KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-11


Pendekar ini tidak bergerak dari tempat dia berdiri, melainkan menyambut tusukan itu dengan tangannya, menangkap ujung tombak dengan mudah dan sekali betot, orang itu terbawa mendekat. Begitu kedua tangan pendekar sakti ini bergerak, tombak panjang itu seperti benda lunak saja dilibat-libatkan pada tubuh pemiliknya sehingga penjahat itu terbelit tombaknya sendiri, tidak mampu bergerak seperti ayam ditelikung.

“Plakkk!”

Tangan pendekar sakti itu menampar dan tubuh penjahat yang sudah tidak mampu bergerak itu terlempar keluar dari perahu, jatuh menimpa air yang muncrat tinggi dan tubuh itu pun tenggelam karena dibebani tombak dan kedua lengannya tidak mampu bergerak!

Orang pertama yang menyerang Teng Siang In ialah seorang penjahat berperut gendut dengan kepala botak. Dia memegang ruyung besar. Orang inilah yang tadi menggebuk punggung wanita nelayan itu. Sekarang, dengan ruyung yang besar dan berat itu dia menyerang kepada Teng Siang In. Nyonya pendekar ini pun tak bergerak dari tempat ia berdiri, tetapi sepasang matanya yang tajam berpengaruh itu menatap ke arah wajah si gendut, mulutnya yang manis berkemak-kemik dan telunjuk kanannya menuding.

Terjadilah keanehan yang luar biasa dan membuat para anak buah perahu itu bengong terlongong. Si gendut berkepala botak itu tiba-tiba berhenti menyerang, melotot dan ruyung yang dipegang oleh tangan kanannya itu tiba-tiba saja digerakkan memukuli kepalanya sendiri yang botak. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok disusul keluhan dan teriakannya dan kepala botak itu sebentar saja bocor semua, berdarah dan benjol-benjol.

Tangan kiri orang itu berusaha mencegah tangan kanan, akan tetapi tetap saja tangan kanan itu menggerakkan ruyung, makin lama semakin keras menghantami kepalanya sendiri. Orang itu kebingungan, ketakutan dan kesakitan, berlari ke tepi perahu akan tetapi ruyung di tangannya masih saja terus memukulinya, dan pada pukulan terakhir terdengar suara keras.

“Prakkk!”

Dia pun terguling keluar dari perahu, menimpa permukaan air dan tenggelam karena pukulan terakhir tadi agaknya telah membuat kepala botaknya retak-retak! Melihat ini, mulailah para anak buah perahu percaya akan kehehatan sepasang pendekar itu dan mereka pun bersorak gembira.

Penjahat ke dua yang menyerang Suma Kian Bu adalah seorang penjahat tinggi kurus yang bersenjata sebatang golok. Melihat betapa kawannya dilempar ke telaga oleh pendekar itu, dia berseru marah dan goloknya lalu ditusukkan ke depan, ke arah perut pendekar itu. Seperti tadi, Suma Kian Bu tetap tidak bergerak dari tempatnya melainkan menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah golok yang segera menyeleweng arahnya dan pemegangnya terhuyung. Namun, penjahat itu membalik dan kembali menusukkan goloknya dari samping ke arah lambung.

Kian Bu menggunakan dua jari tangan menangkap atau menjepit ujung golok dan sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara nyaring dan golok itu pun patah menjadi dua! Sebelum penjahat itu hilang kagetnya, Kian Bu menggerakkan tangannya dan patahan golok yang dijepitnya itu menyambar dan langsung amblas memasuki perut si penjahat yang terbelalak dan berteriak keras. Kian Bu menangkap punggung bajunya dan sekali tangannya bergerak, tubuh penjahat itu menyusul temannya terlempar ke air telaga, terus tenggelam oleh karena patahan golok yang terbenam dalam perutnya itu telah merenggut nyawanya.

Penjahat ke empat yang menyerang Teng Siang In juga mengalami nasib yang sama buruknya. Dia menggunakan sebatang pedang yang diputar-putar ke atas kepala dan ketika dia menerjang maju, Siang In berkata halus, “Monyet busuk, engkau bermain-main dengan seekor ular apakah tidak takut digigit?”

Bagi para anak buah perahu yang enak nonton perkelahian aneh itu, terjadilah suatu pemandangan yang aneh luar biasa. Mereka melihat betapa penjahat berpedang yang menyerang nyonya pendekar itu tiba-tiba menjerit, memandangi pedangnya di tangan yang diangkat tinggi-tinggi, matanya terbelalak ketakutan dan berkali-kali dia menjerit seolah-olah melihat pedangnya sendiri sebagai sesuatu yang menakutkan!

Dan memang sesungguhnya demikian. Seperti tadi ketika menghadapi lawan pertama, nyonya pendekar ini tidak mau mengotorkan tangan menandinginya dengan ilmu silat, tetapi sudah menggunakan ilmu sihirnya. Yang pertama tadi, ia membuat si penjahat memukuli kepala sendiri dengan ruyung sampai remuk. Kini, ia menyihir lawan membuat si lawan itu tiba-tiba saja melihat pedangnya yang berada di tangan itu berubah menjadi seekor ular besar ganas yang menyembur-nyembur dan hendak menggigit hidungnya. Tentu saja dia menjadi ketakutan dan panik melihat ular yang dipegangnya sendiri pada ekornya itu. Selagi dia masih kebingungan, sebuah sepatu runcing menyambar ke arah pusarnya.

“Dukkk!”

“Ahhhh….”

Penjahat itu berteriak, matanya mendelik dan tubuhnya terlempar keluar perahu, lalu menimpa air telaga mengikuti teman-temannya ke neraka!

Si raksasa tinggi besar yang menjadi pimpinan lima orang itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa empat orang temannya tewas dalam keadaan demikian aneh, dan tak disangkanya bahwa mereka itu demikian mudahnya jatuh oleh sepasang pendekar setengah tua ini. Matanya terbelalak memandang kepada suami isteri itu bergantian kemudian dia mengkirik dan membalikkan tubuh, lalu lari hendak meloncat keluar dari perahu yang mengerikan hatinya itu.

“Eh, ehhh, nanti dulu! Berikan dulu golok itu padaku!” Teng Siang In berkata halus.

Akan tetapi sungguh aneh sekali, raksasa itu menghentikan langkahnya, membalik dan menghampiri Siang In, menyerahkan golok besar itu seperti seorang anak penurut yang taat sekali! Siang In menerima golok dan orang itu terbelalak, seolah-olah terkejut dan terheran melihat kelakuannya sendiri dan seperti baru sadar, dia lalu membalik dan lari.

Tubuhnya melayang keluar dari perahu ketika dia meloncat. Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan sebatang golok terbang menyambar ke arah leher penjahat itu. Nampak darah muncrat dan ketika tubuh raksasa itu menimpa air, ternyata kepalanya telah terpisah dari badannya oleh goloknya sendiri yang tadi dilontarkan oleh Teng Siang In.

Para anak buah perahu itu bersorak, tetapi mereka juga bergidik ngeri menyaksikan betapa suami isteri ini membunuh lima orang penjahat itu dengan sadis. Mengapa suami isteri pendekar ini menjadi demikian kejam dan sadis terhadap para penjahat? Bukan hanya karena para penjahat itu memang merupakan orang-orang berbahaya yang sudah berani mencoba untuk membunuh kaisar, namun terutama sekali karena telah terjadi perubahan besar di dalam batin suami isteri pendekar ini yang tentu saja mempengaruhi tindakan mereka.

Hal ini terjadi sejak mereka berdua mendengar dari Cin Liong dan Suma Hui tentang terculiknya putera tunggal mereka, Ceng Liong, oleh Hek-i Mo-ong dan terutama sekali mendengar bahwa ayah bunda mereka dan Pulau Es telah terbunuh dan terbasmi oleh datuk-datuk sesat itu. Sejak itu, mereka berdua merasa sakit hati sekali, mendendam kepada dunia penjahat yang membuat mereka sampai hati melakukan kekejaman tadi.

Dendam membuat kita menjadi kejam. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dengan melihat sendiri keadaan batin kita. Dendam melahirkan kebencian dan kebencian inilah yang memungkinkan perbuatan kejam karena kebencian membuat kita ingin melihat yang kita benci itu menderita sehebat mungkin!

Sekali diracuni dendam, hati seorang pendekar seperti Suma Kian Bu atau Teng Siang In sekali pun, akan berubah menjadi sadis dan kejam, tentu saja kejam terhadap mereka yang menimbulkan dendam itu. Dan kebencian merupakan suatu penyakit.

Jangan dikira bahwa setelah orang yang dibencinya lenyap, lalu kebencian itu pun akan berakhir atau lenyap dengan sendirinya. Kebencian itu akan tetap ada di batin, tinggal menanti bahan bakarnya saja untuk dapat berkobar lagi. Tentu sekali waktu akan muncul bahan bakar itu yang berupa orang atau golongan yang akan dibencinya lagi. Karena kebencian adalah penonjolan ke-akuan yang paling parah, kebencian timbul karena si aku merasa dirugikan sehingga timbul dendam dan benci yang membuat si aku ingin sekali melihat yang dibenci itu menderita dan ‘terbalas’.

Setelah menghajar kelima orang penjahat itu, Kian Bu dan Siang In membalik dan menghadapi kaisar.

Akan tetapi kaisar muda itu memangku tubuh yang sudah lunglai itu sambil menangis dan menciuminya! Kemudian terdengar Kaisar Kian Liong yang sudah mengenal baik suami isteri pendekar itu berkata, “Suma-taihiap, tolonglah…. tolong selamatkan nyawa kekasihku ini....”

Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan Siang In terkejut, cepat menghampiri, berlutut dan memeriksa keadaan wanita itu. Akan tetapi mereka hanya dapat saling pandang setelah mengadakan pemeriksaan. Keduanya maklum bahwa nyawa wanita itu tidak mungkin dapat diselamatkan lagi.

Bagian dalam tubuhnya luka hebat oleh pukulan keras, dan juga lambungnya terluka parah oleh bacokan senjata tajam. Belum lagi seluruh tubuhnya yang terhias luka-luka yang cukup dalam dan parah. Mereka berdua memandang dengan hati iba dan diam-diam mereka pun heran mendengar betapa kaisar menyebut wanita nelayan itu kekasih.

Memang sesungguhnyalah bahwa wanita itu adalah seorang gadis yang semenjak lama menjadi kekasih hati Kaisar Kian Liong, yaitu sejak kaisar ini masih menjadi seorang pangeran.

Beberapa tahun yang lalu, orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang mendendam kepada Kaisar Yung Ceng, menyerbu istana. Di antara mereka terdapat seorang murid Siauw-lim-pai wanita yang bernama Souw Li Hwa yang pada waktu itu baru berusia delapan belas tahun. Ia pun mendendam pada kaisar yang masih terhitung susiok-nya sendiri karena gurunya menderita sengsara ketika isteri gurunya itu pada suatu hari diperkosa oleh kaisar!

Souw Li Hwa ikut rombongan para hwesio Siauw-lim-pai untuk membalas dendam dan menyerbu istana. Akan tetapi, orang-orang Siauw-lim-pai itu roboh dan tewas semua kecuali Souw Li Hwa yang berhasil melarikan diri. Di dalam istana ini, selagi dikejar-kejar, Souw Li Hwa bertemu dengan Pangeran Kian Liong yang segera menolongnya, menyembunyikannya, bahkan mengawalnya keluar istana sampai selamat.

Ternyata sang pangeran itu sudah jatuh cinta kepada Souw Li Hwa. Sebelum berpisah, pangeran itu memberikan sebuah cincin dan sang pangeran berjanji bahwa kelak dia akan berjodoh dengan Souw Li Hwa setelah menjadi kaisar. Peristiwa ini diceritakan dengan jelas dalam cerita Suling Emas dan Naga Siluman.

Souw Li Hwa masih sadar dan gadis ini pun melihat sikap sepasang suami isteri itu. Ia pun maklum bahwa dirinya tak mungkin dapat ditolong lagi, maka ia pun berkata lemah, “Sudahlah.... sri baginda.... hamba.... hamba tak mungkin dapat hidup....”

“Li Hwa.... ah, Li Hwa, kenapa selama ini engkau tidak datang kepadaku? Ini.... ah, ini cincinku masih kau bawa.... tapi kenapa engkau tak pernah muncul....?” Kaisar muda itu menarik sebuah tali yang tergantung pada leher Li Hwa, ternyata cincin pemberiannya tergantung pada tali itu.

“Sri baginda.... hamba hanya seorang.... rendah.... mana berani hamba.... mengganggu seorang…. mulia seperti paduka....?”

“Ahhh, Li Hwa kekasihku. Akulah yang bersalah, aku sudah melupakanmu.... terlalu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sampai aku terlupa padamu.... padahal, cintaku padamu tak pernah padam. Li Hwa, kau maafkan aku....”

“Sudahlah, sri baginda.... hamba merasa bahagia.... pada saat terakhir.... masih dapat berjumpa dengan paduka.... masih dapat membela paduka.... ahhh, hamba puas.... ternyata paduka masih mencinta....” Gadis itu menghentikan kata-katanya, napasnya terengah-engah.

Melihat wajah itu makin memucat dan tubuh yang dipangkunya makin lemas terkulai, Kaisar Kian Liong menjadi panik. “Taihiap.... ahhh, tolonglah dia....”

Namun Kian Bu dan isterinya hanya menarik napas panjang. “Luka-lukanya terlampau parah, sri baginda.”

Jawaban ini cukup bagi Kian Liong. Dia merangkul dan menciumi muka yang pucat itu sambil menangis. “Li Hwa.... ahhh, Li Hwa, jangan mati.... mari hidup di sampingku sebagai isteri tercinta....”

Souw Li Hwa membuka kembali matanya dan kini sepasang matanya bersinar layu, walau pun bibirnya mengarah senyum dan wajahnya berseri. “Sri baginda.... kekasih hamba.... hamba rela mati.... hamba.... berterima kasih.... hamba cinta....” Dan ia pun terkulai karena nyawanya telah melayang.

“Li Hwa....!”

“Sri baginda, ia telah tiada....” Siang In berkata halus dan mengambil mayat itu dari pangkuan kaisar.

Kaisar Kian Liong memejamkan matanya dan sejenak dia duduk seperti itu, air matanya turun dari kedua mata yang dipejamkan, dan dia menguatkan hatinya. Kemudian dia membuka mata, bangkit berdiri dan melihat betapa para pengawal, sepasukan besar yang tadinya berjaga di tepi telaga, sudah tiba di situ menggunakan perahu mereka, dia cepat memberi perintah, “Tangkap semua penjahat-penjahat itu dan beri hukuman berat kepada mereka!”

Menerima perintah dari kaisar yang berduka dan marah ini, para pengawal menjadi bingung, tetapi mereka segera turun tangan, ada yang meloncat ke air dan menyelam, mencari lima orang penyerbu tadi. Akan tetapi, mereka hanya mampu menangkap lima mayat saja karena lima orang penjahat tadi telah mati semua.

Suma Kian Bu dan isterinya mengawal Kaisar Kian Liong kembali ke istana di kota raja, dan jenazah Souw Li Hwa juga diangkut ke kota raja di mana kaisar menganugerahi pangkat selir pertama kepada wanita yang telah mati itu. Jenazahnya dikubur dengan upacara kebesaran dan dibuatkan nisan yang besar dan megah.

Setelah ikut menghadiri upacara pemakaman sebagai penghormatan kepada Souw Li Hwa, suami isteri Suma Kian Bu mohon diri meninggalkan istana dan mereka pun mulai melakukan penyelidikan di kota raja tentang diri Hek-i Mo-ong yang telah menculik dan melarikan putera mereka. Namun, tidak ada orang yang mendengar tentang datuk itu dan tentu saja hal ini makin menggelisahkan hati suami isteri itu. Mereka makin giat menyelidiki dan mengambil keputusan tidak akan berhenti mencari sebelum mereka berhasil menemukan putera mereka.....

********************

Peralihan dari kehidupan ke kematian merupakan rahasia besar yang mentakjubkan. Kalau memang kematian sadah saatnya tiba, maka ada saja yang menjadi lantaran dan kematian itu tak dapat ditolak dengan cara bagaimana pun juga. Betapa pun pandainya manusia, namun semua harus tunduk terhadap hukum alam ini, ialah kehidupan tentu berakhir dengan kematian dan tidak ada kekuasaan yang dapat mencegahnya atau memperpanjang waktu tibanya kematian.

Jika sudah tiba saatnya, biar hendak bersembunyi di lubang semut, tetap saja kematian datang menjemput. Sebaliknya, kalau saat kematian belum tiba, biar kita berada di bawah ancaman maut yang bagaimana hebat pun, yang nampaknya tidak mungkin kita dapat keluar dengan selamat, namun ada saja lantarannya yang membuat kita terluput dari pada cengkeraman maut dan masih dapat hidup terus.

Sudah terlalu banyak contoh-contoh mengenai kematian yang datang tiba-tiba tanpa tersangka-sangka. Banyak pula cerita tentang orang-orang yang selamat dan luput dari kematian padahal sudah terkurung maut dan agaknya tak ada harapan untuk lolos lagi.

Ada orang yang semenjak mudanya menjadi prajurit sampai tua, puluhan tahun berada dalam kepungan maut, setiap saat mungkin saja maut merenggut nyawanya, namun ternyata dia selamat, terluka pun tidak, sampai dia mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai prajurit karena sudah bosan atau lelah. Pulang ke kampung, tergigit seekor nyamuk saja bisa mendatangkan penyakit yang akan menyeretnya ke lubang kubur!

Inikah yang disebut nasib? Terserah. Nasib hanya sebuah kata yang muncul karena kita kehabisan akal untuk dapat mengerti. Dan ada atau tidak adanya yang disebut nasib, yang penting kita harus selalu menjaga diri, bukan karena takut mati, melainkan untuk memelihara badan dan batin kita agar tetap sehat dan jauh dari bencana

.

Dilihat keadaannya, ketika perahu yang ditumpangi para cucu penghuni Pulau Es itu terguling dan mereka disambut oleh badai yang mengamuk, sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan mati semua. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian.

Ceng Liong yang terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat yang kejam dan jahat, ternyata tidak terbunuh, bahkan dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai muridnya! Suma Hui dan Cin Liong ternyata juga tidak tewas walau pun Suma Hui telah dilarikan oleh seorang penjahat cabul yang kejam dan Cin Liong diombang-ambingkan ombak yang membadai. Demikian pula dengan Suma Ciang Bun. Pemuda ini tidak tewas ditelan badai seperti yang dikhawatirkau saudara-saudaranya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, seperti juga Cin Liong, Ciang Bun terlempar keluar perahu dan disambut oleh air laut bergelombang. Seorang ahli renang yang bagaimana pandai pun tidak akan mungkin dapat melawan gelombang dahsyat dalam badai itu. Apalagi Ciang Bun yang kepandaiannya di dalam air terbatas.

Dia mencoba untuk berenang mendekati perahu, akan tetapi tubuhnya terseret makin menjauh dari perahu. Dia berusaha mempertahankan dirinya agar tidak minum terlalu banyak air laut. Tubuhnya terbawa ombak, diangkat tinggi-tinggi sampai dia merasa diterbangkan ke langit, lalu dihempaskan ke bawah, dalam sekali dan hanya berkat tubuhnya yang terisi tenaga sinkang kuat saja maka isi perutnya tidak sampai remuk ketika dia berkali-kali dibanting oleh gelombang.

Bagaimana pun juga, tenaga manusia adalah terbatas. Ketika Ciang Bun sudah hampir tidak kuat bertahan lagi, dalam kegelapan tangan kirinya bertemu dengan sepotong papan kayu. Bagaikan bertemu dengan pusaka, tangan kirinya itu mencengkeram kuat-kuat dan dipeluknya papan kayu itu. Dia bergantung dalam keadaan setengah pingsan, membiarkan dirinya dibawa ke mana pun juga oleh papan kayu yang dipermainkan gelombang membadai itu.

Kalau memang belum tiba saatnya untuk mati, dalam ancaman maut, di tengah lautan bergelora yang sedang dilanda badai itu, tiba-tiba ada saja muncul sepotong papan kayu yang menjadi lantaran sehingga memungkinkan Ciang Bun terlepas dan lolos dari cengkeraman maut.

Untung bagi Ciang Bun bahwa agaknya nalurinya timbul pada saat yang gawat itu. Kalau tidak demikian, agaknya tentu dalam keadaan setengah sadar itu dia sudah melepaskan cengkeramannya pada papan kayu itu. Akan tetapi, entah kekuatan apa yang menggerakkan pemuda ini sehingga tanpa disadarinya, kedua tangannya tidak pernah melepaskan papan kayu itu.

Air lautan tidak mengganas lagi, bahkan amat tenang dan kegelapan telah terganti sinar cerah matahari pagi ketika Ciang Bun sadar betul dari keadaan setengah pingsan itu. Dia teringat bahwa dia terapung-apung di tengah lautan, maka rasa gentar menyentuh hatinya dan cepat-cepat dia menarik tubuhnya ke atas dan dengan sudah payah dia duduk di atas papan kayu yang tidak berapa besar itu. Dia menggigil karena merasa dingin. Cepat-cepat pemuda ini mengerahkan Hwi-yang Sinkang untuk melawan hawa dingin dan sebentar saja tubuhnya sudah terasa hangat dan nyaman. Akan tetapi berbareng dengan itu, muncul pula rasa lelah, lapar dan mengantuk.

Di samping perasaan yang bercampur aduk ini, dia pun teringat kepada Cin Liong, Ceng Liong dan Suma Hui. Pertama-tama dia membayangkan wajah Ceng Liong dan hatinya merasa berduka sekali karena dia khawatir kalau-kalau adik keponakannya itu tewas. Kemudian, wajah Cin Liong terbayang dan dia pun merasa kasihan sekali kepada pemuda perkasa yang telah banyak berjasa terhadap keluarganya itu. Baru kemudian dia teringat kepada enci-nya, Suma Hui dan kesedihannya bertambah.

Sejak mereka tinggal bersama di Pulau Es, Ciang Bun merasa lebih dekat dengan Ceng Liong dari pada dengan enci-nya, bahkan dalam setiap percakapan dan perbantahan dia selalu membela kepada Ceng Liong. Kemudian, ketika muncul Cin Liong jenderal muda yang gagah perkasa itu, timbul rasa kagum yang mendalam di hati pemuda itu.

Memang akhir-akhir ini terjadi suatu perubahan dalam batin Ciang Bun, perubahan yang dia sendiri sama sekali tidak menyadarinya. Ketika dia masih kecil, perasaannya biasa saja, akan tetapi semenjak dia menjadi remaja, semenjak dia tinggal di Pulau Es dan hidup bertiga dengan Ceng Liong beserta Suma Hui, tanpa disadarinya timbul suatu perubahan.

Dia merasa suka sekali untuk berdekatan dengan Ceng Liong, bahkan ketika Cin Liong muncul, ada daya tarik yang luar biasa pada diri jenderal muda itu baginya, yang membuat dia kadang-kadang merasa malu dan bingung. Selain ini, juga dia ingin selalu kelihatan rapi dan elok seperti enci-nya. Padahal Suma Hui sendiri termasuk dara yang sederhana sehingga dalam hal berpakaian, Ciang Bun lebih rapi dari pada kakaknya.

Apakah gejala ini timbul karena semenjak kecil dia hanya berdua saja dengan enci-nya sebagai saudara kandung yang tunggal? Selalu berdekatan dengan kakak wanita sehingga dia meniru-niru enci-nya dan mempunyai ciri-ciri seperti seorang wanita? Dia sendiri tidak sadar dan juga tidak tahu, akan tetapi yang diketahuinya hanyalah bahwa setelah menginjak usia lima belas tahun, dia merasa tertarik sekali kepada lelaki dan menyukai wajah dan bentuk tubuh laki-laki yang jantan.

“Aduh, lapar sekali perutku....!” Ciang Bun mengeluh, mengusir renungan memedihkan tentang saudara-saudaranya yang tidak diketahuinya bagaimana keadaannya itu, masih hidup atau sudah mati.

Mendadak dia mendengar suara orang, teriakan-teriakan gembira. Cepat dia menoleh dan alangkah girangnya ketika dia melihat adanya dua orang muda sebaya dengan dia yang sedang bermain-main di atas air lautan yang tenang. Dan Ciang Bun tertegun, terbelalak, juga mengkirik melihat betapa dua orang muda remaja itu, seorang pria dan seorang lagi wanita, sedang berlari-larian di atas air lautan!

Bukan manusia, pikirnya. Mana mungkin ada manusia pandai berlari-larian di atas air? Walau pun dia pernah menyaksikan mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, melakukan hal ini untuk beberapa detik lamanya. Akan tetapi dua orang muda-mudi itu bermain-main, berloncatan dan berlarian sambil tertawa-tawa!

“Kalau bukan sebangsa dewa lautan, tentu peri atau siluman....,” bisik Ciang Bun dalam hatinya dan tentu saja dia merasa tengkuknya meremang. Dia mengucek matanya akan tetapi ketika membuka mata dan memandang lagi, pemuda dan dara itu masih ada, bahkan kini mereka mendekat ke arahnya.

“Heii, lihat....! Ada bekas-bekas perahu pecah!” teriak si dara.

“Benar, tentu ada perahu pecah dan tenggelam semalam, dilanda badai. Jangan-jangan para penumpangnya tewas semua.... haiii, lihat, apa itu? Bukankah dia manusia di atas papan itu?”

“Benar, koko! Seorang pemuda dan dia masih hidup!” teriak si dara dan mereka lalu menggerakkan tubuh dan meluncur mendekati Ciang Bun.

Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia tahu bahwa kedua orang itu sama sekali bukan berlari di atas air, melainkan menggunakan alas kaki kayu yang panjang runcing dan mereka itu berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, dan dengan menggerakkan kedua lengan ke belakang dan mengayun tubuh ke depan, alas kaki yang seperti dua perahu kecil itu meluncur ke depan!

Akan tetapi, untuk dapat mengatur keseimbangan tubuh di atas dua perahu kecil itu dan untuk dapat bergerak demikian leluasa, tentu membutuhkan keringanan tubuh dan latihan yang hebat, juga tenaga sinkang amat diperlukan ketika mengayun tubuh ke depan. Jelaslah bahwa dua orang muda itu bukan orang-orang sembarangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kagum dalam hati Ciang Bun. Akan tetapi bukan itu saja yang membuatnya bengong terlongong. Dua orang itu kelihatan demikian eloknya!

Yang perempuan berusia sekitar lima belas tahun, tubuhnya yang ramping dan ranum itu amat indah. Ciang Bun kagum sekali akan keindahan tubuh dara yang mengingatkan dia akan keindahan tubuh enci-nya. Akan tetapi wajah dara itu baginya jauh melampaui enci-nya dalam hal kecantikan. Seraut wajah yang cantik jelita dan manis sekali, dengan sepasang mata yang seperti bintang, hidung mancung dan mulut yang amat manis.

Akan tetapi, hanya sebentar saja sepasang mata Ciang Bun menatap dan mengagumi wajah dan tubuh dara itu, yang hanya mengenakan pakaian pendek dan ringkas dan basah karena air lautan sehingga pakaian itu menempel ketat pada tuhuhnya, mencetak tubuh yang menggairahkan itu. Namun, semua itu hanya lewat tanpa meninggalkan kesan mendalam di hati Ciang Bun.

Kini dia terpesona, ya, amat terpesona memandang ke arah pemuda yang meluncur di samping dara itu. Pemuda itu berusia dua tiga tahun lebih tua darinya, sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun dan pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut yang terbuat dari kulit harimau.

Wajahnya yang agak kecoklatan karena kulitnya terbakar sinar matahari, nampak amat gagah dan tampan, sepasang matanya juga mencorong seperti bintang, hidungnya mancung dan mulutnya juga manis seperti mulut si dara, hanya dagu pemuda ini membayangkan kejantanan yang membuat Ciang Bun benar-benar terpesona. Apalagi tubuh yang telanjang bagian atas itu, nampak demikian gagah, tegap, bidang dan mengandung kekuatan yang mentakjubkan.

Baru sekarang Ciang Bun melihat bentuk tubuh yang demikian tegap dan gagahnya. Tanpa disadarinya, jantungnya berdegup aneh, hatinya tertarik sekali dan tiba-tiba saja dia merasa sungkan dan malu-malu.

“Eh, apa yang kau lihat? Apakah engkau belum pernah melihat orang?” Tiba-tiba gadis remaja itu bertanya sambil terkekeh kocak.

Pemuda yang bertelanjang baju hanya memandang sambil tersenyum ramah. Bukan pertanyaan dara itu yang membuat Ciang Bun gugup, melainkan tatapan mata dan senyuman pemuda itu.

“Aku.... aku.... ahh, aku belum pernah melihat orang-orang yang bermain-main di atas lautan seperti kalian ini....”

“Hi-hi-hik....!” Dara itu tertawa terkekeh geli.

“Ha-ha-ha-ha....!” Pemuda itu pun tertawa.

Sikap mereka demikian gembira, suara ketawa mereka demikian bebas sehingga Ciang Bun yang biasanya pendiam dan serius, terseret oleh kegembiraan mereka dan dia sama sekali tidak merasa tersinggung karena dua orang itu sama sekali tidak seperti mentertawakannya. Maka dia pun ikut pula tertawa ha-ha-he-heh walau pun dia tidak tahu apa sebenarnya yang mereka tertawakan.

“Ha-ha-ha-ha!” Dia tertawa.

Melihat pemuda di atas papan itu tertawa menyeringai dengan muka mengandung keheranan dan tidak mengerti, dua orang muda itu makin geli dan ketawa mereka makin keras.

Ketawa itu seperti tangis. Kalau dibiarkan berlarut-larut akan semakin keras, akan tetapi akhirnya akan habis tenaganya dan berhenti sendiri. Dua orang muda yang tadinya berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, selalu harus mengatur keseimbangan tubuh mereka, mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan mengerahkan tenaga pada kaki. Ketika mereka tertawa-tawa, mulailah keseimbangan tubuh mereka goyah dan mereka pun maju mundur, meluncur ke kanan kiri dan akhirnya dara itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi dan terpelanting.

“Byuurrrr....!” Air muncrat tinggi.

“Heiii....!” Si pemuda berteriak dan dia pun terpelanting dan jatuh pula.

Air muncrat semakin tinggi. Melihat betapa dua orang itu terpelanting dan jatuh ke air, Ciang Bun merasa geli sekali. Dia pun terkekeh ketawa. Kini dia ketawa ada sebabnya, ada yang ditertawakan, tidak seperti tadi dia tertawa hanya karena terseret oleh suara ketawa dan sikap dua orang muda itu. Kini dia tertawa seorang diri sambil memandang ke air di mana kedua orang itu tadi terjatuh.

Suara ketawanya makin berkurang dan akhirnya bahkan terhenti sama sekali. Matanya terbelalak dan alisnya berkerut penuh kegelisahan. Dua orang muda yang terpelanting tadi terus tenggelam dan tidak muncul lagi! Tentu saja Ciang Bun menjadi gelisah dan kaget sekali, mengira bahwa mereka itu tentu tenggelam terus! Sungguh aneh sekali!

Dua orang yang begitu pandai bermain di atas air, apakah tidak pandai berenang sehingga mati tenggelam? Dia sendiri lemas dan lelah sekali, akan tetapi melihat mereka berdua itu tenggelam dan tidak timbul lagi, tanpa ragu-ragu Ciang Bun lalu meloncat ke air, melupakan kelelahan dan kelemasan tubuhnya, kemudian menyelam dan mencari-cari dengan membuka matanya di dalam air.

Dia merasa matanya perih, akan tetapi karena sinar matahari cerah, dia dapat melihat ke bawah cukup jelas. Dan apa yang dapat ditangkap dengan pandang matanya membuat dia merasa mukanya panas karena malu. Dua orang muda yang disangkanya tenggelam dan mungkin mati itu sedang berenang di dalam air dengan amat lincahnya, agaknya mengejar ikan-ikan besar seperti berlomba!

Tahulah dia bahwa dia telah salah sangka dan bahwa dua orang muda itu memang benar-benar memiliki ilmu dalam air yang luar biasa seperti setan-setan air saja, maka dia pun cepat-cepat naik kembali ke permukaan air. Setelah kepalanya tersembul, dia menarik napas dalam-dalam dan agak terengah karena lama juga dia tadi menahan napas. Dengan mengandalkan sinkang-nya, memang dia dapat bertahan lebih lama dari pada orang biasa.

Akan tetapi dia merasa lelah sekali dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat sepotong papan yang telah menyelamatkannya semalam kini sudah terbawa air sangat jauh dari situ. Mati-matian dia lalu berenang mengejar, akan tetapi tenaganya semakin lemas dan dia merasa tidak mampu menyusul papan yang hanyut itu.

Tiba-tiba, selagi dia merasa bingung, karena tanpa papan itu dia takkan dapat lama bertahan di permukaan air, apalagi setelah tenaganya makin lemas itu, papan itu seperti hidup dan bergerak membalik dan meluncur ke arahnya! Tentu saja dia merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang terutama girang sekali. Ditangkapnya papan itu dan dia pun naik kembali ke atasnya, duduk terengah-engah dan menyusut air laut dari rambut dan mukanya.

Dia memandang ke air dan kekaguman hatinya bercampur heran dan khawatir. Kedua orang muda itu sudah demikian lamanya berada di dalam air, bagaimana mereka kuat bertahan? Tentu mereka memiliki sinkang yang luar biasa tinggi dan kuatnya. Siapakah mereka itu dan mengapa berada di tengah lautan? Dia tidak melihat perahu di sekeliling tempat itu.

Kembali Ciang Bun bergidik. Manusiakah mereka? Dia mengingat kembali percakapan antara mereka dan hatinya meragu. Pertanyaan gadis itu menunjukkan bahwa mereka manusia, akan tetapi sikap mereka yang terbuka dan aneh, lalu keadaan mereka yang seolah-olah hidup di lautan, kepandaian mereka yang luar biasa dalam air!

Tiba-tiba air bergerak dan muncullah dua orang yang sedang dijadikan bahan renungan itu. Sepasang sepatu itu berada di punggung masing-masing, terikat dengan belitan tali ke dada, dan kini kedua tangan mereka memegang dua ekor ikan yang sebesar betis, gemuk dan montok, yang masih menggelepar-gelepar.

“Nih, sobat, kau bawakan ikan-ikanku!” kata pemuda itu dan tubuhnya yang berada di air itu meluncur cepat ke arah papan di mana Ciang Bun duduk.

Ciang Bun memandang kagum. Pemuda itu menggunakan kedua tangan memegangi ikan, jadi tentu hanya mempergunakan kedua kakinya untuk berenang, namun tubuhnya dapat meluncur sedemikian cepatnya, jauh lebih cepat dibandingkan dengan dia sendiri kalau berenang, walau pun mempergunakan kaki tangannya. Akan tetapi dia menerima dua ekor ikan itu, memegangnya dengan kuat-kuat karena ikan-ikan itu menggelepar dan meronta.

Pemuda itu lalu mengambil sepotong tali dan memasukkan tali melalui mulut ikan-ikan itu. Si dara juga berenang mendekat dan empat ekor ikan itu kini sudah diuntai pada tali dan dipegang oleh Ciang Bun.

“Kalau begini mereka tidak akan mati dan masih segar dagingnya setelah kita sampai pulau,” kata pemuda itu sambil memandang wajah Ciang Bun. “Engkau tentu sudah lapar sekali, bukan?”

Wajah Ciang Bun menjadi merah dan dia pun mengangguk.

“Ke pulau? Pulau manakah?”

“Pulau kami, yaitu Pulau Nelayan.”

Ciang Bun terkejut. “Pulau Nelayan? Jadi kalian tinggal di Pulau Nelayan?”

“Heii, orang muda aneh, apa yang kau ketahui tentang Pulau Nelayan kami?” gadis itu bertanya, sepasang matanya yang jeli itu menatap penuh keinginan tahu.

Ciang Bun mengangguk. “Mendiang kakekku pernah bercerita tentang Pulau Nelayan, akan tetapi katanya pulau itu sudah disapu bersih oleh badai dan menjadi pulau kosong tidak ada penghuninya lagi, sudah puluhan tahun....”

Dua orang muda itu kelihatan terkejut mendengar ini dan mereka mendekat, kini mereka memegangi papan di mana Ciang Bun duduk, pandang mata mereka penuh selidik.

“Sobat baik, siapakah mendiang kakekmu yaug mengetahui rahasia daerah lautan ini?” tanya pemuda ganteng itu.

“Mendiang kakek adalah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”

“Aihhh....!” Dua orang muda itu melepaskan papan dan mundur, kemudian keduanya menjura ke arah Ciang Bun dengan pandang mata takjub dan penuh rasa hormat dan kagum. “Kiranya engkau ini adalah cucu Majikan Pulau Es, Suma-locianpwe....?” kata pemuda itu.

“Dan kami melihat pulau itu terbakar dan lenyap dari jauh....,” sambung si dara sambil terbelalak memandang wajah Ciang Bun.

“Benar, pulau kami terbakar, kakek dan dua nenek kami tewas dan kami, yaitu aku dan saudara-saudaraku, naik perahu meninggalkan pulau, di tengah lautan diserbu musuh, perahu kami pecah dan kami cerai-berai.... ahh....!” Ciang Bun menunduk sedih teringat akan nasib keluarga Pulau Es dan nasib saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana.

“Aihh! Mari cepat ikut bersama kami ke pulau. Kakek tentu akan terkejut mendengar tentang Pulau Es itu. Mari ikut dengan kami ke Pulau Nelayan, Suma-taihiap!” kata pemuda itu.

Ciang Bun memandang, mukanya berubah merah. “Harap jangan menyebutku taihiap. Namaku Ciang Bun, usiaku lima belas tahun.”

“Dan namaku Liu Lee Siang berusia tujuh belas tahun, ini adikku Liu Lee Hiang, lima belas tahun.”

“Kalau begitu engkau kusebut twako dan adikmu kusebut siauw-moi,” kata Ciang Bun ramah.

“Bun-hiante....!” Lee Siang menyebut girang.

“Bun-koko....!” Dara itu pun menyebut dengan sikap agak malu-malu, namun ia pun tersenyum dan wajahnya yang manis itu berseri.

“Kita tidak mempunyai perahu, bagaimana kita dapat berlayar ke Pulau Nelayan kalian?” tanya Ciang Bun.

“Hi-hik!” Lee Hiang tertawa. “Bukankah sekarang engkau sudah naik kereta dan tinggal menggunakan dua ekor kuda saja untuk menarikmu?”

“Kereta? Kuda....? Apa maksudmu, siauw-moi?”

Lee Hiang tertawa manis, ketawanya bebas lepas, tidak seperti gadis-gadis kota yang kalau tertawa terkendali dan ditutup-tutupi, seolah-olah tertawa merupakan perbuatan yang memalukan.

“Itu keretamu, dan kami berdua adalah kudanya!”

Kakak beradik itu lalu melepaskan alas kaki kayu berbentuk perahu-perahu kecil itu dari punggung, lalu memasang pada kaki mereka, mengikat dengan tali-temali itu dan mereka berdua lalu meloncat dan sudah berdiri di atas air. Lee Siang menggunakan sehelai tali, agaknya pemuda ini membawa banyak tali di pinggangnya, dan mengikat ujung papan kayu yang diduduki Ciang Bun.

“Bun-hiante, harap suka berpegang kuat-kuat pada keretamu!” Lee Siang berkelakar menyebut papan itu kereta.

Ciang Bun mengangguk dan memegangi papan. Kedua orang kakak beradik itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang mendayung dari depan ke belakang, tubuh membungkuk rendah ketika kedua tangan mulai digerakkan dan pada saat kedua tangan ditarik ke belakang, tubuh berdiri dan kedua kaki diisi tenaga mendorong ke depan. Tubuh kedua orang muda itu pun meluncur ke depan dan papan kayu yang diduduki Ciang Bun ikut tertarik dan melaju! Ciang Bun kagum bukan main. Memang keadaan mereka seperti dia menunggang kereta ditarik dua ekor kuda saja.

“Siang-twako, kenapa kalian bermain-main demikian jauhnya?” Ciang Bun bertanya.

“Apa katamu, Bun-hiante?” Tanpa menghentikan gerakan tubuhnya Lee Siang balas bertanya sambil menoleh.

Ciang Bun maklum bahwa dia bicara melawan angin, maka dia sekali lagi mengulang pertanyaannya, kali ini mengerahkan khikangnya sehingga suaranya dapat menembus tiupan angin dari depan.

“Heiii! Khikang-mu kuat bukan main, hiante!” Lee Siang memuji.

Pemuda ini tidak perlu berteriak keras karena suaranya bahkan terbawa angin dan mudah ditangkap oleh Ciang Bun yang berada di belakangnya.

“Kami bermain jauh dari pulau karena kami ingin menangkap ikan-ikan itu yang hanya terdapat di daerah tadi. Setiap hari kami makan daging ikan, maka harus berganti-ganti agar tidak bosan.”

“Ikan-ikan yang kami tangkap itu adalah ikan sirip emas, selain lezat juga besar khasiatnya untuk memulihkan tenaga dan menghilangkan lelah. Sengaja kami tangkap untukmu, Bun-twako!” berkata pula Lee Hiang.

“Ahh, kalian sungguh baik sekali. Dan ilmu kalian dalam air amat luar biasa, membuat aku kagum bukan main.”

“Engkau pun hebat, Bun-hiante. Engkau mampu melawan badai sampai selamat, dan dalam keadaan lelah engkau masih menyelam dan mencoba untuk mencari kami. Itu saja sudah menunjukkan bahwa engkau pantas menjadi majikan Pulau Es!” kata Lee Siang.

Wajah Ciang Bun menjadi merah. Kiranya mereka tadi melihatku, pikirnya. Kini dia pun tidak merasa heran lagi mengapa papan kayu yang sudah hanyut itu tiba-tiba saja dapat membalik dan meluncur ke arahnya. Kiranya merekalah yang membuatnya.

Tak lama kemudian nampaklah sebuah pulau. Kiranya pulau itu tidak jauh dari situ, hanya di daerah ini keluar kabut yang seolah-olah menyelimuti pulau dan tidak tampak dari jarak agak jauh. Sebuah pulau kecil yang tidak begitu subur, walau pun ada juga tumbuh-tumbuhan di situ. Apa lagi karena tiga penghuninya memang sengaja mengolah tanah di pulau itu dan menanam sayur-sayuran yang berguna bagi mereka.

Mereka disambut oleh seorang kakek yang berdiri di pantai. Kakek ini berpakaian sederhana serba hitam. Usianya sekitar enam puluh lima tahun dan kulit mukanya juga coklat seperti kulit muka Lee Siang karena banyak terbakar sinar matahari. Tangan kirinya membawa sebatang dayung besi yang sesungguhnya merupakan senjatanya yang ampuh.

Wajah yang penuh kerut-merut itu berseri ketika melihat datangnya dua orang cucunya yang tercinta. Akan tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat dua orang cucunya itu datang bersama seorang pemuda tampan.

Tidak pernah ada orang luar boleh memasuki pulaunya selama ini dan kedua orang cucunya juga tahu bahwa dia tidak menghendaki ada orang luar berkunjung ke pulau itu. Kenapa sekarang mereka itu lancang pulang membawa seorang tamu?

Begitu tiga orang muda itu mendarat, kakek ini segera menegur cucunya, “Lee Siang dan Lee Hiang, kenapa kalian pulang bersama seorang asing?”

Lee Siang memandang agak gelisah, akan tetapi Lee Hiang segera berlari menghampiri kakeknya dan memegang lengan kakek itu. Memang Lee Hiang itu agak manja dan kakeknya amat sayang kepadanya.

“Kong-kong jangan marah dulu. Kami berani membawanya ke sini karena pertama, dia terapung-apung di tengah lautan, dan kedua, dia ini adalah Suma Ciang Bun, cucu dalam dari Pendekar Super Sakti, majikan Pulau Es.”

“Ahhh….!” Seperti juga kedua cucunya tadi, ketika mendengar disebutnya nama itu, kakek ini juga terkejut sekali dan sikap galaknya serta merta lenyap.

“Jadi Kongcu (tuan muda) ini cucu dari Suma-locianpwe? Tapi…. tapi kulihat Pulau Es terbakar kemarin malam….” Dia memandang ke timur dengan sikap termenung.

“Memang benar, kong-kong. Menurut cerita Bun-ko, katanya Suma-locianpwe bersama dua orang isterinya telah tewas dan pulau terbakar. Bun-twako dan saudara-saudaranya naik perahu menjauh pulau, akan tetapi di tengah pelayaran mereka diserang musuh dan perahunya pecah.”

Mendengar ini tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah timur.

“Ahh, siapa menduga bahwa Suma-locianpwe bertiga mengalami nasib seperti itu. Semoga arwah beliau bertiga memperoleh tempat yang penuh damai.”

Lalu kakek itu bangkit dan menghampiri Ciang Bun, merangkulnya. “Suma-kongcu, mari kita ke pondok dan ceritakanlah semua yang terjadi kepadaku. Kakekmu itu adalah junjunganku pula. Dahulu, sebelum burung-burung rajawali di Pulau Es mati semua, kakekmu kadang-kadang suka datang ke pulau ini menunggang burung rajawali. Akan tetapi semenjak burung-burung itu tidak ada, kabarnya mati semua, Suma-locianpwe tidak pernah datang dan akhirnya pulau ini dilanda badai hebat dan putuslah hubungan antara kakekmu dan pulau ini.”

Mereka lalu pergi membawa empat ekor ikan itu ke sebuah pondok di tengah pulau itu. Pondok itu terbuat dari kayu dan batu karang, namun cukup kokoh kuat dan cukup besar, dengan tiga buah kamar dan di sebelah dalamnya sangat bersih dan terawat sehingga menyenangkan untuk ditempati.

Setelah tiba di pondok, Ciang Bun diberi pakaian oleh Lee Siang dan segera berganti pakaian. Biar pun agak kebesaran, namun kering dan enak dipakai. Setelah berganti pakaian, tiga orang itu sibuk di dapur untuk masak ikan dan mempersiapkan makan. Lee Siang dan Lee Hiang tadinya mencegah, akan tetapi Ciang Bun memaksa untuk membantu hingga akhirnya mereka masak-masak sambil bercakap-cakap. Sementara itu, kakek itu masih termenung memikirkan nasib Pulau Es di dalam ruangan sebelah dalam.

Setelah makanan siap, mereka pun makan minum. Hidangannya sederhana saja, hanya nasi dengan masakan daging ikan sirip emas dan beberapa macam sayur sederhana. Akan tetapi karena perutnya lapar sekali, Ciang Bun makan dengan lahapnya. Sikap tuan rumah yang baik dan ramah membuat dia tidak malu-malu lagi dan memang benar ucapan Lee Hiang tadi, daging ikan sirip emas itu lezat sekali.

Setelah makan, barulah mereka bercakap-cakap di ruangan depan sambil melepaskan pandangan mata ke arah pantai, ke sebelah timur yang menjadi arah letaknya Pulau Es.

Ciang Bun sudah percaya benar kepada mereka ini, terutama percaya kepada Lee Siang dan Lee Hiang, maka dia pun menceritakan segala yang terjadi di Pulau Es, sejak penyerbuan datuk-datuk kaum sesat, sampai munculnya Kao Cin Liong, jenderal muda yang banyak berjasa membantu keluarga kakeknya, kemudian tentang tewasnya kedua neneknya dan kematian kakeknya yang penuh rahasia itu. Kemudian diceritakan pula ketika perahu mereka diserang oleh gerombolan datuk jahat sehingga dia terlempar ke lautan yang sedang diamuk badai, terpisah dari tiga orang muda lainnya.

Kakek dan dua cucunya itu mendengarkan dengan amat tertarik dan mereka ikut merasa marah dan penasaran kepada datuk jahat yang kejam itu. Kakek itu mendengar tanpa pernah mengganggu dan setelah Ciang Bun selesai bercerita, barulah dia menarik napas panjang penuh penyesalan, lalu berkata, “Suma-kongcu….”

Akan tetapi Ciang Bun cepat memotong, “Harap locianpwe jangan menyebut kongcu kepadaku….”

Kakek itu tersenyum sedih. “Kakekmu adalah seorang pendekar sakti yang kujunjung tinggi, dan dua orang nenekmu itu, yang seorang pernah menjadi ketua Pulau Neraka, dan yang seorang lagi masih berdarah keluarga kaisar! Sudah semestinya kalau aku menyebutmu kongcu.”

Ciang Bun termenung. Kakek ini biar pun sederhana, namun memiliki kemauan yang teguh dan akan percuma sajalah kalau dibantahnya. “Terserah padamu, locianpwe,” katanya.

“Suma-kongcu, apakah engkau mengenal datuk-datuk kaum sesat yang menyerbu Pulau Es itu?”

“Jenderal muda Kao Cin Liong yang terhitung keponakanku itu mengenal seorang di antara mereka, yaitu pemimpin yang berjuluk Hek-I Mo-ong Phang Kui….”

Kakek itu meloncat berdiri dari bangkunya dan wajahnya berubah, matanya terbelalak. “Ahh…. pantas saja kalau begitu!”

“Apa maksudmu, locianpwe?”

“Tadinya aku sudah merasa terheran-heran dan hampir tidak percaya mendengar ceritamu bahwa keluarga Pulau Es dapat dikalahkan dan ditewaskan oleh musuh, walau pun Suma-locianpwe sendiri tidak turun tangan. Kiranya yang memimpin gerombolan itu adalah Hek-I Mo-ong! Aku mengenal nama itu! Seorang datuk yang kabarnya memiliki kesaktian yang amat tinggi, juga memiliki sihir kuat. Aku tidak merasa penasaran lagi, apa lagi mendengar bahwa di antara mereka banyak yang roboh oleh kedua orang nenekmu yang sakti.”

“Kalau saja Bun-ko sudah lebih dewasa, tentu semua penjahat itu akan mati sebelum mereka berhasil membasmi Pulau Es!” kata Liu Lee Hiang sambil mengepal tinju.

“Suma-kongcu, namaku adalah Liu Ek Soan. Apakah kakekmu sewaktu masih hidup tidak pernah menyebut namaku?” kakek itu bertanya kepada Ciang Bun.

Ciang Bun menggeleng kepala. “Kong-kong pernah bercerita tentang Pulau Neraka, Pulau Nelayan dan lain-lain, dan menurut kong-kong, Pulau Nelayan telah dilanda dan disapu bersih oleh badai yang dahsyat. Agaknya kong-kong menganggap bahwa semua penghuninya telah habis.”

Kakek yang bernama Liu Ek Soan itu mengangguk-angguk. “Mungkin begitu dan memang aku sendiri pun masih merasa heran, kenapa di antara seratus lebih penghuni pulau ini, hanya aku dan dua orang cucuku ini yang selamat secara aneh.”

Kakek Liu Ek Soan lalu bercerita. Belasan tahun yang lalu, pada suatu malam, tanpa diduga-duga badai yang amat dahsyat mengamuk di daerah itu. Belum pernah ada badai sehebat itu dan Pulau Nelayan yang datar itu dilanda badai. Air laut naik tinggi ke pulau, menyapu seluruh pulau dan menyeret apa saja yang berada di pulau itu.

Habis binasalah seluruh penghuni pulau itu. Rumah-rumah mereka pun terseret bersih dan pulau itu menjadi gundul dan kosong sama sekali. Akan tetapi, Liu Ek Soan yang menjadi ketua pulau itu, orang yang terpandai di antara semua penghuni Pulau Nelayan, berhasil menyelamatkan diri walau pun dia sendiri terseret sampai jauh sekali ke tengah lautan.

Dalam keadaan setengah mati, Liu Ek Soan berhasil kembali ke pulau itu, berduka dan ngeri menyaksikan keadaan pulau. Seluruh keluarga dan tetangganya habis musnah. Tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan juga girang hatinya ketika pada keesokan harinya muncul sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh dua orang cucunya, yaitu Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, yang pada waktu itu baru berusia enam tahun dan empat tahun.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es