KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-10


Memang amat mengherankan, terutama bagi tokoh-tokoh persilatan kalau melihat cara hidup suami isteri pendekar ini sekarang. Mereka hidup sebagai petani sederhana. Biar pun rumah mereka cukup besar, namun sederhana dan keluarga ini hidup sebagai petani yang menggarap sawah, bahkan kadang-kadang suami isteri ini nampak sibuk pula mencari ikan dengan perahu mereka. Bagi para penghuni dusun Hong-cun, keluarga ini amat dihormati dan walau pun keluarga itu tidak pernah menonjolkan kemampuan mereka, namun semua orang sudah dapat menduga bahwa keluarga ini adalah keluarga yang lihai.

Apalagi karena setiap kali ada penduduk kampung yang sakit, suami isteri ini dapat menolongnya dan memberi obat. Dan setelah pendekar ini dan keluarganya tinggal di situ, tidak ada lagi terjadi kejahatan. Beberapa orang penjahat yang tadinya beroperasi di situ, segera lari ketakutan karena terjadi hal-hal aneh menimpa diri mereka.

Ada penjahat yang katanya digondol setan dan dilemparkan dari puncak pohon tinggi sekali. Akan tetapi sebelum tubuhnya remuk terbanting di atas tanah, ‘setan’ itu telah menyambar tubuhnya. Setan itulah yang mengancam agar dia menghentikan perbuatan jahatnya atau pergi dari dusun itu.

Bermacam hal aneh terjadi kepada para penjahat itu dan dalam waktu singkat, dusun itu bersih dari kejahatan, bahkan para penjahat di tempat lain yang mendengar akan angker dan keramatnya dusun Hung-cun, tiada yang berani mencoba-coba beroperasi di situ. Inilah sebabnya maka dusun itu menjadi makmur dan semua penghuni dusun, sampai ketua dusun, menghormati keluarga itu sebagai keluarga sakti! Mereka pun menyebut Pendekar itu dengan sebutan In-kong (Tuan Penolong), dan isteri pendekar itu disebut Toanio.

Di dalam kisah Suling Emas dan Naga Siluman telah diceritakan bahwa sepasang suami isteri pendekar ini, setelah menikah belasan tahun lamanya, baru mendapatkan seorang keturunan. Putera mereka itu mereka namakan Ceng Liong, karena mereka berhasil memperoleh keturunan setelah menggunakan obat mustika ular hijau.

Dan seperti kita ketahui, Ceng Liong diantarkan oleh orang tuanya ke Pulau Es untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah bimbingan langsung dari Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Juga untuk menemani kakek dan kedua orang nenek mereka yang sudah tua itu.

Pada siang hari itu, Suma Kian Bu dan Teng Siang In baru pulang dari ladang. Pakaian mereka masih basah oleh keringat dan ujung celana mereka masih berlepotan lumpur. Mereka berdua duduk di serambi depan menikmati air teh hangat yang dihidangkan oleh seorang pelayan mereka.

Sejenak mereka duduk minum teh tanpa berkata-kata. Terasa sunyi sekali oleh mereka semenjak putera tunggal mereka meninggalkan mereka. Sudah enam bulan lamanya Ceng Liong meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang Teng Siang In duduk termenung penuh kerinduan kepada puteranya. Bahkan kadang-kadang, kalau sedang seorang diri, dia suka menumpahkan rasa rindunya melalui deraian air mata. Tentu saja Suma Kian Bu tahu akan hal ini. Sudah kurang lebih seperempat abad lamanya dia menjadi suami Teng Siang In, maka tentu saja dia dapat mengikuti setiap perubahan air muka isterinya itu.

Ketika mereka berdua duduk minum teh pada siang hari itu, dia pun sudah maklum bahwa kembali isterinya telah kumat rindunya. Di ladang tadi pun isterinya sudah diam saja, kehilangan kegembiraannya. Padahal isterinya adalah seorang wanita yang lincah dan biasa bergembira.

“In-moi, kenapa kau diam saja sejak tadi?” tanya sang suami yang bahkan sampai hampir tua pun masih terus menyebut In-moi (dinda In) kepada isterinya, sebutan yang mesra dan penuh kasih.

Teng Siang In menunduk lalu menarik napas panjang untuk menahan air mata yang sudah membikin panas kedua matanya, lalu menjawab, “Suamiku, apakah engkau tidak merasakan kesepian yang mencekam hati ini?”

Jawaban itu sudah cukup bagi Suma Kian Bu. Dia lalu mengangguk-angguk. “Kesepian semenjak anak kita pergi? Aku pun merasakan hal itu, isteriku dan diam-diam aku pun merasakan penderitaan batin yang amat tidak enak ini.”

Pendekar ini maklum akan isi hati isterinya. Bagi dia sendiri, sesungguhnya dia tidaklah begitu menderita dan ucapannya tadi hanya untuk menghibur keresahan hati isterinya. Pendekar ini yang memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya, sudah mengerti bahwa semua bentuk kesenangan mendatangkan ikatan, dan semua bentuk pengikatan ini mendatangkan kesengsaraan.

Kalau kita sayang akan sesuatu itu, baik sesuatu itu merupakan benda, manusia, atau pun hanya nama, maka timbullah pengikatan di dalam batin. Kita tidak ingin kehilangan sesuatu yang menyenangkan itu dan kita akan menjaganya kuat-kuat untuk melawan kemungkinan kehilangan itu. Kalau perlu kita siap mempergunakan kekerasan untuk mempertahankan sesuatu itu.

Akan tetapi, memiliki tidaklah berdiri sendiri. Memiliki sudah pasti disambung dengan kehilangan. Karena itulah muncul usaha keras untuk menjaga atau mempertahankan agar tidak sampai kehilangan dan di sini menjadi sumber pula dari pada rasa takut. Takut akan kehilangan sesuatu yang disayangnya, sesuatu yang menyenangkan. Oleh karena itu, seorang bijaksana tidak mau terikat oleh apa pun juga, selalu berada dalam keadaan bebas. Cinta kasih sejati tidaklah mengikat atau diikat. Hanya kesenangan dan nafsu sajalah yang mengikat

.

Teng Siang In juga bukan seorang wanita lemah yang cengeng. Agaknya ia merasakan bahwa sikapnya itu tidak semestinya, maka ia pun menarik napas panjang. “Suamiku, aku tahu bahwa sikapku ini bodoh. Ceng Liong berada di Pulau Es, di dalam tangan yang kokoh kuat, dekat dengan orang tua bijaksana yang mencintanya sehingga tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan keadaannya. Akan tetapi hati ini, hati seorang ibu ini.... maafkanlah kelemahanku.”

Suma Kian Bu memegang lengan isterinya dan tersenyum menghibur. “Aku maklum, isteriku, dan aku tidak menyalahkanmu. Karena kita pun tidak terikat oleh apa-apa di tempat ini, marilah kita berdua pergi ke Pulau Es untuk menengok Ceng Liong sekalian berpesiar.”

Hampir saja Teng Siang In terlonjak kegirangan mendengar usul dari suaminya ini. Dia meloncat bangun, merangkul suaminya dan mencium pipinya. “Terima kasih....! Ahhh, betapa girang hatiku! Engkau memang seorang suami yang baik sekali!”

“Siapa bilang aku suami buruk?” Pendekar itu tertawa, rasa gembira di dalam hatinya melihat kegirangan isterinya itu agaknya jauh lebih mendalam dari pada kegembiraan isterinya.

“Kapan kita berangkat? Kapan?”

“Kapan saja. Kalau kau kehendaki, sekarang pun boleh.”

“Sekarang? Ahhh, agaknya aku sudah tidak bisa menunda lebih lama lagi. Mari kita berkemas, suamiku!” Dan tanpa menjawab wanita itu berlari-lari seperti seorang anak kecil yang kegirangan ke dalam kamarnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan mereka bawa melakukan perjalanan jauh itu.

Pada waktu suami isteri itu sedang mengemasi pakaian dan bekal yang akan mereka bawa pergi ke Pulau Es, tiba-tiba pelayan mereka memberi tahu bahwa di luar ada dua orang tamu yang ingin bertemu dengan mereka.

“Siapa mereka dan ada keperluan apa?” Teng Siang In bertanya sambil mengerutkan alisnya karena dalam keadaan seperti itu ia tidak ingin diganggu.

Pelayan yang sudah membantu mereka semenjak lahirnya Ceng Liong itu menjawab dengan wajah berseri. “Yang seorang adalah nona Suma Hui dan yang seorang lagi saya tidak kenal, dia seorang pemuda.”

“Suma Hui....?” Suami isteri itu saling pandang dengan wajah kaget, heran dan juga gembira.

Suma Hui juga pergi ke Pulau Es bersama dengan Ciang Bun dan juga Ceng Liong. Maka, seperti menerima aba-aba saja, keduanya lalu meninggalkan kamar itu sambil berlari dan meninggalkan pelayan wanita setengah tua itu yang menggelengkan kepala sambil tersenyum, tak merasa terlalu heran menyaksikan sikap kedua orang majikannya yang memang aneh itu.

Ketika sepasang suami isteri itu tiba di ruangan depan di mana Suma Hui dan Cin Liong dipersilakan duduk, Suma Hui cepat bangkit berdiri dan segera menubruk Teng Siang In sambil menangis.

“Bibi.... paman.... ah, sungguh celaka....!” Dan gadis ini sudah menangis tersedu-sedu dalam pelukan Siang In yang hanya dapat saling pandang dengan suaminya, terkejut dan juga gelisah.

“Hui-ji (anak Hui).... ada apakah? Apa yang telah terjadi, nak?” Teng Siang In bertanya sambil mengguncang-guncang pundak gadis itu.

Yang ditanya semakin terisak dan mengguguk. “Bibi.... sungguh celaka, mala petaka telah menimpa kita....” Dan tangisnya membuat ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

Melihat ini, Suma Kian Bu mengerutkan alisnya. “Suma Hui....!” Suaranya membentak penuh wibawa sehingga sangat mengejutkan hati Cin Liong. “Sudah patutkah sikapmu itu?” Suara ini penuh teguran karena Suma Kian Bu merasa tidak puas melihat sikap keponakannya sebagai seorang cucu majikan Pulau Es yang telah memperlihatkan kelemahan yang seperti itu.

Akan tetapi, Suma Hui yang telah digulung oleh perasaan duka, tetap tidak mampu mengeluarkan suara dan masih terus sesenggukan.

“Suma Hui....!” Suara Suma Kian Bu makin penasaran.

Melihat Suma Hui dibentak dan gadis itu semakin berduka, Cin Liong merasa kasihan dan dia pun menjura sambil berkata, “Sesungguhnya begini....”

“Siapa engkau?” Suma Kian Bu memotong ucapan Cin Liong dan memandang tajam wajah yang tampan dan gagah itu, diam-diam dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. “Dan bagaimana engkau dapat datang bersama Suma Hui?” Tentu saja dia merasa tidak senang melihat keponakannya itu, seorang gadis dewasa, muncul bersama seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

Kini Suma Hui yang seperti bangkit dari tangisnya dan menjawab cepat, “Paman, dia adalah keponakanku sendiri....”

“Keponakanmu....?” Teng Siang In memotong, terbelalak, tentu saja terheran dan tidak dapat percaya bahwa Suma Hui bisa mempunyai seorang keponakan yang menurut taksirannya tentu jauh lebih tua dari pada gadis itu.

“....namanya Kao Cin Liong,” sambung Suma Hui.

“Ahhh....! Jenderal muda putera Ceng Ceng itu?” Suma Kian Bu berseru, wajahnya berseri. “Jadi engkaukah putera Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

Cin Liong kembali memberi hormat kepada pendekar yang masih terhitung paman kakeknya ini! “Harap maafkan kelancangan saya. Sebetulnya saya baru pulang dari Pulau Es dan mengalami segala peristiwa yang terjadi di sana, sampai dapat datang ke sini bersama dengan bibi Hui....”

“Mari kita duduk di dalam dan bicara.”

Suma Kian Bu mengajak Cin Liong dan Teng Siang In juga menggandeng Suma Hui yang masih menangis itu. Mereka berempat lalu duduk di ruangan dalam dan kini Suma Hui sudah mulai dapat menguasai hatinya yang berduka.

“Nah, sekarang ceritakanlah semuanya,” kata Suma Kian Bu.

Bersama isterinya dia menanti untuk mendengarkan penuturan itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan.

Cin Liong memandang kepada Suma Hui seolah hendak bertanya apakah dia yang akan bercerita. Suma Hui yang juga melirik kepadanya menggeleng kepala sedikit lalu ialah yang mulai bercerita.

Setelah menarik napas panjang, mengerahkan tenaga batin untuk menekan perasaan duka yang mencekik, ia lalu memandang kepada paman dan bibinya sejenak, kemudian dengan suara lirih namun jelas, seolah-olah mengatur agar kedua orang tua itu tidak sampai terkejut, ia pun berkata, “Paman dan bibi, harap jangan terkejut. Pulau Es telah tertimpa bencana hebat, diserbu oleh puluhan orang penjahat yang dipimpin oleh lima orang datuk kaum sesat.”

“Nanti dulu, katakan siapa lima orang datuk itu?” Suma Kian Bu memotong.

“Menurut penyelidikan kami terutama Cin Liong, kami ketahui bahwa mereka itu adalah Hek-i Mo-ong, Ngo-bwe Sai-kong, Eng-jiauw Siauw-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan wanita yang berjuluk Ulat Seribu....”

Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengerutkan alis. Nama-nama besar di dunia hitam, terutama sekali Hek-i Mo-ong.

“Lanjutkan ceritamu.”

“Mula-mula kami bertiga, saya, adik Ciang Bun dan adik Ceng Liong, sedang berlatih silat ketika muncul Ngo-bwe Sai-kong dan anak buahnya hendak membunuh kami bertiga. Nenek Lulu datang dan menghajar mereka. Nenek Lulu dikeroyok dan berhasil memukul mundur musuh, bahkan berhasil menewaskan Ngo-bwe Sai-kong yang lihai. Akan tetapi nenek Lulu.... ia sendiri terluka parah dan setelah dapat masuk ke dalam istana, ia.... ia meninggal dunia karena luka-lukanya....”

“Aihhh....!”

Teng Siang In menahan jeritnya dan mukanya menjadi pucat, lalu berubah merah sekali karena marah. Sementara itu, Suma Kian Bu memejamkan matanya. Wajahnya tidak menunjukkan sesuatu, hanya nampak dia menarik napas panjang.

“Lanjutkan.... lanjutkan....,” katanya tanpa membuka matanya.

“Sisa para penyerbu itu lalu dihajar oleh nenek Nirahai sehingga mereka lari cerai-berai meninggalkan pulau. Malamnya kami tiga orang anak melakukan penjagaan dan muncul Cin Liong dalam keadaan luka-luka pula. Dia mendarat di Pulau Es dan hampir saja terjadi salah paham karena pada waktu itu kami bertiga tidak mengenal bahwa dia adalah keponakan kami.”

Suma Kian Bu mengangkat tangan dan membuka matanya, memandang kepada Cin Liong. “Hentikan dulu ceritamu, Hui-ji, dan kau ceritakanlah bagaimana engkau dapat sampai ke Pulau Es dalam keadaan luka-luka, Cin Liong.”

Cin Liong lalu menceritakan pengalamannya secara singkat namun jelas sekali. Dia menceritakan betapa dia bertugas menyelidiki keadaan dan betapa dia mengikuti rombongan penjahat yang hendak menyerbu Pulau Es, dan betapa di tengah pelayaran dia ketahuan dan hampir saja tewas ketika dia terlempar ke dalam lautan, namun akhirnya dia berhasil juga mendarat di Pulau Es walau pun sedikit terlambat, yaitu rombongan pertama dari kaum sesat telah menyerang ke pulau yang mengakibatkan tewasnya nenek Lulu.

“Demikianlah, saya lalu dibawa menghadap kakek buyut Suma Han dan bersama dengan keluarga Pulau Es saya lalu ikut melakukan penjagaan.” Cin Liong mengakhiri ceritanya.

“Dialah yang banyak berjasa, paman. Kalau tidak ada dia, mungkin keadaan kami akan menjadi lebih parah lagi. Seperti yang telah diduga oleh nenek Nirahai, gerombolan penjahat itu datang lagi menyerbu, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan tiga orang datuk lainnya. Kekuatan mereka berpuluh orang dan kami semua, kecuali kakek Suma Han yang tetap duduk bersila di dekat peti mati nenek Lulu, kami semua dipimpin oleh nenek Nirahai lalu mengadakan perlawanan mati-matian. Akan tetapi, pihak musuh terlampau banyak. Walau pun kami sudah merobohkan banyak orang, tetap saja kami kalah kuat. Nenek Nirahai telah berhasil menewaskan Si Ulat Seribu, dan Cin Liong berhasil pula membunuh Eng-jiauw Siauw-ong yang lihai. Kemudian.... sesuai dengan perintah nenek Nirahai, Cin Liong membawa kami bertiga bersembunyi karena keadaan gawat....”

Suma Kian Bu dapat mengerti akan siasat ibu kandungnya. “Hemm, tentu disuruh bersembunyi di ruangan bawah tanah, bukan?”

“Benar, paman. Aku sungguh tidak setuju sama sekali dan ingin aku mengamuk terus. Akan tetapi, Cin Liong mentaati perintah nenek Nirahai dan aku ditotoknya. Memang, kalau tidak disembunyikan, kami bertiga dan Cin Liong tentu telah tewas semua, akan tetapi sedikitnya dapat menambah jumlah kematian pihak musuh.”

“Lanjutkan, lanjutkan....!”

“Setelah kami keluar dari tempat persembunyian, ternyata musuh sudah pergi semua, bahkan mereka membawa pergi teman-teman yang tewas dan luka. Akan tetapi.... akan tetapi.... kami melihat nenek Nirahai telah tewas pula di samping peti mati nenek Lulu....” Sampai di sini Suma Hui tak dapat menahan tangisnya dan kembali ia terisak-isak lalu sesenggukan.

Teng Siang In menggigit bibirnya. Wanita ini tidak menangis, artinya tidak mengeluarkan suara menangis walau pun air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya. Juga Suma Kian Bu hanya termenung dengan muka tidak menunjukkan sesuatu. Semua ini terlihat oleh Cin Liong dan pemuda ini teringat akan kegagahan Ceng Liong dan menjadi kagum.

Melihat keadaan keponakannya itu, Suma Kian Bu menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyalahkan keponakannya itu. Sebagai seorang gadis, Suma Hui cukup gagah dan pengalaman yang amat menyedihkan itu tentu saja mengguncang perasaan gadis itu.

“Cin Liong, sekarang engkaulah yang melanjutkan ceritanya,” katanya kepada pemuda itu.

Cin Liong memandang kepada Suma Hui yang masih sesenggukan dengan sinar mata penuh kasih sayang dan rasa iba, dan hal ini sama sekali tidak lewat begitu saja dari pengamatan Suma Kian Bu, akan tetapi pendekar ini diam saja.

“Ketika kami memasuki ruangan, kami melihat nenek buyut Nirahai telah tewas di dekat peti mati nenek buyut Lulu, sedangkan kakek buyut masih duduk bersila di tempat semula. Biar pun kami tidak melihat dan tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi melihat betapa semua musuh telah pergi dan kakek buyut masih duduk bersila, maka besar sekali kemungkinannya kakek buyut telah berhasil mengusir mereka, entah dengan cara bagaimana. Kami semua melakukan penjagaan dan kemudian baru kami tahu, biar pun ada suara kakek buyut yang memesan agar jenazah mereka kami bakar di kamar sembahyang, dan agar kami semua cepat meninggalkan pulau senja hari itu juga dan kami diharuskan kembali ke rumah masing-masing, baru kami tahu bahwa sesungguhnya kakek buyut Suma Han juga telah meninggal dunia....”

“Ayahhh....!” Seruan ini pendek saja namun menggetarkan seluruh rumah itu dan Cin Liong merasa terkejut sekali.

“Ayaaahh.... ohhh, ayaahhh....!” Teng Siang In menubruk suaminya, menyembunyikan mukanya di dada suaminya. Keduanya menangis tanpa suara!

Cin Liong menatap wajah Pendekar Siluman Kecil itu dan hatinya tergetar. Wajah yang gagah itu nampak menakutkan sekali. Dengan memberanikan diri dia pun berkata lirih, “Mendiang kakek buyut meninggalkan pesan bahwa kematian adalah wajar, tidak perlu diributkan atau disusahkan....”

Terdengar helaan napas panjang dan pendekar itu seperti baru sadar dari mimpi buruk. Dia memandang kepada Cin Liong dan berkata lirih, “Terima kasih, Cin Liong. Begitulah hendaknya. Isteriku, lekas keringkan air matamu yang tiada gunanya itu dan mari kita mendengarkan penuturan mereka ini lebih lanjut.”

Kini Suma Hui yang sudah dapat menguasai hatinya melanjutkan cerita itu. “Paman dan bibi, setelah kami melakukan perintah terakhir dari kakek, kami berempat meninggalkan pulau dengan perahu dan dari jauh kami melihat betapa istana itu terbakar, kemudian.... sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali.... kebakaran itu menjalar terus dan dalam waktu semalam itu, seluruh pulau terbakar habis!”

“Hemmm....!” Suma Kian Bu mengangguk-angguk, kembali dia maklum akan maksud ayahnya yang hendak melepaskan semua ikatan dengan dunia.

“Dan pada keesokan harinya, pulau itu sudah lenyap! Pulau Es telah tenggelam!” gadis itu melanjutkan ceritanya.

Kembali Suma Kian Bu mengangguk-angguk. Memang Pulau Es adalah sebuah pulau yang aneh, maka peristiwa itu pun tidaklah luar biasa.

“Kemudian bagaimana dengan kalian berempat?” tanyanya

Dan kini ayah dan ibu ini kembali dicekam rasa gelisah karena kenyataannya kini, dari empat orang itu tinggal dua orang, Ciang Bun dan Ceng Liong tidak ada bersama mereka. Ini berarti bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan kedua orang anak itu.

“Kami berempat melanjutkan pelayaran untuk menuju ke daratan besar, akan tetapi di tengah lautan kami dihadang dan dikepung oleh puluhan orang penjahat, sisa mereka yang agaknya melarikan diri dari Pulau Es, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok.”

“Kedua nama jahanam itu takkan pernah kulupakan!” kata Teng Siang In dengan sinar mata berapi-api.

“Kami diserang dan perahu kami digulingkan. Kami membela diri mati-matian, akan tetapi Cin Liong terlempar le laut, demikian pula Ciang Bun, padahal ketika itu badai sedang mengamuk. Saya sendiri tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dibawa lari, sedangkan menurut keterangan Cin Liong kemudian, adik Ceng Liong juga tertawan dan dibawa pergi oleh Hek-i Mo-ong.”

“Ahh....!” Teng Siang In meloncat bangun dan mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya mencorong. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anakku, aku bersumpah untuk merobek-robek kulit Hek-i Mo-ong dan mencincang hancur dagingnya!”

“In-moi, tenanglah, tidak baik membiarkan perasaan menguasai batin,” terdengar Suma Kian Bu berkata dan nyonya itu lalu terduduk kembali, wajahnya kini agak pucat akan tetapi sepasang matanya masih berapi-api dan kedua tangannya dikepal.

“Hui-ji, lanjutkan ceritamu.”

“Saya dilarikan oleh si jahanam Jai-hwa Siauw-ok dan nyaris mengalami bencana dan aib yang hebat. Untung muncul Cin Liong yang tiba pada saat yang tepat menolongku dan sayang sekali bahwa si keparat itu berhasil melarikan diri dari kejaran kami. Kami lalu langsung pergi ke sini untuk melaporkan kepada paman dan bibi.”

“Dan Ciang Bun? Ceng Liong?” Teng Siang In bertanya.

Suma Hui mengerutkan alisnya, wajahnya diselimuti kedukaan dan ia menggelengkan kepala. “Kami tidak tahu, bibi. Yang diketahui oleh Cin Liong hanya bahwa Ciang Bun terlempar ke lautan dan Ceng Liong ditawan Hek-i Mo-ong. Jahanam Siauw-ok itu pun bercerita demikian kepadaku.”

“Kita harus mencarinya sekarang juga!” Teng Siang In berkata sambil memandang kepada suaminya.

Suma Kian Bu yang sudah mengenal baik watak isterinya maklum bahwa andai kata dia menolak sekali pun, tentu isterinya akan berangkat sendiri. Memang mereka harus cepat melakukan pengejaran dan mencari Ceng Liong untuk dirampas kembali, dan bagaimana pun juga, mereka memang sudah berkemas-kemas untuk pergi merantau ke Pulau Es.

“Baik, kita mencarinya hari ini juga. Cin Liong dan Hui-ji, kalian hendak pergi ke mana?”

“Paman, saya harus cepat-cepat pulang ke Thian-cin memberi kabar kepada ayah dan ibu.”

“Saya akan menemani bibi Hui.”

Suma Kian Bu mengangguk dan bersama isterinya dia mengantar pemuda dan pemudi itu sampai ke pintu depan. Setelah mereka berdua berpamit dan menjura untuk yang terakhir kalinya, Suma Kian Bu memandang kepada mereka dengan sinar mata tajam, lalu berkata, “Cin Liong dan Suma Hui, jalan yang kalian tempuh penuh rintangan, akan tetapi berjalanlah terus, doa restuku bersama kalian dan semoga Thian memberkahi kalian.”

Cin Liong dan Suma Hui balas memandang dan wajah mereka seketika menjadi merah. Mereka menjura lagi dan hampir berbareng keduanya berkata, “Terima kasih....”

Kemudian mereka pergi meninggalkan suami isteri yang dicekam rasa gelisah karena mendengar putera tunggal mereka ditawan Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang telah mereka dengar akan kekejamannya. Setelah kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan jalan, Teng Siang In menoleh kepada suaminya.

“Engkau juga melihat bahwa mereka itu saling mencinta?”

“JeIas sekali!”

“Dan engkau malah mendorong mereka! Mana mungkin hal itu berlangsung? Mereka adalah bibi dan keponakan!”

“Bukan urusan kita, melainkan urusan mereka berdua. Aku hanya percaya kepada cinta kasih, tidak percaya kepada semua peraturan-peraturan yang kaku. Nah, mari kita berangkat, isteriku.”

Suami isteri pendekar ini meninggalkan pesan kepada pelayan wanita yang membantu rumah tangga mereka, meninggalkan uang, juga meninggalkan pesan agar hati-hati menjaga rumah, kemudian mereka pun pergi. Karena mereka tidak tahu ke mana Hek-i Mo-ong melarikan Ceng Liong, dan tidak tahu harus melakukan pengejaran ke jurusan mana, maka mereka mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja karena di tempat ramai inilah pusat segala macam berita tentang dunia kang-ouw.

Karena mereka melakukan pencarian tanpa arah tertentu, maka mereka melakukan perjalanan lambat, melakukan penyelidikan dengan teliti, menanyai orang-orang dan tokoh-tokoh persilatan di sepanjang jalan, walau pun hati mereka gelisah dan ingin sekali mereka cepat-cepat menemukan kembali putera mereka.....

********************

Sebagaimana kemudian tercatat di dalam sejarah, Kaisar Kian Liong merupakan kaisar yang paling besar, paling bijaksana, dan paling lama menduduki tahta Kerajaan Ceng dibandingkan dengan semua kaisar Bangsa Mancu. Kaisar ini akan memerintah selama enam puluh tahun!

Memang Kaisar Kian Liong inilah merupakan satu-satunya kaisar yang berhasil dalam pemerintahannya. Kebesarannya bahkan menandingi kebesaran kakeknya, yaitu Kaisar Kang Shi (1663-1722). Kalau kakeknya itu memegang kendali pemerintahan dengan kedua tangan besi, Kian Liong menggunakan satu tangan besi dan yang sebelah pula tangan bersarung sutera.

Pemberontakan-pemberontakan yang muncul memang ditindasnya dengan tangan besi, tetapi kaisar ini mengatur pemerintahan di dalam dengan lembut sehingga sebagian besar rakyat mencintanya. Tentu saja, tidak ada orang yang mampu memuaskan hati semua orang lain.

Karena Kian Liong memperhatikan nasib rakyat dan menggunakan kekerasan bukan saja terhadap pemberontakan akan tetapi juga terhadap para penjahat, maka diam-diam para penjahat itu kehilangan tempat berpijak. Hal ini, terutama mereka yang menjadi korban operasi dan gerombolannya dihancurkan, menimbulkan dendam dan sakit hati, juga kebencian terhadap Kaisar Kian Liong yang masih muda.

Inilah sebabnya mengapa bukan jarang kaisar ini mengalami serangan-serangan gelap ketika melakukan perjalanan. Ketika dia masih menjadi seorang pangeran, Kian Liong sudah biasa merantau dan menyamar sebagai rakyat biasa sehingga dia mampu menyelami keadaan kehidupan rakyat seperti kenyataannya, bukan hanya mendengar pelaporan-pelaporan saja yang biasanya palsu karena para pejabat yang melapor selalu melaporkan yang baik-baik untuk mencari muka.

Dan semenjak masih menjadi pangeran, banyak sudah usaha para penjahat untuk melenyapkan atau membunuh pangeran ini. Tetapi, betapa pun banyaknya penjahat yang anti, masih banyak mereka yang pro dan yang melindungi dan membela pangeran itu. Apalagi kini, sebagai seorang kaisar tentu saja dia selalu dikelilingi dan dilindungi oleh para pengawal istana.

Ketika itu, sudah dua tahun Kaisar Kian Liong menduduki tahta kerajaan dan sudah banyaklah kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam pemerintahannya. Baru saja bala tentara kaisar berhasil melakukan pembersihan ke selatan dan di sepanjang pantai timur. Kini, ada kabar angin yang mendesas-desuskan bahwa di utara dan barat mulai ada gerakan-gerakan pemberontakan.

Sang kaisar telah menugaskan panglima yang amat dipercayanya, yaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong, untuk melakukan penyelidikan. Dia percaya bahwa jenderal muda itu akan dapat menemukan kenyataan-kenyataan mengenai berita yang tidak baik itu dan dengan hati tenang, Kaisar Kian Liong pada suatu hari pergi berpesiar ke Telaga Teratai di sebelah selatan kota raja.

Dia bermaksud untuk merayakan hasil operasi pembersihan di timur dan selatan itu, karena setiap kali usahanya membebaskan rakyat dari tekanan dan kesengsaraan berhasil, hatinya gembira sekali. Perjalanan dilakukan dengan kereta yang dikawal oleh pasukan pengawal.

Dalam perjalanan pesiar ini, Kaisar Kian Liong ditemani oleh belasan orang dayang dan juga tiga orang selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik. Sampai dua tahun setelah menjadi kaisar, dia belum mempunyai seorang permaisuri, hanya mempunyai tiga orang selir itu yang belum juga ditambahnya walau pun para pembesar dengan usaha mereka mencari muka banyak yang menawarkan dara-dara cantik jelita untuk menambah kumpulan selir-selirnya.

Telaga Teratai itu sesungguhnya adalah sebuah telaga buatan yang mengambil airnya dari Terusan Besar, dibuat sebuah telaga yang indah dikelilingi taman bunga dan telaga itu terhias dengan bunga-bunga teratai yang mekar sepanjang masa. Beberapa buah perahu besar mewah milik istana dipergunakan untuk pesiar oleh Kaisar Kian Liong.

Akan tetapi, tidak seperti kaisar lain yang mengutamakan kesenangan dengan hiburan tari-tarian, makan enak, kemudian bersenang-senang dengan para wanita cantik, Kaisar Kian Liong mempunyai cara bersenang-senang yang lain lagi. Kesenangannya amat bersahaja, seperti kesenangan rakyat jelata. Para dayang dan pengawal menahan rasa geli hati mereka tanpa merasa heran sedikit pun ketika perahu kaisar telah tiba di tengah telaga, Kaisar Kian Liong lalu mulai dengan hobby-nya, yaitu mengail ikan!

Orang yang tidak biasa mengail ikan, tidak akan mengetahui apa sebabnya banyak sasterawan, filsuf, dan orang-orang besar di jaman dahulu suka mengail ikan. Akan tetapi mereka yang mempunyai hobby ini akan dapat merasakan bahwa di dalam keasyikan mengail ini orang akan menemukan kedamaian hati, ketenteraman, dan kebahagiaan yang hanya dapat dinikmati orang dalam keadaan sunyi dan hening.

Orang yang mengail dihanyutkan di dalam keheningan yang penuh harapan, kejutan tiba-tiba yang amat menggairahkan hati apabila umpan pancingnya disambar ikan, ketegangan yang mendebarkan jantung apabila ikan itu meronta-ronta dengan kuatnya untuk melepaskan diri, dan akhirnya kepuasan yang membanggakan apabila ikan itu dapat dinaikkannya ke atas, menggelepar di bawah kakinya. Inilah kepuasan seorang pemenang dan hasil dari pada kesabaran dan ketekunan.

Seorang pengail ikan dapat saja menganggap pekerjaan memburu binatang di hutan sebagai pekerjaan kejam, atau seorang yang memiliki hobby mengail ikan menganggap kejam orang yang berburu binatang sebagai hobby saja. Berburu binatang merupakan suatu perkosaan, pikir mereka, karena kita berburu binatang tertentu yang dikejar-kejar sampai dapat dan dibunuh di bawah mata dengan darah dingin.

Akan tetapi tidak demikian dengan mengail ikan. Kita mengail ikan tanpa ditujukan kepada ikan tertentu, bahkan tanpa kesengajaan untuk menangkap ikan tertentu. Yang terkena umpan adalah ikan yang kebetulan menyambar umpan itu, jadi.... salahnya ikan itu sendiri atau tergantung kepada nasib sang ikan atau juga kepada kerakusannya! Tentu saja ini adalah pendapat seorang yang suka mengail ikan!

Kaisar Kian Liong kelihatan gembira sekali karena ternyata di telaga itu terdapat banyak ikan rakus! Sebentar saja umpan pancingnya disambar ikan yang cukup besar dan setelah dia berhasil menarik ikan itu ke atas perahu dan ikan itu dilepas dari pancing oleh pembantunya, kemudian mata kail dipasangi umpan baru, sebentar saja dia telah menarik ikan lain. Berturut-turut kailnya mengena dan sebentar saja dia telah berhasil memancing belasan ekor ikan yang cukup besar!

Kaisar ini sama sekali tidak tahu betapa sebelum mengail, para thaikam yang selalu berusaha untuk menyenangkan hati kaisar telah lebih dulu melepaskan banyak ikan-ikan besar di tempat itu. Terjadi pula kelucuan yang tidak diketahui oleh kaisar muda itu, yakni bahwa di antara ikan yang terdapat olehnya itu ada beberapa ekor ikan yang sebetulnya hanya bisa didapatkan di Sungai Yang-ce!

Di tepi telaga buatan itu terdapat banyak rakyat yang sengaja datang untuk menonton perahu kaisar. Bahkan ada pula yang memberanikan diri naik perahu. Memang telaga buatan itu pada hari-hari biasa dibuka dan kaisar memperbolehkan rakyat untuk bermain-main di situ. Bahkan kaisar yang sudah biasa dengan rakyat itu tidak pula melarang rakyat bermain-main pada saat dia sedang berlibur di situ.

Hal ini sesungguhnya membuat para komandan pengawal mengerutkan kening karena tidak setuju, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menentang. Sebaliknya, rakyat berterima kasih dan memuji sikap kaisar yang sama sekali berbeda dengan kaisar-kaisar lain, yang biasanya amat congkak dan tidak sudi berdekatan dengan rakyat, apalagi rakyat kecil yang miskin.

Di antara beberapa orang nelayan yang mendayung perahu mencari ikan di telaga itu, terdapat seorang wanita muda yang pakaiannya seperti nelayan, memakai caping lebar untuk melindungi wajahnya yang manis dari sengatan sinar matahari yang mulai naik tinggi. Perlahan-lahan, perahu wanita nelayan ini makin mendekati perahu kaisar.

Para pengawal yang awas memasang mata, melihat nelayan wanita ini, akan tetapi karena ia hanya seorang wanita nelayan yang sendirian saja dalam sebuah perahu kecil, asyik memancing ikan pula, maka mereka tidak menaruh kecurigaan. Pula, apa yang dapat dilakukan oleh seorang wanita muda terhadap kaisar yang dijaga ketat oleh para pengawal?

Memang benar bahwa kaisar tidak dikerumuni terlalu banyak pengawal, dan di perahu itu pun hanya terdapat enam orang pengawal, akan tetapi itu pun sudah cukup kalau diingat bahwa mereka berada di atas perahu di tengah telaga, sedangkan di pantai telaga berkumpul pasukan pengawal. Selain itu, juga para anak buah perahu bukanlah orang lemah dan dapat pula membantu jika timbul keadaan bahaya. Kalau terlalu banyak perahu nelayan yang berani mendekat perahu kaisar, tentu para pengawal akan melarangnya. Akan tetapi hanya sebuah perahu kecil seorang nelayan wanita saja tidak menjadi soal.

Tetapi para pengawal ini sama sekali tidak tahu bahwa di antara perahu-perahu nelayan yang berada agak jauh dari perahu kaisar itu terdapat penumpang-penumpangnya yang amat mencurigakan. Dari sikap, bentuk tubuh dan pakaian mereka, jelaslah bahwa mereka itu bukan nelayan biasa. Sama sekali bukan nelayan karena mereka adalah orang-orang kang-ouw, kaum sesat yang menaruh hati dendam terhadap kaisar karena mereka adalah orang-orang yang menjadi korban pembersihan, bekas raja-raja bajak dan perampok yang telah kehilangan anak buah dan mata pencaharian mereka, kehilangan kerajaan kecil mereka.

Ada lima orang penjahat besar di perahu-perahu kecil terpisah dan para pengawal tidak tahu betapa tidak lama kemudian perahu-perahu itu kosong dan para penghuninya lenyap. Barulah para pengawal itu menjadi panik dan geger ketika tiba-tiba ada lima orang yang pakaiannya basah kuyup berloncatan masuk ke dalam perahu dengan tangan memegang senjata tajam!

Pada saat itu, Kaisar Kian Liong sedang menghadapi panggang ikan hasil kailnya tadi dan melihat munculnya lima orang ini, tentu saja kaisar menjadi terkejut dan heran. Namun, bukan baru sekali ini saja kaisar itu menghadapi ancaman bahaya. Ketika masih menjadi pangeran, sudah sering kali dia menghadapi ancaman maut, maka sekali ini pun dia bersikap tenang saja. Bahkan kaisar muda ini melanjutkan makan minum sambil nonton betapa enam orang pengawalnya sudah menerjang dan menyambut lima orang penyerbu gelap itu.

Akan tetapi, ternyata lima orang penyerbu ini rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi. Mereka itu terlalu kuat bagi enam orang pengawal dan berturut-turut, sudah ada tiga orang pengawal yang roboh mandi darah!

“Ha-ha-ha, Kaisar Kian Liong, engkau hendak lari ke mana sekarang?” seorang di antara para penyerbu yang bertubuh seperti raksasa bermuka hitam itu kini mengangkat golok besarnya dan menyerbu ke arah kaisar yang sedang makan daging ikan.

Kaisar itu maklum bahwa tidak ada jalan lari baginya, maka dia pun melanjutkan makan, bangkit pun tidak dari tempat duduknya!

Melihat ketenangan orang itu, si penjahat menjadi termangu-mangu dan ragu-ragu, memandang ke kanan kiri untuk melihat apa yang menyebabkan kaisar begitu tenang seolah-olah ada yang diandalkan. Penjahat ini sudah mendengar betapa kaisar ini sejak menjadi pangeran dahulu selalu dilindungi oleh para pendekar dan menurut dongeng dilindungi oleh dewa-dewa yang tidak nampak!

Kaisar Kian Liong tersenyum melihat keraguan orang itu. “Orang kasar, apa sebabnya engkau hendak membunuh kami?”

Penjahat itu nampak marah lagi. “Engkau menjadi kaisar bertindak sewenang-wenang terhadap golongan kami, menindas dan membasmi golongan kami. Maka kami harus membunuhmu!”

“Ahhh, lalu apa untungnya kalau engkau membunuhku? Tetap saja kalian akan hidup sengsara karena ulah kalian sendiri. Bertobatlah dan bertindaklah di atas jalan yang benar dan kalian akan menemukan kehidupan baru....”

“Tak perlu banyak cakap lagi!” Si penjahat yang agaknya sudah menemukan kembali keganasannya itu melompat ke depan, mengayun goloknya.

“Trrangggg....!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata kaisar yang melindungi mukanya dengan kedua tangan agar bunga api itu tidak mengenai mukanya. Dia melihat munculnya seorang wanita muda berpakaian nelayan yang memakai caping lebar sehingga sukar bagi kaisar untuk dapat melihat muka wanita itu yang tertutup caping. Wanita itu memegang sebatang pedang dan tadi telah meloncat ke perahu sambil menangkis sambaran golok penjahat raksasa itu.

Kini terjadilah perkelahian di atas perahu. Wanita muda itu lihai sekali permainan pedangnya sehingga penjahat tinggi besar menjadi kewalahan juga. Penjahat itu kalah lincah dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu mendesak dan menghimpitnya, membuat dirinya hanya mampu menangkis sambil mundur-mundur saja.

Akan tetapi, segera datang penjahat-penjahat lain dan karena tidak lama kemudian semua pengawal yang berjumlah enam orang itu telah roboh semua, si wanita nelayan terpaksa melawan kelima orang penjahat itu sambil terus melindungi kaisar! Ia memutar pedangnya, berloncatan ke sana-sini menghadang agar mereka tak dapat mengganggu kaisar.

Betapa pun pandai dan gagahnya wanita itu, ia tidak mampu menandingi lima orang penjahat yang ganas itu dan dia sudah menerima beberapa kali bacokan sehingga pakaiannya mulai penuh dengan bercak-bercak darah. Melihat ini, kaisar menjadi marah dan tidak tega.

“Kalian berlima ini sungguh orang-orang jahat kejam dan tidak tahu malu, mengeroyok seorang wanita. Hentikan pengeroyokan itu!”

Akan tetapi, lima orang penjahat itu menghendaki nyawa kaisar dan si wanita menjadi penghalang, tentu saja mereka tidak memperdulikan bentakan-bentakan kaisar. Karena merasa bahwa ia tidak akan mampu mempertahankan diri lebih lama lagi, wanita itu lalu berkata dengan suara gemetar.

“Sri baginda, larilah.... larilah dari sini selagi ada kesempatan....!”

Akan tetapi, biar pun dia sendiri bukan pendekar, Kaisar Kian Liong sejak dulu memiliki watak yang gagah. Ada seorang wanita yang membela dan melindunginya terancam bahaya maut, bagaimana mungkin dia mau melarikan diri begitu saja meninggalkan wanita itu sendiri saja menghadapi maut? Dia lalu bertepuk tangan dan berkata kepada para anak buah perahu yang berdiri dengan bingung.

“Jangan diam saja. Bantulah wanita ini menghadapi penjahat!”

Mendengar perintah kaisar, barulah belasan orang anak buah perahu itu berbondong-bondong maju dengan senjata seadanya. Ada yang membawa tombak ikan, ada yang membawa dayung, dan tukang masak datang bersenjatakan pisau dapur yang besar. Mereka juga bukan orang-orang lemah, akan tetapi tentu saja bukan apa-apa bagi lima orang penjahat lihai itu. Sebentar saja mereka pun sudah terlempar ke sana-sini terkena tendangan para penjahat dan kembali wanita itu dikeroyok.

“Desss....!”

Sebuah pukulan yang keras sekali dengan sebuah ruyung mengenai punggung wanita itu. Wanita itu mengeluh dan muntah darah, dan pada saat itu pula, sebatang golok membacok lambungnya. Darah muncrat dan wanita itu pun terhuyung. Namun, dengan pedangnya ia juga masih mampu menghalau sebatang golok yang menyambar ke arah kaisar! Wanita itu sungguh gagah perkasa dan mati-matian melindungi kaisar.

“Bunuh perempuan ini lebih dulu, baru kita sembelih kaisar!” kata si tinggi besar dan kini mereka semua menerjang ke arah wanita yang sudah lemah itu.

Si wanita memutar pedangnya untuk melindungi diri, namun karena tenaganya sudah lemah, ia terlempar ke belakang, jatuh menimpa pangkuan kaisar! Kaisar merangkulnya, tidak perduli akan darah wanita itu yang membasahi lengan dan jubahnya. Dan kaisar terkesiap kaget ketika caping itu terbuka dan wajah yang manis itu nampak.

“Li Hwa....!” Kaisar Kian Liong berseru dan memandang terbelalak. “Kau.... kau.... Li Hwa....!”

Wanita itu mencoba untuk tersenyum. “Ampunkan hamba.... hamba tidak berhasil.... menyelamatkan paduka....”

“Li Hwa....!” Kaisar mendekap kepala itu dan merangkulnya ketat.

Lima orang penjahat itu tertegun menyaksikan peristiwa ini, akan tetapi segera si tinggi besar berseru, “Bunuh mereka!”

Lima orang itu menyerbu, seperti lima ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang, menerjang ke arah kaisar yang duduk memeluk tubuh wanita nelayan itu.

“Wuuuutttt.... blaarrrr....!”

Lima orang penjahat itu terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Mereka merasa seperti disambar halilintar saja dan ketika mereka bangkit berdiri dan menggoyang-goyang kepala mengusir pening, mereka melihat di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh enam tahun, berpakaian sederhana dengan rambut riap-riapan, sepasang matanya mencorong seperti mata naga, dan di sebelahnya berdiri pula seorang wanita berusia beberapa tahun lebih muda, namun masih nampak cantik dan bertubuh ramping padat, berpakaian rapi dan pesolek, di punggungnya tergantung sebuah payung.

Sepasang suami isteri ini bukan lain adalah pendekar sakti Suma Kian Bu yang dikenal sebagai Pendekar Siluman Kecil dan isterinya yang bernama Teng Siang In. Akan tetapi karena memang selama belasan tahun Suma Kian Bu dan isterinya tidak pernah berkecimpung di dunia kang-ouw dan tidak membuat nama besar, maka lima orang penjahat itu pun tidak mengenal mereka.

Dan inilah celakanya bagi para penjahat itu. Apa bila mereka mengenal suami isteri pendekar itu, tentu mereka akan lari tunggang-langgang tidak berani melawan, meloncat ke air telaga dan berenang ke perahu masing-masing seperti yang mereka lakukan ketika mengadakan penyerbuan tadi.

Akan tetapi, kini mereka bangkit dan memandang marah, lalu menghampiri suami isteri itu dengan sikap mengancam. Mereka adalah kumpulan orang-orang kasar yang hanya mengandalkan kekerasan dan kepandaian sendiri saja, tak tahu diri dan tidak melihat bahwa terjangan Suma Kian Bu tadi saja sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka sama sekali bukanlah tandingan pendekar sakti ini.

Mereka sudah hampir berhasil, sudah menyudutkan kaisar yang demikian tidak berdaya lagi. Sekali menggerakkan golok saja sudah cukup untuk membunuh kaisar dan kini muncul dua orang penghalang yang tak disangka-sangka, tentu saja mereka menjadi penasaran. Mereka maju menghampiri dan membagi kelompok, tiga orang menghampiri Suma Kian Bu dan dua orang menghampiri Teng Siang In.

Para anak buah perahu yang tadi dipukul jatuh bangun, sekarang berdiri berkelompok. Dengan tubuh babak-belur mereka memandang ke depan, dengan penuh harapan mereka berpihak kepada suami isteri yang muncul pada saat yang tepat itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es