KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-22
Dengan sigapnya Hong Bwee meloncat ke kiri, jauh dari jangkauan cakar itu sambil melolos pedangnya. Dia tahu bahwa menyerang beruang itu sama dengan mencari celaka karena beruang itu amat kuat dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh dua orang pengawalnya tadi. Mereka itu mudah celaka dan roboh karena kesalahan sendiri berani menyerang lawan yang demikian kuatnya.
Kini Hong Bwee tidak mau menyerang, hanya menanti dengan pedang di tangan dan waspada terhadap keadaan di sekitarnya. Ia mundur sampai di depan sebatang pohon, sebisa mungkin hendak memancing agar binatang itu menjauhi dua orang pengawalnya yang sudah terluka. Karena kalau binatang itu kini menyerang mereka, tentu mereka akan tewas dalam keadaan mengerikan, mungkin akan dicabik-cabik oleh binatang yang sedang marah itu.
Karena tubrukannya yang pertama tidak berhasil, beruang itu mengeluarkan gerengan dahsyat saking marahnya. Agaknya, naluri yang peka dari binatang itu membuat ia tahu siapa yang membunuh anaknya dan kini diserangnya Hong Bwee dengan kemarahan memuncak. Anak itu yang berdiri di depan sebatang pohon, kembali mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya, menusuk ke arah muka beruang itu.
“Braaakkk....!” Pohon itu tumbang dilanda tubuh beruang yang menubruk sekuat tenaga tadi.
Dilemparkannya pohon itu dan dia membalik. Hong Bwee sudah siap dengan busurnya. Ketika beruang itu membalik, anak itu melepas tiga batang anak panah berturut-turut dan tiga batang anak panah itu bertubi-tubi menyambar ke arah mata beruang!
Beruang itu menggerak-gerakkan kedua tangannya, berusaha menangkap anak panah. Akan tetapi dia hanya berhasil meruntuhkan dua batang, sedangkan yang sebatang lagi menyerempet tepi matanya, menimbulkan luka yang cukup membuat sebelah matanya perih dan tidak dapat dibuka lagi. Tentu saja dia menjadi semakin marah. Diserangnya Hong Bwee bertubi-tubi. Anak itu meloncat ke sana-sini dan pada saat ia kehabisan tempat untuk mengelak, ia menangkis dengan pedangnya.
“Trakkk!” Pedang itu terlempar jauh dan tubuh Hong Bwee terguling.
Ketika itu beruang yang sudah marah menubruk ke depan. Anak itu hanya terbelalak, maklum bahwa ia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Pada saat yang amat berbahaya bagi Hong Bwee, nampak sesosok tubuh kecil menyambar ke depan dan dua buah kaki meluncur cepat menghantam dada beruang yang berdiri di atas kedua kaki belakang dan hendak menubruk Hong Bwee.
“Bukkkkk....!” Tendangan yang merupakan tendangan terbang itu tepat mengenai dada beruang.
Binatang itu tidak terjengkang, tapi terhuyung ke belakang dan sebaliknya anak laki-laki yang melakukan tendangan luar biasa itu terpental dan hanya dengan berjungkir balik dia mampu menghindarkan dirinya terbanting. Bagaimana pun juga, dia telah berhasil menyelamatkan Hong Bwee karena anak perempuan ini memperoleh kesempatan untuk bangkit berdiri dan menjauh.
Anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun lebih itu adalah Suma Ceng Liong. Sejak tadi dia datang bersama Hek-i Mo-ong Phang Kui dan keduanya melihat dengan jelas betapa seorang anak perempuan dengan gagah beraninya melakukan perlawanan terhadap amukan seekor beruang betina yang besar. Bahkan dengan anak panahnya, anak perempuan itu sempat melukai tepi mata binatang itu, padahal dua orang wanita pengawalnya telah terluka dan tidak berdaya membantunya.
Ceng Liong memandang kagum bukan main dan Hek-i Mo-ong juga menonton sambil tersenyum, sedikit pun tidak mempunyai keinginan membantu anak perempuan kecil yang sedang diancam oleh beruang buas. Bahkan diam-diam ada rasa tegang yang amat menggembirakan hatinya. Ketegangan mendebarkan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang kejam seperti dia membayangkan betapa tubuh anak perempuan yang lunak lembut itu nanti akan dicabik-cabik oleh tangan binatang buas yang amat kuat itu.
Akan tetapi, ketika melihat anak perempuan itu roboh dan terancam bahaya maut, bangkitlah jiwa kependekaran di dalam hati Ceng Liong. Tanpa memperdulikan gurunya yang diam saja, dia sudah meloncat ke depan dan menendang dada binatang itu untuk menyelamatkan Hong Bwee.
Pada saat itu pula terdengar suara berdengung. Itulah suara terompet tanduk rusa yang ditiup orang. Mendengar ini, Hong Bwee memasang kedua tangan di depan mulut, membentuk corong kemudian mengeluarkan pekik melengking. Tidak lama kemudian berkelebat datang seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dengan pandang matanya yang mencorong tajam, pria ini memandang ke arah Hong Bwee, kemudian Ceng Liong dan akhirnya ke arah kakek berpakaian petani serba hitam itu.
“Ayah, beruang itu berbahaya sekali!” teriak Hong Bwee yang menjadi girang melihat ayahnya datang.
Sementara itu, beruang yang marah itu sekarang sudah menggereng. Tadi agaknya dia bingung dan ragu, mana yang harus diserangnya, anak perempuan itu ataukah anak laki-laki yang baru saja membuat dadanya terasa sesak dan nyeri itu. Tetapi sebelum dia bergerak, Wan Tek Hoat, ayah Hong Bwee, sudah mendahuluinya, menyerangnya dua kali dengan sambaran kedua tangan. Gerakan Wan Tek Hoat cepat sekali. Beruang itu terlalu lamban untuk dapat mengelak atau sempat menangkis, dan tahu-tahu secara beruntun, kedua telapak tangan Tek Hoat telah menyambar dan tepat mengenai dada, kemudian kepalanya.
“Plakkk! Plakkk!”
Nampaknya hanya tamparan biasa saja yang mengenai dada dan kepala beruang itu, namun akibatnya sungguh hebat. Beruang itu meraung dan sempoyongan, mencoba untuk meloncat ke depan membalas serangan, akan tetapi dia terpelanting, roboh dan berkelojotan lalu mati!
Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong Phang Kui terkejut bukan main. Sebagai seorang datuk kaum sesat, tentu saja dia mengenal pukulan sakti yang amat ampuh. Dapat merobohkan beruang sebesar itu hanya dengan dua kali tamparan merupakan bukti bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli yang amat tangguh. Apalagi ketika dia melirik dan melihat betapa di dada dan kepala beruang yang penuh bulu itu nampak tanda telapak jari tangan dan di bagian itu, bulu-bulunya rontok seperti terbakar dan tanda telapak jari tangan itu nampak nyata.
Maka dia pun segera dapat menduga siapa adanya laki-laki berusia kurang dari lima puluh tahun yang gagah perkasa ini. Bukankah di Bhutan, seperti telah didengarnya, terdapat seorang Han yang kini menjadi pangeran, suami Puteri Syanti Dewi bernama Wan Tek Hoat yang pernah dijuluki Si Jari Maut? Agaknya inilah orangnya, pikirnya dengan gembira sekali. Pertemuan yang sungguh amat menguntungkan dia!
“Ayah....! Kau hebat....!” Hong Bwee meloncat menghampiri beruang yang mati itu dan memandang kepada ayahnya dengan wajah berseri.
“Hong Bwee, engkau terluka....!” kata Tek Hoat sambil meraih puterinya.
Ternyata anak peremnpuan itu terluka di dekat pundaknya, di pangkal lengan kanan. Luka ini terjadi ketika pedangnya tertangkis dan pedang yang mencelat itu sempat melukai pundaknya sendiri. Untunglah ia cepat-cepat melepaskan pedang dan menarik lengannya sehingga lengannya tidak sampai patah-patah tulangnya bertemu dengan tangan beruang.
“Ayah, anak laki-laki itulah yang tadi menyelamatkan aku dari terkaman beruang,” kata Hong Bwee yang agaknya tidak memperdulikan luka di pundaknya.
Agaknya baru sekarang Tek Hoat teringat kepada anak laki-laki dan kakek itu. Dia lalu menoleh, memandang Ceng Liong penuh perhatian, melihat bahwa anak ini sungguh merupakan seorang anak laki-laki yang memiliki sifat-sifat kegagahan yang membayang pada wajahnya, pandang matanya dan sikapnya.
Kemudian dia memandang kepada kakek itu. Seorang kakek yang berpakaian petani serba hitam, sederhana, namun ada sesuatu yang membuat Tek Hoat menduga bahwa kakek ini pasti bukan orang sembarangan. Entah nampak pada sinar mata yang tajam berwibawa itu, atau pada sikapnya yang terlampau tenang itu.
“Dua pengawalku telah roboh terluka oleh beruang. Aku mempertahankan diri dengan pedang dan anak panah, akan tetapi aku pun roboh dan tentu aku sudah diterkam oleh binatang itu kalau anak laki-laki ini tidak muncul. Dia berani meloncat dan menendang dada beruang dengan kedua kaki! Gaya terjangannya itu indah dan hebat sekali, ayah!”
Hong Bwee memang luar biasa. Dalam keadaan terancam bahaya maut mengerikan tadi, ternyata ia masih sempat memperhatikan gaya terjangan Ceng Liong ketika anak laki-laki itu menyerang beruang.
Mendengar penuturan puterinya, Tek Hoat segera menjura kepada kakek berpakaian petani hitam itu. Dia tahu bahwa di Himalaya berkeliaran banyak sekali pertapa-pertapa dan orang-orang tua yang sakti, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu kakek ini seorang yang sakti pula bersama muridnya.
“Kami menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan locianpwe dan adik kecil ini atas bantuan yang diberikan sehingga anak perempuan kami terhindar dari mala petaka.”
Hek-i Mo-ong cepat membalas penghormatan itu. “Aih, taihiap sungguh membuat saya malu dengan sebutan locianpwe! Taihiap yang demikian perkasa, dapat membunuh beruang buas hanya dengan tangan kosong, sungguh amat mengagumkan dan belum pernah saya melihat kegagahan seperti itu. Saya hanyalah seorang tukang obat dan tukang sulap murahan saja, merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan taihiap. Perkenalkan, saya adalah Phang Kui atau biasa disebut Phang-sinshe. Saya melihat nona kecil yang gagah perkasa ini terluka pundaknya, dan juga dua orang nona itu luka-luka dan patah tulang lengannya. Kalau boleh, biarlah saya mengobati mereka.”
Tentu saja Tek Hoat mengangguk, mengijinkan dengan hati girang. Ketika dia bersama para pemburu mencari-cari anak perempuannya, dia tidak membawa perlengkapan obat.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Phang-sinshe cepat turun tangan. Mula-mula dia memeriksa dan mengobati luka di pundak Hong Bwee. Setelah diobati, barulah anak perempuan ini merasakan keperihan lukanya. Akan tetapi dia tidak pernah mengeluh, hanya menggigit bibirnya, membuat Ceng Liong menjadi semakin kagum saja. Setelah itu Phang-sinshe lalu mengobati dua orang wanita pengawal itu dan sebagai seorang ahli silat yang pandai, Tek Hoat dapat melihat bahwa kakek ini memang ahli dalam hal pengobatan dan menyambung tulang patah. Maka dia pun merasa semakin girang.
Pada waktu itu, selosin pemburu yang semuanya terdiri dari pengawal-pengawal istana, sudah tiba di situ, membawa kuda yang besar-besar. Tek Hoat bercakap-cakap dengan Phang-sinshe yang menceritakan bahwa dia memang memiliki kesenangan merantau, dan sekarang sedang merantau ke daerah Himalaya.
“Saya mendengar bahwa Himalaya merupakan daerah yang penuh dengan ahli-ahli yang memiliki kepandaian tinggi, maka saya ingin meluaskan pengetahuan saya dalam ilmu pengobatan. Tanpa saya sadari, saya memasuki daerah Bhutan.”
“Apakah anak itu murid sinshe?” tanya Tek Hoat sambil menunjuk kepada Ceng Liong yang bercakap-cakap dengan Hong Bwee tak jauh dari situ.
“Benar, namanya Ceng Liong dan dia itu dapat dikata murid atau juga pembantu saya.”
“Namaku Wan Tek Hoat dan aku tinggal di Kota Raja Bhutan....”
Kakek itu memperlihatkan muka terkejut. Sambil terbongkok-bongkok memberi hormat dia berkata, “Ahhh.... saya sudah pernah mendengar bahwa di Bhutan terdapat seorang pangeran yang berasal dari Bangsa Han, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali dan menjadi suami dari puteri mahkota Bhutan. Apakah... apakah... taihiap orangnya?”
Tek Hoat tersenyum. Tidak mengherankan jika dalam perantauannya di Himalaya kakek ini mendengar tentang dirinya. Pernikahannya dengan Syanti Dewi memang pernah menghebohkan daerah itu. Dia mengangguk.
“Tidak salah, Phang-sinshe. Aku adalah pangeran itu, dan ia itu adalah anakku, puteri tunggal kami yang bernama Wan Hong Bwee atau juga Puteri Gangga Dewi.”
“Ahh, kalau begitu harap maafkan bahwa saya bersikap kurang hormat,” Phang-sinshe segera memberi hormat.
Akan tetapi Tek Hoat cepat membalas. “Harap jangan terlalu sungkan, Phang-sinshe. Muridmu telah menyelamatkan puteriku, dan engkau sudah mengobati puteriku dan dua orang pengawalnya. Kalau engkau suka, kami persilakan engkau dan muridmu untuk ikut kami ke istana dan menjadi tamu kehormatan kami.”
Pucuk dicinta ulam tiba! Memang kedatangan Phang-sinshe ke Bhutan adalah untuk melakukan penyelidikan dan untuk mempengaruhi negara kecil itu. Dia sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat memasuki kerajaan itu tanpa menimbulkan kecurigaan dan bagaimana dia dapat menghubungi kalangan atas di negara itu. Dan kini, tanpa disengaja, muridnya telah menolong puteri pendekar sakti Wan Tek Hoat yang memiliki pengaruh dan wibawa besar di istana sebagai keluarga istana. Dan kini, pendekar itu mengundang dia dan muridnya untuk menjadi tamu agung di istana!
“Ahh, terima kasih, Wan-taihiap, terima kasih!” katanya berulang-ulang sambil memberi hormat. “Semenjak lama saya mendengar tentang keindahan Negara Bhutan dan sudah lama saya ingin menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Kini taihiap mengundang saya berkunjung ke sana, tentu saja saya merasa girang dan berterima kasih sekali!”
Ketika Hong Bwee mendengar bahwa Ceng Liong dan gurunya menerima undangan ayahnya untuk berkunjung ke istana, anak ini menjadi girang sekali dan bersorak. Ia tadi telah bercakap-cakap dan berkenalan dengan Ceng Liong. Kini ia menarik tangan anak laki-laki itu.
“Mari Ceng Liong, mari kita berangkat lebih dahulu! Ayah, kami ingin menunggang Si Putih!”
Tek Hoat hanya tertawa karena sebelum dia menjawab, puterinya itu telah mengajak Ceng Liong meloncat ke atas punggung kuda putih miliknya yang merupakan kuda pilihan paling besar di Bhutan. Dengan cekatan Hong Bwee meloncat ke atas punggung kuda, lalu menggapai Ceng Liong untuk meloncat di belakangnya.
Bagaimana pun juga, Ceng Liong adalah seorang anak yang baru berusia hampir sebelas tahun, maka melihat betapa Hong Bwee memperlihatkan kesigapannya, dia pun tidak mau kalah. Dengan mengenjotkan kakinya ke tanah, tubuhnya melayang ke atas dan dengan lunaknya dia dapat duduk tepat di belakang anak perempuan itu.
Gerakannya memang ringan dan indah sehingga diam-diam Tek Hoat memuji. Juga pendekar ini suka sekali melihat betapa anak laki-laki itu duduknya agak menjauh dari tubuh Hong Bwee, tidak mau menyentuh atau mepet dan ini hanya dapat diartikan bahwa anak laki-laki itu mempunyai kesopanan tinggi. Melihat Ceng Liong telah duduk di belakangnya, Hong Bwee membalapkan kudanya dan kembali Tek Hoat kagum melihat betapa tubuh anak laki-laki itu, tanpa berpegangan, dapat duduk tegak di atas punggung kuda agak di bagian belakang yang melengkung.
Seekor kuda diserahkan kepada Phang-sinshe dan rombongan itu kemudian berangkat meninggalkan bukit menuju ke Kota Raja Bhutan. Rombongan itu di sepanjang jalan, ketika melewati dusun-dusun, disambut oleh para penduduk dengan gembira. Pendekar Wan Tek Hoat yang dikenal sebagai pangeran yang dihormati itu memang dikenal baik oleh penduduk.
Apalagi melihat betapa rombongan pengawal membawa hasil buruan berupa seekor beruang hitam besar dan anaknya, rakyat lalu menyambut sambil mengeluarkan pujian. Diam-diam Phang Kui memperhatikan hal ini dan tahulah dia bahwa Wan Tek Hoat merupakan tokoh penting dan dicinta oleh rakyat Bhutan.
Ketika rombongan sudah tiba di istana, kakek itu pun mengagumi keindahan istana tua itu. Suasananya tertib dan tenteram, dan wajah-wajah yang dijumpainya di kota raja, dari jalan-jalan raya sampai ke para petugas istana, nampak gembira, tanda bahwa negara itu dapat dikatakan cukup makmur.
Wan Tek Hoat memang tinggal di lingkungan istana, yaitu di bagian bangunan sebelah kanan. Pendekar ini langsung mengajak Phang-shinshe untuk memasuki gedungnya dan di ruangan dalam mereka berdua melihat betapa dengan lagak yang lincah jenaka, Hong Bwee sedang bercerita kepada ibunya tentang semua pengalamannya yang hebat dan Ceng Liong berada pula di situ, duduk di atas sebuah kursi dengan sikap canggung di depan ibu anak perempuan itu.
Diam-diam Phang-sinshe memperhatikan wanita yang diajak bicara oleh Hong Bwee dan kagumlah dia. Wanita itu sukar ditaksir usianya. Melihat kecantikan wajahnya dan kepadatan tubuhnya, tentu baru berusia sekitar tiga puluhan. Akan tetapi, dia sudah mendengar akan puteri mahkota Bhutan ini hampir tiga puluh tahun yang lalu ketika puteri ini dengan perantauannya ke timur terlibat dengan urusan-urusan penting di dunia kang-ouw. Menurut taksirannya berdasarkan hal itu, puteri itu tentu usianya sudah empat puluh tahun lebih, tetapi kenyataannya, puteri ini sedemikian cantiknya sehingga nampak belasan tahun lebih muda.
Memang sesungguhnya, Syanti Dewi pada waktu itu telah berusia empat puluh enam tahun! Memang, setelah ia menikah, dari gurunya, juga sahabatnya yang paling dekat dengannya, yaitu Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) Ouw Yan Hui, ia telah menerima obat penawar dari ramuan yang membuatnya awet muda.
Seperti diceritakan dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’, Syanti Dewi dulu pernah mendapat obat yang membuatnya awet muda dan kecantikannya menjadi cemerlang! Memang ia seorang wanita yang memiliki kecantikan yang luar biasa, akan tetapi berkat obat yang didapatnya dari Maya Dewi, guru dalam ilmu kecantikan dari Ouw Yan Hui, kecantikannya pada waktu itu menjadi tidak wajar. Sebelum menikah dengan Wan Tek Hoat, ia telah menerima obat penawar atau pemunah sehingga kecantikannya menjadi wajar lagi. Kini, walau pun ia sudah tidak memakai obat pembuat awet muda, berkat kecantikannya yang memang luar biasa dan kepandaiannya berhias, puteri ini masih nampak muda sekali.
Dengan ramah Tek Hoat lalu memperkenalkan tamunya pada Syanti Dewi yang segera mengucapkan selamat datang dan juga ucapan terima kasih kepada kakek itu. Lalu Phang-sinshe dan Ceng Liong dipersilakan menempati sebuah kamar dalam lingkungan istana itu sebagai tamu agung atau tamu yang dihormati.
Sebagai seorang tuan rumah yang baik dan yang berterima kasih, ketika tamunya menyatakan keinginannya untuk menghadap raja dan berkenalan dengan para pejabat tinggi, Tek Hoat lalu mengajaknya menghadap Raja Badur Syah, juga berkenalan dengan para pejabat tinggi, para menteri dan panglima di Bhutan. Maka dikenallah nama Sinshe Phang Kui sebagai seorang ahli pengobatan dan sulap yang selain pandai, juga yang menjadi sahabat baik dan tamu terhormat dari keluarga Pangeran Wan Tek Hoat.
Berkat ‘nasib’ baik ditambah dengan kecerdikannya, akhirnya Phang-sinshe berhasil menghubungi para pembesar yang mempunyai ambisi besar, berkenalan pula dengan para pejabat yang benar-benar setia dan jujur. Bahkan pada suatu hari, setelah sepekan dia berada di Bhutan, dia bertemu dengan seorang perwira muda yang bertubuh tinggi besar, berdarah bangsawan atau pendeta. Dia sedang duduk di kamarnya pada saat pengawal melaporkan bahwa ada seorang perwira muda mohon untuk bertemu.
Memang pada waktu itu, banyak juga para pejabat tinggi dan sedang minta pertolongan sinshe itu untuk menyembuhkan suatu penyakit, maka kunjungan perwira muda tinggi besar ini pun diterima dengan ramah oleh Phang-sinshe. Tamu itu dipersilakan duduk dan mereka duduk berhadapan terhalang meja.
“Maafkan kalau saya mengganggu. Phang-sinshe yang mulia. Saya bernama Brahmani dan saya ingin minta pertolongan sinshe yang pandai.”
Diam-diam Phang-sinshe mengamati tamunya. Seorang muda raksasa yang bertubuh kuat dan sehat, sedikit pun tidak menunjukkan adanya gejala atau gangguan penyakit. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya.
“Ciangkun menderita penyakit apakah?”
Brahmani tersenyum. “Saya ingin minta bantuan dalam hal lain, bukan untuk mengobati penyakit.”
“Bantuan dalam hal lain? Apakah itu? Ciangkun membingungkan saya.” Phang-sinshe memandang tajam penuh selidik. Orang ini nampaknya cerdik sekali, dia harus waspada agar rahasianya jangan sampai terbuka.
“Saya mendengar bahwa sinshe adalah orang yang banyak merantau dan sudah amat berpengalaman, dan sebelum tiba di Bhutan tentu telah menjelajah daerah-daerah utara dan timur. Tentu saja sinshe sudah banyak mengenal orang-orang pandai, bukan?”
Oleh karena belum mengerti ke mana arah tujuan percakapan itu, Phang Kui hanya mengangguk dan terus memasang sikap mendengarkan dan tutup mulut.
“Begini, Phang-sinshe, saya ingin sekali mengetahui apakah sinshe mengenal seorang tokoh besar yang bernama....” Perwira itu celingukan dan setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat orang lain, melanjutkan, “Hek-i Mo-ong?”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati kakek itu mendengar nama julukannya yang dirahasiakan itu disebut! Dia menatap tajam untuk beberapa lamanya, tanpa perubahan sedikit pun pada air mukanya dan dia pun bertanya perlahan-lahan, “Aku memang banyak merantau dan banyak mengenal orang. Akan tetapi sebelum aku menjawab pertanyaanmu tadi, aku ingin tahu ada hubungan apakah ciangkun dengan dia? Apakah ciangkun temannya ataukah musuhnya?”
Berkata demikian, diam-diam Hek-i Mo-ong alias Phang-sinshe telah mempersiapkan diri. Kalau perlu, untuk menjaga rahasianya, dia akan membunuh orang ini. Kalau dia turun tangan, menggunakan serangan maut yang cepat, siapa yang akan melihat atau mengetahuinya?
Brahmani juga bersikap hati-hati sekali, tapi karena dia sudah memperoleh keterangan dari atasannya tentang kakek ini, dia bersikap tenang dan sambil tersenyum dia pun berkata, “Sinshe, harap jangan menaruh curiga. Ketahuilah bahwa aku mendengar mengenai dia dari saudara Siwananda dan dari beliau itulah saya mengetahui akan kedatangan sinshe di Bhutan ini.”
Phang-sinshe mengangguk-angguk. “Hemm, apa buktinya?”
Brahmani lalu menggambarkan tentang pertemuan puncak antara Hek-i Mo-ong, Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, yang menghadap Gubernur Yong Ki Pok dan dapat menceritakan jalannya pertemuan itu, apa yang dirundingkan dan akhirnya berkata, “Aku pun mendengar dari atasanku bahwa sinshe akan datang ke Bhutan dan aku telah siap-siap untuk melakukan hubungan dengan sinshe. Akan tetapi melihat betapa sinshe selalu amat akrab dengan Pangeran Wan Tek Hoat dan para sahabatnya, aku menjadi takut dan ragu-ragu, sehingga baru sekarang berani mendekati sinshe.”
Sekarang Hek-i Mo-ong tidak ragu-ragu lagi. Kiranya Brahmani ini adalah anak buah Siwananda, Koksu Nepal itu. Tentu perwira muda ini seorang mata-mata Nepal yang berhasil menyelundup bahkan menduduki pangkat perwira di Bhutan! Dia merasa girang sekali dan mereka lalu bercakap-cakap dengan baik.
Dari Brahmani, Phang-sinshe memperoleh keterangan dan gambaran tentang keadaan di Bhutan yang terjadi secara rahasia. Yaitu tentang pangeran-pangeran dan menteri-menteri yang merasa tidak puas dengan kekuasaan Raja Badur Syah, para pejabat tinggi yang berambisi dan yang telah menjadi sekutu rahasia dari Nepal! Bahkan sudah ada panglima-panglima yang terpengaruh dan mereka ini sudah makan suap yang besar dari Nepal, sudah berjanji bahwa kalau saatnya tiba, mereka akan menggerakkan pasukannya yang berada di bawah bimbingan mereka untuk membantu Nepal!
Tentu saja hati Phang-sinshe menjadi girang bukan main. “Kalau persiapannya sudah begitu masak, kenapa tidak cepat-cepat dilaksanakan? Bukankah kalau Bhutan sudah jatuh, penyerbuan ke Tibet menjadi lebih sederhana dan mudah?” tanyanya.
Brahmani menarik napas panjang. “Ada dua hal yang penting sehingga persiapan kami tertunda-tunda. Pertama dengan adanya Pangeran Wan Tek Hoat yang amat ditaati dan dicinta rakyat, bahkan oleh pasukan-pasukan Bhutan, membuat pemberontakan atau penyerbuan tidaklah semudah itu. Dengan adanya dia, bahkan pasukan-pasukan para panglima yang sudah menjadi sahabat kita itu pun akan enggan melakukan perlawanan terhadap pendekar itu. Dan ke dua, kami tengah menanti perintah dari koksu kami. Kami menerima perintah untuk menghubungi sinshe sebab satu-satunya cara untuk membuat lemah pimpinan Bhutan adalah kalau Pangeran Wan Tek Hoat dienyahkan dari sini.”
Mereka lalu kasak-kusuk mengatur siasat, bagaimana sebaiknya untuk melumpuhkan Raja Badur Syah dan para pembantunya, agar Bhutan dengan mudah dapat diduduki oleh pasukan Nepal untuk maksud penyeberangan mereka ke Tibet dan ke timur…..
********************
“Ceng Liong, mari kita berlomba menangkap kelinci itu!” Hong Bwee berteriak sambil melompat ke depan ketika dia melihat seekor kelinci lari menyusup ke dalam semak-semak.
Melihat kelincahan anak perempuan itu, Ceng Liong tersenyum. Usianya sendiri baru sebelas tahun, akan tetapi dia merasa seperti sudah dewasa ketika berhadapan dengan Hong Bwee yang lincah jenaka. Kini, melihat keriangan anak itu, timbul kegembiraannya dan dia lupa bahwa dia seharusnya bersikap dewasa dan ‘matang’ di depan gadis cilik ini.
“Baik, yang kalah nanti mendapat ekornya saja!” dia pun berseru dan mengejar.
Oleh karena kelinci itu menyusup ke dalam semak-semak berduri, mereka tidak berani menyusul dan hanya menggebrak dari luar semak-semak. Kelinci itu meloncat dan lari, dikejar oleh mereka berdua sambil tertawa-tawa. Akan tetapi ternyata kelinci itu gesit sekali, kalau saja berlari terus di tempat terbuka tentu sudah tertangkap. Akan tetapi tidak, binatang ini menyusup-nyusup ke dalam semak-semak belukar sehingga sukar sekali ditangkap.
Lebih dari dua jam mereka mengejar-ngejar tanpa hasil, sampai napas Hong Bwee terengah-engah dan keringat membasahi leher bajunya. Keadaannya sama dengan kelinci itu yang setiap kali berhasil menyusup ke dalam semak-semak dan bersembunyi, napasnya megap-megap hampir putus dan seluruh tubuhnya menggigil.
Ceng Liong menjadi gemas karena merasa kasihan kepada gadis cilik yang kelelahan itu. Diambilnya dua potong batu dan dengan sebuah batu dia menyambit ke tengah semak-semak belukar di mana kelinci itu bersembunyi. Kelinci itu meloncat keluar, dekat sekali dengan Hong Bwee yang segera berseru girang dan menubruknya. Akan tetapi, kelinci mengelak dan anak itu terpeleset, jatuh terpelanting.
“Aduhhh....!”
Berbareng dengan sambatnya anak itu, kelinci yang lari tadi tiba-tiba juga terpelanting dan diam tak bergerak, kepalanya retak oleh batu yang dilontarkan Ceng Liong karena marah melihat Hong Bwee terjatuh tadi.
“Engkau tidak apa-apa?” Ceng Liong membantu gadis itu bangkit.
Hong Bwee menggeleng kepala. Hanya bajunya yang agak kotor terkena bagian tanah basah dan juga lengan dekat siku terluka oleh batu.
“Aku sudah menangkapnya untukmu!” kata Ceng Liong menuding ke depan.
Hong Bwee memandang dan terbelalak, kemudian lari menghampiri bangkai binatang itu. Diangkatnya bangkai itu dan didekapnya, dan gadis itu membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Liong dengan mata basah sambil mencela.
“Ceng Liong, engkau amat kejam!” Lalu diusapnya bulu kelinci itu. “Kelinci yang malang, engkau telah menjadi korban kekejaman orang....”
Tentu saja Ceng Liong menjadi penasaran mendengar dirinya dituduh kejam. Dengan langkah lebar dia menghampiri gadis itu. “Nona, mengapa engkau mengatakan aku kejam?” Di dalam hatinya dia mengomel. Dia sudah membantu menangkap kelinci itu, tidak memperoleh pujian dan terima kasih, malah dimaki kejam!
“Ehh, nona, kita mengejar kelinci sejak tadi. Setelah aku membantumu menangkapnya, engkau mengatakan kejam. Bagaimana sih ini?”
Akan tetapi Hong Bwee tak menjawab, hanya mengerling tajam dan mulutnya cemberut. Ia lalu berjongkok, meletakkan bangkai kelinci itu hati-hati ke atas tanah, kemudian ia menggali lubang dalam tanah, menggunakan pedangnya. Semua ini dilakukan dengan mulut masih bersungut-sungut dan mata masih merah menahan tangis. Melihat nona kecil itu masih marah, Ceng Liong hanya berdiri dan memandang saja. Akhirnya gadis cilik itu menghentikan pekerjaannya dan dengan sikap penuh khidmat ia mengubur bangkai kelinci itu.
Ceng Liong membelalakkan kedua matanya, terheran-heran. Akan tetapi dia diam saja. Baru setelah gadis cilik itu menimbuni lubang dengan tanah setelah meletakkan bangkai itu di dalamnya, Ceng Liong bertanya, hati-hati akan tapi tidak luput dari nada mengejek karena hatinya juga panas melihat dia dipersalahkan dan kelinci yang dirobohkannya itu malah dikubur!
“Apakah nona hendak menyembahyanginya? Sayang, kita tidak membawa dupa....”
Hong Bwee tidak menjawab, akan tetapi kerlingan matanya yang tajam menyambar, membuat Ceng Liong terdiam. Dia seorang anak yang biasanya gembira dan jenaka, juga nakal, akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja dia seperti menjadi jinak oleh kerling mata gadis cilik puteri Bhutan itu. Dan dia pun makin heran, sampai terbelalak ketika melihat betapa gadis itu kini berlutut di depan kuburan kelinci, lalu menyembah dan mulutnya berkemak-kemik seperti orang membaca doa!
Akhirnya gadis cilik itu selesai dengan ‘upacara’ sembahyang itu dan duduk di atas akar pohon. Mukanya yang cantik itu masih kemerahan, mulutnya masih agak cemberut walau pun sinar matanya tidak semarah tadi. Akan tetapi pandang matanya kepada Ceng Liong hanya melalui kerlingan, tidak langsung.
Ceng Liong yang merasa penasaran juga duduk di atas batu depan gadis cilik itu. Dia menekan perasaannya supaya suaranya tidak terdengar marah. “Nona, sungguh aku merasa penasaran dan tidak mengerti sama sekali mengapa engkau marah-marah kepadaku. Kenapa pula engkau mengubur bangkai kelinci dan bahkan berdoa di depan kuburannya? Apa artinya semua ini?”
Kini Hong Bwee memandang dan alisnya berkerut. “Engkau kejam! Kenapa engkau membunuhnya?”
“Tapi.... bukankah engkau yang mengajak kita memburu kelinci itu, nona?”
“Memang, tapi bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk menangkapnya. Aku ingin memelihara dan menjinakkannya, untuk diajak bermain-main. Akan tetapi engkau telah membunuhnya. Aku tadi berdoa mintakan ampun atas kekejaman dan kelancanganmu!”
Kini Ceng Liong yang terbelalak memandang gadis cilik itu. Minta ampun kepada kelinci yang terbunuh? Apa-apaan ini?
“Tetapi, nona. Bukankah nona sendiri seorang pemburu yang sudah membunuh entah berapa banyak binatang? Pada waktu kita bertemu untuk pertama kalinya, engkau pun membunuh anak beruang, bahkan juga mencoba untuk membunuh induknya. Binatang buruan memang untuk dibunuh!”
“Membunuh dan membunuh ada banyak macam dan perbedaannya! Membunuh harus ada alasannya dan engkau tadi membunuh tanpa alasan! Engkau tidak tahu aturannya membunuh!”
“Wah, membunuh tapi pakai aturan?” Ceng Liong melongo dan melirik ke atas. “Nona, tolong beritahu kepadaku bagaimana sih aturan-aturannya?” Dia merasa lucu dan geli, akan tetapi juga heran dan ingin tahu.
“Engkau banyak merantau akan tetapi bodoh,” kata gadis cilik itu
bersungut-sungut. “Nah, kau dengarkan baik-baik ajaran-ajaran yang
kudapat dari ayah ibuku dan kaum cendekiawan di Bhutan. Kalau kita
terancam bahaya, untuk mempertahankan nyawa dan keselamatan diri, tentu
saja kita harus merobohkan atau membunuh lawan yang mengancam
keselamatan kita itu, baik dia binatang atau pun manusia. Pembunuhan ini
namanya bukan pembunuhan, melainkan usaha bela diri dan ini benar
adanya.” Gadis itu berhenti sebentar memandang dan Ceng Liong
mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Ada lagi pembunuhan ke dua. Kalau kita membutuhkan daging binatang
misalnya, maka sudah benarlah kalau kita membunuhnya, baik untuk
mengenyangkan perut atau untuk memuaskan selera. Akan tetapi ada
pembunuhan ke tiga yang dipantang oleh bangsa kami, yaitu membunuh tanpa
alasan, hanya untuk menyenangkan hati saja. Dan ini dosa besar namanya,
kekejaman yang akan mendatangkan kutuk bagi diri kita. Dan engkau tadi
membunuh kelinci tanpa dua alasan itu. Kelinci itu bukan musuh kita,
tidak mengancam keselamatan kita, juga kita tidak membutuhkannya sebagai
santapan. Dan engkau membunuhnya seperti pembunuhan yang ke tiga tadi,
kejam dan kelinci itu mati sia-sia!”
Ceng Liong terbelalak. Masuk akal juga ucapan gadis cilik ini, bijaksana juga aturan dari bangsa ini. Dia sendiri sudah melihat banyak orang membunuhi binatang tanpa alasan itu, hanya untuk kesenangan hati. Bahkan kaisar sendiri kalau berburu hanya untuk bersenang-senang, hasil buruannya tidak dimakan, tapi dilemparkan dan dibuang begitu saja.
“Tapi, nona....” Dia membantah, bermaksud untuk ‘meringankan’ dosanya. “Ketika aku merobohkannya tadi, aku mengira bahwa engkau malah hendak menangkapnya dan membunuhnya, hendak makan dagingnya.”
“Benarkah itu?” Hong Bwee memandang tajam.
Sinar mata lembut akan tetapi tajam itu seakan-akan berubah menjadi ujung pedang yang ditodongkan ke depan dadanya sehingga otomatis Ceng Liong menarik tubuh atas ke belakang menjauh.
“Tentu saja benar.”
“Kalau begitu, engkau tidak berdosa. Dan aku sudah mintakan ampun kepada kelinci itu untuk dosamu yang kukira membunuh dengan kejam. Akan tetapi sudahlah, berdoa pun baik saja. Kalau lain kali hendak membunuh sesuatu, beritahu dulu aku, ya?”
Sekarang wajah yang manis itu telah menjadi terang dan berseri kembali. Senyumnya mengembang lagi, seperti matahari baru muncul di ufuk timur setelah bumi dicekam kegelapan yang menyedihkan.
Melihat ini, Ceng Liong juga ikut bergembira dan dia pun tersenyum. “Maaf, karena tidak tahu dan salah sangka, aku telah membuatmu berduka, nona.”
“Hi-hi-hik, kalau sudah mengaku salah tentu tidak akan menolak kalau didenda atau dihukum, bukan?”
Ceng Liong mengangkat dadanya. “Tentu saja! Seorang pendekar tidak akan takut mempertanggung jawabkan perbuatannya!”
“Nah, terlepas sekarang! Engkau seorang pendekar!”
Ceng Liong merasa telah terlanjur bicara, maka dengan tersipu-sipu berkata, “Ahh, aku hanya murid Phang-sinshe, hanya bisa mempelajari pengobatan, itu pun masih dangkal, paling-paling aku hanya bisa mengobati orang menderita penyakit kudis, dan tentang ilmu sulap, wah, ada beberapa macam yang kupelajari.”
“Bohong! Engkau tentu pandai silat. Buktinya engkau mampu melakukan perjalanan sampai ke Bhutan, begitu jauhnya....”
“Ahh, engkau hanya menduga saja, nona.”
“Ceng Liong, aku bernama Hong Bwee, atau Gangga Dewi, jangan panggil nona-nona segala macam!”
“Habis, nona adalah seorang puteri istana, bagaimana aku berani....”
“Nah, itu malah sudah berani membantah. Aku memerintahkan engkau mulai sekarang menyebut namaku saja, tanpa embel-embel nona.”
“Baik, non.... ehh…. Hong Bwee.”
Nona kecil itu tersenyum geli. “Sekarang dendanya atas dosamu tadi. Engkau harus memperlihatkan kepandaianmu kepadaku!”
“Nona.... ehhh, engkau tidak berpenyakit kudis. Hong Bwee, bagaimana aku dapat membuktikan kepandaianku mengobati?”
“Bukan itu, yang satunya lagi.”
“Ohh, main sulap? Baiklah, kau lihat batu kecil ini, kugenggam di tangan kanan! Nah, sekarang batu di tangan kanan itu akan kusulap agar pindah ke tangan kiri. Hip-hup-hah!”
Ceng Liong membuat gerakan dengan kedua lengannya, diputar-putar sehingga sedikit mengaburkan pandang mata Hong Bwee. Tentu saja dia tidak pandai sulap, karena ilmu sulap gurunya adalah ilmu sihir dan dia belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi dengan kecepatan gerak tangannya, dia dapat memindahkan batu itu dari tangan kanan ke tangan kiri tanpa dapat terlihat oleh Hong Bwee.
“Lihat batu ini!” Dan ketika dia membuka tangan kiri, di situ nampak batu yang tadi tergenggam di tangan kanan. Dan ketika dia membuka tangan kanan, ternyata di situ terdapat sehelai daun hijau.
“Ah, tidak aneh! Biar pun aku tidak dapat mengikuti gerakanmu, aku tahu bahwa engkau tadi memindahkan batu dan menyambar sehelai daun. Itu hanya dapat dipakai menipu kanak-kanak saja! Bukan kepandaian itu yang kumaksudkan.”
“Habis, yang mana lagi? Aku tidak bisa apa-apa.”
“Jangan engkau membantah hukuman. Aku menghukummu agar sekarang juga engkau mempertunjukkan ilmu silatmu.”
“Aku tidak bisa....”
“Bohong, nah aku akan mengujimu!” Tiba-tiba gadis cilik itu sudah meloncat sambil memukulkan tinjunya ke arah dada Ceng Liong.
Tentu saja, sebagai anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi, dengan otomatis tubuh Ceng Liong bergerak mengelak. Hong Bwee menyerang terus dengan pukulan, tendangan dan tamparan, bahkan ia mempergunakan pula cengkeraman-cengkeraman kedua tangannya. Gerakannya cepat dan teratur baik sekali, berkat ilmu silat yang dipelajarinya dari Wan Tek Hoat.
Melihat gerakan gadis ini mainkan Pat-mo Sin-kun yang dikenalnya, Ceng Liong menjadi kagum. Dia pun tahu bahwa ayah gadis ini, seperti yang pernah dituturkan oleh ayahnya kepadanya, masih terhitung cucu keponakan dari ayahnya sendiri, keponakan tiri, masih agak jauh huhungan darah antara dia dengan Wan Tek Hoat, bahkan sama sekali tidak ada hubungan darah. Dia mendengar bahwa Wan Tek Hoat adalah anak kandung dari seorang yang menjadi anak kandung nenek Lulu, dengan demikian, Wan Tek Hoat adalah keponakan ayahnya dan gadis cilik ini masih terhitung keponakannya sendiri, atau keponakan tiri dari Suma Ciang Bun dan Suma Hui. Gadis cilik ini adalah cucu buyut nenek Lulu.
Agaknya Hong Bwee memang sungguh-sungguh ingin menguji ilmu silat pemuda itu dan ia mendesak terus, mengirim serangan bertubi-tubi.
Diam-diam Ceng Liong harus mengakui bahwa anak perempuan ini memiliki tenaga yang kuat dan terutama sekali amat cekatan dan gerakannya cepat. Maka dia pun tidak berani main-main lagi karena kalau dia lengah, tentu dia akan kena pukul dan dia tidak mau hal ini sampai terjadi. Harga dirinya sebagai laki-laki akan turun kalau sampai dia terkena pukulan atau tendangan yang bertubi-tubi itu.
Maka dia pun segera mainkan Sin-coa-kun, satu-satunya ilmu keluarga Pulau Es yang sudah dilatihnya dengan matang. Ilmu-ilmu lain hanya baru dipelajari teorinya saja dan dia kurang latihan. Akan tetapi, Sin-coa-kun yang telah dilatihnya dengan matang itu cukup hebat.
Kini keadaannya terbalik. Begitu Ceng Liong menangkis dan balas menyerang, repotlah Hong Bwee. Ia terdesak terus sampai terpaksa menggunakan langkah-langkah mundur. Hal ini membuatnya penasaran. Sejak kecil Hong Bwee memang memiliki watak keras dan tidak mau kalah kalau berlatih silat. Ceng Liong hanya sebaya dengannya, paling-paling setahun lebih tua dan hanya seorang tukang obat perantau. Tidak mungkin kalau ia harus kalah dalam ilmu silat oleh anak laki-laki ini.
“Heiiiiittt....!”
Tiba-tiba saja gadis cilik itu menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang dikuncir hitam tebal panjang yang tadi tergantung di belakang tengkuk, kini menyambar ke depan, ujungnya yang seperti moncong ular mematuk ke arah hidung Ceng Liong.
“Ehhh....!” Ceng Liong terkejut sekali dan biar pun dia sudah menarik tubuh atasnya ke belakang, tetap saja ujung kuncir itu masih menampar pipinya.
“Plakk!” Ceng Liong melompat mundur dan mengusap pipinya yang terasa panas.
“Sudahlah, engkau yang menang,” katanya.
Wajah Hong Bwee menjadi kemerahan. “Tidak.... sebetulnya tadi aku yang kalah. Kau maafkan aku, Ceng Liong.”
Pada saat itu muncullah enam orang, semuanya memakai topeng yang menutupi muka mereka dari hidung ke bawah sehingga sukar untuk mengenal wajah mereka. Mereka mengurung dua orang anak itu dengan sikap menyeramkan.
Melihat keadaan mereka yang bertopeng dan bersikap galak, tahulah Ceng Liong bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai niat buruk maka dia pun sudah siap siaga untuk melawan, menyelamatkan diri sendiri dan juga Hong Bwee. Biar pun masih kecil, Ceng Liong sudah memiliki kecerdikan dan pandai menarik kesimpulan, maka dia pun menduga bahwa mereka ini datang untuk mengganggu Hong Bwee sebagai puteri istana, bukan dia yang hanya seorang anak asing di situ dan tidak mempunyai harga untuk diganggu.
Dugaannya memang tepat karena seorang di antara mereka menghampiri Hong Bwee dan berkata dalam bahasa Bhutan, “Anak baik, engkau ikutlah kami baik-baik agar kami tidak usah mempergunakan kekerasan terhadap anak kecil.” Tanpa menanti jawaban, orang yang bertubuh jangkung kurus ini langsung menggerakkan lengannya hendak menangkap pundak Hong Bwee.
“Siapa kau, manusia jahat?” Hong Bwee membentak marah sambil mengelak.
Gerakan gadis cilik ini memang lincah, maka terkaman itu pun luput. Orang bertopeng itu mengerutkan alisnya dan sepasang matanya membayangkan kemarahan. Dia pun lalu menubruk lagi, sekali ini dengan kasar dan lebih cepat.
“Plakkk!”
Hong Bwee menangkis sambil mengelak lagi dan untuk kedua kalinya tubrukan itu tidak berhasil. Orang tadi kini marah sekali dan menyerang dengan tamparan dan tendangan, akan tetapi Hong Bwee melawan dengan gagah. Melihat kawannya sukar menangkap anak perempuan itu, orang ke dua membantu. Akan tetapi baru saja dia menubruk ke depan, dari samping datang sambaran angin. Orang ke dua itu terkejut dan berusaha membalik sambil memutar lengan, akan tetapi dia terlambat.
“Desss....!”
Lambungnya kena ditendang Ceng Liong, tendangan Soan-hong-twi yang keras sekali karena tanpa disadarinya, sumber tenaga saktinya bergerak dan tersalur ke kakinya yang menendang. Orang itu terlempar sampai tiga meter jauhnya dan terbanting roboh!
Ceng Liong hendak mengamuk untuk melindungi Hong Bwee, akan tetapi pada saat itu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar sudah meloncat menghadangnya. Ceng Liong yang marah itu langsung saja mengirim tendangan, menyambut lawan yang menghadangnya ini. Namun terkejutlah dia ketika orang ini dengan mudah mengelak dari tendangan-tendangannya yang dilakukan secara berantai itu. Maklumlah dia bahwa orang ini lihai sekali, maka dia pun segera mengeluarkan Ilmu Silat Sin-coa-kun dan mendesak.
Orang yang menjadi lawannya itu hanya menangkis atau mengelak saja, akan tetapi diam-diam memancing Ceng Liong makin menjauhi sang puteri yang kini dikeroyok oleh empat orang bertopeng! Tentu saja hanya dalam waktu singkat sang puteri telah dapat diringkus dan dibawa pergi.
“Ceng Liong.... Ceng Liong.... tolonggg....!”
Akan tetapi seorang di antara mereka membungkamnya dan mengikatkan sapu tangan di depan mulut anak perempuan itu sehingga tidak lagi mampu berteriak.
Ceng Liong marah sekali dan memperhebat serangannya. Akan tetapi lawannya benar-benar amat tangguh dan biar pun lawannya belum pernah membalas serangannya, dia pun sudah tahu bahwa orang ini bukan tandingannya.
“Ceng Liong, hentikan perlawananmu.”
“Mo-ong....!” Ceng Liong berseru heran sekali dan memandang kepada wajah yang kini sudah tidak tertutup lagi oleh topeng itu. “Apa artinya semua ini? Mengapa Hong Bwee ditawan....?”
“Sabarlah dan mari dengarkan keteranganku. Mereka tidak akan mengganggu nona Hong Bwee. Mereka....”
“Mereka itu siapa?”
“Mereka adalah kawan-kawan kita sendiri. Kau tentu masih ingat akan pembicaraanku waktu itu dengan Gubernur Yong, bukan? Nah, usahaku datang ke Bhutan adalah untuk mengumpulkan dan menghubungi teman-teman sehaluan, untuk membantu penyerbuan tentara Nepal ke Tibet. Dan aku sudah berhasil mengadakan hubungan dengan mereka. Satu-satunya penghalang bagi teman-teman itu untuk membantu Nepal, atau paling tidak jangan mencampuri urusan Nepal kalau menyerbu ke Tibet, hanyalah keberadaan pendekar Wan Tek Hoat yang disegani orang di sini. Maka, jalan satu-satunya untuk membuat pendekar itu sibuk dan tidak mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet, hanyalah dengan menculik anak satu-satunya itu. Jika Nepal sudah berhasil menduduki Tibet, barulah kita kembalikan puteri itu kepada orang tuanya.”
Selagi gurunya bicara, Ceng Liong memutar otak. Tak mungkin dia menentang gurunya ini dengan kekerasan. Dia seorang diri mana mampu menentangnya? Maka dia pun mengangguk-angguk seperti menyatakan setuju, padahal di dalam hatinya, dia sama sekali tidak senang akan siasat keji ini.
“Siasat itu bagus sekali,” dia berkata dan gurunya tersenyum lebar.
“Kami sengaja membiarkan engkau tadi membantu sang puteri, bahkan merobohkan seorang penculik dengan tendanganmu. Engkau hebat, muridku. Dengan demikian, tentu sang puteri menganggap bahwa engkau benar-benar seorang kawan yang setia, dan dengan sendirinya tidak akan ada yang mencurigai aku bercampur tangan dalam penculikan ini.”
“Akan tetapi, bagaimana pun juga, aku minta agar nona Hong Bwee tidak diganggu. Kasihan, dia seorang anak yang baik, sikapnya baik sekali terhadap kita, juga orang tuanya pun sangat baik terhadap kita. Apakah budi mereka itu harus kita balas dengan kejahatan?”
“Ha-ha-ha-ha, muridku yang baik, apakah engkau sudah melupakan pelajaran akan kenyataan hidup yang sudah berkali-kali kau lihat dan kau dengar dariku? Kalau engkau ingin maju dalam hidupmu, jangan hiraukan tentang budi. Melepas budi atau menerima budi hanyalah watak orang-orang lemah dan kita sama sekali tidak lemah! Yang terpenting adalah hasil baik dan menguntungkan untuk kita. Itu saja! Kalau mau bicara tentang budi, maka adanya hanya merupakan balas-membalas yang kekanak-kanakan. Pertama, mereka hutang budi kepada kita karena engkau menolong puteri mereka, kemudian kini keadaannya berbalik karena kita membutuhkan bantuan puteri mereka, untuk memaksa orang tuanya agar jangan menghalangi rencana kita. Bisa repot hidup ini kalau terikat oleh hutang-pihutang budi. Mana kita bisa maju kalau begitu?”
Ceng Liong mengerutkan alisnya. Dalam hatinya, dia sama sekali tidak bisa menyetujui pendapat orang-orang golongan hitam seperti yang dikemukakan gurunya ini. Akan tetapi, selagi Hong Bwee berada di tangan gurunya dan sekutunya, dia harus bersikap cerdik dan tidak menentang, sehingga dia akan dapat leluasa bergerak untuk berusaha menyelamatkan Hong Bwee. Dia tidak perduli akan urusan negara, tidak bermaksud untuk menolong atau membantu Bhutan, akan tetapi bagaimana pun juga, dia harus menolong Hong Bwee.....
Komentar
Posting Komentar