KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-18


Hidupnya sudah berakhir, kebahagiaannya sudah hancur. Dia harus menuntut kepada Cin Liong, ia akan minta pertanggungan jawabnya. Bagaimana pun juga, ia tak mungkin dapat mencinta Cin Liong lagi setelah pemuda itu melakukan hal yang demikian kejinya terhadapnya. Cintanya sudah lenyap bersama dengan kehormatannya yang direnggut oleh pemuda pujaannya itu. Ahhh, benarkah bahwa cinta antara bibi dan keponakan seperti dia dan Cin Liong itu dikutuk oleh para leluhur, dikutuk oleh Thian sehingga menimbulkan mala petaka yang begini hebat atas dirinya?

Siapa kalau bukan Cin Liong yang melakukan perbuatan keji itu? Suaranya tak dapat dilupakannya. Kelihaian pemerkosa itu pun menunjukkan bahwa Cin Liong orangnya. Akan tetapi, mengapa Cin Liong mempergunakan asap pembius? Apakah agar tidak dikenal? Tetapi, ucapan pemuda itu jelas memperkenalkan dirinya! Apakah dasar dari perbuatan kekasihnya itu? Hanya karena dorongan nafsu birah? Tak mungkin!

Saat mereka berpelukan semalam sebelum pemuda itu meninggalkannya, ia pun dapat merasakan gairah birahi pada diri pemuda itu, namun Cin Liong cepat memisahkan diri. Cin Liong bukanlah seorang pemuda hamba nafsu. Ataukah....?

Suma Hui membuka matanya ketika teringat akan hal itu, dan ia cepat bangkit duduk, mengepal tinju. Apakah pemuda itu melakukan perbuatan keji itu dengan maksud agar ayahnya terpaksa memenuhi tuntutan mereka untuk dapat saling berjodoh? Karena ia sudah dinodai maka ayahnya takkan dapat menolak pinangannya lagi karena aib yang menimpa dirinya takkan dapat tercuci?

“Tidak!” Ia mendesis. “Aku tidak sudi! Lebih baik mati dari pada menjadi isteri seorang yang berhati palsu! Noda ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!”

Kemarahannya membuat ia melotot, akan tetapi ia segera membayangkan wajah Cin Liong yang begitu tampan dan sikapnya yang begitu halus dan gagah, dan tak terasa lagi air matanya menetes turun. Sejenak ia membiarkan kekecewaan dan penyesalan menguasai dirinya, akan tetapi kekerasan hatinya segera timbul kembali. Ia bangkit berdiri dan membanting-banting kaki kirinya beberapa kali, kebiasaan yang tak disadari kalau ia sedang marah.

“Kao Cin Liong keparat busuk! Cintaku sudah hancur dan lenyap dan mulai malam tadi, engkau telah menjadi musuhku sampai tujuh turunan!”

Dan ia pun segera membereskan rambut dan pakaiannya, berdandan dengan ringkas, kemudian dengan hati panas seperti dibakar ia melangkah keluar, membawa sepasang pedangnya yang digantungkan di punggung. Hanya satu tujuan memenuhi batinnya, yaitu mencari Cin Liong di rumah penginapan dan membunuhnya kalau mungkin!

“Sumoi....!”

Louw Tek Ciang telah berdiri di depannya. Pemuda itu nampak pucat seperti orang kurang tidur atau orang yang gelisah, akan tetapi tidaklah sepucat Suma Hui. Pemuda itu memandang penuh gelisah ke arah punggung sumoi-nya di mana terdapat sepasang pedang bersilang. Tidak pernah sumoi-nya pergi meninggalkan rumah membawa-bawa pedang.

“Sumoi, engkau hendak pergi ke manakah sepagi ini? Dan engkau membawa pedang.... mau apakah engkau....?”

Suma Hui mengerutkan alisnya, merasa tidak senang dan terganggu, maka jawabnya dengan suara dingin, “Suheng, engkau jaga rumah baik-baik dan jangan mencampuri urusanku. Aku mempunyai keperluan dan tak seorang pun boleh mencampuri.” Setelah berkata demikian, ia membalik dan hendak melanjutkan perjalanannya.

“Hui-moi....!”

Suma Hui terperanjat seperti disambar petir, akan tetapi, kemarahannya memuncak mendengar suara Cin Liong. Dengan perlahan ia membalik dan menghadapi pemuda yang baru muncul itu. Melihat wajah pemuda itu juga lesu dan ada tanda-tanda kurang tidur, hati Suma Hui merasa semakin yakin akan kesalahan orang yang tadinya amat dicintanya itu.

“Singgggg....!” Nampak sinar berkelebat dan sepasang pedang telah berada di kedua tangan gadis itu.

“Keparat jahanam Kao Cin Liong, rasakan perbalasanku!” bentaknya.

Dengan kemarahan meluap-luap, Suma Hui langsung menyerang Cin Liong dengan sepasang pedangnya, langsung mempergunakan jurus Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hehat karena ia tahu bahwa yang diserangnya adalah orang yang amat lihai.

“Heiiiiii....!” Terkejut sekali Cin Liong melihat serangan itu. Saking kaget dan herannya, terlambat dia mengelak.

“Crottttt....!”

Pangkal lengan kirinya terkena serempetan pedang. Agaknya tadi dia mengira bahwa gadis itu hanya main-main, maka barulah dia sadar bahwa sesungguhnya kekasihnya itu tidak main-main dan serangan yang ditujukan kepadanya tadi adalah serangan maut!

“Hui-moi.... tahan dulu....! Apa dosaku? Apa salahku? Apa yang terjadi? Kenapa engkau menyerangku, memusuhiku....”

“Penghinaan itu hanya dapat dicuci dengan darah serta ditebus dengan nyawamu, manusia hina dina!”

Kini Suma Hui sudah menyerang lagi dengan lebih hebat karena kemarahannya makin memuncak, seolah-olah melihat darah yang membasahi baju pada pangkal lengan Cin Liong itu mengingatkan ia akan darahnya sendiri dan membuatnya sedih sekali.

“Eh, Hui-moi, nanti dulu....!” Cin Liong menjadi bingung sekali.

“Hyaaaattt.... sing-sing-singgg....!”

Suma Hui menyerang bertubi-tubi. Sepasang pedangnya menjadi dua sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh Cin Liong. Karena panik dan bingung, hampir saja tubuh Cin Liong terbabat dan gerakannya menjadi kacau sehingga dia hanya mampu melempar tubuhnya ke belakang, kemudian bergulingan dengan cepat.

“Hui-moi, aku menuntut penjelasan....!” teriaknya penasaran. “Apa salahku?” Dia sudah berhasil meloncat dan bangkit berdiri lagi.

Akan tetapi, Suma Hui sudah tidak sudi bicara lagi. Pedangnya menyambar lagi dan ia menyerang dengan jurus-jurus pilihan Siang-mo Kiam-sut yang memang hebat bukan main.

Biar pun Cin Liong memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun menghadapi serangan ilmu pedang itu tanpa membalas, tentu saja sangat berbahaya. Dia berloncatan dan menyelinap di antara gulungan sinar pedang, beberapa kali nyaris tubuhnya tercium ujung pedang, bahkan ada beberapa bagian ujung pakaiannya yang sudah robek oleh sambaran pedang yang amat tajam itu.

“Hui-moi, kita bicara dulu....!”

“Engkau atau aku yang harus mampus!” bentak Suma Hui dan ia menyerang terus dengan hebat.

“Sumoi.... sumoi.... sabarlah, sumoi....!” Berkali-kali Tek Ciang juga turut menasehati sumoi-nya. Akan tetapi dia tidak berani melerai karena dia merasa tidak akan mampu menghadapi permainan pedang yang dahsyat itu.

“Sing-singgg.... wuuutttt....!”

Segumpal rambut kuncir dari kepala Cin Liong terkena sabetan pedang dan rontoklah gumpalan rambutnya ke atas tanah. Pemuda ini terkejut sekali. Beberapa sentimeter lagi selisihnya, nyaris lehernya yang putus. Dia melihat bahwa kekasihnya itu sungguh-sungguh dan bahwa pada saat itu bukan waktunya untuk bicara.

Tentu saja kalau dia mau, dia dapat merobohkan Suma Hui dan membuatnya tidak berdaya lalu mengajaknya bicara. Namun dia mengenal watak keras dari kekasihnya itu sehingga kalau dia merobohkannya, hal itu tentu akan menambah gawatnya keadaan karena tentu gadis itu akan menjadi semakin marah. Jalan satu-satunya hanyalah menjauhkan diri dan membiarkan sampai hati gadis itu yang terbakar menjadi agak dingin dan marahnya mereda. Barulah dia akan datang bicara.

“Ahhh, Hui-moi.... Hui-moi....,” keluhnya dan cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali lalu berlompatan jauh melarikan diri.

“Jahanam jangan lari!” Suma Hui membentak, akan tetapi Cin Liong sudah lari dengan cepatnya.

“Sumoi, jangan kejar....!” Tek Ciang juga berlari mengejar gadis itu.

Karena hari telah pagi dan banyak orang di jalan, tentu saja mereka merasa heran melihat orang-orang muda itu berlarian, apalagi dengan ilmu lari cepat. Suma Hui tidak memperdulikan seruan suheng-nya dan ia terus mengejar menuju ke rumah penginapan di mana Cin Liong mondok.

Akan tetapi, ketika ia tiba di situ, ternyata Cin Liong sudah lama pergi membawa bekal pakaiannya. Terpaksa Suma Hui membanting-banting kakinya dan menahan tangis, lalu pulang. Di jalan ia bertemu dengan Tek Ciang yang mengejarnya.

“Sumoi, percuma saja engkau mengejar. Kalau ada sesuatu, dan kalau engkau merasa penasaran kepada Kao-taihiap, laporkan saja kelak kepada suhu. Tentu suhu akan dapat turun tangan. Engkau sendiri kiranya takkan dapat melawan Kao-taihiap yang amat lihai itu.”

Suma Hui hanya mengangguk dan berjalan pulang dengan cepat. Hatinya meradang, marah dan penasaran sekali. Jelas bahwa Cin Liong bersalah, kalau tidak, tentu tidak akan melarikan diri. Keparat itu! Hatinya terasa sakit sekali, lebih nyeri rasanya karena ia tahu benar bahwa ia masih tetap mencinta pemuda itu.

Setelah sampai di rumah, Tek Ciang memberanikan diri bertanya, “Sumoi, sebenarnya apakah yang terjadi? Mengapa sumoi begitu marah dan tiba-tiba hendak membunuh Kao-taihiap?”

Suma Hui mengerutkan alisnya, memandang kepada suheng-nya, kemudian berkata, “Louw-suheng, aku harap agar engkau tidak mengajukan pertanyaan itu lagi kepadaku dan tidak menceritakan semua yang terjadi tadi kepada siapa pun juga. Kalau suheng melanggar pesanku ini, aku akan marah sekali!” Setelah berkata demikian, dara itu lalu pergi memasuki kamarnya, meninggalkan Tek Ciang yang memandang bengong.

Semenjak hari itu, Suma Hui jarang bicara, baik terhadap Tek Ciang mau pun terhadap pelayan rumah itu. Bahkan jarang ia menemani Tek Ciang makan, dan lebih sering duduk termenung di dalam kamarnya. Karena kurang makan dan kurang tidur, sebentar saja wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya menjadi kurus. Sang pelayan dan Tek Ciang menjadi prihatin sekali, akan tetapi mereka tidak berani bicara. Terpaksa Tek Ciang selalu berlatih sendirian saja sebab gadis itu sama sekali tak pernah mau menemaninya latihan lagi.

Beberapa pekan kemudian, ketika Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li pulang bersama Suma Ciang Bun, mereka terkejut bukan main melihat Suma Hui yang begitu kurus dan agak pucat. Akan tetapi, begitu melihat adiknya, Suma Hui segera merangkulnya sambil menangis.

“Bun-te.... ahhh, Bun-te, syukur engkau selamat....!” katanya sambil merangkul Ciang Bun yang juga merasa terharu.

Kim Hwee Li mengerutkan alisnya, bukan hanya karena khawatir melihat puterinya begitu kurus, akan tetapi juga jarang ia melihat puterinya yang tabah dan keras hati itu dapat terharu sampai menangis ketika bertemu adiknya kembali.

“Hui-cici, kenapa engkau begini kurus?”

“Engkau kenapakah, Hui-ji?” tanya pula ayahnya.

“Dan mukamu agak pucat,” sambung ibunya.

Dihujani pertanyaan oleh ayah, ibu dan adiknya itu, Suma Hui menjawab singkat dan menyimpang, “Tidak apa-apa, ahhh, aku girang sekali melihat engkau selamat, Bun-te. Lekas kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita berpisah, sejak engkau terlempar ke lautan itu.”

Suma Hui menggandeng tangan adiknya dan beramai-ramai mereka memasuki rumah. Di pintu depan muncul Tek Ciang yang cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan subo-nya. Melihat penghormatan yang amat sopan ini, Suma Kian Lee memandang girang.

“Bangkitlah, Tek Ciang dan mari berkenalan dengan sute-mu. Ciang Bun, inilah murid ayah yang bernama Louw Tek Ciang seperti yang kuceritakan itu.”

“Ehh, Tek Ciang, kenapa engkau memakai pakaian berkabung?” tiba-tiba Hwee Li yang waspada itu bertanya.

Ditanya demikian, Tek Ciang yang masih berlutut itu lalu mengusap air matanya yang tiba-tiba membasahi kedua matanya. “Suhu, subo, teecu dilanda mala petaka besar dan mohon petunjuk suhu berdua....”

“Apakah yang telah terjadi, Tek Ciang?”

“Ayah.... ayah teecu terbunuh....”

“Ehhh....? Terbunuh? Siapa yang membunuh ayahmu?” Suma Kian Lee terkejut sekali mendengar ucapan itu.

Tek Ciang merasa tidak enak kepada Suma Hui dan melirik ke arah sumoi-nya, akan tetapi Suma Hui diam saja dan hanya memandang padanya dengan sinar mata kosong.

“Mendiang ayah tewas…. tewas ketika bertempur melawan.... melawan jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini.”

“Ihhh....!” Kim Hwee Li berseru kaget dan penasaran. “Penjahat cabul mana yang begitu berani mengacau di Thian-cin?”

“Suheng, kenapa engkau tidak berterus terang saja? Ayah, Louw-kauwsu tewas ketika dia berkelahi melawan Kao Cin Liong....”

“Heh, bagaimana pula ini?” Hwee Li berteriak. “Kao Cin Liong datang ke sini dan dia berkelahi dengan Louw kauwsu?” Ia memandang tajam kepada Tek Ciang. “Tek Ciang, ceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi!”

“Mari kita semua masuk dulu dan bicara di dalam rumah,” kata Suma Kian Lee yang dapat menguasai perasaannya dan sikapnya lebih tenang.

Mereka kemudian masuk ke dalam rumah dan mereka semua duduk di ruangan dalam. Dengan sikap ragu-ragu dan kadang-kadang mengerling ke arah Suma Hui, akan tetapi melihat gadis itu diam saja tidak memberi tanda atau memperlihatkan sikap sesuatu, akhirnya Tek Ciang lalu bercerita.

“Menurut ayah, di kota ini ada jai-hwa-cat berkeliaran. Lalu pada suatu malam, ayah bersama dua orang teman yang melakukan penyelidikan, bertemu dengan Kao-taihiap, dan ayah agaknya menyangka bahwa Kao-taihiap adalah jai-hwa-cat itu, maka lalu diserangnya. Tentu saja ayah dan dua orang temannya tak dapat menang dan akhirnya ayah tewas....”

Suma Hui hendak membuka mulut, akan tetapi membatalkan niatnya. Apa perlunya ia membela Cin Liong? Biarlah, biar ayah ibunya menyangka Cin Liong yang membunuh Louw-kauwsu, ia tidak perduli! Dan ia pun tahu mengapa suheng-nya tak menceritakan bahwa ayahnya membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian itu. Tentu pemuda itu merasa malu karena membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian, berarti pengecut.

Suma Kian Lee yang sudah merasa tidak senang kepada Cin Liong karena pemuda itu berani jatuh cinta kepada Suma Hui yang terhitung bibi sendiri, mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. “Sungguh tidak patut sekali perbuatan Cin Liong itu! Andai kata dia bukan jai-hwa-cat, mengapa dia harus membunuh Louw-kauwsu yang hanya bertindak untuk menentang kejahatan? Aku pasti akan menegurnya kalau sempat berjumpa dengannya kelak!”

“Hemm, kurasa ada apa-apanya di balik peristiwa itu. Putera Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah seorang panglima yang terkenal, dan seorang pendekar perkasa yang sudah membela Pulau Es secara mati-matian. Tidak mungkin kiranya dia begitu sembrono membunuh orang yang tidak berdosa. Ehhh, Hui-ji, mustahil kalau engkau tidak tahu apa-apa tentang peristiwa itu. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi hingga Cin Liong sampai berkelahi serta membunuh Louw-kauwsu?” Dengan sinar mata tajam penuh selidik, nyonya yang cerdik ini bertanya kepada puterinya.

Namun Suma Hui tetap berkeras tidak sudi membela Cin Liong yang dibencinya. “Aku tidak tahu, ibu,” jawahnya singkat, lalu dipegangnya tangan Ciang Bun sambil berkata mendesak, “Bun-te, hayo ceritakan pengalamanmu sampai engkau dapat selamat dan dapat pulang bersama ayah dan ibu.”

Tek Ciang masih berdebar-debar rasa jantungnya karena khawatir kalau-kalau suhu dan subo-nya mendesak terus sehingga rahasia ayahnya terancam bahaya terbuka tabirnya, lalu bangkit dan menjura dengan hormat. “Sebaiknya teecu mohon diri dan mundur agar suhu, subo dan sute dapat beristirahat dan bercakap-cakap dengan leluasa.”

Kian Lee mengangkat tangan dan memandang kepada muridnya itu dengan rasa iba dalam hatinya. Ayah pemuda itu adalah seorang duda, maka sepeninggal ayahnya, berarti pemuda ini yatim-piatu.

“Duduklah saja, Tek Ciang. Engkau dapat dibilang anggota keluarga kami sendiri, maka boleh engkau duduk dan ikut mendengarkan.”

Tentu saja ucapan suhu-nya ini membesarkan hati Tek Ciang. Dia pun kembali duduk, namun masih mengambil sikap sungkan-sungkan.

Ciang Bun lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia diselamatkan dari lautan oleh kakak beradik Liu dengan kakek mereka sebagai penghuni Pulau Nelayan. Betapa dia kemudian tinggal di pulau itu bersama mereka bertiga, mempelajari ilmu dalam air. Tentu saja dia tidak menceritakan tentang hubungannya yang aneh dengan Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, hanya menceritakan kebaikan-kebaikan kakak beradik dan kakek mereka itu.

“Setelah merasa bosan tinggal di pulau itu dan sudah mempelajari semua dasar ilmu dalam air, aku lalu meninggalkan pulau itu dan ketika mendarat, aku bertemu dengan ayah dan ibu.” Demikian Ciang Bun menutup ceritanya.

“Kebetulan kami bertemu dengan Ciang Bun,” sambung Kim Hwee Li. “Padahal kami berdua telah berhari-hari mencari-cari di sekitar pantai namun tidak pernah melihat jejaknya atau mendengar berita tentang dirinya. Siang hari itu, selagi kami berjalan-jalan di pantai dan sudah hampir putus asa, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menggunakan perahu melakukan penyeberangan ke Pulau Es untuk menyelidiki di lautan, muncullah perahu yang membawa Ciang Bun.”

Keluarga yang telah berkumpul lagi dengan lengkap itu tentu saja merasa gembira. Akan tetapi Suma Hui seoranglah yang tidak pernah merasakan kegembiraan, walau pun ia berusaha untuk kelihatan gembira. Ibunya telah mendesaknya dan berkali-kali menanyakan sikapnya itu di dalam kamar dengan suara bisik-bisik. Akan tetapi, biar pun terhadap ibu kandungnya sendiri yang biasanya ia menceritakan segala hal yang rahasia sekali pun, sekali ini ia tidak dapat membuka rahasianya. Bagaimana mungkin ia dapat menceritakan bahwa dirinya telah dinodai, bahwa kehormatannya telah dicemarkan, bahwa ia telah diperkosa oleh Cin Liong?

Sikap gadis itu membuat ayah dan ibunya sering kali membicarakannya dalam kamar mereka. “Pasti telah terjadi sesuatu yang dirahasiakan oleh Hui-ji,” demikian antara lain Hwee Li berbisik kepada suaminya pada malam hari setelah mereka pergi tidur. “Ia menderita sesuatu.”

“Sungguh tidak baik kalau hal itu dibiarkan saja. Tek Ciang telah kehilangan ayahnya, sebaiknya kalau perjodohan antara mereka itu dipercepat. Aku akan memanggil mereka berdua dan menyatakan terus terang bahwa antara aku dan ayah Tek Ciang telah ada persetujuan untuk menjodohkan mereka.”

“Suamiku, kurasa kita tidak boleh terlalu tergesa-gesa bicara tentang itu dan memberi tahu kepada Hui-ji. Aku yakin bahwa tentu terjadi sesuatu yang luar biasa antara Hui-ji dan Cin Liong. Hui-ji kelihatan demikian menderita tekanan atau guncangan batin yang hebat. Aku khawatir dia akan jatuh sakit. Hanya kekerasan hatinya saja yang masih mampu mencegah ia jatuh sakit. Maka, kuharap engkau suka bersabar dulu dan jangan sampaikan hal yang belum tentu disetujuinya itu dalam waktu sekarang.”

Suma Kian Lee mengerutkan alisnya, tetapi dia pun tidak dapat membantah isterinya. Dia tahu bahwa Suma Hui memiliki kekerasan hati yang sama dengan kekerasan hati isterinya.

“Baiklah, dan aku akan segera mulai menurunkan ilmu-ilmu silat kepada Tek Ciang agar dia dapat cepat menyusul ketinggalannya dari Hui-ji.”

********************

Suma Hui sendiri tidak tahu bahwa pada malam harinya ketika terjadi penyerangannya terhadap Cin Liong, diam-diam Cin Liong kembali mendatangi rumahnya dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Cin Liong berhasil menemui Tek Ciang. Sebelum Tek Ciang mampu bersuara, Cin Liong telah menotok urat gagunya dan juga membuatnya lemas, lalu memanggul pemuda itu pergi dari rumah itu menuju ke tempat sunyi.

Setelah tiba di tempat sunyi, Cin Liong membebaskan totokannya pada tubuh Tek Ciang dan diam-diam pendekar ini merasa heran dan juga kecewa melihat betapa pucat wajah pemuda itu dan tubuhnya menggigil ketakutan! Orang penakut begini diangkat menjadi murid pendekar sakti seperti Suma Kian Lee? Sungguh mengecewakan sekali. Akan tetapi pikiran itu hanya sekilas saja memasuki benaknya yang sudah sarat dengan masalahnya sendiri yang membuatnya bingung, penasaran dan berduka itu.

“Maafkan aku, Louw-susiok. Terpaksa aku menggunakan jalan ini karena ingin sekali bicara denganmu tanpa diketahui oleh Hui-moi.”

Tek Ciang menarik napas lega dan kentara sekali bahwa baru saja dia terlepas dari himpitan rasa takut yang hebat. “Aahhhh, taihiap, sungguh engkau membikin aku kaget setengah mati. Perkara apakah yang ingin kau bicarakan?”

“Tidak lain hanya perkara Hui-moi. Engkau melihat sendiri pagi tadi bagaimana ia telah menyerangku dan serangan-serangannya itu sungguh-sungguh. Ia berniat keras untuk membunuhku dengan penuh kebencian. Louw-susiok yang baik, apakah artinya semua itu? Mengapa ia hendak membunuhku dan demikian membenciku? Apakah yang telah terjadi malam tadi?”

Tek Ciang memandang bingung dan mengangkat pundaknya. “Bagaimana aku tahu, taihiap?”

Cin Liong penasaran dan memandang tajam penuh selidik. “Louw-susiok, kini engkau tinggal serumah dengan Hui-moi, agaknya tak mungkin kalau terjadi hal-hal yang hebat engkau tidak mengetahuinya.”

“Malam tadi hampir semalaman aku tidak berada di rumah, taihiap.”

“Hemm, ke mana saja engkau pergi?”

“Sudah kukatakan kepadamu kemarin sore bahwa aku hendak menyelidiki penjahat cabul yang menyebabkan ayahku tewas itu. Dan aku melihat ketika engkau berkelahi dengan penjahat itu! Ternyata memang benar ada penjahat yang berkeliaran, buktinya engkau menyerangnya dan berkelahi dengannya. Benarkah orang yang berkelahi denganmu itu penjahat cabul?”

“Jadi engkau melihatnya? Benar, dia adalah penjahat cabul terbesar di dunia hitam. Lalu bagaimana?”

“Aku bersembunyi dan nonton sampai penjahat itu lari dan kau kejar. Aku pun lalu ikut mengejar, akan tetapi sebentar saja kalian berdua sudah lenyap. Aku terus mencari berputar-putar sampai hampir pagi. Karena tidak berhasil menemukan penjahat itu mau pun engkau yang mengejarnya, aku lalu pulang dan langsung memasuki kamarku. Belum juga aku pulas, terdengar suara hiruk-pikuk dari kamar sumoi. Aku dan pelayan terkejut, lalu lari ke kamarnya. Di dalam kamar itu sumoi mengamuk, menghancurkan perabot-perabot kamarnya dan katanya ada penjahat memasuki kamarnya dan penjahat itu melarikan diri tanpa sumoi dapat mengenal wajahnya.”

Cin Liong mendengarkan dengan alis berkerut. “Lalu apa katanya kepadamu setelah ia menyerangku pagi tadi?”

Tek Ciang menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang, kelihatan berduka sekali. “Ia tidak mau bicara apa-apa, taihiap. Bahkan ketika aku mencoba bertanya mengapa ia mengamuk dan menyerangmu, ia marah-marah dan minta kepadaku agar aku tidak lagi menanyakan hal ini atau bicara tentang itu dengan siapa pun juga. Ahh, aku khawatir sekali, taihiap. Sebaiknya kalau taihiap tidak memperlihatkan diri lebih dulu....”

“Aku harus menemuinya dan minta keterangan tentang sikapnya itu!” Cin Liong berkata penasaran.

“Ahh, bijaksanakah itu, Kao-taihiap? Aku melihat sumoi sedang dalam keadaan tidak wajar, marah sekali dan juga amat berduka. Melihat keadaannya, aku yakin bahwa setiap kali taihiap muncul, tentu akan diserangnya tanpa banyak kata lagi. Watak sumoi keras sekali dan sementara waktu ini percuma saja kalau mengajaknya bicara. Kalau taihiap muncul, akibatnya hanya akan membuat ia semakin marah.”

Cin Liong mengepal tinju dan alisnya berkerut. “Habis bagaimana baiknya? Bagaimana baiknya? Aihhh, kenapa ada urusan yang begini aneh?”

“Kao-taihiap, kalau taihiap suka mendengar pendapatku, sebaiknya kalau sementara ini taihiap malah menjauhkan diri. Dan sejauh mungkin karena agaknya sumoi masih terus merasa penasaran dan hendak mencari taihiap untuk dibunuh. Susah payah aku tadi membujuknya agar bersabar dan akhirnya baru ia mau berhenti setelah kuperingatkan bahwa segala urusan harus diselesaikan dengan tenang. Kalau taihiap menampakkan diri, tentu kemarahannya memuncak dan berkobar lagi. Biarlah sampai ia dingin dan tenang dulu, baru kelak taihiap boleh menemuiku, dua tiga bulan lagi, dan aku akan memberitahu taihiap kalau keadaan sudah mendingin.”

Cin Liong tidak mengira bahwa pemuda ini sedemikian baiknya. Dia memegang pundak pemuda itu. “Louw-susiok, engkau sungguh seorang yang berhati mulia. Aku sangat mengharapkan bantuanmu dalam urusanku dengan sumoi-mu ini.”

Tek Ciang mengangguk. “Aku mengerti, taihiap, aku tahu bahwa ada hubungan batin antara kalian dan sekarang agaknya sedang terjadi kesalah pahaman di pihak sumoi. Engkau sebagai laki-laki sepatutnya mengalah dan bersabar.”

Cin Liong mengangguk-angguk. “Tapi, apa yang harus kulakukan sementara menanti ia bersabar itu? Sungguh aku bingung sekali dan baru sekarang dunia seolah-olah gelap bagiku, membuat aku tak berdaya.”

“Taihiap, kurasa sudah pasti ada hubungannya antara perkelahianmu melawan penjahat malam itu dengan sikap sumoi ini....”

“Si keparat Jai-hwa Siauw-ok!” Cin Liong mengepal tinjunya.

“Nah, bagaimana taihiap pikir kalau taihiap mencari orang itu sampai dapat tertangkap dan taihiap menuntut keterangan dari dia?”

“Ah, benar sekali! Andai kata jahanam itu tidak tahu apa-apa tentang Hui-moi, tetap saja dia harus ditangkap dan dihukum. Baiklah, susiok. Banyak terima kasih atas semua bantuan dan nasehatmu. Aku pergi dan harap engkau membantuku menyelidiki apa sebabnya Hui-moi marah-marah kepadaku dan bahkan hendak membunuhku. Dua tiga bukan lagi aku datang ke sini dan menemuimu sebelum aku mencoba menemuinya.”

Tek Ciang mengangguk-angguk. “Jangan khawatir, aku akan membantumu, Kao-taihiap dan mudah-mudahan semuanya akan berjalan dengan lancar.”

Demikianlah pertemuan rahasia antara Kao Cin Liong dan Louw Tek Ciang, yang tidak diketahui orang lain. Juga masih ada pertemuan lain lagi di malam berikutnya yang lebih dirahasiakan oleh Tek Ciang. Seorang diri dia pergi menganjungi makam ayahnya di luar kota pada malam hari itu.

Setelah dia merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihatnya dia lalu melanjutkan perjalanannya di malam gelap itu menuju ke sebuah kuil tua yang letaknya terpencil di tempat sunyi. Seperti sikap seorang maling, pemuda itu menyelinap di tempat-tempat gelap, memandang ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihatnya, barulah dia meloncat masuk ke dalam kuil tua.

Sesosok bayangan orang yang gerakannya amat ringan dan cepat seperti setan menyambutnya. Orang itu Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng.

“Bagus, bagus! Engkau amat hati-hati dan memang begitulah seharusnya, waspada dan hati-hati, begitulah sikap seorang jai-hwa-cat tulen!” Datuk sesat itu tertawa bergelak.

Tek Ciang merasa betapa mukanya menjadi panas. “Tapi.... locianpwe.... aku.... bukan jai-hwa....”

“Ha-ha-ha, memang belum, baru calon saja! Akan tetapi seorang calon yang amat baik dan kelak engkau pun bisa menggantikan aku kalau engkau suka belajar dengan tekun. Ha-ha-ha, sekarang ceritakan semua, bagaimana hasilnya siasat kita?”

Tek Ciang tersenyum dan wajahnya berseri. Cuaca di dalam kuil itu remang-remang saja karena Jai-hwa Siauw-ok hanya menyalakan sebatang lilin kecil. Ia melihat betapa wajah yang masih ganteng dari kakek itu berseri-seri dan diam-diam dia kagum sekali. Memang kakek ini hebat. Selain ilmu kepandaiannya tinggi, juga memiliki kecerdikan seperti setan.

“Semua berjalan dengan baik sekali, locianpwe. Terima kasih kepada locianpwe.”

“Aha, setelah aku membuat dara itu tidak berdaya dengan asap bius dan totokan, melihat ia rebah tak berdaya seperti menantang itu, timbul seleraku, akan tetapi aku ingat kepadamu, orang muda. Bagaimana, berhasilkah engkau memperkosanya?”

Pertanyaan itu diajukan dengan sikap wajar seperti orang menanyakan suatu hal yang lumrah saja. Akan tetapi bagi Tek Ciang merupakan hal yang membuatnya merasa jengah dan malu. Dia mengangguk tanpa menjawab.

“Hemm, engkau menyesal setelah berhasil?”

“Tidak, tidak, locianpwe. Sebaliknya, aku merasa girang sekali.”

“Dan engkau sudah merasa puas?”

Pemuda itu menggeleng kepala. “Belum, ia belum menjadi isteriku dan aku pun belum mewarisi ilmu Pulau Es dan belum membalas dendam terhadap jenderal itu.”

“Ha-ha-ha, tak perlu tergesa-gesa. Yang penting, engkau telah berhasil memperkosanya dan ia tidak mengenalmu?”

“Tidak. Tempatnya gelap dan dia berada dalam keadaan setengah sadar. Aku sudah sangat berhati-hati dalam menirukan suara Cin Liong.”

“Bagus! Dan hasilnya?”

“Hasilnya baik sekali. Ketika Cin Liong datang, dia diserang dan akan dibunuh oleh sumoi.” Pemuda itu lalu menceritakan semua yang telah terjadi sampai ketika dia diculik oleh Cin Liong untuk dimintai keterangan. Semua ini didengarkan oleh Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum girang, hanya dia merasa agak khawatir mendengar pemuda itu diculik oleh Cin Liong.

“Untung engkau cerdik. Jadi engkau berhasil memancingnya agar menjauhkan diri dulu dari gadis itu dan agar dia mencari aku? Baik sekali. Engkau telah menjalankan rencana siasatku dengan baik. Ha-ha-ha, kita berdua sudah mengecap hasilnya. Engkau telah menikmati tubuh dara itu dan aku.... ha-ha-ha, girang hatiku melihat permusuhan antara keluarga Suma dan keluarga Kao itu mulai tumbuh. Tentu akan menjadi permusuhan keluarga yang hebat sekali kelak. Tetapi engkau harus berhati-hati, Tek Ciang. Engkau sebagai orang di belakang layar yang memainkan semua ini, jangan sekali-kali lantas menonjolkan diri. Tahan dahulu nafsumu jikalau engkau ingin memiliki tubuh gadis itu sepenuhnya. Kita harus cerdik. Aku akan memancing agar Cin Liong makin menjauhi tempat ini.”

“Baik, aku akan mentaati semua pesanmu, locianpwe.”

“Kelak, sewaktu-waktu aku berada di daerah ini, engkau boleh menemui aku di sini untuk menerima beberapa macam ilmu dariku seperti yang telah kujanjikan padamu.”

Dengan girang Tek Ciang menghaturkan terima kasih. Dia menganggap bahwa datuk sesat ini telah berjasa besar kepadanya. Mereka lalu berpisah dan meninggalkan kuil yang sunyi itu, kuil tua yang menyeramkan karena baru saja dijadikan tempat oleh para iblis dan setan untuk mengusik hati dua orang manusia yang tersesat.

Iblis dan setan yang suka mengusik hati orang tidak pernah jauh dari diri kita sendiri. Suaranya selalu berbisik dalam batin kita, mendorong kita untuk selalu mendambakan kesenangan dan menjauhi yang tidak menyenangkan. Tercipta oleh pikiran kita sendiri, pikiran yang mengumpulkan dan menumpuk semua pengalaman dalam hidup lahiriah yang yang praktis.

Secara teknis pikiran dibutuhkan untuk mengingat, bekerja dan segala gerak hidup lahiriah. Akan tetapi, dalam komunikasi dengan manusia lain, dengan benda, dengan hal-hal batiniah, pikiran yang masuk hanyalah akan menimbulkan nafsu, kebencian, keserakahan, dan sebagainya. Jadi setan datangnya bukan dari luar, melainkan dari dalam batin kita sendiri

.....

********************

Dua orang yang memasuki kota Thian-cin pada sore hari itu menarik perhatian orang. Mereka adalah sepasang pria dan wanita yang sudah berusia lima puluh tahun lebih, namun masih nampak gagah perkasa dan sehat, juga wajah mereka jauh lebih muda dari pada usia mereka yang sebenarnya.

Pria itu berpakaian sederhana tapi bersih dan cukup rapi. Rambutnya sudah bercampur sedikit uban, namun masih segar dan panjang, dikuncir tebal dan kepalanya terlindung sebuah caping lebar. Walau pun pria ini hanya berlengan satu karena lengan kirinya buntung di atas siku, akan tetapi sikapnya gagah dan langkahnya tegap dan tenang. Terutama sekali sepasang matanya amat mengejutkan orang karena mata itu, biar pun lembut dan tenang namun mengeluarkan sinar mencorong seperti sepasang mata seekor naga sakti!

Yang wanita juga amat menarik perhatian. Usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi masih nampak jelas kecantikan membayang di wajahnya. Pakaiannya juga sederhana, tapi bersih dan rapi. Di punggungnya nampak sepasang pisau belati bersilang, tertutup oleh jubahnya. Wajahnya selalu riang gembira, di dalam sinar matanya membayangkan semangat yang tak kunjung padam.

Mereka adalah Sang Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya yang bernama Wan Ceng. Suami isteri pendekar ini tinggal jauh di utara, di padang pasir, di dalam sebuah istana tua yang jarang kedatangan manusia lain. Hanya baberapa tahun sekali suami isteri ini suka berpesiar ke selatan, kadang-kadang sampai ke kota raja. Akan tetapi mereka selalu menjauhkan diri dari pada segala keributan.

Karena mereka tinggal di tempat jauh dan jarang menampakkan diri di dunia kang-ouw, maka jarang ada yang mengenal mereka ketika bertemu di jalan. Padahal, nama mereka sudah dikenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai datuk yang berilmu tinggi. Naga Sakti Gurun Pasir mempunyai nama yang sama tenarnya dengan keluarga Pulau Es. Dan sesungguhnya pendekar ini amat sakti.

Dialah satu-satunya orang yang telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari Dewa Bongkok dari Go-bi-san yang bernama Bu Beng Lojin. Biar pun lengan kirinya buntung, tetapi buntungnya sebelah lengan itu sama sekali tak mengurangi kelihaiannya, bahkan buntungnya lengan kiri ini membuat dia dapat menguasai Ilmu Sin-liong Hok-te yang amat lihai kalau dimainkan dengan satu lengan saja.

Isterinya, Wan Ceng, juga bukan wanita sembarangan. Ia masih cucu dari nenek Lulu, isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti. Dan wanita ini selain telah mempelajari banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga telah menerima bimbingan dari suaminya sehingga kelihaiannya juga meningkat.

Suami isteri yang saling mencinta ini hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kao Cin Liong. Semenjak anak itu masih kecil, mereka berdua telah menggemblengnya dan oleh karena Cin Liong seorang putera tunggal, tentu saja mereka amat menyayanginya. Hampir semua ilmu kepandaian mereka sudah mereka turunkan kepada Cin Liong.

Saat pemuda itu menarik perhatian istana karena perbuatan-perbuatannya yang gagah perkasa dan padanya ditawarkan kedudukan dalam kemiliteran, terjadilah perbantahan antara suami isteri ini.

“Menjadi tentara hanya menjadi alat pembunuh bagi kepentingan ambisi orang-orang atasan saja. Apa baiknya? Aku ingin puteraku menjadi seorang pendekar, tidak berfihak siapa pun kecuali berfihak kepada mereka yang lemah tertindas dan menentang mereka yang menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk menindas,” kata Wan Ceng penuh semangat.

Suaminya menarik napas panjang. “Sudahlah, isteriku. Yang penting adalah perasaan Cin Liong sendiri. Biarkan dia yang menentukan pilihannya. Apakah engkau lupa bahwa kakeknya adalah seorang jenderal besar, seorang panglima dan pahlawan besar yang amat perkasa? Siapa tahu dia menuruni darah kakeknya itu. Pula, dia sudah kita beri gemblengan dasar dan dia dapat melihat mana yang benar dan mana yang tidak. Aku percaya bahwa dia berjiwa pendekar dan biar pun dia menjadi tentara, tentu dia tidak akan membuta mentaati perintah atasan kalau perintah itu melawan hati nuraninya sebagai pendekar.”

Akhirnya Wan Ceng mengalah setelah melihat kenyataan, bahwa memang puteranya suka sekali menjadi prajurit. Kemudian ternyata bahwa Kao Cin Liong telah membuat kemajuan pesat dalam bidang militer ini. Jasa-jasanya menumpas para pemberontak di perbatasan dan daerah-daerah sangat besar sehingga dalam usia muda dia sudah diangkat menjadi seorang jenderal, bahkan menjadi seorang kepercayaan Kaisar Kian Liong.

Suami isteri ini sudah lama sekali mendambakan seorang mantu dan seorang cucu, akan tetapi selalu putera mereka menolaknya kalau mereka menganjurkan dia agar segera menikah. Cin Liong mengemukakan alasan bahwa belum ada wanita yang menarik hatinya. Tentu saja suami isteri itu maklum akan kegagalan puteranya dalam jalinan asmara bersama seorang gadis yang bernama Bu Ci Sian sehingga putera mereka itu menjadi patah hati dan sampai berusia tiga puluh tahun kurang sedikit masih juga belum mempunyai seorang isteri.

Dan pada suatu hari, alangkah girang hati mereka ketika putera mereka itu datang mengunjungi mereka dan menyatakan bahwa putera mereka itu sudah memperoleh pilihan hati, saling mencinta dengan seorang gadis dan Cin Liong minta kepada mereka untuk mengajukan pinangan! Akan tetapi, dalam kegembiraan itu mereka merasa khawatir sekali ketika mendengar penjelasan Cin Liong siapa adanya gadis yang saling mencinta dengan putera mereka itu. Gadis itu puteri Suma Kian Lee!

“Aihhh....!” Wan Ceng setengah menjerit ketika mendengar keterangan puteranya itu, matanya terbelalak dan mukanya berubah. “Puteri.... paman Suma Kian Lee? Cin Liong, lupakah engkau siapa adanya Suma Kian Lee itu? Dia adalah paman kakekmu sendiri dan puterinya itu berarti masih bibimu sendiri!”

Cin Liong menarik napas panjang dan mengangguk. “Hal itu sepenuhnya telah kami sadari, ibu. Akan tetapi, ia jauh lebih muda dariku, baru berusia delapan belas tahun.”

“Tapi.... engkau tahu ia bibimu dan engkau masih nekat?” teriak Wan Ceng.

Cin Liong tersenyum menenangkan hati ibunya yang terguncang. “Bukan nekat, ibu. Aku jatuh cinta dengan bibi sendiri, itulah kenyataannya, dan ia pun cinta kepadaku. Hubungan keluarga antara kami sudah sangat jauh, kalau ada hubungan keluarga, itu pun hanya keluarga tiri saja, sudah berlainan nama keluarga.”

“Tapi.... tapi puteri paman Kian Lee...., ya Thian Yang Maha Kuasa!”

Sejak tadi Kao Kok Cu diam saja, hanya mendengarkan dan melihat isterinya mengeluh seperti itu. Dia pun memejamkan mata, teringat akan riwayat isterinya di waktu muda dahulu. Bukankah Suma Kian Lee pernah jatuh cinta kepada Wan Ceng? Dan setelah mengetahui bahwa Wan Ceng adalah keponakan sendiri, Suma Kian Lee mundur! Ini berarti bahwa Suma Kian Lee masih memegang teguh adat istiadat tentang larangan berjodoh antara keluarga sendiri!

“Tapi.... tapi.... bagaimana mungkin engkau menikah dengan bibimu sendiri, Cin Liong? Apakah sudah tidak ada lagi wanita di dunia ini yang pantas menjadi isterimu kecuali seorang bibimu?” Suara Wan Ceng terdengar seperti hampir menangis.

Cin Liong mengerutkan alisnya. “Ibu, harap jangan persoalkan itu karena kalau sekali ini aku gagal berjodoh dengan Hui-moi, selamanya aku tidak mau menikah! Aku tidak mau gagal sampai ketiga kalinya. Terserah kepada ayah dan ibu apakah suka melamarkan Suma Hui untukku atau tidak.” Suara pemuda itu tegas akan tetapi tidak mengandung kemarahan.

“Cin Liong, aku mengenal benar perangai ibumu dan ia bukan bermaksud menentang kehendakmu. Hanya aku tahu bahwa ibumu khawatir kalau-kalau pinangan itu ditolak oleh paman Suma Kian Lee yang kami tahu masih amat memegang teguh adat-istiadat kekeluargaan.”

“Benar apa yang dikatakan ayahmu, Cin Liong. Apakah orang tua gadis itu juga sudah menyetujui ikatan jodoh ini?”

Cin Liong menggeleng kepala. “Mereka belum tahu, jadi aku pun tidak dapat menduga bagaimana sikap mereka terhadap hubungan kami.”

“Aihhh.... kalau mereka belum menyetujuinya, bagaimana kami berani mengajukan pinangan? Anakku yang baik, sungguh aku merasa amat sungkan, baru menghadap dan meminang saja aku sudah merasa takut. Kalau sampai ditolak, akan kutaruh ke mana mukaku?” Wan Ceng berkata sambil mengepal tangan kanannya. Hatinya merasa bingung dan gelisah sekali. Rasa gelisahnya jauh lebih besar dari pada rasa gembira karena akhirnya putera mereka minta dilamarkan seorang gadis.

“Ibu, kalau tidak melamar lebih dahulu, mana mungkin kita bisa tahu apakah mereka itu setuju ataukah tidak? Pula, kenapa mesti takut mengajukan pinangan? Meminang anak gadis orang merupakan suatu hal yang terhormat dan menghormati keluarga gadis yang dilamar. Menerima atau menolak adalah hak mereka, seperti juga meminang adalah hak kita. Kalau ibu tidak berani melamarkan, apakah aku yang harus melamarnya sendiri?”

“Liong-ji, engkau tak boleh mendesak ibumu seperti itu!” Tiba-tiba Kao Kok Cu berkata, suaranya halus namun penuh wibawa dan Cin Liong merasa akan kesalahannya, maka dia pun cepat menghampiri ibunya dan berlutut.

“Ibu, maafkan aku....”

Wan Ceng cepat merangkulnya. “Aku tidak marah, anakku, hanya aku mengkhawatirkan perasaan hatimu kalau sampai kami ditolak.”

“Sudahlah, bagaimana pun juga, kita harus berani menghadapi kenyataan yang bagai mana pahit pun. Cin Liong, kapan kami harus berangkat ke Thian-cin untuk mengajukan pinangan itu?”

“Sebaiknya dua bulan mendatang, ayah. Aku akan kembali lebih dahulu ke kota raja dan kuharap ayah dan ibu suka singgah dulu di kota raja sebelum melanjutkan perjalanan ke Thian-cin.”

Demikianlah, dua bulan kemudian, suami isteri ini melakukan perjalanan ke selatan. Mereka singgah di kota raja, akan tetapi ternyata gedung Jenderal Muda Kao Cin Liong kosong dan menurut keterangan para pengawal, jenderal muda itu sedang melakukan tugas dan sudah beberapa pekan meninggalkan kota raja.

Seperti kita ketahui, Cin Liong pergi ke Thian-cin, kemudian terjadi peristiwa dia hampir dibunuh oleh kekasihnya. Dia kemudian berusaha mencari jejak Jai-hwa Siouw-ok, maka dia tidak sempat kembali ke kota raja sehingga gedungnya kosong ketika orang tuanya datang. Melihat betapa putera mereka tidak berada di rumah dan agaknya tentu sedang melaksanakan tugas penting, Kao Kok Cu dan Wan Ceng tidak lama berdiam di kota raja dan melanjutkan perjalanan mereka ke Thian-cin.

Pada sore hari itu, mereka memasuki pintu gerbang kota Thian-cin dan sepasang suami isteri yang gagah perkasa, dalam kesederhanaan mereka, masih saja menarik perhatian banyak orang yang hanya menduga-duga bahwa suami isteri itu tentulah pendekar-pendekar yang lihai. Ketika mereka mendengar sepasang suami isteri ini menanyakan di mana letak rumah keluarga Suma, dugaan bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang lihai lebih meyakinkan lagi.

Dengan mudah suami isteri ini dapat memperoleh keterangan tentang rumah keluarga Suma Kian Lee dan pada sore hari itu mereka sudah berada di pekarangan depan rumah keluarga Suma, disambut oleh seorang pelayan yang segera melapor ke dalam.

Tak lama kemudian, keluarlah keluarga Suma selengkapnya, yaitu Suma Kian Lee, Kim Hwee Li, Suma Hui dan Ciang Bun. Suma Kian Lee dan isterinya menyambut dengan ramah, sedangkan kedua orang anak mereka menyambut dengan sikap hormat walau pun dengan pandang matanya yang tajam Wan Ceng melihat betapa gadis kekasih puteranya itu, walau pun cantik dan gagah, namun sikapnya seperti orang marah atau galak. Juga Kao Kok Cu dapat melihat bahwa di balik keramahan sikap Suma Kian Lee, terdapat sinar mata yang tajam dan keras, maka diam-diam hatinya merasa tidak enak sekali. Hanya Kim Hwee Li seorang yang sikap ramahnya tidak dibuat-buat.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es