KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-24


Hanya di sana-sini, di sekitar markas itu masih terjadi perkelahian, yaitu di antara para perwira kerajaan yang mengepung Hek-i Mo-ong yang mengamuk. Tiada seorang pun yang kuat menghadapi Raja Iblis ini yang sudah mengamuk dan merobohkan banyak sekali prajurit dan perwira Bhutan. Kini, iblis ini memperlihatkan diri yang sebenarnya.

Dengan tangan kanan memegang sebatang tombak Long-ge-pang dan tangan kiri memegang kipas merahnya, sepak terjangnya menggiriskan sekali sehingga tidak ada prajurit Bhutan berani mendekatinya lagi. Padahal, Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani sudah sejak tadi tertawan dan luka-luka oleh pengeroyokan para perwira Bhutan.

Ketika Wan Tek Hoat mendengar laporan bahwa Phang-sinshe mengamuk hebat dan tidak ada orang berani mendekatinya, dia sendiri lalu mendatangi tempat itu diikuti oleh isterinya. Terkejutlah pendekar ini ketika menyaksikan kehebatan sepak terjang iblis itu. Melihat sepasang senjata itu, teringatlah Tek Hoat akan tokoh besar kaum sesat Hek-i Mo-ong dan sadarlah dia bahwa Phang-sinshe yang lemah lembut itu ternyata adalah penyamaran seorang tokoh besar kaum sesat yang amat keji dan terkenal, yaitu Hek-i Mo-ong!

“Hek-i Mo-ong, kiranya engkaukah ini?!” bentaknya sambil meloncat dekat, diikuti oleh Puteri Syanti Dewi yang kini bersenjatakan sebatang pedang.

Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut, katakanlah bahwa usahaku di Bhutan gagal, akan tetapi jangan harap akan dapat merobohkan aku dengan mudah!”

Marahlah Tek Hoat. Sudah lama pedang Cui-beng-kiam tidak pernah dipergunakannya dalam perkelahian. Pedang Cui-beng-kiam (Pencabut Nyawa) yang kini telah dilolos dari sarungnya mengeluarkan hawa yang menyeramkan. Sinarnya membuat orang banyak terpaksa melangkah mundur dengan perasaan gentar. Pedang ini merupakan pedang peninggalan Cui-beng Koai-ong, Raja Iblis dari Pulau Neraka, yang kemudian diwarisi oleh Tek Hoat.

“Hek-i Mo-ong, engkau berani mengacau Bhutan, berarti engkau sudah bosan hidup!”

Sambil mengeluarkan lengkingan panjang yang menyeramkan, Tek Hoat menyerang dengan pedangnya. Pedang Cui-beng-kiam menyambar dahsyat dan nampak sinar berkilauan ketika pedang itu menyambar dengan amat cepat dan kuatnya.

“Cring! Cring! Tranggg....!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua pihak cepat memeriksa senjata mereka masing-masing. Ketika pedang Cui-beng-kiam bertemu dengan tombak Long-ge-pang, Tek Hoat merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, akan tetapi pedangnya tidak rusak dan sebaliknya, ketika Hek-i Mo-ong memeriksa tombaknya, ujungnya patah dan dia menjadi marah sekali.

Kakek iblis ini maklum bahwa dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang sedikit, tetapi senjatanya tidak akan mampu menandingi pedang pusaka itu. Maka kini sambil mengeluarkan bentakan hebat dia pun menerjang dengan dahsyat, menggerakkan tombaknya dan juga kipasnya. Kipas itu mengeluarkan angin dingin, akan tetapi ketika menyambar dekat, berubah menjadi totokan berbahaya yang dilakukan oleh ujung kipas yang runcing.

Tek Hoat cepat mengelak, mengenal serangan yang amat berbahaya itu. Pedangnya juga membalas dengan bacokan yang dapat dielakkan oleh lawan. Saling serang terjadi dan ketika pedang Cui-beng-kiam kembali berkelebat, tiba-tiba pedang itu tertahan oleh tombak yang menggunakan tenaga menempel dari samping, tidak berani beradu tajam. Tek Hoat terkejut ketika merasa betapa kuatnya tenaga sedot yang keluar dari senjata lawan, membuat pedangnya seperti menempel pada besi sembrani.

Selagi dia mengerahkan tenaga untuk membetot dan menarik kembali pedangnya, tiba-tiba terdengar suara mencicit dan dari mulut kakek itu tersembur uap panas seperti api! Itulah Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), ilmu baru yang sedang dilatih oleh kakek iblis itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Wan Tek Hoat terpaksa menarik kembali pedangnya dan melempar tubuh ke belakang, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh karena dia maklum betapa hebatnya uap yang amat panas itu.

Melihat suaminya didesak, Syanti Dewi mengeluarkan suara melengking nyaring dan tuhuhnya mencelat ke depan. Tahu-tahu pedangnya telah menusuk ke arah leher Hek-i Mo-ong dari samping.

Kakek itu terkejut sekali, tak pernah mengira bahwa puteri itu bisa bergerak secepat itu, bahkan harus diakuinya bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi kecepatan yang bagaikan terbang saja itu! Sukarlah mengikuti gerakan puteri itu dengan pandang matanya, maka dia hanya mengandalkan ketajaman telinganya saja, menggerakkan gagang tombak Long-ge-pang untuk menangkis sambil miringkan leher karena tusukan itu benar-benar amat cepat.

“Tranggg....!”

Tubuh Syanti Dewi terlempar dan hanya dengan ilmu ginkang-nya yang hebat puteri ini dapat menghindarkan diri agar tidak sampai terbanting, yakni dengan berjungkir balik membuat poksai (salto) sampai tiga kali. Puteri itu terkejut, dan Hek-i Mo-ong merasa lega. Biar pun sang puteri itu memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya, namun dalam hal tenaga sinkang, tidaklah sekuat Si Jari Maut, sehingga tidak terlalu membahayakan baginya.

Akan tetapi, pada saat itu perlawanan pasukan pemberontak telah hancur sama sekali dan tinggal Hek-i Mo-ong seorang yang melakukan perlawanan. Tentu saja para tokoh Bhutan kini berdatangan membantu Tek Hoat, juga pasukan pilihan Bhutan mengepung kakek itu dengan busur terpentang. Bagaimana pun juga, Hek-i Mo-ong takkan dapat meloloskan diri dari tempat itu, kecuali kalau dia pandai melenyapkan diri atau terbang seperti burung.

Kakek itu pun maklum akan hal ini. Akan tetapi dia adalah seorang datuk kaum sesat, maka dia pun tidak mengenal takut. Hanya dia sudah putus asa untuk dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup, maka dia pun lantas mengamuk dengan senjatanya, menghadapi pengeroyokan banyak orang.

Diam-diam Tek Hoat kagum bukan main. Memang, lawannya ini adalah seorang datuk sesat yang jahat seperti iblis. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang dia bertemu dengan orang yang mempunyai ilmu kepandaian sedemikian hebatnya, juga memiliki kegigihan yang luar biasa. Jika orang dengan watak dan kepandaian seperti ini disertai pula kesetiaan dan kejujuran, tentu akan dapat menjadi tulang punggung sebuah negara yang boleh diandalkan.

Bagaimana pun juga, Hek-i Mo-ong yang sakti itu pun hanyalah seorang manusia, sudah tua pula. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun, maka daya tahannya tentu saja sudah banyak menurun walau pun kepandaiannya semakin matang. Dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Terutama sekali desakan-desakan Tek Hoat dan kecepatan Syanti Dewi membuatnya lelah dan gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah.

Akan tetapi, hal ini bukan membuatnya gentar, bahkan sebaliknya dia bahkan menjadi penasaran dan marah.

“Haiiiiiitttt!” Teriakannya disusul gerengan seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya membalik, tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya bergerak cepat.

Terdengar jeritan mengerikan. Dua orang perwira Bhutan roboh dan tewas seketika. Akan tetapi pada detik itu juga, pedang Cui-beng-kiam di tangan Tek Hoat menyambar dan nyaris membabat putus leher kakek itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sambil membabatkan tombaknya ke seputar dirinya, membuat para pengeroyok terpaksa mundur.

Ketika meloncat bangun lagi, kakek itu mengusap pundaknya yang berdarah. Kiranya pedang Cui-beng-kiam masih sempat menyerempet pundaknya, membabat baju dan sebagian kulit dan daging pundaknya ikut terkupas! Marahlah kakek itu, akan tetapi diam-diam dia pun maklum bahwa saat akhirnya sudah dekat. Kedua tangannya sudah mulai gemetar dan napasnya sudah mulai memburu, apalagi pundak yang terkena pedang Cui-beng-kiam itu terasa panas dan perih, tanda bahwa racun pada pedang itu amatlah ampuhnya.

Melihat ini, Tek Hoat yang merasa kagum itu lalu membentak, “Hek-i Mo-ong, apakah engkau masih belum mau menyerah?”

Tiba-tiba kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha! Sekiranya Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sendiri datang, akan kulawan dan aku tidak sudi menyerah, apalagi menghadapi kalian!”

“Siapkan anak panah!” Tek Hoat memberi aba-aba.

Sepasukan pemanah yang telah siap dengan anak panah di busur kini menujukan ujung anak panah ke arah tubuh Hek-i Mo-ong! Akan tetapi, sebelum Tek Hoat mengeluarkan aba-aba terakhir untuk menghujankan anak panah dari jarak dekat kepada kakek itu tiba-tiba terdengar bentakan suara nyaring.

“Tahan! Jangan bunuh dia!”

Semua orang terkejut. Tek Hoat menoleh dan melihat betapa Ceng Liong datang sambil memegang lengan kiri Hong Bwee. Wajahnya berubah pucat dan dia pun cepat sekali membentak, “Tahan semua senjata!”

Syanti Dewi juga melihat bahwa puterinya telah dipegang oleh Ceng Liong dan tahu apa artinya. Ia menjadi marah, hendak bergerak meloncat untuk menyelamatkan puterinya. Akan tetapi lengannya dipegang oleh suaminya yang berbisik agar ia tenang.

“Ceng Liong, apa maksudmu mencegah kami membunuh pengkhianat?” bertanya Tek Hoat dengan suara lantang. Dia mencari kesempatan bagaimana untuk dapat menolong puterinya.

Akan tetapi, puterinya berdiri mepet dengan Ceng Liong dan tangan anak laki-laki itu sudah siap untuk mengirim serangan maut. Hal ini diketahuinya dari cara anak itu memegang tangannya. Yang amat mengherankan hatinya adalah melihat betapa wajah puterinya itu cerah saja, bahkan agak tersenyum seakan-akan tidak sedang dalam ancaman maut.

“Aku minta agar guruku dibebaskan!”

“Tidak mungkin....!” Tek Hoat berseru marah.

“Kutukar nyawa guruku dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!” Ceng Liong berkata lagi, suaranya lantang, sedikit pun dia tidak kelihatan gentar. Matanya penuh kewaspadaan mengerling ke kanan kiri dan kepalanya kadang-kadang menoleh ke belakang, agaknya dia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau dibokong dari belakang atau samping.

Mendengar ini, Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. “Jangan ganggu anakku!”

“Aku tak akan mengganggunya, selembar rambutnya pun tidak, asal guruku dibebaskan dan kami berdua dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini dengan aman,” jawab Ceng Liong tenang.

Tek Hoat saling bertukar pandang dengan isterinya. Mereka berdua merasa bingung sekali melihat sikap Ceng Liong. Bukankah anak itu yang mengkhianati gurunya dan yang melaporkan akan semua pengkhianatan dan rencana pemberontakan sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan? Bukankah Ceng Liong pula yang menyelamatkan Hong Bwee, membebaskannya dari tahanan pihak musuh? Mengapa sekarang Ceng Liong berbalik menolong gurunya dan menjadikan Hong Bwee sebagai sandera?

“Ceng Liong, apa artinya ini? Engkau adalah seorang anak yang amat baik dan berbudi, mengapa engkau hendak membela gurumu yang jahat ini? Tidak tahukah engkau bahwa gurumu ini sama sekali bukanlah seorang ahli pengobatan, melainkan seorang datuk kaum sesat yang tersohor dan berjuluk Hek-i Mo-ong? Dosanya terhadap Bhutan sudah bertumpuk, dan engkau masih ada muka untuk berusaha menyelamatkannya dengan mengancam puteri kami?”

“Aku berhutang budi kepadanya dan aku adalah muridnya. Budi adalah budi yang harus dibalas karena aku tidak mau menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Aku berhutang nyawa kepadanya, maka aku akan membalas budinya, tidak perduli dia jahat ataukah tidak. Andai kata dia jahat, kalau dia sudah melepas budi kebaikan kepadaku, apa harus kubalas dengan kejahatan? Aku menentang perbuatannya, bukan orangnya. Dan aku berguru ilmu kepadanya, bukan berguru kejahatan.”

Jawaban yang keluar dari mulut seorang anak kecil seperti itu mengejutkan hati Tek Hoat dan dia menduga bahwa anak ini pasti bukan anak sembarangan. Akan tetapi, hatinya tetap saja masih merasa tidak rela untuk membebaskan Hek-i Mo-ong begitu saja. Bukankah kakek iblis ini sudah menimbulkan bencana hebat yang mengorbankan nyawa banyak prajurit Bhutan? Dan bukankah kakek ini tetap akan merupakan bahaya besar kalau dibiarkan berkeliaran di kolong langit dan menimbulkan bencana-bencana baru di antara manusia?

“Ceng Liong, aku tidak percaya bahwa kalau kami membunuh Hek-i Mo-ong, engkau akan tega mencelakai Hong Bwee. Hatimu terlalu baik untuk melakukan kejahatan keji itu!” katanya untuk mencoba hati anak itu dan menundukkannya.

Akan tetapi, terkejutlah dia ketika melihat sepasang mata anak itu mencorong seperti mata seekor naga. “Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik mundur kembali! Apa pun yang akan terjadi, aku harus menyelamatkan guruku. Sekali lagi, aku minta agar nyawa guruku ditukar dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!”

“Ceng Liong, engkau akan ditentang oleh pendapat banyak orang, dan engkau akan dikutuk!” Tek Hoat masih membantah.

“Aku tidak menyandarkan hidupku pada pendapat atau kutukan orang. Orang boleh membenarkan atau menyalahkan aku, akan tetapi semua tindakanku adalah urusanku sendiri, semua akibatnya adalah urusanku sendiri, orang lain tidak turut campur!”

Kembali jawaban ini mengejutkan hati Tek Hoat.

Syanti Dewi yang sejak tadi memandang khawatir, tiba-tiba saja berkata dengan suara tinggi dan nyaring, “Bebaskan Hek-i Mo-ong! Aku menukar nyawanya dengan nyawa anakku!”

Wajah Ceng Liong yang tadinya tegang dan serius itu, kini menjadi cerah dan dia tersenyum lalu menjura ke arah Syanti Dewi. “Aku percaya bahwa ucapan seorang puteri seperti paduka akan ditaati oleh seluruh rakyat Bhutan. Aku minta agar paduka suka menjanjikan kepada kami berdua guru dan murid untuk dapat meninggalkan Bhutan dengan aman.”

Syanti Dewi mengangguk dan berkata lagi dengan lantang, “Biarkan Hek-i Mo-ong dan muridnya pergi meninggalkan Bhutan dengan aman. Siapa pun juga dilarang untuk mengganggu atau menghalangi kepergian mereka!”

Ceng Liong melepaskan tangannya dari lengan Hong Bwee, lalu tersenyum kepada anak itu. “Adik yang baik, terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga.”

Kini anak perempuan itu yang memegang lengan Ceng Liong dan suaranya terdengar sedih, “Ceng Liong, benarkah engkau mau pergi meninggalkan Bhutan? Meninggalkan aku?”

Ceng Liong mengangguk. “Engkau melihat sendiri bahwa aku terpaksa pergi. Kelak kita akan dapat bertemu lagi.”

“Benarkah? Engkau takkan lupa kepadaku? Engkau kelak akan mengunjungiku?”

Ceng Liong mengangguk.

Syanti Dewi sekali lompat telah berada di dekat anaknya yang segera dipeluknya dan ia memandang pada Ceng Liong dengan alis berkerut, lalu berkata agak ketus, “Pergilah cepat!”

Ceng Liong menghampiri gurunya. Sejenak mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Ceng Liong lalu berkata, “Mo-ong, mari kita pergi.”

Mendadak Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara menggeram dan menubruk Ceng Liong. Semua orang yang melihat merasa terkejut dan khawatir sekali, mengira bahwa kakek iblis itu akan membunuh murid yang telah mengkhianatinya itu.

Akan tetapi Ceng Liong tenang-tenang saja. Ternyata kakek itu malah memondongnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil tertawa bergelak! Suara tawanya menyeramkan hati semua orang, seperti ketawa setan yang menakutkan.

“Ha-ha-ha! Sungguh aneh! Sebentar engkau jadi musuhku, kemudian tiba-tiba menjadi penolongku. Sebentar aku ingin membunuhmu, di lain saat aku ingin memondong dan merangkulmu! Ha-ha-ha, engkau anak luar biasa, dan engkau tepat menjadi muridku. Ha-ha-ha-ha!”

Kakek itu lalu pergi sambil memondong Ceng Liong, menyeret tombak Long-ge-pang sambil tertawa-tawa. Tidak seorang pun berani menghalanginya. Pertama, karena Sang Puteri Syanti Dewi telah mengeluarkan perintahnya, dan kedua kalinya, karena memang mereka semua gentar menghadapi kakek iblis yang amat sakti itu.

Tek Hoat menggelengkan kepalanya, kagum sekali. Seorang kakek yang amat hebat, pikirnya. Dan muridnya itu bahkan lebih hebat lagi.

Peristiwa pemberontakan di Bhutan itu mengguncangkan sendi pertahanan negara kecil itu, maka Bhutan pun tidak mau banyak ribut ketika bala tentara Nepal menyerbu ke Tibet melalui perbatasan antara kedua negara. Asal Nepal tidak melanggar wilayah Bhutan, negara kecil ini lebih baik tinggal diam karena maklum bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu menandingi Nepal yang jauh lebih besar…..

********************

Himalaya merupakan pegunungan yang bukan saja paling besar di dunia, mempunyai puncak-puncak yang paling tinggi di dunia sehingga memperoleh sebutan Atap Dunia, akan tetapi juga sejak jaman dahulu terkenal sebagai tempat keramat dan di sanalah banyak pendeta dan pertapa tinggal mengasingkan diri dari dunia ramai.

Karena tempatnya sunyi terasing, maka bukan hanya mereka yang mencari sesuatu yang lebih luhur dari pada hal-hal duniawi yang membanjiri Pegunungan Himalaya, akan tetapi juga para buronan penting banyak yang mengasingkan diri ke tempat ini, karena di tempat yang amat luas dan sukar didatangi manusia ini mereka dapat bersembunyi tanpa khawatir akan dapat ditemukan orang.

Banyak pula orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi tinggal di situ, dan ada pula yang tinggal karena memang dapat menikmati keheningan yang luar biasa itu. Akan tetapi sebagian besar dari mereka itu, biar pun dipandang suci dan luhur oleh orang-orang awam, sebagai pertapa-pertapa dan pendeta-pendeta, sesungguhnya mereka itu hanyalah orang-orang yang masih mencari sesuatu, orang yang masih didorong oleh keinginannya memperoleh sesuatu.

Pada lahirnya mereka mengatakan, juga kepada diri mereka sendiri, bahwa mereka mengasingkan diri dari dunia ramai, bertapa dan bersepi di tempat sunyi, menyendiri, nampaknya secara lahiriah seperti menjauhi urusan duniawi. Akan tetapi, kalau mereka mau menjenguk ke dalam, mengamati batin sendiri, akan nampak dengan jelas bahwa kepergian mereka bertapa ke tempat sunyi itu tiada lain hanyalah merupakan suatu pelarian dan suatu usaha untuk mencari sesuatu yang mereka nilai lebih tinggi dari pada hal-hal biasa, sesuatu yang mereka harapkan akan dapat mendatangkan kebahagiaan kepada mereka!

Batin yang mengejar-ngejar sesuatu yang menyenangkan, meski yang menyenangkan itu sudah disulap menjadi sesuatu yang suci murni dan membahagiakan, berarti bahwa batin itu masih sibuk. Maka, kalau batin sibuk mengejar-ngejar, biar pun kita tinggal di tempat hening, mana mungkin dapat menyelami keheningan sejati? Untuk dapat menikmati dan menyelami keheningan, maka batin haruslah hening lebih dulu, dalam arti kata batin yang bebas dari pada segala keinginan memperoleh apa pun juga.

Seorang pertapa boleh mengatakan dengan tegas bahwa dia tidak mencari apa-apa. Akan tetapi, menolak atau menjauhi sesuatu itu sama artinya dengan mencari sesuatu, kecuali kalau kita benar-benar melihatnya bahwa yang kita jauhi itu adalah tidak baik bagi kita lahir mau pun batin. Dan bentuk pencarian, betapapun agungnya yang dicari-cari itu, berarti suatu pengejaran, suatu keinginan, suatu cita-cita. Dan di mana ada cita-cita, tentu timbul dalil bahwa cita-cita menghalalkan segala cara.

Dan dalam cara inilah letak persoalannya, karena cara inilah yang menentukan bersih dan kotornya. Bukan cita-cita yang hanya merupakan khayal dan keinginan yang belum tercapai saja. Yang penting bukan cita-citanya, melainkan caranya itulah. Dan cara-cara yang curang dan kotor timbul dengan ditutupi pakaian berupa alasan untuk atau demi cita-cita!

Seorang yang bercita-cita menjadi raja, tentu akan mempergunakan segala macam cara untuk melaksanakan cita-citanya agar terkabul. Kalau perlu, dia akan menyingkirkan semua rintangan dan saingannya, baik dengan cara jujur atau curang, bisa saja dia mencelakakan atau membunuh saingan-saingan yang menjadi penghalang cita-citanya, berjuang mati-matian demi mencapai cita-citanya itu. Hal ini bukan dongeng kosong belaka melainkan dapat kita lihat sendiri di seluruh penjuru dunia dan di negara mana pun juga. Sebaliknya, walau pun tanpa cita-cita menjadi raja, seorang yang benar-benar cakap dan berbakat dan tepat untuk kedudukan itu, bisa saja dipilih atau diangkat menjadi raja!

Seorang yang bercita-cita menjadi orang baik, akan berusaha sedapatnya untuk melakukan ‘hal-hal baik’ yang sesuai dengan penilaian umum, dan berbuatlah dia hal-hal yang sebenarnya palsu, mungkin berlawanan dengan hati nuraninya, hanya untuk memenuhi cita-citanya agar menjadi orang baik!

Kebaikan yang dilakukan adalah kebaikan palsu yang sangat berbahaya bagi dirinya sendiri mau pun bagi orang lain. Kemunafikan adalah ibarat harimau bertopeng domba, dan ini lebih berbahaya dari pada harimau dengan mukanya sendiri sehingga kita dapat menghindar atau berjaga diri. Orang yang hidupnya disinari cahaya cinta kasih, berbuat tanpa pamrih, wajar dan apa adanya, tidak menilai perbuatannya sebagai baik atau buruk. Perbuatan apa pun di dunia ini yang didasari cinta kasih, sudah jelas baik adanya!

Hek-i Mo-ong keluar dari Bhutan dan langsung saja memasuki daerah Himalaya untuk melaksanakan tugasnya yang ke dua, yaitu memecah-belah para penghuni atau para pendeta di sekitar Himalaya. Hek-i Mo-ong yang pernah menjadi pertapa di Himalaya ketika dia sedang mematangkan ilmu-ilmunya, mempunyai banyak kenalan dan sahabat baik di daerah ini. Dia mengunjungi mereka satu demi satu, bicara soal ilmu dan secara sambil lalu dia mulai menghasut dan mengadu domba antara pertapa yang dikenalnya, memanaskan hati mereka dengan membanding-bandingkan ilmu mereka, mencela yang satu memuji yang lain.

Ceng Liong merasa girang dan suka sekali dengan perjalanan ke Himalaya ini. Dia bertemu dengan bermacam orang yang lihai-lihai. Dan para pertapa itu hampir semua suka kepadanya, melihatnya sebagai seorang anak yang amat berbakat dan mereka tidak pelit untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Ceng Liong.

Anak ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa tidak mungkin untuk memetik hasil dari pertemuan dengan orang-orang sakti itu kalau hanya dalam waktu beberapa hari, maka ia pun mencatat dan menghafal semua ilmu atau petunjuk yang diterimanya dari mereka dengan keputusan untuk kelak perlahan-lahan semua teori itu dilatih dan dipraktekkan.

Ceng Liong bukan hanya menerima banyak petunjuk dan menambah pengalamannya dalam hal ilmu silat, akan tetapi dia juga mulai berkenalan dengan orang-orang ahli ilmu gaib dan mistik. Dia belajar pula tentang meditasi dan yoga dari seorang pertapa bangsa India. Dia tidak memperdulikan apa yang dikerjakan oleh gurunya, tidak mau mencampurinya, melainkan tekun belajar dari para pertapa yang sakti.

Hek-i Mo-ong adalah seorang tokoh besar yang dipercaya oleh sebagian besar para pendeta dan pertapa. Oleh karena itu, tidak aneh kalau hasutan-hasutannya menemui sasaran dan berhasil baik. Terjadilah ketegangan-ketegangan dan kesalah pahaman di antara para tokoh sakti di pegunungan itu. Walau pun mereka itu belum sampai saling serang secara terbuka, tapi setidaknya mereka telah saling tak percaya dan kehilangan persatuan sehingga ketika bala tentara Nepal melintasi pegunungan itu untuk menyerbu ke Tibet, mereka pun diam saja dan tidak memperdulikannya.

Berkat usaha Hek-i Mo-ong yang sementara itu telah mengajak muridnya kembali ke timur, akhirnya pasukan-pasukan Nepal dapat menyerbu Tibet dan menduduki Tibet. Penguasa Tibet dibunuh dan sebagai penggantinya, diangkatlah seorang pendeta Lama yang menjadi boneka Nepal.

Kaisar Kian Liong mendengar akan peristiwa penyerbuan dan penaklukan Tibet oleh pasukan Nepal. Marahlah kaisar. Tibet menupakan daerah yang biar pun tidak dijajah, namun merupakan daerah yang telah mengakui kedaulatan Dinasti Ceng. Penyerbuan Tibet oleh pasukan Nepal yang malah mendudukinya itu berarti merupakan tamparan bagi muka kerajaannya dan sebagai tantangan.

Maka kaisar lalu memanggil Jenderal Muda Kao Cin Liong untuk menghadap. Setelah kaisar juga memanggil para panglima lain mengadakan perundingan, diperintahkannya agar Jenderal Muda Kao Cin Liong membawa pasukan besar membebaskan Tibet dari cengkeraman pasukan Nepal dan juga agar memberi hajaran kepada Kerajaan Nepal yang sudah berani melakukan penghinaan terhadap Kerajaan Ceng.

Berangkatlah bala tentara besar dari Kerajaan Ceng dan terjadilah perang besar antara bala tentara Kerajaan Ceng melawan pasukan-pasukan Nepal untuk memperebutkan Tibet. Perang memperebutkan Tibet ini merupakan adu kekuatan antara dua negara yang sudah lama saling bermusuhan ini dan yang celaka adalah rakyat Tibet di mana perang itu terjadi.

Jika sebuah dusun diduduki tentara Nepal, rakyat dusun itu dipaksa untuk membantu pasukan Nepal dan karenanya mereka dicap sebagai kaki tangan Nepal. Kalau tentara Nepal mundur dan dusun itu jatuh ke tangan tentara Ceng, tentu seisi dusun yang dianggap kaki tangan Nepal itu akan dihancurkan! Dan demikian sebaliknya.

Bangsa Tibet tidak dapat memilih, karena mereka adalah bangsa yang lemah dan tidak pandai perang. Mereka harus mengorbankan harta bendanya, bahan makanan, anak-anak perempuan dan isteri-isteri yang masih muda. Mereka ditindas, diperas, dihina tanpa ada yang dapat melindungi mereka. Hanya doa mereka saja yang semakin banyak dan semakin kuat dilontarkan kepada para dewa yang agaknya tidak juga mau mendengarkan dan memenuhi permintaan dalam doa-doa mereka.

Perang antara Kerajaan Nepal dan Kerajaan Ceng ini terjadi dengan hebat dan banyak korban jatuh di kedua pihak. Jenderal Muda Cin Liong dibantu oleh para panglima harus mengerahkan tenaga sebab pihak musuh bukanlah pasukan lemah, melainkan pasukan terlatih yang sudah berhasil melintasi Pegunungan Himalaya yang demikian sukarnya.

Akan tetapi, akhirnya bala tentara Nepal yang terhalang Pegunungan Himalaya dengan kerajaannya sehingga sukar menerima bala bantuan itu, terpaksa mundur. Kao Cin Liong pernah terluka dalam perang besar ini, akan tetapi setelah berobat dan sembuh, dia memimpin lagi pasukannya melakukan pengejaran, bahkan terus menyerbu masuk ke dalam Negara Nepal! Perang itu dilanjutkan sampai ke Nepal, berlarut-larut sampai makan waktu kurang lebih dua tahun lamanya!

Dan perang, seperti terbukti dalam sejarah semenjak jaman dahulu sampai sekarang, merupakan mala petaka paling mengerikan bagi umat manusia. Harta benda musnah, banyak nyawa melayang dengan sia-sia, di mana-mana terjadi kekejaman-kekejaman yang mengerikan, setiap negara mengorbankan nyawa bangsanya yang tidak sedikit jumlahnya. Dan semua itu hanya untuk mencapai apa yang disebut kemenangan!

Kemenangan yang sementara saja, karena sementara itu yang kalah selalu mencari kesempatan untuk bangkit lagi, untuk membalas dendam. Rakyat dijadikan permainan beberapa gelintir orang yang dinamakan pemimpin, dan di lain pihak, beberapa gelintir pemimpin ini pun menjadi permainan dari nafsu keinginan mereka masing-masing, menjadi korban permainan ambisi

.....

********************

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui, dan sekarang marilah kita mengikuti perjalanannya…..

Dengan hati yang dihimpit kedukaan, kekecewaan dan kemarahan gadis ini minggat dari rumahnya, meninggalkan sepucak surat untuk orang tuanya, mengatakan bahwa ia pergi hendak mencari dan membunuh Kao Cin Liong. Hatinya dihimpit kedukaan dan kekecewaan mengingat akan perbuatan Cin Liong terhadap dirinya dan pernyataannya dalam surat bahwa ia hendak mencari dan membunuh Cin Liong tidak dilebih-lebihkan, karena memang pada saat itu satu-satunya keinginan hatinya adalah bertemu dengan Cin Liong, menantangnya dalam perkelahian yang akan berakhir dengan kematian Cin Liong atau kematian dirinya sendiri.

Dan ia marah kepada ayahnya yang memaksanya berjodoh dengan Tek Ciang. Kenapa ayahnya tidak mau tahu bahwa ia tidak cinta kepada suheng-nya itu dan tidak mungkin menjadi isterinya? Ia sudah memberi alasan dan mengajukan syarat agar Tek Ciang dapat mengalahkannya, tapi ayahnya malah membantu Tek Ciang dengan menjanjikan untuk mewariskan semua ilmunya kepada pemuda itu agar dapat mengalahkannya. Ia sungguh marah dengan keputusan ayahnya itu!

Tentu saja tempat yang ditujunya untuk mencari Cin Liong adalah kota raja. Semua orang tahu siapa Jenderal Muda Kao Cin Liong dan di mana letak istananya. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika mendengar bahwa jenderal muda itu telah pergi ke barat memimpin pasukan untuk memerangi pasukan Nepal yang telah menguasai Tibet.

Dengan nekat, gadis yang hidupnya menjadi pahit getir oleh rasa dendam ini menyusul ke barat, ke Tibet! Dapat dibayangkan betapa susah payahnya perjalanan yang amat jauh itu. Apalagi dengan adanya perang di Tibet, keadaan di tengah perjalanan menjadi tidak aman. Orang-orang jahat yang suka mengail di air keruh banyak mempergunakan kesempatan itu untuk beraksi. Banyak perampok bermunculan di jalan-jalan.

Suma Hui adalah seorang pendekar wanita yang sama sekali tidak gentar menghadapi semua gangguan di perjalanan. Akan tetapi, oleh karena setiap kali bertemu penjahat ia tentu turun tangan dan membasminya, dan baru puas kalau ia sudah berhasil, maka perjalanannya menjadi semakin lambat. Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan, barulah ia tiba di perbatasan Tibet.

Akan tetapi, betapa kecewa rasa hatinya ketika ia mendengar bahwa perang di daerah itu telah selesai dan kini pasukan pemerintah Ceng melakukan pengejaran terhadap pasukan musuh ke Negara Nepal! Biar pun Suma Hui seorang gadis yang keras hati dan tabah, bahkan selama perjalanan berbulan-bulan itu ia tidak pernah mau menyerah dengan keadaan yang sukar dan tetap tabah, kali ini tidak dapat menahan air matanya karena kecewa. Ia meninggalkan perbatasan itu, kembali ke timur dan ketika ia berhenti di luar sebuah dusun yang sunyi, ia duduk di atas batu dan menangis.

Ia tidak dapat menghentikan kenangannya akan masa lalu, mengingat kembali nasib yang menimpa dirinya. Rasanya baru kemarin terjadinya. Mula-mula ia hidup dengan riang gembira bersama Ciang Bun dan Ceng Liong di Pulau Es. Akan tetapi dalam satu hari saja, berubahlah seluruh kehidupannya, dimulai dengan penyerbuan Pulau Es oleh para datuk sesat dan sejak hari itu, bermacam mala petaka menghantuinya.

Cintanya dengan Cin Liong terhalang oleh tentangan ayahnya, kemudian yang terakhir sekali peristiwa terkutuk di malam jahanam itu ketika Cin Liong menghancurkan segala-galanya dalam dirinya, lahir batin. Semua itu masih ditambah beban batin lagi ketika ayahnya mendesaknya untuk menikah dengan Tek Ciang.

“Ya Tuhan.... apa yang harus kulakukan....?” Demikian gadis itu menangis dan merintih dalam batinnya.

Kemudian timbul lagi semangatnya. Bagaimana pun juga, ia akan menanti sampai Cin Liong kembali dari perang, kemudian mencarinya dan menuntut balas. Kalau ia kalah dan tewas di tangan pemuda itu, hal yang ia merasa yakin pasti terjadi mengingat bahwa pemuda itu jauh lebih lihai dari padanya, maka hal itu baik sekali. Memang Cin Liong sama dengan telah membunuhnya, membunuh semua gairah hidupnya dengan melakukan perbuatan terkutuk memperkosanya itu.

Akan tetapi kalau pemuda itu mengalah dan tidak melawan, dia akan membunuhnya! Dan setelah itu, entah apa yang akan dilakukannya! Setidaknya, ia masih mempunyai satu tujuan dalam hidupnya, yaitu menanti dan menemui Cin Liong untuk membalas dendam! Dengan jalan pikiran ini, hatinya terasa lebih tenang dan tangisnya terhenti.

Duka adalah permainan pikiran yang mengenang kembali hal-hal yang telah lalu atau membayangkan hal-hal yang belum terjadi sehingga terciptalah rasa iba diri yang menimbulkan rasa duka. Kenangan masa lalu tentang peristiwa-peristiwa yang merugikan dirinya lahir mau pun batin, dan bayangan-bayangan masa depan yang suram dan tidak menyenangkan.

Tanpa mengenangkan masa lalu atau membayangkan masa depan, melainkan menghadapi saja kenyataan saat ini dengan penuh kewaspadaan, akan melenyapkan rasa duka. Di dalam pengamatan penuh kewaspadaan akan saat ini, yaitu setiap saat dalam hidup ini, tanpa pamrih untuk menemukan sesuatu, hanya mengamati saja dengan waspada, tanpa prasangka, tanpa penilaian atau perbandingan, berarti kita hidup dalam arti kata yang sesungguhnya!

Sesungguhnyalah bahwa hidup adalah saat ini, bukan kemarin dan bukan esok, bukan tadi dan bukan nanti. Ini bukan berarti bahwa setiap saat kita harus bersenang-senang atau mengejar kesenangan! Akan tetapi, apa manfaatnya membenamkan diri ke dalam lembah duka dari kekecewaan?

Setelah hatinya tenang, Suma Hui melanjutkan perjalanannya. Tiada gunanya baginya untuk menanti di daerah Tibet yang baru saja dilanda perang dan rakyatnya masih dalam keadaan panik dan sengsara itu.

Dia kembali ke timur dan setelah melakukan perjalanan berbulan lamanya, pada suatu hari tibalah ia di kota Ceng-tu di Propinsi Se-cuan. Di sebelah selatan kota ini terdapat Omei-san, sebuah gunung yang indah dan menjadi tempat pesiar penduduk daerah itu. Karena tertarik, pada suatu pagi yang cerah, Suma Hui juga mendaki Omei-san untuk menikmati pemandangan indah di gunung itu di mana terdapat pohon-pohon yang ratusan tahun usianya dan bunga-bunga yang tidak dapat ditemukan di daerah timur.

Tetapi agaknya ia datang terlalu pagi. Tempat itu masih sunyi, belum ada pengunjung lain yang datang. Namun bagi Suma Hui, hal ini malah kebetulan karena orang yang sedang murung biasanya lebih suka menyendiri. Ia bahkan dapat menikmati matahari terbit muncul dari balik puncak tanpa terganggu oleh kehadiran orang lain.

Angin pagi pegunungan amat sejuk dan menyegarkan udara yang bersih itu. Cuaca amat lembut dengan cahaya matahari yang belum muncul sepenuhnya, mengecat segala sesuatu dengan warna keemasan yang cemerlang. Mutiara-mutiara embun bergantung di ujung daun-daun pohon berkilauan amat indahnya, juga ujung rumput-rumput hijau subur dihias mutiara embun sehingga sekilas pandang rumput-rumput itu seperti hiasan dari batu giok hijau yang dirias mutiara.

Sinar matahari lembut yang menerobos celah-celah daun pohon menciptakan seberkas cahaya yang mempesonakan, seolah-olah merupakan bukti hubungan yang tak dapat terpisahkan antara bumi dan langit. Apakah artinya bumi tanpa adanya cahaya matahari yang menghidupkannya dan yang membuatnya demikian indahnya? Sebaliknya, apa pula artinya cahaya matahari tanpa adanya bumi yang menampungnya? Kesatuan Im dan Yang ini menciptakan kemukjijatan, kebesaran, keagungan, dan keindahan yang amat hebat dan mengharukan. Namun sayang, manusia terlalu disibukkan oleh hal yang remeh-remeh, yang kecil-kecil, yang bersumber kepada kepentingan dan kesenangan diri pribadi sehingga kemukjijatan itu tidak pernah dapat dinikmati atau dikaguminya lagi.

Suma Hui duduk di atas batu besar dan pada saat itu, ia menikmati semua keagungan ini. Ia seperti ditelan oleh keheningan yang mempesona. Ia tidak merasa bahwa dirinya terpisah dari semua itu, tidak terpisah dari cahaya matahari, dari rumput-rumput dan mutiara-mutiara embun itu, dari burung-burung yang mulai berloncatan, beterbangan dan berkicau riang.

Ia seperti kehilangan dirinya yang sudah dilebur menjadi satu dengan keheningan itu sendiri. Tidak ada duka, tidak ada kecewa, tidak ada sengsara, tidak ada apa-apa lagi. Yang ada hanyalah keheningan yang amat indahnya, bukan indah lagi karena sudah tidak dapat diukur oleh pikiran dan akal budi.

Tiba-tiba telinganya menangkap bentakan-bentakan disusul suara angin pukulan tanda-tanda orang berkelahi. Bagaikan diseret kembali ke dalam dunia kenyataan, Suma Hui menengok ke kiri, ke arah dari mana datangnya suara itu dan melihat seorang pemuda dikeroyok oleh tiga orang. Mereka adalah seorang pemuda dan dua orang gadis.

Dari jauh Suma Hui melihat bahwa pemuda yang dikeroyok itu memiliki gerakan yang lebih mantap dan cepat, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu mengalah sehingga terdesak hebat oleh tiga orang pengeroyoknya yang kelihatan marah sekali itu. Akan tetapi, Suma Hui terkejut sekali dan tertarik hatinya ketika mengenal gerakan pemuda yang dikeroyok itu. Gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Cepat tubuhnya melesat dan ia pun sudah berlari turun dari lereng itu menghampiri mereka yang sedang berkelahi. Setelah kini dapat melihat jelas, ia menjadi semakin kaget mengenal bahwa pemuda yang dikeroyok itu bukan lain adalah adiknya sendiri, Suma Ciang Bun!

Pada saat itu, Ciang Bun yang selalu mengalah, tidak pernah membalas itu terkena hantaman tangan kanan pemuda yang mengeroyoknya, terkena pukulan pada pundak sehingga tubuhnya terjengkang dan roboh. Akan tetapi, biar pun pukulan itu keras sekali, agaknya tidak sampai melukai tubuh Ciang Bun yang terlatih dan dengan sinkang-nya pemuda ini dapat melindungi tubuhnya. Maka dia pun sudah dapat bangkit lagi sambil berkata, “Kenapa engkau memukulku....?”

Melihat ini, Suma Hui tidak dapat menahan sabarnya lagi. Adiknya dikeroyok tiga dan jelas bahwa adiknya mengalah. Kalau adiknya balas menyerang, ia merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak akan dapat bertahan lama. Maka ia pun mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya meluncur ke depan, kaki tangannya bergerak cepat bukan main dan ia telah terjun ke dalam gelanggang perkelahian, menyerang tiga orang pengeroyok itu bertubi-tubi. Hebat bukan main serangan Suma Hui ini, terlampau cepat bagi tiga orang lawannya.

“Plakk! Plakk! Dukkk!”

Dua orang gadis pengeroyok itu telah kena ditamparnya, sedangkan pemuda itu harus menerima tendangannya. Tubuh mereka terpelanting dan terdengar mereka mengaduh.

Masih untung bagi mereka bahwa Suma Hui tidak menggunakan semua tenaganya. Dara ini memang tidak bermaksud membunuh mereka. Ia belum tahu urusannya maka dia pun hanya menyerang untuk menghentikan pengeroyokan mereka saja. Walau pun yang dikeroyok adiknya sendiri, akan tetapi sebelum ia tahu urusannya, ia tidak mau menurunkan tangan maut.

“Enci, jangan....!” Suma Ciang Bun berseru.

Pemuda ini sudah memegangi lengan enci-nya, agaknya merasa khawatir kalau-kalau enci-nya akan melanjutkan serangannya menghajar tiga orang pengeroyok itu.

Suma Hui memandang adiknya dan merangkulnya. Sudah kurang lebih dua tahun ia tidak berjumpa dengan adiknya dan wajah adiknya yang tampan itu kini nampak kurus.

“Bun-te....!”

“Enci Hui.... aku mencarimu ke mana-mana tanpa hasil....”

“Bun-te apakah yang telah terjadi? Siapakah mereka ini?”

Agaknya Ciang Bun baru teringat akan ketiga orang pengeroyoknya dan jawabannya sangguh membuat enci-nya terheran-heran, “Mereka.... adalah sahabat-sahabatku.”

Tentu saja selain merasa heran, hati dara perkasa itu juga marah sekali. Ia melepaskan rangkulannya dari pundak adiknya dan melangkah maju, menghadapi tiga orang yang kini telah bangkit berdiri itu.

“Hemm, kalian ini manusia-manusia tidak tahu malu. Kalian mendengar sendiri betapa adikku menyebut kalian sahabat-sahabat dan tadi jelas bahwa adikku mengalah. Kalau tidak, apa sukarnya bagi adikku untuk merobohkan atau bahkan membunuh kalian dalam sepuluh jurus saja?”

Dua orang gadis pengeroyok itu hanya cemberut dan Suma Hui kini melihat bahwa mereka adalah dua orang gadis yang cukup manis. Sedangkan pemuda yang tampan dan usianya antara dua puluh tahun itu menarik napas panjang, memandang Suma Hui dan berkata dengan nada suara sedih, “Kami tahu bahwa dia adalah seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, akan tetapi budinya tidak setinggi kepandaiannya sehingga kami melupakan kebodohan sendiri dan terpaksa menentangnya.”

Suma Hui menoleh kepada adiknya. Ia ingin tahu persoalannya, akan tetapi ia lebih senang mendengarnya dari mulut adiknya dari pada mendengarkan keterangan fihak lawan. “Bun-te, apakah yang telah terjadi?”

Pemuda itu menundukkan mukanya dan menggeleng kepala. “Tidak apa-apa, enci Hui, akulah yang bersalah.” Dan dia pun tidak mau bicara apa-apa lagi, nampak sungkan dan malu.

Akan tetapi Suma Hui menjadi semakin penasaran. Tidak mungkin adiknya salah. Ia mengenal benar watak adiknya yang halus budi dan tidak mau melakukan hal-hal yang tidak betul. Maka ia pun menoleh kepada pemuda tampan tadi dan bertanya, “Coba ceritakan, apa kesalahan adikku maka kalian bertiga mengeroyoknya secara tak tahu malu.”

Bagaimana pun juga, suara Suma Hui agak lunak ketika melihat bahwa tiga orang itu sebenarnya mempunyai pedang yang tergantung di punggung masing-masing. Tadi ketika mereka mengeroyok Ciang Bun, mereka hanya menggunakan tangan kosong, hal ini saja membuktikan bahwa biar pun mereka marah-marah kepada Ciang Bun, akan tetapi mereka tidak berniat untuk membunuh.

Pemuda itu lalu bercerita. Akan tetapi bagaimana pun juga jujurnya, tentu saja ceritanya mengandung dasar memenangkan diri sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita mengikuti sendiri pengalaman Suma Ciang Bun sampai dia bertemu dengan mereka dan mengapa dia sampai dikeroyok oleh tiga orang muda itu.

Seperti kita ketahui, sepeninggal enci-nya, Ciang Bun merasa tidak betah di rumah dan tak lama kemudian dia pun pergi meninggalkan rumahnya untuk mencari enci-nya. Dia merasa gelisah memikirkan enci-nya, dan juga dia merasa sakit hati mendengar bahwa ayahnya akan mewariskan semua ilmu keluarga mereka kepada Tek Ciang yang tidak disenanginya.

Akan tetapi, tidaklah mudah mencari jejak seorang gadis seperti Suma Hui yang melakukan perjalanan diam-diam dan cepat pula. Dengan susah payah Ciang Bun mencari enci-nya, sampai berbulan-bulan tanpa hasil. Bahkan dia pun sudah pergi ke kota raja, karena dia menduga bahwa enci-nya yang pergi mencari Cin Liong tentu menyusul ke kota raja.

Akan tetapi, di kota raja dia tidak dapat menemukan enci-nya. Dia mendengar bahwa Cin Liong juga tidak berada di kota raja karena jenderal muda itu memimpin pasukan untuk mengusir Bangsa Nepal yang menduduki Tibet.

Pemuda yang cerdik ini berpendapat bahwa enci-nya sedang mencari Cin Liong. Kalau jenderal itu kini pergi ke Tibet, enci-nya yang keras hati itu besar kemungkinannya pergi menyusul ke Tibet pula. Dengan pikiran ini, dia pun mengambil keputusan untuk pergi menyusul ke barat, akan tetapi kesempatan itu hendak digunakannya untuk menikmati keramaian kota raja.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es