KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-07


Akan tetapi, kiranya tidaklah demikian. Perahu mereka berguncang keras dan ternyata enam orang penjahat dari perahu terdekat telah berlompatan ke atas perahu mereka.

Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu segera bergerak. Ceng Liong menyambut seorang penjahat dengan pukulan dua tangannya, membuat penjahat itu terjengkang dan terlempar keluar dari perahu. Ciang Bun juga merobohkan seorang lawan dengan sambaran pedangnya, sedangkan sepasang pedang Suma Hui merobohkan dua orang lain. Sisanya, dua orang lagi, disambut tendangan serta pukulan Cin Liong, terlempar keluar perahu!

Akan tetapi, kini Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok sendiri berlompatan dari perahu, terjatuh ke atas perahu yang terdekat. Terdengar Hek-i Mo-ong mengeluarkan aba-aba di antara deru suara angin dan air laut dan nampak banyak anak buahnya berloncatan ke air.

Cin Liong dan tiga orang muda itu siap-siap menyambut lawan. Akan tetapi, tiba-tiba perahu mereka terguncang hebat dan miring, bahkan hampir terbalik. Barulah Cin Liong mengerti bahwa penjahat-penjahat itu tadi berloncatan ke air untuk menggulingkan perahu kecil!

“Cepat, loncat ke perahu lawan!” teriaknya dan tiga orang muda itu pun mengerti.

Cin Liong sendiri sudah menyambar tubuh Ceng Liong dan dibawanya meloncat ke atas perahu terdekat. Ada angin dahsyat menyambar dan dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong sendiri telah menyambutnya dengan pukulan dahsyat yang amat berbahaya. Karena tubuhnya masih melayang di udara dan dia masih mengempit tubuh Ceng Liong, maka cepat dia melemparkan Ceng Liong ke atas geladak perahu dan barulah dia menangkis dengan lengan kanannya. Tangkisannya agak terlambat karena dia melemparkan tubuh paman cilik itu, maka biar pun dia masih dapat menangkis, namun pukulan itu meleset dan mengenai pangkal lengan kanannya.

“Dessss....!”

Hebat sekali benturan tenaga itu dan andai kata Ceng Liong masih berada dalam pondongan Cin Liong, besar kemungkinan anak itu akan terluka oleh getaran hawa pukulan dahsyat itu. Biar pun Cin Liong sendiri dapat menahan hantaman itu dengan agak terlambat, namun karena tubuhnya masih berada di udara di mana dia tidak mempunyai tempat berpijak dan bertahan, maka benturan tenaga dahsyat itu membuat tubuhnya terlempar jauh keluar dari perahu.

“Byuurrrrr....!”

Tubuh Cin Liong segera disambut gelombang lautan yang sudah makin mengganas itu. Bahkan para bajak laut yang ahli berenang dan yang tadi atas perintah Hek-i Mo-ong menggulingkan perahu kecil, kini tergesa-gesa naik lagi ke perahu melalui tali karena memang berbahaya sekali berada di air dalam keadaan badai mengamuk itu.

Apalagi Cin Liong yang kemampuannya di air terbatas sekali. Dia berusaha berenang mencapai tali dan kembali ke perahu besar untuk membantu tiga orang muda yang telah dikeroyok para anak buah penjahat itu. Akan tetapi gelombang air membuat dia terseret menjauh.

Tiba-tiba tangannya meraih sesuatu dan ternyata yang terpegang olehnya itu adalah ujung perahunya sendiri yang tadi terbalik. Cepat Cin Liong menggunakan kekuatan tangannya, menarik dirinya dan naik ke atas perahu yang telah membalik itu.

Akan tetapi perahu besar itu mendekat dan tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam dibarengi bentakan nyaring. Cin Liong merasakan hawa pukulan yang dahsyat, maklum bahwa kembali dia diserang dari atas dengan hebatnya oleh seorang yang amat kuat, menggunakan sebatang dayung besi. Cepat dia melempar tubuhnya ke kiri.

“Byuurrr....!” Untuk kedua kalinya tubuhnya ditelan mulut gelombang yang menganga lebar.

“Darrrrrr....!” Perahu itu tertimpa dayung dan pecah menjadi beberapa potong!

Kiranya, penyerangnya adalah Hek-i Mo-ong sendiri yang kini tertawa bergelak. Suara ketawa ini takkan terlupa selamanya oleh Cin Liong yang sudah secara mati-matian berjuang kembali melawan ombak yang menyeretnya. Namun, sekali ini dia tidak kuasa mempertahankan diri dan terpaksa membiarkan ombak menyeretnya semakin jauh dari perahu-perahu besar di mana tiga orang keturunan Pulau Es itu sedang dikeroyok ketat.

Ketika melihat bayangan hitam terapung, kemudian dia meraih dan ternyata itu adalah sepotong kayu, pecahan dari perahunya. Dia hampir kehabisan tenaga dan napas, lalu menarik tubuhnya ke atas papan itu dan tergolek tak sadarkan diri di atas papan yang membawanya terapung-apung semakin jauh.

Ceng Liong mengamuk dengan mati-matian. Biar pun usianya baru sepuluh tahun, namun anak ini memang hebat bukan main. Tidak mengecewakan kalau dia menjadi cucu dalam Pendekar Super Sakti dan putera tunggal Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu, bahkan ibunya pun seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, selain ahli ilmu silat juga ahli sihir! Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh ayah bundanya, kemudian diasuh dan dibimbing oleh kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es, maka biar pun dia baru berusia sepuluh tahun, namun sukarlah dicari seorang dewasa yang akan mampu mengalahkannya.

Para penjahat itu tadinya tentu saja memandang ringan kepada Ceng Liong. Akan tetapi sikap memandang ringan ini harus ditebus dengan mahal ketika beberapa orang anggota penjahat terkena hantaman anak itu dan terjungkal ke lautan untuk tidak muncul kembali! Dan empat orang penjahat yang menubruknya, juga dapat dibikin terpental jatuh bangun. Barulah para penjahat itu sadar bahwa anak kecil ini bukanlah makanan lunak dan mereka pun tidak segan-segan dan tidak malu-malu lagi untuk mencabut senjata dan mengeroyok Ceng Liong dengan senjata golok atau pedang!

Namun, dengan ilmunya Sin-coa-kun, tubuh anak itu seperti telah berubah menjadi ular atau belut saking licinnya, melesat ke sana-sini di antara sambaran golok dan pedang, kemudian dengan tendangan-tendangan Soan-hong-kwi yang membuat kedua kakinya seperti baling-baling, dia berhasil membuat para pengeroyoknya kocar-kacir!

Betapa pun juga, dia hanyalah seorang anak berusia sepuluh tahun yang tenaganya masih lemah dan para pengeroyoknya adalah penjahat-penjahat yang kejam. Maka setelah dikepung oleh banyak orang, mulailah ada senjata yang menyerempet tubuhnya dan pakaiannya mulai koyak-koyak berdarah oleh luka-luka pada tubuhnya.

Biar pun demikian, anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh, juga semangatnya makin bernyala, amukannya semakin hebat. Ceng Liong dapat melihat dengan ujung matanya bahwa kedua orang kakaknya, yaitu Suma Hui dan juga Ciang Bun, telah terpisah darinya karena pengeroyokan banyak orang membuat mereka itu berloncatan ke atas perahu-perahu lain untuk mencari tempat yang luas dan untuk memecah-belah kekuatan para pengeroyok.

Sedangkan Cin Liong sudah tidak nampak lagi bayangannya sejak tadi. Kenyataan ini membuat Ceng Liong menjadi semakin nekat. Tadi dia melihat betapa Cin Liong terlempar keluar perahu dan kalau sampai sekarang pemuda itu tidak muncul, itu hanya berarti bahwa Cin Liong tentu telah tenggelam ke laut! Dan kedua orang kakaknya tidak mungkin membantunya karena keadaan mereka tentu tiada bedanya dengan dirinya sendiri, dikeroyok banyak lawan. Maka tahulah anak ini bahwa dia harus melawan mati-matian sampai titik darah terakhir!

“Majulah! Majulah kalian semua....!” Dia membentak sambil berloncatan ke sana ke mari dan membagi-bagi pukulan dan tendangan. “Keroyoklah aku! Inilah dia cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Majulah kalian, bedebah-bedebah busuk!”

Diam-diam semua pengeroyok merasa kagum hukan main. Anak ini memang luar biasa sekali. Pakaiannya telah penuh darah, tubuhnya telah luka-luka akan tetapi gerakannya masih demikian lincah, gesit dan tangkas, semangatnya masih bernyala-nyala dan sedikit pun tidak nampak dia gentar.

Karena badai mengamuk semakin ganas, maka para pengeroyok itu pun tidak dapat memusatkan pengeroyokan mereka, bahkan mereka yang berkelahi ini pun nampak lucu, kadang-kadang terguling roboh sendiri karena perahunya oleng. Juga Ceng Liong beberapa kali terguling roboh karena olengnya perahu.

Empat buah perahu itu sudah terpisah-pisah tidak karuan sehingga Ceng Liong tidak tahu di mana adanya kedua orang kakaknya. Tahunya hanyalah bahwa dia berada sendirian saja di antara pengeroyokan penjahat-penjahat di atas perahu itu.

Anehnya, secara tiba-tiba saja lautan menjadi tenang kembali dan cuaca tidak begitu gelap lagi, hujan pun hanya rintik-rintik saja. Kini Ceng Liong dikepung ketat lagi dan ketika anak ini meloncat ke kiri untuk mengelak dari sambaran golok, kakinya menginjak papan yang licin. Dia terpeleset dan kakinya terlibat tali layar.

Tiba-tiba ada yang menarik tali itu dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh anak itu lantas tergantung ke atas, dengan kedua kaki terbelit tali dan kepalanya di bawah. Dia terus meronta-ronta dan memaki-maki, ditertawakan oleh para anak buah penjahat.

“Anak bedebah ini telah membunuh banyak kawan kita. Bunuh saja dia!”

“Kita siksa dia! Enak benar dibunuh begitu saja!”

“Pakai dia sebagai umpan memancing ikan besar!”

“Cambuki dia sampai hancur daging-dagingnya!”

Ceng Liong sudah tidak dapat meronta-ronta lagi. Akan tetapi, dengan mata mendelik dia memandang kepada wajah-wajah kejam dan bengis yang merubungnya itu. Wajah-wajah yang menyeringai seperti setan-setan. Tetapi sedikit pun dia tidak takut. Bahkan ia masih mencoba menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram wajah-wajah itu sehingga para penjahat itu melangkah mundur.

“Siksalah! Cincanglah! Bunuhlah! Siapa takut mampus? Aku cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es tidak takut mati, tidak macam kalian ini iblis-iblis pengecut tak tahu malu!” Ceng Liong membentak dan memaki-maki.

Memang anak ini luar biasa sekali. Agaknya di dalam dirinya tidak terdapat rasa takut atau kelemahan sedikit pun juga. Ketika kakeknya dan dua orang neneknya meninggal, dalam keadaan berduka dia sama sekali tidak memperlihatkan kedukaannya, sama sekali tidak menangis. Dan kini, dalam cengkeraman maut yang mengerikan, ancaman siksaan yang menyeramkan, sedikit pun dia tidak kelihatan takut!

“Wah, dia malah memaki-maki kita! Perlu apa dibiarkan hidup lagi?” bentak seorang yang tadi pernah merasakan lezatnya tendangan kaki anak ini, yang membuat perutnya mulas dan sampai kini masih terasa nyerinya. Dia sudah menerjang dan membacokkan goloknya ke arah leher Ceng Liong.

Anak ini tidak dapat mengelak, akan tetapi dia tidak berkedip, memandang datangnya golok yang akan memenggal lehernya, sedikit pun tidak kelihatan takut.

“Plakkk!” Golok ini terpental dan orang yang membacokkan golok itu terjungkal.

“Lancang! Siapa suruh membunuhnya?” Hek-i Mo-ong membentak marah.

Dan sekali lagi dia menggerakkan tubuh, tahu-tahu kakinya menendang dan orang yang tadinya hendak membunuh Ceng Liong, kini mengeluarkan jeritan mengerikan ketika tubuhnya terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke dalam laut, terus tenggelam karena tendangan tadi sudah membunuhnya! Memang demikianlah kehidupan di antara kaum sesat itu. Keras dan kejam, setiap kesalahan betapa pun kecilnya tentu akan dihukum secara keji. Hal ini membuat semua anak buah takut dan taat kepada pimpinannya.

Tetapi sikap Hek-i Mo-ong yang menyelamatkan bocah tawanan itu membuat semua anak buahnya terheran-heran dan bingung. Biasanya, perbuatan kejam para anak buah terhadap musuh bahkan dianjurkan oleh pemimpin ini. Kenapa sekarang orang yang hendak membunuh bocah yang menjadi musuh ini malah dibunuh oleh Hek-i Mo-ong? Mereka semua memandang dengan sinar mata mengandung penuh rasa penasaran.

Hal ini dapat diketahui oleh Hek-i Mo-ong. Dia menjambak rambut kepala Ceng Liong, memaksa muka anak itu menghadapinya dan dia menyeringai.

“Huh, siapa pun di dunia ini tidak boleh merampas anak ini dari tanganku. Aku sendiri yang akan menyiksanya sampai mampus!”

Mendengar ucapan Raja Iblis ini, mengertilah para anak buah penjahat itu dan mereka pun tersenyum menyeringai dengan hati lega. Pantas saja teman mereka tadi dibunuh, kiranya teman itu hampir saja mengecewakan hati Hek-i Mo-ong, merampas calon korbannya.

Ceng Liong sendiri pun tertegun ketika melihat kenyataan bahwa nyawanya yang sudah nyaris melayang di bawah bacokan golok tadi kini malah telah diselamatkan oleh Hek-i Mo-ong, musuh besarnya! Sejenak dia menjadi bingung. Ia menganggap kakek raksasa ini sebagai musuh nomor satu karena selain kakek ini merupakan orang yang paling sakti dalam rombongan musuh yang menyerbu Pulau Es, kakek ini jelas merupakan pemimpin mereka yang paling berkuasa. Akan tetapi, kini musuh nomor satu ini telah menyelamatkan nyawanya.

Sejak kecil, orang tua dan juga para nenek dan kakek di Pulau Es telah menekankan dalam batinnya bahwa seorang pendekar haruslah mengenal dan pandai membalas budi, memegang teguh janji, dan tidak mendendam. Mana mungkin sekarang dia akan memusuhi, apa lagi mendendam, kepada orang yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut? Dia telah berhutang nyawa kepada Hek-i Mo-ong!

Kenyataan ini membuat anak itu tidak banyak mengeluarkan suara lagi dan dia hanya bergantung lemas pada kedua kakinya yang terlibat tali, bahkan dia lalu memejamkan kedua matanya. Tubuhnya letih dan terasa nyeri semua, perih-perih semua luka di tubuhnya, kepalanya pening dan akhirnya anak itu pun terkulai pingsan.

Setelah siuman kembali, Ceng Liong mendapatkan dirinya berada di sebuah bilik kecil dan kosong, seperti kerangkeng anjing. Dia rebah begitu saja di atas lantai. Ketika dia bangkit duduk, hampir dia mengeluh karena terasa tubuhnya nyeri semua. Akan tetapi, ternyata ada orang yang telah mengobati luka-lukanya dengan semacam obat berwarna merah. Obat inilah agaknya yang membuat luka-lukanya terasa perih, akan tetapi luka-luka itu pun mengering.

Pakaiannya masih compang-camping, bekas bacokan-bacokan pada saat dia dikeroyok tadi. Tadi? Atau kemarin? Dia tidak tahu lagi. Dia tidak tahu bahwa sudah semalam dia menggeletak pingsan atau tidur di lantai bilik perahu ini.

Dari guncangan dan ayunan yang dirasakannya, dia pun tahu bahwa dia masih berada di dalam perahu dan dia pun teringat bahwa dia telah menjadi tawanan Hek-i Mo-ong. Dia melihat hidangan dan air minum tak jauh dari kakinya. Seketika dia merasa betapa tubuhnya lemas, perutnya lapar dan mulutnya haus. Tidak perduli apa makanan itu dan dari siapa, yang penting adalah menjaga kesehatannya, pikirnya. Setelah kesehatannya pulih, baru dia akan melihat perkembangan untuk menentukan tindakan.

Ceng Liong lalu menyambar tempat air dan minum. Segar sekali rasanya, walau pun hanya air tawar dingin saja. Lalu dia pun mulai makan, tidak lahap dan tidak terlalu banyak, hanya sekedar mengisi perutnya yang kosong.

Setelah selesai makan, dia pun memeriksa daun pintu dan jendela bilik itu yang ternyata amat kuat, tertutup jeruji-jeruji besi. Agaknya bilik ini memang dibuat khusus untuk tempat tawanan! Dan dia pun melihat empat orang penjaga duduk di luar bilik. Ketika mereka bercakap-cakap, dia lalu mendekati pintu dan mendengarkan.

“Kita ini anak buah Jai-hwa Siauw-ok, sekarang malah mengabdi kepada Hek-i Mo-ong,” terdengar seorang di antara mereka mengomel.

“Hushh, perlu apa mengomel? Kita malah untung besar. Lihat saja teman-teman banyak yang tewas sejak kita menyerbu Pulau Es. Dan setelah berhasil menangkap gadis itu, Jai-hwa Siauw-ok malah lalu memisahkan diri dan pergi meninggalkan kita semua!”

“Hemm, gadis Pulau Es itu memang cantik manis, heh-heh!”

“Dan kita tahu tidak ada kesukaan lain melebihi memetik bunga-bunga muda bagi pemimpin kita itu!”

“Yang dua orang lagi tentu mati ditelan air laut dalam badai itu!”

“Sayangnya, Jai-hwa Siauw-ok meninggalkan kita yang menjadi anak buahnya begitu saja, lalu bagaimana dengan kita yang tanpa pimpinan ini?”

“Kenapa mesti ribut-ribut? Menjadi anak buah Hek-i Mo-ong jauh lebih enak. Dia lebih berpengaruh, lebih sakti, dan juga lebih kaya dan royal dari pada Siauw-ok.”

Mendengarkan percakapan itu, Ceng Liong mengerutkan alisnya. Sungguh merupakan berita yang sangat buruk. Agaknya enci-nya Suma Hui sudah tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Walau pun dia masih kecil, namun sebagai putera pendekar sakti, dia dapat menduga apa artinya jai-hwa (Pemetik Bunga), lebih-lebih Siauw-ok (Si Jahat Kecil) itu. Tentu enci-nya itu terancam bahaya yang mengerikan pula.

Akan tetapi, dia tidak begitu mengkhawatirkan Suma Hui karena bagaimana pun juga, percakapan anak buah penjahat tadi menyatakan bahwa dara itu masih hidup. Dan selama masih hidup, ada saja harapan untuk meloloskan diri. Yang membuat dirinya khawatir adalah berita tentang Suma Ciang Bun dan Kao Cin Liong.

Mereka berdua itu terlempar ke laut dan siapakah akan mampu menyelamatkan diri dari ancaman gelombang air laut dalam badai itu? Betapa pun lihainya kakaknya, Ciang Bun atau keponakannya, Cin Liong, mereka berdua itu tidak akan mampu berbuat banyak terhadap amukan air laut dalam badai.

“Akan tetapi kenapa Mo-ong bersusah payah membawa bocah setan ini? Bukankah dia bilang hendak menyiksanya sampai mati? Bocah itu enak-enak di dalam bilik dan kita yang harus berpayah-payah menjaga siang malam, bahkan dia diberi makan lagi! Apa sih maksudnya?”

“Hushh, perlu apa mencampuri? Tugas kita hanya mentaati perintah!”

“Pula, masa begitu saja engkau tidak tahu?” sambung suara lain. “Biasa, kalau hendak memotong ayam, bukankah sebaiknya dibikin gemuk dulu?”

“Ha-ha-ha, engkau benar!”

“Hemm, jangan main-main. Aku mendengar bahwa anak itu hendak dibawa sebagai bukti keberhasilan penyerbuan kita ke Pulau Es, dan di depan para datuk itulah baru dia akan dibunuh.”

“Ya, kabarnya akan dijadikan korban sembahyangan roh para kawan yang telah tewas di tangan keluarga Pulau Es selama ini.”

Ceng Liong merasa sudah mendengar cukup. Dia menggedor pintu biliknya dan berseru nyaring, “Heiii, anjing-anjing penjaga di luar, jangan berisik! Aku mau tidur, tahu?”

Empat orang penjaga itu bangkit berdiri, saling pandang lalu mereka mengepal tinju dan memandang ke arah pintu bilik itu dengan mata melotot dan muka merah.

“Bocah keparat!”

“Kurobek mulutnya!”

“Kalau aku yang diberi tugas membunuhnya kelak, akan kukerat dia sepotong demi sepotong!”

Akan tetapi Ceng Liong sudah tidak memperdulikan mereka lagi dan dia pun mengusir segala kekhawatirannya tentang kakak-kakaknya dan Cin Liong, dengan cara duduk bersila dan tenggelam dalam semedhi…..

********************

Beberapa hari kemudian, perahu-perahu yang hanya tinggal tiga buah banyaknya itu, karena yang sebuah dibawa oleh Jai-hwa Siauw-ok, agaknya terpisah atau memisahkan diri, mendarat di sebuah pesisir yang landai. Pantai Lautan Kuning ini berada di Propinsi Kiang-su dan ternyata di situ telah menanti sebuah kereta dan terdapat pula rombongan orang yang membawa banyak kuda.

Hek-i Mo-ong lalu membawa Ceng Liong yang digandeng tangannya memasuki kereta yang segera dilarikan, ditarik oleh dua ekor kuda yang besar. Para anak buah, sebagian ditinggalkan di perahu-perahu itu dan sebagian pula menunggang kuda mengiringkan kereta. Kereta dan rombongan itu membalap ke arah barat.

Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah hutan yang lebat, yang berada di lereng sebuah bukit di perbatasan antara Propinsi Kiang-su dan Propinsi An-hwi, di lembah Sungai Huai. Tempat inilah yang telah terpilih untuk pertemuan para datuk itu…..

********************

Siapakah adanya Hek-i Mo-ong? Para pembaca cerita Suling Emas Naga Siluman tentu telah mengenalnya. Hek-i Mo-ong adalah seorang kakek raksasa yang bernama Phang Kui. Dia masih peranakan Bangsa Kozak, bertubuh tinggi besar. Rambutnya putih semua sejak muda dan matanya agak kebiruan.

Dahulu pernah dia mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai perkumpulan sesat. Anak buahnya dikenal sebagai gerombolan iblis yang amat kejam dan jahat, merupakan pasukan yang kuat dan berpengaruh di daerah Sin-kiang. Belasan tahun lalu, dengan dibantu oleh delapan orang murid kepala yang dikenal dengan sebutan Hek-i Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam), Hek-i Mo-ong memimpin gerombolannya itu, seolah-olah menjadi raja kecil di daerah Sin-kiang dan semua pejabat setempat menjadi sekutunya.

Akan tetapi akhirnya perkumpulannya ini dihancurkan oleh sepasang pendekar sakti, yaitu keturunan Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Hong bersama gadis yang kini menjadi isterinya, bernama Bu Ci Sian. Delapan orang murid kepala yang menjadi tangan kanannya itu tewas, bahkan Hek-i Mo-ong terpaksa harus melarikan diri dan meninggalkan lereng Ci-lian-san.

Usahanya untuk bergabung dengan Im-kan Ngo-ok dan membalas dendam ternyata gagal, bahkan Im-kan Ngo-ok tewas semua oleh para pendekar muda. Hancurlah semua impian Hek-i Mo-ong untuk membalas dendam, bahkan dia sendiri terpaksa melarikan diri lagi.

Selama beberapa tahun dia menyembunyikan diri, tidak berani keluar dan bertapa sambil memperdalam ilmu-ilmunya. Biar pun dia sudah menjadi semakin tua, namun dia tidak pernah mampu menghilangkan dendamnya dan juga cita-citanya untuk menguasai dunia kang-ouw.

Kehancuran perkumpulan dan namanya membuat dia sakit hati dan dia mengambil keputusan untuk bangkit kembali. Dia berhasil memperdalam ilmunya, lalu menghimpun beberapa orang datuk kaum sesat dan diajaklah mereka itu untuk melakukan suatu hal yang akan menggemparkan dunia persilatan dan sekaligus dapat mengangkat namanya setinggi langit. Yaitu menyerbu Pulau Es!

Oleh karena para datuk kaum sesat memang menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh bebuyutan nomor satu, setelah melihat kesaktian Hek-i Mo-ong, ada empat orang datuk yang bersedia untuk membantunya. Mereka itu adalah Ngo-bwe Sai-kong yang akhirnya tewas di tangan nenek Lulu, kemudian Ulat Seribu yang tewas di tangan nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui ketua Eng-jiauw-pang yang tewas di tangan Cin Liong, dan Jai-hwa Siauw-ok yang merupakan satu-satunya pembantu yang dapat lolos dari Pulau Es dalam keadaan hidup.

Akan tetapi, biar pun dia dan sekutunya berhasil menewaskan dua orang nenek, isteri dari Pendekar Super Sakti, dia sendiri hampir saja tewas ketika berusaha membunuh Pendekar Super Sakti Suma Han dan terpaksa melarikan diri bersama-sama Jai-hwa Siauw-ok dan sisa anak buahnya. Dia dan sekutunya tidak lari terlalu jauh dan masih mengintai, maka dapat dibayangkan betapa girang rasa hatinya ketika melihat Pulau Es terbakar habis, dan melihat betapa empat orang muda itu melarikan diri dari Pulau Es.

Hek-i Mo-ong cepat mengajak orang-orangnya untuk menghadang dan akhirnya dia berhasil menawan cucu Pendekar Super Sakti, sedangkan Si Penjahat Cabul Jai-hwa Siauw-ok agaknya melarikan cucu perempuan majikan Pulau Es itu, sedangkan dua orang muda lain, seorang cucu laki-laki pendekar itu dan seorang putera Naga Sakti Gurun Pasir, telah tewas ditelan ombak!

“Betapa membanggakan hasil hasil besar itu,” pikirnya girang.

Keluarga Pulau Es telah dapat dibinasakannya, dan sebagai bukti dia membawa salah seorang cucu majikan Pulau Es sebagai tawanan! Dan Pulau Es itu sendiri telah hancur dan lenyap! Hasil ini akan mengangkat namanya, dan akan memudahkan dia untuk menjagoi dunia kang-ouw! Dan dia tahu betapa semua datuk kaum sesat yang tidak berani ikut atau merasa ragu-ragu membantunya, kini sedang menanti di bukit kecil itu seperti yang telah mereka janjikan, menanti untuk melihat apakah usaha besarnya yang menggemparkan dunia penjahat itu berhasil!

Meski dia kehilangan tiga orang rekan dan puluhan orang anak buah yang tewas dalam penyerbuan Pulau Es itu, namun dia berhasil menghancurkan keluarga Pulau Es dan menawan seorang cucunya. Dia mendongkol karena Jai-hwa Siauw-ok memisahkan diri melarikan cucu perempuan keluarga Suma, akan tetapi dia membiarkan saja karena perbuatan itu pun merupakan pukulan hebat terhadap nama keluarga Pulau Es dan merupakan bahan cerita yang baik baginya. Dia akan menceritakan kepada para tokoh kaum sesat bahwa seorang cucu perempuan keluarga yang tadinya amat ditakuti dunia hitam itu kini menjadi permainan Jai-hwa Siauw-ok yang sudah terkenal buas terhadap wanita yang telah dirampasnya!

Akan tetapi ada suatu hal yang mengejutkan hatinya, yaitu kalau dia teringat akan pengalamannya ketika menyerang Pendekar Super Sakti Suma Han. Ternyata bahwa menghadapi pendekar itu, dia sama sekali tidak berdaya! Segala ilmu kepandaiannya seperti punah dan tiada gunanya! Padahal, selama beberapa tahun ini dia telah tekun bertapa untuk memperdalam ilmu silatnya dan memperkuat ilmu sihirnya. Ternyata kini bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya ketika dia menyerang kakek tua renta itu.

Mulailah dia kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri yang tadinya dia anggap sudah tidak ada tandingannya lagi. Dan musuh-musuhnya masih begitu banyak. Dan musuh-musuhnya bukanlah orang-orang lemah, walau pun kiranya tak mungkin sehebat Pendekar Super Sakti. Oleh karena itu, dia harus mengumpulkan rekan-rekannya untuk memperkuat kedudukannya.

Yang menyambut kedatangan Hek-i Mo-ong cukup banyak. Ada dua puluh orang lebih tokoh-tokoh dunia hitam bersama anak buah mereka sudah berkumpul di dalam hutan itu, tinggal di pondok-pondok dan kemah-kemah darurat. Kepala-kepala gerombolan ganas, ketua-ketua perkumpulan sesat, tokoh-tokoh perorangan dari bermacam-macam kalangan, kini semua telah berkumpul untuk mendengar bagaimana hasil usaha Hek-i Mo-ong yang bersama rekan-rekannya kabarnya pergi menyerbu Pulau Es.

Begitu kereta berhenti, Hek-i Mo-ong sambil menggandeng tangan seorang anak laki-laki yang mukanya agak pucat namun sepasang matanya memandang berani, muncul dari pintu kereta. Raja Iblis ini menggandeng tangan Ceng Liong dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya diangkat ke atas menerima sambutan orang-orang dari golongan sesat itu sambil berkata dengan suara nyaring dan bernada gembira.

“Kawan-kawan sekalian, ketahuilah bahwa keluarga Pulau Es sudah kami binasakan, bahkan pulau itu sendiri telah habis dimakan api dan tenggelam! Dan semua penghuni Pulau Es telah dapat kami binasakan dan kami tawan.”

Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penjahat dari dunia hitam itu. Mereka adalah penjahat-penjahat yang sudah mengenal baik nama keluarga Pulau Es, bahkan sebagian besar di antara mereka pernah merasakan ampuhnya tangan keluarga itu. Memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga pendekar yang berilmu tinggi dan semenjak puluhan tahun telah menentang dunia kejahatan sehingga banyaklah kaum penjahat yang menaruh dendam sakit hati terhadap keluarga pendekar itu.

Siapakah yang tidak mengenal keluarga Pulau Es? Pendekar Super Sakti Suma Han sendiri pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmu silatnya yang amat tinggi. Bahkan di samping ilmu silatnya, dia pun terkenal sekali dengan ilmu sihirnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman! Juga kedua orang isteri pendekar sakti itu amat ditakuti oleh dunia penjahat. Terutama sekali Puteri Nirahai yang dahulu sering memimpin pasukan pemerintah sebagai seorang panglima wanita yang juga sudah banyak menghancurkan pemberontak-pemberontak dan gerombolan-gerombolan penjahat. Nama Lulu isteri ke dua dari pendekar itu pun pernah dikenal orang.

Selain sang pendekar sakti bersama kedua orang isterinya itu, juga keluarga mereka terkenal sebagai pendekar-pendekar yang sangat ditakuti dan dibenci oleh golongan hitam. Puteri mereka, yaitu Puteri Milana, puteri tunggal Suma Han dan Nirahai, juga merupakan seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, di samping suaminya yang lebih lihai lagi yaitu Gak Bun Beng.

Kedua orang putera dari Pendekar Super Sakti juga amat terkenal, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Terutama sekali Suma Kian Bu yang demikian lihai dan terkenalnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman Kecil oleh dunia penjahat karena persamaannya dengan Pendekar Siluman, ayahnya.

Kalau mantu pria keluarga itu, yaitu Gak Bun Beng, amat gagah perkasa, maka dua orang mantu wanita mereka tak kalah terkenalnya. Isteri Suma Kian Lee bernama Kim Hwee Li, seorang wanita perkasa yang bahkan pernah malang melintang sebagai seorang gadis dari dunia hitam yang murtad dan memalingkan mukanya menentang dunia kejahatan itu sendiri, maka tentu saja ia pun dianggap musuh oleh dunia penjahat.

Mantu wanita ke dua bernama Teng Siang In, juga seorang pendekar wanita, bahkan mantu ini memiliki ilmu sihir seperti ayah mertuanya, dan biar pun ilmu sihirnya tidak sehebat Pendekar Super Sakti, namun kalau ia pergunakan, cukup membuat repot lawannya. Demikianlah keadaan keluarga Suma itu yang dimusuhi oleh dunia hitam, maka tentu saja pengumuman Hek-i Mo-ong bahwa Pulau Es telah tenggelam dan keluarganya telah terbasmi disambut dengan sorak-sorai gembira.

Akan tetapi, yang menyambut dengan sorak-sorai itu hanyalah para penjahat dari tingkatan rendah saja. Para tokoh hitam yang hadir di situ, tidak dapat menerima begitu mudah saja keterangan Hek-i Mo-ong. Bagi mereka ini, mereka tahu benar betapa hebatnya keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bahkan mereka tidak berani maju ketika Hek-i Mo-ong mengajak mereka bersekutu untuk menyerbu pulau keramat itu.

“Mo-ong, bagaimana kami bisa yakin bahwa keluarga Pulau Es sudah dibinasakan? Engkau berangkat berlima dan pulang hanya sendirian saja. Mana buktinya bahwa usaha penyerbuan ke Pulau Es itu berhasil dengan baik?” terdengar seorang di antara para tokoh itu bertanya.

Pertanyaan ini segera didukung oleh banyak tokoh yang lainnya. Suara mereka saling susul-menyusul sehingga suasana menjadi riuh.

“Apa buktinya?”

“Ya, mana buktinya?”

“Kalian masih tidak percaya kepadaku?” Suara Hek-i Mo-ong terdengar lantang penuh kemarahan sehingga semua orang terkejut dan gentar, suara berisik tadi pun padam dan semua orang memandang kepada tokoh yang baru keluar dari kereta itu.

Melihat ini, dengan hati gembira Hek-i Mo-ong lalu tertawa. Seperti juga bentakannya tadi, suara ketawanya mengandung khikang yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung semua orang yang hadir di situ.

“Ha-ha-ha-ha! Kalian ingin bukti? Lihatlah baik-baik! Bocah ini adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti Suma Han.” Berkata demikian, dengan gerakan tiba-tiba Hek-i Mo-ong kemudian melontarkan tubuh Ceng Liong ke atas.

Tubuh itu terlempar ke udara. Ceng Liong merasa terkejut sekali, tetapi dia diam saja, bahkan lalu menarik kaki tangannya yang lelah dan lemah. Ketika tubuhnya meluncur turun, Hek-i Mo-ong menyambutnya dan melemparkannya kepada para pembantunya yang berada di belakangnya.

“Gantung kakinya di pohon itu agar semua orang dapat melihatnya!”

Dengan girang anak buahnya melakukan perintah ini. Akan tetapi mereka sudah kapok untuk berlancang tangan, sehingga tidak ada yang mengganggu Ceng Liong kecuali hanya menggantungnya di pohon dengan kepala di bawah, dengan mengikat kedua pergelangan kakinya seperti yang diperintahkan kepada mereka. Tidak ada tangan yang berani mengganggu, menampar pun tidak.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong sudah menuju ke tempat terbuka di mana terdapat batu-batu dan bangku-bangku kasar di mana para tokoh itu berkumpul. Maka berceritalah Hek-i Mo-ong tentang penyerbuannya ke Pulau Es.

Ceng Liong yang digantung pada kedua kakinya itu hanya mendengarkan saja dan dia mengambil keputusan untuk menghadapi kematian seperti cucu sejati dari Pendekar Super Sakti! Dia tidak pernah mengeluh dan diam-diam dia malah melakukan semedhi sambil tergantung seperti itu. Dia merasa betapa detik jantungnya menjadi aneh, apalagi ketika dia mengikuti jalan darahnya dan menghimpun hawa sakti di pusar.

Tiba-tiba saja, hawa sakti yang diterimanya dari kakeknya dua minggu yang lalu, kini berputar-putar dan mendatangkan kehangatan, akan tetapi kepalanya yang tadinya seperti berputar itu menjadi semakin ringan dan yang lebih aneh, panca inderanya menjadi amat tajam sehingga dengan mata terpejam, telinganya dapat mendengarkan suara dari jauh! Cerita Hek-i Mo-ong terdengar semua olehnya, demikian jelasnya, bahkan dia dapat menangkap tarikan napas dan detik jantung orang-orang yang duduk tidak lebih dari lima meter dari tempat dia tergantung!

Dua minggu yang lalu, pada suatu malam ketika dia tertidur, bagaikan mimpi saja dia merasa dibangunkan oleh kakeknya, kemudian digandeng oleh kakeknya dan diajak ke luar kamar. Malam itu tiada bulan namun langit amat cerah, membentang biru penuh dengan bintang-bintang yang gemerlapan amat indahnya. Kakeknya mengajaknya ke tepi pantai yang landai dan di situ kakeknya menyuruh dia duduk bersila berhadapan dengan kakeknya.

“Ceng Liong, aku akan memindahkan hawa sakti ke dalam pusarmu dan kelak dapat kau jadikan pusat pengerahan sinkang kalau engkau sudah pandai mengendalikannya. Sudah kulihat dan engkaulah yang tepat untuk mewarisinya. Akan tetapi ingat, kekuatan ini dapat menjadi dahsyat sekali dan jika disalah gunakan, kelak hanya akan memukul dirimu sendiri. Nah, ulurkan kedua lenganmu dan buka semua jalan darah, hentikan semua kesibukan dalam diri dan batinmu.”

Seperti dalam mimpi saja dia lalu menempelkan kedua tangannya pada telapak tangan kakeknya. Dan di malam yang teramat dingin itu, yang dapat membuat semua air membeku, dia merasakan kehangatan luar biasa memasuki tubuhnya melalui kedua tangannya, makin lama semakin panas sampai dia hampir tidak tahan lagi, kemudian perlahan-lahan menjadi dingin dan terus semakin dingin sampai dia merasakan seluruh darahnya membeku, kemudian berbalik menjadi panas lagi.

Dihantam serangan hawa panas dan dingin berganti-ganti ini, akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi. Setelah sadar, tahu-tahu dia telah berada di dalam air membeku, duduk bersila seperti semula, akan tetapi bukan di tempat semula melainkan telah terendam air beku sampai ke pinggangnya. Kakeknya juga duduk bersila di depannya.

“Kerahkan hawa panas dari pusar ke bawah untuk melawan dingin,” kakeknya berkata lirih namun suaranya mengandung daya pembangkit yang demikian kuatnya sehingga seolah-olah suara atau perintah itulah yang menggerakkan hawa di pusarnya.

Tiba-tiba Ceng Liong dapat merasa betapa hawa dingin yang menembus tulang-tulang di bagian bawah tubuhnya itu melenyap, dan terganti dengan hawa hangat yang amat menyenangkan! Akan tetapi, tubuhnya bagian atas berkeringat dan terasa panas sekali!

“Kerahkan sebagian hawa dari pusar ke atas untuk melawan panas! Engkau gunakan pernapasan untuk mengatur pembagian hawa...,” kembali kakeknya berkata dan tangan kakeknya menyentuh dan menekan kedua pundaknya.

Mula-mula dia merasa betapa sukarnya membagi hawa sakti dalam tubuh itu menjadi dua, bagian bawah melawan dingin dan bagian atas melawan panas. Akan tetapi begitu kedua pundaknya ditekan, mulailah dia dapat mengatur keseimbangan itu, seolah-olah ada hawa keluar dari kedua tangan kakeknya yang membimbingnya menguasai dan mengatur hawa dalam tubuhnya sendiri.

Semalam suntuk dia dilatih dan tanpa disadarinya, ia telah mewarisi sumber pembangkit tenaga sinkang dari kakeknya! Semua ini teringat kembali oleh Ceng Liong ketika dalam keadaan tergantung kakinya itu dia mengalami hal yang luar biasa anehnya, yaitu ketika hawa sakti yang diterima dari kakeknya itu bergerak dan mendatangkan hal-hal aneh, mempertajam panca inderanya!

Setelah Hek-i Mo-ong selesai bercerita, menyombongkan hasil usahanya yang telah membakar Istana Pulau Es dan membinasakan keluarga Pulau Es, dia tertawa dan menutup ceritanya.

“Hua-ha-ha, hancurlah sudah musuh nomor satu kita semua! Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya itu telah tewas. Seorang cucunya, gadis cantik itu, tentu akan hancur pula karena terjatuh ke tangan Jai-hwa Siauw-ok! Siapa tidak tahu keganasan Siauw-ok terhadap wanita? Dan seorang cucu pria terjatuh ke laut, bersama jenderal muda musuh kita pula, putera Naga Sakti Gurun Pasir itu. Mereka berdua tak mungkin dapat hidup ditelan ombak badai itu. Tinggal yang seorang ini, cucu keluarga Pulau Es yang tidak kubunuh karena hendak kuperlihatkan kepada kalian semua. Ha-ha-ha!”

“Maaf, Mo-ong, kukira keadaannya belum begitu membesarkan hati sehingga kita boleh tergesa-gesa bergembira dengan hasil itu.”

Semua orang menoleh dan memandang kepada orang yang bicara. Begitu beraninya orang ini bicara yang sedikit banyak dapat merupakan celaan terhadap Mo-ong, atau mengecilkan arti pembinasaan Pulau Es itu.

Hek-i Mo-ong sendiri dengan perlahan menoleh dan membalikkan tubuh menghadapi orang yang bicara itu. Semua orang menghentikan suara mereka dan keadaan menjadi hening karena mereka semua ingin mendengar apa yang akan dibicarakan antara dua orang ini. Apalagi setelah semua orang melihat bahwa yang bicara itu adalah orang yang amat aneh, dan yang tadi tidak mereka lihat berada di situ. Agaknya orang ini, seperti setan saja, tahu-tahu muncul di situ dan berani mencela Hek-i Mo-ong.

Sebaliknya, begitu Hek-i Mo-ong melihat orang itu, alisnya yang berkerut itu membuyar dan wajahnya berseri, mulutnya tertawa ramah.

“Ha-ha-ha, tadinya kusangka siapa yang berani lancang mencelaku. Kiranya See-thian Coa-ong! Ha-ha-ha-ha, di antara sahabat sendiri, memang sebaiknya kalau kita bicara blak-blakan saja. Nah, jelaskan, kawan, mengapa kita tidak boleh bergembira dengan hasil baik ini?”

Banyak di antara mereka terkejut saat mendengar disebutnya nama See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat) itu. Nama itu adalah nama seorang tokoh besar dunia persilatan yang termasuk orang aneh, tidak dapat dibilang berpihak pada kaum pendekar atau pun pendukung golongan sesat. Dia seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang berdiri bebas dalam keanehan mereka sendiri, tidak perduli akan golongan-golongan dan tidak mau mencampuri dalam arti kata tidak mau terlibat. Setelah kini mereka memandang penuh perhatian, diam-diam mereka dapat mengakui akan keanehan orang ini, keanehan yang mengerikan.

See-thian Coa-ong ini bukanlah seorang Han. Hal itu jelas nampak dari wajahnya dan kulitnya. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan tubuhnya hampir telanjang bulat. Hanya ada kain cawat penutup tubuhnya. Kulitnya kehitaman dan karena sangat kurus, maka nampak tinggi sekali. Kepalanya botak kelimis. Dua telinganya yang terlalu lebar itu dihias anting-anting perak.

Kedua pergelangan tangannya yang hanya kulit membungkus tulang itu terhias gelang-gelang perak. Di lehernya terdapat kalung, bukan kalung perak atau emas, melainkan kalung hidup, yaitu seekor ular kobra belang yang amat berbisa. Ular seperti ini kalau menggigit, kabarnya tidak ada obatnya lagi dan si korban langsung mati! Melihat ular ini saja, mereka yang mengenal kehebatan racunnya, sudah merasa ngeri dan mereka yang berdiri dekat sudah menggeser tempatnya menjauh. Ada bau harum amis datang dari kakek ini.

Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu masih ingat kepada kakek aneh ini. Kurang lebih sepuluh sampai dua belas tahun yang lalu, See-thian Coa-ong pernah muncul dan membimbing pendekar wanita Bu Ci Sian dalam ilmu menaklukkan ular-ular dan memperdalam ilmu silat pendekar itu. Kakek ini lalu menghilang karena memang dia seorang perantau yang biasa berkelana ke gunung-gunung, terutama di Pegunungan Himalaya.

See-thian Coa-ong adalah seorang Nepal yang bernama Nilagangga. Akan tetapi, sejak mudanya dia sudah sering kali datang ke daerah Tiongkok sehingga dia menguasai pula Bahasa Han, dan juga dia mengenal banyak tokoh-tokoh dunia kang-ouw. Banyak pula dia mendapatkan ilmu-ilmu silat dari daerah Sin-kiang dan di daerah Sin-kiang inilah dia dahulu berkenalan dengan Hek-i Mo-ong. Pada saat itu Hek-i Mo-ong masih memimpin perkumpulan Hek-i-mo di Sin-kiang. Itulah sebabnya mengapa peranakan Kozak ini bersikap ramah kepada Raja Ular itu.

“Hek-i Mo-ong, menurut ceritamu tadi, biar pun engkau telah berhasil membinasakan Pulau Es dan para penghuninya, akan tetapi engkau pun telah kehilangan banyak sekali kawan-kawanmu. Bahkan orang-orang yang lihai sekali seperti Ngo-bwe Sai-kong, Si Ulat Seribu, dan Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas dalam penyerbuan itu, belum lagi dihitung banyaknya anak buahmu. Dan untuk semua pengorbanan itu, engkau hanya dapat menewaskan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya, tiga orang yang sudah tua renta dan yang tanpa diserbu sekali pun akan mati sendiri tidak lama lagi. Apakah hal itu boleh dibuat gembira?”

Wajah Hek-i Mo-ong menjadi agak merah akan tetapi dia masih tersenyum lebar. “Aha, Coa-ong! Agaknya engkau lupa bahwa pengorbanan seperti itu jauh terlalu ringan dan murah dibandingkan dengan hasilnya. Bayangkan saja! Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya! Dan Pulau Es juga terbakar habis. Belum lagi tiga orang cucu mereka tentu akan tewas, ditambah lagi Jenderal Muda Kao Cin Liong yang sudah banyak menimbulkan susah kepada kawan-kawan kita, terutama di barat.”

Kakek See-thian Coa-ong menghela napas panjang. “Baik, baiklah.... katakanlah bahwa hasilnya cukup besar. Akan tetapi apakah kita lalu dapat mengatakan bahwa kematian mereka itu akan membebaskan kalian dari lawan kalian? Mo-ong, apakah artinya hasil itu kalau engkau ingat bahwa di sana masih hidup keturunan Pulau Es yang amat lihai? Lupakah engkau pada Puteri Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan suaminya orang she Gak yang amat lihai itu? Dan lupakah engkau pada putera-putera Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Kian Lee dan terutama sekali Suma Kian Bu Si Pendekar Siluman Kecil? Dan juga, kalau benar Jenderal Muda Kao Cin Liong tewas, engkau harus berani menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir! Dan.... ah, masih banyak lagi para pendekar sakti yang akan merupakan lawan berat bagimu, Hek-i Mo-ong. Lupakah engkau kepada keluarga Bu-taihiap yang kini tinggal di kota raja? Bu-taihiap dan isteri-isterinya saja sudah amat lihai, apalagi mantunya! Tentu engkau tidak akan melupakan Kam Hong yang dijuluki Pendekar Suling Emas itu, bukan? Juga keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Hemm, aku sendiri sebagai orang luar merasa amat khawatir akan masa depanmu, Hek-i Mo-ong!”

Wajah Hek-i Mo-ong yang tadinya merah itu kini menjadi agak pucat. Diingatkan kepada para pendekar sakti itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya kecut. Rasa gentar menyelinap di sanubarinya karena apa yang diucapkan oleh Raja Ular itu sama sekali tidak keliru. Mereka semua itu adalah orang-orang hebat dan harus diakuinya bahwa ketika menghadapi Pendekar Suling Emas Kam Hong dia terdesak hebat, dan nyaris tewas kalau tidak mempergunakan sihirnya untuk melarikan diri.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es