KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-26
“Tranggg....!”
Golok si muka hitam menangkis amat kuatnya sehingga pedang itu terpental dari tangan Hok Sim! Si muka hitam menyeringai, kemudian menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram dan menangkap Hok Sim. Akan tetapi, Hok Sim memukulkan tangan kanannya ke arah muka orang itu.
“Dukkk!”
Tangkisan si muka hitam membuat Hok Sim terpelanting roboh. Sambil menyeringai Si muka hitam menubruk, akan tetapi pada saat itu nampak sinar putih berkelebat.
“Crottt.... aughhh....!”
Sebatang golok terbang dan menancap di lambung si muka hitam. Dia melepaskan goloknya, menoleh dan melihat betapa dua orang temannya sudah roboh tewas dan betapa golok yang menancap di lambungnya itu dilemparkan oleh pemuda lihai itu setelah merampasnya dari tangan seorang temannya. Si muka hitam roboh terguliug, dan memegangi lambung yang tertusuk golok.
Hok Sim meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian. Lima orang itu kini telah roboh semua dan tempat itu menjadi mengerikan oleh darah yang keluar dari luka di tubuh mereka. Ciang Bun menghampiri Hok Sim dan pada saat itu, si muka hitam masih dapat merintih dan mengangkat muka memandang kepada wajah pemuda remaja yang telah merobohkan dia dan empat orang kawannya itu.
“Orang muda, siapakah namamu....?”
Ciang Bun maklum bahwa orang ini sebentar lagi akan mati, maka dengan suara dingin dia menjawab. “Namaku Suma Ciang Bun.”
Mata yang sudah sayu itu terbelalak. “Suma....? Pendekar.... Pulau.... Es....?” Dan dia pun mengeluh panjang, lehernya terkulai dan tewaslah kepala Hui-to Ngo-houw itu.
Hok Sim bergidik. Biar pun ayahnya seorang guru silat dan dia pernah belajar silat, tapi belum pernah dia melihat pembunuhan terjadi di depan matanya, apalagi sekaligus ada lima orang tewas dalam keadaan terluka mengerikan seperti itu.
“Mengapa.... mengapa mereka.... harus dibunuh....?” Hok Sim bertanya dengan suara membayangkan kengerian.
Dengan sikap tenang dan dingin Ciang Bun melirik ke arah mayat-mayat itu, dan dia berkata, “Ada dua hal yang menyebabkan aku terpaksa membunuh mereka. Pertama, mereka adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang amat kejam dan jahat. Mereka tadi jelas sekali hendak membunuh kita berdua, maka sudah sepatutnya mereka dienyahkan dari permukaan bumi. Ke dua, mereka tentu diutus oleh seseorang dan kalau mereka itu dibiarkan kembali ke atasan mereka, tentu atasan mereka takkan tinggal diam dan akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi untuk mengejar dan membunuh kita.”
Hok Sim memandang dengan sinar mata penuh kagum. Baru dia tahu sekarang bahwa sahabatnya ini adalah seorang pendekar besar, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng dan cerita ayahnya.
“Ah, kiranya engkau.... engkau adalah seorang pendekar, seorang taihiap.... maafkanlah bahwa selama ini aku kurang hormat....,” Hok Sim lalu menjura dengan hormat.
Ciang Bun tersenyum dan memegang kedua lengan sahabatnya. “Aih, twako, aku tidak mau engkau bersikap seperti itu! Kita adalah sahabat, bukan? Dan bagimu aku tetap Bun-te, tidak ada taihiap-taihiapan segala!”
Mereka kemudian tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Di tengah perjalanan, Hok Sim tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.
“Bun-te, sekarang aku tahu mengapa sistim ujian itu dirubah. Malam itu tentu engkau telah mempergunakan ilmu kepandaianmu untuk memaksa menteri itu, bukan?”
Ciang Bun hanya tersenyum. “Hal itu terjadi karena kesadarannya....”
Hanya demikian dia menjawab, akan tetapi hatinya masih bertanya-tanya, siapa biang keladi penghadangan oleh Hui-to Ngo-houw tadi. Menteri Ciong itukah? Ataukah para pengawas lama?
Semenjak terjadi peristiwa itu, hubungan antara Hok Sim dan Ciang Bun menjadi makin akrab. Apalagi perjalanan menuju ke kampung halaman Hok Sim sangatlah jauhnya, memakan waktu berbulan-bulan dan melalui perjalanan yang amat sukar. Hok Sim menganggap Ciang Bun sebagai penolongnya dan juga sebagai seorang pendekar gagah perkasa yang mengagumkan hatinya.
“Bun-te, aku ingin sekali engkau berkenalan dengan seorang adikku. Kami hanya dua orang saudara kakak beradik. Adikku itu sebaya denganmu, ia seorang gadis yang.... hemm, amat cantik manis dan juga ilmu silatnya tidak kalah olehku. Namanya Tan Seng Nio dan aku sayang sekali padanya.”
Akan tetapi, Ciang Bun menyambut penawaran berkenalan ini dengan sikap dingin saja, tidak menjawab dan hanya tersenyum tak acuh. Akan tetapi, selama dalam perjalanan, sikapnya semakin manis terhadap Hok Sim yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang amat baik, halus budi akan tetapi juga gagah berani walau pun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi.
Mulailah Hok Sim merasa heran dan kadang-kadang terkejut juga menyaksikan sikap pemuda pendekar yang dikaguminya itu. Dia dapat melihat betapa Ciang Bun selalu berpakaian rapi dan pesolek, menjaga kebersihan dan wataknya halus sekali. Bahkan kadang-kadang dia merasa betapa sikap Ciang Bun terlalu lunak dan halus perasa, bahkan kadang-kadang terlalu lemah-lembut seperti wanita, juga sikapnya terhadap dirinya kadang-kadang nampak kemesraannya dan kewanitaan!
Ciang Bun tidak sadar akan sikapnya sendiri. Dia sudah lupa lagi akan pengalamannya dengan Lee Siang dan Lee Hiang, kakak beradik yang tinggal di Pulau Nelayan itu, kakak beradik yang mula-mula membuat dia membuka mata melihat kelainan yang ada pada dirinya.
Tanpa disadarinya, dia merasa suka sekali kepada Hok Sim. Bukan, sama sekali bukan jatuh cinta seperti yang pernah dirasakannya ketika dia berdekatan dengan Lee Siang, melainkan suka sebagai seorang sahabat saja. Dia tidak sadar sama sekali betapa sikapnya amat mesra dan kadang-kadang terlalu kewanitaan terhadap Hok Sim, dan dia menganggap sikapnya itu wajar.
Pada suatu hari tibalah mereka di kota Wang-sian, yaitu sebuah kota di tepi Sungai Yang-cee-kiang. Mereka bermalam di sebuah penginapan setelah memilih-milih dan memutari kota itu. Telah hampir dua bulan mereka melakukan perjalanan dan mereka merasa lelah sekali. Tetapi, kota Wang-sian sudah termasuk dalam Propinsi Se-cuan dan kota Ceng-to tinggal tak berapa jauh lagi, dapat tercapai dalam beberapa hari saja.
“Aku ingin besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan. Aku sudah ingin segera sampai di rumah, Bun-te,” kata Hok Sim setelah mereka berdua merebahkan diri di dalam kamar itu.
“Engkau agaknya sudah amat rindu kepada adikmu dan ayah bundamu, twako.”
“Kepada mereka juga, akan tetapi terutama sekali kepada Loan-moi....” Dan suara pemuda itu terdengar penuh kemesraan.
Ciang Bun mengangkat muka, lalu bangkit duduk, memandang kepada sahabatnya itu sambil bertanya, “Loan-moi....? Siapa itu....? Engkau belum pernah menyebutnya sama sekali selama ini.”
Wajah Hok Sim berubah menjadi merah dan dia pun bangkit duduk lalu memandang sahabatnya. “Maaf, Bun-te, sesungguhnya aku merasa malu untuk menyebutnya, akan tetapi karena engkau sudah kuanggap sebagai saudaraku dan anggota keluarga, biarlah kuceritakan juga. Ia bernama Su Ci Loan dan gadis itu adalah.... tunanganku, calon isteriku. Sesungguhnya kami hanya menanti sampai aku lulus ujian, baru kami akan melangsungkan pernikahan. Dan sekarang ia tentu sudah menanti-nanti di rumah kami pula karena rumahnya berada di sebelah rumah kami. Kami tetangga....” Pemuda itu kelihatan girang sekali mengenangkan tunangannya sehingga dia tidak melihat betapa wajah sahabatnya itu tidaklah nampak segembira wajahnya.
Mengapa Ciang Bun tidak merasa gembira mendengar akan kebahagiaan sahabat yang disukainya itu? Iri hati? Cemburu? Sama sekali tidak. Dia menganggap Hok Sim sebagai seorang sahabat yang amat disukanya dan dia tentu akan merasa girang melihat sahabatnya itu berbahagia. Akan tetapi, cerita Hok Sim tentang tunangannya itu, secara tiba-tiba telah mengingatkan dia kembali akan keadaannya sendiri yang berbeda dengan keadaan Hok Sim, berbeda dengan keadaan para pemuda lainnya, dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram dan hatinya menjadi getir.
Setelah melakukan perjalanan yang cepat, sepekan kemudian tibalah mereka di kota Ceng-to dan seperti telah digambarkan lebih dulu oleh Hok Sim, kedatangan mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh ayah bunda Hok Sim dan juga adiknya yang bernama Tan Seng Nio, akan tetapi terutama sekali disambut dengan malu-malu dan juga dengan rasa bahagia oleh Su Ci Loan, tunangan Hok Sim.
Ketika Hok Sim menceritakan kepada keluarganya, juga kepada tunangannya tentang kehebatan Ciang Bun menaklukkan dan merobohkan lima orang penjahat besar dan juga betapa pemuda itu telah memaksa menteri untuk menghentikan korupsi di tempat ujian, tentu saja mereka semua merasa kagum bukan main kepada Ciang Bun.
Ayah Hok Sim adalah seorang guru silat, seorang murid Kun-lun-pai, maka dia merasa kagum sekali. Pada saat Hok Sim tanpa dapat dicegah oleh Ciang Bun, menceritakan ucapan terakhir dari si muka hitam, kepala dari Hui-to Ngo-houw yang menyebut Suma Ciang Bun sebagai pendekar Pulau Es, ayahnya terkejut bukan main dan cepat bangkit berdiri lalu menjura kepada Ciang Bun.
“Ahhh, kiranya taihiap adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”
Dia hanya mendengar nama itu dalam dongeng dunia kang-ouw saja, belum pernah berjumpa sendiri dengan para pendekar keluarga Pulau Es, tetapi dia sudah merasa amat kagum dan hormat terhadap nama keluarga pendekar besar itu.
“Sudahlah, paman, harap jangan memakai terlalu banyak peraturan sehingga akan membuat saya merasa sungkan saja,” Ciang Bun berkata dan guru silat itu menarik napas panjang.
Semakin kagumlah hatinya terhadap pemuda ini. Seorang pemuda yang demikian halus dan rendah hati akan tetapi mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi keturunan penghuni Pulau Es. Ingin sekali dia bertanya banyak tentang keluarga itu, akan tetapi khawatir membuat hati pemuda yang pendiam itu menjadi tidak enak, guru silat Tan ini pun tidak berani mendesak. Malamnya, diam-diam dia bicara dengan puteranya, akan tetapi dia pun kecewa karena puteranya juga tidak tahu banyak tentang Ciang Bun.
“Ah, betapa akan bahagia hatiku kalau dia dapat bcrjodoh dengan adikmu....,” kata ayah ini.
Hok Sim tersenyum. “Kita akan merasa seperti kejatuhan bulan, ayah. Akan tetapi biarlah akan kuatur agar mereka dapat bersahabat karib.”
Akan tetapi, dalam hal ini Hok Sim tidak perlu bekerja keras. Begitu diperkenalkan olehnya, Seng Nio, adiknya, bahkan Ci Loan, tunangannya, merasa suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa namun amat halus budi itu. Ketika Hok Sim menemui tunangannya dan membisikkan kehendak ayahnya, Ci Loan menyatakan kesanggupan untuk membantu agar Seng Nio dapat bergaul erat dengan Ciang Bun.
Demikianlah, atas permintaan Hok Sim, Ciang Bun menyatakan tidak keberatan untuk tinggal di rumah keluarga Tan selama dua pecan. Setelah itu dia baru akan melanjutkan perjalanannya mencari jejak enci-nya. Apalagi karena dia mendengar bahwa pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong kini melanjutkan gerakannya menyerbu ke Negara Nepal.
Dia merasa yakin bahwa dengan adanya peristiwa itu, enci-nya tentu belum mungkin dapat menyusul Cin Liong dan sebaiknya kalau dia menanti di tempat ini, karena betapa pun juga, untuk pergi ke Tibet dari timur tentu akan melewati daerah ini. Karena dia memperoleh kesempatan yang banyak, yang telah diatur oleh pihak keluarga itu di luar tahunya, dia banyak bergaul dengan Seng Nio dan Ci Loan.
Di lubuk hatinya, Ciang Bun tidak mempunyai perasaan benci terhadap wanita. Sama sekali tidak, bahkan dia dapat pula menaruh rasa sayang kepada wanita. Akan tetapi perasaan ini hanya terbatas sebagai perasaan persahabatan belaka, sama sekali tidak mendalam, bahkan tidak terasa kemesraan dalam hatinya seperti kalau dia bergaul dengan pemuda yang menarik hatinya. Dia jauh lebih senang bergaul dengan Hok Sim dari pada dengan Seng Nio atau dengan Ci Loan yang cantik.
Dan dalam pergaulan yang beberapa hari ini dia mendapatkan sesuatu yang membuat perasaannya terganggu dan hatinya menjadi tidak senang. Dia melihat betapa sikap Seng Nio kepadanya tidak wajar, seperti orang yang mencari muka dan memikat-mikat. Dan dia pun melihat betapa sinar mata Ci Loan kepadanya juga tidak wajar, dan biar pun tunangan Hok Sim ini terhadap dirinya selalu bersikap sopan, namun kerling mata dan senyumnya itu menyembunyikan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dia dapat merasakan betapa dua orang gadis itu seperti orang yang jatuh hati kepadanya!
Hatinya merasa tidak senang sekali. Harus diakuinya bahwa Seng Nio adalah seorang gadis yang cantik, dan Ci Loan lebih manis lagi. Akan tetapi, sikap mereka terhadapnya mendatangkan rasa tak senang dan melenyapkan rasa sukanya sebagai sahabat. Apalagi terhadap diri Ci Loan, dia merasa tak senang dan dia diam-diam merasa marah. Dara itu sudah menjadi tunangan Hok Sim, calon isterinya, mengapa sinar matanya dan senyumnya jelas membayangkan hal yang serong, hati yang tertarik kepadanya sebagai seorang pria lain?
Dari Ci Loan, Hok Sim mendengar bahwa perkembangan antara hubungan Ciang Bun dengan Seng Nio masih juga belum mengalami ‘kemajuan’ seperti yang diharapkan keluarga itu.
“Loan-moi, Seng-moi suka ilmu silat, bahkan engkau sendiri pun banyak belajar ilmu silat. Bagaimana kalau besok pagi engkau dan Seng Nio mengajak Bun-te pergi berpesiar ke gunung Omei-san? Kalian boleh minta petunjuknya dalam ilmu silat, dan tempat itu amat romantis, amat indah. Berilah kesempatan mereka agar dapat berdua saja dan mudah-mudahan akan ada kemajuan di antara mereka,” kata Hok Sim kepada tunangannya.
“Baiklah, Sim-koko,” jawab tunangannya dengan gembira.
Hok Sim tidak tahu bahwa kegembiraan wajah tunangannya itu bukan hanya karena ingin memberi kesempatan kepada adik iparnya dan pemuda itu, melainkan karena diam-diam Ci Loan sendiri merasa suka sekali kepada pemuda pendekar yang menjadi tamu mereka. Ada sesuatu pada diri Ciang Bun yang tidak dimiliki tunangannya. Bukan hanya kepandaian silat tinggi sebagai seorang pendekar, dan bukan hanya sebagai keturunan keluarga Pulau Es, akan tetapi juga suatu sifat yang amat menarik hatinya. Ia sendiri tidak tahu persis sifat baik apakah yang amat menarik hatinya itu. Mungkin kelembutan Ciang Bun, sikapnya yang halus, gerak-geriknya yang lemah lembut.
Tetapi Ciang Bun baru mau diajak pesiar ke Omei-san ketika Hok Sim menyatakan pergi juga. Pagi-pagi benar mereka berempat sudah berangkat ke pegunungan yang indah itu. Karena hari masih amat pagi, tempat pesiar itu masih kosong dan belum ada tamu lain. Dengan cerdik, Hok Sim pura-pura kelupaan sesuatu.
“Aku harus kembali dulu ke rumah. Biarlah kalian bertiga mendaki puncak lebih dulu. Aku nanti menyusul!” katanya sambil cepat-cepat meninggalkan mereka.
Tentu saja ia tidak terus pulang melainkan mengambil jalan memutar sebab maksudnya hanya untuk membiarkan mereka bertiga saja dan dia ingin mengintai sendiri dari kejauhan, melihat sampai di mana hasil rencananya yang dijalankan oleh tunangannya itu. Kalau dia tadi mengajak tunangannya untuk kembali dan membiarkan Ciang Bun berdua saja dengan Seng Nio, maka kesengajaan itu terlalu kasar dan tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Ciang Bun.
Ciang Bun bersama dua orang gadis itu mendaki puncak dan pendekar muda ini merasa gembira sekali. Tempat itu memang indah bukan main, apalagi di waktu pagi ketika sinar matahari yang keemasan memulas semua yang ada di permukaan bumi dengan cahayanya yang indah cemerlang.
Ketika tiba di puncak dan melihat di situ terdapat sebuah dataran yang penuh dengan pohon-pohon bunga, Ciang Bun mengucap pujian.
“Hebat.... indah.... mempesona, seperti untaian sajak....!” Dia berkata seperti kepada diri sendiri, lupa bahwa di dekatnya terdapat dua orang gadis cantik.
“Suma-taihiap, kakakku bilang bahwa engkau pandai bersajak. Tempat ini begini indah, suasananya begini tenang dan damai, kuharap engkau suka membuatkan sajak untuk kami,” kata Seng Nio dengan suara halus dan sikap manis.
“Benar sekali! Suma-taihiap, aku pun ingin sekali mendengar sajak buatanmu mengenai keindahan Omei-san!” kata Ci Loan dengan gembira.
Suma Ciang Bun memang sedang bergembira dan terpesona oleh keindahan alam di tempat itu, maka dia pun berkata, “Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin sebaik kalau Tan-twako yang membuatnya.”
“Aihh, janganlah taihiap terlalu merendahkan diri!” Seng Nio berkata.
Ciang Bun lalu berdiri memandang ke bawah puncak. Pemandangan sungguh indah dan dia pun mulai bersajak bebas,
Segalanya nampak indah di Omei-san,
tirai-tirai cahaya putih
menembus celah-celah daun
awan menjadi penghias matahari
daun kering berserakan
menyuburkan bumi
Bunga gugur
membawa keindahan mengharukan
berbahagialah mata
memandang semua ini!
Harum bunga semerbak dihembus angin lalu
sedapnya rumput dan tanah
menyentuh kalbu
berbahagialah hidung
mencium semua ini!
Kicau burung dan dendang air terjun
desir angin pagi
mempermainkan daun-daunan
berbahagialah telinga
mendengar semua ini!
“Bagus sekali!” Ci Loan yang mengerti tentang sajak memuji. “Sajakmu sederhana namun berhasil menggambarkan keindahan yang mendalam, taihiap.”
“Wah, enci Loan. Aku hanya tahu sajak itu indah dan sedap didengar, akan tetapi aku tidak begitu mengerti apa artinya pujianmu tadi. Di manakah letak keindahannya?” Seng Nio yang tidak begitu mengerti mengenai sajak bertanya sedangkan Ciang Bun hanya tersenyum saja.
“Suma-taihiap dapat merubah benda-benda yang biasanya mendatangkan kesan buruk berbalik menjadi indah. Awan yang biasanya menjadi pengganggu sinar matahari malah menjadi penghiasnya. Daun kering lambang kematian malah menyuburkan bumi dan bunga gugur juga dilukiskan sebagai hal yang indah mengharukan. Harumnya bunga, sedapnya rumput dan tanah, bunyi-bunyian seperti kicau burung, dendang air terjun dan desir angin pagi. Sungguh melukiskan keindahan alamiah yang asli!” sambung Ci Loan.
Gembira juga hati Ciang Bun mendengar ucapan gadis itu, bukan karena pujiannya, melainkan karena ucapan itu membuktikan bahwa Ci Loan mampu mengerti isi sajak. Maka dia pun menjura kepada dua orang gadis itu.
“Ahh, kiranya nona adalah seorang ahli tentang sajak,” katanya.
Ci Loan tersenyum manis lalu berkata. “Aku ingin mengambil bunga-bunga mawar yang kusukai. Banyak mawar tumbuh di bagian sana. Harap kalian menunggu di sini saja.”
Tanpa menanti jawaban Ci Loan langsung meninggalkan mereka. Karena sebelumnya memang sudah ada permufakatan antara kedua orang gadis itu, maka Seng Nio juga tidak menahan kepergian calon kakak iparnya itu.
Ditinggalkan berdua saja dengan Seng Nio di tempat sunyi dan romantis itu, Ciang Bun tidak merasa canggung, hanya merasa kurang enak. Dia lalu duduk di atas batu hitam yang besar. Ketika Seng Nio melangkah mendekatinya, dia pura-pura tidak tahu dan memandang ke bawah puncak yang kini menjadi semakin terang oleh sinar matahari yang makin meninggi.
Sejak tadi Seng Nio memandang kepada pemuda itu dengan jantung berdebar tegang. Dari calon kakak iparnya ia sudah mendengar bahwa kakaknya, juga ayahnya, ingin sekali agar ia dapat berjodoh dengan Suma Ciang Bun! Dan bahwa pagi hari ini, atas anjuran kakaknya, Ci Loan sengaja mengajaknya ke tempat itu dan sengaja pula akan meninggalkan dia berduaan saja dengan pemuda itu.
Tentu saja ia tidak perlu ditanya dua kali untuk menjadi jodoh Suma Ciang Bun! Begitu bertemu dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali. Pemuda ini adalah seorang pendekar keturunan keluarga Pulau Es, seorang pemuda yang menurut kakaknya memiliki ilmu kepandaian sangat hebat! Selain itu, juga cukup pandai dalam hal kesusasteraan, ditambah lagi wajahnya yang tampan dan wataknya yang budiman dan lemah lembut!
“Taihiap....”
Ciang Bun sadar dari lamunannya dan menoleh ketika mendengar suara yang halus itu di sampingnya. Gadis itu sudah berdiri dekat dengannya dan Ciang Bun mengerutkan alisnya melihat betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata begitu mesra dan mengandung daya pikat yang kuat.
“Ada apakah, nona?”
“Suma-taihiap, aku.... aku mohon sesuatu darimu, kalau boleh....”
Ciang Bun tersenyum menenangkan melihat sikap nona yang ragu-ragu dan takut-takut itu. “Engkau minta apakah, nona? Katakanlah, sebagai seorang sahabat, kalau memang aku dapat memenuhinya, tentu takkan kutolak permintaanmu.”
“Aku hanya.... mohon petunjuk tentang ilmu silat....”
Ciang Bun tersenyum. “Nona, ayahmu adalah seorang guru silat yang berpengalaman, tentu dia lebih pandai membimbingmu dalam ilmu silat.... “
“Tapi, ayah dan Sim-ko mengatakan bahwa ilmu silatmu jauh lebih tinggi dari pada tingkat ayah. Maka, aku mohon padamu, berilah sedikit petunjuk.... dan tempat ini amat baik untuk berlatih silat, bukan? Maukah engkau, taihiap?”
Tentu saja Ciang Bun merasa tidak enak kalau harus menolak begitu saja. Gadis ini dan sekeluarganya telah menerimanya sebagai tamu terhormat dan sudah bersikap amat ramah dan baik kepadanya. Wajarlah kalau sekarang dia memberi petunjuk ilmu silat kepada Seng Nio sekedar untuk membalas kebaikan mereka. Tentu saja tidak mungkin mengajarkan ilmu silat dalam waktu singkat. Maka dia pun berkata ramah. “Baiklah, aku akan memberi sedikit petunjuk. Untuk itu engkau harus mainkan jurus-jurus silatmu dan aku akan mencoba untuk memperbaiki jurus-jurus itu.”
“Terima kasih, taihiap. Engkau baik sekali. Nah, sambutlah jurus-jurus ini dan tunjukkan mana yang kurang betul!” Seng Nio tidak menanti jawaban dan langsung saja mulai menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Ia merasa gembira sekali mendapatkan kesempatan berlatih silat dengan pemuda yang dikaguminya ini dan mengharapkan dari latihan ini akan bukan saja dapat bersentuhan akan tetapi juga dengan harapan akan dapat meningkatkan keakrabannya.
Sebetulnya bukan maksud Ciang Bun agar gadis itu menyerangnya. Dengan melihat gadis itu bermain silat saja dia sudah akan dapat mengetahui bagian-bagian yang lemah. Akan tetapi karena Seng Nio telah menyerangnya, tentu saja dia pun mengelak sambil memperhatikan. Dia melihat bahwa gadis ini tidak mengecewakan menjadi puteri seorang guru silat karena gerakan-gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga lumayan. Dia memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menyerangnya beberapa jurus sambil memperhatikan. Tiba-tiba dia menangkap lengan Seng Nio.
“Tahan....!” Ciang Bun melepaskan lengan gadis itu dan melanjutkan. “Nona, jurusmu yang terakhir ini tadi mengandung kelemahan yang dapat merugikan dirimu. Maukah engkau mengulang agar dapat aku memberi contoh dan pembetulan?”
Seng Nio memandang dengan wajah berseri dan ia pun mengulang serangannya yang terakhir, yaitu jurus Sian-jin-ci-louw (Dewa Menunjukkan Jalan). Serangan ini dilakukan dengan tangan kiri, menggunakan dua buah jari menusuk ke arah leher lawan dengan gerakan cepat.
Ciang Bun mengelak ke kanan dan dari kanan tangannya ‘masuk’ melalui bawah ketiak gadis itu, menggunakan kesempatan selagi lengan gadis itu menyerang lurus sehingga dada di bawah lengan ini terbuka, tahu-tahu tangannya sudah membuat gerakan memukul ke arah dada di bawah ketiak, dekat buah dada kiri gadis itu.
“Ihhhh....!” Seng Nio menjerit manja dan mukanya berubah merah.
Tentu saja Ciang Bun tidak sampai menyentuh dada itu. Tanpa memperdulikan muka gadis itu yang berubah merah seperti orang malu-malu, Ciang Bun memberi petunjuk.
“Jurus seranganmu itu cukup baik dan cepat, akan tetapi dengan serangan itu harus diketahui bahwa di bawah lenganmu menjadi terbuka dan pertahananmu lemah. Setiap serangan memang berarti membuka satu bagian pertahanan, oleh karena itu cara menusukkan jari tangan itu tadi harus dilakukan amat cepat dan jangan sampai terulur sepenuhnya. Dengan demikian, andai kata serangan gagal dan lawan memasuki bagian yang lowong, lenganmu dapat cepat ditarik dan siku lengan dapat menangkis serangan lawan. Coba ulangi lagi, sekarang dengan lengan tidak terulur sepenuhnya dan siap membagi sedikit kewaspadaan untuk menjaga bagian yang terbuka.”
Dengan gembira Seng Nio mengulang serangan dengan jurus Sian-jin-ci-louw itu. Pada saat lengannya meluncur dan jari tangannya menusuk ke arah leher Ciang Bun, pemuda ini mengelak dan seperti tadi, membalas dengan cepat, sekali ini bukan memukul melainkan menendang ke arah lambung yang terbuka.
“Dukkk!”
Seng Nio yang kini sudah waspada dan tidak menggunakan seluruh kekuatan pada serangannya tadi, menekuk siku dan lengannya menangkis ke bawah sehingga tendangan itu dapat tertangkis.
“Bagus! Sekarang lanjutkan, nona.”
Dengan gembira Seng Nio melanjutkan dengan beberapa jurus, menyerang pemuda itu dengan sungguh-sungguh karena selain ingin memperoleh petunjuk, juga ia ingin bersentuhan dengannya. Kembali ada jurus yang diperbaiki dan sekali ini, pukulan Seng Nio menurut petunjuk Ciang Bun harus dilanjutkan atau dirubah menjadi cengkeraman untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan.
“Begini sebaiknya, nona,” kata Ciang Bun memberi contoh dengan pukulan seperti tadi dan ketika si nona menangkis, pukulan itu berubah menjadi cengkeraman dan tahu-tahu pergelangan tangan gadis itu telah ditangkapnya. “Nah, sekarang engkau cobalah meniru gerakanku tadi.”
Seng Nio menirunya, menyerang dengan jurus yang sudah diperbaiki tadi, ketika Ciang Bun menangkis, cepat pukulannya berubah cengkeraman dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan pemuda itu. Akan tetapi ia mencengkeram dengan kuat, tidak mau melepaskannya lagi sehingga Ciang Bun berseru kaget dan menarik lengannya. Karena tenaganya memang jauh lebih besar, tarikan yang tiba-tiba itu membuat tubuh Seng Nio terguling! Tentu gadis itu akan roboh terbanting, kalau saja Ciang Bun tidak cepat-cepat menangkap dan merangkulnya.
Ciang Bun merangkul gadis itu hanya untuk menghindarkan tubuh gadis itu jatuh terbanting. Akan tetapi Seng Nio membiarkan dirinya dirangkul, bahkan menyandarkan kepalanya ke dada pemuda itu!
“Ehhh, nona, maafkan aku tidak sengaja....”
“Ah, tidak mengapa, taihiap, aku.... aku justru senang sekali begini....” dan kini kedua lengan Seng Nio merangkul leher!
“Ehh.... Tan-siocia, apa artinya ini....?” Ciang Bun menegur heran dan kaget, dengan lembut hendak melepaskan kedua lengan yang merangkul lehernya. Akan tetapi gadis itu memperkuat rangkulannya.
“Taihiap.... koko.... masih perlukah aku bicara....? Aku kagum padamu, aku jatuh cinta kepadamu....”
“Ihhh....!” Dengan sentakan agak keras Ciang Bun merenggutkan dirinya dan gadis itu terhuyung hampir jatuh. “Nona, jangan bersikap tidak sopan!”
Wajah Seng Nio berubah pucat dan kedua matanya memandang terbelalak. “Tapi.... tapi aku cinta....”
“Jangan bicara tentang cinta! Aku tidak mencinta siapa pun!” Ciang Bun membentak marah. “Sikapmu sungguh tidak tahu malu....!”
Wajah yang pucat itu kini berubah merah sekali dan dengan isak perlahan Seng Nio meninggalkan Ciang Bun, lari mencari Ci Loan yang tadi sengaja menjauhkan diri dan memetik kembang yang sebenarnya hanya merupakan alasan yang dicari-cari saja.
Melihat gadis ini lari sambil menangis, Ciang Bun lalu duduk di atas batu dan termenung. Baru terasa olehnya betapa kasarnya sikapnya tadi terhadap Seng Nio. Kekasaran yang tidak disengaja karena dia terkejut dan juga tidak senang mendengar pengakuan cinta gadis itu. Dan dia pun termenung dengan bingung dan menyesal.
Dia tahu bahwa kalau Seng Nio jatuh cinta kepadanya, hal itu sudahlah wajar. Akan tetapi dia, sebagai seorang pemuda, menerima pernyataan cinta seorang gadis dengan hati yang muak dan tidak suka, ini baru namanya tidak wajar dan dia merasa menyesal sekali. Akan tetapi, apa yang harus dilakukannya?
Dia tadi bicara dan bergerak menurutkan naluri atau perasaan hatinya, tanpa disengaja dan baru sekarang dia tahu betapa dia telah menyakiti hati Seng Nio! Sampai lama dia termenung memikirkan keadaan dirinya sendiri dan makin banyak dia melihat kelainan pada dirinya, terutama dalam hal perasaan hatinya terhadap pria dan wanita.
“Suma-taihiap....”
Suara wanita yang halus ini menyadarkannya dari lamunan dan ketika dia menoleh, dilihatnya Ci Loan telah berdiri di dekatnya. Dia pun cepat bangkit berdiri.
“Suma-taihiap, mana adik Seng Nio?” Ci Loan bertanya sambil tersenyum manis sekali.
Senyum gadis ini memang manis sekali, pikir Ciang Bun. Akan tetapi senyum dibarengi pandang mata seperti itu selayaknya hanya diberikan gadis ini kepada tunangannya saja, jangan kepada pria lain! Akan tetapi pertanyaan gadis ini tentang Seng Nio membuat dia gugup juga.
“Tan-siocia.... telah pergi....”
“Pergi? Ehh, kenapa? Bukankah ia tadi belajar silat darimu, taihiap?”
“Ya, akan tetapi ia sudah pergi....”
“Kenapa dan ke mana?”
“Entah.... aku tidak tahu....” Kini Ciang Bun duduk kembali di atas batu karena merasa bingung dan khawatir kalau-kalau gadis ini tahu tentang peristiwa tadi. Sungguh tidak enak kalau diketahui orang lain, apalagi kalau sampai Hok Sim juga mengetahuinya.
Akan tetapi kembali dia terkejut ketika melihat bahwa Ci Loan, tunangan sahabatnya itu, kini menghampirinya dan duduk pula di atas batu di sampingnya. Dia merasa kikuk sekali, akan tetapi sebaliknya Ci Loan kelihatan begitu ramah dan akrab.
“Taihiap, kenapa engkau nampak seperti orang marah-marah?” Gadis itu bertanya dan dari samping ditatapnya wajah Ciang Bun dengan tajam.
Ciang Bun menggeleng kepala. “Tidak apa-apa....”
“Apakah adik Seng Nio membuatmu marah? Kalau begitu maafkanlah, taihiap.”
“Tidak apa-apa....”
Hening sejenak dan Ciang Bun tak berani menoleh, hanya mengerutkan alisnya karena duduk bersanding dengan gadis ini sungguh membuat hatinya merasa tidak tenang.
“Suma-taihiap, kalau boleh aku bertanya, apakah.... engkau sudah bertunangan dengan seorang gadis?”
Sungguh sebuah pertanyaan yang tak diduga-duganya dan membuatnya terkejut. Kalau saja dia tidak ingat bahwa Ci Loan adalah tunangan Tan Hok Sim yang telah menjadi sahabat baiknya tentu dia akan menganggap pertanyaan itu amat tidak sopan dan tidak tahu malu. Mana ada gadis bertanya demikian kepada seorang pemuda?
“Belum....,” katanya lirih sambil menggeleng kepala tanpa menengok wajah gadis di sampingnya itu.
“Tapi, tentu hatimu sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang gadis cantik, tentu engkau telah mempunyai seorang kekasih.”
Kembali jantung di dalam dada Ciang Bun berdebar keras. Sungguh semakin tak tahu sopan saja pertanyaan gadis ini. Akan tetapi dia masih bersabar dan kembali dia menggeleng kepala tanpa menjawab.
“Akan tetapi itu sungguh aneh luar biasa! Kenapa, taihiap? Kenapa engkau belum bertunangan, bahkan belum mempunyai pacar?”
Terlalu, pikir Ciang Bun. Dia ingin marah dan mendamprat gadis itu, tetapi dia masih teringat betapa tadi dia telah bersikap keras terhadap Seng Nio. Dia tak mau menambah kesalahan itu lagi dengan bersikap tidak manis terhadap tunangan sahabatnya ini.
“Hmmm, siapa suka kepadaku?” jawabnya sekedarnya dan dia pun turun dari batu dan bangkit berdiri.
Ci Loan melompat turun dan menghampirinya. “Siapa yang tidak suka? Aihh, taihiap, engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, pandai, budiman dan tampan, seorang pendekar muda pilihan, keturunan keluarga Pulau Es pula. Dan engkau bertanya siapa suka kepadamu? Setiap gadis akan berlomba untuk menjadi kekasihmu, Suma-taihiap, bahkan aku pun.... aku amat suka kepadamu.... dan seandainya aku belum bertunangan....”
Ciang Bun terbelalak. Alangkah beraninya gadis ini, bahkan lebih berani, lebih kurang ajar, lebih tidak sopan dari pada Seng Nio tadi! Melihat kalimat terakhir yang ditahan, dia pun merasa penasaran dan bertanya. “Kalau belum bertunangan bagaimana?”
Gadis itu memegang kedua tangannya, menarik kedua tangannya ke dada sehingga dia merasa betapa jari-jari tangannya menyentuh dada yang menonjol. “Kalau saja aku belum bertunangan, aku akan berbahagia sekali menjadi pacarmu....”
“Keparat!” Ciang Bun tak dapat menahan kemarahannya lebih lama lagi.
Dia merenggutkan kedua tangannya terlepas dan hampir saja dia menampar muka gadis itu. Akan tetapi dia menahan diri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Loan. “Engkau perempuan tak tahu malu! Engkau tidak patut menjadi tunangan Tan Hok Sim. Pergi engkau dari sini sebelum kuhajar engkau, perempuan rendah!”
Seketika wajah Ci Loan yang cantik menjadi pucat sekali. Tidak disangkanya bahwa Ciang Bun akan dapat bersikap segalak itu, apa lagi sampai memakinya. Tadi dia mendapat laporan dari Seng Nio betapa pemuda itu menghina Seng Nio dan menolak cintanya. Maka ia menghibur Seng Nio dan hendak mendekati pemuda itu. Akan tetapi karena memang di lubuk hatinya dia telah jatuh cinta kepada pendekar muda yang mengagumkan itu, setelah tiba di depan Ciang Bun, dia lupa akan tugasnya hendak menjodohkan calon adik ipar itu dengan Ciang Bun, dan sebaliknya dia sendiri malah merayunya! Dan akibatnya, ia dimaki-maki. Karena malu ia pun menjadi marah sekali.
“Manusia tak tahu diri, tidak mengenal budi!” Dan Ci Loan sudah menyerangnya dengan pukulan kilat.
“Plakkk!”
Ciang Bun menangkis dengan pengerahan tenaga dan akibatnya tubuh Ci Loan terpelanting dan roboh terbanting di atas tanah!
“Manusia kejam Suma Ciang Bun, berani engkau memukul kakak iparku?” Tiba-tiba muncullah Seng Nio.
Agaknya kini gadis ini memperoleh alasan untuk membalas sakit hatinya ketika cintanya ditolak mentah-mentah bahkan ia telah dihina oleh Ciang Bun tadi. Melihat Ci Loan terpelanting, dia pun lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ciang Bun dengan marah. Tentu saja Ciang Bun cepat mengelak dan ketika dia melihat Ci Loan juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedang, Ciang Bun lalu melarikan diri untuk kembali ke rumah keluarga Tan dan kemudian dia hendak cepat meninggalkan keluarga itu.
“Manusia rendah, engkau hendak lari ke mana?” Dua orang gadis itu dengan pedang di tangan dan nyeri di hati melakukan pengejaran dari belakang secepatnya.
Tentu saja Ciang Bun dapat berlari jauh lebih cepat dari pada mereka dan agaknya dia akan dapat cepat meninggalkan rumah keluarga itu sebelum kedua orang gadis yang mengejarnya tiba di rumah. Akan tetapi, tiba-tiba muncul Tan Hok Sim di tengah jalan. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini diam-diam menyusul ke Omei-san setelah tunangan dan adiknya pergi bersama Ciang Bun lebih dulu ke puncak dan dia sengaja turun lagi dengan alasan ada yang ketinggalan.
“Heiii.... Bun-te.... engkau hendak ke mana dan mengapa berlari-lari?” tegur Hok Sim.
Melihat munculnya Hok Sim, terpaksa Ciang Bun menghentikan larinya. Dia hendak menyembunyikan semua peristiwa itu dari Hok Sim, tentu saja kalau dia nekat melarikan diri, pemuda sasterawan itu akan menjadi curiga. Akan tetapi setelah dia berhenti berlari dan berhadapan dengan Hok Sim, dia bingung sendiri harus bicara apa!
“Bun-te, apakah yang telah terjadi? Di mana Loan-moi dan adikku Seng Nio?” Hok Sim bertanya dengan hati khawatir. Dia melihat sesuatu pada wajah pemuda pendekar itu dan hatinya gelisah sekali.
“Mereka.... mereka di belakang....,” jawabnya gugup.
“Tapi kenapa....?” Tiba-tiba dia melihat bayangan kedua orang gadis itu mengejar dan menuruni lembah. “Ehhh, itu mereka....! Kenapa mereka juga berlari-lari mengejarmu?”
“Kami.... main kejar-kejaran....”
Hok Sim tertawa dan dia masih belum curiga mendengar alasan yang lucu itu. Main kejar-kejaran? Seperti anak-anak kecil saja.
“Ehh....? Kenapa mereka membawa pedang?” tanyanya kaget ketika melihat dua orang gadis itu sudah datang dekat. Dan dia menjadi lebih kaget lagi ketika melihat Seng Nio dan Ci Loan bermuka merah penuh kemarahan.
“Sim-ko, manusia keparat itu telah membuat aku terpelanting roboh!” teriak Seng Nio.
“Dan dia.... dia memaki-maki aku....!” sambung Ci Loan.
“Ehhh, kenapa? Mengapa begitu?” Hok Sim bingung.
“Agaknya dia.... dia hendak memperkosa kami!” kata Seng Nio yang sudah kepalang tanggung, malu karena cintanya ditolak dan karena dihina maka sekarang dia hendak membalas dendam.
“Ahhh? Benarkah itu?” bentak Hok Sim.
“Benar, dia memang manusia berwatak rendah!” Ci Loan menambahkan dan kini Hok Sim tidak ragu-ragu lagi.
Kalau adiknya sendiri dan tunangannya sudah begitu marah dan keterangan mereka sudah meyakinkan, apakah perlu diragukan lagi? Mendengar betapa pemuda itu hendak mengganggu tunangannya, hati Hok Sim berkobar dengan api kemarahan dan dia pun mencabut pedangnya.
“Dengarkan dulu....,” kata Ciang Bun.
Akan tetapi Hok Sim sudah menjawabnya dengan tusukan pedangnya. Dua orang gadis itu pun sudah menyerang pula dengan pedang mereka sehingga terpaksa Ciang Bun harus menghindarkan diri dari keroyokan tiga orang berpedang itu. Melihat Hok Sim ikut mengeroyok, Ciang Bun merasa serba salah dan kalau saja dia menghendaki, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia merasa tidak tega kepada Hok Sim yang hanya salah sangka terhadap dirinya, maka dia pun hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran tiga batang pedang yang mengeroyoknya.
Seperti telah kita ketahui, pada saat Ciang Bun dikeroyok oleh tiga orang itulah muncul Suma Hui! Tentu saja dengan mudah Suma Hui dapat mengakhiri pengeroyokan itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Tan Hok Sim dimintai keterangan oleh Suma Hui mengapa dia bersama dua orang gadis itu mengeroyok Ciang Bun.
“Siapa yang tidak marah? Suma Ciang Bun telah kami anggap sebagai seorang pendekar budiman dan kami terima sebagai seorang tamu agung, yang kami hormati. Akan tetapi dia telah melakukan perbuatan kotor terhadap tunangan dan adikku! Dia menghina adikku dan hendak memperkosa tunanganku!” demikian Hok Sim menutup ceritanya yang tentu saja berbeda dengan kenyataan itu kepada Suma Hui.
“Hemm, benarkah keterangan itu bahwa engkau hendak memperkosa tunangan orang dan menghina seorang gadis lain? Benarkah itu, adikku?” Suma Hui bertanya heran dan penuh ketidak percayaan sambil memandang kepada Ciang Bun.
Ciang Bun menghela napas panjang. Dia merasa menyesal sekali bahwa Hok Sim yang tidak bersalah apa-apa terpaksa akan menderita tekanan batin kalau mengetahui persoalannya. Dia tidak ingin melihat pemuda yang disukanya itu menderita.
“Aku tidak perlu bercerita. Silakan kedua orang nona ini saja yang bercerita, dan kuharap mereka akan menceritakan hal yang sebenarnya.” Sambil berkata demikian, sepasang matanya mencorong seperti mata naga menatap wajah Seng Nio dan Ci Loan, dan kedua orang gadis itu menjadi pucat.
Kini timbul keraguan dalam hati Hok Sim melihat sikap Ciang Bun dan kedua orang gadis itu. Timbul keraguannya karena rasanya memang sukar dapat dipercaya bahwa seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun sampai melakukan hal yang demikian rendahnya!
“Seng-moi, hayo ceritakan yang sesungguhnya apa yang terjadi! Engkau tadi bilang bahwa engkau dihina dan dipukul, hayo ceritakan mengapa demikian dan yang sesungguhnya terjadi bagaimana? Jangan membohong!”
Wajah Seng Nio menjadi merah sekali. Ia merasa serba salah. Ia tahu bahwa Ciang Bun adalah seorang pendekar sakti dan agaknya kakak perempuannya ini pun seorang pendekar yang lihai sekali. Berbohong takkan berguna, apalagi bukankah kakaknya sendiri yang mendorongnya agar ia berusaha mendekati Ciang Bun?
“Aku tadi hanya menyatakan perasaan hatiku kepadanya, Sim-ko. Bukankah ayah dan engkau sendiri menghendaki agar aku berjodoh dengan Suma-taihiap? Aku menyatakan cinta dan.... dan dia marah-marah.... dan dia memaki aku tidak sopan dan tidak tahu malu!”
Hok Sim mengerutkan alisnya. Tahulah dia mengapa Ciang Bun marah-marah. Tentu Seng Nio ‘mendesak’ dengan cintanya dan pemuda pendekar itu menganggap Seng Nio sebagai seorang gadis tidak tahu malu. Dia mengeluh dalam batinnya. Jelaslah bahwa Ciang Bun tidak dapat membalas cinta kasih Seng Nio.
“Dan engkau, Loan-moi? Apa yang terjadi?” kini Hok Sim menoleh kepada Ci Loan.
Wajah gadis ini menjadi pucat sekali. Ia mengerti bahwa apa yang terjadi antara ia dan Ciang Bun hanya diketahui oleh mereka berdua saja. Bahkan Seng Nio juga tidak mengetahuinya. Kalau ia mengaku, maka tentu pertunangannya dengan Hok Sim akan putus. Ia melirik ke arah Ciang Bun. Pendekar ini hanya berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang. Kini tergantung kepada pendekar itu, pikirnya.
“Aku menerima laporan adik Seng yang menangis dan merasa terhina. Lalu kudatangi Suma-taihiap dan kutegur, akan tetapi dia.... dia bersikap kasar sehingga kami cekcok dan aku menyerangnya, lalu datang adik Seng yang membantuku. Dia lari dan kami kejar sampai bertemu denganmu, koko.”
Hok Sim membanting kakinya dan menarik napas panjang. “Ah, akulah yang bodoh dan terburu nafsu, tidak bertanya dulu, lalu percaya saja kepada omongan perempuan dan menyerangmu. Suma-taihiap, maafkan aku, maafkan kami....”
“Sudahlah, mari kita pergi, enci Hui!” kata Ciang Bun. “Aku akan mengambil pakaianku lebih dulu di rumah, Tan-twako.”
Kakak beradik itu sekali berkelebat lenyap dari situ, membuat Hok Sim dan kedua orang gadis itu melongo dan semakin gentar. Lalu terdengar Hok Sim mengomel, “Ah, kalian yang kurang waspada dan ceroboh sekali. Kalau sampai Seng-moi tidak berjodoh dengan dia masih tidak mengapa. Akan tetapi kita kehilangan seorang sahabat yang amat baik dan gagah perkasa. Sekarang, keluarga Pulau Es itu marah kepada kita, semua ini karena kalian berdua kurang hati-hati.”
Dua orang gadis itu hanya menundukkan mukanya, diam-diam merasa malu sekali atas kelakuan mereka terhadap Ciang Bun tadi.
“Tapi, aku melihat sikapnya kepadamu amat akrab!” tiba-tiba Seng Nio berkata.
“Bahkan kadang-kadang amat mesra!” tambah Ci Loan. “Kami sering membicarakan hal ini, dan kami merasa heran mengapa sikapnya jauh lebih mesra terhadapmu dari pada terhadap kami.”
Diam-diam Hok Sim terkejut dan teringat bahwa memang demikian keadaannya. Ciang Bun kadang-kadang bersikap terlalu mesra kepadanya! Bahkan sekarang dia teringat bahwa andai kata Ciang Bun seorang wanita, agaknya dia akan menjadi saingan Ci Loan!
“Sikapnya itu kadang-kadang membuat aku curiga, jangan-jangan dia itu seorang gadis yang menyamar pria!” kata pula Seng Nio.
“Ahhh....! Kalian bicara yang bukan-bukan karena sedang marah saja. Sebetulnya dia itu laki-laki sejati, seorang pendekar budiman yang gagah perkasa. Mungkin saja dia.... ehhh, agaknya pemalu dan tidak biasa bergaul dengan wanita sehingga begitu dekat dengan kalian dia merasa canggung dan malu-malu. Sudahlah, betapa pun juga, kita kehilangan seorang sahabat yang luar biasa!”
Mereka pun pulang dengan hati kecewa dan menyesal.....
********************
Komentar
Posting Komentar