaringan itu dalam keadaan pingsan.

Cin Liong tidak tahu berapa lama dia tidak sadar. Akan tetapi ketika dia siuman, dia mendapatkan dirinya berada di dalam ruangan yang sama. Akan tetapi kini dialah yang terikat dan terbelenggu di atas dipan dan ketika dia memandang, ternyata gadis cantik berpakaian mewah tadi juga berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dan sedang memandang kepadanya dengan sepasang mata tajam penuh selidik. Mata itu amat tajam bersinar-sinar. Sukarlah membaca perasaan yang berada di balik sinar mata itu.

Tiga batang lilin di atas meja menandakan bahwa hari telah malam! Juga suasana kuil yang tadinya sunyi kini berubah. Dia mendengar suara orang-orang di luar ruangan itu dan tak lama kemudian, daun pintu yang menembus ruangan itu dari belakang terbuka. Muncullah dua orang pria datang membawa baki-baki terisi hidangan makanan dan minuman. Dengan sikap hormat mereka mengatur hidangan itu di atas meja.

Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak melirik, tidak mempedulikan dan pandang matanya masih terus ditujukan kepada Cin Liong dengan pandang mata yang aneh. Cin Liong tahu bahwa dua orang pria itu adalah anggota-anggota Eng-jiauw-pang, karena di pinggang mereka tergantung sepasang sarung tangan cakar baja itu.

“Siocia (nona), silakan makan dulu, hari sudah malam!” kata seorang di antara mereka dengan sikap hormat dan juga penuh rasa sayang.

Gadis itu hanya mengangguk, lalu memberi isyarat dengan tangannya agar dua orang itu pergi lagi meninggalkannya sendirian di ruangan itu. Dua orang itu menjura, lalu keluar dan menutupkan daun pintu tembusan ke dapur itu dengan perlahan dan hati-hati.

Cin Liong yang sudah siuman itu sejak tadi pura-pura masih belum sadar, dan hanya mengintai dari balik bulu matanya saja. Kini dia melihat nona itu menghadapi hidangan dan mulai makan. Namun, agaknya hidangan yang banyak macamnya dan kelihatan lezat sehingga menimbulkan selera bagi Cin Liong yang memang lapar sekali, agaknya tidak membuat nona itu bernafsu untuk makan. Hanya sedikit ia makan, kemudian ia menenggak tiga cawan arak.

Cin Liong kini sadar bahwa dia sudah terperosok ke dalam perangkap yang dipasang oleh gadis ini secara cerdik sekali. Dia menduga-duga siapa gerangan gadis ini. Tak mungkin anggota biasa dari Eng-jiauw-pang karena dua orang anggota perkumpulan itu tadi bersikap sangat hormat kepadanya dan menyebutnya nona. Tentu seorang tokoh pimpinan. Dan kecantikan seorang wanita dengan sikapnya yang pendiam dan halus itu bahkan lebih mengerikan dan berbahaya dari pada sikap seorang musuh yang kasar dan bengis seperti orang-orang gerombolan Eng-jiauw-pang.

Diam-diam dia mengerahkan tenaga untuk menggunakan sinkang-nya menembus jalan darah yang tertotok. Dia terkejut. Totokan itu istimewa sekali dan betapa pun dia mengerahkan sinkang, tetap saja dia tidak mampu menggerakkan pusarnya dan hawa di dalam pusarnya tetap dalam keadaan tidur karena tidak ada yang menggerakkan keluar. Celaka, pikirnya. Kalau dia tidak dapat mengerahkan sinkang-nya, tentu dia tidak dapat melindungi dirinya. Tali-tali belenggu itu bukan apa-apa baginya kalau dia mampu mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia harus bersabar sampai pengaruh totokan itu menghilang atau menjadi lemah.

Tiba-tiba Cin Liong mendengar langkah-langkah kaki. Dia pun memejamkan matanya kembali dan mendengarkan penuh perhatian. Daun pintu sebelah depan terbuka dan muncullah lima orang laki-laki dipimpin oleh si kumis tebal. Mereka ini adalah pimpinan gerombolan Eng-jiauw-pang! Diam-diam Cin Liong merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Agaknya bukan hanya dia yang terkejut melihat munculnya lima orang tokoh Eng-jiauw-pang yang lihai itu, juga gadis cantik itu bangkit berdiri dan memandang kepada mereka dengan alis berkerut.

“Suheng berlima datang memasuki ruangan ini mau apakah?” tanyanya dengan suara dingin.

Si kumis tebal melangkah maju. “Sumoi, kami datang karena khawatir akan dirimu dan ingin melihat tampangnya musuh besar kita ini. Dia harus dibunuh secepatnya, sumoi, karena kalau dibiarkan hidup lebih lama lagi, dia bisa mendatangkan bencana bagi kita. Dia amat lihai dan berbahaya.”

“Twa-suheng, sudah kukatakan kepada kalian bahwa selama semalam ini, dia menjadi tawananku dan boleh kuperlakukan sesuka hatiku. Tidak boleh ada orang lain yang mencampuriku! Besok baru kalian boleh bicara mengenai dia dan boleh kalian lakukan sesuka hati kalian. Nah, sekarang keluarlah, jangan mengganggu aku yang sedang termenung!”

“Akan tetapi, kita semua amat benci dan sakit hati kepadanya. Ahh, betapa ingin aku menggorok lehernya dan minum darahnya untuk memuaskan hatiku. Siang tadi dia menambah sakit hati kita dengan membunuh empat orang anak buah dan melukai beberapa orang lagi. Dia harus mati!” kata orang ke dua yang kepalanya botak.

“Ji-suheng!” gadis itu berkata, nada suaranya marah. “Bagaimana pun juga, orang itu telah membunuh ayahku. Engkau hanyalah murid ayah, akan tetapi akulah puterinya! Dendam sakit hatiku jauh lebih mendalam dibandingkan denganmu, maka janganlah bicara tentang dendam kebencian itu dengan aku!”

“Bagaimana pun juga, dia harus kupatahkan dulu siku dan lututnya, barulah hatiku lega,” kata pula orang pertama yang disebut twa-suheng dan yang berkumis tebal itu. “Kalau sudah kupatahkan lutut dan sikunya, tentu dia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dan tidak akan membahayakan dirimu, sumoi.”

“Twa-suheng dan suheng sekalian. Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Ingat, siapa yang telah menawannya? Kalian berlima, dibantu oleh para anak buah, masih tidak mampu menangkapnya, bahkan sempat mengorbankan nyawa empat orang anak buah. Sedangkan aku seorang diri saja mampu membekuknya. Akulah yang menangkapnya dan aku juga yang berhak memutuskan apa yang harus dilakukan dengan dia! Aku pula keturunan tunggal dari ayah. Sudahlah, aku hanya ingin bersama musuh besarku semalam ini, biarkan aku melampiaskan dendam pribadiku dengan caraku sendiri. Besok baru kita bicarakan hukuman apa yang akan kalian berikan kepadanya. Keluarlah sebelum aku marah!”

Lima orang itu saling pandang, lalu terpaksa mereka pergi meninggalkan ruangan itu. Seorang di antara mereka, yang tubuhnya pendek kecil kurus, meludah ke arah Cin Liong ketika mereka pergi, dan daun pintu mereka tutupkan dari luar dengan agak keras, tanda bahwa hati mereka tidak puas dengan sikap gadis itu.

Diam-diam Cin Liong yang mengikuti semua ini harus mengakui bahwa pada saat itu, gadis cantik inilah yang telah menyelamatkannya. Karena, kalau tidak dicegah oleh gadis itu, tentu dia sudah dibunuh atau setidaknya dibikin cacat oleh lima orang itu tanpa dia mampu melawan sama sekali. Dia menarik napas lega.

Tiba-tiba gadis itu menoleh kepadanya. “Kao Cin Liong, apakah engkau masih hendak pura-pura belum sadar?”

Cin Liong membuka matanya, menoleh dan memandang. Dia mampu menggerakkan tubuhnya, akan tetapi tidak dapat mengerahkan sinkang-nya. Kemudian dia menarik napas panjang.

“Nona, kalau orang-orang seperti anggota gerombolan Eng-jiauw-pang memusuhi aku, hal itu tidaklah aneh karena mereka adalah orang-orang jahat. Akan tetapi kalau sampai seorang gadis cantik dan pandai seperti engkau memusuhiku, sungguh membuat aku heran dan penasaran sekali!”

Gadis itu mengejek. “Manusia sombong! Engkau hendak mengatakan bahwa seorang pendekar besar, seorang jenderal dan panglima muda seperti engkau tidak pantas dimusuhi oleh orang baik-baik, begitukah?”

“Aku tidak biasa memuji diri sendiri, nona. Akan tetapi aku selalu hanya menentang kejahatan, dan engkau sama sekali tidak kelihatan sebagai orang jahat. Maka aku merasa heran melihat engkau menjebakku dan menawanku seperti ini.”

“Engkau tidak usah heran. Bukankah engkau yang dulu telah menewaskan Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui? Nah, aku adalah Liok Bwee, puterinya. Ayahku kau bunuh dan aku berusaha membalas dendam itu. Apa anehnya?”

“Aneh, sungguh aneh dan sukar dipercaya....!” Cin Liong berkata, dia sengaja untuk mengulur waktu dan mencari kesempatan membebaskan diri.

“Apanya lagi yang aneh?” Liok Bwee bertanya penasaran.

“Mendiang Eng-jiauw Siauw-ong adalah orang jahat yang dulu telah diperalat oleh Hek-i Mo-ong dan antek-anteknya, para datuk sesat, untuk menyerang Pulau Es, menyerang keluarga Pendekar Super Sakti. Dan engkau, nona, engkau bahkan mengaku puterinya. Sungguh tidak pantas dan aneh sekali bahwa seorang datuk sesat seperti dia memiliki seorang puteri yang cantik dan gagah perkasa seperti engkau....”

Wajah itu sebentar merah sebentar pucat dan sepasang mata yang bening itu menatap wajah Cin Liong yang tampan. “Sudahlah, bagaimana pun juga, aku adalah puterinya dan aku harus membalas dendam kematiannya itu.”

“Nona Liok Bwee, ayahmu tewas karena kesalahannya sendiri. Andai kata dia tidak kebetulan tewas karena berkelahi melawan aku yang membela keluarga Pulau Es, tentu dia akan tewas pula oleh keluarga yang sakti itu.”

“Cukup! Apakah kau kira aku mau menjadi anak yang tidak berbakti?” Dan di dalam suara gadis ini terkandung kesedihan yang besar.

“Aku sudah terjatuh ke tanganmu, terserah kepadamu, nona. Aku tidak takut mati. Hanya aku merasa sayang sekali, mengapa seorang gagah perkasa seperti engkau ini sampai menggunakan akal busuk untuk menangkapku. Aku tahu bahwa engkau seorang gagah perkasa, sehingga engkau tidak membolehkan ketika para suheng-mu hendak membunuhku tadi. Akan tetapi, kalau engkau membunuhku dalam keadaan aku sudah terjebak begini, sungguh aku merasa amat sayang, nona. Tidak patut seorang seperti nona ini melakukan pembunuhan keji secara curang, tanpa memberi kesempatan orang itu untuk membela diri. Jauh lebih baik mati sebagai seorang gagah dari pada hidup sebagai seorang pengecut.”

Gadis itu memejamkan matanya dan dari kedua matanya itu menitik turun beberapa butir air mata. “Betapa kejamnya engkau.... betapa kejamnya engkau menusuk-nusuk perasaan hatiku. Aku memang selamanya tidak setuju dengan sepak terjang ayah. Ibu sampai meninggal dunia karena sedih memikirkan ayah yang suka bergaul dengan kaum penjahat. Sepeninggal ibu, ayah menjadi semakin nekat, bahkan mengangkat diri menjadi seorang di antara datuk kaum sesat. Ah, aku malu.... aku menyesal sekali. Ketika ayah diajak Hek-i Mo-ong, aku sudah mencegahnya, menangis, akan tetapi percuma saja. Ketika aku mendengar bahwa ayah tewas di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong, tentu saja aku merasa sakit hati. Akan tetapi apa dayaku? Aku mendengar bahwa Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir! Tetapi, para suheng-ku tak pernah putus asa dan pada suatu hari mereka menemukan jejakmu. Akan tetapi mereka semua kalah olehmu. Ahh, betapa kagum hatiku. Selama hidupku, belum pernah aku melihat pendekar seperti engkau, yang dapat memukul mundur lima orang suheng-ku berikut semua anak buah! Akan tetapi, aku harus membalas kematian ayahku, maka aku.... aku....”

Cin Liong diam-diam merasa girang. Tidak keliru dugaannya. Gadis ini mempunyai kelemahan dan pada dasarnya bukanlah seorang jahat atau kejam. Namun keadaan yang memaksanya karena ia puteri ketua Eng-jiauw-pang. Maka dia pun tersenyum.

“Nona, aku tidak takut mati dan mati di tanganmu jauh lebih menggembirakan dari pada mati di tangan orang-orang Eng-jiauw-pang itu. Kalau engkau menganggap sudah sepatutnya aku mati karena membela kebenaran, nah, bunuhlah, jangan ragu-ragu lagi. Kalau nona ragu-ragu dan melakukan tindakan yang berlawanan dengan suara hati kecil, nona akan merasa menyesal selama hidup.”

Gadis itu mengusap air matanya. Dengan mata basah ia memandang kepada Cin Liong, lalu menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak.... tidak.... sejak aku berhasil meringkusmu di sini dan sampai sekarang, aku tiada hentinya menatap wajahmu dan terjadi perang di hatiku.... membuat aku gelisah dan bingung. Tidak, Kao Cin Liong, aku tidak mungkin dapat membunuhmu....”

Cin Liong tersenyum. “Sudah kuduga, nona Liok Bwee. Seorang gadis sepertimu ini, tidak mungkin menjadi seorang yang jahat atau curang. Tak mungkin engkau mau membunuh orang begitu saja. Engkau gagah dan baik....”

“Bukan....bukan begitu.... kalau bukan engkau musuh besarku, tentu sudah kubunuh sejak tadi!”

Cin Liong mengerutkan alisnya. Wanita ini sungguh aneh, pikirnya. Dan memang kalau tadi dia memuji-muji, hal itu hanya dilakukannya untuk mengulur waktu sedangkan diam-diam dia terus berusaha untuk memulihkan tenaganya, untuk membuyarkan jalan darahnya yang buntu tertotok. Dia sendiri tidak mungkin dapat mengharapkan puteri seorang datuk sesat dapat menjadi seorang yang berbudi mulia dan baik. Watak seseorang amat dipengaruhi oleh lingkungannya, bahkan hampir dapat dipastikan bahwa watak dibentuk oleh lingkungan. Kalau sejak kecil terlahir dan tumbuh di dalam lingkungan penjahat, mana mungkin gadis ini tidak menjadi jahat pula?

“Apa yang kau maksudkan, nona?” tanyanya dengan hati berdebar tegang dan tidak enak.

“Kao Cin Liong, aku.... sejak kecil aku bertemu dengan orang-orang kasar. Setelah aku dewasa, ayahku berkali-kali mendesak agar aku suka menikah. Akan tetapi, di antara pemuda-pemuda kasar dan jahat itu, mana ada yang dapat menarik perhatianku? Sejak dewasa aku sering kali membayangkan dan mengimpikan jodoh seorang pemuda yang gagah perkasa, halus budi dan seperti pendekar-pendekar yang digambarkan dalam dongeng. Maka, begitu melihatmu dikeroyok oleh para suheng-ku dan dengan gagah perkasa engkau mengalahkan mereka, melihat sikapmu yang halus, wajahmu, gerak-gerikmu.... sejak pertama kali melihatmu aku sudah jatuh cinta padamu, dan aku.... aku menganggapmu sebagai seorang taihiap yang patut untuk kulayani selama hidupku. Kao-taihiap.... aku cinta padamu.... dan aku tidak akan mengingat lagi tentang permusuhan antara kita kalau saja engkau sudi menerimaku.... menerima cintaku....”

Cin Liong kaget bukan main. Sungguh tidak disangkanya bahwa urusan akan membelok ke arah itu. Mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar. Cinta? Betapa anehnya bicara tentang cinta pada waktu seperti itu, dalam keadaan seperti itu, di waktu nyawanya bergantung pada sehelai rambut.

“Nona Liok, maksudmu....”

“Terimalah aku sebagai isterimu, taihiap. Hanya kalau aku menjadi isterimu saja aku akan dapat menghabiskan seluruh permusuhan antara kita. Cinta seorang isteri lebih kuat dari pada bakti kepada ayah yang sudah meninggal....”

“Ahhh, tidak mungkin, nona. Kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin bagiku untuk bicara soal cinta?”

“Tapi aku cinta padamu, taihiap, aku cinta padamu....” Gadis itu mendekat, duduk di tepi pembaringan dan tiba-tiba ia pun sudah menjatuhkan dirinya di atas dada Cin Liong dan menciumi muka pemuda itu, dengan malu-malu akan tetapi juga dengan nekat dan penuh perasaan.

Tentu saja Cin Liong menjadi bingung. Dia hanya dapat membuat gerakan lemah, akan tetapi tidak mampu menolak dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya seperti itu. Dan ketika bibir yang lunak itu mencium bibirnya, bagaimana pun juga darah mudanya tersirap, jantungnya berdebar-debar dan seperti otomatis, bibirnya juga membalas, menyambut ciuman itu. Hal ini terasa oleh Liok Bwee yang mengeluarkan keluhan, mendekap lebih kuat dan mencium penuh nafsu sampai keduanya terengah-engah.

“Taihiap.... terimalah aku, aku mencintamu.... dengan seluruh jiwa ragaku.... aku akan menjadi seorang isteri yang mencinta, setia dan akan melakukan apa saja yang kau kehendaki....”

“Nona, tenanglah dan mari kita bicara baik-baik. Cinta adalah urusan hati, tidak mungkin orang dipaksa untuk mencinta atau membenci. Bebaskan dulu totokanku dan mari kita bicara dengan hati terbuka....”

Gadis itu menggeleng kepalanya. “Tidak, taihiap. Aku hanya mempunyai dua pilihan. Kalau engkau berjanji mau menerima cintaku, berjanji akan mengambilku sebagai isterimu, baru aku akan membebaskan totokanmu, bahkan akan membebaskanmu dari sini, dari ancaman para suheng-ku dan para anak buah Eng-jiauw-pang.”

“Dan kalau aku menolak, engkau akan membunuhku?”

Kembali Liok Bwee menggeleng. “Tidak, aku cinta padamu, aku tidak akan tega untuk membunuhmu. Kalau engkau menolak, aku akan menjagamu semalam ini, akan tetapi besok aku tak mungkin dapat mencegah kalau para suheng-ku datang membunuhmu.”

“Nona, tidak dapatkah engkau melihat betapa tak masuk akalnya maksudmu ini? Mana mungkin engkau memaksa seseorang untuk mencinta? Mana mungkin pertalian cinta dihubungkan dengan pemerasan seperti yang kau lakukan ini! Engkau seolah-olah hendak menukar nyawaku dengan janji cintaku. Apakah engkau tidak melihat bahwa kalau aku berjanji menerima cintamu karena aku takut dibunuh, maka janji dan cintaku itu adalah palsu, sekedar untuk alat menyelamatkan diri? Nona, janganlah engkau membiarkan dirimu ikut tersesat. Bebaskan totokanku dan mari kita bicara. Bagaimana pun juga, sudah jelas bahwa engkau adalah seorang yang baik, dan di antara kita terdapat pertalian persahabatan....”

“Aku membutuhkan cinta, bukan persahabatan.”

“Nona, cinta timbul kalau hati tertarik, terutama oleh budi bahasa dan kelakuan yang baik. Kalau hati ditekan, tak mungkin timbul cinta. Tidakkah kau dapat menyadari hal ini? Kalau kita bersahabat, mungkin dari situ dapat tumbuh perasaan cinta, bukan dari paksaan.”

Tiba-tiba gadis itu menangis dan merangkulnya kembali. “Ah, taihiap, aku takut.... aku takut kalau aku membebaskanmu, kau lalu meninggalkan aku tanpa janji.... dan aku.... hidupku akan kehilangan pegangan lagi....”

“Akan tetapi kalau engkau mempergunakan kesempatan ini untuk memerasku, untuk memaksaku membalas cintamu, sikapmu ini saja sudah menjauhkan hatiku, nona. Apakah engkau tidak menyadari akan hal ini? Dan seorang gadis seperti engkau, betapa mudahnya mencari seorang suami yang akan sungguh-sungguh mencintamu, asal saja engkau tidak mengikuti jejak lingkunganmu yang sesat.”

“Kao-taihiap.... aku.... aku takut untuk menerima cinta pria lain. Aku belum pernah bertemu dengan pria sepertimu.... aku hanya menginginkan engkau seorang....” Gadis itu kembali menciuminya dengan penuh kemesraan dan rasa cinta yang bercampur dengan nafsu birahi.

“Braaakkk....!”

Tiba-tiba daun pintu ruangan itu pecah berantakan dan muncullah lima orang suheng gadis itu dengan muka merah saking marahnya. Kedua tangan mereka masing-masing telah memakai sarung tangan cakar garuda, menandakan bahwa mereka telah berada dalam keadaan siap tempur! Liok Bwee terkejut dan melepaskan rangkulannya dari tubuh Cin Liong, dengan marah menghadap lima orang suheng-nya itu.

“Kalian sungguh tidak tahu aturan, dan tidak pantas kuanggap sebagai saudara tua!” bentaknya.

Si kumis tebal menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu. “Dan engkau sungguh tidak tahu malu dan amat merendahkan dirimu seperti pengemis cinta, lebih rendah dari pada seorang pelacur! Mendiang suhu menunjuk seorang di antara kami sebagai calon suamimu dan engkau tinggal memilih seorang di antara kami. Akan tetapi engkau menolak kami semua dan kini mengemis cinta dari seorang musuh besar, pembunuh ayahmu sendiri!”

“Tutup mulutmu!” bentak Liok Bwee. “Apa pedulimu dengan urusan pribadiku? Aku tidak sudi menjadi isteri seorang di antara kalian dan kalian menjadi sakit hati. Cih, tak tahu malu. Aku memilih siapa pun untuk menjadi suamiku, apa hubungannya dengan kalian?”

Si kumis tebal menyeringai dan empat orang suheng-nya juga tersenyum mengejek. Memang mereka merasa sakit hati karena ditolak sumoi mereka itu. “Sumoi, kami tidak peduli engkau mau memilih orang macam apa untuk menjadi suamimu. Engkau hendak memilih anjing Kao Cin Liong ini pun terserah, bukan urusan kami. Akan tetapi, si keparat Kao Cin Liong ini adalah pembunuh suhu dan kami sudah bersumpah untuk membalas dendam atas kematian suhu. Maka, sekarang juga dia harus mati di tangan kami. Engkau boleh menikah dengan bangkainya saja!” Berkata demikian, si kumis menubruk ke arah Cin Liong yang belum mampu melawan itu, kedua tangan cakar baja itu terulur.

“Tahan!” Liok Bwee berteriak sambil bergerak ke samping, kedua lengannya menangkis serangan maut dari twa-suheng-nya itu.

“Plak! Plak!”

Tubuh Liok Bwee terhuyung akan tetapi serangan si kumis tebal gagal. Marahlah murid pertama dari ketua Eng-jiauw-pang itu. “Sumoi, engkau hendak membela musuh besar, melindungi pembunuh ayahmu sendiri?”

“Dia adalah tawananku, siapa pun tidak boleh mengganggunya!” bentak Liok Bwee dengan sikap garang dan ia sudah meloncat ke depan tempat tidur itu, melindungi Cin Liong.

Meiihat ini, lima orang murid kepala Eng-jiauw-pang itu menjadi marah bukan main. Mereka melangkah maju dengan sinar mata penuh ancaman.

“Sumoi, menyingkirlah. Biarkan kami membalas dendam kepada musuh besar kita, dan selanjutnya kami tidak akan mencampuri urusanmu lagi,” kata pula seorang di antara mereka.

“Tidak!”

Si kumis tebal melangkah maju. “Sumoi, sekali lagi kuperingatkan, jangan melindungi musuh. Menyingkirlah!”

“Tidak. Siapa pun tidak boleh mengganggunya selama aku masih hidup!”

“Sumoi, itu berarti pengkhianatan! Kami akan menganggap engkau berpihak kepada musuh dan terpaksa kami akan menggunakan kekerasan terhadapmu!”

“Terserah! Kalian orang-orang berwatak pengecut, beraninya hanya pada orang yang sudah tidak mampu melawan. Untuk dapat menjamahnya, kalian harus melangkahi mayatku!” gadis itu berkata dengan nekat.

“Engkau anak durhaka! Murid murtad!” Si kumis tebal berteriak marah dan dia pun sudah menyerang sumoi-nya sendiri dengan gerakan yang amat cepat dan kuat.

Liok Bwee mengelak dan balas menyerang. Walau pun ia puteri mendiang Eng-jiauw Siauw-ong, akan tetapi ia tidak pernah memakai sarung tangan cakar garuda. Sejak kecil ia merasa tidak senang dan jijik dengan senjata ini, maka oleh ayahnya yang lihai ia dilatih ilmu silat tangan kosong, terutama sekali ilmu menotok. Ilmu inilah yang kini ia pergunakan untuk melawan dua tangan baja twa-suheng-nya.

Totokan-totokan jari kedua tangannya menyambar dan menyambut serangan lawan dan karena ilmu menotok jalan darah ini memang diciptakan oleh Eng-jiauw Siauw-ong untuk mengganti ilmu cakar baja yang tidak disukai puterinya, maka tentu saja ilmu menotok ini tepat sekali untuk menghadapi cakar baja itu.

Terjadilah perkelahian yang amat seru, ramai dan mati-matian antara sumoi melawan twa-suheng-nya itu. Empat orang suheng-nya yang lain hanya berdiri menonton karena mereka merasa yakin sekali bahwa twa-suheng itu tentu akan dapat mengalahkan sang sumoi.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es