KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-09


Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa dara ini adalah cucu dari Pendekar Super Sakti dan memiliki kepandaian yang tidak lumrah gadis lainnya. Akan tetapi sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu dapat meloloskan diri secara tiba-tiba seperti itu!

Pada saat itu, Suma Hui sudah meloncat bangkit berdiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanannya, menampar ke arah kepala Siauw-ok.

“Hyaaaaatttt....!”

Dara itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Karena pukulan dilakukan dari jarak dekat dan perahu itu amat kecil sehingga tidak mungkin bagi Siauw-ok untuk mengelak lagi, maka Siauw-ok terpaksa mengangkat lengannya menangkis, menjaga agar jangan sampai tenaganya terlalu besar dan melukai dara yang membuatnya tergila-gila ini.

“Dukkkkk....!” Tubuh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terjongkok dan menggigil kedinginan!

Kiranya dara itu telah mempergunakan tenaga yang belum lama dilatihnya di Pulau Es, yaitu tenaga Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang amat hebat. Untung bagi Jai-hwa Siauw-ok bahwa gadis itu belum matang benar latihannya karena andai kata demikian, dia akan menderita luka dalam yang parah.

Cepat dia mengerahkan tenaga sakti dan mengumpulkan hawa murni untuk melindungi tubuhnya dan mengusir hawa dingin. Dia merasa berbuat salah sendiri karena terlalu memandang ringan sehingga hampir celaka. Bagaimana pun juga, tenaganya masih lebih kuat dibandingkan dengan tenaga dara itu, maka kalau tadi dia mengerahkan seluruh tenaga, tentu dia lebih kuat.

“Haiiiittt....!”

Melihat pukulannya yang pertama hanya membuat lawan terjongkok, Suma Hui merasa penasaran dan dia pun sudah menyerang lagi dengan dua kali hantaman tangan kanan lurus-lurus ke arah dada lawannya.

Kembali Siauw-ok terpaksa menangkis, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan sinkang dan mempergunakan tenaga kasar dan panas yang lebih kuat untuk mengimbangi hawa dingin yang terkandung dalam pukulan dara itu.

“Dessss....!”

Dua tenaga dahsyat bertemu melalui lengan mereka dan akibatnya, tubuh Siauw-ok terdorong keras dan terpelanting keluar dari perahu.

“Byuuurrr....!”

Siauw-ok yang terjungkal ke air menyelam. Dia terkejut bukan main karena ternyata dara itu tidak lagi mengerahkan tenaga berhawa dingin, melainkan pukulannya tadi mengandung hawa panas dan kekuatan yang amat hebat. Dia tidak tahu bahwa itulah ilmu sakti Hwi-yang Sin-ciang (Taugan Sakti Inti Api).

Karena keras bertemu keras dan tenaganya kalah ampuh, ditambah lagi kekagetannya ketika merasa betapa ada hawa panas membakar tubuhnya melalui lengan, maka tubuh Jai-hwa Siauw-ok terlempar dan terpelanting ke dalam lautan. Tentu saja hati Suma Hui merasa lega dan girang sekali dan cepat ia mengambil tali kemudi untuk mengemudikan layar perahu.

“Krakkk....!”

Tiba-tiba tiang layar yang tidak berapa besar itu patah. Kiranya Siauw-ok telah muncul di balik perahu dan memukul patah tiang layar itu dengan tangannya.

“Iblis jahat kau!” Suma Hui memaki dan cepat menyambar dayung untuk menyerang kepala yang muncul di permukaan air itu.

“Pratttt....!”

Air muncrat ke atas, akan tetapi kepala itu lenyap dan dayung hanya memukul air. Suma Hui tidak perduli lagi dan hendak mendayung perahu kccil itu, akan tetapi tiba-tiba perahu itu terguncang keras dan terbalik! Tentu saja dara itu pun terlempar dan terjatuh ke air.

“Byuuurrr....!”

Air muncrat lagi dan Suma Hui cepat menggerakkan kaki tangannya untuk mencegah tubuhnya tenggelam.

“He-he-he, nona manis....!” Mendadak ada lengan yang merangkul pinggangnya yang ramping.

“Lepaskan, jahanam!” Suma Hui menjerit dan memukul ke belakang.

Akan tetapi Siauw-ok yang lebih pandai bermain di air itu telah menyelam. Dan tiba-tiba Suma Hui menjerit ketika kakinya ada yang menangkap dari bawah dan terus tangan itu menyeretnya ke bawah permukaan air! Dara itu meronta-ronta dan mencoba untuk menendang atau memukul. Terjadi pergumulan di dalam air.

Suma Hui melawan mati-matian dan berusaha sedapat mungkin. Namun, ternyata ia jauh kalah mahir sehingga ia gelagapan dan banyak menelan air laut. Apalagi Siauw-ok menggumulnya sehingga di samping ia memang kalah pandai, juga ia merasa jijik dan geli merasa betapa dirinya dirangkul dan dipeluk. Akhirnya ia terkulai pingsan!

Masih untung baginya bahwa ambisi Siauw-ok untuk membanggakan kemenangan dan menyombongkan dirinya demikian besarnya sehingga biar pun melihat dara itu dengan pakaian basah kuyup nampak amat merangsang, pakaian basahnya melekat ketat pada tubuhnya yang padat, namun penjahat cabul itu tidak menuruti nafsu birahinya dan bertahan diri, tidak memperkosanya. Siauw-ok membawa Suma Hui kembali ke dalam perahu yang telah kehilangan layarnya itu, menotoknya kembali dan sekarang dengan bersungut-sungut dia mendayung perahunya melanjutkan perjalanan.

Pada suatu senja, perahunya berlabuh di sebuah pantai yang sunyi di sebelah selatan kota Ceng-to di Propinsi Shan-tung. Siauw-ok menarik perahunya ke pantai, kemudian memondong tubuh Suma Hui yang masih tertotok, lalu membawanya berlari memasuki sebuah hutan yang telah mulai gelap. Setelah malam tiba, nampak Siauw-ok memasuki sebuah pekarangan depan rumah yang berdiri terpencil di luar kota Ceng-to.

Rumah itu bercat merah yang mungil. Bagi para laki-laki hidung belang di kota Ceng-to, rumah ini amat terkenal karena rumah ini merupakan rumah milik Ang Bwee Nio-nio, seorang bekas pelacur kenamaan yang kini telah berusia empat puluh tahun dan telah mengalihkan pekerjaannya dari seorang pelacur kenamaan menjadi seorang mucikari kenamaan pula. Hampir semua pelacur di daerah Ceng-to mengenalnya. Dan pelacur mana pun juga akan merasa terhormat kalau dipanggil oleh mucikari ini karena para langganan dari Ang Bwee Nio-nio hanyalah orang-orang besar yang berkedudukan penting atau yang kaya raya saja.

Karena sejak sore tadi hujan turun dan sekarang pun masih gerimis, rumah pelacuran itu sunyi. Memang Ang Bwee Nio-nio tidak pernah menyediakan pelacur di rumahnya. Ia hanya memanggil pelacur-pelacur yang dipesan para langganannya saja, menyediakan kamar-kamar yang cukup mewah dan bersih, dan juga melayani makan minum yang cukup lengkap dan lezat. Ia hanya hidup bersama dua orang pelayan yang tinggal di situ, pelayan-pelayan wanita setengah tua.

Ketika Jai-hwa Siauw-ok mengetuk pintu depan, terdengar suara jawaban dari dalam dan tak lama kemudian daun pintu dibuka orang. Seorang wanita berpakaian pelayan memandang dan wajahnya segera berubah ramah.

“Aih, kiranya Ouw-taiya (tuan besar Ouw) yang datang. Tapi.... tapi mengapakah nona ini....?” katanya menunjuk kepada Suma Hui di atas pundak Siauw-ok.

“Jangan ribut. Apakah malam ini banyak tamu?”

“Sepi, taiya, habis hujan.”

“Tutupkan daun pintunya dan malam ini tidak boleh menerima tamu, katakan saja toanio sakit. Mengerti?” Pandang mata Siauw-ok penuh ancaman.

“Baik, taiya....!” kata pelayan itu takut-takut.

“Di mana toanio? Panggil ia keluar.”

Pelayan itu berlari masuk setelah menutupkan daun pintu. Tak lama kemudian nampak seorang wanita datang setengah berlari. Ia sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi masih pesolek. Pakaiannya indah, mukanya berbedak tebal, alisnya dicukur dan dilukis, bibirnya diberi gincu merah, demikian pula kedua pipinya. Memang dia bekas seorang wanita yang cantik menarik. Inilah Ang Bwee Nio-nio, dahulu terkenal sebagai Ang Bwee (Bunga Bwee Merah), pelacur tingkat tinggi di Ceng-to.

“Ahhh, baru sekarang engkau muncul, Ouw-koko....!” Wanita itu segera menghampiri Siauw-ok dan merangkul dengan sikap manja dan mesra.

Memang ia adalah kekasih lama Siauw-ok, tetapi sudah lama Siauw-ok meninggalkan dan menjauhinya. Ketika dirangkul oleh wanita ini dan mencium bau wangi semerbak yang menusuk hidung, Siauw-ok mengerutkan alisnya dengan sebal dan tangannya lalu mendorong!

Untung wanita itu agaknya bukan wanita sembarangan sehingga dorongan yang akan merobohkan setiap orang yang bertubuh kuat itu hanya membuatnya agak terhuyung. Wanita itu pun dapat cepat menggeser kaki memasang kuda-kuda sehingga tubuhnya tidak sampai terpelanting.

“Ouw-koko....!” Dalam seruan ini terkandung rasa penasaran dan kedukaan yang besar walau pun pandang mata wanita itu terhadap Siauw-ok masih terkandung kemesraan dan rasa sayang yang amat besar. “Kenapa kau....?”

“Sudahlah, jangan ganggu aku, Ang Bwee. Aku lelah sekali. Kau tahu dari mana aku datang dan siapa adanya gadis ini?”

Ketika wanita itu menggelengkan kepala dan memandang kepada Suma Hui dengan mata terbelalak dan rasa ingin tahu, sambil tersenyum penuh kebanggaan Siauw-ok lalu menyambung, “Aku baru saja kembali dari penyerbuan ke Pulau Es, dan gadis yang kutawan ini adalah cucu perempuan Pendekar Super Sakti.”

“Ahhhh....!” Mata wanita itu terbelalak dan ia nampak terkejut bukan main.

“Nah, jangan ganggu aku. Cepatlah kau sediakan kamar untuk gadis ini dan lebih dulu ambilkan belenggu kaki tangan dari baja. Engkau masih punya, bukan? Yang biasa untuk membelenggu gadis yang bandel. Cepat ambil sepasang.”

Ang Bwee Nio-nio mengangguk-angguk lalu berlari ke dalam. Tak lama dia sudah keluar kembali dan membawa sepasang belenggu kaki tangan dari baja yang memakai kunci. Belenggu-belenggu itu lalu dikenakan pada kaki tangan Suma Hui dengan amat cekatan oleh wanita itu.

“Sekarang, bawa dara ini ke kamarnya, kemudian layani aku makan minum sepuasku. Aku akan menceritakan kesemuanya padamu sampai kau puas, Ang Bwee.”

Wanita itu menerima tubuh Suma Hui yang masih dalam keadaan tertotok dan kaki tangannya terbelenggu, memandang wajah yang jelita dan meraba tubuh yang padat itu lalu menarik napas panjang. “Seorang gadis yang indah sekali, Ouw-koko.”

“Ha-ha-ha, kau kira bagaimana? Kalau tidak demikian, perlu apa aku bersusah payah membawanya? Sudah, simpan ia baik-baik dan aku mau mandi dan bertukar pakaian dulu.”

Dengan gembira Siauw-ok kemudian mandi dan bertukar pakaian. Sedangkan wanita itu memondong tubuh Suma Hui, dibawanya masuk ke dalam sebuah di antara kamar-kamar rumahnya dan merebahkan dara itu di atas pembaringan.

Sebetulnya sejak tadi Suma Hui sadar, akan tetapi dara ini berpura-pura tidak sadar dan bergantung lemas. Ketika kaki tangannya dibelenggu, diam-diam ia mengeluh. Selama ini ia selalu mencari kesempatan, akan tetapi semenjak perlawanannya di atas perahu sampai ia ditawan kembali, Siauw-ok selalu memperhatikannya dan amat teliti. Dan sekarang, kaki tangannya malah dibelenggu, dengan belenggu baja sehingga andai kata ia dapat memperoleh kesempatan dan totokan ini tidak lagi menguasai dirinya, sukarlah baginya untuk membebaskan diri dari belenggu ini.

Wanita itu merebahkannya terlentang di atas pembaringan. Dan betapa kaget rasa hati Suma Hui ketika rantai belenggu kaki tangannya itu dikaitkan kepada kaitan-kaitan yang sudah tersedia di pembaringan itu sehingga kaki dan tangannya terpentang dengan masing-masing tangan dan kaki terikat pada kaitan di empat penjuru pembaringan!

Sebagai seorang wanita kang-ouw yang sudah banyak mendengar tentang kejahatan kaum sesat, ia mengerti bahwa kini dirinya terancam bahaya yang amat hebat bagi seorang wanita. Bahaya pemerkosaan! Dan ia tidak akan mampu mempertahankan diri!

Ngeri sekali rasa hatinya membayangkan hal ini, akan tetapi segera kekerasan hatinya dapat menguasai dirinya lagi. Biarlah. Ia akan selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari malapetaka itu, akan tetapi andai kata semua itu terjadi pula, ia akan pura-pura memyerah, kemudian jika kesempatan terbuka, ia akan membunuh musuhnya sebelum membunuh diri untuk mencuci noda dan aib yang menimpa dirinya!

Setelah mengikatkan kaki dan tangan Suma Hui pada kaitan-kaitan di empat sudut pembaringan, Ang Bwee Nio-nio bersungut-sungut sambil memandangi tubuh gadis itu. “Dasar laki-laki yang tak mengenal budi! Maunya bersenang-senang saja, bahkan tidak segan-segan menusuk hatiku dengan menolak diriku dan lebih memilih bocah dari musuh besar. Sungguh merupakan penghinaan yang tiada taranya! Ouw Teng, kalau sekali ini engkau tak memperdulikan diriku, engkau pun tak akan dapat menikmati gadis ini....!”

Setelah berkata demikian, wanita itu lalu pergi keluar kamar dan menguncikan pintu kamar itu dari luar. Tentu saja Suma Hui yang ditinggal seorang diri itu menjadi gelisah. Sudah dikerahkannya tenaganya untuk membebaskan diri dari totokan, namun belum juga ia berhasil. Kalau sudah bebas dari totokan, setidaknya ia akan dapat berusaha membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya. Memang sedikit sekali kemungkinan akan berhasil, akan tetapi setidaknya ia dapat berusaha dan melakukan sesuatu, tidak seperti sekarang ini, rebah terlentang tak berdaya sama sekali!

Tak lama kemudian, Suma Hui dapat mendengar suara-suara dari sebelah kanan. Ia mengangkat muka dan menoleh dan ternyata suara itu datang dari lubang-lubang angin di dinding kamar. Ia dapat mengenal suara Siauw-ok yang dibencinya dan suara wanita tadi. Mereka sedang pesta makan minum agaknya!

Terdengar suara Siauw-ok menceritakan tentang penyerbuan di Pulau Es itu diselingi suara ketawa-ketawa bangga dan seruan-seruan heran si wanita. Agaknya Siauw-ok banyak minum arak karena terdengar berkali-kali Ang Bwee Nio-nio memerintahkan pelayan mengambilkan guci arak baru.

Kemudian, setelah cerita itu habis, terdengar suara wanita itu membujuk dan merayu. Lalu terdengar kata-kata keras Siauw-ok menolak. Mereka lalu bercekcok dan lapat-lapat terdengar oleh Suma Hui suara keras seperti orang ditampar disusul jerit tertahan si wanita.

“Pergilah, dan jangan ganggu aku, ha-ha-ha! Aku harus mengumpulkan tenaga untuk tawananku.” Terdengar Siauw-ok tertawa-tawa keras.

Suma Hui mendengarkan semua itu dengan hati semakin tegang. Sejak tadi ia terus berusaha dan akhirnya kini ia mulai dapat menggerakkan kaki tangannya. Pengaruh totokan itu sudah mulai berkurang dan sebentar lagi ia akan bebas dari pengaruh totokan! Mulailah ia mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat sinkang-nya dan pada saat ia berhasil mengusir sama sekali pengaruh totokan dan jalan darahnya sudah lancar kembali ke seluruh tubuhnya, tiba-tiba saja daun pintu terbuka perlahan.

“Ahhh....!” Suma Hui menahan jeritnya.

Dia cepat memejamkan mata, mengintai dari balik bulu matanya. Jika terpaksa ia harus menderita mala petaka hebat itu, maka ia akan membuat dirinya pingsan dan untuk ini ia sudah siap siaga. Ia tahu bagaimana caranya mematikan rasa atau membuat dirinya pingsan.

Tetapi, hatinya terasa lega dan juga heran ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah wanita itu! Dia melihat betapa wanita itu menangis. Air matanya masih membasahi pipi dan mata, dan pipi kanan wanita itu membengkak! Kiranya wanita ini tadi datang untuk melampiaskan dendam terhadap Siauw-ok kepadanya. Bukankah tadi sebelum pergi ia telah menyatakan bahwa ia akan menghalangi Siauw-ok agar tidak dapat menikmati gadis tawanannya? Bukankah itu berarti wanita ini hendak membunuhnya?

Dan ia tidak akan dapat melawan sedikit pun juga, walau jalan darahnya telah pulih kembali. Paling banyak ia hanya akan dapat mengerahkan sinkang ke arah tubuh yang diserang, membuat bagian tubuh itu kebal. Akan tetapi wanita ini agaknya bukan wanita sembarangan pula dan tentu akan tahu bagaimana caranya untuk membunuh orang yang memiliki kekebalan.

Kini Ang Bwee Nio-nio menghampiri pembaringan, dan sejenak dia berdiri memandangi wajah dan tubuh Suma Hui. Dan terdengarlah suaranya berbisik-bisik, “Aku mendengar bahwa Pendekar Super Sakti sekeluarga adalah pendekar-pendekar yang selain amat sakti juga memiliki watak yang budiman, sudah banyak menolong manusia lain. Aku sendiri sejak kecil bergelimang kejahatan. Biarlah dalam kekecewaan dan penghinaan ini aku melakukan suatu kebaikan, mungkin aku diperalat oleh Thian untuk membalas segala kebaikan keluarga Pendekar Super Sakti.”

Setelah berkata demikian, wanita itu mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Suma Hui sudah bersiap-siap, menyangka bahwa wanita itu tentu akan mengeluarkan senjata tajam. Akan tetapi, yang dikeluarkan ternyata sebuah kunci dan dengan cekatan wanita itu lalu membuka belenggu kedua kaki dan tangan Suma Hui!

Gadis ini terkejut, girang dan heran, akan tetapi sekali meloncat, ia telah turun dari pembaringan. Tentu saja Ang Bwee Nio-nio terkejut juga dan makin percayalah wanita ini akan kehebatan gadis cucu Pendekar Super Sakti itu. Siapa duga bahwa gadis yang kelihatan sama sekali tak berdaya itu, begitu dibuka belenggunya, sudah dapat bergerak sedemikian gesitnya.

“Ssstt, nona. Engkau harus cepat melarikan diri dari tempat ini....,” bisiknya.

“Terima kasih atas pertolonganmu,” kata Suma Hui kembali.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa diikuti langkah-langkah kaki menuju ke kamar itu.

“Ssttt, dia datang. Biar aku mencoba mencegahnya masuk,” kata Ang Bwee Nio-nio.

Dan ia pun cepat membuka daun pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintunya. Suma Hui yang maklum akan kelihaian Jai-hwa Siauw-ok, sudah meloncat lagi ke atas pembaringan dan pura-pura rebah tak berdaya, memasangkan kembali rantai belenggu seolah-olah masih tetap mengikatnya. Ia harus menggunakan siasat, pikirnya. Menyerang tokoh sesat itu secara berterang, jelas ia tidak akan menang. Biarlah ia akan menyerang tiba-tiba sebelum orang itu tahu bahwa ia telah bebas.

Ia mendengar kembali suara Ang Bwee Nio-nio membujuk-bujuk dan merayu di luar kamar, seolah-olah hendak menyeret Siauw-ok yang setengah mabok itu agar pergi ke kamarnya sendiri. Akan tetapi terdengar Siauw-ok menolak dan mereka pun cekcok lalu terdengar suara perkelahian di luar kamar!

Ahh, mereka berkelahi, pikir Suma Hui. Inilah saatnya yang baik untuk turun tangan, membantu Ang Bwee Nio-nio mengeroyok Siauw-ok yang lihai. Ia menoleh ke kanan kiri mencari senjata, akan tetapi di dalam kamar yang biasa dipergunakan orang untuk pelesir dan bermain cinta itu mana ada senjata? Ia lalu nekat, dengan tangan kosong ia akan menerjang keluar dari pintu.

Akan tetapi kedatangannya terlambat. Pada saat ia muncul, Jai-hwa Siauw-ok dengan tubuh setengah berjongkok sudah memukulkan kedua tangannya ke arah dada Ang Bwee Nio-nio dan wanita itu terjengkang, dari mulutnya muntah darah segar! Siauw-ok sudah memukul bekas kekasihnya sendiri dengan sebuah pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya secara curian dari Su-ok. Pukulan ini jahat sekali dan wanita itu tidak kuat menerimanya, terjengkang, terbanting dan tewas seketika.

Suma Hui sudah marah sekali, tanpa banyak cakap sudah menerjang dan menyerang. Karena maklum akan kelihaian lawan, Suma Hui segera mainkan gabungan Ilmu Silat Pat-mo-kun dan Pat-sian-kun, karena baru ilmu inilah yang pernah dipelajarinya secara mendalam. Gerakannya lincah sekali dan kedua tangannya diisi dengan kedua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara berganti-ganti.

“Ha-ha-ha, engkau sudah siap untuk menyambutku, nona manis? Ha-ha-ha, mari kita main-main sebentar sebelum engkau kutangkap dan sekarang harus kupaksa engkau untuk melayaniku, mau atau tidak mau!” Di dalam kata-kata ini terkandung ejekan dan juga ancaman karena tokoh sesat ini benar-benar merasa jengkel melihat betapa gadis cucu Majikan Pulau Es ini berkali-kali dapat melepaskan diri dan merepotkannya saja.

Akan tetapi dia pun terkejut melihat ilmu silat yang sangat hebat itu. Juga dia harus berhati-hati terhadap sinkang yang bisa berubah-ubah sifatnya itu, dari lembek menjadi keras, dari dingin menjadi panas. Bagaimana pun juga, tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dan Suma Hui masih kurang matang ilmu-ilmunya, maka setelah bertanding selama lima puluh jurus lebih, mulailah dara itu terdesak hebat.

“Ha-ha, menyerahlah, manis. Perlu apa kau habiskan tenagamu? Masih kau butuhkan untuk melayani aku nanti, ha-ha-ha!” Kata-kata Siauw-ok makin cabul karena birahinya semakin bernyala, terdorong oleh arak dan juga oleh perkelahian itu.

Beberapa kali Suma Hui terhuyung. Diam-diam gadis ini mengambil keputusan bahwa sebelum ia tertawan, lebih baik ia membunuh diri saja. Ia akan melawan terus sampai napas terakhir. Pendeknya, ia hanya mempunyai dua pilihan. Lolos atau mati, dan tidak akan membiarkan dirinya tertawan kembali!

Tiba-tiba Siauw-ok mengeluarkan suara tawa dan tubuhnya lenyap, menjadi berpusing seperti gasing! Suma Hui terkejut dan menjadi bingung. Ilmu silat macam apakah ini? Tubuh orang itu berpusing sehingga ia tidak dapat melihat jelas bentuk tubuhnya dan dari dalam pusingan itu kadang-kadang mencuat cengkeraman tangan yang hendak menangkapnya dan jari-jari yang hendak menotoknya.

Dara itu tidak tahu bahwa itulah Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), ilmu curian yang berasal dari ilmu yang dimiliki Sam-ok. Sebelum Suma Hui dapat mengelak, tangan kanannya telah kena ditangkap! Gadis ini terkejut sekali, akan tetapi kembali pergelangan kirinya kena ditangkap! Ia menjadi gugup, tidak dapat ia membunuh diri setelah kedua tangannya ditangkap.

“Jahanam busuk, lepaskan dia!”

Tiba-tiba saja ada angin menyambar dahsyat ke arah kepala Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang datangnya dari belakang. Demikian hebatnya angin itu menyambar sehingga Siauw-ok terkejut bukan main. Dia tahu bahwa serangan yang ditujukan dari belakang ke arah kepalanya itu merupakan pukulan maut, maka terpaksa dia harus melepaskan cengkeramannya pada pergelangan kedua tangan gadis itu. Dia lalu membalik sambil merendahkan tubuhnya dan menggunakan kedua lengannya menangkis ke depan.

“Dessss....!”

Tubuh Siauw-ok terdorong ke belakang dan dia pun terhuyung. Dengan mata terbelalak dia memandang kepada penyerangnya. Bukan main kagetnya ketika mengenal pemuda ini sebagai putera Naga Sakti Gurun Pasir yang dilihatnya telah terlempar ke lautan dalam badai itu!

“Cin Liong....!” Teriakan Suma Hui ini terdengar penuh dengan rasa haru, gembira dan terkejut. Bukankah pemuda itu dikabarkan telah tewas?

“Cin Liong, jangan lepaskan jahanam itu!”

Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang agaknya melihat gelagat buruk, sudah menggerakkan kedua lengannya ke depan, ke arah dua orang muda itu. Terdengar bunyi bercuitan dan melihat ini, Cin Liong terkejut sekali.

“Hui-i.... awas....!”

Dan dia pun sudah menubruk maju dan menggerakkan kedua lengan menghadang dan menangkis pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan itu. Itulah Ilmu Jari Pedang atau Kiam-ci yang amat ampuh. Akan tetapi ketika tertangkis, kembali Siauw-ok terdorong ke belakang dan tiba-tiba tubuhnya telah meloncat keluar pintu, menggunakan kesempatan selagi Cin Liong melindungi Suma Hui dan menjauhi pintu tadi.

“Kejar dia....!” Suma Hui yang amat membenci pria itu berteriak.

Cin Liong juga meloncat mengejar. Akan tetapi, karena di luar gelap dan Siauw-ok tidak nampak lagi bayangannya, juga tidak diketahui ke arah mana larinya, dia pun kembali memasuki pondok itu.

Di situ dia melihat dua orang pelayan wanita setengah tua berlutut dan menangisi mayat seorang wanita yang mukanya penuh darah yang dimuntahkan dari mulutnya sendiri, sedangkan Suma Hui juga berlutut dan memeriksa wanita itu.

Dara itu bangkit berdiri ketika melihatnya, dan bertanya, “Bagaimana dengan jahanam itu?”

Cin Liong mengangkat dua pundaknya dan mengembangkan lengannya. “Di luar amat gelap dan dia sudah menghilang seperti setan.”

“Sayang....,” kata Suma Hui sambil menudingkan telunjuk ke arah mayat itu. “Ia adalah pemilik rumah ini dan ia telah berusaha menolong dan membebaskan aku.” Lalu Suma Hui mengguncang pundak seorang pelayan sambil bertanya, “Bibi, siapakah penjahat kejam itu tadi? Katakan padaku karena aku akan mencari dan membalaskan kematian majikan kalian.”

“Dia adalah teman lama dari toanio, seorang langganan yang sangat baik. Namanya Ouw-taiya.... Ouw Teng....”

“Dan julukannya adalah Jai-hwa Siauw-ok,” sambung orang ke dua.

Mendengar disebutnya julukan ini, Cin Liong kemudian mengerutkan alisnya. “Jai-hwa Siauw-ok....?”

“Engkau mengenal nama itu?” Suma Hui bertanya.

Cin Liong mengangguk, lalu berkata, “Hui-i, marilah kita pergi dari sini dan nanti kita bicara.”

Suma Hui mengangguk dan tanpa pamit mereka lalu pergi berloncatan meninggalkan dua orang pelayan wanita yang masih menangisi mayat Ang Bwee Nio-nio itu. Karena Suma Hui telah kehilangan semuanya, bahkan pakaian yang menempel di tubuhnya sudah amat kotor dan kusut, Cin Liong mengajaknya untuk memasuki kota Ceng-to dan bermalam di sebuah rumah penginapan, menggunakan dua kamar yang berdampingan.

Suma Hui hanya mengangguk menyetujui. Dia hanya dapat memandang dan menerima dengan penuh rasa haru dan terima kasih ketika pemuda itu datang membawakan beberapa stel pakaian baru untuknya, yang dibeli oleh pemuda itu dari toko.

“Cin Liong, sekarang ceritakanlah tentang adik-adikku. Apakah engkau melihat mereka? Bagaimana keadaan mereka?”

Pertanyaan ini sebetulnya sudah sejak ia bertemu dengan Cin Liong ingin ditanyakan, akan tetapi selalu ditahannya karena ia merasa ngeri untuk mendengar yang buruk-buruk. Kini, pertanyaan itu diajukan dengan suara penuh getaran dan sepasang mata itu memandang penuh duka dan gelisah. Semua ini terasa sekali oleh Cin Liong ketika dia mendengar pertanyaan itu.

Mereka duduk berhadapan di ruangan luar kamar mereka. Malam itu amat sunyi karena rumah penginapan itu pun sepi dan kosong. Mereka menghadapi meja dan saling pandang di bawah penerangan lampu gantung.

Wajah gadis itu nampak amat memelas bagi Cin Liong. Rambutnya masih kusut tidak tersisir rapi dan pakaian yang dipakainya itu tentu saja tidak cocok benar karena dibelinya dari toko, agak kelonggaran. Wajah yang cantik itu agak pucat dan matanya membayangkan kegelisahan yang mendalam.

Rasa iba menyelubungi sanubari Cin Liong. Ingin dia memegang kedua tangan yang diletakkan di atas meja itu, ingin dia merangkul dan menghibur gadis ini. Tapi gadis ini adalah bibinya! Bibinya!

Cin Liong menundukkan pandang matanya dan menarik napas panjang. Kemudian dia mengangkat muka memandang dan dari sinar matanya terpancar rasa iba.

“Sayang sekali, aku sendiri tidak tahu bagaimana keadaan mereka, Hui-i. Ketika kalian dikeroyok di atas perahu, aku telah lebih dulu terlempar keluar dan tercebur ke lautan, ditelan badai dan hanya kekuasaan Thian sajalah yang dapat menyelamatkan aku dari bencana maut di lautan yang ganas itu. Aku tidak melihat bagaimana keadaan kedua paman itu.” Lalu dia menceritakan pengalamannya ketika terlempar ke lautan sampai dia berhasil selamat dan akhirnya naik papan dan mendarat.

“Jadi engkau sama sekali tidak tahu bagaimana nasib kedua orang adikku?” Gadis itu memejamkan matanya dan menghapus air mata yang mulai menetes turun. “Menurut penuturan jahanam Siauw-ok itu, mereka.... mereka mungkin telah tewas. Ciang Bun terlempar ke lautan sedangkan Ceng Liong ditawan oleh Hek-i Mo-ong.”

“Ahh!” Cin Liong mengepal tinju, “mereka itu orang-orang jahat. Aku akan mengerahkan pasukan untuk mencari dan membasmi mereka semua itu!”

“Aku pun tidak akan berhenti sebelum menumpas mereka!” Suma Hui mengepal tinju, teringat akan kehancuran keluarga Pulau Es. Kemudian dipandangnya pemuda perkasa itu dan ia pun bertanya, “Bagaimana engkau dapat tiba di pondok itu dan menolongku, Cin Liong?”

“Hanya kebetulan saja, Hui-i. Baru kemarin aku mendarat dan memasuki kota. Setelah berganti pakaian dan memulihkan kekuatan, siang tadi aku mendatangi pantai di luar kota Ceng-to, untuk menyelidiki kalau-kalau ada di antara kalian bertiga yang selamat dan mendarat pula. Di dalam penyelidikan itulah, sore tadi aku mendengar percakapan dua orang nelayan yang katanya melihat seorang kakek memondong tubuh seorang gadis yang pingsan dan katanya kakek itu berlari cepat menyelinap di antara pohon-pohon. Mendengar ini, aku lalu melakukan pengejaran dan akhirnya aku tiba di pondok itu. Ketika aku melihat Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sedang makan minum di dalam pondok, aku pun merasa yakin bahwa tentu dia yang dilihat dua orang nelayan itu dan gadis yang pingsan itu tentu engkau. Maka aku pun masuk dan kebetulan sekali aku tiba pada saat yang tepat.”

“Cin Liong....,” Suma Hui menelan ludah, sukar agaknya melanjutkan kata-katanya.

“Ya, Hui-i?”

“Engkau.... engkau baik sekali, Cin Liong. Engkau telah membela kami, bahkan engkau telah berkali-kali menyelamatkan aku.”

“Ahhh, harap jangan berkata demikian, Hui-i. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku membela keluarga Pulau Es? Bukan keluarga sekali pun tentu akan kubela, karena bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang kejahatan?”

“Ya, tapi.... tapi....”

“Tapi apa, Hui-i?”

Seperti tanpa disadarinya, Suma Hui memegang tangan pemuda itu yang terletak di atas meja pula. Ia meremas jari-jari tangan itu. “Cin Liong.... berkali-kali aku terkenang akan hal itu.... engkau begini baik dan aku.... aku....”

Cin Liong merasa terharu bukan main ketika merasa betapa tangannya dipegang dan diremas-remas oleh gadis itu. Betapa lembutnya telapak tangan gadis itu, lembut hangat dan mengandung penuh getaran yang menggetarkan pula jantung Cin Liong.

“Engkau pun seorang gadis yang amat baik, Hui-i. Baik sekali....”

“Aku telah menamparmu berkali-kali....! Nah, itulah yang selalu terkenang dengan hati perih olehku, Cin Liong. Engkau hampir berkorban nyawa berkali-kali untuk membela kami, sedangkan aku sudah menghina dan menyakitimu. Maukah.... maukah engkau memaafkan aku, Cin Liong?” Di dalam suara itu terkandung isak.

Pemuda itu merasa semakin terharu dan dia pun balas meremas tangan yang lembut itu sehingga jari-jari tangan mereka saling bertautan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Hui-i. Sudah sepatutnya engkau menamparku, karena memang aku telah menyakitkan hatimu. Bahkan sekarang pun aku bersedia andai kata engkau hendak menambah beberapa tamparan lagi.”

“Ih, jangan begitu, Cin Liong. Aku sungguh menyesal, dan aku minta maaf. Penyesalan itu selamanya akan mengganggu hatiku sebelum engkau memberikan maafmu.” Sambil berkata demikian, gadis itu memandang kepada wajah Cin Liong dengan sinar mata penuh permohonan.

Cin Liong tidak tega membiarkan gadis itu tenggelam dalam penyesalan diri. “Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Aku maafkan semua perbuatanmu, Hui-i.”

Wajah yang cantik itu menjadi berseri-seri dan tiba-tiba saja, seolah-olah baru melihat betapa tangannya saling cengkeram dengan tangan pemuda itu, perlahan-lahan Suma Hui menarik kembali tangannya. “Ahh, engkau memang baik sekali, Cin Liong. Belum pernah selama hidup aku bertemu dengan seorang yang baik seperti engkau.”

“Jangan terlalu memuji, Hui-i. Engkau sendiri pun seorang gadis yang teramat baik.”

Suma Hui tersenyum. “Ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau rendah hati. Mana mungkin seorang gadis buruk watak seperti aku ini kau katakan baik?”

“Sungguh, Hui-i, aku bicara setulusnya, keluar dari dalam lubuk hatiku.”

Wajah yang manis itu menjadi semakin merah dan kini Suma Hui menunduk. “Bagiku, engkau adalah orang yang paling baik di dunia ini.”

“Bagiku, engkau pun demikian, Hui-i.”

“Ihh, benarkah itu? Tidak ada lain gadis yang seperti aku?”

“Banyak gadis di dunia ini, akan tetapi bagiku tidak ada yang seperti engkau, Hui-i.”

Hening sejenak dan gadis itu menunduk, agaknya kini ia hampir tidak berani menentang pandang mata pemuda itu karena ia melihat sesuatu dalam pandang mata itu yang membuatnya menjadi malu dan bingung.

“Cin Liong....”

“Apa yang hendak kau katakan, Hui-i?”

“Kulihat engkau sudah lebih dari dewasa....”

“Usiaku sudah hampir tiga puluh tahun, Hui-i.”

“Kiranya sudah lebih dari cukup untuk.... menikah.”

“Sudah lebih dari cukup, terlambat malah.”

“Lalu kenapa sampai kini engkau belum menikah?” Kini gadis itu berani mengangkat muka memandang dan sebaliknya malah Cin Liong yang kini menundukkan mukanya.

Beberapa kali pemuda ini menarik napas panjang. Pertanyaan Suma Hui itu seolah-olah merupakan serangan ujung tombak ke arah hatinya dan membuat dia mau tidak mau teringat kembali kepada Bu Ci Sian, gadis pertama yang pernah merampas hatinya akan tetapi kemudian gagal menjadi jodohnya. Akan tetapi dengan cepat dia mengusir bayangan itu dari ingatannya karena Bu Ci Sian kini telah menjadi isteri orang lain, isteri Pendekar Suling Emas Kam Hong.

“Hui-i, tadinya aku mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya, akan tetapi setelah aku berjumpa denganmu....”

“Ya, bagaimana, Cin Liong?”

“Pendirianku lalu goyah....” Kini Cin Liong yang mengulur tangan dan memegang tangan Suma Hui di atas meja itu, dipegangnya dengan lembut seperti memegang seekor anak burung yang lemah. “Sejak bertemu denganmu, aku tahu bahwa aku ingin menikah.... aku ingin dapat hidup bersama denganmu selamanya, Hui-i....”

“Cin Liong....!” Tangan dalam genggaman Cin Liong itu menggelepar bagai anak burung ketakutan, namun tangan itu tidak ditarik seperti tadi dan gadis itu menunduk dengan muka merah sekali, lalu perlahan-lahan menjadi pucat dan dua titik air mata mengalir turun.

“Maafkanlah aku jika menyinggung perasaan hatimu, Hui-i,” kata Cin Liong, wajahnya agak pucat karena pemuda ini dilanda kekhawatiran kalau-kalau dia harus mengalami patah hati yang amat pahit untuk kedua kalinya setelah dahulu dia pernah patah hati karena cintanya ditolak oleh Bu Ci Sian.

“Tidak ada yang harus dimaafkan dan engkau tidak menyinggung, Cin Liong. Akan tetapi.... lupakah engkau bahwa.... bahwa aku ini bibimu dan engkau keponakanku? Ayahku, Suma Kian Lee dan ibumu, Wan Ceng, keduanya adalah putera dan cucu dari nenek Lulu. Setidaknya, kita berdua adalah darah dari mendiang nenek Lulu....”

“Itulah yang selama ini menjadi ganjalan hatiku, Hui-i. Kita adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan usiaku lebih tua darimu, tetapi.... mengapa engkau malah menjadi bibiku?”

“Kita harus dapat melihat kenyataan itu, Cin Liong. Kiranya.... tidak mnngkin kalau di antara kita ada ikatan.... perjodohan....”

“Kenapa tak mungkin, Hui-i? Apa salahnya? Jika kita sudah sama-sama mencinta, apa lagi halangannya? Bagaimana pun juga, hubungan kekeluargaan antara kita terhitung jauh, karena kakek kita berbeda, dan she (marga) kita pun berbeda. Engkau she Suma sedangkan aku she Kao, sungguh sudah amat jauh terpisahnya. Hui-i, terus terang saja, aku cinta padamu, Hui-i, dan kalau aku tidak salah pandang, kalau perasaan hatiku tidak menipuku, engkau pun cinta padaku!”

“Cin Liong....!” Kini gadis itu terisak dan menutupi mukanya dengan tangan.

“Hui-i, harap jangan menangis. Kenapa berduka? Mengenai rintangan itu, jika memang kita sudah sama-sama mencinta, marilah kita hadapi bersama! Apa pun kesulitan dan kesukarannya yang akan kita tempuh, kita hadapi bersama. Maukah engkau, Hui-i?”

Suma Hui membuka tangannya dan memandang dengan muka basah air mata, bahkan kini air mata masih bercucuran keluar dari kedua matanya, lalu ia menarik tangannya dan bangkit berdiri, berkata dengan suara lirih dan parau, “Jangan bicarakan hal itu sekarang, Cin Liong. Berilah waktu padaku untuk berpikir. Aku sedang dilanda duka, karena kehilangan keluarga nenek moyang di Pulau Es, karena kehilangan kedua orang adikku yang masih belum kita ketahui bagaimana nasibnya. Dan kita dihadapkan pula dengan kenyataan adanya hubungan keluarga antara kita. Aku menjadi bingung, berilah waktu padaku, Cin Liong....”

Cin Liong menjura. “Maafkan aku, Hui-i. Memang seharusnya kalau engkau beristirahat. Nah, tidurlah, Hui-i. Urusan ini dapat kita bicarakan kelak, kalau engkau menghendaki.”

Suma Hui mengangguk dan memandang dengan sayu, kemudian dia melangkah lesu memasuki kamarnya.

Akan tetapi, dua orang muda itu tidur dengan gelisah sekali, tenggelam dalam lamunan masing-masing, lamunan yang bahkan tak dapat dikatakan sedap atau menyenangkan. Masalah-masalah berdatangan kepada mereka, bertumpuk dan saling susul-menyusul. Kedukaan dan kegelisahan bertumpuk-tumpuk. Dan kini mereka dihadapkan kepada kenyataan yang sungguh membingungkan dan mendatangkan rasa duka dan khawatir. Mereka saling mencinta, padahal mereka adalah bibi dan keponakan!

Cin Liong gelisah dan tak dapat tidur. Beberapa kali dia bangkit dan bangun, duduk termenung memikirkan nasibnya. Sebagai seorang jenderal muda, dia dapat dibilang berhasil baik sekali. Kedudukannya tinggi dan terhormat, juga dipercaya oleh kaisar. Di bidang ini dia memang beruntung sekali, juga dia tidak pernah kekurangan harta benda.

Sesungguhnya, harus diakuinya bahwa hidupnya cukup terhormat, mulia, berkecukupan dan menyenangkan. Namun di bidang cinta, ternyata dia tidak beruntung. Kegagalannya yang pertama ketika ia jatuh cinta kepada Bu Ci Sian sudah terasa amat berat, dan luka yang dideritanya sampai bertahun-tahun masih terasa.

Bagi seorang pendekar, perasaan hati merupakan sesuatu yang teguh. Kalau sekali mencinta, maka cintanya itu tak akan rapuh melainkan kokoh kuat pula seperti keadaan jasmaninya yang tergembleng. Maka kegagalan cintanya itu membuatnya hampir jera untuk mendekati wanita lain, bahkan dia mengambil keputusan untuk tidak menikah saja.

Ayah dan ibunya sudah berkali-kali mendesaknya, akan tetapi dia berkeras menyatakan belum ingin menikah. Bahkan ayah ibunya menganjurkan kepadanya untuk mengambil selir saja kalau belum menemukan seorang gadis yang dianggap cocok untuk menjadi isterinya. Akan tetapi Cin Liong tetap saja menolak bujukan mereka walau pun dia tahu bahwa ayah bundanya itu sudah rindu sekali untuk menimang seorang cucu!

Di dalam kehidupan terdapat bermacam kebutuhan yang kesemuanya amat penting. Kecukupan lahiriah berupa pangan dan papan. Kesehatan jasmani. Kerukunan dalam keluarga, dan sebagainya lagi. Semua itu merupakan bagian-bagian dari kelompok yang dinamakan keperluan atau kebutuhan hidup. Dan kesemuanya itu perlu, tidak kalah pentingnya dari bagian yang lain.

Mementingkan satu bagian saja merupakan kebodohan karena yang satu harus ditutup oleh yang lain. Orang yang hidupnya kaya raya dan serba kecukupan, tetap saja akan menderita dalam hidupnya kalau kesehatannya terganggu. Orang yang sehat sekali pun tetap akan menderita kalau kekurangan makan dan pakaian. Bahkan orang yang sehat dan kaya sekali pun akan hidup menderita kalau tidak mempunyai kerukunan dalam keluarga.

Di waktu sakit berat, orang yang kaya raya akan rela kehilangan semua kekayaannya asalkan dia dapat sembuh. Sebaliknya, orang sehat melupakan segala dan mati-matian mempertaruhkan kesehatannya demi mengejar dan menumpuk harta benda.

Demikianlah kenyataannya, hidup ini merupakan sekelompok kebutuhan-kebutuhan yang memang mutlak penting. Akan tetapi, biar pun mementingkan yang satu saja tanpa memperdulikan yang lain merupakan kebodohan, dan mengabaikan kesemuanya merupakan sikap lemah yang bodoh, sebaliknya terlalu mengejar kesemuanya itu pun akan menjerumuskan!

Banyak orang beranggapan bahwa kalau sudah kaya raya dan berkedudukan tinggi, tentu orang akan hidup bahagia. Karena itu, semua orang lalu berlomba-lomba untuk mengejar kekayaan dan kedudukan. Padahal, semua yang digambarkan sebagai kebahagiaan itu sesungguhnya hanya bayangan kesenangan belaka. Dan kesenangan itu selalu hanya dirasakan oleh orang yang belum mencapai atau memilikinya.

Kalau kita menjenguk ke dalam kehidupan orang-orang berkedudukan tinggi atau kaya, barulah kita akan melihat bahwa gambaran khayal dari kita bahwa mereka itu hidup bahagia adalah keliru sama sekali. Bahkan mereka itu sudah tidak lagi dapat merasakan kesenangan atau menikmati hartanya mau pun kedudukannya, atau setidaknya, tidak seindah atau senikmat ketika mereka membayangkannya sebelum memilikinya.

Sesungguhnyalah bahwa kesenangan dapat dicari, namun kebahagiaan tidak! Yang bisa dikejar dan dicari hanyalah kesenangan, tapi kesenangan ini amat pendek umurnya dan tempatnya selalu diperebutkan oleh kebosanan, kekecewaan dan kesusahan!

Bukanlah berarti bahwa kita harus menolak kesenangan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang bertapa di puncak gunung. Mereka ini justru mencari kesenangan dengan cara lain, yaitu cara menyiksa diri atau cara menolak kesenangan lahiriah untuk mencari kesenangan batiniah yang pada hakekatnya sama juga! Tidak menolak!

Kesenangan hidup adalah kenikmatan yang telah menjadi hak kita untuk menikmatinya. Tubuh kita sejak lahir sudah dilengkapi dengan alat-alat untuk menikmati kesenangan hidup melalui panca indra. Bukan menolak, melainkan tidak mengejar-ngejar! Kalau ada kesenangan itu, kita nikmati sebagai anugerah, namun dalam keadaan tetap waspada sehingga kita tidak menjadi mabok kesenangan dan menjadi buta. Namun, kalau tidak ada, kita tidak mengejar-ngejarnya, yang biasanya diberi pakaian kata muluk ‘cita-cita’.

Dan, kalau kita sudah bebas dari pengejaran ini, di dalam segala sesuatu terdapat keindahan, kenikmatan yang menyenangkan itu! Di dalam segelas air sekali pun, di dalam hal-hal yang biasanya dipandang sebagai hal sederhana yang tak berarti, akan nampak sesuatu yang amat indah, menyenangkan dan mendatangkan nikmat hidup.

********************

Di luar kota Cin-an, hanya lima belas li jauhnya dari kota Cin-an, terdapat sebuah dusun yang makmur walau pun rakyatnya hidup sederhana. Dusun ini bernama Hong-cun, terletak di lembah Sungai Huang-ho yang subur. Rakyatnya bercocok tanam, kadang-kadang kalau tanaman sudah tidak membutuhkan penggarapan lagi, mereka pergi mencari ikan sebagai kaum nelayan yang pandai.

Di dusun ini tinggal seorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw, akan tetapi karena pendekar ini sejak belasan tahun lamanya tidak pernah menonjolkan dirinya di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang tahu bahwa warga dusun Hong-cun itu adalah seorang pendekar yang pernah menjadi buah bibir semua tokoh dunia persilatan dan disebut-sebut namanya dengan wajah pucat ketakutan sebagai Pendekar Siluman Kecil!

Ya, pendekar itu memang Pendekar Siluman Kecil yang bernama Suma Kian Bu, putera tunggal dari Pendekar Super Sakti dan isterinya, Puteri Nirahai, dari Pulau Es. Suma Kian Bu mirip dengan ayahnya, dengan rambut yang dibiarkan panjang beriapan dan semua telah menjadi putih seperti benang-benang perak. Kini usianya sudah empat puluh enam tahun, namun bentuk tubuhnya masih tegap dan amat gagah perkasa dan kuat seperti tubuh orang muda. Hanya rambut putih itu saja yang membuat dia pantas kalau dikatakan bahwa usianya hampir setengah abad.

Isterinya pun bukan orang sembarangan, karena isterinya yang bernama Teng Siang In dan yang telah berusia empat puluh empat tahun itu pun dahulu terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Para pembaca serial cerita Suling Emas sampai Pendekar Super Sakti dan keturunannya tentu sudah mengenal baik siapa Suma Kian Bu ini! Selain berdarah pendekar majikan Pulau Es, juga dari ibunya dia masih berdarah keluarga kaisar karena ibunya adalah seorang puteri dan panglima lagi. Dan pendekar inilah yang merupakan putera Pendekar Super Sakti yang paling lihai.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es