KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-06


“Apa yang telah terjadi....? Ahhh.... engkau.... engkau telah menotokku dengan curang!” Suma Hui lalu teringat akan perbuatan Cin Liong tadi dan kemarahannya membuat ia meloncat ke depan.

Cin Liong bangkit berdiri, akan tetapi sebelum dia sempat menerangkan, dara itu telah menggerakkan kedua tangan menampar mukanya dengan cepat.

“Plak! Plak! Plak! Plak!”

Empat kali kedua pipi Cin Liong menerima tamparan, membuat kulit pipinya menjadi merah. Dia sengaja tak mau menangkis atau mengelak, maklum betapa marahnya dara itu dan bahwa dara itu telah salah kira.

“Enci, jangan....!” Ciang Bun memegang lengan kanan enci-nya.

“Enci Hui, jangan pukul dia!” Ceng Liong juga meloncat dan memegang tangan kiri dara itu.

“Biar! Lepaskan aku! Biar kuhajar manusia ini! Keponakan macam apa dia ini, berani menipuku dan menotokku....!”

“Sabarlah, enci, sabarlah. Semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai,” kata Ciang Bun.

“Dia hanya mentaati pesan nenek Nirahai dan dia tidak bermaksud buruk terhadap engkau dan kita semua, enci Hui!” Ceng Liong juga membujuk dara yang masih marah itu.

Kedua tangan Suma Hui dikepal, matanya seperti berapi memandang wajah Cin Liong dan andai kata ia tidak dipegangi, tentu ia sudah menyerang kalang-kabut.

Cin Liong hanya menundukkan mukanya dan mengusap kedua pipinya yang menjadi merah agak biru karena ketika ditampar tadi sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk melawan. Dan tamparan tangan seorang dara seperti Suma Hui amatlah hebat!

Masih untung pendekar ini bahwa Suma Hui tidak menampar untuk menyerang, tetapi hanya sebagai peluapan amarah saja. Jika dara itu tadi menampar dengan pengerahan tenaga sinkang, tentu bisa retak-retak tulang rahangnya! Dan betapa pun marahnya, melihat orang yang sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis tamparannya, tidak mungkin cucu dari Pendekar Super Sakti mau mempergunakan sinkang.

Mendengar bujukan kedua orang adiknya dan melihat betapa kedua pipi pemuda itu matang biru dan pemuda itu hanya menundukkan muka dan mengusap kedua pipinya, kemarahan Suma Hui agak mereda. Ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menelan kemarahannya dan akhirnya mukanya kehilangan sinar merah kemarahannya, pandang matanya tidak ganas seperti tadi. Melihat keadaan enci mereka, Ceng Liong dan Ciang Bun menjadi lega lalu melepaskan lengan gadis itu.

“Baiklah....,” akhirnya Suma Hui berkata, “aku menerima kenyataan bahwa semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai.... tetapi apa sebabnya? Bukankah Pulau Es diserbu musuh? Mengapa kita harus melarikan diri?” Pertanyaan itu ditujukan kepada Cin Liong dan sepasang mata itu menatap wajah pendekar yang kedua pipinya merah kebiruan itu.

“Karena itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kalian bertiga,” jawab Cin Liong. “Sebelum terjadi penyerbuan, nenek buyut Nirahai telah minta supaya aku berjanji untuk melaksanakan perintahnya itu, yaitu kalau keadaan sudah gawat aku harus membawa kalian ke sini untuk bersembunyi, kalau perlu dengan kekerasan seperti yang terpaksa kulakukan tadi. Harap maafkan kelancanganku, siauw-i (bibi kecil).”

“Tapi.... bagaimana dengan nenek Nirahai? Dan kakek? Kita disuruh bersembunyi, lalu bagaimana dengan mereka....? Mari kita keluar untuk membantu mereka!”

“Tapi, bibi....” Cin Liong hendak mencegah.

Memang sudah ada satu hari lebih mereka berada di situ semenjak mereka masuk sampai dara itu siuman, akan tetapi dia belum mengetahui bagaimana keadaan di luar sehingga berbahayalah kalau tiga orang muda itu keluar. Bagaimana kalau musuh masih berkeliaran di luar? Bukankah tiga orang muda ini akan terancam keselamatan mereka dan akan sia-sialah semua usahanya memenuhi perintah nenek Nirahai untuk menyingkirkan mereka dari bahaya?

Suma Hui menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula masuk ke tempat persembunyian rahasia itu oleh Cin Liong. Nampak sinar berkelebat pada waktu dia menggerakkan sepasang pedang itu melintang di depan dadanya. Sikap dan pandang matanya penuh tantangan terhadap Cin Liong.

“Engkau hendak melarangku? Hemm, boleh, ingin kulihat siapa yang berani mencegah aku keluar!”

Sejenak kedua orang ini berdiri saling pandang seperti dua ekor ayam hendak berkelahi, akan tetapi Cin Liong lalu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.

“Baiklah, mari kita keluar dan kalau perlu aku akan mempertanggung jawabkan janjiku kepada nenek buyut Nirahai.”

Cin Liong tahu bahwa dara di depannya ini memiliki kekerasan hati yang tak mungkin dilawannya, karena kalau dia menggunakan kekerasan, tentu dara itu akan melawan dan membencinya. Dan dia merasa ngeri kalau harus menghadapi kebencian dara ini.

“Tetapi, nenek Nirahai akan marah kepadamu!” Suma Ciang Bun mencela. “Dan janji seorang gagah tidak boleh dilanggar, apalagi janji terhadap nenek Nirahai!”

“Enci Hui, kalau engkau memaksa Cin Liong, berarti engkaulah yang memaksanya melanggar janji dan engkau pula yang membantah terhadap perintah nenek Nirahai!” Suma Ceng Liong juga mencela.

Cin Liong kini melihat keraguan membayang pada wajah dara itu, keraguan yang bercampur dengan kekhawatiran. Dia merasa kasihan sekali, dapat memaklumi betapa duka dan khawatir adanya perasaan dara itu.

Dia sendiri tadinya kurang setuju terhadap niat nenek itu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan nenek itu sendirian saja menghadapi banyak lawan tangguh, sedangkan dia harus pergi menyelamatkan tiga orang muda itu. Kalau dia terpaksa menerima perintah itu adalah karena dia pun dapat melihat bahwa memang keselamatan tiga orang muda itu amat terancam dan perlu diselamatkan, dan dia sudah berjanji, maka bagaimana pun juga harus dipenuhinya. Akan tetapi sekarang, melihat kedukaan dan kekhawatiran yang membayang di wajah gadis itu, dia sendiri kini merasa menyesal mengapa dia telah mentaati perintah nenek Nirahai.

“Biarlah, kalau nenek buyut Nirahai marah, biarlah aku yang akan bertanggung jawab. Mari kita keluar dan melihat keadaan di sana,” kata Cin Liong.

Tiga orang muda yang memang ingin sekali melihat bagaimana keadaan dengan nenek dan kakek mereka, tidak membantah lagi karena pemuda yang menjadi keponakan mereka itu yang akan bertanggung jawab.

Dengan hati-hati dan berindap-indap, Cin Liong dan tiga orang muda itu keluar dari pintu rahasia dan sebelum mereka berloncatan keluar, lebih dahulu mereka memperhatikan keadaan dengan pendengaran mereka. Akan tetapi keadaan di luar amat hening. Tidak terdengar suara sedikit pun, juga tidak nampak sesuatu, tidak nampak seorang pun. Begitu sunyi keadaannya, sunyi menegangkan hati dan dapat menimbulkan dugaan-dugaan yang mengerikan.

Apalagi setelah mereka berada di luar. Sungguh jauh sekali dari pada yang mereka kira semula. Tidak nampak bayangan seorang pun musuh, juga tidak nampak mayat-mayat mereka, padahal mereka berempat itu maklum betapa banyaknya pihak musuh yang roboh dan tewas.

“Mari kita cari di dalam!” Suma Hui berkata dan suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia merasa gelisah sekali.

Setelah kini berada di luar, dialah yang menjadi pemimpin. Bagaimana pun juga, Cin Liong hanyalah seorang tamu dan seorang keponakan. Mereka lalu berjalan cepat, bahkan berlari, memasuki Istana Pulau Es. Dan di ruangan depan, mereka sudah dikejutkan oleh kenyataan mengerikan, yaitu menggeletaknya lima orang pelayan Istana Pulau Es, yaitu tiga orang pelayan pria dan dua orang pelayan wanita. Mereka telah tewas semua dengan tubuh penuh luka berat.

Suma Hui mengeluarkan seruan tertahan melihat ini dan ia pun cepat lari masuk ke dalam, diikuti oleh dua orang adiknya dan Cin Liong. Akhirnya mereka tiba di ruangan di mana peti jenazah nenek Lulu berada dan mereka berhenti, sejenak tertegun melihat kakek Suma Han masih duduk bersila di dekat peti, akan tetapi di sebelahnya nampak rebah terlentang tubuh nenek Nirahai yang sudah tidak bernyawa lagi.

Keadaan di dalam ruangan itu begitu sunyi. Kakek yang duduk bersila itu seperti arca, tiada yang bergerak, tiada yang bersuara. Satu-satunya yang bergerak hanyalah asap dupa yang mengepul lurus ke atas karena tidak terganggu semilirnya angin.

“Nenek Nirahai....!” Tiba-tiba Suma Hui menjerit. Dara ini lari menghampiri, lalu berlutut dan menubruk, memeluki jenazah nenek itu sambil menangis.

Melihat enci-nya menangis sesenggukan seperti itu, Ciang Bun juga tak dapat menahan tangisnya. Hanya Ceng Liong yang tidak menangis, melainkan berlutut di dekat jenazah nenek itu dan memandang dengan matanya yang lebar. Kalau dia berduka, maka kedukaan itu hanya nampak pada kedua alisnya yang berkerut dan kalau dia merasa marah, kemarahan itu hanya nampak pada kedua tangannya yang dikepal keras.

Cin Liong hanya menundukkan mukanya. Diam-diam dia pun merasa amat terharu dan menyesal, mengapa keluarga Pulau Es yang demikian terkenal sebagai keluarga para pendekar sakti, kini mengalami musibah yang demikian hebat sehingga kedua orang nenek itu, isteri dari Pendekar Super Sakti, tewas susul-menyusul dalam waktu sehari semalam, terbunuh oleh serbuan musuh yang amat banyak dan kuat.

Suma Hui agaknya teringat akan sesuatu dan dengan tangis masih menyesak di dada, ia mengangkat muka memandang kepada kakek yang masih duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya itu.

“Kong-kong....! Kenapa kong-kong membiarkan semua ini terjadi? Kenapa kong-kong membiarkan orang-orang jahat membunuh nenek Lulu dan nenek Nirahai? Di mana kesaktian kong-kong? Kenapa kong-kong tidak menghadapi musuh, menghajar mereka dan mencegah mereka membunuh kedua orang nenekku ini? Di manakah kegagahan kong-kong....?”

Cin Liong terkejut sekali melihat betapa gadis itu dalam kedukaan dan kemarahannya berani mencela dan menegur kakek yang sakti itu, akan tetapi dia melihat kakek itu diam saja, bergerak pun tidak dan dia dapat mengerti betapa hebat kedukaan melanda hati kakek itu yang sekaligus kematian kedua orang isterinya yang terkasih.

Ciang Bun merangkul enci-nya dan membujuknya agar tidak marah-marah seperti itu.

“Enci.... janganlah menambah kedukaan kong-kong dengan kata-katamu seperti itu....,” keluhnya.

Suma Ceng Liong memandang kepada Suma Hui dan tiba-tiba anak ini berkata, “Enci Hui, ucapan apa itu? Kong-kong tentu mengerti segala yang telah terjadi dan untuk semua itu dia tentu telah mempunyai alasan sendiri. Betapa lancangnya enci berani mencela dan menegur kong-kong!”

Suma Hui mengepal tinju dan kini menoleh dan memandang kepada Cin Liong. “Kita semua telah menjadi pengecut! Yah, karena perbuatanmu itulah, Cin Liong, maka aku menjadi pengecut! Kita melarikan diri, bersembunyi dan membiarkan nenek Nirahai dikeroyok dan dibunuh musuh. Aih.... sungguh malu sekali, aku telah menjadi pengecut gara-gara engkau!” Dan ditudingkan telunjuknya ke arah muka Cin Liong.

“Enci....!” Ciang Bun menegur.

“Enci Hui....!” Ceng Liong juga menegur.

Akan tetapi, Cin Liong yang tadinya mengangkat muka memandang gadis itu, kini menunduk kembali dan menarik napas panjang. Dia merasa amat kasihan kepada gadis itu. Biar pun gadis itu kelihatan marah-marah, menyesal dan membencinya, namun dia tahu bahwa semua itu timbul karena gadis itu merasa berduka sekali melihat kematian kedua orang neneknya.

“Bibi Hui, sesungguhnya, aku sendiri pun merasa menyesal harus meninggalkan medan perkelahian, tetapi bagaimana aku dapat membantah perintah nenek buyut Nirahai?” katanya perlahan.

“Nenek memerintahkan karena sayang kepada kami. Akan tetapi perintah itu membuat kita semua menjadi pengecut-pengecut tak tahu malu. Mengapa engkau mentaatinya secara membuta saja?” Suma Hui membentak.

“Bibi, hendaknya dapat melihat dari sudut lain. Perintah nenek buyut sama sekali bukan untuk membuat kita menjadi pengecut, sama sekali bukan. Melainkan perintah yang mengandung kebenaran dan kecerdasan.”

“Melarikan diri dari musuh kau anggap benar dan cerdas? Cin Liong, katanya engkau ini seorang jenderal perang, mengapa berpendapat demikian? Pendapat macam apakah itu?”

“Bibi Hui, ketahuilah bahwa nenek buyut Nirahai adalah seorang panglima besar dan aku sendiri sedikit banyak pernah belajar ilmu perang. Mengundurkan diri, melarikan diri dalam suatu saat merupakan sebuah taktik dalam perang, dan sama sekali bukan tanda watak pengecut. Demikian pula, nenek buyut Nirahai minta kepadaku untuk membawa kalian bertiga bersembunyi kalau keadaan menjadi gawat, sama sekali bukan karena hendak membuat kita menjadi pengecut, melainkan berdasarkan perhitungan yang masak, benar dan cerdas. Karena, andai kata kita tidak melarikan diri, apakah kita akan dapat menyelamatkan nenek buyut? Ingatlah, keadaan pihak lawan jauh terlalu banyak dan terlalu kuat, sehingga kalau toh kita melawan, maka kita pun semua akan tewas bersama nenek buyut.”

“Lebih baik mati bersama nenek Nirahai dari pada meninggalkannya lari, membiarkan ia sendirian saja menghadapi musuh dan tewas! Seorang gagah akan menghadapi lawan sampai titik darah penghabisan!” Suma Hui tetap ngotot.

“Enci Hui, lupakah engkau akan pelajaran yang pernah kita terima dari ayah mau pun kakek? Melawan musuh secara membuta sampai mati hanyalah tindakan orang nekat yang bodoh. Melarikan diri karena takut barulah pengecut, tetapi melarikan diri karena tahu akan kekuatan lawan adalah sikap yang cerdas,” kata Ciang Bun memperingatkan enci-nya.

“Dan kita lari bukan karena takut, enci. Melainkan karena perintah nenek Nirahai yang memerintahkan dengan dasar perhitungan yang matang. Beliau ingin menyelamatkan kita, dan enci tidak berterima kasih malah kini marah-marah? Bukankah kalau demikian berarti enci marah-marah kepada nenek Nirahai yang telah tiada?” Ceng Liong juga menegur.

Mendengar kata-kata kedua orang adiknya itu, air matanya bercucuran dari kedua mata Suma Hui dan melihat ini, Cin Liong merasa kasihan sekali. Sebenarnya gadis ini memiliki kegagahan luar biasa, dan kekerasan hati akan tetapi juga kelembutan. Ingin dia merangkul dan menghiburnya, menyusut air mata itu!

“Kukira.... kukira sebaiknya kalau kita mengurus jenazah nenek buyut.... di mana kita dapat mencari peti jenazah....?” Akhirnya Cin Liong berkata.

“Nenek Nirahai sudah mempunyai peti jenazah sendiri, di dalam kamarnya. Biar kita mengambilnya,” kata Ciang Bun.

Mereka berempat lalu bangkit dan mengambil peti jenazah itu dan bersama-sama mereka lalu membersihkan jenazah, mengenakan pakaian yang terbaik pada jenazah itu dan memasukkannya ke dalam peti. Semua ini terjadi dan kakek Suma Han tetap duduk bersila tanpa pernah bergerak. Dan empat orang muda itu pun tidak ada yang berani mengganggunya.

Kembali Suma Hui menangis ketika ia bersembahyang di depan peti jenazah ini. Ceng Liong menghiburnya dengan kata-kata penuh semangat, “Enci Hui, kenapa menangis? Kalau kupikir, masih untung bahwa Cin Liong mentaati perintah mendiang nenek. Kalau tidak demikian, tentu kita semua telah mati juga. Dan sekarang, kita masih hidup sehingga kita akan mampu untuk membalaskan kematiannya, bukan?”

“Liong-te, ingat. Bukankah kakek selalu memperingatkan kita agar tidak membiarkan hati kita diracuni dendam?” Ciang Bun menegur adiknya.

Tiba-tiba terdengar suara halus, “Kematian adalah suatu kewajaran. Tidak perlu dibuat susah, tak perlu diributkan. Setelah matahari tenggelam, bawa mayat kami semua ke ruangan sembahyang kemudian bakarlah. Begitu mayat terbakar, kalian harus cepat meninggalkan pulau ini dalam perahu, dan kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Perintahku terakhir ini sedikit pun tidak boleh kalian langgar!”

Semua orang terkejut sekali mendengar ini. Tadinya mereka bingung karena suara itu bagaikan datang dari ke empat penjuru, atau kadang-kadang seperti datang dari atas. Setelah tiga orang cucu itu mengenal suara kakek mereka, barulah mereka menoleh dan memandang.

Akan tetapi selagi suara itu masih terdengar bicara, bibir kakek mereka tidak bergerak sama sekali. Akan tetapi jelas bahwa kakek Suma Han, Pendekar Super Sakti itulah yang bicara karena suaranya tentu saja amat dikenal oleh Ceng Liong, Ciang Bun, dan Suma Hui! Dan kalimat terakhir itu menunjukkan bahwa kakek itu telah meninggal dunia! Cin Liong yang lebih dulu sadar akan hal ini dan dia pun cepat maju menghampiri kakek yang duduk bersila itu, lalu meraba pergelangan tangannya.

“Beliau telah wafat....,” katanya lirih, penuh takjub dan hormat.

Kakeknya ini, melihat tubuh yang sudah dingin kaku itu, tentu telah meninggal dunia sejak tadi, akan tetapi mengapa suaranya masih terdengar? Diam-diam jenderal muda ini bergidik dan dia teringat akan cerita ayahnya tentang pendekar tua yang luar biasa saktinya ini.

Mendengar ini, Suma Hui menubruk kakeknya dan kembali dara ini menangis terisak-isak. Seperti tadi, kembali Suma Hui menangis dan Ciang Bun juga mengucurkan air mata, akan tetapi Ceng Liong yang nampaknya tidak menangis, hanya mukanya kini menjadi agak pucat, matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Cin Liong membiarkan dara itu menangis sejenak, kemudian terdengar dia berkata lirih, “Harap kalian suka ingat akan pesan kakek buyut tadi bahwa kematian adalah suatu kewajaran yang tidak perlu disusahkan atau diributkan.”

Mendengar peringatan ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan sambil memegangi tangan kakeknya yang sudah dingin kaku itu, ia berkata, “Kong-kong, ampunkanlah Hui yang tadi telah menegur dan mencelamu.... Hui tidak tahu bahwa kong-kong telah tiada.... kong-kong, kami akan mentaati semua pesanmu tadi....”

Melihat betapa gadis itu bicara kepada mayat yang tetap duduk bersila itu seolah-olah bicara kepada orang yang masih hidup, Cin Liong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk dan dia pun mengejap-ngejapkan mata untuk menahan air mata. Mulai detik itu tahulah dia bahwa dia telah jatuh cinta.

Namun, pada saat itu pula dia pun melihat kejanggalan besar dalam cintanya ini. Betapa mungkin seorang keponakan mencinta bibinya sendiri! Mencinta memang mungkin saja, karena cinta adalah urusan hati. Akan tetapi mana mungkin cinta itu diwujudkan menjadi suatu perjodohan? Seorang bibi berjodoh dengan keponakannya? Walau pun usia mereka memang pantas, yaitu dia lebih tua dari pada ‘bibinya’ itu, bahkan jauh lebih tua.

Betapa pun juga, batinnya menyangkal adanya semua peraturan ini. Batinnya tidak membohong. Dia jatuh cinta kepada Suma Hui, dan Cin Liong siap sedia menghadapi kegagalannya yang ke dua dalam bercinta. Dan hatinya pun terasa perih sekali.

Mereka berempat lalu sibuk bekerja. Lima mayat pelayan juga mereka angkut sekalian ke ruangan sembahyang yang cukup luas. Jenazah nenek Nirahai mereka masukkan peti, diletakkan di kanan kiri jenazah kakek Suma Han yang masih duduk bersila, yang mereka dudukkan di atas meja rendah bertilam bantal. Memang aneh sekali melihat jenazah yang tetap duduk bersila itu. Kemudian jenazah lima orang pelayan dibaringkan di atas tumpukan kayu bakar di belakang deretan tiga jenazah keluarga Pulau Es.

Suma Hui tahu apa yang harus dikerjakan. Ia bahkan tahu pula apa yang dikehendaki oleh kakeknya dalam pesan terakhir itu. Dengan air mata mengalir turun, akan tetapi ia sudah dapat menahan diri tidak terisak lagi, ia berkata kepada dua orang adiknya, juga kepada Cin Liong.

“Kong-kong menghendaki agar Istana Pulau Es lenyap bersama dia dan nenek berdua.”

“Apa maksudmu, enci Hui?” tanya Ciang Bun heran.

“Kong-kong memerintahkan untuk membakar jenazah di ruangan sembahyang yang terkurung tempat penyimpanan minyak. Ruangan itu akan terbakar dan istana akan terbakar habis pula,” kata Suma Hui dengan sedih.

“Akan tetapi hal itu sama sekali tidak boleh terjadi!” Ceng Liong berseru kaget. “Istana Pulau Es adalah tempat keramat bagi kita, tempat pusaka, mana bisa dibakar habis terbasmi begitu saja?”

Tiga orang keturunan Pendekar Super Sakti ini menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan sehubungan dengan pesan terakhir dari kakek sakti itu, pesan yang sesungguhnya berlawanan dengan suara hati mereka. Tentu saja mereka merasa berat kalau harus membakar musnah Istana Pulau Es.

“Bagaimana dengan pendapatmu, Cin Liong? Biar pun engkau hanya keponakan kami, akan tetapi usiamu jauh lebih tua dan pemikiranmu lebih matang.” Akhirnya Suma Hui berpaling kepada keponakannya itu dan bertanya.

Cin Liong memandang kepada mereka. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum melihat tiga orang muda itu. Masih begitu muda akan tetapi sudah jelas membayangkan watak pendekar-pendekar yang hebat.

“Kong-couw Suma Han adalah seorang pendekar sakti yang tentu telah memikirkan secara mendalam sebelum mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, pesannya yang terakhir tadi, walau pun nampak janggal dan aneh, juga malah merugikan, aku yakin tentu juga mempunyai alasan-alasan yang sangat kuat. Dalam pesannya tadi ditekankan bahwa kita harus mentaatinya dan bahkan ditekankan bahwa perintah terakhir itu sedikit pun tidak boleh kita langgar. Di balik perintah ini tentu ada suatu sebab yang amat kuat dan kurasa, kita sama sekali tidak boleh melanggarnya, sebagai kebaktian dan penghormatan kita yang teraknir kepada beliau.”

Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu dapat menerima pendapat ini dan mereka pun lalu sibuk membuat persiapan, menanti sampai datangnya senja, tiada hentinya mereka melakukan sembahyang guna memberi penghormatan teraknir kepada jenazah-jenazah kakek dan dua orang nenek mereka itu.

Diperhatikan oleh Cin Liong bahwa di antara mereka, hanya Ceng Liong yang memiliki keganjilan. Suma Hui sering kali menangis sedih dan Ciang Bun juga kadang-kadang tak dapat menahan air matanya. Akan tetapi Ceng Liong, anak itu sama sekali tidak pernah menitikkan air mata! Padahal, dari sinar matanya, dia tahu bahwa anak ini pun menderita kedukaan dan penyesalan besar berhubung dengan kematian tiga orang tua yang dicintanya itu. Anak ini sungguh luar biasa, pikirnya, mempunyai kekuatan batin yang hebat.

Akhirnya, saat yang dinanti-nanti dengan hati tegang bercampur haru dan duka itu pun tibalah. Matahari telah condong ke barat, kemudian tenggelam. Senja telah tiba. Empat orang muda itu, kini dipimpin oleh Suma Hui, sudah menuangkan minyak bakar kepada semua jenazah, baik yang di peti mau pun yang tidak, juga kayu-kayu bakar yang ditumpuk di bawah dan sekeliling para jenazah, semua telah disirami minyak bakar yang banyak disimpan di dalam gudang.

Kemudian, untuk yang terakhir kalinya, tiga orang cucu dan seorang buyut keluarga Pendekar Super Sakti itu berlutut dan bersujud. Suma Hui tak dapat menahan tangisnya sehingga Ciang Bun juga ikut menangis. Bahkan Cin Liong tidak kuasa menahan air matanya. Hanya Ceng Liong yang tetap melotot dengan kedua matanya tinggal kering, walau pun cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.

“Kong-kong, kakekku yang tercinta.... dan kedua orang nenekku yang berbudi.... ampunkanlah kami yang tidak berbakti, yang membiarkan kakek dan nenek tewas di tangan penjahat-penjahat. Dan ampunkanlah kami yang terpaksa melakukan upacara perabuan jenazah kakek dan nenek secara sederhana.... bahkan harus meninggalkan Pulau Es.... semua hanya karena ingin memenuhi perintah terakhir kakek....”

Dengan hati diliputi penuh keharuan, tiga orang cucu itu, dibantu pula oleh Cin Liong, lalu menggunakan obor untuk menyalakan api. Karena ruangan itu telah penuh dengan siraman minyak bakar, maka dalam sekejap mata saja api telah berkobar dan menelan segala yang berada di dalam ruangan.

Empat orang muda itu dengan muka pucat masih sempat melihat dari luar ruangan betapa jenazah kakek yang duduk bersila itu diselimuti api berkobar, demikian pula dua buah peti jenazah dan jenazah lima orang pelayan. Hawa menjadi terlalu panas, cahaya api terlihat menyilaukan dan mereka pun teringat akan perintah terakhir dari Pendekar Super Sakti, maka mereka bertiga, dibujuk oleh Cin Liong, cepat-cepat meninggalkan istana itu dan menggunakan sebuah perahu untuk menjauhi Pulau Es.

Belum lama mereka mendayung perahu, mereka dikejutkan oleh suara keras dari pulau itu dan nampaklah api yang amat besar menelan istana! Istana Pulau Es itu berkobar sedemikian hebatnya sehingga api menjulang tinggi ke angkasa, sinarnya menerangi permukaan laut!

Empat orang muda itu memandang dengan mata terbelalak lebar. Biar pun mereka juga sudah dapat menduga adanya kemungkinan istana itu ikut terbakar setelah ruangan sembahyang itu dijadikan tempat pembakaran mayat, namun mereka sama sekali tidak menyangka bahwa api akan dapat mengamuk secepat itu. Andai kata mereka tidak cepat-cepat pergi meninggalkan istana itu, mungkin saja mereka akan terancam bahaya api!

Kiranya dalam pesannya terakhir itu, kakek Suma Han memang sudah tahu akan bahaya ini dan karenanya minta kepada mereka semua untuk cepat-cepat menyingkir meninggalkan pulau, bukan hanya meninggalkan istana. Dan sebab dari perintah ini pun segera mereka ketahui ketika api itu makin lama semakin hebat saja nyalanya, bukan hanya terbatas pada istana itu yang berada di tengah pulau, melainkan menjalar ke seluruh permukaan pulau! Pulau Es itu terbakar seluruhnya! Dan bukan terbakar biasa saja. Api menyembur-nyembur ke atas seolah-olah api itu menyambar sumber minyak yang meluncur ke atas.

Pemandangan yang mentakjubkan itu membuat empat orang muda yang berada di atas perahu melongo. Saking besarnya cahaya api, nampak oleh mereka istana itu amat indahnya. Istana Pulau Es seolah-olah berubah menjadi emas, demikian megah dan agung dan ajaib dalam lautan api! Akan tetapi, hawa panas membuat mereka harus cepat-cepat mendayung perahu mereka menjauh.

Dari jarak yang sangat jauh, mereka masih dapat menyaksikan pemandangan yang mentakjubkan itu, api yang menggunung. Sampai semalam suntuk api itu bernyala, akan tetapi setelah lewat tengah malam, cahaya api mulai mengecil dan istana itu mulai runtuh. Sampai kemudian, menjelang matahari terbit, api itu padam sama sekali dan setelah matahari naik tinggi, empat orang itu terheran-heran karena tidak melihat lagi adanya Pulau Es! Tenggelamkah pulau itu? Ataukah permukaannya runtuh dan sisanya terendam air lautan? Apa pun juga yang terjadi, ternyata Pulau Es telah lenyap dari permukaan air!

“Pulau Es telah lenyap!” teriak Ceng Liong sambil mengepal tinju.

“Sungguh lenyap sama sekali....! Sudah tenggelamkah pulau kita itu?” Ciang Bun juga berteriak.

Suma Hui menangis kemudian terguling roboh, pingsan dalam pelukan Cin Liong yang dengan sigap menerima tubuh gadis itu ketika terguling. Dia lalu merebahkan dara itu di dalam bilik perahu, menenangkan hati Ciang Bun dan Ceng Liong.

“Tidak apa, bibi Hui hanya terlalu banyak membiarkan hatinya dihimpit duka.... kalau nanti siuman dan menangis, kalian biarkanlah saja.”

Dengan beberapa kali mengurut jalan darahnya, akhkirnya Cin Liong berhasil membuat dara itu siuman kembali. Dan benar saja, seperti yang diduganya tadi, begitu sadar Suma Hui lalu menangis, tersedu-sedu. Dua orang adiknya hanya dapat memandang dengan muka pucat. Mereka sendiri dapat merasakan betapa musibah telah menimpa keluarga Pulau Es secara bertubi-tubi dan berturut-turut. Bagaikan dalam mimpi saja semua itu!

Dalam waktu dua hari saja, kakek dan dua orang nenek mereka, yang mereka pandang sebagai orang-orang yang paling sakti di dunia ini, telah tewas dan bahkan istana di Pulau Es yang mereka pandang sebagai tempat keramat, pusaka keluarga nenek moyang mereka, terbakar habis dan pulau itu pun lenyap bersama-sama! Hanya dalam waktu dua hari! Hampir sukar untuk mereka percaya. Baru dua hari yang lalu mereka masih berlatih silat di pulau itu!

Setelah pulau yang terbakar itu padam, suasana menjadi begitu sunyi, yang terdengar hanya tangis Suma Hui yang lenyap ditelan kesunyian malam. Air laut pun begitu tenang sehingga perahu mereka itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah lautan pun berkabung atas kematian Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya yang sakti, dan atas musnahnya Pulau Es berikut istananya. Malam yang amat sunyi, sesunyi hati empat orang di dalam perahu itu.

Cin Liong mengeluh di dalam hatinya. Dia merasa amat berduka melihat kebinasaan pulau berikut keluarga Pulau Es yang amat dihormati dan dikaguminya itu. Akan tetapi, pemuda yang sudah cukup dewasa ini tidak mau memperlihatkan kedukaannya, bahkan dia selalu menghibur tiga orang yang jauh lebih muda darinya itu.

Dalam peristiwa ini, Cin Liong kembali mendapatkan kenyataan bahwa tiada yang kekal di dalam kehidupan ini! Pada suatu saat, setiap orang manusia akan kehilangan segala-galanya, pasti akan tewas. Semua kepandaian, kegagahan, nama besar, kemuliaan, harta benda, kedudukan, semua yang disayangnya, semua itu akan lenyap bersama dengan lenyapnya nyawa dari badan!

Karena itu, semua bentuk pengikatan batin merupakan sumber segala duka dan rasa takut. Pengikatan batin membuat kita takut kalau-kalau kehilangan, membuat kita takut menghadapi kenyataan karena hal itu berarti akan membuat kita terpisah dari semua yang mengikat batin kita, dan mendatangkan duka kalau kita kehilangan mereka itu selagi kita masih hidup.

Cin Liong menghela napas panjang ketika kelihatan jelas olehnya betapa dia pun akan kehilangan semua yang dikasihinya. Ayah bundanya, orang-orang yang dikasihinya, bahkan dirinya sendiri, semua itu pada saatnya akan tiada! Akan tetapi, kenyataan yang dilihatnya ini membuat hatinya terasa lapang. Kenapa mesti berduka selagi hidup kalau akhirnya semua ini pun akan lenyap? Kenapa mesti menyusahkan sesuatu setelah mengetahui benar bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak kekal adanya?

Kesenangan dan kesusahan itu hanya seperti angin lalu saja, datang silih berganti dan menjadi permainan dari pada pikiran kita sendiri. Pikiran sendiri yang menciptakan ‘aku’, sumber dari pada segala konflik penyebab kesengsaraan, aku yang selalu mengejar senang sehingga dalam pengejaran ini banyak melakukan hal-hal yang jahat terhadap diri sendiri dan terutama terhadap orang lain. Dan kesemuanya itu pun akan ditelan waktu yang diikuti oleh maut.....

********************

Kedukaan mempengaruhi mata sehingga orang tidak lagi dapat menikmati keindahan. Akan tetapi, setelah dia membuka mata dan melihat kenyataan tentang kematian sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan dari hidup, dia pun sudah dapat terbebas dari pada kedukaan berhubung dengan kematian kakek dan nenek-nenek buyutnya dan lenyapnya Pulau Es. Maka, dialah seorang di antara mereka berempat yang dapat menikmati keindahan di pagi hari itu.

Matahari tersembul dari permukaan laut di timur, menciptakan jalur keemasan di atas air yang tenang dan berwarna biru gelap. Kadang-kadang nampak badan ikan tersembul, putih berkilauan, hanya sekelebatan saja karena binatang itu segera menyelam kembali dan membuat lingkaran yang makin melebar di permukaan air. Kadang-kadang ada ikan meloncat keluar dari permukaan air, menimbulkan suara air memecah ketika ikan itu terjun lagi dan berenang secepatnya menghindarkan diri dari pengejaran ikan yang lebih besar.

Langit amat cerah. Hanya ada beberapa gumpal awan putih tipis yang terbang berlalu, bersimpang jalan dengan terbangnya burung-burung camar. Kadang-kadang kesunyian dipecahkan oleh pekik burung camar memanggil kawannya. Sungguh merupakan pagi yang indah, tenang dan tenteram. Seolah-olah tidak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk, seolah-olah keindahan itu takkan berubah lagi.

Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Segala ketenangan itu sewaktu-waktu akan berubah. Matahari dapat saja kehilangan cahayanya karena tertutup awan gelap. Matahari akhirnya akan lenyap di balik langit barat dan terangnya siang akan terganti gelapnya malam. Air laut yang kini tenang penuh damai itu dapat saja sewaktu-waktu menjadi air laut yang ganas, mengamuk dan menelan apa saja yang dapat ditelannya, mendatangkan maut yang mengerikan di mana-mana.

Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kekal. Yang kekal hanyalah KENYATAAN. Dan kenyataan adalah apa adanya, tanpa sifat baik atau buruk. Hanya hidup di dalam kenyataan apa adanya ini saja yang tak terjangkau oleh baik atau buruk, suka atau duka, untung atau rugi. Baik atau pun buruk hanyalah penilaian, dan penilaian hanya merupakan kecerewetan si aku yang menilai-nilai berdasarkan untung rugi bagi si aku sendiri

.

“Marilah kita segera meninggalkan tempat ini,” akhirnya ucapan Cin Liong memecah kesunyian, dan seperti menyeret ketiga orang muda itu kembali ke alam nyata setelah semalam mereka membiarkan diri terbuai dalam alam kenangan yang mendatangkan duka. “Tidak ada gunanya lagi bagi kita untuk berlama-lama berada di sini. Semua peristiwa ini harus dilaporkan kepada orang-orang tua kalian.”

Suma Hui memandang kepada pemuda itu dan mengangguk. “Mari kita berangkat.”

Mereka berempat lalu mendayung perahu dan layar pun mereka pasang. Angin pagi mulai berhembus dan melajulah perahu mereka, menuju ke barat daya.

Empat orang itu merasa lelah sekali karena semalam tidak tidur sehabis mereka pada siang harinya bertempur mati-matian. Melihat keadaan ini, Cin Liong yang lebih teliti itu tahu bahwa hal ini tidak boleh dibiarkan saja karena mereka masih harus menempuh perjalanan yang tidak mudah untuk mencapai daratan besar.

“Kita semua lelah dan perjalanan masih jauh. Sebaiknya kalau kita bergilir, yang dua orang mengaso dan yang dua lagi mengemudikan perahu. Dengan cara bergilir, kita dapat memulihkan kekuatan dan dapat menempuh pelayaran ini dalam keadaan sehat. Biarlah aku yang berjaga dan mengemudikan perahu lebih dulu.”

“Aku juga!” kata Suma Hui dengan suara tegas sehingga kedua orang adiknya tidak berani membantah.

“Kalau begitu sebaiknya kalau kedua paman pergi tidur dan istirahat. Nanti setelah pulih kekuatan, menggantikan kami berdua,” kata Cin Liong.

Dua orang pemuda itu pun mengangguk lalu mamasuki bilik perahu di mana mereka merebahkan diri dan sebentar saja mereka tertidur pulas. Kedukaan mempengaruhi badan yang menjadi lelah dan lemas dan tidur merupakan obat paling mujarab bagi kedukaan dan kelelahan lahir batin.

Cin Liong mengemudikan perahu, dibantu oleh Suma Hui. Perahu meluncur laju dan angin menghembus layar sampai penuh. Karena permukaan lautan masih tenang, mereka dapat mengemudikan perahu dengan seenaknya sambil duduk.

Beberapa kali Suma Hui mengangkat muka memandang kepada wajah Cin Liong. Hal ini terasa dan diketahui oleh pemuda itu, namun dia tidak berani balas memandang. Entah bagai mana, walau pun bibinya jauh lebih muda dari padanya, namun dia selalu merasa canggung dan malu terhadap bibinya ini.

Melihat betapa bekas tamparannya yang kemarin masih nampak pada kedua pipi Cin Liong, dan mengingat betapa pemuda ini telah melakukan segala-galanya untuknya dan untuk kedua orang adiknya, bahkan telah membela keluarga Pulau Es saat menghadapi musuh-musuh berbahaya, hati Suma Hui terasa amat tidak enak juga. Ia tahu bahwa pemuda yang jauh lebih tua dari padanya ini, dan hanya karena ‘abu’ saja menjadi keponakannya ini, adalah seorang jenderal yang ternama dan juga seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Dalam pertempuran menghadapi musuh-musuh tangguh di Pulau Es itu pun ia dapat melihat betapa lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai ketimbang dia atau dua orang adiknya. Bahkan harus diakuinya bahwa andai kata tidak ada Cin Liong, tentu lain jadinya akibat penyerbuan orang-orang jahat itu. Bukan tidak mungkin bahwa ia dan dua orang adiknya sudah menjadi korban pula.

Kenangan ini membuat hatinya merasa semakin menyesal atas perbuatannya sendiri ketika dia melihat bekas tamparan tangannya pada kedua pipi pemuda itu. Seorang pemuda yang amat gagah. Wajah yang bundar dengan sepasang mata yang lebar berseri itu, kulit muka yang putih itu kini ternoda oleh bekas tamparan tangannya.

Suma Hui memejamkan kedua matanya sejenak untuk mengusir kenangan ketika dia menampari muka pemuda itu yang sama sekali tidak mau menangkis atau mengelak. Bahkan ia tak menemukan perlawanan sinkang pada wajah yang ditamparnya! Pemuda itu seolah-olah rela menerima tamparan-tamparannya. Dan ketika Suma Hui membuka kembali matanya, ia melihat betapa pemuda itu sedang memandang kepadanya.

“Hui-i (bibi Hui).... apakah engkau mengantuk? Kalau begitu, istirahatlah, biarlah aku sendiri yang berjaga dan mengemudikan perahu ini. Mengasolah....”

Suma Hui tersenyum untuk menutupi rasa tidak enak hatinya, akan tetapi ia tidak dapat mencegah kedua pipinya yang menjadi kemerahan. “Aku tidak mengantuk....”

Cin Liong tidak membantah lagi, akan tetapi dia tadi terpesona melihat betapa wajah yang manis itu menjadi kemerahan. Sinar matahari pagi menimpa bagian kiri wajah itu agak belakang, membuat kepala itu seperti dilindungi sinar keemasan. Betapa cantik jelitanya!

Akan tetapi dia tak berani memandang terlalu lama dan segera menundukkan mukanya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Sungguh mati, aku telah jatuh cinta padanya, batinnya mengeluh, keluhan yang muncul karena dia melihat kenyataan betapa tidak mungkinnya hal ini. Seorang keponakan jatuh cinta kepada bibinya sendiri!

Suma Hui juga merasa canggung. Ia sudah mencoba untuk memandang pemuda itu dari sudut pandangan seorang bibi kepada seorang keponakan. Namun tidak berhasil! Mana mungkin memandang seperti itu kalau sang keponakan itu sudah merupakan seorang pemuda dewasa yang lebih tua dari pada usianya sendiri? Namanya saja ia seorang bibi dan Cin Liong seorang keponakan, akan tetapi ia kalah segala-galanya. Kalah dalam ilmu silat, kalah dalam usia dan pengalaman, dalam segala hal ia boleh berguru kepada jenderal muda ini!

“Cin Liong....”

Pemuda itu terkejut dari lamunannya dan cepat-cepat menoleh. Dia dapat menangkap pandang mata penuh penyesalan dari gadis itu.

“Ada apakah, Hui-i?”

“Kau.... kau maafkanlah perbuatanku kemarin....”

Cin Liong merasa betapa jantungnya berdebar aneh, akan tetapi dia juga merasa canggung dan bingung. “Maafkan....? Tidak ada apa pun yang harus dimaafkan, Hui-i, apakah maksudmu....?”

“Aku telah menamparmu kemarin!”

“Oohh, itu....?” Tanpa disengaja, tangan Cin Liong yang kiri mengelus pipi kirinya dan dia pun tersenyum. “Ahhh, aku malah merasa masih untung besar hanya ditampar saja, Hui-i. Kalau masih penasaran, engkau boleh menamparku beberapa kali lagi.”

Alis itu berkerut dan wajah itu menjadi semakin merah. “Cin Liong, jangan mengejekku!”

Cin Liong mengangkat alisnya. “Aku tidak mengejek, Hui-i. Sungguh mati, tamparanmu itu memang sudah sepatutnya. Aku telah menotokmu.... ahh, aku memang telah salah besar kepadamu.... aku kurang ajar....”

“Tapi engkau hanya mentaati perintah mendiang nenek Nirahai.”

“Ya, akan tetapi sepatutnya kalau aku memberitahu kepadamu secara terus terang saja, bukan diam-diam lalu menotokmu....”

“Tapi, kalau kau beritahu pun aku tidak akan mau menurut.”

“Seharusnya aku membujukmu, tidak menggunakan kekerasan....”

“Tapi kau terpaksa melakukannya, untuk mentaati nenek dan untuk menyelamatkan aku....”

“Tapi aku menyinggung perasaanmu....”

“Dan untuk pertolonganmu aku telah menampari mukamu!”

“Sudah sepatutnya karena memang aku kurang ajar!”

Keduanya berhenti bicara dan saling pandang. Keduanya baru mengerti betapa lucunya keadaan mereka tadi. Lucu dan aneh karena Cin Liong telah berusaha mati-matian untuk menyalahkan diri sendiri sedangkan Suma Hui sebaliknya berusaha mati-matian untuk membela Cin Liong!

“Heii, Cin Liong, kenapa engkau berkeras hendak menyalahkan dirimu sendiri?”

“Dan engkau pun berkeras hendak membelaku, Hui-i?”

Keduanya lalu tertawa dan Suma Hui tertawa sampai kedua matanya menjadi basah. Betapa dekatnya tangis dan tawa, hampir tidak ada jarak pemisahnya.

“Kaulah yang seharusnya memaafkan aku, bibi.”

“Hemm, aku baru mau memaafkan engkau kalau lebih dulu engkau memaafkan aku.”

“Baiklah, Hui-i, aku memaafkan semua perbuatanmu terhadap diriku.”

“Dan aku pun memaafkan semua perbuatanmu, Cin Liong.”

Keduanya diam dan hanya saling pandang, kini sambil tersenyum dan entah bagai mana, Cin Liong merasa betapa kegembiraan yang amat besar menyelinap di dalam hatinya, seolah-olah senyum dan pandang mata gadis itu mengandung getaran dan sinar yang menyusup di dalam ruang dadanya, menyentuh mesra di sanubarinya.

Dia tidak tahu betapa gadis itu pun merasa berbahagia sekali saat itu, seolah-olah dalam sekejap mata telah melupakan kedukaannya berhubung dengan peristiwa yang menimpa kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es.

Untung bahwa perahu itu, satu-satunya benda yang masih mereka miliki dari semua benda yang berada di Pulau Es, dilengkapi dengan air tawar yang cukup banyak, tersimpan dalam guci-guci besar. Mereka tidak takut kehausan, dan untuk mengisi perut yang lapar, Suma Hui lalu mengail ikan. Mudah saja mengail ikan di lautan, karena di kanan kiri perahu nampak ikan-ikan berseliweran. Apa pun yang nampak di permukaan air mereka lahap dan sambar saja.

Ada mata kail di perahu itu dan untuk umpannya, mula-mula Suma Hui menggunakan sepotong kain. Setelah berhasil menangkap seekor ikan, dia menggunakan potongan-potongan ikan itu untuk menangkap ikan-ikan yang lebih besar. Sebentar saja, Ciang Bun dan Ceng Liong sudah terbangun dari tidur karena mencium bau ikan dibakar.

“Bau panggang ikan....! Sedaaappp....!” kata Ceng Liong sambil menggeliat.

“Wah, gurih baunya, perutku jadi lapar!” kata Ciang Bun dan keduanya keluar dari dalam bilik.

Suma Hui tertawa. “Kalau begitu, lekas ke sini, kita makan daging ikan dan kemudian kalian menggantikan kami mengemudikan perahu. Lihat, Cin Liong sudah lelah sekali dan kalian berdua enak-enak saja tidur sejak pagi tadi!”

“Hui-i lebih capai lagi, kurang tidur, masih mengail dan memanggang ikan,” kata Cin Liong.

Mereka berempat lalu makan daging ikan bakar. Biar pun tanpa bumbu, hanya dengan rasa asin air laut, tetapi karena perut mereka lapar, maka makanan amat sederhana itu terasa lezat dan cukup mengenyangkan perut empat orang yang sejak kecil memang telah tergembleng oleh keadaan yang kadang-kadang keras dan berat itu.

“Lihat matahari yang telah condong ke kanan itu. Arah itu adalah barat dan perahu kita harus menyerong ke kiri, jadi matahari berada di depan kanan kita. Itulah barat daya, takkan salah lagi.” Cin Liong memberi tahu kepada kedua orang pamannya ke arah mana perahu harus dikemudikan.

Malam itu mereka berhenti di antara pulau-pulau kecil yang pernah dilewati Cin Liong. Bahkan di atas salah sebuah di antara pulau-pulau itulah dia diketahui oleh gerombolan penjahat dan diserang sampai dia terjatuh ke laut. Pada keesokan harinya, begitu matahari terbit, mereka melanjutkan pelayaran mereka. Akan tetapi langit tidak cerah seperti pagi yang lalu. Awan gelap memenuhi angkasa dan berarak mendekat seperti ancaman sesuatu yang menyeramkan.

Cin Liong memandang ke arah awan-awan hitam itu. “Mudah-mudahan bukan tanda akan datangnya badai,” katanya.

Akan tetapi, ternyata bukan hanya badai yang datang, melainkan lebih hebat dari pada itu. Belum ada dua jam mereka berlayar, muncullah empat buah perahu besar dan sebentar saja mereka tersusul karena layar mereka itu hanya kecil saja. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati empat orang muda ini ketika melihat bahwa di atas empat buah perahu yang telah mengurung perahu kecil mereka itu nampak adanya orang-orang yang pernah menyerbu Pulau Es!

Mereka melihat pula Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok, dua di antara lima orang datuk yang menyerbu Pulau Es. Dan dua orang tokoh jahat ini ditemani oleh sedikitnya empat puluh orang yang kelihatan kasar-kasar dan bengis-bengis!

Tentu saja Cin Liong merasa khawatir sekali. Akan tetapi, semangatnya bangkit dan hatinya penuh kagum ketika dia melihat sikap tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu.

“Aku akan mengadu nyawa dengan iblis-iblis itu!” Ceng Liong mengeluarkan teriakan sambil mengepal dua buah tinjunya yang kecil. Sepasang matanya mencorong dan berapi-api, seperti seekor naga kecil yang siap untuk mengamuk, kelihatan gagah sekali ketika dia menyingsingkan kedua lengan bajunya!

“Kita lawan sampai titik darah terakhir!” Ciang Bun juga membentak marah dan sekali tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut pedang yang dibawanya dari Pulau Es ketika mereka meninggalkan tempat itu.

“Bagus! Ada kesempatan sekarang untuk menebus kematian kakek dan kedua orang nenek kita yang tercinta!” Suma Hui juga berkata dan nampak dua sinar berkilat ketika ia mencabut siang-kiam-nya.

Wajah tiga orang muda ini sedikit pun tidak membayangkan rasa takut, walau pun Cin Liong maklum bahwa keadaan mereka sungguh berbahaya dan sulitlah untuk dapat menghindarkan diri dari malapetaka yang mengancam. Maka dia pun tersenyum dan mendekati Suma Hui.

“Hui-i, aku akan membelamu sampai mati. Bagiku, mati bersamamu merupakan suatu kebahagiaan besar!” Kalimat terakhir ini lirih dan hanya terdengar oleh Suma Hui saja.

Gadis itu menoleh dan memandang wajah Cin Liong dengan mata terbelalak seperti heran. Sejenak dua pasang mata bertemu, saling selidik, kemudian bertaut dalam suatu pengertian yang tidak membutuhkan penjelasan dengan kata-kata lagi.

Suma Hui tersenyum mengangguk. “Bagiku juga, Cin Liong,” bisiknya.

Pada saat itu, terdengar suara menggelegar di angkasa dan ternyata awan tebal telah berkumpul di atas kepala mereka. Sinar matahari terhalang dan tiba-tiba saja angin bertiup kencang dan air mulai bergelombang. Suara angin sungguh mengerikan, apalagi diseling oleh kilatan petir yang menyambar-nyambar. Sungguh perubahan yang amat tiba-tiba sehingga empat buah perahu besar itu pun terlanda badai dan nampak betapa anak buah mereka pun kebingungan dan sibuk menurunkan layar.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es