KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-19


Suami isteri tamu itu memberi hormat kepada tuan rumah dengan menyebut ‘paman’ dan ‘bibi’.

“Perkenalkan, inilah anak-anak kami, Suma Hui dan Suma Ciang Bun. Anak-anak, ketahuilah bahwa yang datang ini adalah kakak-kakak kalian, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang terkenal itu.” Kim Hwee Li melanjutkan sambutannya. Suma Hui dan Ciang Bun segera memberi hormat selayaknya, dibalas pula oleh Kao Kok Cu dan isterinya.

“Silakan masuk, kita bicara di ruangan dalam,” Suma Kian Lee berkata, sikapnya ramah akan tetapi wajahnya dingin.

Suami isteri itu mengikuti mereka masuk ke dalam dan segera mereka semua duduk di ruangan tamu menghadapi meja yang panjang dan besar.

“Sungguh kami sekeluarga merasa gembira sekali melihat datangnya Kao-taihiap suami isteri dan kami mengucapkan selamat datang. Akan tetapi di samping kegembiraan itu, kami juga dipenuhi rasa heran karena kalau sampai Kao-taihiap meninggalkan Istana Gurun Pasir dan datang ke rumah kami, tentu ada keperluan yang sangat penting,” Suma Kian Lee memulai percakapan mereka, setelah pelayan datang menghidangkan minuman dan segera pergi lagi ke ruangan dalam.

Kao Kok Cu saling pandang dengan isterinya dan dalam pertemuan pandang mata ini mengertilah Wan Ceng bahwa suaminya minta agar dia saja yang bicara. Nyonya ini tersenyum memandang tuan rumah dan menilai betapa Kian Lee sekarang telah banyak berubah, lebih serius dan selain nampak agak tua juga agaknya kelembutannya yang biasa itu kini menyembunyikan kekerasan di baliknya. Maka, dengan hati-hati ia pun berkata.

“Kami datang untuk membicarakan suatu hal yang amat penting dengan paman dan bibi berdua, maka kami harap kedua adik ini....” Ia memandang kepada Suma Hui dan Suma Ciang Bun.

“Mereka adalah dua orang anak kami yang sudah dewasa. Tidak ada rahasia di antara keluarga kami, maka engkau boleh bicarakan kepentinganmu itu di depan mereka,” Kian Lee sengaja memotong kata-kata Wan Ceng karena dia sudah tahu kepentingan apa yang hendak dibicarakan itu.

Tiada lain tentu tentang perjodohan antara puterinya dan Cin Liong! Pelanggaran adat kekeluargaan ini saja sudah dianggapnya melanggar susila dan membuatnya marah. Maka, dia sengaja menahan anak-anaknya, terutama sekali Suma Hui, agar supaya ikut mendengarkan sehingga gadisnya itu akan sekaligus mendengar keputusannya yang tentu saja akan menolak keras.

Mendengar ucapan tuan rumah yang memotong itu, Wan Ceng dan suaminya kembali saling lirik. Sikap suaminya tetap tenang dan pandang mata suaminya mengisyaratkan agar dia melanjutkan bicaranya. Maka dari itu, setelah menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya, Wan Ceng melanjutkan.

“Sebenarnya, kedatangan kami berdua ini selain ingin berjumpa dan menengok karena sudah lama sekali tidak jumpa, juga ada keperluan penting yang menyangkut diri adik.... ehhh, Suma Hui ini.”

Sukar sekali rasanya menyebut ‘adik’ kepada seorang gadis yang akan dilamar menjadi mantunya.

“Tentu paman dan bibi sudah mengetahui akan adanya hubungan yang amat erat antara Suma Hui dan Cin Liong, putera tunggal kami….” Sampai di sini dia berhenti seperti kehabisan keberanian dan akal, bahkan kemudian menundukkan mukanya saat bertemu pandang mata dengan Suma Kian Lee dan melihat sepasang mata pamannya itu mencorong tanda kemarahan.

Melihat keadaan isterinya itu, hati Kao Kok Cu merasa tidak tega dan dia pun cepat menyambung keterangan isterinya, “Terus terang saja, betapa berat rasa hati kami untuk melaksanakan tugas ini, akan tetapi sebagai orang tua yang ditangisi anak, kami memberanikan diri menghadap paman dan bibi yang mulia untuk mengajukan pinangan atas diri Suma Hui untuk dijodohkan dengan anak kami Kao Cin Liong.”

“Tidak.... tidak pantas....!” Hanya itulah yang keluar dari mulut Suma Kian Lee, namun sudah lebih dari cukup apa yang dimaksudkan.

Kim Hwee Li yang lebih bebas dalam hal adat keluarga, dan lebih mementingkan hati puterinya, segera memperhalus sikap suaminya itu dengan kata-kata yang lunak.

“Kao-taihiap berdua tentu maklum betapa mengejutkan pinangan ini terdengar oleh suamiku. Puteri kami adalah adik kalian, berarti puteri kami adalah bibi putera kalian. Kalau mereka dijodohkan, apa akan kata orang-orang terhadap kita?”

Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Kami bukan tidak mengerti akan hal itu. Akan tetapi, sudah lama sekali kami membebaskan diri dari pendapat orang sedunia. Yang penting adalah benar bagi kami dan karena mereka berdua saling mencinta, maka kami memberanikan diri untuk meminang, hanya untuk melancarkan tali perjodohan yang telah mereka ikat sendiri. Harap paman dan bibi suka memaafkan dan memaklumi keadaan kami.”

“Brakkkk!”

Tiba-tiba Suma Kian Lee menggebrak meja, mukanya merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kemarahan. “Tidak! Ini penghinaan namanya!”

Pada saat itu, Suma Hui meloncat bangkit dari tempat duduknya. Mukanya merah sekali dan perubahan sudah terjadi pada dirinya sejak dua orang tamu tadi datang tanpa ada yang memperhatikannya. Ia seperti mengalami ketegangan yang makin lama semakin memuncak dan sekarang agaknya kemarahannya telah mencapai puncaknya dan ia tidak dapat menahannya lagi.

“Aku pun tidak sudi menikah dengan jahanam Kao Cin Liong! Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darahnya!”

Semua orang meloncat bangkit dari tempat duduk masing-masing dengan hati merasa kaget sekali. Bukan hanya Kao Kok Cu dan isterinya saja yang terkejut mendengar kata-kata itu, bahkan Suma Kian Lee, Kim Hwee Li dan juga Suma Ciang Bun sendiri merasa kaget sekali.

“Enci Hui....!” Suma Ciang Bun berteriak kaget.

“Hui-ji, sikapmu ini sungguh tidak patut!” Kim Hwee Li menegur puterinya.

“Hui-ji, engkau harus dapat mempertanggung jawabkan ucapanmu dan mengemukakan alasan mengapa engkau mengeluarkan pernyataan itu!” Suma Kian Lee juga terkejut sekali karena dia merasa yakin puterinya tidak akan mengeluarkan ucapan seperti itu kalau tidak ada alasannya yang kuat sekali.

“Dia.... dia telah menodaiku....!” Hanya sekian saja Suma Hui mampu bicara karena ia sudah menangis sesenggukan.

“Ahhhh....!” Seruan ini terdengar keluar dari semua orang yang hadir di situ, dan Kim Hwee Li sudah meloncat dan merangkul puterinya. Belum pernah ia melihat puterinya menangis sesedih ini.

“Anakku.... apakah yang telah terjadi....?” tanyanya penuh kegelisahan.

“Hui-ji, ucapanmu itu harus segera dijelaskan!” bentak Suma Kian Lee sambil mengepal sepasang tinjunya.

Ada pun Kao Kok Cu dan isterinya hanya saling pandang, akan tetapi wajah mereka pun berubah agak pucat karena tuduhan yang dilontarkan terhadap putera mereka itu terlalu hebat, terlalu keji!

Suma Hui menyembunyikan mukanya di dada ibunya. Ia mengerahkan tenaga melawan tangisnya, kemudian dengan isak tertahan ia bercerita.

“Malam itu aku sudah hampir tertidur ketika aku mencium bau harum. Aku sadar bahwa ada bau asap pembius, akan tetapi terlambat. Ketika aku meloncat bangun, kepalaku pening dan pada saat itu, ada orang menyerbu kamar dan aku ditotoknya. Kemudian.... aku.... aku tidak berdaya ketika dia memperkosaku....”

“Engkau tahu benar siapa pelakunya?” Suma Kian Lee bertanya, suaranya gemetar penuh nafsu amarah yang ditahan-tahan.

“Dia adalah jahanam Kao Cin Liong!”

Terdengar suara menggeram seperti seekor harimau dan sepasang mata Suma Kian Lee seperti mengeluarkan api ketika dia memandang kepada kedua orang tamunya. “Hemmmm, pantas Louw-kauwsu menuduhnya jai-hwa-cat dan menyerangnya sampai tewas di tangan keparat itu. Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa!”

Wan Ceng melangkah maju menghadapi Suma Kian Lee. Semangatnya timbul seketika mendengar puteranya diancam. Mukanya menjadi merah, sikapnya penuh tantangan ketika dia berhadapan dengan Suma Kian Lee. “Bohong! Aku tak percaya! Tak mungkin puteraku melakukan perbuatan hina seperti itu.”

Menghadapi seorang wanita yang nampaknya juga marah sekali itu, Suma Kian Lee menjadi agak tercengang. Kalau saja yang menentangnya itu Kao Kok Cu, tentu sudah diserangnya, akan tetapi dia tidak mungkin mau menyerang seorang wanita, apalagi wanita itu Wan Ceng yang pernah menghuni dalam hatinya.

Akan tetapi Kim Hwee Li yang tadi merangkul anaknya, mendengar ucapan Wan Ceng itu, meloncat dan menghadapi wanita itu. “Keterangan anakku kau katakan bohong?” bentaknya marah.

“Kalau tidak bohong dia tentu salah lihat!” Wan Ceng membantah “Suma Hui, apakah engkau benar-benar berani sumpah melihat sendiri bahwa yang melakukan perbuatan terkutuk itu adalah Cin Liong?”

“Kamar gelap, aku tidak dapat melihat wajahnya, tetapi suaranya.... dan bicaranya.... dia adalah Kao Cin Liong, tak salah lagi.”

“Fitnah....!” Wan Ceng membentak.

“Wan Ceng! Kao Kok Cu! Kalian dua orang tua yang tidak tahu malu, tidak becus mendidik anak, sehingga melakukan perbuatan hina terhadap anak kami yang malang, dan sekarang kalian malah hendak menuduh anakku membohong? Untuk apa anakku membohong? Sungguh tidak tahu malu!” Kim Hwee Li marah sekali dan dia sudah menerjang maju untuk menampar muka Wan Ceng.

Akan tetapi, wanita ini tentu saja tidak mau ditampar dan cepat ia pun sudah menangkis dan membalas dengan menampar pula.

“Dukkk....! Wuiiitttt!”

Balasan tamparan itu luput karena dielakkan oleh Kim Hwee Li dan tumbukan kedua lengan mereka itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Kim Hwee Li sudah menerjang lagi, kini mengirim pukulan-pukulan berantai yang dahsyat. Namun lawannya bukanlah seorang wanita biasa. Isteri dari Naga Sakti Gurun Pasir itu dapat mengelak, menangkis bahkan membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Kim Hwee Li kehilangan lawannya. Kiranya tubuh Wan Ceng telah disambar oleh suaminya dan dibawa keluar lapangan perkelahian itu dan kini pendekar lengan satu itu menjura dengan sikap tenang.

“Segala urusan dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah. Menggunakan kekerasan bukanlah jalan baik untuk mengatasi persoalan. Kami berdua datang karena tidak mengetahui adanya persoalan itu, kalau kami tahu tak mungkin kami berani datang sebelum membikin terang persoalan ini. Juga agaknya kedua paman dan bibi baru tahu sekarang. Tidak mungkin putera kami melakukan perbuatan tidak senonoh itu, juga agaknya tidak mungkin kalau puteri paman berdua bicara bohong. Oleh karena itu, tentu ada apa-apa di balik semua ini, rahasia inilah yang harus diselidiki dan dipecahkan.”

Melihat sikap pendekar sakti itu yang mengalah, sabar dan tenang, Suma Kian Lee juga menahan dirinya, walau pun hatinya sudah terbakar oleh pengakuan puterinya bahwa puterinya telah diperkosa oleh Cin Liong.

“Kalian sebagai orang tua tentu dapat merasakan bagaimana hebatnya penderitaan kami mendengar pengakuan puteri kami. Tepat seperti dikatakan puteri kami tadi, penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darah!”

“Hemm, paman Suma Kian Lee. Kao Cin Liong masih mempunyai ayah ibu, dan kami sebagai orang tuanya berani mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi benarkah dia melakukan perbuatan itu? Hal ini yang harus kami selidiki lebih dahulu. Kalau memang benar putera kami yang melakukan perbuatan biadab itu, kami berani mempertanggung jawabkannya dan kami yang akan menghukumnya.” Berkata demikian, pendekar berlengan satu ini saling pandang dengan isterinya dan wajah keduanya menjadi merah.

Teringatlah oleh pendekar ini betapa dahulu, di waktu mudanya, karena rangsangan racun, dia sendiri pun melakukan pemerkosaan atas diri Wan Ceng yang kini menjadi isterinya. Apakah ada sesuatu yang mendorong putera mereka melakukan perbuatan yang sama? Apakah ini hukum karma? Ataukah ada hal-hal yang serba rahasia di balik ini? Bagaimana pun juga, mereka menjadi prihatin sekali.

Setelah menjura ke arah fihak tuan rumah tanpa dibalas, Kao Kok Cu segera menarik lengan isterinya yang masih marah-marah itu dan meninggalkan rumah keluarga Suma. Betapa jauh bedanya dengan ketika mereka datang tadi. Tadi mereka datang dengan gembira dan dengan hati mengandung penuh harapan. Kini mereka pergi dengan hati sedih, penasaran dan juga marah.

Setelah kedua orang itu pergi, Suma Hui kemudian menangis dan menjambak-jambak rambutnya sendiri. “Aku akan membunuhnya.... aku akan membunuhnya....!”

Hatinya hancur berkeping-keping. Ia mencinta Cin Liong, bahkan sampai saat itu pun ia tak dapat melupakan pemuda itu. Akan tetapi, pemuda itu telah menghancurkan semua harapan dan kebahagiaannya dengan perbuatan yang keji itu!

Kim Hwee Li bisa merasakan kehancuran hati anaknya, maka ibu ini pun merangkulnya sambil menangis pula.

Suma Kian Lee terduduk dengan muka pucat dan tubuh lemas. Tak disangkanya telah terjadi mala petaka seperti itu! Kini jelas tak mungkin puterinya menjadi jodoh Cin Liong yang masih keponakan puterinya sendiri itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin pula puterinya dapat melanjutkan perjodohannya dengan Tek Ciang setelah dirinya ternoda? Bagaimana dia dapat menyampaikan hal itu kepada pemuda itu? Dan bagaimana pula kalau Tek Ciang menolak? Dia merasa pening memikirkan hal ini dan hatinya semakin jengkel melihat isteri dan puterinya bertangisan.

“Kalau kalian hendak bertangisan, ajaklah ia ke kamarnya dan biarkan aku sendiri di sini. Ciang Bun, keluarlah engkau!” kata pendekar itu dengan wajah lesu.

Kim Hwee Li tahu bahwa suaminya sedang menahan nafsu amarah yang menggelora, maka ia pun lalu menuntun puterinya masuk ke kamar Suma Hui di mana gadis itu melempar diri di atas pembaringan dan menangis sesenggukan, dipeluk oleh ibunya. Sedangkan Ciang Bun, dengan tubuh terasa lesu, pergi ke taman belakang di mana dia melihat Tek Ciang duduk termenung seorang diri.

Dia menahan langkahnya dan memandang pemuda itu dari belakang. Sampai sejauh manakah pengetahuan Tek Ciang tentang enci-nya itu? Bukankah ketika ayah ibunya pergi mencarinya, di rumah ini hanya ada enci-nya, pelayan dan Tek Ciang? Tentu pemuda yang menjadi suheng-nya itu tahu, atau setidaknya mengetahui hal-hal yang ada hubungannya dengan peristiwa itu.

Dia sendiri masih belum dapat percaya begitu saja bahwa Cin Liong telah melakukan hal yang sedemikian rendahnya. Memperkosa enci-nya! Dia mengenal betul jenderal muda itu. Seorang pendekar yang gagah perkasa, yang telah mati-matian membela Pulau Es, bahkan telah menyelamatkan enci-nya dari mala petaka pada saat enci-nya dilarikan oleh penjahat keji Jai-hwa Siauw-ok. Mana mungkin kalau kemudian Cin Liong sendiri yang memperkosa enci-nya?

Akan tetapi, dia pun tahu bahwa enci-nya adalah seorang yang keras hati dan jujur, yang sampai mati rasanya tidak akan mau membohong. Kalau enci-nya mengatakan dengan yakin bahwa pemerkosanya adalah Cin Liong, maka hal itu pun sukar untuk diragukan lagi. Sungguh membingungkan!

Tek Ciang agaknya merasa akan kedatangannya, karena pemuda itu menoleh dan begitu melihat Suma Ciang Bun, dia bangkit dari bangku taman. “Ahhh, sute, apakah tamunya sudah pulang?”

Ciang Bun masih termenung dan hanya mengangguk.

“Siapakah tamunya, sute?”

“Tamunya adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya. Mereka datang untuk meminang enci Hui!” Suma Ciang Bun berkata dengan tegas sambil menatap wajah suheng-nya dengan tajam. “Mereka meminang enci Hui untuk dijodohkan dengan Cin Liong.”

“Ahhh....!” Pemuda itu nampak terkejut akan tetapi tidak berkata apa-apa, hanya alisnya berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.

Ciang Bun mengerti bahwa tentu suheng-nya ini tak suka kepada Cin Liong karena Cin Liong telah menyebabkan kematian ayahnya. Ciang Bun lalu menghampiri suheng-nya. “Suheng, mari kita duduk, aku ingin bicara denganmu.”

Tek Ciang duduk kembali. Mereka duduk berdampingan dan Tek Ciang memandang wajah sute-nya dengan heran. “Bicara apakah, sute?”

“Tentang.... Cin Liong!”

“Ada apa dengan.... dengan Kao-taihiap?”

“Dia telah membunuh ayahmu, bukan? Apakah engkau telah bicara dengan dia setelah peristiwa matinya ayahmu?”

Pemuda itu menarik napas panjang, nampak sedih. “Sudah, dan Kao-taihiap mengakui telah berkelahi dengan mendiang ayah. Dia diserang oleh ayah dan dia hanya membela diri saja. Tentu saja ayah bukan tandingan Kao-taihiap dan.... dan menurut keterangan Kao-taihiap, ayah.... membunuh diri setelah kalah.”

“Engkau percaya akan keterangan itu?”

“Bagaimana tidak? Dia adalah seorang pendekar sakti, seorang jenderal malah.”

“Engkau tidak mendendam?”

Tek Ciang nampak bingung. “Tentu saja aku berduka sekali karena kematian ayah, tapi aku pun tidak dapat menyalahkan Kao-taihiap karena dia lebih dahulu diserang oleh ayah, yang menyangkanya seorang jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini.”

“Apakah engkau percaya bahwa Cin Liong pantas menjadi jai-hwa-cat, suheng?”

“Apa....? Ahhh, entahlah, sute, aku menjadi bingung....”

Hening sejenak. Suma Ciang Bun memutar otak, bagaimana untuk dapat membongkar rahasia terpendam yang mungkin diketahui oleh suheng-nya ini. Sedangkan Tek Ciang bersikap waspada, kini tidak gugup lagi dan dia sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pertanyaan sute-nya.

“Louw-suheng, dahulu sebelum kami pulang, engkau seoranglah yang menemani enci Hui di rumah. Maukah engkau menjawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya?”

Diam-diam Tek Ciang terkejut dan dia memandang kepada sute-nya yang masih remaja dan yang sikapnya halus itu dengan curiga di hati. Akan tetapi dia mengangguk tanpa menjawab.

“Suheng, apakah engkau melihat terjadinya sesuatu yang aneh antara enci Hui dan Cin Liong?”

“Sesuatu yang aneh? Apakah yang kau maksudkan, sute?”

“Ketika Cin Liong datang berkunjung ke sini, bagaimanakah hubungan antara mereka?”

“Baik sekali! Mereka kelihatan akrab sekali, dan sikap Kao-taihiap amat manis.”

“Suheng, kenana engkau menyebutnya Kao-taihiap? Tidak tahukah engkau bahwa dia adalah keponakanku? Jadi dapat disebut murid keponakanmu juga!”

Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia tersenyum. “Ahhh, bagaimana mungkin aku berani menyebutnya sebagai keponakan apalagi murid keponakan? Usianya lebih tua dariku dan ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku.”

“Dan dia sendiri menyebut apa padamu, suheng?”

“Itulah yang membuat hatiku tidak enak sekali, sute. Dia menyebut susiok kepadaku!” Tek Ciang tersenyum malu-malu dan Ciang Bun terpaksa tertawa juga.

Memang aneh kalau seorang pendekar sakti seperti Cin Liong itu menyebut susiok (paman guru) kepada Tek Ciang. Sungguh merupakan keadaan yang terbalik, melihat usianya mau pun tingkat kepandaiannya.

“Sekarang harap kau jawab sebenarnya, suheng. Pernahkah engkau melihat mereka bertengkar?”

Ditanya demikian, Tek Ciang menjadi ragu-ragu dan agaknya merasa sungkan sekali untuk menjawab. Hal ini memang disengaja sehingga dia nampak seolah-olah merasa tidak enak hati kalau harus menceritakan sesuatu yang hendak dirahasiakan. Ciang Bun yang masih hijau dalam hal menilai sikap orang tentu saja menjadi tertarik.

“Suheng, katakanlah. Engkau sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Kalau ada terjadi sesuatu, sepatutnya kalau suheng berterus terang kepada kami. Kalau suheng tak berani bicara langsung kepada ayah, katakanlah saja kepadaku dan aku yang akan menyampaikan kepada ayah. Apakah pernah terjadi pertengkaran antara enci Hui dan Cin Liong?”

Tek Ciang menarik napas panjang sebelum menjawab, seolah-olah dia terpaksa untuk bicara. “Apa boleh buat, mungkin engkau benar, sute, bahwa aku harus menceritakan segala yang kuketahui. Sesungguhnyalah, aku pernah melihat mereka berkelahi!”

“Berkelahi?”

“Sebenarnya bukan berkelahi, tetapi sumoi yang menyerang Kao-taihiap mati-matian dengan pedangnya, dan Kao-taihiap hanya menghindarkan semua serangan itu. Terjadi pada pagi hari dan akhirnya Kao-taihiap melarikan diri dan dikejar oleh sumoi. Aku mencoba melerai, akan tetapi dengan kepandaianku yang tidak seberapa, aku dapat berbuat apa? Tak lama kemudian sumoi kembali dan agaknya ia tak berhasil menyusul Kao-taihiap yang amat lihai itu.”

“Hemm, begitukah? Apakah enci Hui menyerang sungguh-sungguh? Ataukah hanya main-main saja ataukah hanya untuk menguji?”

“Kurasa sungguh-sungguh, sute, karena aku melihat sumoi marah sekali dan benar-benar ia bermaksud hendak membunuh Kao-taihiap.”

“Hemm, sungguh aneh. Kenapa enci Hui marah-marah dan hendak membunuhnya?”

Tek Ciang menggeleng kepala dan wajahnya kelihatan seperti orang menyesal dan ikut bersedih. “Aku tidak tahu mengapa, sute. Pada waktu aku bertanya, sumoi juga tidak mau menceritakan.”

“Apakah tidak terjadi sesuatu di rumah ini pada malam hari sebelumnya?”

Tek Ciang menggeleng kepala.

“Malam itu engkau berada di mana, suheng?”

“Aku? Ahh, aku meronda keliling kota. Aku hendak menyelidiki jai-hwa-cat yang tadinya dicari-cari oleh mendiang ayah. Dan aku sempat melihat Kao-taihiap berkelahi melawan seorang yang amat lihai. Mereka sama-sama lihai sehingga aku yang menonton dari tempat persembunyian tak dapat membedakan mana Kao-taihiap dan mana lawannya. Akhirnya mereka berkejaran dengan amat cepat. Aku ikut mengejar, tapi tertinggal jauh dan malam itu aku mencari-cari tanpa hasil. Menjelang pagi baru aku pulang. Hanya itulah yang kuketahui, sute. Akan tetapi, sute bertanya-tanya ini, sebenarnya ada terjadi apakah? Aku sendiri pun bertanya-tanya dalam hati mengapa sumoi begitu membenci Kao-taihiap dan hendak membunuhnya, padahal tadinya hubungan mereka sedemikian akrabnya?”

Kini Ciang Bun yang menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. “Tidak tahulah, suheng, tidak tahulah....” dan pemuda remaja ini pun meninggalkan suheng-nya dengan hati yang tidak puas.

Semua keterangan Tek Ciang itu tidak membuat terang persoalan. Benarkah Cin Liong melakukan perbuatan yang demikian keji, memperkosa enci-nya? Kemudian setelah mereka kembali bertemu pagi itu, enci-nya lalu mati-matian menyerangnya? Dia menjadi bingung sendiri dan mengepal tinju kalau mengingat akan nasib enci-nya yang malang.

********************

“Sudahlah, Hui-ji. Tahan air matamu dan bersikaplah gagah....” Kim Hwee Li mencoba untuk menghibur hati puterinya.

Suma Hui mengangkat muka memandang kepada ibunya. Wajahnya pucat dan basah air mata, sepasang matanya merah membendul karena tangis. Hati ibu ini hancur rasanya. Belum pernah puterinya yang keras hati ini menangis seperti ini. Ciang Bun lebih sering menangis dari pada enci-nya di waktu kecil. Bahkan diam-diam dia sering merasa heran, mengapa puterinya berhati baja bagaikan seorang jantan sedangkan puteranya bahkan berhati lembut.

“Ibu.... ibu.... rasanya aku ingin mati saja....”

Mendengar ini, Kim Hwee Li merangkul puterinya. Mereka bertangisan, baru sekarang Hwee Li benar-benar menangis. Dia pun dapat merasakan betapa hancur hati puterinya karena kehilangan keperawanannya, apalagi kalau diingat bahwa yang menodainya itu adalah pria yang dicintanya!

“Aku tahu betapa hancur hatimu, anakku. Akan tetapi engkau adalah seorang wanita gagah, tidak semestinya kalau orang-orang seperti kita ini menghadapi sesuatu dengan tangis. Betapa pun besar mala petaka itu, harus kita hadapi dengan gagah! Masih ada pedang kita untuk dapat menebus semua penghinaan yang dilakukan orang atas diri kita, bukan?”

Ucapan ini membangkitkan semangat Suma Hui. Ia bangkit duduk dan menyusut air matanya. Hwee Li membereskan rambut di kepala anaknya yang kacau dan kusut. Setelah kedukaan dan keharuan hati mereka agak mereda, dengan halus Hwee Li lalu berkata, “Sekarang coba kau ceritakan kepadaku apa yang sebenarnya telah terjadi, agar aku dapat ikut memikirkan.”

Suma Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya pada malam jahanam itu. Karena kini yang mendengarkannya hanya ibunya, ia lebih berani bercerita dengan jelas. Tentu saja Hwee Li mendengarkan dengan muka merah karena marahnya, dan beberapa kali wanita ini mengepal kedua tinju tangannya serta mengeluarkan suara kutukan perlahan.

Setelah puterinya selesai bercerita, dia bertanya, “Begitu gelapkah cuaca malam itu di dalam kamar sehingga engkau tidak mengenali wajahnya?”

“Selain gelap sekali, juga kepalaku masih pening oleh pengaruh obat bius itu, ibu.”

“Asap yang berbau harum seperti hio?”

“Benar.”

“Itulah dupa harum pembius yang biasa dipergunakan kaum jai-hwa-cat! Sungguh heran sekali bagaimana seorang jenderal muda seperti Cin Liong itu dapat berubah menjadi seorang jai-hwa-cat! Padahal, kalau dia menghendaki, wanita mana pun kiranya akan bisa dia dapatkan!”

“Mungkin itu suatu penyakit, ibu! Jahanam itu bukan hanya menodai tubuhku, akan tetapi juga menodai cintaku, menghancurkan kebahagiaan hidupku!”

“Tapi, bagaimana engkau bisa begitu yakin bahwa orang itu adalah Cin Liong?”

“Mana aku bisa salah, ibu. Suaranya sudah kukenal baik, dan bisikan-bisikannya ketika merayu.... ahhh, ibu.... sungguh dia bukan manusia....” Gadis itu mengusap kedua matanya yang menjadi basah kembali. “Aku.... aku mencintanya, dan dia pun kelihatan begitu cinta padaku...., akan tetapi, mengapa dia lakukan perbuatan keji itu terhadapku? Mengapa....? Mengapa, ibu....?” Gadis itu menangis lagi.

Kim Hwee Li hanya duduk bengong terlongong, bingung tak tahu harus menjawab bagai mana. Akan tetapi otaknya bekerja mencari jalan keluar yang baik bagi puterinya yang tertimpa mala petaka itu. Ia tahu bahwa jika tidak dicarikan jalan yang terbaik, peristiwa ini akan menjadi luka batin yang takkan dapat disembuhkan lagi.

Tiba-tiba ia mendapatkan akal yang dianggapnya cukup baik. Ia sendiri pernah menjadi puteri seorang datuk sesat, biar pun hanya puteri angkat dan ia pun pernah menjadi seorang tokoh sesat yang kejam dan liar, bahkan tidak memperdulikan sama sekali apa artinya kegagahan atau jiwa pendekar. Dia baru berubah betul-betul setelah bertemu dengan Suma Kian Lee yang kini menjadi suaminya (bacaKisah Jodoh Sepasang Rajawali).

Apa yang dilakukan oleh Cin Liong itu memang jahat sekali, akan tetapi, bukankah perbuatan itu mungkin mempunyai suatu dasar yang ia tidak mengerti? Apakah dengan perbuatannya itu lalu Cin Liong dianggap seorang manusia yang tidak dapat menjadi baik kembali? Dan mereka saling mencinta! Setelah kini Cin Liong menggauli puterinya dengan paksa, maka jalan satu-satunya hanyalah merangkapkan mereka berdua agar menjadi suami isteri!

“Anakku, dengarkan baik-baik. Hanya satu jalan untuk menebus penghinaan dan aib yang menimpa dirimu dan keluarga kita, Hui-ji.”

“Aku tahu, ibu! Hanya darah keparat itulah yang mampu mencuci bersih noda ini dan hanya nyawanya sajalah yang mampu menebus penghinaan ini!”

“Bukan, ada jalan yang lebih baik lagi, anakku. Dengarlah, bukankah engkau amat mencintanya?”

“Itu dulu sebelum....”

“Dan dia pun mencintamu....?”

“Aku tidak percaya lagi! Kalau dia mencinta, tak mungkin dia melakukan....”

“Perbuatannya itu tentu terdorong oleh sesuatu, anakku. Akan tetapi, apa pun yang mendorongnya, hal itu sudah terjadi. Satu-satunya jalan untuk membersihkan namamu dan nama keluarga kita hanyalah kalau engkau menjadi isteri Cin Liong....”

“Tidak....! Tidak....!”

“Mengapa tidak? Dengar, aku akan memaksa pihak keluarga Kao untuk menerimamu sebagai menantunya. Kalau mereka menolak, aku akan mengamuk dan menganggap mereka sebagai musuh besar dan aku akan menyatakan perang antara keluarga Suma dan keluarga Kao! Cin Liong hanya dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan cara menikahimu....”

“Tidak....! Sekali lagi tidak, ibu. Lebih baik mati bagiku dari pada harus menjadi isteri seorang jahanam keparat yang telah memperkosaku! Tanggung jawab jahanam itu hanyalah kematiannya. Cintaku sudah hancur dan berubah benci oleh perbuatannya yang keji itu!”

“Tapi, ini demi membersihkan noda dan aib yang menimpa dirimu! Demi membersihkan nama keluarga kita.”

“Tidak, aku harus mencarinya dan aku akan membunuhnya. Setelah itu, aku pun tidak mau lagi hidup lebih lama di dunia ini.”

“Jangan bodoh. Kepandaiannya amat tinggi, engkau bukan lawannya!”

“Kalau begitu, biar aku mati di tangannya. Dia pun sudah membunuhku sekarang ini, membunuh cintaku, membunuh kebahagiaanku, membunuh harapanku....!”

“Hui-ji! Jangan putus asa seperti itu, anakku....!” Kim Hwee Li merangkul dan hatinya berduka sekali.

Akan tetapi, ia maklum bahwa dalam keadaan yang masih panas ini, akan sukarlah membujuk hati Suma Hui. Ia harus bersabar menanti sampai beberapa lama. Mungkin kalau kemarahan anak itu sudah mereda dan kepalanya sudah agak dingin, ia akan mau mengerti dan dapat diajak berunding mengenai masalah yang mereka hadapi.

Manusia telah kehilangan cinta kasih di dalam hidupnya. Seperti cinta Suma Hui terhadap Cin Liong, dalam seketika dapat saja berubah menjadi kebencian yang amat mendalam, kebencian yang hanya akan terpuaskan kalau ia dapat membunuh orang yang dibencinya.

Tanpa kita sadari, kita sekarang pun hanya memiliki cinta yang semacam ini saja. Kita mencinta seseorang, dan tanpa kita sadari bahwa cinta kita itu sesungguhnya hanya merupakan jual beli saja. Kita mencinta seseorang karena ada sesuatu pada orang itu yang menyenangkan hati kita. Karena wajahnya mungkin. Karena hartanya. Karena sikapnya yang manis. Karena pandainya. Karena namanya, kedudukannya atau lain hal lagi. Pendeknya, kita mencinta karena sesuatu yang ada pada dirinya, sesuatu yang menyenangkan kita. Jadi, bukan ORANGNYA yang kita cinta, melainkan sesuatu pada dirinya yang menyenangkan kita itulah.

Karena itu, apabila sesuatu yang menyenangkan itu berubah atau hilang, cinta kita pun luntur dan berubah menjadi benci! Karena kalau tadinya kita DISENANGKAN, kini kita merasa DISUSAHKAN. Suma Hui tadinya cinta setengah mati kepada Cin Liong karena di samping segala segi baiknya, juga kebaikan pemuda itu menyenangkan hatinya. Kemudian, karena merasa bahwa pemuda itu memperkosanya, menghinanya, kebaikan itu baginya berubah menjadi keburukan dan kalau tadinya disenangkan, kini ia merasa disusahkan dan karena itu, cintanya yang setengah mati itu pun berubah menjadi benci setengah mati!

Yang beginikah cinta kasih? Ataukah ini bukan hanya sekedar cinta birahi saja, atau keinginan memiliki sesuatu yang menyenangkan? Di luar kesadaran kita, kita sendiri pun menjadi pencinta-pencinta seperti ini! Kalau kita mau mendiamkan pikiran yang sibuk ini dan merenung, mengamati ‘cinta’ kita terhadap orang-orang yang kita cinta, isteri, suami, pacar, sahabat dan sebagainya, maka segera nampak nyatalah betapa ‘mengerikan’ wajah dari cinta kita itu.

Sesungguhnyalah, kalau yang kita cinta itu orangnya, maka kita tentu akan mampu menerima orang itu dengan segala baik buruknya, segala cacat celanya, segala kelebihan dan kekurangannya, bukan? Cinta kasih itu sesuatu yang indah, tanpa ukuran, tidak membandingkan, tanpa pamrih, wajar, tanpa hari kemarin atau hari esok. Cinta kasih itu sekarang, saat ini, karenanya langgeng

.

Ketika Kim Hwee Li mengajukan pendapatnya agar Suma Hui dijodohkan saja dengan Cin Liong untuk menebus aib yang telah menimpa keluarga mereka itu, Suma Kian Lee termenung dan mukanya menjadi merah, alisnya berkerut. Sampai lama dia tidak bicara dan dia memikirkan pendapat isterinya itu dengan hati yang tidak karuan rasanya.

Kenyataan bahwa Cin Liong adalah keponakan dari Suma Hui saja sudah membuatnya tidak setuju dan menentang perjodohan itu, apalagi setelah Cin Liong tega melakukan perbuatan yang demikian keji terhadap Suma Hui. Akan tetapi, pendapat isterinya itu harus diakuinya sebagai jalan keluar yang satu-satunya dan yang terbaik. Kalau Suma Hui menjadi isteri Cin Liong, berarti penghinaan itu pun tertebus dan aib pun terhapus.

Hanya ada satu hal saja yang memberatkan, yaitu bahwa Suma Hui menikah dengan keponakan sendiri. Akan tetapi kalau tidak begitu, puterinya itu akan menderita selama hidupnya sebagai seorang gadis yang ternoda, dan nama keluarga mereka akan tercemar, sedangkan keluarganya sudah pasti akan berhadapan dengan keluarga Kao sebagai musuh besar yang dia sendiri merasa ngeri membayangkan akibatnya kelak.

Akan tetapi, masih ada satu jalan lain lagi. Kalau Tek Ciang mau menerima Suma Hui, biar pun gadis itu sudah ternoda! Tentu lebih baik lagi kalau begitu. Aib itu terhapus dan dia pun tidak usah malu mendapatkan seorang cucu keponakan sebagai mantu! Dan tentang dendam itu, tentu saja tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa balas.

“Pendapatmu itu baik sekali, akan tetapi hanya merupakan jalan ke dua. Aku masih mempunyai jalan pertama yang lebih baik, yaitu mengawinkan anak kita dengan Tek Ciang. Ingat, dialah tunangan anak kita yang sebenarnya.”

“Tapi....!” Isterinya membantah dengan kaget. “Mana mungkin itu terjadi setelah....? Apakah dia perlu diberitahu tentang aib itu? Ahh, dia tentu menolak dan sebaiknya kalau hal itu tak diketahui orang lain kecuali keluarga kita sendiri. Kita bisa saja membatalkan pertalian jodoh itu setelah kini ayahnya meninggal.”

Akan tetapi, dengan alis berkerut Suma Kian Lee menggeleng kepalanya. “Aku tahu bahwa Tek Ciang mempunyai hati yang baik. Dia pasti akan mau mengerti dan akan mau melanjutkan perjodohan itu, apalagi dia telah menjadi muridku yang akan mewarisi ilmu-ilmuku kelak.”

“Apa? Ilmu keluarga kita akan kau wariskan kepada orang lain? Bagaimana dengan Ciang Bun dan Hui-ji?” isterinya bertanya, penasaran.

“Ingat, isteriku. Kalau dia sudah menjadi mantu kita, dia bukan orang lain lagi namanya! Kulihat Ciang Bun tidak memiliki kekerasan hati, dia terlalu lembut bagi seorang pria, dan Hui-ji.... biarlah dia belajar dari suaminya kelak.”

Kim Hwee Li tidak dapat membantah lagi. Dianggapnya percuma saja berbantahan dengan suaminya mengenai persoalan ini, karena dia pun mengerti alangkah kukuh suaminya memegang peraturan keluarga. Suaminya ini berbeda sekali dengan Suma Kian Bu, yang lebih bebas dan liar, seperti dirinya sendiri dahulu. Akan tetapi ia tidak mengeluh, bahkan sebenarnya watak suaminya itulah yang mampu menundukkannya, mampu menjinakkan keliarannya.

“Terserah kepadamu. Akan tetapi kalau dia menolak?”

“Kalau dia menolak, dia tak akan mewarisi ilmu-ilmuku, hanya belajar sekedarnya saja, dan barulah kita memperbincangkan usul dan pendapatmu tadi.”

Jawaban ini melegakan hati Hwee Li yang mengharapkan pemuda yang tidak begitu disukanya itu tentu menolak dan suaminya akan terpaksa menerima Cin Liong sebagai mantu. Hal ini bukan berarti bahwa ia sendiri lebih senang memilih Cin Liong sebagai mantu, melainkan karena ia tahu bahwa puterinya tidak mencinta Tek Ciang, melainkan mencinta Cin Liong. Andai kata puterinya mencinta Tek Ciang, ia sendiri tentu tidak keberatan karena yang tidak disukainya akan diri Tek Ciang hanya sikapnya yang terlalu sopan, terlalu merendah dan terlalu kelihatan baik itulah.

“Sekarang juga kita hadapi dia,” kata pula Kian Lee dan dia memanggil Tek Ciang untuk datang menghadap.

Kedua suami isteri ini sengaja memilih ruangan dalam untuk mengadakan pembicaraan dengan pemuda itu dan ketika Tek Ciang datang bersama Ciang Bun, Kian Lee segera minta kepada puteranya untuk keluar dari dalam ruangan itu.

“Bun-ji, ayah dan ibumu ingin bicara sesuatu yang penting dengan Tek Ciang, maka biarkanlah kami bertiga sendiri dan larang siapa pun juga memasuki ruangan ini tanpa ijin kami,” demikian katanya dengan sikap tegas.

Ciang Bun menoleh sejenak kepada suheng-nya, kemudian keluar dari ruangan itu dan segera menemui enci-nya, yang berada di ruangan belakang.

Dengan jantung berdebar-debar akan tetapi muka tetap tenang dan hormat, Tek Ciang memasuki ruangan itu dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suhu dan subo-nya.

“Bangkitlah dan duduklah di atas kursi itu, Tek Ciang,” kata Kian Lee sambil menunjuk sebuah kursi di seberang meja.

“Teecu tidak berani....”

“Diperintah guru berani membantah tapi masih mengatakan tidak berani?!” Kim Hwee Li membentak.

Pemuda itu terkejut, lalu bangkit dan duduk di atas kursi itu, berhadapan dengan guru-gurunya terhalang meja. Kikuk sekali rasanya duduk semeja dengan gurunya, apalagi dengan ibu gurunya yang galak, yang kini menatap wajahnya dengan penuh perhatian dan seperti orang menyelidik.

Kalau saja Hwee Li tahu betapa jantung pemuda itu berdegup keras, tentu ia sendiri akan merasa heran mengapa pemuda ini menjadi begitu gelisah dipanggil menghadap gurunya. Akan tetapi, Tek Ciang memang memiliki keahlian menyembunyikan perasaan hatinya. Wajahnya yang tampan itu nampak tenang saja, penuh rasa hormat.

“Tek Ciang, kami ada urusan penting sekali untuk dibicarakan denganmu,” Kian Lee mulai bicara.

“Teecu siap mendengarkan dan mentaati, suhu,” jawab Tek Ciang dengan sikapnya yang selalu teramat baik itu.

Hwee Li mengerutkan alisnya. Kalau ia yang mempunyai murid seperti ini, tentu sudah dijewernya dan dilarangnya bersikap demikian terlalu amat baik yang berbau kepalsuan itu.

“Beginilah, Tek Ciang. Sebelum ayahmu meninggal dunia, antara dia dan aku telah ada suatu perjanjian mengenai dirimu. Apakah ayahmu pernah bercerita mengenai hal itu kepadamu?”

Tek Ciang tahu betapa kedua orang itu, terutama sekali subo-nya, memandang kepada wajahnya dengan sinar mata penuh selidik, maka dia menarik muka bodoh seperti orang yang benar-benar tidak tahu-menahu apa-apa dan dia menggelengkan kepala. “Teecu tidak pernah diceritakan apa-apa oleh mendiang ayah, suhu.”

“Bagus! Sudah kuduga bahwa ayahmu tentu akan memegang dan memenuhi janjinya kepadaku. Karena ayahmu meninggal tanpa kita duga-duga sama sekali, sekarang aku terpaksa yang memberi tahu kepadamu tentang janji kami itu. Ayahmu dan aku telah mengikatkan perjodohan antara anakku Suma Hui dan engkau, Tek Ciang.” Berkata demikian, Suma Kian Lee menatap wajah yang tampan itu dan di sampingnya, Kim Hwee Li juga memandang dengan penuh perhatian.

Demikian pandainya Tek Ciang bersandiwara sehingga dia mampu membuat wajahnya nampak kaget sekali, agak pucat, kemudian berubah merah dan dia lalu menundukkan mukanya, tidak berani memandang kepada suhu-nya atau subo-nya! Sungguh seperti seorang perjaka tulen yang masih hijau mendengar dirinya akan dikawinkan!

Melihat ini, Suma Kian Lee bertanya. “Bagaimana tanggapanmu tentang janji ikatan kami itu, Tek Ciang?”

“Apa.... apa yang dapat teecu katakan, suhu? Apa lagi selain rasa terima kasih dan keharuan yang sedalamnya bahwa suhu dan subo sudah begitu baik terhadap diri teecu? Teecu tidak mungkin dapat membalas kebaikan ini dan biarlah kelak pada lain penjelmaan teecu akan menjadi anjing atau kuda peliharaan suhu berdua....”

Kalau tak ada suaminya di situ, tentu Kim Hwee Li akan tertawa geli mendengar ucapan pemuda ini yang mengingatkan ia akan adegan sandiwara wayang saja! Betapa pun juga, diam-diam ia mengagumi pemuda ini yang amat pandai membawa diri dan pandai pula mengatur kata-kata menyenangkan hati orang.

“Jadi engkau setuju menjadi calon jodoh Suma Hui?” tanya pula Kian Lee menegaskan.

Tiba-tiba Tek Ciang menjatuhkan diri berlutut kepada mereka dan menangis! Kim Hwee Li tadinya sudah hendak menggunakan kepandaian untuk melempar kembali pemuda yang berlutut itu ke atas kursinya, akan tetapi melihat pemuda itu benar-benar menangis dan bercucuran air mata, ia pun tercengang.

“Ehh, kenapa engkau menangis?” bentaknya heran sedangkan Suma Kian Lee juga memandang dengan heran.

“Teecu.... teecu adalah seorang anak yatim piatu yang tak berguna.... akan tetapi di dunia ini muncul ji-wi suhu dan subo yang begini baik terhadap diri teecu.... ahh, teecu tidak dapat menahan keharuan hati teecu....”

Agak terharu juga hati Hwee Li. Apakah selama ini ia terlalu memandang ringan kepada anak ini? Apakah benar-benar anak ini memang merupakan seorang pemuda yang pandai membawa diri, sopan santun, mengenal budi orang, berhati lembut dan berbudi luhur?

“Tek Ciang, engkau duduklah kembali dan dengarkan kata-kataku lebih lanjut. Belum habis aku bicara dan ada hal-hal yang lebih penting lagi untuk kau dengar selanjutnya.”

Suara Kian Lee terdengar penuh kegelisahan. Pemuda itu menyusut air matanya dan duduk kembali, sambil menundukkan muka. Pipinya masih basah dan matanya agak merah.

“Jadi engkau setuju menjadi calon suami anak kami?” tanya Kian Lee.

“Teecu berterima kasih sekali dan merasa terhormat sekali, tentu saja teecu setuju dengan sepenuh hati teecu.”

“Baik, sekarang dengarkan hal yang amat penting. Kami bukanlah orang-orang curang seperti pedagang yang menjual kucing dalam karung. Kami akan bicara sejujurnya dan kemudian terserah kepadamu untuk mengambil keputusan. Kami hanya menghendaki kepastian bahwa kalau engkau menjadi mantu kami, engkau bukannya karena terpaksa melainkan karena suka rela. Mengertikah engkau, Tek Ciang?”

“Teecu mengerti dan siap mendengarkan.”

“Tek Ciang, menurut penuturan Ciang Bun, engkau tahu bahwa sumoi-mu, atau juga tunanganmu itu, pernah menyerang dan hendak membunuh Cin Liong. Benarkah itu?”

“Benar, suhu. Teecu mencoba melerai namun tidak berhasil.”

“Tahukah engkau mengapa tunanganmu itu menjadi marah, membenci dan hendak membunuh Cin Liong pada pagi hari itu?” tanya pula Kian Lee, suaranya lirih.

“Teecu tidak tahu dan sudah lama teecu bertanya-tanya di hati. Sumoi juga tidak mau memberi tahu kepada teecu.”

Suara Suma Kian Lee semakin lirih dan agak gemetar ketika dia bicara lagi, “Malam itu ada seorang jai-hwa-cat memasuki kamar sumoi-mu dan jai-hwa-cat itu ternyata adalah Kao Cin Liong dan....”

“Ahhh....!” Pemuda itu terbelalak, mukanya pucat.

“....dan.... dan sumoi-mu terkena asap pembius dan.... sumoi-mu diperkosa olehnya....”

“Tidak....! Jahanam itu....! Keparat keji itu....! Teecu bersumpah akan membunuhnya kalau teecu ada kemampuan!” Kini Tek Ciang bangkit berdiri, mukanya merah sekali penuh geram, matanya mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangannya dikepal kuat-kuat. Kim Hwee Li melihat ini semua dan Suma Kian Lee juga.

“Tenang dan duduklah, Tek Ciang. Bukan itu yang penting bagi kami,” kata pendekar sakti itu.

“Maaf, suhu....” Tek Ciang lemas kembali dan duduk, mukanya masih keruh dan bengis membayangkan kebencian yang mendalam.

“Tek Ciang, setelah engkau mengetahui bahwa sumoi-mu, tunanganmu itu kini telah ternoda, apakah.... apakah engkau masih mau untuk melanjutkan ikatan perjodohan ini? Apakah engkau masih mau menerima Suma Hui menjadi calon isterimu?” Di dalam suara pendekar itu terkandung kegelisahan yang membuat hati isterinya terharu.

Hwee Li tahu bahwa kalau pemuda ini menolak, suaminya tidak akan dapat berbuat sesuatu dan tentu suaminya akan mengalami kehancuran hati yang hebat. Maka, biar pun tadinya ia ingin pemuda ini menolak saja agar ia dapat mengusahakan perjodohan antara putrinya dan Cin Liong, kini hatinya bercabang. Kalau pemuda ini menolak, perasaan suaminya akan hancur dan ia sendiri akan ikut merasa berduka.

Sebaliknya kalau pemuda ini menerima, ia akan ikut membujuk Suma Hui agar mau menjadi calon isteri Tek Ciang. Tidak ada jalan lain yang lebih baik.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es