KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-05


Melihat berkelebatnya sinar senjata yang demikian menyilaukan mata, Hek-i Mo-ong terkejut dan maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amat sakti. Tentu saja dia sudah mendengar tentang isteri Pendekar Super Sakti yang bernama Puteri Nirahai ini, maka dia tak berani memandang ringan dan tombak Long-ge-pang di tangannya diputar untuk menangkis.

“Cringg.... siuuuuttt.... singgg....!”

Pedang payung itu tertangkis, akan tetapi tangkisan itu bagaikan menambah dorongan tenaga yang membuat gerakan menyerong dan tahu-tahu telah menusuk ke arah ulu hati lawan dan begitu lawan mengelak dan melintangkan tombaknya, pedang payung itu kembali telah menusuk mata dua kali lalu ditutup dengan serangan tusukan pada pusar dengan ganas sekali!

“Hemmm....!” Hek-i Mo-ong terpaksa meloncat mundur ke belakang.

Biar pun tubuhnya kebal, namun dia sungguh tidak berani kalau harus mencoba-coba untuk menerima tusukan pedang payung yang digerakkan oleh isteri Pendekar Super Sakti. Terlalu berbahaya itu! Dia pun memutar tombaknya dan balas menyerang.

Ilmu tombak dari Raja Iblis ini hebat sekali dan memang tingkat kepandaiannya pada masa itu sukar dicari tandingannya. Ujung tombak berbentuk gigi serigala itu berputaran dan menjadi belasan batang banyaknya saking hebatnya getaran yang disebabkan oleh tenaga sinkang-nya dan kini ujung tombak itu meluncur ke depan, ke arah tubuh nenek Nirahai tanpa dapat diduga bagian tubuh mana yang akan menjadi sasaran!

Tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong berhadapan dengan nenek Nirahai, isteri dari Pendekar Super Sakti. Sejak muda, nenek ini telah menjadi seorang pendekar, bahkan panglima yang tangguh. Bahkan ia pernah secara rahasia mencoba ilmu seluruh jagoan untuk memperdalam ilmu silatnya dan ialah yang menjadi ahli waris dari kitab-kitab ilmu silat peninggalan pendekar wanita Mutiara Hitam. Juga ia mewarisi kitab-kitab dari Pendekar Suling Emas, walau pun hanya sebagian saja.

Di antara puluhan macam ilmu silat tinggi yang dikuasainya, yang terhebat adalah ilmu silat tangan kosong Sin-coa-kun, ilmu senjata rahasia Siang-tok-ciam, dan ilmu pedang gabungan antara Pat-mo Kiam-hoat dan Pat-sian Kiam-hoat. Dari gabungan dua ilmu pedang yang bertentangan sifatnya ini, yaitu antara Pat-mo (Delapan Iblis) dan Pat-sian (Delapan Dewa), telah tercipta ilmu pedang yang luar biasa sekali. Kadang-kadang nampak ganas bagaikan iblis mengamuk, tetapi kadang-kadang nampak halus lembut seperti gerak-gerik dewa, namun di balik semua itu terkandung kekuatan yang dahsyat.

Terjadilah perkelahian yang sengit dan amat ramai antara dua tokoh besar itu dan Hek-i Mo-ong makin lama merasa makin penasaran. Dia belum terdesak dan tidak merasa kalah, akan tetapi dia ingin cepat-cepat menjatuhkan lawannya ini, seorang nenek yang sudah tua renta.

Maka dicabutnyalah kipas merahnya, dikelebatkan kipas yang terkembang itu di depan muka nenek Nirahai dan dia pun membentak, “Lihat kipas ini. Merah, bukan? Merah sekali, dan engkau menjadi silau, engkau menurut segala kehendakku!”

Akan tetapi betapa pun kuatnya ilmu sihir yang dikuasai oleh Hek-i Mo-ong, sekali ini tidak menemui sasarannya. Dia lupa agaknya bahwa yang coba disihirnya ini adalah nenek Nirahai, isteri Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang mahir dalam ilmu sihir yang tentu saja telah membuka rahasia tentang sihir, memberi tahu kepada isterinya itu bagaimana caranya menghalau kekuatan sihir dari lawan agar dirinya tidak sampai terpengaruh. Maka, usaha Hek-i Mo-ong itu tentu saja sia-sia.

“Nenek, lihat siapa aku ini!” Kembali Hek-i Mo-ong mengibaskan kipasnya ke arah muka nenek Nirahai.

Tetapi, karena dia terlalu yakin dengan hasil kekuatan sihirnya, hampir saja datuk yang memiliki kepandaian tinggi ini celaka. Bentakannya yang berisi sihir itu, yang disertai gerakan tangan dan juga bibir kemak-kemik, membaca mantera untuk merubah dirinya dalam pandangan nenek itu. Kalau nenek itu terpengaruh oleh sihirnya, tentu dia akan nampak sebagai orang berkepala naga dan tentu nenek itu akan menjadi ketakutan atau setidaknya terkejut sekali sehingga mudah baginya untuk merobohkannya.

Akan tetapi, ternyata akibatnya malah lain sekali dan sama sekali tak pernah diduga-duganya, dan hampir mencelakainya. Nenek itu kelihatan diam sedetik, akan tetapi bukan untuk menjadi kaget dan lengah, sebaliknya, tiba-tiba saja pedang payungnya berkelebat dan menusuk ke arah ulu hati Hek-i Mo-ong!

“Singgg....!”

Pedang itu berdesing dan sekiranya Hek-i Mo-ong tidak cepat menggerakkan lengan kiri menangkis, tentu dadanya akan tembus oleh pedang payung itu, betapa pun kebalnya.

“Brettt....!”

Lengan jubahnya robek dan kulit lengannya lecet sedikit. Dia meloncat mundur, akan tetapi nenek Nirahai menerjangnya lagi dengan dahsyat. Gabungan Pat-mo Kiam-hoat dan Pat-sian Kiam-hoat itu hebat bukau main sehingga untuk beberapa jurus lamanya Raja Iblis itu terdesak hebat.

Melihat ini, Si Ulat Seribu cepat maju membantunya. Si Ulat Seribu ini telah berhasil merobohkan para pelayan Pulau Es dan melihat betapa Hek-i Mo-ong belum mampu mengalahkan nenek tua renta itu, ia menjadi penasaran dan maju mengeroyoknya. Dan Hek-i Mo-ong yang sudah kehilangan kecongkakannya itu tidak mencegahnya sehingga nenek itu kini dikeroyok oleh dua orang yang berilmu tiuggi.

Cin Liong juga sudah terlibat dalam perkelahian seru melawan Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui. Ketua Eng-jiauw-pang itu memiliki ilmu silat yang lihai dan ganas. Kedua tangannya ditutup sarung tangan setinggi siku, amat berbahaya karena sarung tangan itu dapat dipergunakan untuk menangkis pedang. Jari-jarinya kini berubah menjadi jari-jari yang berkuku garuda, terbuat dari pada baja yang kuat. Alat yang sudah amat kuat ini digerakkan oleh tenaga sinkang yang dahsyat, maka tentu saja menjadi sepasang senjata yang ampuh sekali.

Betapa pun juga, yang dihadapinya adalah Kao Cin Liong, jenderal muda yang sudah banyak pengalaman, putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir yang amat lihai itu. Maka walau pun dia dibantu pula oleh tiga orang anak buahnya yang merupakan tokoh-tokoh Eng-jiauw-pang dan yang menggunakan senjata yang sama dengan ketua mereka, namun Cin Liong dapat menggerakkan pedangnya dengan hebat dan sama sekali tidak terdesak. Malah pemuda perkasa ini membalas serangan dengan serangan yang tidak kalah berbahayanya.

Perkelahian antara Cin Liong dan empat orang tokoh Eng-jiauw-pang ini berlangsung dengan seru juga, tetapi dibandingkan dengan nenek Nirahai, pemuda ini nampak lebih kuat menghadapi para pengeroyoknya. Betapa pun juga, di luar kalangan pertempuran itu masih terdapat belasan, bahkan puluhan orang dari pihak musuh yang sudah siap-siap menyerbu dan mengeroyok.

“Ha-ha-ha, nona manis, lebih baik engkau menyerah dalam pelukanku, dan engkau menjadi murid dan pengikutku, hidup senang bersamaku!” Berkali-kali Jai-hwa Siauw-ok menggoda Suma Hui ketika dia tadi menghadapi nona ini dengan tangan kosong.

Meski ilmu pedang Suma Hui sudah mencapai tingkat yang tinggi, namun menghadapi datuk ini dia kalah pengalaman dan juga kalah matang gerakannya, apalagi dara ini selama mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi belum pernah mempergunakannya dalam perkelahian mati-matian. Kalau saja ia sudah berpengalaman, dengan modal tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang saja, tanpa pedang sekali pun kiranya tidak akan mudah bagi penjahat cabul itu untuk bersikap sembarangan dan memandang rendah kepadanya.

Lebih lagi yang membuat Suma Hui agak bingung adalah sikap jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang menggodanya dengan kata-kata tidak senonoh itu. Kedua tangan penjahat itu pun secara kurang ajar hendak meraba dadanya, mengusap pipinya, mencengkeram pinggulnya dan sebagainya, dan semua ini mendatangkan rasa malu dan marah luar biasa yang akibatnya mengacaukan gerakan sepasang pedang di tangan Suma Hui.

Ciang Bun yang sejak tadi melindungi Ceng Liong dan menghadapi pengeroyokan para anggota gerombolan, melihat hal ini dan dia pun menjadi marah. Usianya sudah lima belas tahun dan dia sudah tahu bahwa datuk yang melawan enci-nya itu selain lihai sekali, juga tidak sopan.

Maka dia lalu menarik tangan Ceng Liong mendekati enci-nya dan membantu enci-nya menghadapi Jai-hwa Siauw-ok. Setelah Ciang Bun maju membantu, mulailah Jai-hwa Siauw-ok kehilangan kegembiraannya karena bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa enci adik ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan!

Nenek Nirahai akhirnya harus mengakui bahwa dua orang lawannya itu, Hek-i Mo-ong dan Si Ulat Seribu, merupakan lawan yang terlampau berat baginya. Andai kata dahulu, mungkin ia masih akan dapat mengatasi atau setidaknya mengimbangi mereka, tetapi sekarang, tenaganya jauh berkurang dan terutama sekali daya tahannya. Napasnya mulai memburu dan lehernya penuh dengan keringat. Beberapa kali ia terhuyung dan hanya berkat ginkang-nya yang hebat sajalah ia berhasil meloloskan diri dari ancaman maut.

Kao Cin Liong melihat keadaan nenek itu. Dia menjadi khawatir sekali dan tahulah dia bahwa mereka semua terancam bahaya maut. Dia teringat kepada Pendekar Super Sakti Suma Han yang berada di dalam. Hatinya menjadi penasaran sekali.

Mengapa kong-couw-nya yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti itu diam saja dan membiarkan isteri dan cucu-cucunya terancam bahaya maut? Hawa panas naik dari pusarnya ketika hatinya dilanda penasaran dan kemarahan, maka dia pun kemudian mengerahkan tenaga saktinya dan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-liong Hok-te. Tubuhnya merendah seperti hendak bertiarap dan dia pun lalu menancapkan pedangnya ke dalam tanah!

Lawannya, Eng-jiauw Siauw-ong si ketua Eng-jiauw-pang adalah seorang datuk kaum sesat yang telah banyak pengalaman dan tinggi ilmunya. Tadi pun dia sudah merasakan betapa lihainya pemuda ini sehingga dia dan beberapa orang pembantunya yang merupakan tokoh-tokoh Eng-jiauw-pang, tidak mampu mendesaknya sama sekali, apa lagi merobohkannya. Kini, melihat pemuda itu bersikap seperti itu, dia menjadi bingung.

Selamanya belum pernah dia melihat atau mendengar tentang Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam Di Tanah) ini. Dia melihat kesempatan baik untuk menyerang pemuda yang sedang merendahkan diri hampir tiarap dalam posisi yang kaku dan tidak menguntungkan itu. Juga tiga orang pembantunya merasa girang melihat kedudukan lawan yang disangkanya kelelahan itu. Mereka berempat menubruk maju dengan kedua tangan yang memakai sarung tangan kuku garuda itu diangkat lalu menyerang.

“Hyaaaaattt....!”

Lengkingan yang menggetarkan jantung terdengar dan tubuh Cin Liong mencelat ke depan, seperti seekor naga sakti yang menerjang awan. Ada kekuatan dahsyat keluar dari kedua tangan dan tubuhnya, yang menyapu empat orang itu bagaikan angin taufan. Tak ada kekuatan yang dapat menahan kedahsyatan ini, apalagi hanya kekuatan empat orang itu.

Eng-jiauw Siauw-ong dan tiga orang pembantunya merasa seperti disambar halilintar, dan tubuh mereka terlempar ke belakang, terbanting dan tak dapat bangkit kembali! Eng-jiauw Siauw-ong tewas seketika dengan dada pecah dan tiga orang pembantunya juga terluka parah dan andai kata di antara mereka ada yang tidak tewas, setidaknya tentu akan terluka parah dan cacat selama hidupnya.

Melihat seorang rekannya roboh lagi itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan penasaran. Pulau Es hanya dipertahankan oleh sekelompok kecil orang, dan ternyata dia telah kehilangan dua orang rekan dan sedikitnya dua puluh orang anak buah!

“Serbuuuuu....!” teriaknya sambil memberi komando kepada para anak buahnya yang semenjak tadi hanya menjadi penonton saja karena mereka itu tidak berani memasuki pertempuran tingkat tinggi itu. “Serbu ke dalam istana!”

Mendapat perintah dari Hek-i Mo-ong ini, sisa para anak buah yang masih kurang lebih tiga puluh orang itu kemudian serentak menyerbu, sebagian membantu para datuk dan sebagian pula menyerbu ke pintu gerbang istana.

“Cin Liong, bawa mereka!” Tiba-tiba nenek Nirahai berseru kepada jenderal muda itu.

Cin Liong mengerti apa yang dimaksudkan oleh nenek Nirahai. Memang dia melihat bahwa keadaan amat gawat. Walau pun dia sudah berhasil merobohkan empat orang lawannya, akan tetapi dia sendiri tadi menerima perlawanan tenaga dahsyat yang menggetarkan isi dadanya, membuat dia sendiri harus berhati-hati dan tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga karena hal ini dapat membuat dia terluka di sebelah dalam tubuhnya. Dan pula, pihak lawan masih amat kuat, terutama dengan majunya semua anak buah musuh itu.

Dia menyambar pedangnya sambil menjawab, “Baik!”

Cin Liong lalu memutar pedang itu menerjang Jai-hwa Siauw-ok, membantu Suma Hui dan Ciang Bun yang mengeroyok penjahat cabul itu. Kalau tadinya kakak beradik ini sudah mampu mendesak datuk cabul itu, kini karena si datuk cabul dibantu oleh empat orang Korea dan Jepang, keadaan kakak beradik itu berbalik terdesak. Ceng Liong sendiri dengan tombak di tangan hanya melindungi tuhuhnya dari ancaman musuh. Ada dua orang anggota musuh yang mengepungnya dan terus mencari kesempatan untuk membunuh anak yang nekat dan berani ini.

Majunya Cin Liong membuyarkan kepungan terhadap Suma Hui dan Ciang Bun, bahkan Suma Hui dengan sepasang pedangnya mampu merobohkan seorang pengeroyok dan Ciang Bun juga berhasil menendang roboh seorang pengeroyok lain. Jai-hwa Siauw-ok terkejut dan meloncat mundur untuk menyusun kekuatan lagi.

Kesempatan ini digunakan oleh Cin Liong untuk berteriak kepada tiga orang muda itu. “Lari kalian ikuti aku!”

Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong tidak mengerti apa yang dikehendaki Cin Liong. Akan tetapi karena mereka telah menyaksikan kehebatan pemuda itu dan melihat bahwa keadaan sudah terlalu mendesak, mereka pun secara membuta lalu menuruti permintaan Cin Liong. Melihat Cin Liong sudah melompat masuk melalui pintu samping, mereka bertiga pun berlarian dan melompat masuk.

Akan tetapi setelah tiba di dalam dan melihat Cin Liong menutupkan pintu samping itu, Suma Hui berseru kaget, “Kau mau apa? Aku tidak sudi melarikan diri!”

Cin Liong sudah lebih dulu menduga akan terjadinya hal ini. Biar pun baru sebentar mengenal gadis ini, tapi dia telah dapat menduga bahwa gadis ini memiliki kekerasan hati dan kegagahan luar biasa. Cucu ini tentu tidak akan jauh wataknya dari neneknya.

Kalau nenek Nirahai yang sudah tua renta itu saja marah mendengar usulnya untuk menyelamatkan dan meloloskan diri, apalagi dara yang penuh semangat dan masih muda ini. Tentu dia akan menentang kalau mendengar bahwa ia diajak melarikan diri meninggalkan musuh yang sedang menyerbu Pulau Es, apalagi harus meninggalkan nenek dan kakeknya berdua saja menghadapi ancaman musuh!

Dia sudah memperhitungkan sejak tadi apa yang harus dilakukan. Dia sudah berjanji kepada nenek buyutnya dan janji seorang gagah lebih berharga dari pada nyawa.

“Bibi Hui, kau lihatlah baik-baik, alangkah gagahnya nenek buyut Nirahai menghadapi pengeroyokan musuh-musuhnya!” Berkata demikian, Cin Liong mendekati dara itu dan menudingkan telunjuknya keluar pintu samping setelah membuka sedikit daun pintu itu.

Suma Hui tentu saja menoleh dan memandang keluar penuh perhatian. Memang dia melihat betapa neneknya mengamuk bagai seekor naga betina. Para pengeroyoknya yang tak begitu tinggi ilmunya, jatuh berpelantingan kena disambar pedang payungnya. Hanya Hek-i Mo-ong dan Si Ulat Seribu yang masih bertahan, walau pun Si Ulat Seribu juga hanya berani mengeroyok dari jarak jauh saja.

“Tukkk....!” Mendadak tangan Cin Liong bergerak dan tubuh Suma Hui telah menjadi lemas tertotok pada saat ia lengah itu.

“Heiii! Apa yang kau lakukan?!” bentak Ciang Bun.

Dan Ceng Liong yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya telah menusukkan tombaknya ke arah dada Cin Liong.

Cin Liong juga sudah menduga akan hal ini, maka cepat dia mengelak dan menangkap tombak Ceng Liong, kemudian berkata dengan suara berwibawa, “Kedua paman kecil, tenanglah. Ini adalah perintah nenek buyut Nirahai!” Berkata demikian, Cin Liong sudah memanggul tubuh Suma Hui yang pingsan.

Kedua orang muda itu saling pandang dengan bimbang, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Nirahai. “Kalian ikutilah Cin Liong dan jangan membantah!”

Mendengar suara nenek mereka itu, barulah Ciang Bun dan Ceng Liong percaya. Mereka mengangguk kepada Cin Liong dan pemuda ini merasa lega sekali. Cepat dia menutupkan daun pintu.

“Mari ikut, cepat!”

Sementara itu, di luar nenek Nirahai mengamuk makin sengit. Ia sengaja menjaga pintu samping itu dan merobohkan siapa saja yang hendak melakukan pengejaran terhadap Cin Liong dan tiga orang cucunya itu. Setelah melihat cucu-cucunya diselamatkan, wajah nenek ini berubah berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum, sepak terjangnya lebih hebat lagi seolah-olah kini ia dapat berpesta-pora dalam pertempuran itu setelah tidak ada ganjalan hati khawatir akan keselamatan cucu-cucunya.

Ia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya, yang lihai adalah Si Ulat Seribu dan Hek-i Mo-ong. Akan tetapi karena ia maklum bahwa merobohkan Hek-i Mo-ong bukanlah merupakan hal mudah baginya, maka ia mengambil keputusan untuk merobohkan Si Ulat Seribu lebih dulu.

Saat Hek-i Mo-ong untuk kesekian kalinya membentak keras dan tombak Long-ge-pang menyambar-nyambar dari atas, nenek Nirahai menggunakan ginkang-nya, menyelinap di antara sinar tombak lawan tanpa menangkisnya. Hek-i Mo-ong terkejut, tidak mengira bahwa nenek itu dapat lolos dari gulungan sinar tombaknya begitu saja. Namun, nenek Nirahai bukan sembarangan meloncat dan meloloskan diri dari kepungan gulungan sinar tombak, melainkan ia menyerbu ke arah Si Ulat Seribu yang mengeroyoknya dari jarak aman.

Melihat sinar pedang payung meluncur ke arahnya, Si Ulat Seribu terkejut. Sejak tadi ia sudah merasa agak jeri karena setiap kali ujung sabuk merahnya bertemu pedang payung, selalu tangannya terasa tergetar, kadang-kadang panas sekali, kadang-kadang dingin bukan main. Bahkan sudah dua kali kaitan emasnya patah ujungnya.

Karena maklum bahwa dia tidak mampu menandingi nenek Pulau Es ini, maka dia membiarkan Hek-i Mo-ong yang menandinginya secara langsung sedangkan ia hanya membantu dari jarak aman saja, kadang-kadang melakukan serangan dengan sabuk emasnya untuk mengacaukan pertahanan lawan. Maka, kini melihat nenek itu tiba-tiba dapat meloloskan diri dari kepungan sinar senjata Hek-i Mo-ong dan tahu-tahu sudah menyerangnya dengan ganas, terpaksa ia memutar sabuk merahnya dan menangkis serangan itu sambil mengerahkan sinkang-nya dan menggoyang tubuhnya.

“Cringgg.... prakk....!”

Tubuh Si Ulat Seribu terpelanting dan tak bergerak lagi. Ia tewas dengan kepala retak karena pelipisnya kena dihantam pedang payung! Tapi, ketika menangkis dan sabuknya terbabat putus tadi, ia menggoyang tubuh dan dari kedua lengannya beterbangan sinar bermacam warna menuju ke arah nenek Nirahai.

Nenek ini cepat mengelak, akan tetapi tetap saja seekor ulat berbulu merah hinggap di pipinya! Ia merasa gatal dan panas. Ketika tangan kirinya menepuk ulat itu dan ia melihat bahwa yang hinggap itu ulat, nenek Nirahai bergidik ngeri! Ia adalah seorang panglima, seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, akan tetapi ia tetap seorang wanita! Dan setiap orang wanita memiliki kelemahan masing-masing terhadap binatang melata atau binatang-binatang kecil lainnya. Ada yang ngeri melihat ular, ada yang takut melihat tikus, atau kacoa, cacing dan sebagainya.

Dan kebetulan sekali nenek Nirahai ini paling jijik dan ngeri kalau melihat ulat! Ketika ia masih kecil, pernah ia bermain-main di kebun dan tubuhnya terkena bulu ulat sehingga seluruh tubuh itu gatal-gatal. Agaknya hal ini yang mendatangkan kesan mendalam di hatinya sehingga ia selalu merasa jijik dan takut kalau melihat ulat. Apalagi sekarang ada ulat besar berbulu merah yang hinggap di pipinya, dan kini hancur karena tepukan dan pipinya terasa gatal dan panas. Ia menjerit kecil dan untuk beberapa detik lamanya ia kehilangan keseimbangan dan menjadi lengah.

Kesempatan yang hanya beberapa detik ini tentu saja tidak mau dilewatkan oleh Hek-i Mo-ong. Secepat kilat tombak Long-ge-pang itu meluncur, cepat dan amat kuat, dan dilakukan dari belakang nenek Nirahai.

“Cappp....!”

Tombak itu menembus punggung sampai dalam, lalu dicabut lagi oleh Hek-i Mo-ong yang sudah hendak menyusulkan lagi tusukannya. Akan tetapi, mendadak nenek itu membalik dan dengan pekik melengking nenek itu menggerakkan pedang payungnya.

“Trangggg....!”

Nampak bunga api berpijar dan tubuh Hek-i Mo-ong yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang. Raja Iblis ini merasa betapa tubuhnya panas dingin dan ia menggigil ngeri. Dia dapat menduga bahwa ini tentulah penggabungan tenaga sinkang Yang-kang dan Im-kang yang amat terkenal dari Pulau Es! Ia menjadi agak jeri juga, akan tetapi dia melihat nenek itu lari menuju ke pintu gerbang depan istana dan dari punggungnya bercucuran darah yang membasahi lantai. Nenek itu telah terluka parah.

“Kejar....!” serunya tanpa memperdulikan lagi Si Ulat Seribu yang sudah tewas.

Sekarang hanya Jai-hwa Siauw-ok saja satu-satunya rekan yang masih hidup dan yang segera mengikutinya mengejar, bersama dua belas orang anak buahnya. Hanya tinggal dua belas orang saja dari lima puluh orang lebih yang datang menyerbu! Amukan nenek Nirahai dibantu Cin Liong, tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tadi ternyata telah merobohkan kurang lebih empat puluh orang dan di pihak Pulau Es, lima orang pelayan tewas dan nenek Lulu juga tewas, sekarang nenek Nirahai terluka parah.

Nenek Nirahai sebetulnya bukan bermaksud melarikan diri. Dia tahu bahwa dia telah terluka hebat, tombak Hek-i Mo-ong tadi telah menembus sebuah paru-parunya dan nyawanya tidak mungkin dapat diselamatkan lagi. Kalau ia kini melarikan diri ke pintu gerbang, ada dua hal yang mendorongnya dan bukan karena ia takut melawan lagi. Pertama adalah untuk memancing sisa musuh itu agar mengejarnya dan tidak mengejar Cin Liong yang melarikan tiga orang cucunya, dan ke dua ia ingin bertemu sekali lagi dengan suaminya sebelum ia mati!

Dengan tangan kanan memegang pedang payungnya dan tangan kiri dengan susah payah mencoba untuk menutup luka di punggungnya, Nirahai mendorong daun pintu gerbang dengan pundaknya dan sepasang daun pintu itu terbuka lebar. Dia melihat suaminya masih duduk bersila di dekat peti jenazah Lulu dan asap dupa mengepul tebal.

Suaminya masih bersila dengan kaki tunggalnya, dan kini suaminya mengangkat muka memandang kepadanya dengan sinar mata lembut penuh kasih sayang.

“Isteriku, engkau terluka parah....,” katanya halus dan tiba-tiba Nirahai merasa betapa kerongkongannya seperti tersumbat.

Suara itu mengandung getaran cinta kasih yang sedemikian besarnya, mengingatkan ia akan masa muda mereka yang penuh kemesraan dan kasih sayang. Kemudian ia melihat betapa suaminya menggunakan kedua tangan untuk menekan lantai dan tubuh suaminya itu, tetap dalam keadaan duduk bersila, berloncatan maju menyambutnya!

Hal ini dirasakan oleh Nirahai seperti tusukan pedang ke dua pada jantungnya. Kini tahulah ia mengapa suaminya sejak beberapa hari yang lalu bersemedhi tanpa pernah bangkit berdiri lagi! Juga ketika Lulu meninggal dunia, suaminya hanya duduk bersila. Kiranya.... ahhh, ia tahu. Suaminya terserang penyakit lamanya. Lumpuh!

Penyakit ini telah dilawannya selama puluhan tahun, bahkan penyakit ini pula yang tadinya mengeram di kaki kiri suaminya yang kemudian bunting. Dia mengira bahwa penyakit itu telah lenyap bersama kaki kiri suaminya. Ternyata hanya karena kehebatan ilmu kepandaian suaminya, dan karena kuatnya sinkang-nya, maka penyakit itu dapat ditekan sedemikian rupa. Kini, dalam usia tuanya, penyakit itu timbul dan membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah!

“Suamiku....!” Nirahai menubruk, melempar pedangnya dan Suma Han menyambutnya dengan kedua lengan terbuka.

Nirahai terkulai di pangkuan suaminya. Darah mengucur dari punggungnya membasahi pakaian mereka berdua dan sungguh aneh, Nirahai merasa seolah-olah dia menjadi pengantin baru dengan suaminya! Terbayang semua keindahan dan kemesraan antara mereka, dan pandang matanya semakin kabur, akan tetapi bibirnya tersenyum penuh bahagia.

“Suamiku.... engkau.... beratkah penyakitmu....?” Nirahai masih sempat berbisik sambil memandang wajah suaminya dengan kepala terletak di pangkuan.

Pendekar Super Sakti tersenyum, mengangguk dan mengusap dagu isterinya. “Engkau tunggulah di sana.... aku takkan lama lagi menyusulmu....,” bisiknya lirih dan ramah.

Akan tetapi nenek Nirahai hanya mendengar setengahnya saja karena ia telah terkulai dan nyawanya telah meninggalkan badannya, akan tetapi kata-kata di bibirnya sempat terloncat keluar dalam bisikan, “Aku.... gembira.... seperti adik Lulu....”

Nirahai telah mati. Lulu telah mati. Suma Han memandang wajah isteri di pangkuannya itu, menutupkan mata dan mulutnya dengan jari-jari tangan, dengan sentuhan mesra, kemudian menoleh ke arah peti jenazah Lulu, dan dia pun menghela napas panjang.

Kedua isterinya sungguh merupakan dua orang wanita pendekar yang gagah perkasa sampai saat terakhir, sampai menjadi nenek-nenek tua renta! Bagaimana pun juga, dia melihat kebanggaan menyelinap di dalam hatinya, berikut juga penyesalan mengapa mereka berdua itu sampai akhir hidupnya bergelimang dalam kekerasan. Biar pun dia tidak keluar dari ruangan itu, dia dapat mendengar dan membayangkan apa yang telah terjadi di luar.

Kini dia mendengar langkah-langkah kaki banyak orang menuju ke depan pintu gerbang yang menembus ke ruangan itu. Sambil menarik napas, Suma Han memondong dan memanggul tubuh isterinya dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya menekan lantai dan sekali mengerahkan tenaga, tubuhnya sudah melayang kembali ke tempat semula, di dekat peti jenazah Lulu. Dengan hati-hati dia merebahkan jenazah Nirahai di samping peti jenazah Lulu. Kemudian dia pun duduk menanti, menghadap ke arah pintu. Dupa harum masih mengepul tebal di samping kirinya.

Hek-i Mo-ong merupakan orang pertama yang meloncat masuk melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu, kemudian disusul oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dua belas orang anggota mereka yang masih hidup dan belum terluka. Empat belas orang itu berdiri memandang dengan bengong.

Biar pun Pendekar Super Sakti nampak duduk bersila di dekat peti jenazah dan juga jenazah nenek Nirahai yang rebah terlentang di dekat peti itu nampak tenang dan sama sekali tidak membayangkan ancaman dan tidak menyeramkan, namun mereka semua merasakan sesuatu yang membuat mereka bengong. Ada sesuatu dalam sikap kakek itu yang membuat mereka jeri.

Seorang kakek tua renta, rambutnya yang putih itu riap-riapan, kumis dan jenggotnya seperti benang-benang perak halus, sepasang mata pada wajahnya yang masih tampan itu memandang lembut ke arah mereka. Pada wajah itu sedikit pun tidak terbayang perasaan marah atau takut.

Mereka seperti menghadapi hamparan samudera luas yang tenang, atau langit biru tanpa awan bergerak. Di balik ketenangan dan keheningan ini terdapat sesuatu yang menghanyutkan, sesuatu yang luas dan dalam, yang menimbulkan rasa hormat dan kagum.

Kemudian terdengar suara kakek tua renta itu, suaranya halus dan datar tanpa didorong perasaan, “Kalian pergilah dan tinggalkan pulau ini, bawa teman-temanmu yang tewas dan terluka.”

Suara halus ini agaknya menyadarkan semua orang dari pesona, dan Hek-i Mo-ong menggerakkan tombaknya yang masih berlepotan darah nenek Nirahai itu sambil bertanya, “Apakah engkau tidak hendak melawan kami? Bukankah engkau ini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, tocu dari Pulau Es?”

“Namaku Suma Han....”

Tiba-tiba Jai-hwa Siauw-ok berteriak, “Kakek ini sudah tua renta dan lemah. Dan hanya dia seorang di sini. Kita bunuh dia baru kita cari empat orang-orang muda itu!”

Berkata demikian, Jai-hwa Siauw-ok meloncat ke depan dan menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu ilmu pukulan Kiam-ci (Jari Pedang). Dengan jari-jari tangan terbuka, tangan kirinya yang miring itu menyambar kepala Suma Han dengan mengeluarkan suara bercuitan mengerikan.

Pendekar Super Sakti mengangkat tangan kirinya ke atas, bukan seperti orang menangkis melainkan hanya seperti melindungi kepalanya. Tangan terbuka yang mengandung kekuatan Kiam-ci dari Jai-hwa Siauw-ok itu bertemu dengan lengan yang digerakkan perlahan ke atas itu.

“Desss....!”

Hasilnya, tubuh Jai-hwa Siauw-ok terpental ke belakang dan terbanting roboh. Mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah merah saking penasaran, marah dan malunya. Mengandalkan banyak kawan yang membesarkan hatinya, dia pun kini bergerak maju, merendahkan dirinya seperti hampir merangkak dan tiba-tiba dia pun melancarkan pukulan Katak Buduk setelah perutnya memperdengarkan suara berkaok. Pukulan itu langsung datang dari depan mengarah dada Pendekar Super Sakti.

Pendekar ini tenang-tenang saja, kembali menggunakan tangan kirinya untuk didorong ke depan menyambut pukulan maut itu.

“Wuuuuttt.... plakk....!”

Dua telapak tangan bertemu dan sekali ini tubuh Jai-hwa Siauw-ok seperti daun kering terbawa angin keras, terlempar kemudian terbanting dan masih terguling-guling sampai tubuhnya menabrak dinding. Tetapi, ternyata dia tidak terluka dan hal ini membuktikan bahwa Pendekar Super Sakti tidak melawan keras sama keras, namun menggunakan kelembutan.

Jai-hwa Siauw-ok itu terlempar dan terbanting oleh tenaganya sendiri yang membalik. Tentu saja bantingan itu membuat kepalanya menjadi pening dan hatinya pun sudah menjadi gentar sekali. Dia bangkit duduk dan memandang ke arah sosok tubuh yang bersila itu dengan sinar mata ketakutan.

Melihat peristiwa ini, Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Dia cukup mengenal kelihaian rekannya itu. Melihat rekannya dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti secara demikian mudahnya, dia menjadi penasaran bukan main.

“Pendekar Siluman, aku ingin melihat sampai di mana kehebatanmu!” bentaknya.

Kakek raksasa ini lalu memutar-mutar tombak Long-ge-pang di atas kepalanya. Makin lama, putaran itu menjadi makin cepat sehingga akhirnya tombak itu lenyap bentuknya, yang nampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang mendatangkan hawa dan angin menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing. Kemudian, dengan memegang tombak menggunakan kedua tangannya, dia meloncat ke depan, mengayun tombak Long-ge-pang itu dan menghantamkannya ke arah kepala Suma Han.

“Hyaaaaaattt....!”

Tombak itu menyambar ke bawah dengan kekuatan yang amat hebatnya. Tenaga Hek-i Mo-ong adalah tenaga sakti yang amat kuat dan jangankan kepala orang, biar batu karang pun akan hancur lebur tertimpa hantaman Long-ge-pang yang dipukulkan oleh tenaga sedahsyat itu.

Suma Han menarik napas panjang, mengenal pukulan maut yang amat hebat. Dengan tenang dia kemudian menggunakan tangan mengambil tongkat di depan kakinya dan memalangkan tongkat bututnya itu di atas kepala.

“Desss....!”

Seluruh ruangan itu rasanya seperti tergetar dan semua orang yang hadir merasakan getaran yang ditimbulkan oleh pertemuan dua tenaga melalui tongkat dan tombak. Atau lebih tepat, pertemuan tenaga keras dari tombak itu yang membalik ketika bertemu dengan tenaga lunak pada tongkat butut.

Dan akibatnya memang hebat sekali. Tubuh Hek-i Mo-ong terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi, dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan agaknya bentakan ini memulihkan tenaganya kembali. Dia lalu meloncat lagi ke depan, kini tombak Long-ge-pang itu bukan dihantamkan, tetapi ditusukkan ke arah dada Pendekar Super Sakti yang masih tetap duduk bersila dengan tenang.

Kembali Suma Han menggerakkan tongkatnya, kini menangkis dari samping ke arah ujung tombak yang menusuk itu. Gerakannya masih lunak saja.

“Trakkkk....!”

Untuk kedua kalinya tongkat bertemu tombak dan kini tubuh Hek-i Mo-ong bukan hanya terhuyung melainkan terpelanting dan terbanting. Kakek raksasa itu bangkit duduk dan mengguncang-guncang kepalanya seperti hendak mengusir kepeningan. Kemudian dia meloncat berdiri dan kedua matanya menjadi merah, napasnya memburu dan dadanya terengah-engah.

Dia merasa penasaran sekali. Kalau Pendekar Super Sakti menghadapi serangannya dengan perlawanan tenaga dan dia kalah kuat, hal itu dapat diterimanya karena sebagai seorang yang berilmu tinggi dia tentu saja maklum bahwa sepandai-pandainya orang, tentu ada yang melebihinya. Tetapi, Majikan Pulau Es ini sama sekali tidak melawannya keras sama keras, melainkan menggunakan tenaga lunak bagai meluluhkan tenaganya, atau membuat tenaganya itu membalik dan menghantam dirinya sendiri. Inilah yang membuat dia penasaran.

Sedemikian jauhkah dia kalah oleh kakek tua renta ini? Demikian rendahkah tingkatnya sehingga kakek tua renta itu mampu menghadapinya seperti itu? Dia tidak percaya! Selama ini, banyak sudah dia bertemu lawan pandai, dan harus diakuinya bahwa di antara pendekar-pendekar muda terdapat orang-orang pandai seperti keturunan Suling Emas itu, namun setidaknya dia mampu menandingi mereka atau kalah pun hanya sedikit saja selisihnya. Tidak ada orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkannya dengan mudah!

Tetapi, kakek tua renta ini hanya menghadapinya dengan penggunaan tenaga lemas saja. Siapa yang tidak akan merasa penasaran? Setelah bangkit berdiri, Hek-i Mo-ong mengumpulkan seluruh tenaganya dan meloncat ke depan, menggunakan tenaga dan ditambah kekuatan loncatan itu dia menghantamkan tombaknya ke arah ubun-ubun kepala lawan.

“Siuuuutttt.... darrrr....!”

Tombak Long-ge-pang itu patah menjadi dua dan tubuh Hek-i Mo-ong terjengkang dan terbanting. Ketika kakek ini bangun kembali, mukanya pucat sekali, matanya terbelalak dan dari mulutnya mengucur darah segar!

Nampak tubuh Pendekar Super Sakti bergoyang-goyang. Dia menunduk dan terdengar suaranya lirih, “Cukup, Hek-i Mo-ong, pergilah....”

Akan tetapi, agaknya Hek-i Mo-ong masih penasaran. Dia telah melakukan usaha yang mati-matian, sudah kehilangan banyak sekali teman dan anak buah, masa dia harus mengaku kalah dan pergi begitu saja? Mungkin dia sudah kalah dalam ilmu silat, kalah dalam tenaga sinkang, akan tetapi dia masih mempunyai andalannya, yaitu ilmu sihir! Maka dia sudah mengeluarkan kipas merahnya, memegangnya dengan tangan kanan, diacungkan ke atas, mulutnya berkemak-kemik, kipasnya mengebut-ngebut.

Tiba-tiba ruangan itu menjadi remang-remang seolah-olah ada awan gelap menyelimuti, dan terdengar bermacam-macam suara aneh, seperti suara orang-orang menangis dan tertawa bergelak. Semua anak buah Hek-i Mo-ong sendiri merasa seram akan tetapi karena mereka tahu bahwa ini adalah pengaruh ilmu hitam yang sedang dikerahkan oleh pucuk pimpinan mereka, mereka merasa tenang.

“Suma Han, aku adalah raja dari dunia hitam! Semua kekuatan hitam bangkit dari neraka dan membantuku untuk membasmi keluargamu. Lihatlah mereka muncul!” Dan kipasnya mengebut-ngebut makin keras lagi.

Kini suara yang aneh-aneh itu semakin keras lalu nampaklah bayangan-bayangan hitam bermunculan. Bayangan hitam ini membentuk sosok-sosok tubuh yang mengerikan, tubuh setengah binatang setengah manusia, seperti iblis-iblis dari neraka bermunculan atas perintah rahasia dari Hek-i Mo-ong.

“Kegelapan hanya dapat mempengaruhi mereka yang sesat batinnya, Hek-i Mo-ong. Siapa yang melakukan kejahatan berarti hanya mencelakai dirinya sendiri!” terdengar Suma Han menjawab halus.

Dan semua orang melihat betapa asap dupa yang sejak tadi mengepul itu, kini nampak semakin tebal, nampak semakin jelas ketika cuaca dalam ruangan itu menjadi gelap. Dan asap putih ini bergerak-gerak membentuk bayangan yang makin lama makin jelas, kemudian nampaklah bayangan Pendekar Super Sakti, makin lama makin besar, berdiri dengan tongkat di tangan, gagah perkasa walau pun kakinya hanya sebelah, sepasang matanya mencorong seperti bintang.

Melihat ini, Hek-i Mo-ong makin kuat mengebutkan kipas merahnya dan dari mulutnya keluar suara-suara aneh seperti orang membaca mantera dalam bahasa asing. Dan bayangan-bayangan hitam itu menggereng-gereng dan menerjang ke depan, ke arah bayangan putih dari Pendekar Super Sakti raksasa yang dibentuk oleh asap dupa itu. Bayangan putih yang berbentuk Pendekar Super Sakti itu mengangkat tangan kiri ke atas, lalu membuat gerakan-gerakan dengan tongkatnya seperti orang mencorat-coret menulis huruf-huruf di udara atau seperti orang bersilat tongkat secara aneh sekali.

Terjadilah pertentangan yang luar biasa di udara, ditonton oleh semua anak buah Hek-i Mo-ong dengan mata terbelalak dan jantung berdebar tegang. Setelah bayangan putih yang berbentuk Suma Han itu ‘bersilat’ atau menulis huruf-huruf di udara, bayangan-bayangan hitam itu lalu merengkutkan tubuhnya, menutupi muka dengan lengan-lengan berbulu, bagaikan anak-anak kecil melihat sesuatu yang menakutkan dan mereka itu mundur-mundur.

Hek-i Mo-ong memperkeras bacaan manteranya, kipasnya dikebut-kebutkan ke arah Suma Han yang tetap duduk bersila. Namun, bayangan-bayangan hitam itu semakin mengecil dan akhirnya seperti melarikan diri, membalikkan tubuh dan berloncatan ke belakang!

“Krekkk....!”

Kipas merah di tangan Hek-i Mo-ong patah-patah dan kakek itu sendiri terpelanting seperti ditabrak setan-setan itu. Dia merintih akan tetapi masih dapat bangkit lagi sambil mengeluh perlahan, mukanya berlepotan darah yang tersembur keluar dari mulutnya sehingga mukanya nampak menyeramkan, pantas kalau dia menjadi Raja Iblis.

“Hek-i Mo-ong, cepat pergilah dan tinggalkan pulau ini bersama semua kawanmu, bawa semua kawanmu yang tewas mau pun yang terluka,” terdengar Suma Han berkata lagi dengan suara halus.

Dengan dibantu oleh Jai-hwa Siauw-ok yang memapahnya, Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan dasar orang yang berwatak angkuh, begitu dapat berdiri dia mengibaskan tangan Siauw-ok sehingga kawannya ini mundur dan membiarkan dia berdiri sendiri.

Sejenak Hek-i Mo-ong memandang kepada Suma Han, kemudian dia membalikkan tubuhnya dengan sikap angkuh dan menghardik, “Mari kita pergi!”

Jai-hwa Siauw-ok yang memandang semua itu dengan muka pucat dan hati gentar sekali, cepat-cepat mengikutinya bersama dua belas orang sisa anak buah mereka. Dengan susah payah, dua belas orang anak buah itu lalu mengangkuti mayat-mayat para teman mereka dan akhirnya, mereka semua pergi meninggalkan Pulau Es dengan menderita kekalahan besar.

Setelah para penyerbu itu pergi, Suma Han menghela napas panjang, menggunakan sehelai saputangan putih yang diambilnya dari saku jubahnya untuk mengusap ke arah tepi mulutnya. Dan saputangan itu penuh dengan darah segar! Hebat memang tenaga Hek-i Mo-ong tadi, dan dia sendiri sedang dalam keadaan lemah!

Dia memandang ke arah wajah Nirahai yang nampak tersenyum, kemudian mengerling ke arah peti jenazah Lulu, dan berbisik, “Tak kusangka, makin cepat kita akan dapat saling bertemu....”

Dan dia pun kembali bersila seperti semula di dekat jenazah Nirahai dan peti jenazah Lulu. Asap dupa masih mengepul terus ke atas, tanda bahwa tidak ada angin memasuki ruangan itu. Suasana amat hening.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es