KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-20


Wajah Suma Kian Lee yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri dan diam-diam Hwee Li juga merasa terharu. Pemuda ini memang benar-benar tidak mengecewakan! Pemuda yang berhati lapang, berpandangan luas dan bijaksana. Ya, bijaksana! Jarang ada pemuda seperti ini.

“Terima kasih, Tek Ciang! Engkaulah yang telah dapat menerangkan persoalan yang mengeruhkan hati kami sekeluarga. Engkaulah yang telah menjadi penolong kami dan menghapuskan aib dari nama kami. Engkau tidak akan menyesal, Tek Ciang, karena dengan demikian, aku telah menentukan sejak saat ini bahwa kelak engkau yang akan mewarisi ilmu keluarga kami!” Ucapan Suma Kian Lee keluar dari hati yang setulusnya dan Tek Ciang kelihatan gembira sekali, lalu pemuda ini kembali menjatuhkan dirinya berlutut.

“Terima kasih, suhu, terima kasih!”

Hwee Li kini tidak lagi ingin melempar pemuda itu ke kursinya. Ia malah bangkit dan menyentuh pundak pemuda itu. “Anak bodoh, apakah engkau masih juga menyebut suhu kepada ayah mertuamu?”

“Tek Ciang, bangkit dan duduklah kembali,” kata Suma Kan Lee.

Tek Ciang bangkit dan duduk. Mukanya merah oleh karena malu mendengar ucapan subo-nya tadi, malu akan tetapi girang. Subo-nya yang biasanya bersikap galak itu pun kini bersikap manis kepadanya!

“Suhu dan subo, teecu belum berani lancang merubah sebutan sebelum teecu yakin betul bahwa sumoi akan.... akan mau.... menjadi....” Tek Ciang tidak melanjutkan dan menundukkan mukanya kembali.

Hwee Li saling pandang dengan suaminya. Ucapan pemuda itu seperti mengingatkan dan menyadarkan mereka! Sungguh-sungguh mereka hampir lupa bahwa orang yang bersangkutan bahkan belum tahu. Bagaimana mereka dapat memastikan kalau Suma Hui belum diberi tahu dan belum ditanya pendapatnya?

Membayangkan kemungkinan puterinya menolak, Suma Kian Lee sudah marah. Anak perempuan itu sungguh mendatangkan banyak pusing saja. Petama jatuh cinta kepada keponakan sendiri, ke dua tentunya peristiwa perkosaan itu, dan kalau sekarang sampai menggagalkan segala-galanya dengan menolak perjodohannya dengan Tek Ciang, dia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya.

“Panggil dia ke sini sekarang juga!” katanya memerintah kepada Tek Ciang.

“Baik, suhu.”

Pemuda itu lalu keluar dengan cepat mencari Suma Hui. Dia mendapatkan sumoi-nya itu sedang duduk di ruangan belakang bercakap-cakap dengan Ciang Bun.

“Sumoi, suhu memanggilmu agar menghadap sekarang juga,” katanya dengan sikap halus seperti biasa, sama sekali tidak memperlihatkan perubahan sehingga Suma Hui tidak mencurigai sesuatu.

“Ada urusan apakah ayah memanggilku, suheng?”

“Suhu tidak memberi tahu, hanya minta sumoi datang menghadap sekarang juga. Suhu dan subo menanti di ruangan dalam,” jawab Tek Ciang dengan suara biasa.

Suma Hui saling bertukar pandang dengan adiknya, mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu bersama Tek Ciang masuk ke dalam. Tadi ia sudah mendengar dari Ciang Bun bahwa ayah ibunya berada di dalam ruangan dalam bertiga saja dengan Tek Ciang, agaknya hendak membicarakan sesuatu yang amat penting sehingga ayahnya memerintahkan Ciang Bun untuk keluar dan tidak memperkenankan siapa pun juga masuk tanpa ijin. Selain itu, Ciang Bun juga menceritakan kepadanya tentang cerita Tek Ciang kepada adiknya itu dan dia dapat melihat bahwa suheng-nya itu memang baik sekali. Dan kini suheng-nya disuruh memanggilnya menghadap orang tuanya!

Agak berdebar juga hati Suma Hui melihat wajah ayah bundanya yang serius, bahkan ibunya kini juga nampak serius dan pendiam sekali, tidak seperti biasa terhadap dirinya. Ia dapat menduga bahwa yang akan dibicarakan tentulah hal yang teramat penting.

“Duduklah di situ, Hui-ji,” kata Suma Kian Lee menunjuk ke kursi di samping kiri Tek Ciang. Suma Hui duduk tanpa mengeluarkan kata-kata.

“Hui-ji, ketahuilah engkau bahwa lama sebelum Tek Ciang kuterima menjadi muridku, di antara ayahnya, yaitu mendiang Louw-kauwsu dan aku telah ada perjanjian untuk mengikat keluarga kami berdua dengan perjodohan antara engkau dan Tek Ciang....”

“Ayah....!”

“Dengar dulu!” Ayahnya memotong.

Suma Hui menunduk sebentar, lalu mengangkat muka lagi. Dengan muka pucat akan tetapi sepasang mata menentang, ia memandang ayahnya.

“Hal itu hanya kami berdua yang mengetahui, bahkan Tek Ciang pun baru tadi kuberi tahu tentang perjodohan itu. Memang belum kami resmikan karena tadinya aku hendak menanyakan lebih dulu pendapatmu.”

Legalah hati Suma Hui. Kiranya ayahnya tidaklah begitu lancang mengikatkan dirinya menjadi calon isteri orang tanpa bertanya kepadanya.

“Perlu apa dibicarakan lagi, ayah? Hal itu telah berlalu dan kini tak mungkin dilanjutkan!” katanya singkat, dengan maksud agar ayahnya mengerti bahwa setelah dirinya ternoda, mana mungkin ia dijodohkan dengan orang? Hal itu berarti akan mencemarkan nama sendiri karena akhirnya akan ketahuan bahwa ia bukanlah perawan lagi dan tentu akan menimbulkan keributan yang mengakibatkan nama dan kehormatan keluarga Suma tercemar. Sama dengan membongkar dan memperlihatkan aib sendiri.

“Hui-ji, dengarkan baik-baik. Tek Ciang bukanlah orang lain. Selain dia calon suamimu, juga dia adalah muridku yang akan mewarisi semua ilmu keluarga kita. Oleh karena itu, aku pun telah terang-terangan menceritakan kepadanya tentang mala petaka....”

“Ayah....!” Kembali Suma Hui menjerit dan sekali ini mukanya menjadi pucat sekali.

Akan tetapi Suma Kian Lee mengangkat tangan kanan ke atas menyuruhnya tenang. “Tenang dan lapangkan dadamu, anakku. Tek Ciang bukanlah seorang manusia busuk. Dia adalah seorang gagah yang dapat menghadapi kenyataan yang betapa pahit pun juga. Dia tak menyalahkanmu, Hui-ji, manusia keparat itulah yang terkutuk. Tek Ciang memaklumi keadaanmu, dan ia dengan suka rela hati suka menerimamu menjadi calon isterinya dan melupakan hal yang telah terjadi.”

“Tidak mungkin....!” kata Suma Hui.

“Hui-ji, ingatlah. Urusan itu telah terlanjur diketahui Tek Ciang dan dengan bijaksana dia mau melanjutkan perjodohan itu. Seharusnya engkau berterima kasih. Bukankah itu merupakan jalan terbaik untuk menghapus noda dan aib dari nama keluarga kita? Bukankah engkau sendiri menolak jalan lain yang kutawarkan kepadamu? Nah, hanya inilah jalannya, bahwa engkau harus menjadi isteri Louw Tek Ciang, seorang isteri yang terhormat.”

Suma Hui menjadi bengong, tidak tahu harus berkata bagaimana. Tentu saja ia dapat melihat kebenaran kata-kata ibunya. Noda dan aib pada dirinya akan terhapus kalau ia menjadi isteri terhormat dari seorang pemuda, dan pemuda seperti Louw Tek Ciang bukan pilihan yang buruk. Apalagi bagi seorang yang telah kehilangan kehormatannya seperti dirinya itu!

Tapi.... tapi.... ia mencinta Cin Liong! Bahkan setelah apa yang terjadi, biar pun ia sudah membenci Cin Liong, rasanya tidak mungkin ada pria lain yang menggantikan Cin Liong di dalam hatinya menjadi teman hidup di sisinya.

“Ohh, ibuuuu....!” Ia menubruk pangkuan ibunya dan menangis.

Ibunya merangkulnya, ikut menangis dan membiarkan saja puterinya menangis terisak-isak sampai akhirnya Suma Hui dapat menguasai dirinya. Ia menyusut air matanya, lalu bangkit dan duduk kembali.
“Ayah, ibu.... sebenarnya ada satu saja tersisa cita-cita di dalam sisa hidupku, yaitu membunuh Kao Cin Liong.”

“Aku akan membantumu, sumoi!” tiba-tiba Tek Ciang berkata penuh semangat.

Suma Hui menoleh dan memandang kepada suheng-nya atau tunangannya yang duduk di sebelah kanannya itu, lalu mendengus. “Engkau jangan ikut campur urusanku ini!” Ucapannya keluar dengan jengkel mengingat bahwa kepandaian suheng-nya sangat rendah. Ia sendiri saja bukan tandingan Cin Liong, apalagi suheng-nya yang belum ada seperempatnya.

“Hui-ji, jangan bersikap keterlaluan terhadap kemauan baik Tek Ciang,” kata Suma Kian Lee menegur puterinya.

“Ayah, dia ini mau bisa apa terhadap Kao Cin Liong? Ayah, dengarkan baik-baik. Ayah dan ibu, pendeknya, aku baru mau menikah dengan Louw-suheng kalau dia sudah bisa mengalahkan aku dalam ilmu silat!”

“Hui-ji....!” ibunya menegur.

“Habis, apakah lebih baik kalau kukatakan saja bahwa aku hanya mau menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku?” balas puterinya menantang.

“Baiklah!” kata Suma Kian Lee. “Akan tetapi ingat, seorang gagah tidak akan menjilat kembali ludahnya sendiri. Engkau sudah berjanji!”

“Saya tidak akan mengingkari janji!” bantah Suma Hui. “Sewaktu-waktu suheng boleh mencoba kepandaiannya kepadaku!”

“Lihat saja nanti. Tek Ciang bukan saja akan dapat mengalahkanmu, bahkan dialah yang kelak akan dapat membalas dendammu terhadap jahanam Kao Cin Liong!”

Akan tetapi Suma Hui sudah lari meninggalkan ruangan itu dan memasuki kamarnya di mana ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya pada bantal.

Hati Suma Kian Lee marah melihat sikap puterinya itu, akan tetapi dia hanya berkata kepada Tek Ciang, “Mulai hari ini, engkau harus mempersiapkan diri untuk mempelajari ilmu-ilmu silat dengan tekun supaya dalam waktu singkat engkau akan sudah dapat melampaui Hui-ji!”

Pada saat Suma Kian Lee mengeluarkan kata-kata itu, muncul Suma Ciang Bun yang tadi melihat enci-nya berlari keluar dari ruangan itu sambil menutupi muka seperti orang menangis. Karena khawatir melihat keadaan enci-nya, pemuda ini nekat lalu memasuki ruangan dan dia masih sempat mendengar ucapan ayahnya kepada suheng-nya itu. Hatinya merasa tidak senang mendengar ayahnya hendak mengajarkan ilmu kepada suheng-nya agar dapat melampaui enci-nya dalam waktu singkat. Apa artinya itu?

“Ayah, apakah yang telah terjadi? Kenapa enci Hui keluar dari sini sambil menangis?”

“Ciang Bun, mulai hari ini, enci-mu telah menjadi tunangan suheng-mu,” Suma Kian Lee berkata tanpa menjawab pertanyaan tadi secara langsung.

“Ahhh....?” Suma Ciang Bun tertegun dan bengong karena tidak disangkanya bahwa suheng-nyalah yang akan menjadi suami enci-nya, padahal enci-nya sudah mengalami aib.

Melihat puteranya hanya bengong saja sambil memandang Tek Ciang, Suma Kian Lee menegur. “Bun-ji, di mana sopan santunmu? Sepatutnya engkau menghaturkan selamat kepada calon ci-humu (kakak iparmu)!”

Ditegur demikian, Ciang Bun terkejut dan dia pun cepat memberi hormat kepada Tek Ciang sambil berkata, “Suheng, kionghi (selamat)!”

“Terima kasih, sute,” jawab Tek Ciang dengan sikap malu-malu.

Malam itu Suma Hui tak keluar dari kamarnya dan ketika ibunya datang menjenguknya, ia pun tidak mau menemui ibunya, mengunci pintu dari dalam. Ibunya mengerti bahwa hati puterinya itu sedang dalam gundah, dan ia sendiri pun tahu harus bagaimana untuk menghibur hati puterinya. Maka dia pun membiarkannya saja dengan harapan bahwa pada keesokan harinya, setelah kedukaan hati puterinya mereda, dia akan bicara dan menghiburnya.

Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Kim Hwee Li dan juga Suma Kian Lee ketika melihat bahwa kamar Suma Hui sudah kosong dan dara itu telah pergi membawa buntalan pakaian, meninggalkan sesampul surat di atas meja. Hanya sedikit sekali tulisan yang ditinggalkan oleh dara itu di dalam suratnya, yaitu bahwa ia pergi untuk mencari dan membunuh Kao Cin Liong. Itu saja!

Suma Kian Lee menjadi marah. “Anak yang tak tahu diri! Sudah ada bintang penolong berupa Tek Ciang dan ia masih bertingkah. Ia mencari Cin Liong mau apa? Apa yang akan dapat dilakukannya?”

“Biar aku menyusul dan membujuknya pulang,” kata isterinya.

“Hemm, kau kira mudah mencari anak keras hati itu kalau ia sudah mengambil suatu keputusan untuk melarikan diri? Ke jurusan mana engkau hendak mengejar dan mencarinya? Biarkanlah, ia tentu akan gagal dan akan pulang juga,” bantah suaminya dan Hwee Li tak dapat membantah.

Memang dia pun tahu akan kekerasan hati puterinya itu dan seandainya dia dapat mencarinya, hal yang tentu saja sangat sukar karena puterinya sudah pergi sejak semalam, belum tentu puterinya mau dibujuknya untuk pulang.

Kekecewaan demi kekecewaan menimpa suami isteri pendekar itu. Tiga hari kemudian, Ciang Bun juga pergi meninggalkan rumah tanpa pamit dan seperti juga enci-nya, pemuda remaja ini meninggalkan sepotong surat singkat yang menyatakan bahwa dia pergi untuk mencari enci-nya!

Sungguh pun benar Ciang Bun pergi untuk mencari enci-nya, tapi yang mendorongnya pergi bukanlah semata untuk mencari Suma Hui, melainkan karena pemuda ini merasa menyesal dan kecewa bahwa ayahnya telah mencurahkan perhatian sepenuhnya hanya kepada Tek Ciang saja, dan agaknya ayahnya sudah mengambil keputusan bulat untuk mengangkat Tek Ciang menjadi ahli waris ilmu silat keluarga mereka. Hal ini sangat menyakitkan hati Ciang Bun, apalagi ditambah dengan kegelisahan hatinya melihat enci-nya pergi mencari Cin Liong, maka akhirnya pemuda ini pun pergi tanpa pamit, karena kalau pamit tentu tidak akan diperkenankan.

Hati Kim Hwee Li yang merasa kecewa dan berduka ditinggalkan kedua orang anaknya itu dihiburnya sendiri dengan pendapat bahwa memang sudah sepatutnya kalau mereka itu, sebagai pendekar-pendekar muda, meluaskan pengalamannya dengan perantauan. Bukankah ia sendiri di waktu mudanya juga suka merantau dan hidup di alam bebas tanpa pengekangan segala peraturan rumah tangga dan keluarga?

Sedangkan Suma Kian Lee yang merasa kecewa dan marah itu menghibur hatinya dengan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Tek Ciang, calon mantu dan juga pewaris ilmu-ilmunya. Dia menggembleng Tek Ciang mati-matian sehingga pemuda yang memang amat cerdik dan berbakat itu memperoleh kemajuan yang amat cepat.....

********************

Malam itu gelap sekali dan hawa udara amat dinginnya. Semenjak lewat tengah hari hujan lebat turun menyiram bumi dan setelah malam tiba, hujan berhenti akan tetapi angin malam menghembus kuat mendatangkan hawa dingin yang membuat orang malas untuk keluar dari dalam rumahnya. Apalagi malam itu gelap. Awan masih memenuhi udara menghalang sinar bintang dan menyelimuti kota Thian-cin dengan kehitaman. Sunyi dan dingin.

Akan tetapi Tek Ciang tidak memperdulikan kegelapan dan kedinginan malam itu. Dia harus pergi ke kuil kecil tua di luar kota itu. Dia telah berjanji kepada Jai-hwa Siauw-ok untuk datang ke kuil itu setiap minggu sekali.

Selama beberapa bulan ini, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng tidak pernah muncul. Akan tetapi Tek Ciang tetap datang tiap pekan sekali dan biar pun malam hari ini amat sunyi, gelap dan dingin, dia tetap memegang janjinya. Pemuda ini maklum bahwa menghadapi seorang datuk seperti Jai-hwa Siauw-ok, dia harus memegang janji. Apalagi mengingat bahwa datuk sesat itu telah berjasa besar dalam hidupnya, bahkan juga yang memegang kunci rahasia pribadinya.

Dia tahu bahwa berhubungan dengan datuk itu amatlah menguntungkan, baik sebagai sekutu atau pun sebagai guru. Sebaliknya, mempunyai seorang lawan seperti Jai-hwa Siauw-ok yang demikian sakti dan juga amat cerdiknya, amatlah berbahaya.

Setelah tiba di dalam kuil, Tek Ciang memasuki ruangan satu-satunya yang masih terlindung di kuil itu dan atapnya juga masih rapat. Dinyalakannya dua batang lilin seperti sudah mereka sepakati berdua. Dua batang lilin itu sebagai tanda rahasia mereka agar masing-masing dapat mengenal teman.

Setelah dua batang lilin itu bernyala dan diletakkannya di atas lantai, dia pun lalu duduk bersila menanti. Dia akan menanti sampai dua jam di tempat itu, seperti biasa. Kalau selama itu Jai-hwa Siauw-ok tidak muncul, ia akan memadamkan lilin dan meninggalkan kuil, kembali ke rumah keluarga Suma dengan diam-diam tanpa diketahui oleh suhu atau subo-nya. Bahkan pelayan hanya tahu bahwa dia pergi berjalan-jalan.

Sekarang, menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok dilakukannya sambil berlatih semedhi seperti yang diajarkan oleh suhu-nya kepadanya. Selama kurang lebih enam bulan ini, dia telah digembleng secara hebat sekali oleh gurunya, bukan saja dalam gerakan ilmu silat tinggi, akan tetapi juga dalam latihan menghimpun tenaga sinkang. Bahkan kini dia mulai dapat menggunakan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu sakti dari Pulau Es!

Maka dalam menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok, dia pun tidak mau menyia-nyiakan waktu. Apalagi kuil itu menjadi tempat yang amat baik untuk bersemedhi menghimpun tenaga dalam. Selain tempatnya sunyi, juga malam itu amat dingin, cocok untuk berlatih.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara yang amat lembut. Selama digembleng ini, panca inderanya menjadi peka sekali. Munculnya orang secara halus itu pun dapat didengarnya dan dia pun siap waspada karena tidak tahu siapa yang muncul. Tiba-tiba ada desir angin lembut. Dia terkejut dan sudah mengerahkan tenaga untuk menjaga diri dan semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang. Akan tetapi, desir angin yang tajam itu tidak menyerangnya, melainkan menyambar ke arah dua api lilin sehingga padam!

Melihat kenyataan ini, Tek Ciang terkejut sekali. Itulah serangan jarak jauh yang amat ampuh. Akan tetapi karena ditujukan untuk memadamkan lilin, dia pun tahu bahwa yang datang itu tidak berniat jahat kepadanya.

“Siapa....?” bentaknya sambil meloncat berdiri.

“Sssttt.... Tek Ciang, aku sengaja memadamkan lilin-lilin itu!”

“Locianpwe....!” teriak Tek Ciang dengan girang saat mengenal suara Jai-hwa Siauw-ok.

“Ssttt, jangan berisik. Cepat ke sini....,” suara itu berbisik.

Tek Ciang merasa heran karena jelas terdengar dari suara datuk itu bahwa dia sedang dalam keadaan bingung atau ketakutan. Dia pun cepat ke luar melalui pintu belakang dan dalam cuaca yang hanya remang-remang karena kini sebagian awan telah disapu angin dan ada sekelompok bintang berkesempatan memuntahkan sinarnya ke bumi, dia melihat sesosok bayangan yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Tek Ciang cepat memberi hormat.

“Locianpwe, ada apakah....?” tanyanya heran.

“Aku berada dalam kesulitan. Aku dikejar oleh jenderal Kao Cin Liong....”

“Apa....? Di.... di mana dia....?” Tek Ciang terkejut bukan main mendengar ini.

“Sementara aku dapat terlepas dari bayangannya, akan tetapi dia tentu akan muncul juga.”

“Kenapa tidak dilawan saja, locianpwe?” tanya Tek Ciang penasaran.

“Ahhh, kau tidak tahu. Dia lihai sekali dan biar pun belum tentu aku kalah, aku sedang lelah dan aku telah terluka.... engkau harus dapat menolongku menghindarkan diri dari kejarannya, Tek Ciang.”

Otak pemuda itu bekerja dengan cepatnya. “Jangan khawatir, locianpwe. Locianpwe bersembunyi saja di dalam hutan dan aku akan memancingnya agar dia mengejarku. Kebetulan kita menggunakan mantel yang hampir bersamaan. Karena hari hujan saya pun memakai mantel hitam ini. Nah, cepatlah locianpwe bersembunyi. Dari jurusan manakah dia datang mengejar?”

“Dari sana.... nah, aku pergi. Kau harus dapat menyelamatkan aku sekali ini!” Bayangan Jai-hwa Siauw-ok itu berkelebat dan lenyap di dalam kegelapan.

Tek Ciang tidak membuang waktu lagi, terus dia menuju keluar kuil dan mengintai dari balik sebatang pohon besar ke arah dari mana mungkin munculnya Cin Liong. Ada satu jam dia menanti dan akhirnya di bawah penerangan bintang-bintang yang makin banyak bertebaran di angkasa, dia melihat bayangan berkelebatan datang.

Dia tidak dapat melihat jelas wajah bayangan itu, akan tetapi bentuk tubuh itu masih dikenalnya. Tidak salah lagi agaknya, orang itu tentulah Kao Cin Liong. Di depan kuil tua itu, dia melihat bayangan itu berhenti dan seperti ragu-ragu, menoleh ke kanan kiri. Tek Ciang tahu bahwa itulah saat baginya untuk memancing pengejar Jai-hwa Siauw-ok itu meninggalkan tempat itu, maka dia pun cepat meloncat ke depan dan lari secepatnya.

“Engkau hendak lari ke mana?” Kini tak salah lagi karena Tek Ciang mengenal suara Cin Liong.

Dia melarikan diri dengan cepat. Karena dia sering datang ke hutan ini, dia mengenal jalan dan dia berloncatan sambil menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Bayangan itu terus mengejarnya. Akan tetapi Tek Ciang dapat memancingnya sampai jauh meninggalkan kuil itu, ke arah yang berlawanan dari tempat Jai-hwa Siauw-ok tadi bersembunyi.

Sambil berlari, diam-diam timbul suatu niat di dalam hati Tek Ciang. Dia sudah berlatih setengah tahun dan menurut suhu-nya, dia memperoleh kemajuan pesat yang hanya dapat dicapai orang lain setelah berlatih sedikitnya tiga tahun! Bagaimana kalau dia mencoba kepandaiannya terhadap Cin Liong? Dalam keadaan seperti ini, mudah saja baginya untuk menggunakan alasan karena dia dikejar-kejar dan tidak mengenal siapa pengejarnya.

Maka dia kemudian menyelinap di balik semak-semak belukar dan menanti. Tak lama kemudian munculah bayangan Cin Liong yang mengejarnya. Tek Ciang membentak keras dan meloncat ke depan, menyerang Cin Liong. Langsung saja dia menggunakan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang. Pukulannya menyambar ganas dan mendatangkan hawa yang amat panas!

Cin Liong yang mengira bahwa lawannya adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikejarnya dan dibayanginya, karena sudah maklum akan kelihaian datuk ini, cepat mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi lawannya ini dapat menangkis dan dia merasakan hawa panas menjalar melalui lengannya ketika tertangkis itu, juga ketika lawan itu membalas, dia merasa betapa dalam pukulan itu terkandung hawa amat panas. Ilmu seperti ini hanyalah dimiliki keluarga Pulau Es. Dia meragu, lalu menangkis lagi untuk mencoba.

“Dukk!” Lawannya terpental dan terhuyung, akan tetapi dia merasa lengannya panas.

“Hwi-yang Sin-ciang....!” serunya kaget.

Namun lawannya sudah menyerang lagi bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan dahsyat dari Hwi-yang Sin-ciang! Cin Liong yang menjadi terheran-heran itu cepat mengelak beberapa kali, lalu meloncat ke belakang.

“Tahan....!” katanya.

Tek Ciang juga berhenti bergerak dan mendekat. Kini, di bawah cahaya redup bintang-bintang di angkasa, mereka saling mengenal.

“Louw-susiok....!”

“Kao-taihiap....!” Tek Ciang berseru dan mendahului. “Kukira tadinya penjahat cabul itu....!”

“Ehh? Justru aku mengira bahwa susiok adalah Jai-hwa Siauw-ok yang kukejar dan kubayangi selama beberapa hari ini! Mantelnya mirip dan munculnya di tempat yang sama, jadi aku telah keliru sangka. Aih, Louw-susiok, bagaimana engkau dapat muncul di sini....?”

“Aku sore tadi berburu kelinci ke hutan ini seperti yang sering kulakukan dan aku kehujanan, meneduh di dalam kuil tua itu. Karena keenakan di situ dan hawanya dingin sehabis hujan, aku tertidur dan baru setelah gelap aku terbangun. Ketika hendak pulang, baru keluar dari kuil aku bertemu dengan seorang pria yang kukenal adalah penjahat cabul yang dulu pernah kulihat berkelahi denganmu itu....”

“Nah, dia itu Jai-hwa Siauw-ok!” kata Cin Liong. “Lalu bagaimana? Ke manakah dia?”

“Aku melupakan kelemahan sendiri. Mengenali dia sebagai orang yang pernah berkelahi denganmu, aku menduga bahwa tentu dia itu penjahat cabul, maka aku pun lantas menyerangnya. Akan tetapi, dia lihai sekali. Dalam beberapa jurus saja aku sudah terdesak, bahkan nyaris celaka kalau aku tidak cepat-cepat meloncat ke dalam gelap dan bersembunyi di balik pohon. Aku mendengar dia menggerutu, ‘Huh, tidak ada tempat aman, lebih baik sembunyi di kota raja’ dan dia pun lenyap. Ehhh, tak lama kemudian dia muncul lagi maka aku melarikan diri. Kiranya yang muncul adalah engkau yang kukira penjahat itu. Setelah aku lari terus dan akhinya tidak kuat lagi, aku nekat dan menyerangmu yang kukira dia!”

“Dan kusangka engkau adalah Jai-hwa Siauw-ok! Hemm, dia memang cerdik. Kiranya dia hendak bersembunyi di kota raja? Kalau tidak kebetulan engkau mendengarnya, siapa akan mengira dia bersembunyi di kota raja? Bagus, aku akan menangkapnya di sana!”

“Kao-taihiap, bagaimana pula engkau dapat mengejarnya sampai ke sini?” Tek Ciang bertanya, suaranya mengandung kekaguman.

“Ahhh, sudah lama kucari-cari dia. Ingin aku bertanya dia tentang peristiwa malam itu di Thian-cin. Akan tetapi dia tidak pernah mau bicara, bahkan melawanku atau lari. Aku membayangi terus sampai ke sini. Susiok, bagaimana keadaan.... ehhh, keadaan.... bibi Hui dan keluarganya?”

“Apakah engkau tidak mendengarnya, Kao-taihiap?”

Cin Liong menarik napas panjang, menggeleng kepala. “Aku tidak berani mendekati keluarga Suma, bahkan aku belum pernah kembali ke kota raja. Aku berkeliaran saja mencari Jai-hwa Siauw-ok dan hanya kebetulan saja aku bertemu dengan dia beberapa hari yang lalu. Selain itu, juga banyak urusan mengenai pemberontakan yang harus kutangani.”

“Ahh, banyak hal terjadi di dalam keluarga Suma, taihiap, dan aku sendiri sungguh menjadi tidak enak dan berada dalam kedudukan yang serba salah.”

“Apakah yang telah terjadi, susiok?” Cin Liong mendesak. “Apakah paman kakek Suma Kian Lee belum pulang?”

“Sudah, suhu dan subo sudah pulang bersama sute Suma Ciang Bun.”

“Hemm, syukurlah kalau paman Ciang Bun sudah dapat pulang dengan selamat. Lalu peristiwa apa yang membuatmu tidak enak?”

“Aku melihat suami isteri yang gagah perkasa datang bertamu. Aku sendiri tidak berani ikut menyambut. Akan tetapi mendengar bahwa mereka adalah ayah ibumu, taihiap, yaitu Kao Kok Cu-locianpwe dan isterinya.”

“Benarkah?” Jantung Cin Liong berdebar tegang. “Lalu bagaimana?”

“Mereka hanya sebentar saja bertamu, lalu keluar lagi dan baru kemudian aku dengar bahwa mereka datang untuk meminang sumoi untukmu.”

“Lalu....?”

“Agaknya pinangan itu oleh suhu ditolak, taihiap. Maklumlah, mungkin karena masih ada hubungan keluarga.”

Tentu saja Cin Liong merasa terpukul, walau pun dia sudah dapat menduga akan hal itu. Lagi pula, setelah sekarang Suma Hui membencinya dan bahkan berkeras hendak membunuhnya, apa lagi artinya andai kata pinangan diterima juga?

“Kemudian bagaimana?”

“Kemudian.... kemudian pada suatu hari suhu memanggilku. Suhu dan subo memberi tahu bahwa sebetulnya antara suhu dan mendiang ayah telah ada perjanjian untuk.... menjodohkan sumoi dan aku....”

“Hemm, begitukah? Lalu....?”

“Lalu suhu dan subo minta agar perjodohan itu dilanjutkan....”

“Dan engkau....?”

“Itulah, taihiap, yang membuat aku merasa tidak enak dan serba salah. Aku adalah seorang yatim piatu yang tidak berharga dan tidak berguna. Kemudian keluarga suhu dan subo sudah melimpahkan kebaikan kepadaku dan sudi mengambil aku sebagai murid. Bagaimana mungkin aku dapat menolak kalau mereka mengajukan permintaan agar perjodohan itu dilanjutkan?”

“Hemmm....”

“Di lain pihak, hatiku juga merasa berat sekali karena aku tahu betul bahwa antara taihiap dan sumoi....”

“Ya....?”

“Terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam! Mana mungkin aku merusak hubungan baik kalian itu?”

Tentu saja diam-diam Cin Liong merasa berterima kasih sekali kepada pemuda ini yang dianggapnya benar-benar seorang yang bijaksana dan baik. “Ahh, terima kasih, susiok. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu itu, walau pun sekarang baru dalam taraf pernyataan. Akan tetapi, sekarang, lalu bagaimana baiknya?”

“Kita harus bersabar, taihiap. Aku juga sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat keluar dari kesulitan ini dengan baik. Sementara itu, kurasa sebaiknya kalau taihiap tidak memperlihatkan diri lebih dulu kepada keluarga Suma.”

Cin Liong mengangguk-angguk dan menganggap bahwa pendapat itu memang tepat. Muncul dalam keadaan sekarang ini sungguh tidak menguntungkan. Bukan hanya Suma Hui yang tiba-tiba membencinya, akan tetapi juga keluarga Suma agaknya telah menolak pinangan ayah ibunya.

“Baiklah, aku akan melanjutkan pengejaranku terhadap Jai-hwa Siauw-ok. Aku yakin bahwa dia ada sangkut-pautnya dengan sikap Suma Hui terhadap diriku. Sampai jumpa, Louw-susiok!”

“Selamat jalan, taihiap!”

Cin Liong berkelebat lenyap dari depan pemuda itu. Sampai lama Tek Ciang termenung dan berusaha menenteramkan perasaannya yang tadinya terguncang. Jelaslah bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi Cin Liong!

“Bagus.... bagus sekali! Engkau telah memperoleh kemajuan hebat dalam kecerdikan. Ha-ha-ha, engkau sungguh membuat aku kagum dan bangga, Tek Ciang!”

Pemuda itu terkejut bukan main melihat munculnya Jai-hwa Siauw-ok secara tiba-tiba itu. “Ssshhh, locianpwe, jangan ke sini dulu. Bagaimana kalau dia datang kembali?”

“Ha-ha-ha, jangan bodoh. Aku tidak akan sesembrono itu. Sudah kulihat bahwa dia pergi jauh menuju ke kota raja. Ha-ha-ha!”

Legalah hati Tek Ciang dan dia pun tertawa. “Yang belum kuat harus menggunakan kecerdikannya, locianpwe.”

“Tepat. Yang belum kuat, bukan tidak kuat. Engkau akan menjadi orang yang kuat, jauh lebih hebat dari pada aku. Aku suka sekali kepandainmu, dan malam ini engkau telah menyelamatkan nyawaku. Ketahuilah, aku bertemu dengan jendral muda itu selagi aku terluka dalam sebuah pertempuran. Maka, aku tidak mungkin dapat melawannya sepenuh tenagaku. Untung engkau mendapat akal yang sebaik itu, mengatakan aku ke kota raja. Mari kita kembali ke dalam kuil dan bicara.”

Mereka berdua kembali ke kuil tua itu dan dengan penerangan dua buah lilin mereka duduk bersila berhadapan. Jai-hwa Siauw-ok membuka bajunya dan ternyata ada bekas luka yang cukup dalam di pundaknya, bekas tusukan pedang. Tek Ciang melihat datuk itu mengobati lukanya.

“Apakah yang telah terjadi, locianpwe? Bagaimana orang sesakti locianpwe sampai terluka?”

Kakek pesolek itu tertawa. Memang merupakan watak kakek cabul ini untuk selalu bergembira dan selalu memandang kehidupan ini dari segi yang menggembirakan. Maka dalam keadaan terluka sekali pun dia masih bisa tertawa gembira.

“Kau kira orang seperti aku ini sudah tidak dapat dilukai atau dikalahkan orang? Ketahuilah, Tek Ciang. Betapa pun tingginya gunung masih ada awan yang lebih tinggi lagi. Karena itu, engkau harus belajar sebanyak mungkin. Engkau harus lebih lihai dari pada aku, dan hal ini tidak mustahil bagimu yang kini menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es. Luka ini gara-gara seorang perempuan yang tadinya kusangka perawan tidak tahunya janda genit. Sialan!”

Dia tertawa lagi dan menceritakan betapa di kota Pao-ting, seperti biasa, ketika melihat seorang gadis cantik bersembahyang di kelenteng, hatinya tertarik. Dia membayangi gadis itu sampai ke rumahnya dan pada malam harinya, jai-hwa-cat ini seperti biasa mendatangi rumah itu, melepas dupa asap pembius dan berhasil menculik wanita itu.

Akan tetapi dia ketahuan dan dikepung. Tak disangkanya bahwa pemilik rumah gedung di mana wanita itu tinggal adalah seorang jago pedang yang lihai dari Bu-tong-pai bersama saudara-saudara dan murid-muridnya. Betapa pun lihainya, karena dia sambil memanggul tubuh wanita yang diculiknya, akhirnya dia terkena tusukan dan melarikan diri sambil membawa wanita itu.

“Aku berhasil membawanya keluar kota, ha-ha-ha, dan jerih payahku terbayar, luka di pundakku tidak kurasakan ketika aku berdua saja dengannya. Akan tetapi, sialan, dia hanya seorang janda genit yang menjadi selir jago pedang itu. Maka setelah puas kubunuh saja janda itu. Tak tahunya para pengejar tiba dan aku dikeroyok lagi. Untung aku dapat melarikan diri membawa luka.”

Wajah Tek Ciang berseri dan matanya bersinar-sinar ketika dia mendengar cerita datuk itu tentang penculikan wanita dan pemerkosaan korbannya. Dia membayangkan betapa menyenangkan hal itu.

“Lalu locianpwe bertemu dengan Cin Liong?”

Kakek itu mengangguk dan menyumpah. “Memang aku sedang sial! Dalam perjalanan menuju ke Thian-cin karena aku ingin beristirahat dan minta bantuanmu akibat aku sedang terluka, aku bertemu dia dan dia segera menyerangku. Tentu saja payah bagiku untuk dapat melawan sepenuhnya karena lukaku terasa nyeri sekali. Aku melarikan diri dan untung ada engkau yang menyelamatkan aku.”

Kakek itu sudah selesai mengobati luka di pundaknya dengan obat yang selalu dibawa dalam saku jubahnya, lalu dipakainya kembali baju dan jubahnya. Mendadak tangan kirinya bergerak dan nampak sinar berkilat di bawah cahaya lilin. Tek Ciang terkejut sekali melihat bahwa tangan kiri kakek itu sudah memegang sebatang pisau belati yang berkilau tajam. Akan tetapi dia dapat menguasai dirinya sehingga kelihatan tenang saja.

“Tek Ciang, engkau tahu bahwa kita sudah saling tolong. Aku suka padamu dan aku melihat bahwa kelak engkaulah orang yang dapat mengangkat tinggi namaku. Aku ingin mewariskan ilmu-ilmuku kepadamu.”

Tentu saja Tek Ciang girang sekali dan cepat berlutut. “Locianpwe maksudkan untuk mengambil saya sebagai murid?”

“Bodoh! Engkau adalah murid Pulau Es! Tidak, bukan murid, tapi sebagai anakku!”

“Anak....?”

“Ya, di antara kita terdapat kecocokan yang mungkin melebihi kecocokan anak dan ayah. Bagaimana, maukah engkau menjadi anak angkatku dan kelak mewarisi seluruh kepandaianku dan melanjutkan kebesaran namaku?”

Tek Ciang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk sesat yang aneh. Dia memang suka kepada orang ini dan kalau dia menolak, bukan hal aneh kalau orang ini begitu saja membunuhnya dengan pisau itu! Jelas jauh lebih banyak untungnya kalau dia menerima dari pada menolak.

“Locianpwe telah begini baik kepadaku, bagaimana aku berani menolak?”

“Engkau mau? Mau menjadi puteraku?”

“Tentu saja aku mau.”

“Bagus! Hayo kau sebut ayah padaku!”

“Ayah!”

“Ha-ha-ha!” Jai-hwa Siauw-ok tertawa bergelak, lalu merangkul pemuda yang sedang berlutut itu dan menciumi pipinya dan suara ketawanya kini berubah menjadi setengah menangis! Menangis saking girangnya. Lalu tertawa lagi sehingga diam-diam Tok Ciang mengkirik seram.

“Ha-ha-ha, selamanya aku tidak bisa mempunyai keturunan, karena itu aku tidak mau beristeri. Tapi tanpa isteri kini aku punya anak, sudah sebesar engkau, setampan dan secerdik engkau. Hati siapa takkan girang? Ke sinikan lenganmu!”

Tek Ciang menjulurkan lengan kirinya. Kakek pesolek itu menangkap lengan itu dan menyingsingkan lengan bajunya, juga dia sudah menyingsingkan lengan baju tangan kirinya, kemudian secepat kilat pisaunya menyambar. Tek Ciang terkejut, tetapi pemuda yang cerdik ini maklum bahwa andai kata datuk itu hendak membunuhnya sekali pun, dia tidak akan mampu melarikan diri, maka dia pun pasrah dan sedikit pun tidak nampak takut.

Hal ini agaknya menggirangkan hati Jai-hwa Siauw-ok dan ujung pisaunya sudah menggurat permukaan lengan Tek Ciang. Terasa perih sedikit dan nampaklah darah menitik keluar lengan. Lengan kiri Jai-hwa Siauw-ok sendiri pun sudah luka tergores dan berdarah pula.

Datuk sesat itu lalu menempelkan bagian lengannya yang terluka dan berdarah itu pada lengan Tek Ciang yang berdarah sehingga darah yang menetes-netes keluar dari luka lengan mereka itu bercampur dan ketika kakek itu mengangkat kembali lengan kirinya, darah yang sudah bercampur itu sebagian melekat di lengannya dan sebagian melekat di lengan Tek Ciang. Dia lalu mengisap dan menjilati darah di lengannya itu.

“Hayo minum darah di lenganmu itu!” katanya.

Tek Ciang mencontoh perbuatan ayah angkatnya, mengisap dan menjilati, menelan darah yang berlepotan di lengannya sampai bersih.

“Ha-ha-ha, kita sekarang sudah sedarah, bukan? Engkau anakku dan aku ayahmu. Mulai sekarang, engkau akan kulatih dengan diam-diam sehingga kelak engkau akan mewarisi semua ilmu-ilmuku.”

Demikianlah, mulai saat itu juga, Tek Ciang memperoleh pengganti ayah dan juga guru. Tentu saja dia menjadi semakin lihai. Namun dengan amat cerdiknya, pemuda ini dapat merahasiakan semua ilmu yang diperolehnya dari ayah angkatnya sehingga Suma Kian Lee dan isterinya yang cerdik itu pun sama sekali tidak pernah menduganya.....

********************

Biar pun pada waktu itu Kerajaan Mancu, yaitu Dinasti Ceng, sedang mengalami masa jayanya di bawah bimbingan Kaisar Kian Liong yang bijaksana dan pandai. Namun karena negara itu amat luasnya dan meliputi daerah yang amat jauhnya dari pusat, tidaklah mengherankan apabila timbul usaha-usaha untuk berdiri sendiri di daerah-daerah yang terpencil.

Kaisar Kian Liong dengan pasukan-pasukannya yang amat kuat berhasil menundukkan semua daerah yang hendak memberontak. Akan tetapi pada waktu itu, terdengar desas-desus tentang gerakan-gerakan yang sibuk dilakukan orang di daerah perbatasan jauh di barat.

Karena jauhnya dan juga karena sukarnya mengendalikan daerah pegunungan yang liar di barat itu maka Kaisar Kian Liong agak terlambat mengetahui bahwa diam-diam telah terjadi persekutuan di barat dan ada rencana-rencana jahat diatur oleh para pembesar di daerah barat. Mereka diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Nepal, dengan orang-orang Tibet yang hendak memberontak, yang dibantu pula oleh orang-orang Mongol barat untuk menyerang dan menduduki Tibet. Mereka kemudian akan menyusun kekuatan gabungan di daerah barat untuk menentang Kerajaan Ceng.

Setelah mendengar desas-desus itu barulah kaisar memerintahkan Jenderal Muda Kao Cin Liong untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi sunqguh sayang bahwa jenderal muda itu sendiri terlibat dalam persoalan pribadinya dengan Suma Hui sehingga tentu saja pelaksanaan tugasnya menjadi terganggu.

Gubernur Yong Ki Pok dan sekutunya ternyata telah mendahului usaha penyelidikan kaisar ini. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Gubernur Yong setelah bertemu dengan para sekutunya, memperoleh pembantu baru yang dapat diandalkan, yaitu Hek-i Mo-ong!

Setelah menerima datuk sesat ini sebagai pembantu utama, bahkan sudah menjanjikan kedudukan koksu kelak kalau perjuangan mereka berhasil, Gubernur Yong Ki Pok lalu mengutus Hek-i Mo-ong dengan sebuah tugas pertama yang amat penting. Datuk itu ditugaskan untuk melakukan penyelidikan ke barat, ke daerah Bhutan dan Himalaya.

Dia ditugaskan untuk melenyapkan penghalang dan menghimpun tenaga yang sehaluan agar rencana mereka, yaitu menyerbu ke Tibet dari Nepal. Kemudian bersama-sama, kekuatan gabungan persekutuan itu akan membentuk pertahanan kuat untuk kemudian menyerang ke timur.

Bhutan merupakan penghalang besar bagi Nepal karena Bhutan letaknya di sebelah timur Nepal. Hanya melalui Bhutan sajalah pasukan besar dapat melakukan perjalanan ke timur dengan mudah. Bagi Kerajaan Nepal, pasukan-pasukan mereka hanya dapat melakukan penyerbuan ke Lhasa di Tibet melalui Bhutan, karena kalau tidak, perjalanan mereka akan terhalang Gunung Yolmo Langma yang menjulang tinggi dan daerahnya selain berbahaya juga amat melelahkan bagi pasukan mereka. Selain itu, juga kalau Bhutan membocorkan rahasia mereka dan mengirim berita ke timur, hal itu mungkin saja akan menggagalkan semua rencana.

Bhutan sebetulnya hanya merupakan sebuah kerajaan yang kecil saja. Sebuah kerajaan kecil yang terletak di tengah-tengah Pegunungan Himalaya yang amat luas dan panjang itu. Daerah yang berhawa dingin ini memiliki dataran-dataran subur, lembah-lembah yang indah.

Bangsa Bhutan hidup sederhana dan berbahagia dalam tradisi kehidupan mereka yang sudah tua. Mereka tidak pernah berambisi untuk meluaskan daerah untuk mengeduk keuntungan dari daerah lain, oleh karena itu tidak pernah melakukan perang dengan negara tetangga, tidak seperti Kerajaan Nepal. Kerajaan Bhutan selalu dalam keadaan tenang dan nampaknya mereka hidup selalu dalam suasana damai sejahtera.

Pada waktu itu, yang menjadi raja di Bhutan adalah Raja Badur Syah yang usianya sudah hampir enam puluh tahun. Mestinya, setelah raja tua meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yang harus menggantikannya adalah puteri mahkotanya, yaitu Puteri Syanti Dewi. Namun puteri ini tidak bersedia menjadi ratu, dan menunjuk kakak sepupunya, yaitu Pangeran Badur untuk menggantikannya. Maka, Raja Badur Syah kini memimpin kerajaan yang tenteram itu dan Puteri Syanti Dewi bersama suaminya menjadi pembantu-pembantu dan penasehatnya yang paling utama.

Para pembaca cerita seri ‘Suling Emas Naga Siluman’ tentu tidak asing lagi dengan nama Syanti Dewi ini. Dalam cerita-cerita Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali telah diceritakan dengan jelas semua pengalaman Syanti Dewi yang amat menarik. Kemudian dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’ diceritakan bahwa Puteri Bhutan ini akhirnya menikah juga dengan pria idamannya, setelah mengalami banyak sekali halangan.

Suaminya itu bukan lain adalah pendekar sakti Wan Tek Hoat yang pernah mendapat julukan Si Jari Maut. Ketika kedua orang ini masih muda, perjodohan mereka selalu menemui halangan dan kegagalan sehingga keduanya mengalami banyak penderitaan batin yang amat hebat.

Akan tetapi akhirnya, walau pun keduanya sudah berusia cukup lanjut, yaitu Wan Tek Hoat berusia tiga puluh delapan tahun dan Syanti Dewi berusia tiga puluh enam tahun, mereka dapat berkumpul kembali. Sekarang usia mereka telah mendekati lima puluh tahun dan mereka hidup dengan rukun, tenteram dan berbahagia di Bhutan. Selama itu mereka tidak pernah lagi meninggalkan kerajaan kecil yang penuh ketenangan itu.

Oleh karena semenjak muda selama bertahun-tahun Syanti Dewi merantau ke timur, meninggalkan kerajaan ayahnya dan berkenalan dengan banyak orang kang-ouw dari berbagai golongan, bahkan mengenal pula dengan baiknya Kaisar Kian Liong ketika masih menjadi pangeran, maka tentu saja kini dia menganjurkan Raja Bhutan untuk selalu bersahabat dengan Kaisar Kian Liong. Apalagi mengingat bahwa Wan Tek Hoat juga seorang Han.

Tidaklah aneh jika garis politik pemerintah Kerajaan Bhutan menentang Kerajaan Nepal yang hendak memusuhi Kerajaan Ceng di timur itu. Setiap tahun, Raja Bhutan selalu mengirim utusan membawa upeti atau hadiah-hadiah tanda mengakui kebesaran Kaisar Kian Liong. Kiriman ini tidak menjadi sia-sia, karena selain dapat mempererat hubungan persahabatan antara tetangga, juga utusan itu selalu membawa pulang hadiah-hadiah yang selalu lebih besar dan lebih berharga dari pada upeti yang dikirimkan.

Selain kerajaan kecil Bhutan ini, juga para pertapa dan pendeta yang berada di daerah Pegunungan Himalaya tidak lepas dari perhatian Kerajaan Nepal dan para sekutunya. Mereka ini, para pertapa dan pendeta, adalah orang-orang yang memiliki kesaktian dan mereka ini berpengaruh pula, mengingat bahwa mereka mempunyai banyak murid-murid yang menjadi pendekar-pendekar dan juga pembesar-pembesar.

Maka, Hek-i Mo-ong diutus untuk menyelami keadaan mereka dan sedapat mungkin menarik mereka untuk berpihak kepada persekutuan mereka dan menentang Kerajaan Ceng di timur. Ke dua tempat inilah Hek-i Mo-ong harus pergi, melakukan penyelidikan dan mengatur sedemikian rupa agar keadaan menguntungkan rencana persekutuan mereka.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es