KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-21


Untung baginya, hanya namanya saja yang terkenal. Hek-i Mo-ong adalah nama julukan yang terkenal sekali di dunia kang-ouw, bahkan sampai jauh ke timur, dikenal oleh semua golongan, baik golongan para pendekar ataupun penjahat, golongan putih mau pun hitam. Akan tetapi, jarang ada orang yang mengenal mukanya.

Dia bukan sembarang kaum sesat, melainkan seorang datuk yang tidak sembarangan dapat ditemui orang. Karena ini, maka dengan menyamar dan menyembunyikan nama julukannya, dia akan dapat melaksanakan tugas itu dengan mudah.

Dalam penyamarannya, Hek-i Mo-ong tidak meninggalkan warna hitam pakaiannya. Memang sejak dahulu dia suka memakai pakaian serba hitam. Akan tetapi, sekarang pakaiannya yang berwarna hitam itu dibentuk seperti pakaian yang biasa dipergunakan oleh sinshe tukang obat. Dan dia pun menyuruh Ceng Liong untuk mengganti sebutan Mo-ong dengan sebutan kakek.

“Kita akan melakukan perjalanan rahasia, melaksanakan tugas penting sekali. Maka kita harus menyamar. Aku akan menyamar sebagai seorang ahli obat dan tukang sulap, dan engkau adalah cucuku, juga pembantuku. Ingat, namaku adalah Phang Kui, aku adalah kakekmu dan pekerjaanku tukang obat dan tukang sulap. Engkau tetap bernama Ceng Liong, akan tetapi demi keselamatan sendiri, lebih baik engkau jangan menyebutkan nama keturunanmu. Nama keturunan Suma terlalu menyolok dan kalau engkau mau menyebut nama keturunan juga, engkau boleh saja memakai nama keturunanku, yaitu Phang. Mengertikah engkau, Ceng Liong?”

“Baik, kong-kong,” jawab anak yang cerdik itu sehingga gurunya tertawa senang disebut kong-kong. “Dan sekarang kita hendak berangkat ke manakah? Apakah langsung ke Bhutan? Atau ke Himalaya?” Anak itu mendengarkan ketika gurunya bicara dengan gubernur, maka dia pun mengerti akan tugas gurunya.

Akan tetapi Hek-i Mo-ong menggeleng kepala. “Tidak, kita akan berangkat dulu ke kota Ceng-tu di Se-cuan.”

Karena Ceng Liong tidak mengerti, dia pun tidak banyak bertanya lagi dan berangkatlah guru dan murid itu menuju ke Propinsi Se-cuan. Kenapa mereka hendak ke Se-cuan? Hek-i Mo-ong adalah seorang yang sangat cerdik dan kepergiannya ke Se-cuan sudah diperhitungkannya dengan masak, termasuk ke dalam rencananya untuk melaksanakan tugas itu sebaik mungkin.

Gubernur Se-cuan adalah seorang pangeran. Dia adalah Pangeran Yung Hwa, saudara dari mendiang Kaisar Yung Ceng, ayah Kaisar Kian Liong yang sekarang. Pangeran Yung Hwa ini pernah menentang kaisar yang dahulu, maka sebagai hukumannya dia dibuang secara halus dengan diangkat menjadi gubernur di Propinsi Se-cuan.

Hek-i Mo-ong tahu riwayat Gubernur Se-cuan, yaitu Pangeran Yung Hwa yang sekarang telah berusia empat puluh dua tahun ini. Ia sudah tahu pula bahwa Pangeran Yung Hwa yang menjadi Gubernur Se-cuan ini kenal baik dengan keluarga Raja Bhutan, maka gubernur ini dapat diharapkan bantuannya. Apalagi karena peristiwa pembuangannya itu sedikit banyak tentu menimbulkan dendam di hatinya.

Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, sebuah gerobak kuda sederhana memasuki kota Ceng-tu yang ramai. Kereta yang sederhana itu menarik perhatian karena kudanya diberi rumbai-rumbai dengan kertas-kertas berwarna, dan di dinding kereta terdapat tulisan besar menyolok SINSHE PHANG, AHLI OBAT, RAMAL, DAN SULAP.

Di atas tempat duduk kusir itu duduk seorang anak berusia sepuluh tahun lebih yang tubuhnya tegap, wajahnya tampan dan mulutnya selalu tersenyum-senyum memandang ke kanan kiri, sinar matanya tajam dan penuh keberanian. Anak ini pandai sekali mengendalikan kuda besar yang menarik kereta, dan dia tersenyum-senyum kepada semua orang yang memperhatikan kereta itu.

Hek-i Mo-ong sendiri yang kini berganti sebutan menjadi Sinshe Phang, sedang tidur melenggut di dalam kereta. Namanya yang asli memang Phang Kui, akan tetapi di dunia kang-ouw dia tidak dikenal dengan nama itu, bahkan tidak ada orang mengenal nama aslinya. Karena itu, dia berani mempergunakan nama aslinya dengan tenang.

Ketika terbangun dan melihat bahwa mereka telah memasuki kota Ceng-tu, Sinshe Phang menyuruh Ceng Liong yang kini disebutnya sebagai cucunya itu untuk langsung pergi ke pusat kota. Di dekat pasar mereka menghentikan kereta dan tidak lama kemudian terdengarlah suara tambur dan canang dipukul oleh kakek dan cucunya ini. Orang-orang berdatangan dan sebentar saja para penonton disuguhi tontonan sulap yang amat menarik. Kakek itu pandai sekali bermain sulap dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia memang seorang ahli sihir. Dengan permainan sulapnya, dia berhasil menarik banyak penonton.

Kemudian dia pun mendemonstrasikan kemahirannya mengobati orang. Sakit gigi, sakit pening, sakit perut, semua disembuhkannya dengan cepat di tempat itu juga. Bagai mana pun juga, seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong tentu saja pandai dalam hal ilmu pengobatan, apalagi hanya untuk menyembuhkan penyakit yang remeh dan ringan.

Ada pula yang tertarik dan minta diramal nasibnya. Semua biaya pengobatan atau pun meramal itu ditarik dengan tarip ringan sekali sehingga banyak orang yang merasa puas dan sebentar saja nama Sinshe Phang terkenal di kota Ceng-tu itu.

Kakek dan cucunya itu mondok di kamar sebuah rumah penginapan sederhana dan setiap hari mereka membuka pertunjukan di dekat pasar. Dalam waktu beberapa hari saja, terkenallah namanya, bahkan sampai ke gedung gubernuran. Tersiar berita bahwa Ceng-tu kedatangan seorang sinshe yang amat pandai dan lagi taripnya amat murah.

Pada suatu pagi, tiga hari kemudian, ketika Sinshe Phang dan Ceng Liong sedang sibuk melayani para peminat, kakek itu memeriksa dan Ceng Liong yang mempersiapkan obatnya, datanglah sebuah kereta ke tempat itu. Sebuah kereta yang mewah dan dari jauh saja sudah nampak bahwa kereta itu bukan kereta sembarangan, melainkan kereta seorang pembesar. Kereta itu dikawal oleh selosin pasukan pengawal.

Sebelum kereta dekat, Sinshe Phang sudah bertanya kepada seorang penonton yang dijawabnya bahwa yang datang itu adalah kereta gubernur! Tentu saja Sinshe Phang menjadi girang sekali. Cepat ditulisnya beberapa huruf di atas kertas tanpa dilihat orang lain dan diberikan kertas tulisan itu kepada Ceng Liong. Anak ini membacanya dan mengangguk sambil meremas hancur kertas tulisan itu. Gurunya sedang merencanakan sesuatu yang amat bagus! Dan dia pun sudah siap membantunya.

Kini kereta mewah itu berhenti di dekat tempat Sinshe Phang membuka prakteknya. Para pengawal memerintahkan penonton membuka jalan agar penghuni kereta dapat menyaksikan pertunjukan yang diperlihatkan oleh Sinshe Phang. Pintu dan jendela kereta dibuka dan nampaklah seorang wanita cantik berusia tiga puluhan tahun, berpakaian mewah. Di sebelahnya duduk pula seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun, dengan pakaian mewah dan rambutnya dikuncir dua, manis sekali.

Orang-orang yang mengenal wanita itu saling berbisik. Itulah seorang isteri muda Gubernur Yung Hwa, seorang di antara selir-selirnya yang paling disayangnya, yang datang menonton pertunjukan Sinshe Phang bersama puterinya. Memang wanita ini mendengar tentang keahlian Sinshe Phang. Sudah lama ia menderita pening-pening pada kepalanya dan sudah banyak ia makan obat, akan tetapi tidak juga peningnya hilang. Maka, mendengar akan kepandaian Sinshe Phang, ia ingin menyaksikan sendiri, kemudian kalau hatinya yakin, ia pun akan minta pengobatan.

Sinshe Phang pura-pura tidak melihat bahwa ada wanita cantik selir gubernur yang memperhatikannya dan ikut menonton dari dalam kereta itu. Akan tetapi diam-diam dia sengaja mempertontonkan kepandaiannya, bermain sulap yang amat menggembirakan anak perempuan di dalam kereta itu. Bahkan saat dia menyulap sepotong batu berubah menjadi seekor burung dara yang terbang melayang ke udara, anak perempuan itu bertepuk tangan dan bersorak, “Bagus! Bagus....!”

Akan tetapi ibu anak itu lebih memperhatikan cara Sinshe Phang menyembuhkan beberapa orang yang datang berobat, terutama sekali orang yang menderita penyakit kepala pening. Melihat betapa Sinshe Phang kadang-kadang mempergunakan jari-jari tangannya menekan di sana-sini bagian kepala, atau menggunakan sebuah jarum emas menusuk beberapa tempat tanpa yang ditusuk itu mengeluh nyeri atau mengeluarkan darah, kemudian melihat orang-orang itu dapat disembuhkan seketika, nyonya itu merasa tertarik sekali.

Pada saat itu, para pengawal juga menonton dengan hati tertarik dan kadang-kadang mereka itu tertawa melihat Sinshe Phang bermain sulap sambil melucu. Juga kusir kereta itu duduk santai, tidak lagi memperdulikan dua ekor kudanya yang sudah diberi makanan di depannya.

Biar pun para pengawal itu juga merupakan orang-orang yang tahu ilmu silat, akan tetapi gerakan Sinshe Phang sedemikian cepatnya sehingga tidak ada seorang pun di antara mereka yang melihatnya ketika tiba-tiba saja dari jari-jari tangannya meluncur dua butir batu kecil yang dengan tepatnya menghantam dan melukai pantat dua ekor kuda yang sedang makan itu.

Tiba-tiba dua ekor binatang itu meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan ke atas lalu meloncat ke depan. Kereta itu tertarik keras dan kusir yang sedang enak-enak duduk miring itu terlempar keluar, terpental dari tempat duduknya dan terbanting ke atas tanah. Para pengawal terkejut bukan main melihat dua ekor kuda itu kabur.

Beberapa orang penonton bahkan ada yang tertabrak dan jatuh tunggang-langgang dan orang-orang berteriak-teriak ketakutan karena dua ekor kuda itu membalap tanpa ada yang mengendalikan. Akan tetapi, ketika kusir kereta tadi terpelanting, ada bayangan kecil yang dengan cekatan telah melompat ke atas tempat duduk kusir. Bayangan ini adalah seorang anak kecil dan semua orang mengenalnya sebagai cucu Sinshe Phang. Sementara itu, terdengar jerit-jerit ketakutan dari dalam kereta.

Ceng Liong yang sudah diberi isyarat oleh gurunya memang sudan siap siaga. Maka ketika dia melihat gurunya mempergunakan ilmu melempar batu-batu kecil dengan sentilan jari tangan, dia sudah mendekati kereta. Begitu kuda kabur dan kusir terlempar keluar, dia sudah meloncat dengan cekatan sekali dan berhasil mencapai tempat duduk kusir.

Dia segera menyambar tali kendali kuda, akan tetapi karena tali kendaraan itu sebagian terlepas dan berada di punggung kuda, dengan penuh keberanian anak ini lalu meloncat turun ke atas punggung seekor kuda. Anak ini menarik kendali sambil mengeluarkan bujukan-bujukan untuk menghentikan dua ekor kuda itu. Sedangkan para pengnwal kini sudah memburu, ada yang naik kuda, ada yang berlarian.

Akan tetapi, dalam jarak ratusan meter, ketika para pengawal dapat menyusul, kereta itu telah berhenti dan dua ekor kuda itu telah dikuasai oleh Ceng Liong yang masih duduk di atas punggung seekor di antara dua kuda itu. Kereta itu selamat dan dua orang penghuninya juga selamat!

Melihat ini, semua orang bersorak gembira dan bertepuk tangan. Mereka memuji Ceng Liong yang dianggap seorang anak yang amat sigap dan berani. Anak perempuan itu menangis terisak-isak didekap oleh ibunya yang mukanya juga berubah pucat sekali. Melihat betapa yang menolong menghentikan dua ekor kuda yang kabur itu adalah anak kecil cucu Sinshe Phang, ibu muda itu segera membimbing anaknya turun dari kereta yang sudah dibawa kembali ke tempat semula oleh Ceng Liong.

“Sinshe, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan cucumu,” katanya.

Phang-sinshe cepat memberi hormat dan mengangguk-angguk. “Ahh, toanio, kebetulan saja cucu saya dapat bertindak cepat. Thian yang telah melindungi toanio dan siocia,” kata Sinshe Phang dengan sikap seolah-olah dia seorang beribadah yang sudah biasa memalingkan mukanya kepada Tuhan!

“Engkau anak yang baik sekali!” kata nyonya muda itu kepada Ceng Liong.

Anak ini pun menjura tanpa berkata apa-apa, matanya memandang tajam kepada anak perempuan yang masih nampak ketakutan itu. Biar pun ketakutan dan bekas menangis, anak ini amat cantik dan manis.

“Ibu, apakah yang menghentikan kuda tadi dia ini?” Anak perempuan itu menuding ke arah Ceng Liong.

“Benar, Kui Lan. Dialah yang telah menyelamatkan kita. Anak baik, siapakah namamu?”

Ceng Liong menjadi malu juga karena sikap yang amat menghargai itu, apalagi di situ banyak orang yang menyaksikan dan semua orang memandang kepadanya dengan sinar mata kagum dan memuji.

“Ha-ha, kenapa kau diam saja, Ceng Liong? Maaf, toanio. Dia anak pemalu sekali. Cucu saya ini namanya Ceng Liong.”

“Kui Lan, hayo ucapkan terima kasih kepada Ceng Liong,” perintah ibunya yang selalu mendidik puterinya untuk bersikap baik.

Kui Lan melangkah mendekati Ceng Liong. Wajah yang manis itu tidak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang lebar itu memandang penuh perhatian. “Ceng Liong, aku kagum padamu dan terima kasih atas pertolonganmu. Namaku Yung Kui Lan, dan ayahku adalah gubernur dari kota ini.”

Ceng Liong hanya mengangguk-angguk saja sambil menatap wajah yang manis itu. Nyonya muda itu lalu menggunakan kesempatan ini untuk mengundang Sinshe Phang ikut bersamanya ke gedung gubernuran.

“Kami ingin minta pertolongan sinshe mengobati suatu penyakit,” demikian tambahnya.

Sinshe Phang menyembunyikan kegembiraan hatinya. Inilah yang dinanti-nanti sampai dia mau bersusah payah ‘membuka praktek’ di pasar itu. Tak pernah disangkanya pintu gubernuran akan sedemikian mudahnya terbuka baginya.

“Saya merasa terhormat sekali untuk dapat mengobati keluarga toanio yang sakit,” katanya dan dia pun cepat menyuruh cucunya berkemas.

Tidak lama kemudian, kereta nyonya itu telah berjalan kembali. Sekali ini bukan hanya diiringkan sepasukan pengawal, akan tetapi juga diiringkan sebuah gerobak kuda yang telah mulai dikenal baik di kota itu. Di sepanjang perjalanan, orang-orang membicarakan keberanian bocah yang mengendalikan kuda itu. Semua orang tahu bahwa tentu sinshe itu diundang ke gubernuran untuk mengobati orang sakit dan tentu akan menerima hadiah besar dari gubernur sendiri karena telah menyelamatkan selir dan puterinya dari bahaya.

Begitu tiba di gedung gubernuran, Gubernur Yung Hwa yang menerima laporan tentang kereta selirnya yang kabur dan diselamatkan oleh cucu Sinshe Phang, menjadi terkejut akan tetapi juga girang. Dia lalu minta kepada selirnya untuk memanggil sinshe itu menghadap. Ketika bertemu dengan kakek yang tinggi besar itu, dan melihat cucunya yang tampan dan gagah, Gubernur Yung Hwa merasa suka sekali. Dia mengucapkan terima kasih dan memuji Ceng Liong.

“Hamba merasa terhormat sekali dapat memperoleh kesempatan untuk mengobati keluarga paduka yang sakit. Hamba sudah siap untuk mengobatinya,” Sinshe Phang berkata dengan sikap merendahkan diri.

“Sinshe, yang sakit adalah aku sendiri,” tiba-tiba selir itu berkata sambil tersenyum ramah. “Apakah engkau bisa menolongku?”

Sinshe Phang menjura. “Mudah-mudahan hamba akan dapat menolong. Tidak tahu sakit apakah yang diderita oleh toanio?”

“Sudah lama sekali kepalaku sering pening, berdenyut-denyut dan mata berkunang-kunang. Sudah beberapa orang tabib dipanggil dan banyak sudah kumakan obat, akan tetapi penyakit itu tidak lenyap, hanya berkurang sedikit saja.”

Sinshe Phang mengangguk-angguk. “Maaf, hamba harus memeriksa lebih dulu sebelum menentukan penyakit dan obatnya.”

Gubernur Yung Hwa yang amat mencinta isterinya itu berkata, “Mari, silakan masuk ke kamar, Sinshe Phang.”

Sinshe Phang menghaturkan terima kasih, “Ceng Liong, engkau menanti saja di sini dan bersikaplah yang baik.”

“Biar Kui Lan menemaninya,” kata nyonya itu.

Dan Kui Lan yang memang merasa kagum dan suka kepada Ceng Liong lalu menarik tangan Ceng Liong dan mengajaknya untuk pergi ke taman. Ceng Liong menurut saja walau pun dia merasa sungkan dan juga malu.

Melihat sikap anak laki-laki itu, sang gubernur menggeleng-geleng kepala. “Cucumu itu kelak tentu menjadi orang yang gagah.”

Sambil mengikuti suami isteri itu memasuki kamar, Sinshe Phang menjawab, “Ahhh, seorang seperti hamba mana mungkin dapat mempunyai seorang cucu yang gagah?”

Sang gubernur tertawa. “Aha, jangan kira aku tidak tahu, Phang-sinshe! Seorang yang kabarnya pandai bermain sulap, dan pandai mengobati seperti engkau ini, tentu seorang kang-ouw yang lihai. Apalagi mendengar betapa cucumu dapat menyelamatkan isteri dan anakku, tentu dia pun telah kau gembleng dengan ilmu-ilmu yang tinggi!”

Diam-diam Sinshe Phang memuji ketajaman mata gubernur ini. Bagaimana pun juga, gubernur ini dahulunya seorang pangeran, bahkan masih paman dari kaisar yang sekarang, maka tentu banyak tahu tentang dunia kang-ouw. Aku harus berhati-hati, pikir kakek itu.

Setelah berada di dalam kamar, dengan disaksikan oleh Gubernur Yung Hwa, Sinshe Phang memeriksa denyut nadi lengan selir itu, kemudian memeriksa beberapa bagian kepala dan lehernya. Segera dia mengetahui bahwa penyakit yang diderita oleh nyonya itu tidaklah begitu berat, maka dengan keahliannya pengobatan tusuk jarum, dengan mudah dia dapat menghilangkan penyakit itu.

Tentu saja gubernur dan selirnya merasa berterima kasih dan girang sekali. Gubernur Yung Hwa lalu menjamunya. Mereka makan minum berdua saja sambil bercakap-cakap karena Ceng Liong diajak makan sendiri oleh Kui Lan yang sekarang telah bersahabat dengannya.

“Ceng Liong, aku hampir tidak percaya bahwa engkau hanyalah cucu seorang penjual obat.” Di waktu bermain-main Kui Lan berkata.

Ceng Liong memandang tajam. Anak ini boleh juga, pikirnya, memiliki kecerdikan.

“Kenapa engkau berkata demikian, nona?”

“Sedangkan anak laki-laki putera para pembesar saja biasanya bersikap sombong dan kasar, padahal tidak pandai apa-apa. Akan tetapi engkau ini gagah berani dan tangkas, kulihat pandai dan bukan seperti anak dusun, akan tetapi sikapmu pendiam dan pandai merendahkan diri, ramah dan mengenal aturan. Tidak, engkau bukanlah anak dusun. Engkau pantasnya anak bangsawan atau hartawan besar!”

Ceng Liong tertawa. “Aih, nona jangan main-main. Sudah jelas kakekku adalah seorang ahli pengobatan, ahli ramal dan sulap. Dan aku cucunya.”

Kui Lan menarik napas panjang. “Sukar dipercaya! Dan di mana rumahmu? Di mana rumah kakekmu itu?”

“Di mana saja, nona. Dunia ini adalah rumahku, langit atapku, bumi lantaiku. Kalau dikecilkan, gerobak itulah pondok kami. Di mana adanya gerobak kami, di situlah kami tinggal. Kami adalah perantau-perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, nona, seperti burung-burung di udara, mau hinggap di pohon mana pun bebas!”

Sepasang mata yang bening itu berseri memandang wajah tampan Ceng Liong. “Ihhh, bicaramu juga seperti orang bersyair! Betapa senangnya hidup seperti burung, bebas melayang ke mana-mana, tidak terhalang sangkar. Aku seperti burung dalam sangkar!”

“Nona adalah puteri seorang bangsawan tinggi yang beruntung, mana mungkin bisa dibandingkan dengan aku?”

“Aku suka padamu, Ceng Liong. Engkau tidak seperti anak-anak lain. Selamanya aku tidak akan melupakanmu, tidak akan lupa ketika engkau menghentikan kuda dengan menunggangi kuda yang sedang kabur itu. Ihhh, masih ngeri kalau aku mengingatnya.”

Ceng Liong lalu diajak makan, terpisah dari kakeknya yang juga sedang makan minum dengan Gubernur Yung Hwa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sinshe Phang untuk berkenalan dan menjajagi hati bangsawan itu. Maka dengan hati-hati dan halus dia pun membawa percakapan menuju ke kota raja dan istana, membicarakan keadaan negara.

“Engkau banyak melakukan perantauan, Phang-sinshe. Bagaimana keadaan di timur dan selatan? Apakah kehidupan rakyat baik dan keamanan pun baik?” Gubernur itu bertanya demikian karena dia juga sudah mendengar bahwa terjadi pergerakan dan pergolakan di barat dan utara.

Kakek itu mengerutkan alis, bersikap pura-pura sedang keberatan untuk menyatakan pendapatnya.

Sang gubernur melihat ini, maka sambil tersenyum lalu menyambung, “Harap engkau jangan khawatir, Phang-sinshe. Aku bertanya dengan jujur, maka engkau pun boleh menyatakan sejujurnya bagaimana keadaan di sana. Kita ini sedang mengobrol sebagai dua orang teman, bukan pemeriksaan seorang pejabat terhadap terdakwa!” Gubernur itu tertawa dan Phang-sinshe juga ikut tersenyum lega.

“Terus terang saja, taijin. Keadaan di daerah-daerah di timur juga tidaklah begitu baik. Banyak rakyat yang hidup kekurangan dan merasa tidak puas, dan di sana-sini terdapat gejala pergerakan menentang pemerintah.”

Gubernur itu menghela napas. “Sudah kuduga demikian. Setiap pemerintahan tidak mungkin dapat memuaskan hati seluruh rakyat. Sudah tentu ada saja fihak yang merasa tidak puas. Ketika mendiang Kaisar Yung Ceng yang memegang kendali pemerintahan, banyak fihak yang menentang, hal itu tidaklah terlalu mengherankan mengingat akan sifat-sifatnya yang keras dan kadang-kadang penuh kelaliman. Akan tetapi, sekarang kendali pemerintahan dipegang oleh Kaisar Kian Liong yang halus budi dan bijaksana. Bagaimana pun juga, tak mungkin beliau dapat memuaskan hati semua orang. Memang demikian keadaan di dunia ini, tidak ada yang sempurna.”

Mendengar ucapan ini, diam-diam Sinshe Phang terkejut. Dia tidak melihat sedikit pun rasa dendam dalam ucapan itu.

“Bagaimanakah pendapat paduka tentang pergolakan-pergolakan yang sedang terjadi di mana-mana?”

Gubernur itu mengerutkan alisnya. “Orang yang merasa penasaran tentulah mereka yang merasa dirugikan. Dan melihat kenyataan betapa bijaksana Kaisar Kian Liong, maka yang merasa dirugikan sehingga penasaran dan memusuhinya tentulah orang-orang yang tidak bijaksana! Mereka yang ambisius dan menginginkan kedudukan yang lebih tinggi. Mereka itu tidak tahu bahwa andai kata kekuasaan tertinggi berada di tangan orang lain, tidak seperti Kaisar Kian Liong, maka keadaan negara tentu menjadi lebih kacau dan sengsara.”

Sekarang yakinlah Sinshe Phang bahwa tidak mungkin orang dengan pendirian seperti gubernur ini dapat ditarik menjadi sekutu. Bahkan berbahaya sekali untuk membocorkan rahasianya kepada seorang seperti gubernur ini. Bagaimana pun juga, dia harus dapat menarik keuntungan dalam perjumpaannya dengan Gubernur Yung Hwa supaya tidak percuma semua jerih payah yang telah diperhitungkan dan direncanakannya.

“Bagaimana pun juga, hamba sendiri tidak pernah mau melibatkan diri dalam urusan negara. Hamba adalah seorang rakyat dan hamba paling suka merantau sampai ke daerah yang terpencil. Dapat berhubungan dengan rakyat jelata, dari yang paling tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah, melalui pengobatan dan hiburan permainan sulap, hamba sudah merasa cukup puas.”

“Sinshe adalah seorang yang bijaksana dan dapat menolong orang-orang lain, sungguh kehidupan itu dapat mendatangkan kebahagiaan dan panjang usia. Kami mengharap agar engkau dapat lama-lama tinggal di kota ini dan silakan menempati gedung kami dan sinshe akan kami anggap sebagai tamu terhormat.”

Sinshe Phang bangkit berdiri dan menjura dengan hormat. “Taijin sudah melimpahkan kebaikan kepada hamba, mana hamba berani mengganggu lebih lama lagi? Hamba telah mempunyai rencana, yaitu besok pagi hamba dan cucu hamba akan melanjutkan perjalanan hamba dalam perantauan ini.”

Gubernur itu nampak kecewa. “Ahh, mengapa begitu tergesa-gesa?”

“Hamba tanggung bahwa toanio sudah sembuh sama sekali dan peningnya tidak akan dapat kambuh kembali. Hamba memang sudah merencanakan untuk pesiar merantau ke Bhutan....” Dia menghentikan kata-katanya dan dengan cermat memandang wajah gubernur itu, walau pun nampaknya seperti sambil lalu. Dan dengan girang dia melihat betapa wajah itu berseri.

“Ke Bhutan....? Ahh, apakah sinshe mempunyai keperluan di negara yang jauh itu?”

“Hamba pernah mengenal seorang pertapa yang hamba jumpai di daerah Himalaya dan dia pun seorang ahli pengobatan yang kini kabarnya tinggal di Bhutan. Selain menemui sahabat itu, juga hamba telah lama sekali mendengar akan kemakmuran dan keindahan negara Bhutan dan ingin sekali melihatnya. Hanya satu hal yang hamba khawatirkan.”

“Apakah itu, Phang-sinshe?”

“Hamba adalah seorang asing di Bhutan, selain sahabat itu tidak mempunyai kenalan. Sebelum hamba berhasil bertemu dengan sahabat itu, hamba khawatir kalau-kalau dicurigai dan akan menemui halangan di negara asing itu.”

“Ahhh, jangan khawatir, Phang-sinshe! Aku mengenal baik seorang yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar di sana dan kalau engkau membawa surat dariku, aku tanggung takkan ada yang mengganggumu di Bhutan sana.”

Bukan main girangnya hati kakek itu. “Terima kasih banyak atas kebaikan hati taijin.”

Gubernur itu lalu membuat sehelai surat pernyataan di mana dikatakannya bahwa Sinshe Phang adalah seorang sahabat baiknya dan para pejabat setempat diminta untuk membantunya dalam segala hal. Surat itu ditanda tanganinya dan dibubuhi cap kebesarannya.

Setelah berhasil memperoleh surat yang amat berguna baginya ini, dan diberi bekal pula sekantung emas, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah Sinshe Phang dan Ceng Liong bersama gerobak kuda mereka. Kui Lan sendiri mengantar keberangkatan itu sampai di pekarangan luar gedung gubernuran dan anak perempuan itu menangis ketika melihat Ceng Liong menggerakkan kuda memberangkatkan kereta dan melambaikan tangan kepadanya…..

********************

Biar pun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil saja, akan tetapi karena Bhutan memiliki banyak daerah pertanian yang subur, peternakan yang sehat dan terutama sekali karena kerajaan ini berada dalam keadaan aman tenteram dan penuh damai, tidak pernah melakukan perang, baik dengan negara tetangga mau pun antara suku dan bangsa sendiri, maka rakyatnya dapat dikatakan hidup serba kecukupan dan tenang.

Kerajaan Bhutan tidak dapat dilepaskan dari Himalaya karena kerajaan ini berada di antara puncak-puncak pegunungan yang amat besar ini. Bhutan merupakan daerah di Himalaya yang bersuhu dingin, berhawa sejuk dan bertanah subur. Kerajaan ini beserta rakyatnya mempertahankan tradisi kehidupan nenek moyang mereka. Pada umumnya rakyatnya beragama Buddha yang bercampur dengan Agama Hindu kuno.

Raja Badur Syah yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun itu memerintah dengan adil dan bijaksana. Raja Badur ini menerima mahkota dari Puteri Syanti Dewi yang tadinya menjadi puteri mahkota. Sang puteri ini tak mau menjadi ratu karena memang ia ingin bebas dari pada ikatan, hidup berbahagia bersama suami tercinta, yaitu pendekar sakti Wan Tek Hoat dan seorang anak mereka yang mereka beri nama Wan Hong Bwee alias Gangga Dewi. Puteri tunggal ini berusia sembilan tahun dan bukan saja menjadi cahaya dalam kehidupan ayah bundanya, akan tetapi juga menjadi kesayangan semua orang, baik di dalam istana mau pun di luar istana.

Walau pun Wan Tek Hoat dan isterinya tidak memangku suatu jabatan tertentu, tetapi pendekar ini disebut pangeran. Dia bersama isterinya merupakan penasehat-penasehat utama dari Raja Badur Syah. Bahkan dapat dikata bahwa keamanan Kerajaan Bhutan itu berkat adanya pendekar sakti dan isterinya ini.

Mereka yang mempunyai pikiran buruk dan niat jahat merasa sungkan terhadap suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini. Para penjahat merasa jeri. Pendeknya, Wan Tek Hoat dan isterinya menjadi tokoh-tokoh penting di Bhutan, yang ditakuti lawan dan disegani kawan.

Tidak mungkin ada yang sempurna di dunia ini. Setiap ada yang menganggapnya baik, tentu akan bertemu dengan fihak lain yang menganggapnya tidak baik. Ini tergantung dari pada si penilai yang mendasarkan pandangannya atas perhitungan untung rugi. Baik buruk hanyalah penilaian banyak fihak yang pada dasarnya selalu ditunggangi oleh perhitungan untung rugi inilah.

Kalau Kerajaan Bhutan dipandang baik oleh satu fihak, tentu saja karena dianggap menguntungkan bagi fihak itu, tentu ada pula fihak lain yang menganggapnya tidak baik sebab merasa dirugikan. Mereka yang diam-diam menganggapnya tidak baik, tentu saja tidak berani berterang karena terutama sekali adanya wibawa dari Wan Tek Hoat dan isterinya, adalah mereka yang merasa tidak puas.

Sudah jamak di satu pemerintahan negara mana pun juga, di antara orang-orang yang merasa diri sendiri besar atau dianggap sebagai orang-orang penting, yakni tokoh-tokoh pemerintahan, ada yang merasa tidak puas dengan pemerintahan yang berkuasa pada saat itu. Ketidak puasan ini mungkin saja karena mereka merasa tidak memperoleh kedudukan yang sesuai dengan harapan mereka, atau karena tidak cocok dengan politik pemerintahan, akan tetapi sebagian besar yang merasa tidak suka adalah mereka yang merasa dirugikan, baik lahir mau pun batin. Tidak mungkin ada suatu pemerintahan yang dapat menyenangkan atau memuaskan semua fihak yang masing-masing mempunyai keinginan sendiri-sendiri dan kadang-kadang keinginan-keinginan itu saling bertentangan.

Demikian pula dengan keadaan di Bhutan. Di antara pejabat tinggi atau rendah yang merasa puas dan menjadi pegawai-pegawai yang setia dan jujur, tentu saja terdapat pula pembesar-pembesar yang merasa tidak puas dan diam-diam dalam hati mereka menentang kebijaksanaan yang diambil oleh Raja Bhutan. Mereka ini terutama sekali menentang kebijaksanaan pemerintah yang lebih condong bersahabat dengan Kaisar Kerajaan Ceng dan yang menentang gerakan Nepal.

Mereka akan merasa lebih senang kalau Bhutan bersahabat dengan Nepal, yang selain menjadi negara tetangga dekat, juga memiliki kebudayaan dan agama yang masih serumpun. Akan tetapi karena di Bhutan terdapat Wan Tek Hoat, seorang Bangsa Han yang telah banyak berjasa terhadap Bhutan, dan yang menjadi penasehat nomor satu dari raja, tentu saja mereka yang pro Nepal dan menentang Kerajaan Ceng itu tidak berani mengeluarkan isi hati mereka secara berterang.

Pada suatu siang yang cukup terang, suatu keadaan yang amat menyenangkan bagi daerah Bhutan yang dingin itu, nampak seorang anak perempuan yang cantik dan lincah berloncatan di antara semak-semak belukar dalam sebuah hutan liar di lereng bukit. Anak perempuan ini usianya sembilan tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing dan kedua tulang pipinya menonjol berwarna merah segar. Mulutnya kecil mungil dengan bibir yang penuh dan merah, sepasang matanya bersinar-sinar, lebar dan terang. Dua kuncirnya yang gemuk dan panjang itu ikut melambai-lambai ketika ia berloncatan.

Anak ini sungguh cantik, gerakannya amat lincah, wajahnya selalu berseri dan matanya membayangkan kejenakaan dan kegembiraan. Tangan kirinya memegang busur kecil, tangan kanannya memegang anak panah, sedangkan di punggungnya masih terdapat beberapa batang anak panah cadangan. Tidaklah terlalu mengherankan kalau anak perempuan berusia sembilan tahun ini sedemikian lincah dan sigap gerakannya karena ia adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri tunggal dari pendekar sakti Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.

Semenjak kecil, baru saja dapat berjalan, ayahnya telah menggemblengnya sehingga meski usianya baru sembilan tahun, tetapi Hong Bwee telah memiliiki tubuh yang sehat dan kuat, gerakan yang gesit dan nyali yang besar. Apalagi anak ini memang gemar berburu, pekerjaan yang umum di daerah Bhutan. Sudah sering kali anak ini mengikuti rombongan para pemburu untuk berburu rusa dan binatang-binatang hutan. Ia sudah pandai mempergunakan anak panahnya, juga pandai menggunakan pedang kecil yang tergantung di pinggang itu.

“Heiii, tuan puteri.... perlahan dulu....!” Terdengar suara seorang wanita menegur dari belakang.

“Di dalam hutan mana ada puteri-puteri segala macam?” Hong Bwee mengomel tanpa menghentikan kedua kakinya yang berloncatan dengan sigap di antara semak-semak belukar.

“Nona.... nona Hong Bwee, kalau nona berlari-larian seperti itu, tentu rusa-rusa kabur dan burung-burung terbang menjauh!” teriak suara wanita ke dua.

Mendengar ini, Hong Bwee menghentikan larinya, kemudian menoleh sambil tersenyum melihat dua orang wanita cantik yang berpakaian ringkas seperti para pemburu berlari-lari mengejarnya. Dua orang wanita itu adalah para pengawalnya karena pada siang hari ini Hong Bwee hendak berburu sendiri, hanya ditemani dua orang pengawal itu. Tentu saja kedua orang wanita itu bukan wanita sembarangan, melainkan pengawal-pengawal yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi.

Sebagai puteri tunggal suami isteri yang berkedudukan tinggi, atau lebih tepat memiliki wibawa dan pengaruh yang besar sekali di istana, dan beribu seorang puteri bekas puteri mahkota, watak Hong Bwee sungguh aneh. Ia tidak manja atau besar kepala, bahkan kalau berada di luar istana, ia ingin bebas dari segala macam peraturan yang mengikatnya, ingin hidup seperti anak-anak lainnya dan karena itulah, tadi ia menegur seorang pengawalnya yang menyebut tuan puteri. Ia lebih suka disebut nona begitu saja sehingga tidak semua orang tahu bahwa ia seorang puteri dari istana.

“Sungguh sialan benar kita hari ini.” Anak itu mengomel. “Sampai begini siang dan sudah berjalan sangat jauh, belum juga bertemu dengan seekor pun rusa atau binatang lain!”

“Nona, sebaiknya kita segera kembali ke kota. Kita telah hampir sampai di perbatasan!” seorang pengawal yang alisnya tebal memperingatkan.

“Tidak, kita belum memperoleh seekor pun binatang buruan, bagaimana bisa kembali? Aku akan malu kalau pulang tidak membawa hasil,” bantah Hong Bwee.

“Itu mudah diatur, nona. Kita bisa singgah di rumah pemburu istana, membeli dua ekor rusa gemuk dan....”

“Tak tahu malu!” Hong Bwee memotong ucapan pengawal yang hidungnya mancung itu. “Pemburu macam apa itu? Curang dan rendah, tidak memperoleh buruan lalu membeli di pasar, mengakui binatang belian itu sebagai hasil buruan. Huh, tidak saja, ya? Aku mau mencari terus ke bukit di depan itu. Kelihatan rimbun hutannya!”

“Ihhh.... jangan ke sana!” seru pengawal beralis tebal.

“Kenapa?”

“Bukit itu tidak termasuk wilayah kita dan pula.... ada kabar bahwa akhir-akhir ini ada beruang-beruang hitam yang ganas berkeliaran di sana!”

“Aku tidak takut!”

“Tapi.... tapi beruang hitam itu bisa ganas sekali dan amat berbahaya.”

Hong Bwee memandang kepada dua orang pengawalnya sambil bertolak pinggang, sepasang alisnya dikerutkan. “Hemm, pengawal-pengawal macam apa yang sekarang ini menemaniku? Kalau kalian takut, pulanglah dan aku akan pergi sendiri. Aku tidak akan pulang sebelum memanggul binatang hasil buruanku dan aku akan bangga sekali kalau dapat menyeret pulang bangkai seekor beruang yang menjadi korban anak panah atau pedangku!”

Setelah berkata demikian, anak itu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya. Kemarahannya telah hilang dan ia berlari-lari sambil bersenandung gembira. Dua orang pengawal itu saling pandang, lalu mengangkat pundak dan keduanya kemudian cepat mengikuti anak yang berada di bawah perlindungan mereka.

Ketika mereka tiba di kaki bukit depan itu, tiba-tiba Hong Bwee memberi isyarat ke belakang. Dua orang pengawal itu memandang ke depan dan merasa girang sekali melihat bahwa tidak jauh dari situ terdapat sekumpulan rusa sedang makan rumput. Bagus, pikir mereka, kalau nona kecil itu sudah berhasil merobohkan seekor rusa, tentu tidak perlu lagi mereka mendatangi bukit yang berbahaya di depan itu. Mereka pun cepat mempersiapkan busur dan anak panah. Angin bertiup ke arah depan, maka mereka dapat berindap-indap menghampiri rusa-rusa itu dengan aman.

Dua orang pengawal itu agaknya sudah mengenal baik watak Hong Bwee. Jika mereka mendahului menggunakan anak panah merobohkan rusa, tentu anak itu akan marah. Maka mereka pun menanti sampai anak itu melepas anak panah. Setelah mereka bertiga berindap-indap mendekati, menyelinap di antara semak-semak belukar sebagai pemburu-pemburu yang berpengalaman, Hong Bwee nampak membidikkan anak panah dari balik semak-semak.

Ia berada di depan dan kini ia dapat melihat jelas binatang-binatang itu, melihat mata mereka yang bening, tanduk mereka yang bagus dan telinga mereka bergerak-gerak. Ia harus berhati-hati karena maklum betapa tajamnya daya tangkap telinga binatang itu. Ia membidik dengan hati-hati ke arah seekor rusa jantan yang paling gagah, besar dan tegap di antara kelompok rusa itu.

Akan tetapi, tiba-tiba rusa itu mengeluarkan suara aneh, lalu menghampiri seekor rusa betina, mencium-cium dengan moncongnya seperti orang mencumbu. Rusa betina ini pun indah dan rusa ini pun senang dicumbu. Mendadak wajah anak itu berubah merah. Ia tahu apa artinya ketika rusa jantan itu mengangkat tubuh depannya di belakang rusa betina.

Rasa jengah membuat Hong Bwee tiba-tiba menjadi marah. Ia tidak memperdulikan keadaan dua ekor rusa itu dan membidikkan anak panahnya ke arah leher rusa jantan yang nampak menjulang tinggi.

“Wuuuutt.... singggg.... ceppp!”

Rusa jantan mengeluarkan pekik yang nyaring dan panjang, tubuhnya meloncat turun dan dalam sekejap mata saja, semua rusa terkejut dan berlompatan melarikan diri dari tempat itu. Pekik rusa jantan yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan ini tentu merupakan pekik peringatan bagi mereka. Rusa betina yang dicumbu tadi pun sudah menghilang. Rusa jantan yang terkena anak panah di lehernya itu terhuyung, akan tetapi segera meloncat dan melarikan diri naik ke bukit.

Sejenak dua orang pengawal wanita itu tertegun. Mereka terkejut dan khawatir sekali ketika melihat kenyataan bahwa nona mereka telah menyerang rusa jantan yang sedang bermain cinta dengan rusa betina. Nona mereka ternyata telah melakukan dua macam kesalahan. Kesalahan pertama adalah pelanggaran kepercayaan tradisionil di antara para pemburu, yaitu menyerang rusa yang sedang berkasih-kasihan. Dan kesalahan ke dua adalah menyerang rusa pemimpin kelompok dengan anak panah sekecil itu.

Orang-orang Bhutan mengenal dongeng yang berasal dari India tentang raja yang telah memanah dan melukai seekor rusa jantan yang sedang berkasih-kasihan dengan betinanya. Rusa jantan itu dalam keadaan sekarat menyumpahi si raja yang telah mengganggu mereka yang sedang bermain asmara, yaitu bahwa kalau raja itu berani mendekati dan bermain cinta dengan isteri-isterinya, dia akan kena kutuk dan tewas.

Raja ini agaknya memandang rendah kutuk yang dilontarkan oleh rusa itu. Setibanya di rumah, dia disambut oleh isteri-isterinya yang cantik. Dia lupa akan kutuk itu dan bermain cinta dengan mereka. Dia pun kena kutuk dan roboh tewas.

Dongeng ini menjadi peringatan bagi para pemburu di Bhutan agar tidak sekali-kali mengganggu rusa atau binatang lain yang sedang bermain asmara, dari burung sampai binatang buruan lain yang besar-besar. Dan sekarang, Hong Bwee telah melanggar pantangan itu! Dan kesalahan ke dua adalah kesalahan yang bodoh. Seekor rusa jantan sekuat itu mana dapat dirobohkan oleh sebatang anak panah, walau pun bidikannya tepat mengenai leher? Kalau tepat menembus jantung, barulah rusa itu akan roboh seketika.

Akan tetapi pada saat itu, Hong Bwee sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan mengejar rusa yang sudah terluka dan kabur naik ke bukit yang penuh hutan lebat itu.

“Nona, jangan kejar....!” teriak mereka, akan tetapi melihat anak itu sama sekali tidak perduli dan terus lari memasuki hutan, terpaksa mereka pun mengejar secepat mungkin.

Ketika akhirnya kedua orang pengawal itu dapat menyusul Hong Bwee, tiba-tiba mereka menghentikan langkah dan memandang terbelalak ke depan. Rusa merupakan binatang yang dapat berlari paling cepat. Larinya sambil berlompatan tinggi sehingga sukarlah bagi Hong Bwee untuk dapat menyusulnya.

Ketika anak ini berlari sambil berloncatan memasuki hutan, ia kehilangan jejak rusa itu dan tiba-tiba saja ia sudah berhadapan dengan seekor beruang hitam betina yang amat besar, yang berada di situ bersama seekor beruang hitam kecil, anaknya yang baru sebesar anjing. Binatang itu nampaknya juga kaget ketika tiba-tiba bertemu dengan Hong Bwee.

Kini Hong Bwee telah menarik busurnya dan membidikkan anak panah yang sudah siap itu ke arah si beruang kecil. Wajah anak ini berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar. Ia berhadapan dengan beruang dan mendapat kesempatan merobohkan seekor beruang! Hanya kegembiraan ini sajalah yang memenuhi pikirannya pada saat itu, yang membuat ia lupa akan bahaya yang mungkin mengancamnya.

“Prattt.... wirrrr.... ceppp....!”

Anak panah itu menyambar dan anak beruang itu pun roboh terguling, menguik-nguik dan bergulingan di atas tanah. Pada saat itulah kedua orang pengawal itu datang dan mereka terbelalak berdiri di belakang Hong Bwee, wajah mereka pucat dan khawatir sekali.

Kekhawatiran mereka itu segera terbukti. Beruang betina itu mengeluarkan gerengan dahsyat yang seolah-olah menggetarkan bumi, lalu menerjang ke depan. Sejak tadi Hong Bwee yang gembira melihat betapa anak panahnya berhasil merobohkan anak beruang kecil, sudah mempersiapkan anak panah lagi. Kini, melihat beruang besar lari maju, dengan tabah ia pun lalu menyambut dengan lepasan anak panahnya.

Anak panah itu meluncur dan menyambar ke arah beruang betina. Namun ketika anak panah itu mengenai pundak beruang itu, anak panah meleset dan hanya mendatangkan luka kecil saja. Kulit beruang itu dilindungi bulu yang kuat! Dua orang pengawal juga cepat melepaskan anak panah mereka, akan tetapi beruang itu tiba-tiba berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan kini dua kaki depannya digerak-gerakkan ke depan, menyampok runtuh anak panah yang menyambar, kemudian dia pun menyerang dan menubruk ke depan.

“Nona, cepat lari....!” teriak seorang pengawal sambil menarik lengan Hong Bwee ke belakang. Dua orang pengawal itu mencabut pedang mereka dan menyambut serangan beruang itu dengan pedang di tangan.

Akan tetapi beruang itu sungguh kuat luar biasa. Dia berani menyambut dan menangkis pedang dengan kedua lengan telanjang. Lengannya dilindungi bulu yang kuat dan pedang-pedang tajam itu hanya mampu melukai sedikit saja. Sebaliknya, begitu kedua tangannya menyambar dan menangkis, dua batang pedang itu terlempar dan terlepas dari tangan dua orang wanita pengawal itu.

Beruang itu menerjang terus. Tamparan-tamparan dua tangannya tak dapat dihindarkan oleh wanita-wanita pengawal itu yang mencoba untuk menangkis. Akan tetapi, begitu lengan mereka bertemu dengan tangan bercakar itu, terdengar bunyi tulang patah dan tubuh mereka terbanting keras ke kanan kiri, membuat mereka tidak mampu bangkit kembali. Mereka hanya mengeluh kesakitan sambil memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketika melihat binatang yang sudah menjadi semakin buas karena kemarahan itu menerjang ke arah Hong Bwee.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es