KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-12


Badai mengamuk hebat, akan tetapi pulau kosong itu merupakan bukit dan air laut tidak sampai menyapu permukaan bukit. Baru pada keesokan harinya ketika laut tenang kembali, keduanya turun dari atas bukit menuju pantai di mana mereka tidak melihat lagi perahu mereka.

Dua orang anak-anak itu sudah biasa dengan lautan, bahkan sebelum mereka mampu berjalan kaki, mereka sudah pandai berenang! Maka ketika mereka melihat ada perahu kosong lain terapung-apung agak jauh dari pantai, Lee Siang lalu meloncat ke air, berenang dan menuju ke perahu itu. Dia tidak tahu bahwa itu adalah satu di antara perahu-perahu dari Pulau Nelayan yang tersapu air laut dalam amukan badai semalam.

Didayungnya perahu ke pantai dan bersama adiknya dia lalu pulang ke Pulau Nelayan. Dan di pulau ini mereka mendapatkan sisa bencana itu, seluruh permukaan pulau sudah menjadi gundul dan hanya ada seorang manusia di situ yang menyambut mereka, yaitu kakek mereka, Liu Ek Soan yang merangkul mereka sambil menangis sesenggukan. Ayah bunda mereka, paman-paman dan bibi mereka, saudara-saudara misan mereka, para tetangga, semua habis lenyap ditelan gelombang samudera mengganas.

“Demikianlah, kongcu. Kami bertiga selamat dan agaknya tidak ada seorang pun yang tahu akan hal ini. Aku lalu merawat dan mendidik kedua orang cucuku ini, kami hidup sederhana dan cukup bahagia di pulau kami.”

Ciang Bun memandang kagum. “Dan berkat pendidikan locianpwe, kini Siang-twako dan Hiang-siauwmoi menjadi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.”

“Ahhh, Suma-kongcu terlalu memuji. Dalam hal ilmu silat, mana mungkin kami dapat dibandingkan dengan kongcu sebagai cucu Suma-locianpwe di Pulau Es? Kami hanya mempelajari sedikit ilmu dalam air.”

“Itulah yang amat mengagumkan hatiku. Mereka berdua ini dapat bergerak di air seperti ikan saja, begitu kuat menyelam lama dan dapat bergerak di permukaan air sedemikian gesit dan ringannya. Sungguh mengagumkan dan aku ingin sekali mempelajari ilmu itu.”

“Bun-ko, kenapa engkau tidak tinggal di sini bersama kami dan belajar bersama kami?” tiba-tiba Lee Hiang berkata dengan sinar mata berseri.

“Benar, dan kong-kong tentu akan suka sekali mengajarkan ilmu dalam air kepadamu, Bun-hiante!” Lee Siang menyambung.

Pemuda ini pun suka sekali kepada Ciang Bun yang tampan gagah dan pendiam itu, apalagi mengingat bahwa selama mereka hidup di pulau itu, jarang mereka bertemu dengan manusia lain, apalagi bersahabat. Dua orang muda itu rindu akan persahabatan dan munculnya Ciang Bun merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan hati mereka.

Lain lagi yang dipikirkan kakek Liu Ek Soan. Tadi Ciang Bun menuturkan keadaannya dan kakek ini amat tertarik. Pemuda gagah ini adalah cucu Pendekar Super Sakti, putera Suma Kian Lee, keturunan Pendekar Super Sakti dan Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. Pemuda ini adalah keturunan pendekar besar dan alangkah baiknya, alangkah akan bangga dan puas rasa hatinya kalau cucunya yang terkasih, Liu Lee Hiang, dapat berjodoh dengan pemuda ini!

Dia akan berbesan dengan keluarga Pulau Es. Hebat! Dan hal itu bukan tidak mungkin terjadi kalau pemuda ini belajar di Pulau Nelayan. Cucunya itu cukup cantik manis dan usia mereka sebaya, hubungan mereka yang baru sehari itu sudah nampak demikian akrab. Mengapa tidak?

“Tentu saja aku akan merasa gembira sekali dapat membimbing Suma-kongcu dalam ilmu bergerak di air,” katanya dengan wajah berseri. “Dan untuk itu sebaiknya kalau Suma-kongcu sementara waktu tinggal di sini bersama kami. Bagaimana pendapatmu, kongcu?”

Suma Ciang Bun memandang kepada Lee Siang. Dia merasa suka sekali kepada pemuda ini dan rasanya dia akan merasa kehilangan sekali kalau sampai berpisah dari pemuda hebat itu. Dan dia pun suka kepada Lee Hiang, sedangkan kakek itu pun amat baik dan mengenal keluarga Pulau Es. Kalau dia memiliki ilmu dalam air seperti mereka, agaknya dia tidak perlu takut lagi menghadapi amukan badai seperti semalam.

“Baiklah, locianpwe. Aku akan senang sekali tinggal di sini untuk sementara waktu dan mempelajari ilmu itu.”

“Tetapi, harap kongcu jangan menyebut locianpwe atau suhu kepadaku, sungguh aku merasa malu kalau kau sebut begitu, terlalu tinggi bagiku....”

“Lalu aku harus menyebut bagaimana?”

Kakek itu tertawa dan sekali menggerakkan tangan kanan, dayungnya menancap di atas tanah batu karang itu sampai seperempatnya lebih. Ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki tenaga sinkang yang kuat! “Ha-ha-ha, engkau sebaya dengan dua orang cucuku, bagaimana kalau engkau pun menyebut kakek kepadaku?”

Ciang Bun menjadi girang sekali “Baik, Liu-kong-kong, akan tetapi karena kong-kong menyebut nama mereka begitu saja, maka kepadaku juga sebaiknya kalau kong-kong menyebut namaku tanpa pakai embel-embel kongcu segala macam.”

“Ha-ha-ha, baik sekali, baik sekali, Ciang Bun, engkau sungguh seorang anak yang baik dan pantas menjadi cucu Majikan Pulau Es.”

Demikianlah, mulai hari itu, Ciang Bun tinggal di Pulau Nelayan bersama Liu Ek Soan, Lee Siang dan Liu Lee Hiang. Dengan tekun dia mempelajari ilmu dalam air, dibimbing dengan penuh perhatian oleh Liu Ek Soan, dan dibantu pula oleh Lee Siang dan Lee Hiang. Seperti yang diidam-idamkan oleh kakek itu, pergaulan antara cucu keluarga Pulau Es dan cucunya berjalan lancar dan mereka Nampak akrab sekali.

Bahkan pada bulan-bulan berikutnya, pandangan kakek yang sudah berpengalaman ini dapat melihat dengan jelas bahwa cucunya perempuan, Lee Hiang, telah jatuh hati pada Ciang Bun! Akan tetapi kakek ini merasa ragu apakah cucu Pendekar Super Sakti itu juga ‘ada hati’ kepada dara itu.

Ciang Bun orangnya pendiam dan sukar menjenguk hatinya. Sikapnya pada Lee Hiang memang baik dan ramah, tetapi tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pemuda ini tertarik kepada dara yang sedang manis-manisnya bagaikan bunga sedang mekar semerbak itu. Sikap Ciang Bun biasa saja, bahkan nampaknya pemuda ini lebih akrab dan lebih dekat dengan Lee Siang dari pada Lee Hiang!

********************

“Bun-koko, mari kita latihan menyelam dan mencoba untuk menangkap belut laut yang lincah itu. Dasar-dasar ilmu bergerak dalam air telah kau pelajari dari kong-kong, hanya tinggal mematangkan latihan saja,” kata Lee Hiang yang berdiri di atas perahu kecil itu bersama Ciang Bun, sedangkan Lee Siang melatih diri dengan alas kaki kayunya.

Dia berlatih membuat lompatan-lompatan jauh dan nampaknya pemuda ini sudah mahir sekali. Sejak tadi Ciang Bun yang sudah agak letih berlatih itu duduk di atas perahu memandang ke arah Lee Siang penuh kagum.

Mendengar ajakan dara itu, dia mengangguk. “Baiklah, siauw-moi. Akan tetapi belut itu terlalu cepat dan gesit untukku. Lagi pula, tubuhnya sangat licin sehingga sukar untuk ditangkap.”

“Aku akan membantumu, koko. Memang belut itu sukar ditangkap dan aku sendiri pun tanpa dibantu takkan dapat menangkapnya. Dia harus dihadang dari depan belakang, dan dalam kebingungan dia baru dapat ditangkap sebab jika bingung dia menyusupkan kepalanya ke dalam lumpur sehingga kita tinggal menangkap ekornya saja. Tapi dia merupakan bahan latihan bergerak dalam air yang baik sekali.”

“Baiklah, mari!” kata Ciang Bun yang sudah bergerak hendak meloncat ke air.

Akan tetapi lengannya dipegang oleh jari-jari tangan halus itu. Dia menoleh dan dua pasang mata saling bertemu. Sepasang mata Lee Hiang penuh kemesraan, akan tetapi mata Ciang Bun memandang biasa saja, agak heran.

“Ada apakah, Hiang-moi?”

“Engkau lupa penutup telingamu,” kata dara itu yang tiba-tiba wajahnya berubah merah karena pertemuan pandang mata itu amat berkesan di hatinya yang menjadi berdebar penuh ketegangan aneh.

“Ahh, engkau benar. Pelupa sekali aku!” kata Ciang Bun.

Dia pun memasang alat pelindung telinganya. Untuk melakukan penyelaman sampai lama di dalam lautan, telinga perlu dilindungi dan ditutup agar tidak rusak oleh tekanan air. Setelah itu, kedua orang itu lalu meloncat ke air dan menyelam. Bagaikan dua ekor ikan saja, mereka menyelam dan berenang di dalam air.

Ciang Bun hanya mengenakan sebuah celana pendek yang ringkas dan tubuh bagian atasnya telanjang. Kulitnya putih halus mengkilat ketika tubuhnya meluncur di dalam air itu. Kini dia telah pandai menyelam dan berenang dalam air, melawan tekanan air dan gerakan ombak. Memang pada dasarnya dia memiliki sinkang yang amat kuat, maka setelah diberi petunjuk oleh kakek Liu, sebentar saja dia telah menguasai ilmu itu dan berkat sinkang-nya, dia malah lebih kuat menahan napas dibandingkan dengan kakak beradik Liu itu! Hanya dia belum dapat memiliki kelincahan seperti mereka karena kalah biasa dan kalah latihan.

Juga pandang mata Lee Hiang di dalam air lebih tajam dan awas dibandingkan Ciang Bun. Hal ini pun karena kebiasaan dan latihan. Mereka berdua mencari-cari dan Lee Hiang menjadi penunjuk jalan.

Tiba-tiba dara itu memberi isyarat dan menuding ke depan. Nampak seekor belut merah berenang perlahan di depan. Dari isyarat tangannya, Lee Hiang menyatakan bahwa dara itu hendak menghadang dari depan dan ia menyuruh Ciang Bun menghadang dari belakang. Ciang Bun memberi isyarat bahwa dia telah mengerti.

Dara itu lalu mempercepat gerakannya, meluncur dan mengambil jalan memutar untuk mendahului belut itu, kemudian membalik dan menghadang di depan! Belut itu panjang, ada satu meter panjangnya dan sebesar lengan dara itu. Melihat ada mahluk aneh menghadang, belut itu cepat membalikkan tubuhnya. Akan tetapi Ciang Bun mendatangi dan mengembangkan kedua lengannya, jari-jari tangannya terbuka dan siap untuk menangkap kalau belut itu lewat di dekatnya.

Melihat ini, belut itu kembali membalik dan paniklah dia ketika melihat di depan dan belakangnya ada mahluk besar yang hendak menangkapnya. Dia meluncur ke kiri, akan tetapi Lee Hiang sudah mendahuluinya dan menyambar dengan tangan kanan. Belut itu mengelak dan membalik, akan tetapi sudah ada pula Ciang Bun yang menyergapnya. Secepat kilat, Ciang Bun mencengkeram dan dia berhasil menangkap belut itu pada perutnya.

Belut itu meronta dan membelit hendak menggigit, tapi Lee Hiang sudah menangkapnya pula, tepat pada lehernya. Karena belut itu kuat dan tubuhnya mengeluarkan lendir yang licin, dua orang muda itu dengan susah payah mempertahankan agar belut itu tidak terlepas kembali.

Dalam pergumulan ini, tanpa disengaja tubuh mereka saling merapat dan tahu-tahu lengan Ciang Bun sudah melingkari pinggang Lee Hiang dan lengan dara itu merangkul lehernya. Kemudian tiba-tiba saja mulut Lee Hiang sudah bertemu dengan mulut Ciang Bun.

“Ihhh....!” Pemuda itu terkejut bukan main, seluruh tubuhnya menggigil dan dia pun melepaskan tubuh belut itu dan mendorong tubuh Lee Hiang! Belut itu terlepas dan melarikan diri, sedangkan pelukan mereka pun terlepas.

Ciang Bun berenang ke atas dengan jantung berdebar, sedangkan Lee Hiang juga berenang menyusulnya. Tiba-tiba Lee Hiang terkejut sekali melihat sinar putih meluncur dari arah kiri. Sekali pandang saja tahulah apa benda itu, akan tetapi Ciang Bun yang masih belum mengenal benar keadaan di lautan itu, melihat adanya seekor belut putih yang panjangnya ada satu meter akan tetapi lebih kecil dari pada yang tadi, timbul kegembiraannya dan cepat dia menyambar dan menangkap belut itu.

“Pratttt!” Belut itu mengelak dan tiba-tiba mencambukkan dirinya ke lengan Ciang Bun.

Pemuda itu tersentak kaget dan tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya seperti dibakar dari dalam dan pandang matanya gelap, dia lunglai tak sadarkan diri. Melihat ini, Lee Hiang cepat menyambarnya, menarik tangannya dan dibawanya berenang naik. Setelah dia menyembulkan kepala di permukaan air dan menarik kepala Ciang Bun yang pingsan itu dengan menjambak rambutnya, dia melihat kakaknya duduk di dalam perahu dan beristirahat.

“Siang-ko....! Cepat.... Bun-ko dilecut belut petir! Tolongggg....!”

Mendengar ini dan melihat Ciang Bun yang pingsan, Lee Siang cepat meloncat dan berenang menghampiri, membantu adiknya membawa Ciang Bun naik ke dalam perahu kecil mereka. Melihat Ciang Bun rebah terlentang dengan muka pucat kebiruan dan napas nampaknya berhenti sama sekali, matanya terbelalak dan tidak bersinar lagi, Lee Hiang menjerit dan menubruk tubuh itu dan menangis.

“Bun-ko....! Bun-ko.... ah, Bun-ko, jangan mati.... jangan tinggalkan aku, Bun-ko....!” Ia menangis sesenggukan.

Tangan Lee Siang yang kuat menariknya dan terdengar suara pemuda itu yang kereng, “Hiang-moi, kong-kong tentu akan memukulmu kalau melihat sikapmu yang cengeng ini! Tenanglah dan aku akan mencoba menolongnya seperti yang pernah diajarkan oleh kong-kong.”

Lee Hiang melepaskan rangkulannya, dan duduk agak menjauh, akan tetapi ia belum berhenti menangis sesenggukan dan memanggil-manggil nama Ciang Bun. Sementara itu, Lee Siang segera memeriksa nadi lengan Ciang Bun dan dengan lega mendapat kenyataan bahwa urat nadi itu masih berdetak, walau pun lemah sekali. Kalau tidak cepat ditolong, tentu urat nadi itu akau berhenti berdetak pula.

Maka tanpa ragu-ragu dia lalu mengangkat kepala Ciang Bun dengan menaruh tangan kiri pada bawah tengkuk, membuka mulut Ciang Bun, menggunakan tangan kanan menutup lubang hidung pemuda itu dan merapatkan mulutnya ke mulut Ciang Bun yang terbuka. Maka ditiupnyalah sekuat tenaga ke dalam mulut Ciang Bun.

Dada Ciang Bun bergerak mekar. Ketika tiupan dihentikan dan Lee Siang melepaskan ‘ciumannya’, dada itu mengempis lagi. Akan tetapi pernapasan Ciang Bun belum juga berjalan. Lee Siang mengulangi tiupannya itu sampai berkali-kali. Akhirnya pernapasan Ciang Bun mulai berjalan, mula-mula amat lemah akan tetapi sudah berjalan kembali, melegakan hati Lee Siang yang menghentikan usahanya.

“Bun-koko.... sadarlah, jangan mati.... aku.... aku cinta padamu, Bun-ko!”

Suara inilah yang pertama-tama terdengar oleh Ciang Bun. Ia telah sadar kembali akan tetapi belum membuka matanya, bahkan kini hampir tidak berani membuka matanya ketika mendengar suara Lee Hiang itu. Lee Hiang menangis! Dan bilang cinta padanya! Hatinya merasa tegang dan tidak enak sekali. Lalu dia teringat akan pengalamannya tadi.

Dia berhasil menangkap belut bersama Lee Hiang, akan tetapi dara itu menciumnya! Mencium mulutnya! Dan ketika dia berenang hendak naik, dia melihat seekor belut putih yang hendak ditangkapnya. Lalu tiba-tiba dia merasa dirinya seperti dibakar dan tidak ingat apa-apa lagi.

Ciang Bun membuka mata, melihat Lee Hiang masih menangis dan melihat Lee Siang merangkulnya. Jantungnya berdebar senang. Begitu senang dia karena rangkulan Lee Siang ini! Akan tetapi dia juga merasa malu dan sungkan, lalu bangkit duduk dan bertanya, “Apakah yang terjadi? Di mana.... ehh, belut itu....?”

Lee Hiang memegang tangan kirinya dengan kedua tangan meremas-remas tangan itu. Ciang Bun merasa semakin tidak enak dan ingin menarik tangannya, akan tetapi takut kalau-kalau menyinggung perasaan Lee Hiang, maka didiamkannya saja.

“Bun-ko, tahukah engkau bahwa engkau tadi nyaris tewas sehingga aku menjadi amat khawatir?”

Ciang Bun memandang wajah yang manis itu, yang kini sudah tersenyum akan tetapi pipinya masih basah, bukan hanya basah air laut melainkan juga air mata. “Apa yang terjadi?”

“Belut putih yang kau tangkap itu adalah belut beracun yang amat jahat, namanya belut petir. Belut itu tidak menggigit, melainkan melecut dengan ekor dan tubuhnya yang mengandung kekuatan membakar seperti petir. Biasanya, orang yang terkena lecutan belut itu tentu akan mati. Dia tidak pernah menyerang kalau tidak diserang lebih dulu dan karena engkau hendak menangkapnya, maka dia menyerangmu. Ahhh, kukira tadi engkau sudah.... sudah.... mati, koko. Untung ada Siang-ko yang pernah belajar cara menyembuhkan orang yang belum mati dilecut binatang itu.”

Lee Siang juga menyambung. “Dan untung sekali bahwa engkau memiliki sinkang yang amat kuat, hiante. Lecutan belut itu mengandung kekuatan membakar yang amat hebat, seperti orang kalau disambar petir. Karena jantungmu amat kuat berkat sinkang-mu, maka hanya pernapasanmu saja yang terhenti, akan tetapi jantungmu masih berdetak lemah. Aku hanya tinggal membantu pernapasanmu saja.”

“Membantu pernapasan?” Ciang Bun bertanya heran.

“Ya, membantu agar pernapasanmu pulih dan bekerja kembali karena tadinya terhenti oleh guncangan hebat akibat lecutan belut petir itu. Kalau jantungmu berhenti, baru aku akan membantu gerakan jantungmu dengan totokan dan pijatan yang kuat. Hal itu amat berbahaya karena mungkin saja dapat mematahkan beberapa ujung tulang igamu! Syukur engkau selamat berkat kekuatan sinkang-mu.”

Ciang Bun memandang dengan rasa kagum. “Ahh, kalau begitu aku berhutang nyawa kepadamu, twako.”

Lee Siang menggerakkan tangan dengan jengah “Aihhh, mengapa engkau begitu sungkan? Sudah sepatutnya kalau aku yang tahu sedikit akan cara pengobatan itu menolongmu.”

“Aku pun ingin belajar ilmu itu, twako. Siapa tahu, lain kali aku perlu menolong seorang di antara kalian, atau orang lain.” Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan, “Bagaimana sih cara pengobatan itu? Apa menggunakan obat? Bagaimana engkau bisa membantu pernapasan orang lain bekerja kembali setelah napas itu berhenti? Apakah dengan totokan-totokan tertentu?”

“Tidak, melainkan dengan cara meniupkan hawa ke dalam paru-parumu melalui mulut,” jawab Lee Siang.

“Ehhh....? Bagaimana caranya? Coba kau beri contoh, twako, bagaimana cara engkau menolongku tadi?”

Mendadak saja Lee Siang kelihatan jengah dan malu-malu, sedangkan Lee Hiang tersenyum-senyum aneh.

“Hei, kalian kenapa?”

“Pengobatan itu dilakukan dengan cara mencium....,” dara itu berkata jenaka.

“Ehhh? Jangan main-main, siauw-moi, aku sungguh ingin belajar dan ingin tahu cara pengobatan yang aneh akan tetapi dapat menyelamatkan nyawa manusia ini.”

“Siang-koko, kenapa tidak kau beri contoh saja dia ini. Biar puas hatinya,” Lee Hiang menggoda.

Lee Siang menghela napas. “Baiklah, hiante. Kau rebahlah seperti tadi ketika engkau pingsan.”

Setelah Ciang Bun merebahkan diri terlentang, pemuda itu berkata. “Mula-mula engkau periksa pernapasan dan detik nadinya. Engkau tadi dalam keadaan pingsan. Napasmu terhenti sama sekali, akan tetapi detik nadimu masih berdenyut walau pun lemah. Itu berarti bahwa paru-parumu berhenti bekerja akan tetapi jantungmu masih bekerja. Lalu aku mengangkat lehermu begini, maksudnya supaya lubang kerongkonganmu terbuka lebar. Lalu aku menutupi kedua lubang hidungmu dan meniupkan hawa ke dalam paru-parumu begini….”

Biar pun sungkan untuk mengajari pemuda itu, Lee Siang lalu menutup mulut Ciang Bun yang dibukanya itu dengan mulutnya sendiri dan dia pun meniup keras-keras!
Ciang Bun terbelalak, akan tetapi jantungnya berdebar dan suatu perasaan yang amat mesra merayapi seluruh tubuhnya. Tidak seperti ketika Lee Hiang menciumnya di dalam air tadi, kini dia merasa senang sekali beradu mulut dengan Lee Siang! Akan tetapi dia terbatuk-batuk ketika pemuda itu meniupkan hawa dengan kuat ke dalam paru-parunya. Hal ini terjadi karena ia terkejut dan tentu saja timbul perlawanan dari kerongkongannya.

Lee Hiang memandang dan tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Lee Siang tersenyum saja. “Nah, usaha itu kau ulangi terus sampai si korban dapat bernapas sendiri, atau sampai paru-paru itu bekerja kembali, hiante. Sedangkan kalau nadinya sudah tidak berdenyut lagi yang berarti jantungnya terhenti karena guncangan hebat itu, engkau totok dia di sini.” Dia meraba dua jalan darah di pungung dan atas lambung dan menambahkan, “Kemudian engkau tekan dan pijit arah jantung dari dada depan, dan ini mungkin saja akan mematahkan ujung tulang iga, akan tetapi hal itu tidak berbahaya. Usaha ini adalah untuk meughimpit dan mendorong jantung agar jantung yang bekerja seperti pompa itu dapat bergerak dan bekerja kembali.”

Akan tetapi perhatian Ciang Bun sudah kurang dapat dipusatkan. Jantungnya berdebar keras ketika dia memandang Lee Siang, terutama memandang ke arah mulut itu, ke arah bibir yang baru saja menempel pada bibirnya. Mukanya menjadi merah sekali dan kakak beradik itu tentu saja mengira bahwa merahnya muka itu karena tersedak ketika ditiup tadi.

“Bun-ko, kau belajarlah yang baik agar lain kali kalau aku yang menjadi korban belut petir, engkau sudah dapat menolongku,” kata Lee Hiang dengan wajah berseri dan bibir tersenyum nakal.

“Ehhh, bocah nakal! Mengapa engkau jadi ingin benar ditolong Bun-hiante?” kakaknya menggoda.

“Aku memang lebih senang dicium oleh Bun-ko dari pada oleh orang lain!” jawab Lee Hiang dengan polos dan jujur.

Kakak dara itu tertawa. “Ha-ha-ha, agaknya engkau sungguh jatuh cinta mati-matian kepada Bun-hiante. Bagaimana dengan engkau, Bun-te?”

Ciang Bun menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan dia mengerutkan alisnya. Kakak beradik ini sungguh terlalu terbuka dan polos, bicara soal cinta begitu saja dan dara ini menyatakan keinginan diciumnya, menyatakan cintanya begitu terang-terangan, sedangkan kakaknya tak menegurnya bahkan membantu dan mendorongnya bicara tentang cinta. Dia sendiri tentu saja merasa malu dan jengah, dan tidak dapat menjawab sama sekali.

Melihat ini, kakak beradik itu hanya tersenyum, bahkan Lee Siang lalu tertawa keras. “Ha-ha-ha, Bun-hiante nampak malu-malu, jangan sampai kita membuat dia bingung, Hiang-moi. Marilah kita pulang agar kong-kong tidak mengharap cemas.”

Mereka berperahu kembali ke pulau dan Ciang Bun menjadi termenung seorang diri, memikirkan keadaan dua orang kakak beradik ini, juga memikirkan keadaan batinnya sendiri yang mengalami gejolak amat hebatnya, membuat matanya terbuka dan dia melihat hal-hal aneh terjadi pada dirinya yang membuatnya cemas dan gelisah.

Tentu saja kepolosan dan kejujuran kakak beradik itu membuat Ciang Bun terkejut dan heran bukan main, bahkan ada kesan di hatinya bahwa mereka itu tidak sopan!

Apakah soal cinta, bahkan soal sex, merupakan hal yang tidak patut untuk dibicarakan secara terbuka? Benarkah bahwa membicarakan hal itu secara jujur merupakan hal yang ‘tidak sopan’? Tentu saja tidak sopan kalau diukur dari ukuran kesopanan umum, tidak susila jika dipandang dari kacamata kesusilaan umum. Akan tetapi bagaimanakah sesungguhnya?

Mengapa tata kesusilaan kita mengharamkan kejujuran terhadap dua hal ini, terutama perihal sex? Bukankah cinta dan sex merupakan hal-hal yang erat kaitannya dengan kehidupan, bahkan merupakan kenyataan yang tidak mungkin dapat dihindarkan oleh setiap orang manusia sehingga merupakan suatu kewajaran dalam hidup? Mengapa lalu diharamkan pengertian tentang itu sehingga kita menjauhkan anak-anak dari pengertian tentang hal itu?

Tak perlu dibantah lagi bahwa membicarakan cinta dan sex dengan maksud untuk bicara cabul, untuk main-main, adalah hal yang sama sekali tidak patut. Membicarakan apa pun juga, jika pamrihnya hanya untuk main-main dan mengandung dasar pemikiran dan bayangan kotor atau cabul, jelas tiada manfaatnya, bahkan merusakkan kejernihan batin. Akan tetapi, bagaimana kalau membicarakannya tanpa dasar kotor seperti itu, melainkan bicara seperti kita membicarakan sesuatu yang tidak terpisah dari pada kehidupan itu sendiri?

Pandangan tradisionil nenek moyang kita memang sengaja mengharamkan percakapan tentang cinta dan sex sebagai sesuatu yang memalukan, tentu saja pada mulanya dimaksudkan untuk membuat kita malu untuk melanggarnya. Akan tetapi, pandangan macam ini lalu menimbulkan suatu pandangan yang tidak menguntungkan terhadap sex, seolah-olah sex merupakan suatu perbuatan yang tidak pantas, memalukan, dan membongkar sesuatu yang kotor yang kita lakukan! Inilah yang menyebabkan semua orang menutup mulut tentang sex dan merahasiakan perasaan cintanya terhadap orang berlainan kelamin, hanya karena sudah tumbuh dalam batinnya pendapat tradisionil itu.

Sudah tiba saatnya bagi kita untuk mengubah pandangan yang keliru ini. Kita harus berani membuka mata bahwa persoalan cinta dan sex adalah persoalan hidup yang menyangkut kehidupan setiap orang manusia. Setiap orang anak pada saatnya pasti akan memasuki tahap ini dan dari pada mereka memasukinya dengan membuta, dari pada mereka memperoleh keterangan-keterangan yang menyesatkan tentang cinta dan sex dari orang lain, dari pada mereka memperoleh pengertian melalui percakapan-percakapan yang berdasarkan pandangan cabul dan kotor, alangkah baiknya kalau mereka, anak-anak itu mendengarnya dari orang tua atau pendidikan sendiri, dengan cara yang terbuka dan jujur, tanpa didasari kecabulan

.

Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang sejak kecil hidup di pulau kosong bersama kakeknya, dan mereka itu hanya sekali waktu saja bertemu dengan orang-orang lain jika kebetulan mereka ikut kakek mereka untuk berbelanja ke daratan besar atau ke pulau-pulau lain. Mereka mendapatkan pendidikan bun (tulisan) dan bu (silat) dari kakek mereka sendiri.

Akan tetapi kakek mereka cukup bijaksana untuk memberi pengertian kepada mereka tentang cinta antara pria dan wanita dan tentang hubungan antara pria dan wanita, walau pun secara sederhana. Kemudian, dengan menyaksikan hubungan-hubungan kelamin antara binatang-binatang di sekitar tempat itu, antara ikan-ikan, burung-burung dan binatang hutan yang mereka dapatkan di kepulauan lain, kedua orang kakak beradik ini tumbuh dengan pengertian tentang cinta dan sex secara wajar.

Mereka tahu bahwa hubungan itu antara kakak dan adik adalah hal yang tidak baik, tak wajar dan menurut kakek mereka, berbahaya bagi kesehatan mereka, maka mereka menganggapnya sebagai hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan. Pengertian ini membuat cinta mereka sebagai kakak beradik tidak dipengaruhi birahi sama sekali. Namun, mereka sudah biasa untuk bicara tentang cinta, bahkan tentang sex, secara terbuka dan tanpa malu-malu, seperti kalau mereka bicara tentang penderitaan lapar dan haus, dan tentang kenikmatan makan dan minum. Keterus terangan inilah yang membuat Ciang Bun menjadi terkejut, heran dan juga malu dan canggung.

Malam itu Ciang Bun tak dapat memejamkan matanya. Selama tiga bulan ini dia tinggal di pulau itu dan merasa betah sekali karena tiga orang penghuni pulau itu amat baik kepadanya. Dia tidur sekamar dengan Lee Siang. Akan tetapi malam ini dia gelisah! Dia merasa akan datangnya sesuatu yang mungkin akan merubah seluruh kehidupannya.

Peristiwa siang tadi sungguh mendatangkan kesan yang amat mendalam, ketika dia dicium Lee Hiang, lalu ketika Lee Siang ‘menciumnya’ untuk mengajarnya melakukan pertolongan kepada korban lecutan belut petir. Akhirnya ketika tanpa malu-malu lagi Lee Hiang menyatakan cintanya kepadanya, bahkan diperkuat oleh ucapan-ucapan Lee Siang!

Lee Hiang jatuh cinta padanya! Cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Dia sudah banyak mendengar dan membaca tentang cinta, antara pria dan wanita ini. Akan tetapi, mengapa dia merasa bingung? Apakah dia tidak mencinta Lee Hiang? Dia suka sekali pada Lee Hiang yang jenaka dan cantik manis, lincah dan merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.

Akan tetapi, terus terang saja dia sama sekali tidak merasa tertarik atau terangsang oleh Lee Hiang, bahkan ketika dara itu menciumnya di dalam air, dia merasa terkejut, malu dan tidak senang! Sebaliknya, ketika Lee Siang mengajarkan cara pertolongan itu dan beradu mulut dengan dia, dia merasa begitu terangsang dan senang, begitu nyaman dan.... dia sendiri tidak tahu perasaan apa lagi yang mengaduk hatinya. Pendeknya dia merasa mesra dan senang sekali!

Kini teringatlah dia betapa setiap malam, kalau Lee Siang sudah tidur nyenyak, sering kali dia duduk dan memandangi wajah dan tubuh temannya itu dengan perasaan yang luar biasa. Dan setelah teringat akan semua itu, teringat pula akan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya ketika pemuda itu ‘menciumnya’.

Ciang Bun merasa terkejut, bingung dan gelisah. Kini dia melihat kenyataan aneh dan mengejutkan yang berada dalam batinnya, yaitu bahwa dia sama sekali tidak pernah tertarik kepada kaum wanita! Memang dia dapat melihat keindahan tubuh wanita dan kecantikan wajah wanita, akan tetapi semua itu sama sekali tidak menimbulkan gairah, sama sekali tidak mendatangkan kemesraan dan tidak mempunyai daya tarik baginya.

Sebaliknya, dia sangat tertarik kepada Ceng Liong, kepada Kao Cin Liong dan kini dia arnat tertarik kepada Lee Siang! Bahkan ketika pemuda itu ‘menciumnya’, dia merasa amat senang. Bangkit rangsangan gairahnya, terasa amat mesra dan menyenangkan.

“Ya Tuhan....!” Ciang Bun berseru di dalam hatinya sendiri ketika dia melihat kenyataan ini.

Birahinya tidak dapat terangsang oleh wanita, melainkan oleh pria! Dengan bingung dan gelisah melihat kenyataan yang amat membedakan antara dirinya dengan kaum pria pada umumnya ini, Ciang Bun lalu menutupi muka dengan kedua tangannya dan dia pun menangis!

Tiba-tiba dua buah tangan yang kuat dengan lembut memegang pundaknya dan Lee Siang bertanya halus, “Bun-te, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis?”

Dalam keadaan sedang berduka, pertanyaan seorang yang disayang dapat menambah keharuan hati. Ciang Bun juga demikian. Dirangkul pundaknya dan ditanya dengan suara penuh kekhawatiran itu, air matanya makin deras mengalir dan dia pun balas merangkul dan menyembunyikan mukanya di atas dada yang bidang itu.

Diam-diam Lee Siang merasa heran dan kasihan sekali. Heran melihat bagaimana pemuda yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat gagah perkasa ini dapat bersikap begini lemah, menangis seperti seorang wanita cengeng. Akan tetapi dia juga merasa kasihan melihat kedukaan Ciang Bun dan mengira bahwa tentu pemuda ini menangisi nasib keluarganya, yaitu kematian kakek dan para neneknya di Pulau Es dan kehilangan saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana nasibnya itu.

Maka, karena merasa iba, ketika merasa betapa Ciang Bun merangkul dan menangis di dadanya, dia pun mendekapnya dan mengelus rambutnya untuk menghibur. Hal ini justru membuat Ciang Bun menjadi semakin terharu dan dia mengangkat mukanya yang basah, memandang kepada Lee Siang. Melihat wajah yang tampan itu memandang penuh kekhawatiran, Ciang Bun kembali merangkul.

“Siang-twako.... ahhh, Siang-twako....” keluhnya.

Lee Siang memeluk. “Bun-te, adikku yang baik, kau tenangkanlah hatimu, kuatkanlah hatimu....”

Dalam rangkulan pemuda itu, Ciang Bun merasa demikian senang dan terhibur, akan tetapi dia teringat akan janggalnya perasaannya sendiri ini. Teringat bahwa dia pun seorang pria, maka dia pun kembali diingatkan akan keadaannya yang luar biasa itu, keadaan yang membuatnya berduka dan menangis. Maka dia pun meronta dan sekali merenggutkan tubuhnya, dia telah terlepas dari pelukan Lee Siang.

“Tidak.... tidak.... jangan....!” Dan dia pun meloncat dan berlari keluar dari kamar, terus keluar dari pondok itu.

“Bun-hiante....!” Lee Siang tadi terpental ketika pemuda itu meronta, dan dia memanggil dengan khawatir, akan tetapi melihat pemuda itu lari keluar, dia tidak berani mengejar, takut kalau-kalau akan membuat Ciang Bun menjadi marah dan tersinggung hatinya.

Lee Siang keluar dari dalam kamarnya, lalu menghampiri kamar adiknya. Dia berpikir bahwa dalam keadaan seperti itu, orang yang paling tepat untuk menghibur hati Ciang Bun hanyalah Lee Hiang. Adiknya itu mencinta Ciang Bun dan dia pun hampir merasa yakin bahwa pemuda itu tentu membalas cinta ini. Adiknya amat cantik manis, dan hubungan antara mereka itu pun nampak demikian akrabnya.

Lee Hiang belum tidur dan dara ini terkejut sekali ketika mendengar cerita kakaknya bahwa Ciang Bun berduka dan menangis dan kini keluar dari dalam pondok.

“Agaknya dia teringat akan keluarga Pulau Es dan dilanda duka yang amat besar sampai dia lupa akan kegagahannya dan menangis seperti anak kecil. Sudah kucoba menghiburnya akan tetapi gagal, malah dia lari keluar pondok. Adikku, kalau memang engkau mencintanya, engkau harus dapat menghibur hatinya. Kasihan sekali dia.”

“Baik, koko, akan kuusahakan agar dia terhibur. Kasihan Bun-ko.” Dan Lee Hiang pun lalu keluar dari dalam pondok mencari pemuda yang dicintanya itu.

Ciang Bun duduk termenung di tepi laut, menghadap ke timur di mana nampak bulan mengambang di atas air. Indah bukan main. Akan tetapi tiada keindahan baginya di saat itu. Bahkan keindahan itu menambah keharuan hatinya, karena dia teringat akan Pulau Es, teringat akan keluarga kakeknya yang binasa.

Tetapi semua kenangan itu ditelan oleh gelombang kesedihannya karena kenyataan yang dihadapinya. Aku seorang manusia yang tidak lumrah, pikirnya. Akan tetapi, tiba-tiba darah pendekar di tubuhnya memberontak. Dia tidak boleh bersikap lemah! Ibunya tentu akan marah-marah dan mentertawakannya. Ibunya adalah seorang pendekar wanita yang amat keras hati, yang kuat dan sama sekali tidak lemah, bahkan ibunya membenci kelemahan.

Ketika dia masih kecil, kalau dia terjatuh atau mengalami nyeri dan menangis, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa tangis hanya pantas bagi seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Tangis hanya tanda iba diri dan kelemahan batin, demikian kata ibunya.

Ciang Bun yang duduk di atas pantai berpasir itu mengepal tinju. Kenapa dia begini lemah? Kenapa dia tidak berani menghadapi kenyataan ini dan melawannya? Dia tahu bahwa perasaannya yang berlainan dengan laki-laki biasa ini, yang condong untuk lebih menyukai pria dari pada wanita, adalah sesuatu yang tidak lumrah dan dia harus dapat melawan dan menundukkannya. Akan diperlihatkannya bahwa dia adalah seorang laki-laki sejati!

“Bun-koko....! Ehh, Bun-ko, engkau sedang mengapa di situ?”

Ciang Bun menoleh. Lee Hiang telah berdiri di situ, di belakangnya. Cahaya bulan yang baru tersembul dari permukaan air itu menyorotkan cahaya kemerahan dan menimpa kepala dara itu, membuat wajah itu berada di dalam cahaya kemerahan yang indah. Seorang dara yang cantik manis dengan tubuh yang sedang ranum padat dan nampak menggairahkan. Mengapa dia tidak tertarik? Bodoh! Demikian Ciang Bun mencela diri sendiri dan dia pun bangkit berdiri.

“Hiang-moi....,” katanya perlahan.

“Bun-ko.... ah, Bun-ko, engkau membikin aku khawatir sekali. Siang-koko bilang bahwa engkau berduka dan keluar dari pondok. Aku mencari-carimu dan melihat engkau duduk termenung di sini.” Dara itu menghampiri dan merangkul pinggang pemuda itu dengan mesra, mengangkat mukanya memandang. “Bun-koko, janganlah berduka, Bun-ko, ada Lee Hiang di sini yang akan ikut memikul semua kedukaanmu....” Bukan main lembut dan mesranya sikap dan ucapan dara itu.

Aku seorang laki-laki sejati, demikian Ciang Bun menguatkan hatinya dan dia memaksa diri, memeluk tubuh dara itu. “Hiang-moi, engkau seorang dara yang baik sekali.”

“Bun-ko....!” Lee Hiang berkata girang dan mempererat dekapannya pada pinggang pemuda itu.

Aku harus memperlihatkan kejantananku, pikir Ciang Bun dan dia pun mempererat rangkulannya. Ketika wajah dara itu terangkat ke atas, menengadah dan memandang kepadanya dengan sinar mata lembut, dengan mulut setengah terbuka, Ciang Bun lalu menundukkan mukanya dan menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri, mencium bibir yang menantang itu.

Ciuman itu membuat tubuh Lee Hiang menggigil dan rintihan halus mendesah keluar dari kerongkongannya. Bagi Ciang Bun sendiri, terjadi hal yang sungguh membuatnya ngeri. Mulut yang panas itu, bibir yang lunak lembut itu, ketika bertemu dengan bibirnya dalam sebuah ciuman mesra, mendatangkan rasa muak!

Bukan, bukan kelembutan seorang wanita yang dia dambakan, sama sekali bukan. Dia merindukan kejantanan seorang pria, mulut yaug kuat akan tetapi lembut, bukan lunak menyerah macam mulut wanita ini. Dia tidak tahan lagi dan cepat dia merenggutkan dirinya, melepaskan pelukan.

“Tidak....! Tidak....! Jangan....!” Dan dia pun, seperti tadi ketika meninggalkan Lee Siang, melarikan diri meninggalkan Lee Hiang yang berdiri bengong dengan wajah berohah pucat dan mata terbelalak.

“Bun-koko....!” Ia berteriak dan mengejar.

Sesosok bayangan lain muncul dan ikut mengejar Ciang Bun. Bayangan ini adalah Lee Siang. Pemuda ini tadi mengintai dan ikut bergembira melihat betapa adiknya dan Ciang Bun berciuman di pantai. Akan tetapi, dia ikut terkejut melihat perubahan pada diri Ciang Bun dan ketika Ciang Bun melarikan diri dan dikejar oleh adiknya, dia pun ikut mengejar dengan hati khawatir.

Ciang Bun berdiri di tepi pantai utara, berdiri seperti arca memandang jauh ke depan, tanpa bergerak sama sekali, wajahnya pucat dan matanya sayu.

“Bun-koko....!”

“Bun-hiante....!”

Dia membalik, memandang kepada dua orang kakak beradik itu dengan muka pucat dan dia pun menghardik, “Pergilah kalian! Jangan dekati aku....! Pergiiii....!”

Terdengar Lee Hiang terisak dan Lee Siang menahan napas saking kagetnya melihat sikap pemuda yang mereka sayang itu. Ciang Bun biasanya bersikap ramah dan halus, akan tetapi mengapa sekarang begitu berubah sikapnya, menjadi kasar dan seperti orang yang marah sekali?

Akan tetapi Lee Siang mempunyai pandangan yang jauh dan bijaksana. Dia memegang lengan adiknya dan berkata lirih, “Baiklah, kami pergi, kami hanya ingin menghiburmu, Bun-te. Marilah, adikku!” Dia pun setengah menyeret tubuh Lee Hiang meninggalkan Ciang Bun sendirian.

Sejenak Ciang Bun masih berdiri tegak dengan sikap marah seperti tadi, memandang ke arah dua sosok bayangan yang pergi dengan lemas itu. Kemudian, terasalah seluruh tubuhnya lemas seperti dilolosi urat-uratnya dan dia pun terkulai, jatuh berlutut di atas pasir.

“Ya Tuhan, ampunilah hamba....!” Dia mengeluh dengan hati penuh penyesalan.

Dan semalam itu dia duduk bersila di pantai, tidak pernah beranjak dari tempat itu. Dia bingung sekali. Ketika berada dalam pelukan Lee Siang, terjadi perang dalam batinnya. Perasaannya senang akan tetapi pikirannya menentang. Sebaliknya, saat dia memeluk dan mencium Lee Hiang, pikirannya mendorong akan tetapi perasaannya menentang keras. Dia menjadi bingung, menyesal dan berduka.

Liu Ek Soan menerima laporan tentang keadaan Ciang Bun dari dua orang cucunya. Kakek ini menarik napas panjang. “Keturunan keluarga Pulau Es sudah tentu memiliki keanehan-keanehan watak yang tidak kita mengerti. Biarkanlah saja, jangan ganggu. Besok baru aku akan bicara dengannya.”

Pada keesokan harinya kakek itu menghampiri Ciang Bun yang masih duduk bersila di tepi pantai dan menegur halus, “Ciang Bun, sepagi ini engkau sudah berada di sini dan kelihatan susah hatimu, anak baik?”

Ciang Bun menoleh lalu berkata dengan sedih, “Liu-kong-kong, hari ini aku mohon diri darimu. Aku akan pergi untuk mencari saudara-saudaraku yang terpisah dariku atau aku akan pulang dan melaporkan semua hal itu kepada orang tuaku.”

Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian menarik napas panjang. “Kami akan merasa kehilangan, Ciang Bun. Akan tetapi bagaimana lagi, memang sepatutnya kalau engkau melaporkan semua yang terjadi kepada orang tuamu. Sudah tiga bulan lebih engkau di sini. Semua dasar ilmu dalam air telah engkau kuasai, tinggal melatih dan memahirkan saja. Akan tetapi ada suatu hal yang amat penting yang ingin kubicarakan denganmu, anak baik.”

“Hal apakah itu, kong-kong?”

“Tentang engkau dan Lee Hiang! Anak itu telah mengaku kepadaku bahwa ia amat mencintamu dan engkau pun tentu tahu akan hal ini. Maka, jika kiranya engkau dan orang tuamu tidak menganggap kami terlalu rendah, aku ingin sekali menjodohkan Lee Hiang denganmu.”

Ciang Bun menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat akan kebaikan kakek ini dan dua orang cucunya, tentu dia akan menolak keras pada saat itu juga. Akan tetapi dia tidak tega untuk menyinggung perasaan kakek ini, maka dia pun cepat berkata,

“Aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal perjodohan, Liu-kong-kong. Pula, soal perjodohan tergantung kepada ayah bundaku. Aku sendiri tak dapat membicarakannya.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Memang benar sekali ucapanmu itu. Pada suatu hari aku tentu akan menghadap orang tuamu di Thian-cin untuk membicarakan urusan ini. Aku hanya memberi tahu kepadamu agar engkau mengetahuinya lebih dulu. Namun, kalau engkau hendak pergi mencari saudara-saudaramu atau menuju ke daratan besar, biarlah Lee Siang dan Lee Hiang mengantar dan menemanimu.”

“Tidak, Liu-kong-kong, tidak usah! Aku akan pergi sendiri. Aku tahu bahwa letak daratan berada di barat dan sekarang, setelah aku menerima pelajaran tentang ilmu dalam air darimu, aku tidak lagi takut menghadapi badai.”

Kakek itu tidak dapat membantah lagi dan ketika Lee Siang dan Lee Hiang diberi tahu, mereka berdua segera datang menemui Ciang Bun. Begitu melihat mereka, Ciang Bun segera berkata, suaranya penuh penyesalan. “Siang-twako dan Hiang-moi, harap kalian berdua sudi maafkan sikapku semalam....”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bun-te. Antara kita sendiri, mana perlu sungkan dan maaf? Hanya aku menyesal bahwa kami tidak dapat menghibur hatimu yang sedang duka.”

“Sudahlah, semua itu karena kebodohanku sendiri, twako.” Ciang Bun menghela napas.

“Bun-koko.... benarkah engkau.... engkau hendak pergi?” Lee Hiang bertanya, suaranya mengandung kedukaan, tidak seperti biasa suaranya selalu lincah jenaka.

Ciang Bun memandang wajah dara itu dan diam-diam dia merasa kasihan kepada dara yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia merasa yakin bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih Lee Hiang atau wanita yang mana pun juga di dunia ini. Cintanya terhadap Lee Hiang hanya cinta seperti seorang kakak terhadap adiknya, atau paling-paling seperti cinta seorang sahabat saja, cinta tanpa daya tarik dan gairah.

“Benar, siauw-moi, aku harus pergi melaporkan semua peristiwa yang terjadi kepada ayah bundaku.”

“Kau pergi.... untuk selamanya.... dan tidak akan kembali lagi ke sini....?”

“Ah, kenapa engkau berkata demikian, adikku?” Ciang Bun berkata ramah. “Selagi kita masih hidup, tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa lagi.”

“Tapi, kapan, koko....? Ahhh, aku tentu akan merasa kehilangan sekali.... hidup akan terasa hampa dan tidak menyenangkan tanpa engkau di pulau ini. Aku akan merana dan berduka.... ah, Bun-ko yang tercinta, bagaimana engkau tega meninggalkan aku? Aku ikut....!” Dan Lee Hiang memandang dengan air mata mulai membasahi kedua matanya.

Ciang Bun merasa kasihan sekali. Dia maju menghampiri dan memegang kedua tangan dara itu, sikap dan perasaannya seperti seorang kakak terhadap adiknya tersayang.

“Adikku yang baik, jangan menangis. Engkau bukan seorang dara yang cengeng dan engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat melupakan engkau, Siang-twako, dan juga Liu-kong-kong. Kelak kita pasti akan bertemu kembali.”

Lee Hiang sesenggukan dan menangis di atas dada Ciang Bun. Pemuda ini sekarang tak lagi merasa canggung karena dia menganggap dirinya sebagai seorang kakak yang menghibur adiknya yang tersayang. Dielusnya rambut kepala dara itu dan dihiburnya dengan kata-kata halus sampai akhirnya Lee Hiang terhibur dan berhenti menangis.

“Bun-ko, kalau sampai lama engkau tidak datang, aku tentu akan pergi menyusul dan mencarimu!” katanya.

“Aihh, moi-moi, jangan bodoh. Kong-kong tentu akan menguruskan perjodohan kalian!” kata Lee Siang, tidak tahu betapa ucapannya itu menusuk perasaan Ciang Bun dan membuat pemuda itu merasa amat tidak tenang hatinya.

Akhirnya, Ciang Bun berangkat naik sebuah perahu, dibekali perlengkapan secukupnya oleh kakek Liu, berikut petunjuk yang jelas arah mana yang harus ditempuhnya untuk mencapai pantai daratan besar.

“Angin bertiup dengan baiknya dan udara amat baik, kalau tidak keliru perhitunganku, dalam waktu dua hari semalam engkau akan mencapai daratan, Ciang Bun,” kata kakek itu.

Dengan diantar oleh lambaian tangan dan tatapan mata tiga orang pulau itu, berikut air mata yang menetes-netes turun dari kedua mata Lee Hiang, berangkatlah Ciang Bun dan dia pun memandang ke arah pulau itu sampai lambat-laun tiga buah titik di atas pulau yang makin mengecil itu tidak dapat nampak lagi. Perahunya meluncur cepat ketika layarnya terkembang penuh.

Sambil mengemudikan perahu, pemuda ini termenung. Terjadi keadaan yang sangat bertentangan antara lahir dan batinnya. Matanya melihat betapa perahunya meluncur cepat menuju ke arah tertentu, demikian lancar dan penuh harapan. Akan tetapi mata batinnya melihat betapa masa depan kehidupannya tak menentu dan suram. Keadaan ini membuat mulutnya bergerak, perasaan dan pikirannya menciptakan sebuah sajak keluhan.

Perahuku meluncur laju
menuju arah tertentu
angin kencang layar terkembang
di depan terang cemerlang!
Namun betapa suram jalan hidupku
hati gelisah tak menentu
gelap pekat meraba-raba
tak tahu harus ke mana?

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es