KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-25
Karena tidak berhasil mendapatkan kamar di rumah-rumah penginapan yang penuh sesak, terpaksa Ciang Bun lalu mondok di sebuah kuil. Ternyata di sini pun penuh dengan para pemuda pelajar. Mereka terdiri dari para pelajar kurang mampu yang memilih tempat bermalam yang tidak usah bayar atau kalau mengeluarkan uang pun tidak perlu banyak karena biasanya yang menginap di kuil-kuil hanya memberi sekedar sokongan saja kepada kuil itu.
Ketika memasuki ruangan belakang kuil di mana berkumpul belasan orang pemuda pelajar yang datang dari berbagai kota itu, Ciang Bun merasa gembira sekali. Dia merasa kagum kepada mereka yang bersikap lembut dan sopan, wajah-wajah tampan halus yang membayangkan kecerdasan. Dia sendiri merasa bagaikan seekor burung gagak yang masuk di antara kelompok burung merpati. Dibandingkan dengan mereka, pengetahuannya tentang sastera amatlah dangkalnya, dan makin terasa olehnya bahwa dia adalah seorang kasar yang sejak kecil lebih banyak belajar ilmu silat yang kasar!
Ketika Ciang Bun memasuki ruangan, para pemuda itu tengah asyik bercakap-cakap tentang sastera dan tentang mata ujian yang diadakan di kota raja. Mereka hanya menengok sebentar kepada Ciang Bun, lalu melanjutkan percakapan mereka. Dia lalu mencari tempat di sudut yang masih kosong, menurunkan buntalan pakaiannya lalu duduk bersandar dinding ruangan itu.
Seorang pemuda jangkung yang tampan mengangkat mukanya dari buku yang tengah dibacanya dan memandang kepada Ciang Bun, wajahnya membayangkan keramahan dan mulutnya tersenyum. Wajah yang tampan dan menarik, pikir Ciang Bun. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Dia pun lalu balas tersenyum dan mengangguk.
“Maaf,” kata pemuda itu, “Saudara baru datang? Dari kota manakah dan kapan mulai mengikuti ujian?”
Melihat keramahan pemuda itu yang mengajukan pertanyaan bertubi-tubi itu, Ciang Bun tersenyum. Dia sendiri seorang pemuda yang tidak bisa banyak cakap, termasuk serius dan pendiam walau pun dia dapat pula bersikap ramah.
“Ya, aku baru saja datang, tempat tinggalku di Thian-cin dan aku tidak mengikuti ujian, melainkan hanya melancong saja ingin melihat-lihat kota raja.”
Pemuda itu menutup bukunya dan menyimpannya di dalam buntalan, lalu menggeser duduknya mendekati Ciang Bun. Matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri ketika dia berkata, “Ah, betapa senangnya engkau! Kalau saja aku bisa sepertimu, bebas dan tidak harus banyak menghafal dan mengikuti ujian yang amat sukar ini!”
Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. “Aihh, mengapa demikian? Justru aku yang merasa kagum dan iri kepada kalian yang memperoleh kesempatan menguji ilmu sastera dan mengikuti ujian kota raja untuk meraih gelar siucai!”
Tiba-tiba pemuda itu tertawa dan wajahnya nampak semakin tampan ketika dia tertawa. “Ha-ha-ha, memang demikianlah kita ini, saudara yang baik! Saling pandang, saling mengiri dan mengira bahwa keadaan orang lebih baik dan menyenangkan dari pada keadaan kita. Aku jadi teringat akan dongeng perumpamaan tentang dua ekor burung. Yang terbang bebas merasa iri hati terhadap seekor burung lain yang hidup dalam kurungan dan siang malam di situ tersedia makanan dan minuman tanpa susah payah mencari dan bebas dari gangguan dan ancaman, dianggapnya kehidupan burung dalam kurungan lebih nikmat dan aman dari pada kehidupannya di luar kurungan. Sebaliknya, burung dalam kurungan merasa iri melihat betapa burung yang lain itu dapat terbang bebas ke tempat mana pun ia suka, tidak seperti dia yang gerakannya terbatas dalam kurungan.”
“Akan tetapi kita bukan burung....”
“Ha-ha, apa bedanya? Engkau yang bebas ingin seperti aku, sebaliknya aku yang terikat oleh segala macam buku pelajaran dan aturan ujian tentu saja ingin bebas seperti engkau. Sudahlah, keadaan tidak mungkin dapat dirubah semau kita. Saudara yang baik, perkenalkan, aku she Tan bernama Hok Sim. Bolehkah aku mengetahui namamu?”
“Namaku Suma Ciang Bun,” jawab Ciang Bun sederhana, dalam hatinya khawatir kalau-kalau she-nya itu akan memancing banyak pertanyaan.
Akan tetapi, Tan Hok Sim adalah seorang pemuda pelajar, bukan seorang kang-ouw maka she yang akan menarik perhatian kalangan kang-ouw ini, baginya tidak terlalu istimewa.
Perkenalan itu sebentar saja membuat mereka menjadi sahabat yang akrab karena Tan Hok Sim pandai bergaul, ramah-tamah dan agaknya suka kepada Ciang Bun. Ketika mereka bicara mengenai ujian, Hok Sim lalu mengajak Ciang Bun untuk keluar dari ruangan itu menuju ke pelataran belakang kuil yang sunyi.
“Tidak enak bicara di sana,” kata Tan Hok Sim. “Yang akan kuceritakan kepadamu ini adalah suatu rahasia. Tentu saja sebagian dari mereka ada yang sudah tahu, akan tetapi kalau sampai terdengar orang luar dapat mengakibatkan hal yang tidak enak pula.”
“Rahasia apakah, twako?” tanya Ciang Bun yang menyebut kakak kepada Tan Hok Sim yang tiga empat tahun lebih tua darinya.
“Tentang ujian. Tahukah engkau bahwa ujian itu dikendalikan oleh pembesar yang memperkaya diri secara berlebihan setiap kali diadakan ujian?”
“Tukang korupsi?”
Hok Sim mengangguk. “Betapa pun pandainya engkau, tanpa ada uang sogokan yang amat besar, takkan mungkin dapat lulus! Kecuali kalau di kota raja ini engkau memiliki keluarga yang berpengaruh, baik karena kedudukannya atau hartanya, jangan harap akan dapat lulus.”
“Eh, mengapa begitu?” tanya Ciang Bun heran dan penasaran. “Kalau yang pandai tidak diluluskan sedangkan yang bodoh asal bisa nyogok diluluskan, itu namanya bukanlah ujian.”
“Memang bukan kepandaian yang diuji, semata-mata melainkan isi kantongnya,” Tan Hok Sim menjawab marah.
“Lalu bagaimana dengan engkau, twako?”
“Hemm, aku tidak mempunyai harapan lagi walau pun besok masih akan kulanjutkan mengikuti ujian. Aku yakin akan dapat lulus, walau pun tidak mencapai angka terbaik, kalau saja para penguji tidak hijau matanya oleh uang. Kalau disuruh menyogok, mana aku mampu? Aku belum bekerja, sedangkan ayahku hanyalah seorang guru silat....”
“Ayahmu seorang guru silat!” Ciang Bun berseru kaget dan gembira. “Ahh, kalau begitu engkau tentu pandai ilmu silat!”
“Ahh, pandai sih tidak. Keluarga kami tinggal di Ceng-tao, jauh di barat dan di daerah kami, ilmu silat amat diperlukan untuk berjaga diri. Ayahku seorang guru silat bayaran dan engkau tahu, berapa hasil seorang guru silat. Karena itu maka ayahku setengah memaksa aku dan adik perempuanku untuk lebih tekun mempelajari bun (sastera) dari pada bu (silat). Engkau sendiri, karena tidak banyak mempelajari bun, tentu mahir sekali ilmu silat, bukan?”
“Aku suka merantau dan banyak menghadapi kesukaran di perjalanan, memang pernah mempelajari silat, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Twako, sebetulnya, siapakah yang berhak memutuskan lulus tidaknya ujian kota raja itu?”
“Di sana terdapat pengawas-pengawas dan mereka inilah yang harus disogok. Akan tetapi, tentu saja para pengawas itu pun harus menyogok atasan mereka dan orang yang paling berwenang dalam hal ujian itu tentu saja menteri.”
“Hemm, tentu menteri bagian kebudayaan atau pendidikan.”
“Kurasa begitulah. Akan tetapi mengapa engkau menanyakan hal itu?”
“Mengapa engkau tidak mendatangi saja menteri itu, dan kemudian melaporkan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh para pengawas?” tanya Ciang Bun.
Tan Hok Sim membelalakkan matanya. “Wah, mana aku berani? Kalau aku melakukan perbuatan nekat itu, selain tidak mungkin diluluskan, juga aku tentu akan ditangkap, dipenjara atau mungkin dibunuh. Siapa yang akan dapat melindungiku?”
Ciang Bun menarik napas panjang. “Tan-twako, dalam hal ujian ini, yang terhimpit dan dirugikan adalah kalian para pemuda pelajar. Kalau kalian sebagai orang-orang yang terkena ketidak beresan itu diam-diam saja, lalu siapa yang akan mampu memperbaiki keadaan? Kenapa engkau tidak mengajak semua pelajar itu untuk memprotes kepada menteri dan melaporkan kecurangan para pengawas itu?”
Hok Sim menunduk dan mengerutkan alisnya. Ucapan Ciang Bun tadi menggerakkan hatinya. Dia tahu bahwa di dalam hatinya, dalam hati semua pemuda pelajar yang mengalami nasib yang sama, memang ada api pemberontakan itu untuk menentang kecurangan para pengawas, namun siapa yang berani? Para pengawas itu dilindungi oleh pasukan dan menterinya sendiri belum tentu jujur. Bagaimana jika para pembesar itu bersekongkol dan melindungi anak buah mereka?
“Hal itu tidak mungkin dilakukan, adik Bun. Bahkan sebagian besar para pengikut ujian sendiri, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang berada, lebih suka kalau keadaannya seperti sekarang ini. Terus terang saja, aku sendiri kalau mempunyai uang, juga lebih senang mengeluarkan uang dan ujianku lulus, dari pada bersusah payah memeras otak akan tetapi hasilnya belum tentu, bahkan harapannya sedikit sekali.”
Ciang Bun diam saja. Dia merasa penasaran akan tetapi dia pun maklum bahwa kegetiran membuat semua pemuda berpendapat seperti Hok Sim itu. Kalau dengan uang dapat lulus dengan mudah, perlu apa repot-repot memeras otak yang akhirnya toh tidak akan diluluskan kalau tanpa uang?
“Kalau begitu, biarlah aku yang akan mengajukan protes itu. Aku tidak ikut ujian maka aku tidak khawatir tidak diluluskan.”
Tan Hok Sim memandang dengan mata terbelalak dan dia memegang lengan sahabat barunya itu. “Bun-te, apa yang hendak kau lakukan?”
Ciang Bun tersenyum. “Tenanglah dan tunggu saja hasilnya. Kuharap besok pagi sudah akan ada perubahan. Nah, kau masuklah dulu, twako dan tunggu saja aku di dalam kuil.”
Setelah berkata demikian, Ciang Bun meninggalkan sahabatnya yang berdiri melongo, mengikutinya dengan pandang mata heran akan tetapi tidak percaya. Apa yang akan dapat dilakukan oleh pemuda itu terhadap pemerintah? Urusan ujian yang kotor dan bergelimang korupsi itu sudah berjalan puluhan tahun, sepanjang pendengarannya, mana mungkin kini akan dirubah hanya oleh tindakan seorang pemuda seperti Suma Ciang Bun?
Dia sangat mengkhawatirkan pemuda itu. Bagaimana pun juga, sahabat barunya itu menarik hatinya. Dia akan merasa menyesal sekali kalau karena percakapan mereka, Ciang Bun melakukan tindakan yang mustahil dan akhirnya malah akan ditangkap dan dihukum! Dia pun lalu kembali ke dalam ruangan belakang kuil itu, mendekati teman-temannya dan berbisik-bisik menceritakan tentang pemuda kenalan barunya yang aneh itu.
Teman-temannya tentu saja terkejut, ada yang merasa gembira dan penuh harapan, yaitu mereka yang hendak menghadapi ujian dengan pengetahuan mereka saja karena mereka tidak mampu membayar. Ada juga di antara mereka yang tidak senang dan mereka ini adalah pelajar-pelajar yang mengharapkan lulus dengan pengaruh uang atau pengaruh kenalan atau keluarga di kota raja. Apa pun tanggapan mereka, berita tentang seorang pemuda yang bukan pengikut ujian tetapi hendak melaporkan kecurangan para pengawas itu kepada menteri, menjadi bahan percakapan mereka dan menimbulkan ketegangan.....
********************
Siang hari itu di gedung besar Menteri Ciong nampak sunyi. Sang menteri telah pulang dari persidangan di istana dan kini pembesar itu beristirahat. Malam saat seperti itu, dia tidak mau diganggu dan para penjaga di luar gedung pun tidak berani banyak membuat gaduh agar tak mengganggu sang menteri yang sedang beristirahat di dalam kamarnya. Oleh karena itu, para penjaga ini menolak dengan keras ketika Suma Ciang Bun datang dan minta pada mereka untuk melaporkan kepada Ciong-taijin bahwa dia minta diterima menghadap.
“Orang muda! Siapakah engkau dan ada urusan apakah engkau berani minta untuk menghadap taijin?” bentak kepada jaga yang brewok dan bertubuh tinggi besar sambil bertolak pinggang. “Tidak sembarang orang boleh begitu saja mengganggu waktu taijin!”
“Aku mempunyai urusan pribadi dengan menteri, hendak membicarakan soal ujian para pelajar yang diadakan di kota raja sekarang ini.”
Kepala jaga itu mengerutkan alisnya. “Huh, kau kira menteri hanya seperti petugas kecil saja yang dapat ditemui setiap saat? Kalau engkau ada urusan, dapat menghadap ke kantor beliau dan melapor kepada petugas-petugas di sana, bukan datang ke rumah beliau dan mengganggu beliau!”
“Akan tetapi, aku ingin menghadap beliau sendiri, urusan penting....”
“Cukup!” Kepala jaga itu menghardik. “Lekas kau pergi dari sini atau akan kugunakan kekerasan untuk melemparmu keluar dari sini. Mengerti?”
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan matanya berkilat ketika dia mengangkat muka memandang wajah si brewok yang tinggi besar itu. “Beginikah sikap seorang petugas keamanan terhadap rakyat? Seperti penjahat saja....”
“Keparat! Setan cilik! Agaknya ayahmu tidak pernah menghajarmu. Panggil ayahmu ke sini, akan kuhajar dia agar dapat mendidik anaknya!”
Ciang Bun tidak dapat menahan dirinya lagi. “Ucapanmu lancang dan mulutmu busuk, engkaulah yang perlu dihajar!”
Orang-orang yang rendah pangkatnyalah yang biasanya suka tinggi hati. Demikian pula kepala jaga itu. Terhadap atasannya dia menunduk dan merangkak-rangkak menjilat-jilat, dan terhadap bawahannya, yaitu rakyat, dia bersikap seperti kaisar saja. Maka, begitu melihat seorang pemuda biasa berani mengeluarkan ucapan seperti itu padanya, kemarahannya langsung memuncak. Sambil mengeluarkan suara gerengan, kepalan tangannya yang hampir sebesar kepala Ciang Bun itu melayang dan menyambar ke arah kepala pemuda itu.
Ciang Bun tenang-tenang saja. Tanpa bergerak dari tempatnya dia mengangkat tangan kiri dan secepat kilat tangan kirinya itu melakukan tiga gerakan susul-menyusul, mula-mula menangkis pergelangan lengan tangan yang memukul, disusul totokan pada pundak lengan itu dan diakhiri dengan tamparan pada muka si brewok.
“Dukk! Tukk! Plakkk!”
Tamparan itu cukup keras. Mula-mula tangkisan membuat lengan terpental, lalu totokan membuat si tinggi besar itu merasa lumpuh sebelah badannya dan tamparan itu mengenai pelipis, membuat dia terpelanting dan roboh. Kepalanya terasa tujuh keliling dan matanya menjuling. Dia mengoyang-goyang kepalanya dan setelah bintang-bintang yang berjatuhan dan menari-nari di depan matanya itu mengabur, dia bangkit lagi dengan marah.
Agaknya, tamparan itu tidak membuatnya menjadi jera, bahkan seperti minyak bakar disiramkan ke atas api kemarahannya. Dia sekarang menubruk dan kedua tangannya membentuk cengkeraman, seperti seekor beruang dia menubruk kepada pemuda itu, penuh geram.
Kembali Ciang Bun menghadapinya dengan tenang. Begitu tubuhnya yang besar itu menubruk dekat, maka pemuda ini berjongkok atau setengah berjongkok, membiarkan tubuh atas lewat, lalu secepat kilat dia meraih, menangkap lengan dan mempergunakan tenaga lawan, dia mengangkat dan membanting.
“Desss....!”
Debu mengebul dan si tinggi besar mengeluh, menggeliat dan mencoba untuk bangkit, tapi terjatuh kembali dan mengaduh-aduh. Agaknya punggungnya mengalami salah urat ketika dia terbanting tadi, yang membuatnya tidak mampu bangun kembali dan hanya mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat. Melihat komandan jaga mereka roboh, setelah kehilangan rasa kaget mereka, para penjaga memburu.
“Berani kau melawan tentara?” bentak seorang di antara mereka sambil menodongkan tombaknya.
“Tahan!” Ciang Bun berseru, suaranya lantang dan berwibawa, tidak seperti seorang pemuda remaja. “Urusan ini tidak ada hubungannya dengan ketentaraan! Urusan kami adalah urusan pribadi, urusan orang yang dihajar karena bersikap kurang ajar terhadap lain orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan ketentaraan.”
Setelah berkata demikian, Ciang Bun membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan mereka. Para penjaga itu bengong. Mereka pun melihat sendiri betapa komandan jaga mereka menghina pemuda itu dan melihat pula betapa dengan mudahnya pemuda itu merobohkan komandan mereka. Mereka pun tidak berani sembarangan turun tangan. Apalagi mereka pun mulai ragu-ragu. Kalau seorang muda seperti itu ingin bertemu dengan menteri, siapa tahu ada hubungan antara dia dan pembesar itu. Membayangkan kemungkinan ini, mereka menggigil dan mereka tidak lagi memperdulikan pemuda itu melainkan menolong kepala jaga yang masih juga belum mampu bangkit berdiri.
Ciang Bun tidak pergi jauh tetapi mengambil jalan memutar dan menghampiri dinding pagar tembok yang mengelilingi gedung sang menteri. Dengan ringan dia mengayun tubuhnya ke atas tembok, kemudian meloncat ke dalam. Cepat dia menyelinap di antara tembok bangunan dan dengan mudahnya dia meloncat lagi ke atas genteng dan mengintai, mencari-cari di mana adanya sang pembesar yang hendak ditemuinya.
Akhirnya dia melihat seorang pembesar yang bertubuh gendut, berpakaian tidur berupa jubah lebar, sedang rebah terlentang seenaknya di atas sebuah dipan dan dipijati oleh tiga orang wanita muda cantik. Mata pembesar yang usianya kurang lebih enam puluh tahun ini meram melek keenakan, dan seorang di antara tiga wanita itu kadang-kadang menyuapkan sepotong kueh dengan sumpit ke mulutnya.
Melihat ini, Ciang Bun dapat menduga bahwa tentu inilah menteri yang dicarinya itu. Hidungnya mendengus jijik melihat keadaan hidup pembesar ini. Setelah membuka genteng, dia lalu meloncat turun dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan itu.
Bagaikan seekor burung besar, dia hinggap di atas lantai dalam ruangan, hampir tidak terlihat atau terdengar oleh mereka berempat yang berada di dalam ruangan. Ketika seorang di antara tiga wanita muda itu menoleh dan melihat seorang pemuda tahu-tahu telah berada di tengah kamar seperti setan, ia menjerit dan sepasang sumpit itu pun terlepas dan jatuh berkerontang di atas lantai. Teman-ternannya menoleh dan menjerit juga. Sang pembesar membuka mata dan menoleh, lalu bangkit dengan marah.
“Siapa engkau?” bentaknya.
Dengan tenang Ciang Bun menjura. Selama ini belum pernah dia melakukan perbuatan sebagai pendekar seperti yang dilakukan sekarang. Akan tetapi karena dia adalah keturunan Pulau Es, darah pendekar mengalir di dalam tubuhnya, maka dia pun tidak merasa asing atau ragu-ragu, tidak merasa gentar sedikit pun ketika berkata, “Taijin, saya menganggap diri sebagai wakil para pelajar dan saya ingin menghadap dan bicara dengan paduka tentang ujian yang diadakan sekarang.”
Tentu saja pembesar itu menjadi marah sekali. Apalagi ketika dia melihat enam orang pengawal yang tadinya berjaga di ruangan lain telah dikejutkan oleh jeritan-jeritan tadi dan kini memasuki ruangan itu dengan golok di tangan, hatinya menjadi semakin tabah.
“Engkau masuk seperti maling! Pengawal, tangkap bocah ini!”
Dua orang pengawal menyarungkan golok dan menyergap ke depan untuk menangkap pemuda itu. Akan tetapi, dua kali kaki Ciang Bun bergerak cepat menyambut dengan tendangan yang mengenai dada mereka dan dua orang pengawal itu terjengkang. Untung bahwa Ciang Bun hanya mempergunakan tenaga sedikit saja sehingga mereka tidak terluka, hanya merasa sesak napas mereka. Mereka bangkit kembali dan kini menggunakan golok untuk menyerang.
Kembali Ciang Bun menggerakkan kakinya, menendang pergelangan tangan diteruskan ke lambung dan untuk kedua kalinya, dua orang pengawal itu roboh dan sekali ini tidak dapat segera bangkit karena tendangan yang mengenai lambung itu membuat perut mereka terasa mulas!
“Taijin, kedatangan saya ini bukan untuk melakukan kekerasan. Percuma saja kalau paduka menggunakan kekerasan, karena terpaksa saya akan lebih dulu turun tangan terhadap paduka!” Sekali loncat, pemuda itu telah tiba di dekat sang pembesar yang kini menggigil ketakutan sampai jubah tidurnya merosot dan nampak perutnya yang gendut itu telanjang bulat.
“Ampun....,” rintihnya.
Melihat seorang pembesar berpangkat menteri merengek minta ampun, padahal tidak diapa-apakan, Ciang Bun merasa muak. Beginikah watak seorang yang dinamakan pemimpin? Menghadapi bahaya sedikit saja sudah merengek ketakutan! Pengecut seperti ini dijadikan pemimpin dan hendak memimpin rakyat? Pengecut seperti ini kalau berada dalam bahaya, disuruh apa pun tentu akan taat, disuruh menjual negara sekali pun atau mengkhianati bangsa tentu akan taat, asal nyawanya diampuni, asal dirinya tidak diganggu. Seorang yang selalu mementingkan diri pribadi tentu penakut dan pengecut di samping menjadi penindas kejam sewaktu jaya.
“Taijin, saya tidak akan melakukan kekerasan asal taijin suka mendengarkan kata-kata saya. Harap taijin menyuruh semua orang pergi agar kita dapat bicara berdua saja di kamar ini.”
Pada saat itu, para pengawal sudah memasuki daun pintu yang terbuka dari luar. Akan tetapi, melihat pemuda itu berdiri dekat pembesar yang kelihatan pucat dan tubuhnya menggigil, juga celananya menjadi basah, mereka tidak berani sembarangan bergerak.
“Kalian pergilah, tinggalkan kami berdua,” kata pembesar itu dengan suara gemetar kepada para pengawal, juga kepada tiga orang selirnya yang tadi melayaninya.
Para pengawal itu memandang ragu, akan tetapi dengan gerakan tangannya pembesar gendut itu mengusir mereka dan tiga orang selirnya sudah sejak tadi cepat-cepat keluar dari kamar itu. Setelah mereka pergi, Ciang Bun menutupkan daun pintu, lalu dia duduk di atas kursi menghadapi pembesar itu yang duduk di atas dipan, menyelimuti dirinya karena dia merasa malu melihat celananya basah, akibat rasa takut yang melandanya tadi.
“Taijin, maafkan kalau saya mengganggu. Saya terpaksa menghadap paduka secara ini karena tadi saya ditolak oleh para penjaga di luar gedung.”
Kini debar jantung di dalam dada pembesar itu sudah mulai tenang, dan dia pun merasa lega melihat sikap yang halus dan sopan dari orang muda ini. Pengalamannya sebagai seorang pembesar dapat membuat dia melihat bahwa dia sebenarnya berhadapan dengan seorang pemuda yang tidak jahat, akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda ini yang membuat dia jeri, mungkin pada sinar mata yang mencorong itulah. Dia dapat mengerti bahwa pemuda ini adalah seorang muda yang berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tentu seorang pendekar, dan bukan seorang perampok yang datang untuk merampok harta benda.
“Tidak mengapa, taihiap. Katakanlah, apakah keperluan taihiap hendak bicara dengan kami?”
Mendengar betapa seorang menteri menyebutnya taihiap, Ciang Bun tersenyum, akan tetapi dia kemudian berkata, “Kalau saya tidak salah duga, taijin adalah pejabat yang berwenang atas penyelenggaraan ujian para calon siucai di kota raja. Benarkah?”
Kini pembesar itu dapat tersenyum dan mukanya berseri. “Ahh, apakah taihiap hendak memasuki ujian? Ataukah ada sanak saudara atau sahabat taihiap....”
“Tidak!” Ciang Bun memotong cepat sambil menggerakkan tangan ke depan muka. “Justru inilah yang akan saya bicarakan. Taijin tentu tahu bahwa para pengawas ujian itu adalah petugas-petugas yang korup, yang makan uang sogokan. Biar pun pengikut ujian bodoh, kalau dapat menyogok dengan uang, tentu akan lulus. Sebaliknya, betapa pun pintar seorang pelajar, kalau tidak mampu menyogok, ujiannya akan selalu gagal. Benarkah demikian, taijin?”
Wajah yang tadinya sudah mulai berseri itu berubah pucat kembali, sepasang mata itu membayangkan ketakutan lagi. “Ini.... ini.... kami tidak tahu....”
“Baru saja taijin bertanya apakah saya hendak ikut ujian atau sanak keluarga saya, tentu kalau demikian halnya, taijin akan meluluskan saya, bukan? Tak mungkin paduka tidak tahu akan kebusukan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Bayangkan saja, kalau yang diluluskan hanya orang-orang bodoh yang mampu membayar, sedangkan yang pandai-pandai tidak diluluskan, negara akan penuh dengan pembesar-pembesar tolol yang pandainya hanya menerima sogokan-sogokan. Akan menjadi apakah negara kita ini? Paduka tahu atau tidak, pendeknya saya menuntut agar mulai besok pagi, semua pengawas diganti dan praktek penyogokan itu harus lenyap sama sekali. Kalau masih ada, aku pasti akan kembali dan turun tangan terhadap paduka dengan caraku sendiri!”
Menteri Ciong mengangguk-angguk dan matanya melirik cerdik. Biarlah saat ini dia mengalah, pikirnya. Akan tetapi sekali engkau keluar dari sini, aku akan memberi hajaran kepadamu! “Baiklah, perintah taihiap akan kami laksanakan.”
Ciang Bun masih muda, akan tetapi pandang matanya tajam. Dia dapat menduga apa yang bersembunyi di dalam hati pembesar itu, maka dia pun bangkit berdiri dan berkata lagi, “Ciang-taijin, jangan dikira bahwa engkau akan dapat mempergunakan kekerasan dan kekuatan pasukan pengawalmu untuk melindungi dirimu. Aku bukan mengeluarkan ancaman kosong belaka. Aku bernama Suma Ciang Bun, dan ketahuilah bahwa bekas Panglima Wanita Milana adalah bibiku, juga Jenderal Muda Kao Cin Liong adalah sahabat baikku. Nah, boleh renungkan baik-baik sebelum engkau mengambil tindakan. Selamat tinggal!”
Pemuda itu lalu menggunakan ginkang-nya, mengenjot tubuhnya ke atas menerobos atap melalui lubang yang dibuatnya tadi. Di atas genteng itu telah menanti pasukan pengawal yang segera mengepungnya, akan tetapi dari dalam kamar itu terdengar bentakan Ciong-taijin, “Jangan ganggu dia! Biarkan Suma-taihiap pergi dengan aman!”
Tentu saja para pengawal tidak berani membantah dan mereka berdiri diam saja ketika Ciang Bun meloncat turun dari atas genteng, berlari menuju pagar tembok lalu keluar dari tempat itu melalui pagar tembok yang dilompatinya.
Sementara itu, di dalam kamar, Menteri Ciong menjambak-jambak rambutnya. “She Suma? Keponakan Puteri Milana? Celaka, dia tentu keluarga Pulau Es!”
Pada keesokan harinya, terjadi kehebohan di kalangan para pengikut ujian. Mereka yang sudah terlanjur memberi uang sogokan, kehilangan pengawas-pengawas yang telah mereka sogok dan terpaksa mereka harus mengikuti ujian secara betul-betul. Tentu saja mereka yang hanya mengikuti ujian karena mengejar keinginan agar lulus dan dapat memperoleh gelar siucai ini tidak mampu mengerjakan dengan baik dan hampir semua di antara mereka ini gagal.
Sebaliknya, para pengikut ujian yang tidak mampu bayar, sekarang benar-benar diuji kemampuan mereka dan mereka ini merasa gembira sekali, termasuk Tan Hok Sim. Dia pun lulus walau pun bukan dengan angka yang baik. Gegerlah tempat ujian itu dan semua orang membicarakan peristiwa digantinya semua pengawas dan dihapusnya semua sistim sogokan.
Hok Sim dikerumuni ternan-temannya. Kini baru mereka percaya akan cerita pemuda itu bahwa teman barunya menjanjikan untuk memprotes sistim sogokan itu kepada menteri. Biar pun semalam Ciang Bun tidak bercerita sesuatu kepadanya dan dia pun tidak menanyakan karena siang tadi dia menganggap teman barunya itu membual, ternyata kini terjadilah hal yang jelas menjadi hasil dari pada ‘bualan’ teman barunya itu!
Setelah selesai pengumuman, Hok Sim segera berlari ke kuil untuk menemui Ciang Bun. Dengan wajah berseri-seri dia merangkul sahabatnya itu. “Wah, Bun-te, terima kasih padamu. Aku telah berhasil! Dan banyak kawan-kawan berhasil berkat usahamu! Engkau sungguh hebat. Bintang penolong kami! Eh, bagaimana engkau dapat berhasil merubah keadaan ujian sehingga para pengawas diganti dengan petugas-petugas baru yang tidak makan uang sogokan?”
Ciang Bun tersenyum girang mendengar bahwa Menteri Ciong benar-benar memenuhi janjinya. “Ahh, biasa saja, twako. Aku pergi menghadap menteri yang berwenang dan menyampaikan protes atas nama semua pengikut ujian yang jujur. Dan beliau sudah menjanjikan untuk merubahnya dan mengganti semua pengawas. Syukurlah kalau semua berjalan dengan baik.”
“Semua berlangsung dengan baik bagi kami para pelajar yang benar-benar hendak menguji ilmu kepandaian. Akan tetapi amat tidak baik bagi mereka yang datang hanya untuk membeli gelar! Ha-ha, mereka sudah mengeluarkan banyak uang dan akhirnya ujian mereka gagal! Eh, Bun-te, engkau tentu seorang yang luar biasa, bukan? Kami semua merasa yakin bahwa engkau bukan orang sembarangan, tentu engkau seorang yang luar biasa!”
Ciang Bun tersenyum. Bagaimana pun juga, hatinya ikut merasa gembira bukan main melihat pemuda pelajar ini begitu girang dan lulus, juga bahwa semua pelajar yang baik telah lulus ujian. “Ah, harap jangan menduga yang bukan-bukan, twako. Aku seorang pemuda biasa saja, bahkan bodoh, tidak terpelajar seperti engkau.”
“Mustahil seorang pemuda biasa saja mampu mempengaruhi menteri untuk merubah jalannya ujian, menghapuskan semua sistim sogokan yang sudah berkarat dan berpuluh tahun mengotori sistim ujian di kota raja.”
“Mungkin karena beliau sadar oleh protesku, itu saja.”
“Bagaimana pun juga, engkaulah bintang penolongku, Bun-te. Aku girang sekali, tidak percuma aku melakukan perjalanan amat jauh dengan sudah payah. Biar pun aku tidak mendapat gelar karena hasil ujianku tidak mencapai angka-angka tertinggi, akan tetapi tanda lulus ini tentu akan menggirangkan hati ayahku. Ahh, aku ingin pulang sekarang juga, sore ini juga agar dapat cepat sampai ke rumah.”
“Aku pergi bersamamu, twako. Aku pun hendak melakukan perjalanan ke barat untuk mencari seseorang.”
Pernyataan ini tentu saja menggirangkan hati Hok Sim sehingga dia tidak bertanya lagi siapa yang dicari oleh pemuda itu. Hatinya girang dan mereka pun cepat berkemas, kemudian melakukan perjalanan meninggalkan kota raja pada sore hari itu juga menuju ke barat.
Malam itu mereka menginap di dalam sebuah dusun tak jauh dari kota raja dan di sebelah utara kota Pao-ting. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Akan tetapi, baru saja matahari naik dan mereka tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya sudah sejak tadi menanti di situ. Buktinya, kalau tadinya lima orang itu duduk di tepi jalan dengan santai, begitu dua orang pemuda itu muncul, mereka serentak bangkit dan berdiri menghadang di tengah jalan.
Melihat sikap mereka, tahulah Ciang Bun bahwa lima orang itu sengaja menghadang mereka dan hendak mengganggu. Tidak mungkin di tempat ini ada perampok, pikirnya. Masih terlalu dekat dengan kota, dan pula, apa yang diharapkan oleh perampok-perampok dari dua orang pemuda miskin yang melakukan perjalanan pulang dari ujian? Tentu ada hal lain yang menyebabkan adanya penghadangan ini dan mudah saja menduganya bahwa pencegatan ini tentu ada hubungannya dengan kunjungannya kepada Menteri Ciong kemarin dulu.
Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan dia pun melihat betapa sikap Tan Hok Sim tenang saja walau pun kedua alis pemuda itu berkerut dan wajahnya membayangkan keheranan dan kekhawatiran. Pemuda pelajar ini sudah meraba-raba pedang yang disembunyikan di dalam buntalan pakaian. Ciang Bun sudah tahu bahwa temannya itu diam-diam menyembunyikan pedang.
“Tenanglah, twako,” dia berbisik dan temannya itu tidak jadi mengeluarkan pedang.
Mereka pun maju terus sampai akhirnya terpaksa berhenti karena tengah jalan itu dipenuhi oleh lima orang tadi. Seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, berkata dengan suara lantang dan sikap kasar, “Siapakah di antara kalian yang kemarin mengikuti ujian di kota raja dan bernama Tan Hok Sim?”
“Akulah orangnya!” jawab Hok Sim sambil melangkah maju.
“Bagus! Dan inikah temanmu yang lancang sekali memprotes sistim ujian dan yang membuat pembesar atasan turun tangan mengganti semua petugas pengawas ujian?”
“Benar, akulah orangnya,” kini Ciang Bun yang menjawab.
“Ha-ha-ha, kiranya bocah ingusan! Twako, kita bunuh saja mereka sekarang!” Lima orang itu sudah bergerak maju mengepung, akan tetapi si muka hitam mengangkat kedua tangannya.
“Kalian berempat mundurlah. Sungguh memalukan kalau hanya membereskan dua ekor kelinci muda ini harus kita semua turun tangan. Eh, bocah-bocah sial, bersiaplah kalian untuk mampus!” bentak si muka hitam sambil melangkah maju.
“Tahan!” Tiba-tiba Tan Hok Sim dengan sikap gagah melangkah maju di depan Ciang Bun, melindungi pemuda ini. “Aku tahu bahwa kalian tentu utusan para pengawas korup itu untuk membalas dendam kepada kami. Akan tetapi, sahabatku ini tidak bersalah. Dia hanya mewakili kami, para sasterawan muda yang miskin, untuk mengajukan protes dan ternyata berhasil baik. Kalau kalian hendak membalas dendam, balaslah kepada kami dan jangan mengganggu sahabatku yang tidak berdosa ini!”
Diam-diam Ciang Bun merasa kagum dan terharu juga melihat pembelaan Hok Sim atas dirinya, akan tetapi dia diam saja. Sementara itu, si muka hitam tersenyum menyeringai. “Heh-heh, engkau kutu buku masih ingin bersikap gagah-gagahan? Nah, kalau sudah bosan hidup, engkau matilah lebih dulu, baru kemudian dia memperoleh bagiannya.” Sambil berkata demikian, tangan kirinya yang berlengan panjang dan besar itu menyambar ke arah kepala Hok Sim.
Tangan itu adalah tangan yang terlatih. Kulit tangan di telapakan sudah menebal dan ada tanda-tanda hangus, juga buku-buku jarinya menebal, tanda bahwa orang ini telah melakukan latihan memperkeras tangannya dengan cara latihan tenaga luar. Tangan seperti itu berbahaya sekali dan sekali tampar saja, kalau mengenai sasaran, akan membuat kepala pemuda itu pecah!
“Huhh....!”
Hok Sim cepat mengelak dan ternyata putera guru silat di Ceng-tao ini cukup gesit ketika mengelak sehingga Ciang Bun yang sudah siap menyelamatkannya, kini menjadi agak lega dan hanya mempersiapkan diri untuk menolong pemuda itu sekiranya terancam bahaya.
Si muka hitam merasa penasaran sekali. Disangkanya tadi dengan yakin bahwa sekali pukul saja dia akan berhasil menghancurkan kepala bocah itu. “Hemm, kiranya selain menjadi kutu buku engkau bisa juga sedikit ilmu silat, ya? Bagus, aku jadi tidak malu membunuhmu!” Berkata demikian, raksasa yang usianya mendekati lima puluh tahun ini sudah melakukan serangan berantai dengan kaki tangannya.
Tentu saja Hok Sim menjadi repot sekali. Selain sejak kecil dia lebih banyak disuruh belajar membaca dari pada ilmu silat oleh ayahnya, juga andai kata ayahnya sendiri yang maju, maka ayahnya itu pun tidak akan dapat menandingi si muka hitam yang lihai itu. Mula-mula Hok Sim berloncatan, mengandalkan kegesitannya mengelak ke sana-sini, akan tetapi akhirnya terpaksa dia mengangkat lengan menangkis ketika sebuah pukulan menyambar dan posisinya tidak memungkinkan lagi baginya untuk mengelak.
“Dukkk!”
Lengan Tan Hok Sim yang kecil itu bertemu dengan lengan besar si muka hitam dan akibatnya, pemuda itu roboh terjengkang dan lengan kanannya yang menangkis terasa ngilu bagaikan hendak patah tulangnya! Pemuda itu terus menggulingkan tubuhnya mendekati buntalan pakaiannya yang tadi dilemparkannya ke atas tanah. Dia sudah meraih dan mencabut pedangnya dari buntalan ketika tiba-tiba Ciang Bun sudah berada di sampingnya dan memegang pundaknya.
“Tenanglah, twako. Simpan kembali pedangmu.”
“Tidak, aku tidak mau mati konyol. Aku harus melawannya sampai mati!” bantah Hok Sim.
“Twako, kalau engkau melawan, engkau akan mati konyol. Engkau tak akan menang, serahkan saja babi itu kepadaku. Apakah engkau masih belum percaya kepadaku?” Berkata demikian, Ciang Bun meninggalkannya kemudian membalikkan tubuh sambil melangkah maju menghadapi si muka hitam yang berdiri sambil tersenyum menyeringai.
“Hui-to Ngo-houw, pergilah kalian dan jangan ganggu kami lagi!” kata Ciang Bun dengan sikap masih tenang sekali.
Si muka hitam dan kawan-kawannya terkejut mendengar nama julukan mereka disebut oleh pemuda itu. Mereka memang terkenal sebagai Hui-to Ngo-houw (Lima Harimau Golok Terbang), tukang-tukang pukul yang ditakuti dari kota Pao-ting. Tentu saja Ciang Bun mengenal mereka. Pemuda ini tinggal di Thian-cin, tidak jauh dari Pao-ting dan biar pun dia belum pernah jumpa dengan lima orang tukang pukul ini, namun dia sudah banyak mendengar dari ayah ibunya tentang tokoh-tokoh dunia persilatan di sekitar Thian-cin dan kota raja.
Dari ciri-ciri yang ada pada kelima orang ini, terutama golok yang tergantung di punggung mereka, dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah Hui-to Ngo-houw yang terkenal itu. Dan mereka tentu diutus oleh orang-orang yang dirugikan karena dihapuskannya sistim sogok di dalam ujian kota raja. Tentu kalau bukan para pengawas lama, mungkin saja Menteri Ciong sendiri yang mengutus mereka, untuk menghadang dan membunuhnya bersama Hok Sim yang dianggap biang keladi peristiwa itu.
“Bocah lancang, siapakah engkau maka engkau mengenal nama julukan kami? Hayo mengaku sebelum engkau menjadi mayat tanpa nama!” Si muka hitam membentak marah, akan tetapi wajahnya membayangkan keheranan dan keraguan. Mereka yang mengutus dia berlima tidak menyebutkan nama pemuda ini, hanya menyebut nama si pelajar she Tan itu saja.
“Namaku tidak ada artinya bagi kalian dan tidak perlu kalian kenal. Akan tetapi kuharap kalian suka meninggalkan kami. Kuperingatkan, kalau kalian bersikap nekat hendak menggunakan kekerasan dan ingin membunuh kami, terpaksa aku akan menyingkirkan kalian dari permukaan bumi ini supaya tidak mengganggu manusia lain yang tidak berdosa.”
Ucapan ini tentu saja membuat Tan Hok Sim menjadi terkejut setengah mati, tetapi lima orang tukang pukul itu tertawa geli. Memang lucu kedengarannya jika seorang pemuda remaja berusia enam belas atau tujuh belas tahun berani mengancam akan membunuh mereka, lima orang jagoan yang namanya sudah terkenal di seluruh Pao-ting, bahkan terkenal sampai jauh keluar kota! Mereka tertawa geli, akan tetapi juga marah sekali.
Si muka hitam yang sedang tertawa bergelak itu tiba-tiba saja melakukan serangan dan memang demikianlah kelicikan para tokoh hitam. Menyerang seorang pemuda remaja saja dia masih menggunakan kecurangan, apalagi menyerang orang yang dianggapnya lebih lihai. Suara ketawanya masih bergema ketika kedua lengannya yang panjang itu tiba-tiba saja menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ciang Bun.
Sebelum kedua lengan itu menyerang, dari gerakan pundak lawan saja Ciang Bun sudah mengetahui terlebih dahulu dan pemuda ini bukannya mengelak, menangkis atau mundur, bahkan dia menggerakkan kakinya maju mendekat. Secepat kilat kedua tangannya bergerak ke depan dan tahu-tahu jari tangannya yang dibandingkan dengan lawan amatlah kecilnya itu telah menotok kedua pundak lawan sebelum kedua tangan lawan mengenai tubuhnya.
“Tuk! Tukk!”
Pada saat itu, kedua tangan yang besar itu masih menerkam dari atas dan tiba-tiba saja kedua tangan itu berhenti di tengah jalan dan si muka hitam nampak lucu sekali, seperti patung dengan gaya seperti burung hendak terbang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan matanya terbelalak.
“Desss....!”
Kaki Ciang Bun menendang dan si muka hitam itu terjengkang sampai terbanting ke atas tanah. Akan tetapi totokan itu hanya melumpuhkannya selama dua tiga detik saja, maka dia pun bangkit lagi dengan muka sebentar merah sebentar pucat, dan sekali tangannya bergerak, golok di punggungnya telah dicabutnya! Empat orang temannya juga sudah menghunus golok dan kini Lima Harimau Golok Terbang itu maju dengan golok di tangan dan sikap mereka beringas penuh ancaman.
“Bun-te, kau pakailah pedangku ini!” Tan Hok Sim berteriak setelah dapat menenangkan hatinya yang berdebar tegang sejak tadi.
Kini dia pun tahu bahwa pemuda yang menjadi sahabat barunya itu ternyata adalah seorang ahli silat yang pandai! Betapa pun juga, melihat pemuda itu dihadapi lima orang yang memegang golok, hatinya menjadi gelisah dan dia menawarkan pedangnya.
“Tidak usah, twako, hanya akan mengotorkan pedangmu saja,” jawab Ciang Bun dan mendengar ini, Hok Sim hanya berdiri seperti patung sambil memegang pedangnya dan memandang dengan jantung berdebar tegang.
Kini lima orang itu sudah mengurung Ciang Bun dengan golok di tangan. Agaknya mereka pun ingin melihat senjata apa yang hendak dipergunakan oleh pemuda itu. Akan tetapi karena Ciang Bun hanya berdiri seenaknya dengan tangan kosong, dan di tubuhnya tidak nampak dia menyembunyikan sesuatu senjata, lima orang itu merasa semakin penasaran. Mereka berlima yang sekarang memegang senjata golok andalan mereka, yang mengangkat nama mereka menjadi Hui-to Ngo-houw, kini dilawan oleh seorang pemuda remaja yang bertangan kosong! Betapa akan memalukan kalau hal ini diketahui atau didengar oleh dunia kang-ouw.
“Bunuh setan cilik ini dan pelajar itu!” teriak si muka hitam.
Dia mendahului teman-temannya, goloknya berkelebat ke arah leher Ciang Bun. Akan tetapi golok itu hanya menyambar tempat kosong saja karena lebih cepat lagi Ciang Bun sudah menggerakkan tubuh mengelak. Dia disambut bacokan-bacokan dari empat orang teman si muka hitam yang merasa penasaran sekali. Ciang Bun mengeluarkan suara melengking dan ketika kedua tangannya menyambut dengan gerakan-gerakan aneh, terasa oleh semua lawannya ada hawa panas luar biasa menyambar ke tubuh mereka.
“Plak-plak-plak! Desss....!”
Tiga orang meloncat ke belakang sambil mengaduh. Lengan mereka yang bertemu dengan tangan pemuda itu seperti terbakar rasanya dan ada tapak hangus pada kulit lengan mereka, sedangkan orang ke empat terpukul tangannya yang memegang golok. Golok itu terlepas dan Ciang Bun cepat mengibasnya dengan jari-jari tangan kirinya.
“Tringgg.... wuuutt, crottt....!”
Pemilik golok itu menjerit ketika tiba-tiba goloknya yang terlepas tadi menyambar dan menancap di dadanya sampai tembus ke punggung. Dia roboh dan tak dapat bangun kembali, tewas oleh goloknya sendiri.
Bukan main kaget dan marahnya si muka hitam dan tiga orang kawannya. Mereka mengeluarkan suara menggereng seperti harimau-harimau kelaparan dan mereka pun berloncatan menerjang dari berbagai jurusan, mengeluarkan ilmu mereka yang sudah membuat mereka disebut dengan julukan Lima Harimau Golok Terbang. Namun, Ciang Bun yang kini menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, menghadapi mereka dengan tenang. Selama ini, Ciang Bun tidak pernah malas untuk melatih Hwi-yang Sin-ciang sehingga dia memperoleh kemajuan pesat.
Ilmu pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang panas ini memang hebat sekali dan menjadi salah satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari keluarga Pulau Es. Kebalikan dari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) ini, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) lebih sukar dilatih dan dia pun sudah menguasai teorinya, namun belum dapat melatihnya secara sungguh-sungguh, tidak seperti enci-nya, Suma Hui yang sudah menguasai ilmu itu cukup kuat.
Namun, dengan Hwi-yang Sin-ciang, sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Es, mana mungkin penjahat-penjahat kasar macam Hui-to Ngo-houw itu mampu menandinginya? Sebuah pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga mukjijat itu, dengan tangan terbuka, mengenai dada seorang di antara mereka.
“Plakkk!”
Orang itu tidak sempat mengaduh, melainkan roboh terjengkang dan bajunya di bagian dada hangus sedangkan pada kulit dadanya terdapat telapak tangan pemuda itu. Isi dadanya sudah hancur oleh hawa pukulan panas itu, dan tewaslah dia.....
Komentar
Posting Komentar