KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-08


Teriakan penuh kekaguman ini menarik perhatian semua orang. Bahkan Hek-i Mo-ong sendiri, yang tertegun mendengar ucapan See-thian Coa-ong tadi, menoleh dan dia melihat seorang kakek pengemis sedang memeriksa tubuh Ceng Liong yang tergantung jungkir balik. Kakek itu memutar-mutar tubuh itu, menyentuh sana-sini dan berulang ulang mengeluarkan pujiannya.

“Aih, tengkoraknya menandakan bahwa otaknya melebihi otak anak biasa, menjendol di sini, rata di sini.... ahh, dan telinga ini! Hemmm.... tulang yang kuat dan bersih, bukan main!”

Kakek itu tentu usianya tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan dilihat dari pakaiannya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pengemis. Pakaian yang tambal-tambalan kusut dan rambut awut-awutan. Tubuhnya tinggi kurus bagaikan orang yang selalu kekurangan makan. Matanya lebar kadang-kadang terbelalak. Ketiak kirinya mengempit sebatang tongkat bambu, dan di pinggangnya tergantung sebuah kantung butut yang berisi sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan dan sebuah mangkok retak.

Meski kakek ini nampak demikian miskin sederhana, namun Hek-i Mo-ong mengenalnya sebagai seorang tokoh kang-ouw yang juga berdiri bebas seperti See-thian Coa-ong Nilagangga. Tokoh pengemis ini termasuk seorang tokoh ugal-ugalan yang aneh, tidak pernah berpihak sana-sini. Akan tetapi dia merupakan seorang tokoh yang terkenal sekali di daerah selatan.

Dialah Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Aneh) Bhok Sun, seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan menganggap dunia inilah tempat tinggalnya, tanah menjadi lantainya, langit menjadi atapnya. Maka, walau pun dia ini merupakan seorang tokoh di daerah selatan, tidak aneh melihat dia kini tiba-tiba muncul di tempat yang jauh di utara.

Melihat kakek ini meraba-raba dan memuji-muji Ceng Liong, semua orang tertarik dan mereka mulai mendekati anak itu dan merubungnya.

“Darahnya murni dan ada hawa sinkang yang sangat luar biasa di dalam tubuhnya, berpusat di pusar dan mengalir di seluruh tubuh! Demi iblis, belum pernah aku melihat yang seperti ini!”

See-thian Coa-ong Nilagangga menjadi tertarik sekali dan dia pun mendekat. Kepala ular cobra yang melingkari lehernya itu terjulur dan hampir saja menyentuh muka Ceng Liong, akan tetapi anak ini sedikit pun tidak kelihatan takut, bahkan dengan sepasang matanya yang tajam dia memandang kepala ular itu dan sungguh aneh, ular itu nampak gelisah dan berusaha menjauhkan kepalanya saat See-thian Coa-ong mendekati Ceng Liong, seolah-olah ada sesuatu pada diri anak itu yang membuat binatang itu gelisah.

Segera terdengar seruan-seruan kagum dari See-thian Coa-ong dalam bahasa asing. Hek-i Mo-ong mengerti apa yang diucapkan oleh See-thian Coa-ong itu.

“Aihhh, Raja Cobra sampai takut terhadap anak ini! Bukan main....!” Dia meraba-raba kepala dan leher serta pundak Ceng Liong, lalu melanjutkan, “....memang hebat! Anak ini tubuhnya sekuat naga!”

Bagaikan dua orang kakek yang hendak membeli seekor ayam jago aduan, Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba dan memeriksa Ceng Liong, menekan perutnya, memijat dada dan pundak, membelai kaki tangan, melihat mata, hidung, mulut dan telinga, meraba tulang-tulangnya.

“Ha-ha-ha, Raja Ular, ternyata matamu tajam juga dapat mengenal seorang sin-tong (anak ajaib) yang bertulang dewa!” Kakek Pengemis itu tertawa.

“Siapa yang tidak mengenal senjata pusaka adalah seorang tolol dan buta! Dan anak ini lebih berharga dari pada sebuah senjata pusaka! Jika kuberi kepandaianku kepadanya, dia bisa menjadi sepuluh kali lebih pandai dari pada aku. Dia akan menjadi murid yang terbaik di dunia ini!”

“Eeiitt, eeitt, Coa-ong, enak saja kau bicara! Akulah orang pertama yang menemukan bakat anak ini dan akulah yang patut menjadi gurunya!” Koai-tung Sin-kai Bhak Sun berkata dengan nada suara tidak senang, juga tangannya mendorong ke arah See-thian Coa-ong. Biar pun tangan kanannya hanya mendorong biasa saja, namun keluarlah angin pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah Raja Ular.

“Hemm, belum tentu dia suka menjadi muridmu, jembel tua!” jawab See-thian Coa-ong dan kakek ini pun menggerakkan lengan menangkis.

“Dukkk....!”

Orang-orang yang berada agak dekat dengan tempat itu merasakan betapa hebatnya getaran yang ditimbulkan oleh adu tenaga melalui lengan itu dan kedua orang kakek yang saling mengadu lengan itu pun tergetar mundur dua langkah, masing-masing terkejut melihat kekuatan lawan.

“Bocah itu cucu keluarga Pulau Es, harus dibunuh!”

Teriakan seorang di antara para tokoh kaum sesat yang mendendam kepada keluarga Pulau Es ini merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan dan dendam di antara kaum sesat hingga mereka pun berteriak-teriak, mencabut senjata dan menyerbu untuk membunuh Ceng Liong yang masih bergantung dengan jungkir balik.

Sejak tadi Ceng Liong membuka mata dan telinga, mendengar dan melihat dengan jelas segala yang terjadi di sekelilingnya. Dia tidak merasa terkejut mau pun bangga ketika Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba tubuhnya dan memuji-mujinya, karena kakek dan dua orang neneknya sendiri pernah mengatakan bahwa dia memiliki bakat yang baik sekali untuk ilmu silat. Justeru karena itulah maka mendiang kakeknya telah mewariskan hawa murni sumber tenaga sakti kepada dirinya.

Sekarang dia melihat gerakan kaum sesat itu dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Akan tetapi dia tidak merasa takut, hanya membayangkan kakek dan kedua orang neneknya seolah-olah dia sudah menikmati bayangan akan bertemu dan berkumpul lagi dengan mereka! Tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun kini Ceng Liong menjadi penonton dari keributan itu.

“Tidak boleh! Benda pusaka tidak boleh dirusak!” See-thian Coa-ong membentak dan kakek ini menghadang penyerbuan para tokoh sesat itu.

“Siapa yang berani mengganggu calon muridku?” Koai-tung Sin-kai juga membentak dan berdiri menghadang, melindungi Ceng Liong.

“Dia musuh besar! Bunuh!”

“Semua keluarga Pulau Es harus dibasmi! Serbu....!”

Dan dua puluh orang lebih tokoh-tokoh sesat sudah menyerbu! See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai menyambut mereka dengan tendangan sehingga pertempuran yang seru pun terjadilah. Dua orang kakek itu memang amat lihai sehingga dalam beberapa gebrakan saja sudah ada empat orang tokoh sesat yang terjungkal roboh, terkena hantaman tangan Coa-ong dan kemplangan tongkat bambu Sin-kai. Akan tetapi, para pengeroyok itu pun rata-rata mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dua orang kakek itu mulai terdesak hebat.

Ceng Liong menonton semua ini dan dia pun melirik ke arah Hek-i Mo-ong. Sungguh mengherankan sekali sikap kakek ini. Dia hanya berdiri dengan sikap tenang, bahkan tersenyum mengejek melihat perkelahian antara teman sendiri itu. Sebenarnya, kakek ini masih terpengaruh oleh pujian-pujian yang dikeluarkan oleh dua mulut Sin-kai dan Coa-ong tadi dan diam-diam dia pun berpikir. Semua ucapan Coa-ong tadi tidak keliru.

Musuh-musuhnya masih sangat banyak dan mereka itu sakti-sakti. Apalagi Pendekar Suling Emas Kam Hong yang pernah mengalahkannya. Juga Naga Sakti Gurun Pasir, dan keluarga Bu-taihiap. Mungkinkah dia bisa mengalahkan mereka itu? Dan dia sudah semakin tua, dan murid-muridnya yang terpercaya sudah habis, tinggal murid-murid yang tidak ada artinya. Juga dia tidak mempunyai keturunan yang dapat membantunya, atau yang akan membalaskan kalau sampai dia kalah oleh musuh-musuhnya itu.

Anak itu merupakan seorang sin-tong, seorang anak ajaib. Dia pun sudah menduga akan hal itu dan kini dugaannya diperkuat oleh dua orang kakek itu. Kalau ilmunya diturunkan kepada seorang anak ajaib, tentu anak itu akan menjadi beberapa kali lipat lebih pandai dari padanya. Anak seperti itulah yang akan dapat membelanya dan membantunya kelak! Dan alangkah senang hatinya kalau dia dapat mendidik anak ini untuk kelak dipergunakan melawan keluarga Pulau Es. Dan dia tentu dapat menguasai anak ini melalui kekuatan sihirnya!

Hek-i Mo-ong menonton sambil tersenyum mengejek melihat betapa See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai kini repot sekali menghadapi pengeroyokan belasan orang tokoh sesat itu. Namun, mereka berdua mempertahankan diri dan para pengeroyok juga tidak berani terlalu dekat karena dua orang itu memang memiliki kepandaian yang lihai sekali.

“Pengkhianat-pengkhianat busuk!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan itu.

Tubuhnya sudah berkelebat ke depan, tombak Long-ge-pang di tangannya menyambar ke arah Koai-tung Sin-kai dan kipas merahnya menotok ke arah See-thian Coa-ong. Walau pun tombaknya ini bukan tombak pusaka asli seperti yang biasa dipergunakan karena tombak asli itu telah patah-patah ketika dia menyerang Pendekar Super Sakti, namun tombak biasa ini pun menjadi amat ampuh dan berbahaya karena digerakkan oleh tangannya yang amat kuat.

“Tranggg....!”

Tongkat bambu itu menangkis, sedangkan suara nyaring itu adalah suara tombak yang tertangkis. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya tenaga kakek pengemis yang membuat tongkat bambu itu menjadi keras dan kuat menangkis tombak baja. Akan tetapi akibatnya, tubuh kakek pengemis itu terpelanting dan nyaris kepalanya kena bacokan golok seorang tokoh sesat kalau dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya dan mengangkat tongkatnya menangkis, lalu meloncat bangun lagi.

“Brettttt....!”

Totokan gagang kipas merah yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong tadi dapat dielakkan oleh See-thian Coa-ong, akan tetapi tetap saja ujung cawatnya terobek sehingga cawat yang merupakan satu-satunya kain penutup tubuhnya itu hampir terlepas. Tentu saja See-thian Coa-ong terkejut dan cepat-cepat meloncat, menjauhi Hek-i Mo-ong sambil membereskan lagi cawatnya.

See-thian Coa-ong maklum bahwa dia tidak akan bisa menang melawan Hek-i Mo-ong, maka dia pun sudah meloncat jauh dan sambil lari meninggalkan tempat itu dia berkata, “Raja Iblis, silakan kalau engkau mau membunuh anak itu. Akan tetapi hal itu hanya membuktikan kebodohanmu!”

Koai-tung Sin-kai juga sudah menjauhkan diri. “Engkau akan menyesal jika membunuh sin-tong itu, Mo-ong! Betapa tololnya merusak benda pusaka!”

Dan dia pun segera melarikan diri, menyeret tongkat bambunya karena maklum bahwa jika melanjutkan usahanya melindungi anak yang amat dikaguminya itu, melawan Hek-i Mo-ong dan para tokoh sesat itu, sama artinya dengan bunuh diri.

“Bunuh bocah setan itu!” Kini para tokoh sesat maju menyerbu karena mereka marah melihat betapa teman-teman mereka ada yang roboh terluka parah oleh dua orang kakek tadi yang melindungi Ceng Liong.

“Bunuh keturunan Pulau Es!”

Enam orang tokoh sesat menerjang dengan senjata mereka, agaknya saking marah dan sakit hati, mereka itu tidak lagi mengenal malu dan melakukan pengeroyokan terhadap seorang anak kecil yang sudah tergantung tak berdaya. Agaknya sebelum mencincang tubuh anak itu mereka takkan merasa puas.

Seperti juga tadi, menghadapi serangan keenam orang ini, melihat berkelebatnya sinar senjata dari semua jurusan, Ceng Liong tetap membelalakkan matanya dengan penuh keberanian. Dia memang ingin menyambut kematian dengan mata terbuka, seperti yang sering dianjurkan oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai, bahwa seorang pendekar harus selalu tenang dan tabah, bahkan ketika menghadapi kematian sekali pun harus berani menyambut kematian dengan mata terbuka! Maka sekarang dia pun membelalakkan matanya, ingin mati dalam keadaan melek!

Akan tetapi dia melihat sinar terang berkelebatan di sekeliling dirinya dan melihat enam orang itu terpelanting ke kanan kiri. Senjata mereka terlempar setelah mengeluarkan bunyi nyaring. Mereka pun mengaduh-aduh karena tangkisan-tangkisan itu membuat mereka roboh dan terluka.

Kiranya, dalam keadaan yang teramat gawat bagi keselamatan Ceng Liong itu, Hek-i Mo-ong telah turun tangan menangkis dan langsung balas menyerang kepada enam orang itu sehingga mereka roboh terluka. Semua tokoh sesat tentu saja terkejut sekali dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan mata melotot.

“Dia ini tawananku, dia ini milikku! Siapa pun tak boleh mengganggunya dan yang boleh menentukan mati hidupmya hanyalah aku seorang!” Hek-i Mo-ong membentak sambil melintangkan tombak Long-ge-pang yang amat hebat itu.

“Tetapi, Mo-ong, engkau harus segera membunuh bocah keturunan Pulau Es ini agar kelak dia tidak akan menyusahkan kita!” terdengar beberapa orang tokoh memprotes.

“Dengarlah kalian semua, kawan-kawan!” Hek-i Mo-ong berteriak nyaring. “Akulah orang yang telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es dan berhasil. Tawanan ini adalah milikku dan akulah yang berhak menentukan apa yang akan kulakukan dengan dirinya!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar dia lalu menghampiri tubuh Ceng Liong yang masih tergantung jungkir balik itu.

Ceng Liong telah menyaksikan semua itu dan dia tahu bahwa sudah dua kali nyawanya tertolong oleh Hek-i Mo-ong. Dia teringat akan nasehat mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti Suma Han bahwa seorang manusia harus mengingat budi orang dan melupakan dendam. Maka ketika kakek iblis itu mendekat, pandang matanya terhadap kakek itu pun ramah.

Hal ini terasa benar oleh Hek-i Mo-ong, maka kakek ini lalu bertanya kasar, “Mau apa engkau memandangku dengan senyum-senyum?”

“Hek-i Mo-ong, aku berhutang nyawa dua kali padamu,” jawab Ceng Liong.

Orang seperti iblis ini mana memperdulikan tentang budi? Dia hanya mendengus dan tiba-tiba menggerakkan kipasnya dan gagang kipas itu menotok jalan darah di pundak kanan anak itu. Dia menotok bukan untuk membunuh melainkan hanya untuk menyiksa.

Totokan pada jalan darah itu akan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan dia memang ingin memaksa anak ini melolong-lolong kesakitan. Sikap anak ini yang begitu keras dan berani dianggapnya sebagai tantangan dan dia ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa dia seoranglah yang akan mampu menundukkan anak ini.

“Tukkk....!”

Raja Iblis itu terkejut dan hampir saja dia berteriak kalau dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak orang. Dia menelan kekagetannya agar semua orang tidak tahu apa yang telah terjadi. Bagaimana dia tidak menjadi kaget sekali kalau jari tangannya ketika menotok pundak itu bertemu dengan hawa sinkang yang amat kuat, yang menolak tenaga totokannya, membuat pundak itu seperti dilindungi oleh kulit yang amat kuat dan kebal?

Akan tetapi Ceng Liong nampaknya tidak tahu akan hal ini! Memang sesungguhnyalah. Sumber tenaga sakti yang berada di tubuhnya telah bekerja sedemikian kuatnya ketika dia tergantung jungkir balik itu, yang membuat panca inderanya menjadi amat tajam dan peka, tetapi juga membuat tenaga sinkang di tubuhnya itu secara otomatis bergerak sendiri ketika tubuhnya diserang dan dapat melindunginya.

Dan semua ini terjadi di luar kesadaran Ceng Liong. Anak ini bahkan tidak tahu bahwa dirinya baru saja ditotok dan kakek iblis itu bermaksud untuk menyiksanya. Dia hanya merasa betapa pundaknya disentuh dan sentuhan ini malah dianggapnya sebagai sikap bersahabat dari kakek itu kepadanya.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong diam-diam berpikir. Semenjak dia tadi mendengar dan melihat See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai memuji-muji Ceng Liong, hatinya jadi tergerak. Dia pun melihat kenyataan, betapa banyaknya musuh yang amat lihai dan harus diakuinya bahwa seorang diri saja kiranya tak mungkin bagi dia untuk menandingi semua musuh-musuhnya itu.

Kalau saja dia bisa dibantu oleh seorang yang memiliki bakat seperti anak ini! Kalau saja anak ini dapat menjadi muridnya dan kelak membelanya! Juga, dengan adanya anak ini di tangannya, anak ini dapat menjadi semacam sandera, semacam perisai baginya apabila sewaktu-waktu dia didesak oleh keluarga Pulau Es. Dia harus dapat menguasai anak ini dengan sihirnya!

Maka dia pun segera mengerahkan kekuatan sihirnya dan memandang wajah anak itu, berusaha menguasai pandang matanya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga memerintahkan anak itu untuk tidur. Akan tetapi, kembali dia mengalami hal yang amat aneh. Ada tenaga penolakan yang amat kuat sekali pada pandang mata anak itu dan dia merasa jantungnya tergetar hebat! Sedemikian hebatnya getaran itu sehingga cepat-cepat dia menghentikan pengerahan tenaga sihirnya, karena kalau dilanjutkan, entah siapa yang akan celaka, dia ataukah anak itu!

Dia teringat bahwa anak ini adalah cucu dari Pendekar Siluman yang memiliki kekuatan sihir luar biasa, maka diam-diam dia merasa ngeri sendiri. Benar kata dua orang kakek tadi. Anak ini adalah seorang anak luar biasa dan kalau dapat menjadi muridnya, dia seperti mendapatkan sebuah senjata pusaka yang amat ampuh dan yang akan mampu melindunginya!

Ceng Liong sendiri tidak sadar bahwa kembali dia telah diserang dengan kekuatan sihir. Dia hanya merasa betapa tajamnya pandang mata kakek iblis itu. Akan tetapi hal ini dianggapnya sebagai hal yang patut dikagumi. Dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang yang amat lihai dan sakti, penuh wibawa, tak seperti tokoh-tokoh sesat lainnya. Biar pun dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang tokoh sesat, akan tetapi seorang tokoh yang tinggi tingkatnya, bukan manusia sembarangan saja.

“Mo-ong, sekali waktu aku pasti akan membalas budimu yang dua kali itu,” kata Ceng Liong lagi.

Sementara itu, semua tokoh sesat dan anak buahnya sudah mengepung tempat itu dan pada wajah mereka terbayang rasa penasaran. Mereka tadi ikut gembira mendengar akan terbasminya Pulau Es dan para penghuninya dan mereka sudah mengharapkan akan dapat melihat cucu dalam Pendekar Super Sakti itu disiksa di depan mata mereka sampai mati. Apalagi mengingat betapa anak ini telah menjadi sebab keributan dan perkelahian di antara mereka sendiri yang menjatuhkan banyak korban pula.

Yang lebih penasaran dan sakit hati adalah para tokoh dan anak buah Eng-jiauw-pang yang telah kehilangan ketua mereka yang tewas di tangan Kao Cin Liong ketika ketua mereka ikut menyerbu ke Pulau Es. Juga para tokoh dan anak buah Im-yang-pai karena ketua mereka, Ngo-bwe Sai-kong yang tewas oleh nenek Lulu di Pulau Es, merasa sakit hati dan mereka ingin melihat cucu Pendekar Super Sakti itu segera mati di depan mata mereka.

“Harap Mo-ong cepat menyiksa dan membunuhnya, terserah bagaimana pun caranya!”

Ucapan ini mendapat dukungan banyak orang dan keadaan menjadi bising kembali. Wajah orang-orang itu menjadi beringas dan sikap mereka mengancam ketika mereka semua memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.

Hek-i Mo-ong memandang kepada mereka dan mengeluarkan kata-kata yang lantang, “Sobat-sobat semua! Aku mengundang kalian berkumpul di sini hanya untuk memberi tahukan kabar keberhasilan kami menyerbu Pulau Es. Sepatutnya kalian bergembira tentang itu dan berterima kasih kepadaku. Sekarang aku hendak pergi dulu, membawa bocah ini dan mengenai dia, serahkan saja kepadaku karena akulah yang berhak atas dirinya. Nah, sakarang aku akan pergi dan jangan kalian menggangguku lagi!”

Setelah berkata demikian, sekali renggut Hek-i Mo-ong telah mematahkan tali yang menggantung kaki anak itu dan memondong tubuh Ceng Liong, dibawanya berloncatan seperti terbang cepatnya. Para tokoh sesat itu tentu saja merasa penasaran dan tidak puas. Akan tetapi, siapakah yang berani menentang kehendak Hek-i Mo-ong, apalagi setelah iblis itu berhasil menghancurkan Pulau Es? Mereka bersungut-sungut kemudian bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.

Sementara itu, bagaikan terbang cepatnya, Hek-I Mo-ong berlari sambil memondong tubuh Ceng Liong. Anak ini tidak takut, akan tetapi diam-diam merasa heran melihat sikap Hek-i Mo-ong yang berubah-ubah itu. Dia tak tahu bagaimana jalan pikiran kakek iblis ini, tetapi dia ingat benar bahwa bagaimana pun juga, iblis ini telah menyelamatkan nyawanya sampai dua kali berturut-turut. Dia tahu bahwa tanpa campur tangan iblis ini, tentu dia telah tewas di tangan para penjahat yang haus darah.

Tiba-tiba, ketika kakek itu tiba di padang rumput yang amat sunyi, dia berhenti dan melemparkan tubuh Ceng Liong ke atas tanah. Anak itu cepat-cepat bangkit berdiri dan memandang kepada kakek itu.

“Hek-i Mo-ong, engkau hendak membawaku ke manakah?” tanyanya berani.

“Bocah yang berhati naga, siapakah namamu?”

“Namaku Suma Ceng Liong.”

Kakek itu mengangguk-angguk. Namanya berarti ‘Naga Hijau’ dan memang anak ini seperti seekor naga.

“Ceng Liong, apa maksudmu mengatakan bahwa engkau berhutang budi dan hendak membalas budi itu?”

“Engkau telah menolongku dua kali dan sekali waktu tentu aku akan membalas budimu itu.”

“Benarkah itu? Apakah engkau tidak menganggapku sebagai musuh?”

Ceng Liong mengerutkan alis. Dia teringat bahwa kakek ini bersama kawan-kawannya telah menyerbu Pulau Es, namun dia pun teringat akan wejangan mendiang kakeknya bahwa dia tidak boleh mendendam, maka dia pun menggelengkan kepalanya.

“Ceng Liong, tahukah engkau bahwa aku membawamu sebagai tawanan untuk kelak kubunuh?”

Ceng Liong menggeleng kepala. “Aku tidak percaya! Kalau engkau ingin melihat aku mati tentu engkau tidak akan menolongku dari tangan mereka yang ingin membunuhku!”

“Hemm, aku mencegah mereka karena aku tidak mau didahului. Sudahlah! Sekarang, engkau boleh memilih. Engkau menjadi muridku atau engkau mati sekarang juga. Hayo pilih!”

Ceng Liong tertawa, akan tetapi suara ketawanya itu hanya tiba-tiba saja dan mendadak pula ketawanya terhenti. Diam-diam Hek-i Mo-ong bergidik. Bocah ini memiliki sifat aneh, dingin dan keras bukan main.

“Hek-i Mo-ong, pertanyaanmu itu sungguh terdengar lucu. Betapa mudahnya memilih satu di antara dua itu. Yang satu adalah kematian yang tak mungkin dapat kuelakkan lagi kalau memang engkau hendak membunuhku, dan yang ke dua adalah hidup dan menjadi murid seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau. Tentu saja aku memilih menjadi muridmu.”

Hek-i Mo-ong mendengus untuk menutupi rasa gembiranya. “Bagus, kalau begitu mulai saat ini engkau menjadi muridku, murid tunggal karena aku sudah tidak mempunyai murid lagi.”

“Agaknya aku tidak mempunyai pilihan lain. Hek-i Mo-ong, aku mau menjadi muridmu dan mempelajari ilmu-ilmu darimu, tetapi terus terang saja, aku tidak sudi mempelajari kejahatan-kejahatan dan kesesatan-kesesatan. Aku seorang keturunan pendekar dan aku tidak sudi menjadi orang jahat. Menurut wejangan mendiang kakekku, lebih baik mati sebagai manusia baik dari pada hidup sebagai manusia jahat.”

“Ha-ha-ha, engkau tahu apa tentang kebaikan dan kejahatan? Kebaikan atau kejahatan mana bisa dipelajari? Sudahlah, aku hanya mengajarkan ilmu-ilmuku agar tidak kubawa mati. Asal engkau belajar dengan tekun dan berhasil mewarisi ilmu-ilmuku dan engkau bersikap sebagai seorang murid yang berbakti, sudah cukup bagiku.”

“Akan tetapi, walau pun aku menerima pelajaran-pelajaran darimu dan aku juga menjadi muridmu, akan tetapi aku tidak mau menyebut suhu kepadamu.”

“Ehhh? Mengapa?” kakek itu membentak, penasaran.

“Aku adalah keturunan keluarga Pulau Es yang memiliki ilmu keturunan. Boleh saja aku mempelajari ilmu-ilmu lain untuk meluaskan pengetahuan, akan tetapi aku tidak boleh berguru kepada aliran lain,” jawab anak itu dengan suara mantap karena memang yang diucapkannya itu adalah ajaran ayah bundanya.

“Hemm, lantas engkau akan memanggil apa kepadaku?” tanya Hek-i Mo-ong semakin penasaran.

“Panggilan apa lagi? Tentu seperti orang-orang lain menyebutmu, Mo-ong.”

Biasanya, Hek-i Mo-ong sudah merasa bangga kalau disebut Mo-ong (Raja Iblis) karena bagi seorang tokoh sesat, makin seram panggilannya, makin banggalah hatinya. Akan tetapi kini hatinya terasa kecewa dan kecut juga mendengar betapa muridnya sendiri akan menyebutnya Mo-ong, bukan suhu.

“Dan engkau tidak akan berbakti sebagai murid, melainkan menganggapku sebagai musuh? Begitukah?” Dia sudah marah sekali dan andai kata anak itu mengangguk atau menyatakan benar demikian, mungkin saja dia sudah turun tangan terus membunuh cucu Pendekar Super Sakti itu.

Akan tetapi dengan tenang Ceng Liong mengelengkan kepalanya. “Sudah kukatakan bahwa aku hutang nyawa dua kali kepadamu, Mo-ong, dan kalau engkau mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku, berarti budimu akan bertambah besar. Dan aku bukanlah keturunan orang-orang yang suka melupakan budi atau yang membalas budi kebaikan dengan kejahatan. Tidak, aku tidak akan membiarkan budi-budimu tanpa terbalas.”

Hek-i Mo-ong termenung. Anak ini memang bukan bocah biasa. Ada dua keuntungan besar baginya kalau dia mengambil anak ini sebagai murid. Pertama, dia memiliki sandera yang amat berharga. Ke dua, dia memperoleh seorang murid yang tiada keduanya dan bukan tidak mungkin kalau murid inilah yang kelak menjunjung tinggi namanya dan bahkan melindunginya dari ancaman musuh-musuhnya. Teringat akan hal ini, dia lalu tertawa bergelak, menyambar tubuh anak itu dan dibawanya berlari cepat.

“Ha-ha-ha, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan mari kau ikut bersamaku ke barat!”

Demikianlah, sejak terjadinya penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan terbakar dan lenyapnya Pulau Es, terjadi perubahan besar sekali dalam kehidupan Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Sebagai seorang keturunan keluarga yang terkenal sebagai keluarga pendekar-pendekar yang kenamaan, secara tiba-tiba saja dia menjadi murid seorang datuk kaum sesat nomor satu yang juga amat terkenal dalam kesesatannya. Sungguh anak ini telah pindah ke dalam keadaan yang sama sekali bertentangan dengan keadaannya semula, semenjak dia lahir sampai dia berusia sepuluh tahun itu…..

********************

Ke manakah perginya Suma Hui, cucu perempuan Pendekar Super Sakti itu? Seperti kita ketahui, ketika perahu empat orang muda itu dikepung kemudian diserbu oleh para penjahat, mereka berempat melakukan perlawanan. Karena banyaknya penjahat yang mengepung, kemudian perahu mereka digulingkan, empat orang muda itu membela diri dengan terpaksa berpencar.

Suma Hui meloncat ke atas sebuah perahu lain di mana dara ini dihadapi oleh seorang tokoh jahat yang amat dibencinya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok, tokoh sesat yang pernah bersikap kotor terhadap dirinya ketika para penjahat itu menyerbu Pulau Es.

“Heh-heh-heh, selamat bertemu, nona manis!” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh nafsu birahi. “Akhirnya engkau datang juga kepadaku, heh-heh-heh!”

“Iblis jahanam!” Suma Hui membentak.

Dan dengan kemarahan meluap dia sudah menerjang dengan sepasang pedangnya, menggunakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hebat itu. Akan tetapi, enam orang anak buah penjahat mengepungnya. Dan melihat munculnya seorang dara jelita, tanpa diperintah lagi enam orang penjahat ini telah berebut maju ingin menangkapnya. Mereka terlalu memandang rendah karena mereka adalah anggota-anggota penjahat yang ketika terjadi pertempuran di Pulau Es belum merasakan kelihaian nona ini. Dengan lancang mereka menyambut dan berusaha menangkap Suma Hui.

Namun mereka kecelik dan kelancangan mereka harus ditebus mahal ketika sepasang pedang di tangan dara itu berkelebatan dan empat orang di antara mereka roboh mandi darah, sedangkan yang dua orang hanya dapat terhindar dari bencana karena mereka cepat membuang diri ke belakang saja!

Tetapi, pada saat Suma Hui menggerakkan pedang mengamuk, Jai-hwa Siauw-ok telah menubruknya dari belakang. Dua kali orang ini menggerakkan jari tangan menotok. Ilmu yang dipergunakannya bukanlah ilmu sembarangan karena dia telah mempergunakan Kiam-ci (Jari Pedang), yaitu ilmu yang amat hebat dari mendiang gurunya.

Suma Hui hanya merasa betapa kedua pergelangan tangannya seperti tertusuk jarum sehingga sambil menahan teriakannya, terpaksa dara ini membuka tangannya dan melepaskan sepasang pedangnya. Di lain saat, tubuhnya telah menjadi lemas tertotok dari belakang dan ia sudah dipondong oleh Jai-hwa Siauw-ok.

Perahu terguncang hebat oleh badai dan Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menawan dara itu menjadi girang bukan main. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat menikmati hasilnya karena di situ terdapat Hek-i Mo-ong. Maka diam-diam dia lalu meluncurkan sebuah perahu sekoci dan membawa tubuh Suma Hui melompat ke dalam perahu kecil yang terus didayungnya menjauh dari amukan badai itu.

Suma Hui rebah di atas perahu kecil dalam keadaan tertotok dan setengah pingsan. Ia tidak berani membuka kedua matanya karena ia merasa pening bukan main, bukan saja karena totokan, akan tetapi juga karena perahu kecil itu dipermainkan gelombang dahsyat, membuat tubuhnya terayun-ayun, terguncang dan ia pun mabok.

Setelah badai lewat dan perahu kecil itu telah jauh meninggalkan perahu-perahu besar lainnya, Jai-hwa Siauw-ok memasang layar perahu kecil dan dia memandang ke arah tubuh dara yang terlentang tak berdaya itu sambil tersenyum-senyum. Seorang dara yang amat cantik jelita dan bertubuh padat. Keturunan Pendekar Super Sakti, keturunan keluarga Pulau Es!

Bukan main bangga dan girang hatinya. Dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) dan menawan seorang gadis merupakan hal yang biasa baginya. Akan tetapi, sekali ini dia merasa luar biasa bangga dan girangnya karena yang ditawannya adalah seorang cucu perempuan dari keluarga Pulau Es! Inilah yang membuat peristiwa itu amat penting dan besar.

Dan dia pun tidak ingin memperkosa dara itu begitu saja seperti yang biasa dia lakukan terhadap tawanan-tawanan wanita yang disukainya. Tidak, dia akan memperlakukan dara ini secara lain! Dia ingin dara ini menyerahkan diri dengan suka rela agar dara ini dapat menjadi kekasihnya untuk kelak bisa dibanggakan kepada orang-orang sedunia kang-ouw! Betapa akan bangga hatinya jika ia dapat memamerkan kekasihnya sebagai seorang cucu perempuan keluarga Pulau Es!

Selain itu, dia pun tidak pernah mau memperkosa wanita yang berada dalam keadaan tertotok atau pingsan. Dia berwatak seperti seekor binatang buas yang merasa nikmat pada saat melihat korbannya meronta-ronta dan meraung-raung dalam permainan dan penyiksaannya.

Jai-hwa Siauw-ok ini di waktu mudanya bukanlah seorang jai-hwa-cat, walau pun dia tak dapat dibilang seorang yang berkelakuan baik. Namanya adalah Ouw Teng dan sejak muda dia memang seorang yang suka bermain-main dengan wanita. Sejak muda dia pun suka belajar ilmu silat, namun belum pernah dia menggunakan kepandaian silatnya untuk memaksa seorang wanita atau memperkosanya.

Dia berwajah tampan dan putera seorang kaya, maka dengan modal wajah ganteng dan kantong padat, mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita-wanita yang disukainya. Akan tetapi, semenjak dia menikah dan dalam waktu setahun setelah menikah dia menangkap basah isterinya yang berjinah dengan seorang pelayan pria dalam rumah mereka sendiri, wataknya pun berubah.

Dia membunuh isteri dan pelayan itu dan melarikan diri meninggalkan rumah, menjadi buronan yang berwajib. Kemudian dia pun bertemu dengan Ji-ok, nenek sakti yang menjadi tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ji-ok mengambilnya sebagai kekasih dan murid dan karena pandainya Ouw Teng merayu nenek yang tubuhnya masih seperti orang muda itu, dia dikasihi dan diberi pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi.

Bahkan Ji-ok mengajarkan ilmu-ilmu yang dicurinya dari saudara-saudaranya sehingga Ouw Teng dapat mempelajari ilmu-ilmu dari para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain, walau pun tak begitu sempurna karena hasil curian. Dan semenjak itulah dia menjadi seorang jai-hwa-cat yang amat kejam! Watak ini pula yang membuat Ji-ok makin suka padanya, karena memang begitulah seharusnya watak murid dari seorang tokoh sesat yang dianggap jahat seperti iblis!

Demikianlah riwayat singkat dari Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Kini usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi dia masih pesolek dan masih ganteng. Dan tentu saja kini ilmu-ilmunya sudah matang dan di antara lima tokoh jahat yang menyerbu Pulau Es, dia merupakan orang ke dua setelah Hek-i Mo-ong.

Dan ternyata hanya dia seoranglah di antara empat orang rekan Hek-i Mo-ong yang selamat dan terhindar dari kematian ketika mereka melakukan penyerbuan itu. Dan kini dia malah memperoleh hasil gemilang, yaitu dengan berhasilnya dia menawan cucu perempuan dari Pendekar Super Sakti.

Ketika siuman, Suma Hui menggerakkan kaki tangan hendak menggeliat, akan tetapi kaki dan tangannya tidak dapat digerakkan karena terbelenggu. Ia mengeluh lirih dan membuka matanya yang segera terbelalak pada waktu dia mendapatkan dirinya telah terbelenggu dan rebah terlentang di atas perahu kecil.

Ia pun teringat segalanya dan cepat menengok kepada pria yang duduk di dekatnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal pria itu yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikenalnya sebagai seorang di antara tokoh-tokoh penyerbu Pulau Es yang berwatak kasar dan juga kotor dan cabul.

“Aihhh, nona manis, engkau kini sudah sadar? Mari makanlah, minumlah....!” Jai-hwa Siauw-ok berkata dengan ramah sambil kedua tangannya meraih tempat makanan dan minuman. “Bukalah mulutmu, biar kusuapi engkau makan dan minum,” katanya.

Akan tetapi Suma Hui membuang muka.

“Marilah, nona....,” Siauw-ok mendekatkan sepotong daging ke mulut nona itu dengan sumpitnya.

Ketika dara itu tidak mau membuka mulutnya, Siauw-ok menggeser-geserkan daging itu di antara bibir Suma Hui. Perbuatan ini saja sudah membuat birahinya timbul dan dia pun tersenyum-senyum.

“Bukalah mulutmu, daging ini enak sekali....”

Tiba-tiba Suma Hui menggerakkan kaki dan tangan dengan pengerahan sinkang, akan tetapi ia mengeluh ketika merasa betapa kaki tangannya tidak bertenaga. Tahulah ia bahwa ia dalam keadaan tertotok.

“Mari, makanlah nona....”

“Tidak sudi!” Suma Hui membentak dan biar pun tubuhnya lemas, ia membuang muka dan menjauhkan mulutnya dari daging di ujung sumpit itu.

“Ahhh, jangan begitu, nona. Aku sama sekali tidak ingin melihat engkau mati kelaparan atau kehausan....”

“Engkau sudah menawanku dengan kecurangan, nah, kalau mau bunuh, kau bunuhlah! Siapa takut mati?” Suma Hui membentak.

“Membunuh engkau? Aihhh, sayang kalau dibunuh!” Siauw-ok menggoda.

“Kalau begitu, bebaskan aku dan mari kita bertanding sampai mampus!” tantang Suma Hui.

“Ahh, nona manis. Aku cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau mati seperti tiga orang muda itu....”

Tentu saja Suma Hui terkejut bukan main mendengar ini. Ia memandang dengan muka pucat dan biar pun ia membenci orang ini dan tidak ingin bercakap dengan dia, akan tetapi kini terpaksa ia bertanya, “Apa.... apa yang telah terjadi dengan mereka....?”

Siauw-ok tersenyum, lalu mengacungkan daging di sumpit itu kembali. “Engkau makan dan minumlah lebih dulu, baru aku akan menceritakan tentang diri mereka.”

“Tidak sudi!” Suma Hui membuang muka dan cemberut.

Siauw-ok mengangkat kedua pundaknya dan dia pun makan minum sendirian sambil tersenyum-senyum. Dia merasa cukup berpengalaman untuk menundukkan gadis yang keras hati. Menundukkan seorang gadis yang keras hati harus pandai, pikirnya. Pandai mempergunakan muslihat kasar dan halus yang dicampur adukkan. Kadang-kadang halus merayu, kadang-kadang kasar mengancam dan kadang-kadang membiarkannya penasaran dan kecewa, kadang-kadang membiarkannya kegirangan.

Suma Hui merasa tersiksa bukan main. Ingin ia menjerit dan bertanya tentang nasib kedua orang adiknya dan Cin Liong. Tidak ada orang lain yang dapat ditanyainya kecuali laki-laki yang dibencinya ini. Ia pun melirik dan melihat laki-laki itu makan minum dengan tenangnya.

Bagaimana pun juga, ketika melihat orang makan dan minum sedemikian lahapnya, ia terpaksa menelan air liurnya. Harus diakuinya bahwa kerongkongannya kering dan haus sedangkan perutnya lapar sekali. Akan tetapi, ia akan mampu melupakan semua itu, mampu mempertahankan diri dan kalau perlu mati kelaparan atau kehausan.

Hanya, sukar baginya untuk dapat menahan keinginan tahunya tentang nasib Cin Liong dan terutama kedua oraag adiknyya. Makin ditahannya, makin hebat keinginan tahu itu mendesak dan akhirnya ia menoleh dan memandang kepada laki-laki itu.

“Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan adik-adikku? Katakanlah, tidak ada ruginya engkau menceritakannya kepadaku.”

Siauw-ok memandang wajah manis itu dan tersenyum, dalam hatinya bersorak karena merasa menang. “Tentu saja aku akan menceritakan padamu, nona. Aku tidak ingin melihat engkau sengsara, maka aku pun tidak ingin melihat engkau kelaparan. Nah, engkau makan minumlah dan aku akan menceritakan keadaan mereka.”

“Baik, lepaskan belenggu kedua tanganku dan totokanku, dan aku akan mau makan dan minum.”

“Aihh, mana mungkin aku sembrono seperti itu, nona? Engkau adalah cucu Pendekar Super Sakti. Aku tahu engkau memiliki kepandaian hebat dan aku tidak tahu kapan engkau akan dapat membebaskan totokanku itu. Jika kedua tanganmu tidak dibelenggu dan akhirnya totokan itu dapat kau punahkan, tentu aku celaka. Tidak, aku belum dapat melepaskan belenggumu dan biarlah aku yang menyuapkan makanan dan minuman padamu.”

Suma Hui sudah hendak memaki dan marah-marah lagi, akan tetapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya dan keinginan tahunya untuk mendengar tentang nasib adik-adiknya membuat dia akhirnya mengalah. Ketika sumpit yang membawa potongan daging itu didekatkan pada mulutnya, ia pun membuka mulut dan menyambutnya.

Tentu saja Siauw-ok merasa girang bukan main. Dia pun mulai bercerita, akan tetapi dia bercerita secara lambat-lambat sehingga terpaksa Suma Hui menerima makanan dan minuman yang cukup banyak untuk dapat mengikuti penuturan itu.

Setelah menceritakan jalannya pertempuran yang tidak begitu penting bagi Suma Hui, akhirnya Siauw-ok kemudian berkata, “Aku melihat betapa pemuda yang menurut Hek-i Mo-ong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir itu terlempar ke lautan. Laut sedang dilanda badai mengganas, maka biar seorang yang amat pandai bermain di air sekali pun tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri dari amukan badai seperti itu! Dia sudah pasti terseret ombak dan tenggelam atau disambut oleh ikan-ikan hiu yang ganas. Belum lagi bahayanya kalau dihempaskan oleh ombak ke tubuh perahu, tentu akan lumat-lumat tubuhnya. Pemuda itu sudah pasti tewas, hal ini tak dapat disangsikan lagi.”

Suma Hui membayangkan dengan hati penuh duka. Keponakannya itu adalah seorang yang gagah perkasa dan sudah banyak membela keluarga Pulau Es, tak disangkanya hidupnya akan berakhir secara demikian menyedihkan. Apalagi kalau ia teringat betapa ia pernah membalas segala pertolongan dan pembelaan pemuda itu dengan tamparan-tamparan yang diterima oleh pemuda itu dengan mengalah. Tanpa terasa lagi kedua matanya menjadi basah, akan tetapi dengan kekerasan hatinya, dilawannya rasa duka itu sehingga ia dapat membendung keluarnya air matanya.

Siauw-ok adalah seorang lelaki yang telah berpengalaman. Dia dapat melihat kedukaan membayang di wajah yang ayu itu, dan melihat pula betapa dara itu menggunakan kekerasan hati membendung air matanya. Hatinya merasa panas oleh cemburu.

“Nona, apamukah pemuda putera Naga Sakti Gurun Pasir itu? Mengapa dia membela keluarga Pulau Es secara mati-matian ?” tanyanya penasaran.

Suma Hui tidak menjawab pertanyaan ini, dia hanya berkata, “Hemm, lihat saja nanti bangkitnya Naga Sakti Gurun Pasir untuk membalaskan kematian puteranya!”

Mendengar ucapan ini, bagaimana pun juga Siauw-ok bergidik ngeri. Dia belum pernah bertemu dengan Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dia sudah mendengar nama besar pendekar itu yang sejajar dengan keluarga Pulau Es!

“Ah, bukan aku yang membunuhnya....” Ucapan ini dihentikannya di tengah jalan karena dia sadar bahwa ucapan itu membayangkan rasa takutnya.

Maka dia pun lalu menyuapkan sepotong besar daging ke mulut itu dan melihat dengan penuh gairah betapa mulut yang kecil dengan bibir merah dan deretan gigi putih itu terbuka menerima daging, nampak bagian dalam mulutnya yang lebih merah lagi. Suma Hui mengunyah daging itu dengan perlahan.

“Dan bagaimana dengan kedua orang adikku?” tanyanya setelah daging itu agak lembut dikunyah.

“Ahhh, jadi dua orang pemuda cilik itu adalah adik-adikmu? Pantas mereka itu hebat-hebat....”

Kembali Suma Hui terpaksa menerima suapan makanan walau pun perutnya sudah merasa kenyang dan sebetulnya ingin sekali dia menyemburkan makanan itu ke muka Siauw-ok. Tetapi ia membutuhkan keterangan tentang adik-adiknya sehingga terpaksa ia menahan sabar.

“Nih, minumlah dulu,” kata Siauw-ok.

Dan Suma Hui juga menerima minuman air tawar yang disodorkan ke mulutnya. Bagai mana pun juga, makanan dan minuman itu membuat ia merasa tubuhnya menjadi segar kembali.

“Kedua adikmu itu.... sungguh sayang sekali, agaknya mereka pun tak mungkin dapat hidup, dan besar kemungkinan sekarang pun sudah tewas.”

“Mak.... maksudmu....?”

“Adikmu yang besar itu, seperti juga putera Naga Sakti Gurun Pasir, terlempar ke dalam lautan dan tentu saja dia pun tidak mungkin dapat terhindar dari cengkeraman maut. Sedangkan adikmu yang kecil, setan cilik yang luar biasa itu, mungkin dia ditangkap oleh Hek-i Mo-ong. Entah bagaimana jadinya dengan mereka aku tidak tahu karena aku lebih menyibukkan diri untuk menyelamatkanmu.”

Siauw-ok berhenti dan tersenyum ramah. “Coba pikir, di antara empat orang muda, hanya engkau seorang yang selamat, kuhindarkan dari bahaya maut, bahkan kujaga dan kusuapi makanan dan minuman. Bukankah aku orang baik sekali, manis?”

Suma Hui menyemburkan makanan yang masih tersisa di mulutnya, lalu membuang muka dan menangis! Baru sekarang ia dapat melemparkan semua rasa sebal, marah, dan duka di dalam hatinya. Terutama sekali perasaan duka karena gelisah mendengar akan nasib kedua orang adiknya, dan juga Cin Liong.

Tiba-tiba ia menghentikan tangisnya ketika merasa betapa rambut kepalanya dibelai orang. Rasanya seperti tiba-tiba ada ular menyusup ke balik bajunya. Ia terperanjat dan juga jijik bukan main, apalagi ketika merasa betapa jari-jari tangan itu bukan hanya membelai rambut, melainkan juga mengusap pipi, dagu dan lehernya. Dan sepasang mata itu! Memandangnya seperti mata seekor harimau yang hendak menerkam kelinci!

“Sudahlah, jangan menangis, nona manis. Ada aku di sini yang cinta padamu. Asal engkau suka menuruti segala kehendakku, engkau akan menjadi muridku yang terbaik dan hidupmu akan berbahagia....”

“Tutup mulutmu, iblis terkutuk!” Tiba-tiba Suma Hui memaki.

Ketika merasa bahwa tenaga atau pengaruh totokan pada tubuhnya mulai mengendur, ia lalu mengerahkan sinkang-nya dan tiba-tiba ia menggerakkan kaki tangannya.

“Brettt! Brettt....!”

Tali pengikat kaki tangan dara itu putus semua, tidak kuat menahan pengerahan tenaga sinkang dari Suma Hui, tenaga asli dari keluarga Pulau Es.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es