KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-04
“Cu-wi siapakah dan hendak pergi ke manakah?” Cin Liong bertanya dengan muka bodoh.
“Siapa engkau?” bentak seorang di antara mereka yang usianya tidak kurang dari enam puluh tahun dan bersikap galak.
“Saya seorang nelayan yang kemalaman dan terpaksa bermalam di sini dan....”
“Tangkap pembohong ini! Dia tentu mata-mata Pulau Es!”
Empat orang menerjang maju hendak menangkap Cin Liong. Pemuda ini pun maklum bahwa sekali tertawan, tentu ia akan celaka. Orang-orang ini adalah gembong-gembong kaum sesat yang kejam. Andai kata dia benar seorang nelayan biasa yang tak berdosa sekali pun tentu akan celaka kalau tertawan oleh mereka, apa lagi dia yang hanya seorang nelayan palsu.
Maka begitu empat orang itu menerjang maju, dia pun bergerak cepat menggerakkan kaki tangannya. Dua orang terkena tamparannya dan terpelanting, akan tetapi yang dua orang lagi agaknya cukup lihai sehingga dapat mengelak dengan cepat! Dan mereka semua kini merasa yakin bahwa pemuda tampan itu bukanlah nelayan biasa, maka terjadilah pengeroyokan di atas puncak tebing karang itu!
Cin Liong mengamuk untuk mempertahankan diri. Segera dia memperoleh kenyataan betapa para pengeroyok itu sungguh bukan orang sembarangan, melainkan rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh! Dan mereka itu menyerangnya secara bertubi-tubi, mempergunakan senjata-senjata yang ampuh. Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerangnya.
Cin Liong adalah seorang panglima yang sudah sering kali melakukan pertempuran dan menghadapi pengeroyokan-pengeroyokan. Namun, harus diakuinya bahwa baru sekali ini dia menghadapi pengeroyokan orang-orang yang lihai ilmu silatnya. Bagaimana pun juga, tingkat kepandaian para pengeroyok itu masih jauh di bawah tingkatnya, maka biar pun dia hanya bertangan kosong menghadapi puluhan batang senjata tajam, dia masih mampu mempertahankan diri dan merobohkan beberapa orang lagi. Hanya pakaiannya saja yang robek tergores senjata tajam, sedang luka ringan dideritanya pada pahanya yang tergores pedang pada saat paha itu tidak dilindungi sinkang.
Pemuda ini adalah putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, maka tentu saja sinkang-nya sudah kuat sekali dan dia dapat melindungi tubuhnya dengan hawa yang amat kuat terhadap serangan senjata tajam. Akan tetapi, pengerahan tenaga itu tentu saja tidak mungkin dilakukan terus-menerus dan pada saat kosong itulah pahanya tadi tergores pedang. Lukanya mengucurkan darah, tapi tidak membuat gerakannya menjadi lemah, bahkan sebaliknya, dia mengamuk makin ganas bagaikan seekor naga mengamuk.
Akan tetapi, tiba-tiba muncul dua orang kakek yang begitu menyerangnya membuat pemuda ini terhuyung-huyung. Mereka itu adalah Hek-i Mo-ong sendiri dan seorang saikong yang mukanya brewokan dan yang memegang sebatang thi-pian (cambuk besi) berekor lima. Orang ini bukan lain adalah Ngo-bwe Sai-kong yang amat lihai, ketua dari Im-yang-pai.
“Tar-tar-tar-tarrr....!”
Cambuk besi itu melecut-lecut dan meledak-ledak dengan dahsyatnya. Cin Liong yang sedang menghadapi serangan-serangan tangan kosong Hek-i Mo-ong yang luar biasa berbahayanya itu, kini diserang oleh cambuk besi, menjadi repot bukan main. Pundak dan pangkal lengannya, juga pahanya telah terkena lecutan yang seperti kepala ular mematuk-matuk ke arah jalan darah yang mematikan.
Biar pun Cin Liong masih dapat melindungi tubuhnya, namun tetap saja kulit dan daging bagian yang terkena lecutan menjadi robek-robek. Darah mengucur keluar dan dia masih terus didesak oleh Hek-i Mo-ong yang mulai merasa penasaran sekali. Raja Iblis ini sekarang merasa pernah melihat Cin Liong, tetapi dia lupa lagi di mana. Dia hanya merasa yakin bahwa seorang pemuda yang mempunyai kepandaian sehebat itu, tentu merupakan seorang pendekar di pihak musuh yang sudah sepatutnya kalau dibasmi.
Maka dia pun tak malu-malu untuk mengeroyoknya bersama Ngo-bwe Sai-kong, walau pun dia merasa tidak akan kalah andai kata dia harus menghadapinya satu lawan satu. Kini, satu-satunya tujuan hatinya adalah membasmi semua keluarga pendekar, dimulai dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Maka, dia menganggap perkelahian ini sebagai suatu perjuangan dan tidak lagi perduli tentang etika atau kesopanan dalam dunia persilatan.
Setelah terdesak hebat sekali, Cin Liong maklum bahwa dia harus mengadu nyawa. Tak ada jalan untuk meloloskan diri di pulau kosong ini. Dia seperti seekor harimau yang masuk perangkap, dan tahu bahwa pihak musuh tidak akan mengampuninya dan pasti akan membunuhnya. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh atau dibunuh!
Sejak tadi ia hanya menggunakan ilmu-ilmu silat biasa seperti yang pernah dipelajarinya dari ayah bundanya. Akan tetapi, melihat keadaannya yang amat berbahaya, dia pun lalu teringat akan ilmu-ilmu simpanannya, ilmu-ilmu dari ayahnya yang hanya boleh dipergunakan kalau keadaan sudah terlalu memaksa. Apa lagi kini dia melihat betapa dua orang kakek yang sudah terlampau berat baginya itu dibantu lagi oleh sedikitnya tujuh orang yang mulai menyerangnya dari pelbagai jurusan!
“Hyaaaaaatttt....!”
Cin Liong mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya bergerak aneh, memanjang ke depan seperti seekor naga dan gerakan kedua lengannya seperti cakar naga, kakinya menyambar-nyambar seperti ekor naga dan empat orang pengeroyok terpelanting ke kanan kiri dan tewas seketika karena tulang-tulang tubuh mereka remuk-remuk!
“Ahh, dia murid Istana Gurun Pasir!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong berseru kaget dan dia pun mendesak ke depan.
Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut mendengar ini dan thi-pian di tangannya itu menyerang makin ganas. Sebuah di antara ujung cambuk besi itu mematuk ke arah ubun-ubun kepala Cin Liong. Bagian ini tidak dapat dilindungi terlalu kuat dan tidak mungkin dia berani menerima patukan ujung cambuk yang digerakkan dengan sinkang kuat itu, maka Cin Liong terhuyung ke belakang ketika melompat.
Kesempatan itu digunakan oleh Hek-i Mo-ong. Selagi tubuh pemuda itu masih berada di udara, dia mendesak maju dan mendorong dengan kedua telapak tangannya yang terbuka. Angin pukulan dahsyat menyambar keluar. Cin Liong tak dapat mengelak lagi, terpaksa mendorongkan kedua tangan untuk menyambut. Akan tetapi, karena tubuhnya belum menginjak tanah, ketika kedua tenaga bertemu, tubuhnya terdorong keras ke belakang dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kao Cin Liong terjengkang dan meluncur turun ke bawah tebing yang amat curam itu!
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak dan lari ke tepi tebing, diikuti oleh Ngo-bwe Sai-kong dan para anak buah mereka. Suara ketawa kakek itu masih bergema keras bersama dengan melayangnya tubuh pemuda itu ke bawah. Mereka semua dapat melihat betapa tubuh itu menimpa air laut yang muncrat ke atas, kemudian tubuh itu tenggelam dan lenyap ditelan ombak yang membuih putih dan berkejaran menghantam karang!
Tentu tubuh pemuda itu tenggelam, atau dicaplok ikan besar, atau dihempaskan oleh ombak ke batu karang dan hancur luluh! Dari atas itu saja, semua orang dapat melihat betapa tidak ada harapan sama sekali untuk hidup bagi orang yang sudah terjatuh ke tempat itu, apalagi dari ketinggian ini!
Akan tetapi, Hek-i Mo-ong dan para kawannya itu lupa bahwa urusan mati hidup bukanlah urusan manusia, dalam arti kata bahwa bukan manusia yang menentukan mati hidupnya seseorang. Bahkan mati hidup dirinya sendiripun merupakan rahasia bagi manusia. Oleh karena itu, mana mungkin mereka itu dapat memastikan bahwa pemuda yang terjatuh ke dalam laut dari tebing curam itu sudah tentu akan mati? Orang baru dapat menentukan mati hidupnya seseorang kalau dia sudah melihat keadaan orang itu. Yang ada hanya kenyataan, hidup ataukah mati.
Akan tetapi, selagi hidup, tidak mungkin dapat menentukan dan mengenal tentang kematian, kecuali hanya melalui kira-kira dan anggapan-anggapan atau pun pendapat-pendapat kosong belaka, atau ikut-ikutan menurut pendapat orang-orang terdahulu atau kepercayaan-kepercayaan yang dianut masing-masing. Selagi jasmani masih hidup, tidak mungkin dapat merasakan bagaimana kematian itu. Baru keadaan tidur saja tidak dapat diketahui oleh kesadaran, apalagi keadaan mati.
Akan tetapi, kematian jasmani merupakan perubahan yang wajar. Ada kematian lain yang amat ditakuti manusia, yaitu kematian yang merupakan pelepasan dari semua ikatan! Inilah yang membuat orang menjadi takut untuk menghadapi kematian. Ikatan dengan benda yang disayangnya, dengan manusia lain yang amat dicintanya, dengan kedudukan, nama besar dan sebagainya yang semuanya itu dianggap menyenangkan sekali. Jadi hakekatnya, orang takut mati karena enggan berpisah dari kesenangan!
Ketika dia terjengkang dan merasa betapa tubuhnya meluncur ke bawah, tahulah Cin Liong bahwa dia telah terjatuh ke bawah tebing. Dia sadar benar bahwa nyawanya terancam maut. Akan tetapi, gemblengan batin yang diterimanya sejak kecil membuat pemuda ini selalu waspada dan sedikit pun tidak menjadi panik. Biar pun tubuhnya melayang dari tempat begitu tinggi sedangkan di bawahnya menanti maut berupa air laut berombak yang susul-menyusul menghantam batu karang, namun dia tetap waspada dan dalam waktu beberapa detik itu saja otaknya telah membuat perhitungan yang masak.
Dia tahu bahwa musuh-musuhnya yang lihai dan berjumlah banyak itu tentu mengamati kejatuhannya dari atas. Kalau mereka melihat bahwa dia dapat menyelamatkan diri, tentu mereka akan mengejarnya dengan perahu-perahu mereka dan kalau hal ini terjadi, dia akan celaka. Maka, kalau dia dapat menyelamatkan diri dari kejatuhan ini, dia harus dapat berpura-pura tewas ditelan air laut dan hal ini membutuhkan perhitungan dan tindakan seketika yang matang.
Pertama-tama, dia harus dapat mengatur agar jatuhnya ke air tidak sampai terbanting keras, terutama kepalanya karena hal itu akan membuat dia pingsan dan sekali pingsan celakalah dia, tentu mati tenggelam atau kalau terapung pun tentu akan dibunuh oleh orang-orang itu, atau dihempaskan ombak menghantam batu karang! Maka, pertama-tama dia harus mengatur keseimbangan dirinya dan jatuh ke air dalam keadaan yang menguntungkan dirinya.
Setelah itu, dia harus dapat menyelam dan mencari jalan agar tidak timbul kembali dan hal ini dapat dilakukan kalau dia dapat menyelam dan berenang memasuki goa di bawah tebing. Di situ dia akan selamat dan tidak akan nampak dari atas. Pikiran dan perhitungan masak ini dilakukan dalam waktu beberapa detik saja selagi tubuhnya itu meluncur ke bawah.
“Byurrrrrr....!”
Air muncrat tinggi dan dia terbanting ke dalam air dengan kaki lebih dulu. Dengan demikian, kepalanya tidak terbentur air dan tubuhnya dapat meluncur dengan cepat melawan arus ombak sampai ke dasar laut di mana ombak tidak begitu besar dan kuat gerakannya. Karena dia sudah memperhitungkan dan mengatur kejatuhannya sehingga ketika kedua kaki menyentuh air tadi dia menghadap ke tebing, kini kakinya yang menyentuh dasar laut itu mengenjot kuat dan tubuhnya meluncur dan berenang cepat menuju ke tepi. Kedua tangannya bergerak meraba-raba ke depan dan akhirnya, terdorong pula oleh ombak, dia dapat menyentuh dinding tebing di bawah laut.
Dengan kekuatan khi-kangnya, dia menahan napas sejak tadi dan kini, berpegang kepada dinding tebing yang tidak rata, dia memanjat ke atas dan muncul di dalam goa bawah tebing, aman dan tidak kelihatan dari atas. Cepat dia mencari tempat bersembunyi yang aman dari hempasan ombak, dan tinggal di situ sampai siang. Baru setelah dia melihat perahu-perahu besar itu pergi meninggalkan pulau, menuju ke utara, dia memanjat tebing itu, keluar dan mencari perahu kecilnya.
Tubuhnya sakit-sakit dan lelah, juga lapar. Akan tetapi Cin Liong tidak mau beristirahat, tidak mau mencari makan. Dia harus cepat-cepat mencari Pulau Es dan dia yakin bahwa pulau itu tentu tidak jauh lagi dari daerah itu. Maka dia pun lalu membuka layar dan perahu kecilnya meluncur dengan cepat menuju ke utara, menyusul rombongan dua belas perahu besar tadi.
Akan tetapi, dia tidak dapat menyusul mereka, dan dia cepat-cepat bersembunyi di balik gumpalan es besar ketika melihat perahu-perahu itu berlayar menjauhi sebuah pulau yang nampak putih dari kejauhan. Cin Liong menjadi bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi dan mengapa perahu-perahu itu meninggalkan pulau putih yang disangkanya tentu Pulau Es itu.
Dia merasa lelah dan agak pening, mungkin terlalu banyak kehilangan darah, terlalu lelah dan juga lapar. Setelah bertemu dengan rombongan perahu itu, dia harus berhati-hati dan dia terus bersembunyi bersama perahunya di balik bongkahan es.
Setelah malam tiba, dia baru berani mendayung perahunya keluar dari balik bongkahan es menuju ke pulau putih itu. Untung ada bintang-bintang di langit yang walau pun sinarnya muram, namun cukup untuk menerangi pulau putih itu, yang nampak seperti gunung abu-abu di malam gelap. Akhirnya tibalah dia di pulau itu, lalu dia mendarat. Akhirnya, dia mendekati istana tengah pulau itu dan ketahuan oleh Suma Hui.
Keluarga Pulau Es mendengar penuturan Cin Liong dengan penuh perhatian. Pemuda itu lalu mengakhiri cerita dengan suara menyesal, “Demikianlah, Suma kong-couw, saya akhirnya dapat juga tiba di sini menghadap kong-couw. Akan tetapi sungguh menyesal sekali bahwa kedatangan saya terlambat sehingga agaknya nenek buyut Lulu menjadi korban.”
Kakek Suma Han mengangguk. “Memang dia telah tewas dalam pertempuran melawan sebagian dari pada para penyerbu. Akan tetapi, engkau baru saja datang dan engkau tentu lapar. Makanlah dulu, Cin Liong.”
Nirahai lalu berkata kepada Suma Hui, “Hui, kau suruh pelayan untuk menyiapkan makanan untuk keponakanmu Cin Liong.”
Suma Hui bangkit berdiri, mengangguk kepada Cin Liong dan berkata ramah, akan tetapi sikapnya agak canggung, “Marilah....”
Cin Liong bangkit dan menjawab dengan hormat, “Baik, bibi Hui dan terima kasih.” Lalu dia mengikuti gadis itu menuju ke dalam.
“Temanilah dia makan minum di dalam,” kata nenek Nirahai kepada dua orang cucu lelakinya.
Ciang Bun dan Ceng Liong mengangguk, bangkit dan masuk pula. Mereka tahu bahwa nenek mereka agaknya hendak bicara dengan kakek mereka dan nenek mereka tadi memberi isyarat agar mereka meninggalkan dua orang tua itu berdua saja.
Setelah semua orang muda itu pergi, nenek Nirahai lalu menoleh kepada suaminya dan berkata dengan suara yang mengandung kekhawatiran, “Menurut penuturan Cin Liong, jumlah mereka itu ada lima puluh orang lebih, dan para pemimpinnya ada lima orang, termasuk Hek-i Mo-ong. Jadi, setelah yang seorang tewas di tangan adik Lulu, masih ada empat orang lagi yang memiliki kepandaian tinggi. Aku pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Hek-i Mo-ong amat hebat, dan dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Apalagi ada tiga orang lagi temannya, dan anak buahnya berjumlah lima puluh orang.”
Sejak tadi, kakek itu menatap wajah isterinya, lalu bertanya halus sehingga sama sekali tidak ada nada yang menyinggung, “Apakah engkau merasa takut?”
Nenek Nirahai menggeleng kepalanya. “Engkau tahu bahwa aku tidak pernah mengenal rasa takut berhadapan dengan musuh yang bagaimana pun juga. Akan tetapi, tetap saja aku merasa khawatir. Mereka itu berjumlah besar sekali dan keadaan mereka amat kuat. Oleh karena itu, tewasnya seorang di antara mereka saja tidak mungkin membuat mereka tidak berani datang lagi. Tidak, aku bahkan merasa yakin bahwa mereka tentu akan datang menyerbu dan kini sedang menghimpun kekuatan.”
“Dan engkau tidak takut....?”
“Memang, aku tidak takut. Jangankan baru sekian, biar ditambah tiga kali lipat lagi pun aku tidak akan undur selangkah. Akan tetapi, kita harus mengingat cucu-cucu kita....!”
Kakek itu tetap tenang saja, bahkan tersenyum memandang isterinya. Biar pun mereka sudah tua, akan tetapi senyum suaminya itu membuat nenek Nirahai menjadi merah mukanya. Belum pernah senyum dan pandang mata suaminya itu tidak membuat hatinya runtuh!
Kakek itu agaknya mengerti akan kecanggungan isterinya, maka dia pun berkata, “Engkau lebih paham dari pada aku mengenai bagaimana harus menghadapi serbuan orang banyak itu, isteriku.”
“Baiklah, serahkan saja kepadaku,” kata nenek Nirahai yang segera keluar dari ruangan itu, membiarkan suaminya sendirian menjaga peti jenazah nenek Lulu.
Ketika ia melangkah keluar istana dan memandang keluar, ke malam gelap, ke arah bintang-bintang di langit, dan merasakan hembusan angin malam pada wajahnya, membayangkan bahwa di tengah lautan itu terdapat pihak musuh yang sedang mengintai dan sewaktu-waktu akan menyerbu, wajah nenek Nirahai seketika menjadi gembira dan berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya mengulum senyum. Ia merasa seolah-olah sedang menunggang kuda sebagai seorang panglima yang sedang mempelajari keadaan dan mengatur siasat perang untuk menghadapi penyerbuan musuh yang amat kuat. Inilah dunianya. Inilah kesukaannya. Perang! Atau setidaknya, menghadapi ancaman musuh yang amat kuat, menduga-duga siasat yang diatur lawan dan merencanakan siasat tandingan untuk dapat mencapai kemenangan!
Wajah nenek Nirahai masih berseri gembira ketika ia menemui Cin Liong, Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga ia mengumpulkan lima orang pelayan, tiga pria dan dua wanita itu, mengajak mereka berkumpul di ruangan paling depan.
“Dengankan baik-baik,” ia memulai dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian karena mereka semua dapat menduga akan adanya bahaya mengancam dari pihak musuh setelah mereka mendengar penuturan Cin Liong tadi. “Agaknya pulau kita ini sedang dikepung oleh musuh yang banyak jumlahnya. Ada dua belas perahu besar yang memuat kurang lebih lima puluh orang, semua adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, dan mereka dipimpin oleh empat orang datuk yang sakti. Besar kemungkinan mereka itu akan datang menyerbu sewaktu-waktu, entah malam ini, entah besok pagi. Karena itu, kita sembilan orang ini haruslah bersiap-siap untuk mempertahankan pulau kita.”
“Baik, nyonya. Kami berlima akan mempertahankan pulau kita ini dengan taruhan nyawa!” jawab seorang di antara lima pelayan itu, yang wanita dan yang tertua, berusia empat puluh tahun. Empat orang temannya mengangguk penuh ketegasan karena mereka itu sudah merasa seperti anggota keluarga Pulau Es, sudah jatuh cinta dengan tempat itu dan dengan keluarga yang mereka hormati dan kagumi itu.
Melihat sikap mereka, nenek Nirahai merasa terharu dan bangga sekali. Banyak sudah ia melihat prajurit-prajurit yang dahulu menjadi anak buahnya bersikap gagah seperti ini, akan tetapi mereka adalah prajurit-prajurit yang memang bertugas untuk menghadapi musuh. Ada pula prajurit-prajurit yang kalau merasa terancam keselamatan mereka lalu lari tunggang-langgang tanpa menunggu komando lagi. Akan tetapi lima orang ini hanya pelayan-pelayan dan mereka itu hanya ketularan sedikit saja ilmu silat keluarga Istana Pulau Es. Namun dalam hal kegagahan, mereka itu sungguh patut dibanggakan!
“Bagus! Kalian harus berjaga malam ini secara bergilir. Tidak boleh semua berjaga. Cukup seorang saja meronda membantuku, yang empat orang tidur. Setiap tiga jam bergilir jaga. Ini penting karena kalian harus menyimpan tenaga. Kurang tidur bisa melelahkan dan melemahkan. Supaya dapat tidur akan kuberi obat. Nah, sekarang berpencar dan berjagalah sampai aku datang menyuruh siapa yang harus berjaga lebih dahulu. Bawa senjata kalian dan nyalakan lampu di bagian depan istana saja, lampu-lampu lainnya padamkan.”
Setelah lima orang pelayan itu pergi menjalankan tugas mereka, nenek Nirahai lalu berkata kepada tiga orang cucunya, “Hui, bawa kedua orang adikmu menjaga di luar halaman istana dan jangan pergi dari situ sebelum aku datang.”
Suma Hui, Ciang Bun, dan Ceng Liong menyanggupi dan mereka pun keluar dengan sikap gagah, sedikit pun tidak nampak gentar walau pun mereka tahu bahwa tempat tinggal mereka akan diserbu musuh yang banyak jumlahnya. Setelah tiga orang anak itu pergi, nenek Nirahai lalu memberi isyarat kepada Cin Liong untuk mengikutinya. Tentu saja pemuda ini merasa heran, akan tetapi dia pun diam saja dan mengikuti nenek itu yang membawanya pergi ke halaman samping di sebelah kanan istana itu.
“Cin Liong, di antara cucu-cucuku, engkaulah satu-satunya orang yang telah dewasa, apalagi engkau adalah seorang jenderal muda yang tentu tahu akan siasat perang,” kata nenek Nirahai setelah mereka berada di halaman samping yang sunyi itu. “Maka, aku sengaja membawamu ke sini untuk kuajak berunding. Nah, terus terang saja, katakanlah bagaimana kedudukan kita dibandingkan dengan lawan dan apa akan jadinya kalau lawan menyerbu secara serentak mengerahkan seluruh kekuatan mereka?”
Cin Liong menarik napas panjang. “Mungkin saya terlalu lemah dan kecil hati, akan tetapi terus terang saja, kedudukan kita amat lemah dan kekuatan pihak musuh terlalu besar. Akan tetapi sulitlah bagi kita untuk dapat mengalahkan begitu banyaknya orang yang rata-rata lihai, apalagi empat orang pemimpin mereka itu. Kalau memang kita hendak menyelamatkan diri, jalan satu-satunya adalah diam-diam meninggalkan pulau ini sebelum mereka menyerbu. Menggunakan waktu gelap dan pengetahuan kong-couw sekeluarga yang tentu lebih mengenal daerah ini, agaknya masih banyak harapan bagi kita untuk meloloskan diri.”
“Kao Cin Liong!” Nenek itu menegur. “Ayahmu adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang sudah lama kukagumi sebagai orang muda yang hebat luar biasa, akan tetapi engkau putera tunggalnya menyarankan kepadaku untuk melarikan diri? Jenderal muda macam apakah engkau ini?”
Wajah pemuda itu berubah merah. “Maafkan, sesungguhnya usul saya tadi bukan semata-mata karena saya takut menghadapi kenyataan, melainkan penggambaran keadaan sebagaimana adanya, dan terutama sekali saya mengingat adanya bibi Suma Hui dan dua orang paman kecil. Saya kira amatlah sayang kalau mereka itu harus menghadapi bahaya maut dengan sia-sia dalam usia semuda itu.”
Nenek itu mengangguk-angguk. “Justeru karena itulah maka engkau kuajak ke sini, Cin Liong. Engkau tentu paham bahwa orang-orang seperti kong-couw-mu dan aku, sampai mati pun tidak nanti akan melarikan diri dari serbuan orang. Akan tetapi, aku pun tidak menghendaki cucu-cucuku yang masih muda itu menjadi korban dan mati konyol.”
“Jadi nenek menghendaki agar saya menyelamatkan mereka bertiga dan membawa mereka diam-diam pergi meninggalkan Pulau Es?” tanya Cin Liong.
“Benar, engkau harus menyelamatkan mereka. Akan tetapi bukan melarikan diri dari sini, melainkan membawa mereka bersembunyi kalau serbuan itu datang dan keadaan menjadi gawat. Tentu saja kita harus membiarkan mereka ikut menghadapi musuh. Hanya kalau kita kewalahan dan dalam keadaan darurat, engkau harus melarikan mereka dan bersembunyi.”
“Akan tetapi, di pulau seperti ini, ke mana saya dapat menyembunyikan mereka? Tentu akan dicari musuh dan akhirnya ketemu juga.”
“Marilah engkau ikut denganku,” berkata nenek itu. “Dan perhatikan benar-benar tempat persembunyian itu.”
Cin Liong mengikuti nenek itu memasuki sebuah pintu samping kecil dan mereka berhadapan dengan dinding tebal. Nenek Nirahai kemudian meloncat sampai dua meter tingginya, jari tangannya menekan langit-langit di mana nampak seekor cecak yang ternyata adalah cecak kering yang sudah mati dan bangkai yang sudah dikeraskan itu merupakan tanda rahasia tempat penekan alat rahasia pula. Terdengar suara berderit dan lantai tempat itu tiba-tiba bergeser dan nampaklah sebuah lubang.
Nenek Nirahai memasuki lubang yang merupakan anak tangga ke bawah tanah. Cin Liong mengikutinya. Begitu memasuki lubang, nenek itu memutar sebuah patung singa yang berada di kepala tangga dan lantai ruangan itu pun bergeser lagi menutupi lubang. Mereka terus menuruni lorong rahasia itu dan akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas di bawah tanah, tepat di bawah istana itu. Di situ terdapat lilin yang cukup banyak, air tawar dan bahan makanan kering yang kiranya akan cukup untuk menghidupkan tiga empat orang selama satu bulan.
“Nah, di sinilah tempat persembunyian itu. Kalau keadaan sudah mendesak, engkau harus membawa mereka ke sini. Tempat ini hanya diketahui oleh kong-couw-mu dan aku, cucu-cucuku itu tidak ada yang tahu. Maukah engkau berjanji bahwa engkau akan menyelamatkan mereka dan membawanya ke sini kalau keadaan memaksa?”
“Saya berjanji!”
Nenek Nirahai tersenyum girang dan merangkul pemuda itu. “Bagus! Aku percaya akan janji putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu buyut keluarga Pulau Es, juga seorang pendekar dan seorang panglima muda yang gagah perkasa. Nah, Cin Liong, mari kita keluar. Ingat, andai kata mereka itu tak mau kau bawa lari sembunyi, jangan ragu-ragu, pergunakan kepandaianmu dan totok mereka, paksa mereka menyelamatkan diri ke sini. Mengerti?”
“Baik, nek. Saya mengerti.”
Mereka lalu keluar lagi dari tempat rahasia itu dan setelah nenek Nirahai menutup kembali lubang di lantai dengan cara memutar bangkai binatang cecak itu kembali menghadapi dinding, mereka lalu keluar ke halaman samping.
“Kalau mereka sudah menyerang, sebaiknya kalau kita memancing mereka ke halaman ini. Halaman ini merupakan medan pertempuran yang paling baik bagi kita. Musuh hanya dapat datang menyerbu dari depan dan kiri saja. Sebelah kanan ada bangunan, juga sebelah belakang sehingga kita yang kalah banyak tidak sampai dapat dibokong musuh. Kita mengerahkan semua kekuatan kita di sini dan melawan sekuatnya. Bagai mana pendapatmu, Cin Liong? Apakah engkau memiliki siasat lain untuk menghadapi pihak musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya itu?”
Cin Liong merasa kagum sekali kepada nenek yang dapat mengatur siasat sedemikian cepatnya, dan siasatnya itu memang merupakan penyusunan kedudukan yang paling baik. Apalagi karena tempat persembunyian yang dimaksudkan untuk menyelamatkan tiga orang cucunya ini berada dekat dengan halaman ini, sehingga praktis sekali dan kalau keadaan memaksa, dia dapat melarikan mereka ke belakang halaman melalui pintu kecil tanpa diketahui oleh pihak musuh.
“Maafkan kalau saya lancang memberi pendapat saya, akan tetapi saya kira kita bertahan di tempat ini hanya kalau sudah betul-betul terdesak. Menghadapi lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, tidakkah sebaiknya kalau kita melakukan serangan-serangan tersembunyi agar membuat mereka terpecah-pecah kekuatan mereka? Untuk itu, saya kira nenek dan saya sendiri akan mampu melakukannya, juga kalau kong-couw sudi....”
“Kong-couw-mu jangan dibawa-bawa. Bagaimana pun juga, dia tidak mau maju perang. Aku mengerti maksudmu dan memang itu baik sekali. Kalau mereka muncul, baik malam ini atau besok siang, engkau dan aku, dari dua jurusan, menyerang mereka secara sembunyi-sembunyi dengan cara pukul dan lari agar mereka kacau-balau dan terpecah-belah. Akan tetapi mengingat bahwa di antara mereka banyak terdapat orang pandai, siasat itu tidak mungkin kita lakukan terus-menerus dan akhirnya kita akan terkepung juga. Nah, kalau sudah terkepung seperti itu, kita harus cepat membawa mereka itu ke tempat ini di mana kita dapat bersama-sama menghadapi mereka dari depan dan kiri saja, dan terutama, engkau dekat dengan tempat rahasia itu.”
Cin Liong mengangguk-angguk. “Saya setuju. Dan bibi Hui bersama dua orang paman kecil, juga lima orang pelayan, dapat saja mengacau mereka dengan penyerangan-penyerangan gelap, menggunakan anak panah atau senjata rahasia lainnya dari dalam istana yang terlindung.”
Nenek itu mengangguk-angguk. “Sayang engkau dahulu tidak dapat membantuku ketika aku masih sering memimpin pasukan menghadapi para pemberontak dan pengacau. Senang sekali mempunyai seorang pembantu secerdik engkau, Cin Liong!” Wajah nenek itu berseri gembira dan semangatnya berperang timbul dan berkobar. Melihat ini, Cin Liong merasa kagum bukan main. Sungguh seorang nenek yang gagah perkasa dan luar biasa pandainya!
“Ahh, sejak kecil saya telah mendengar betapa nenek adalah seorang panglima yang amat hebat dan tidak pernah gagal dalam menumpas para pemberontak dan pengacau. Saya masih harus banyak belajar dari nenek.”
Malam itu lewat tanpa adanya penyerbuan yang dinanti-nantikan. Suasana malam itu amat menyeramkan, dengan adanya peti jenazah dan kepulan dupa, keheningan yang menggerogoti perasaan. Sebetulnya, tiga orang cucu dan para pelayan tidak mau tidur sebentar pun juga, karena dalam suasana berkabung dan berjaga-jaga itu mereka merasa tidak sepatutnya kalau mereka tidur. Akan tetapi, nenek Nirahai memaksa mereka untuk bergilir jaga dan yang tidak jaga ia beri obat sehingga mereka itu dapat tertidur. Dan hal ini memang sungguh penting karena pada keesokan harinya, semua orang merasa tubuhnya tetap segar dan tidak lelah atau mengantuk.
Pada keesokan harinya, tiga orang pelayan pria membawa senjata dayung besi mereka dan di samping itu mereka pun membawa gendewa dan anak panah. Biar pun mereka bukan ahli panah, tetapi dengan mudah mereka dapat belajar cara menggunakannya dan mereka lalu memilih tempat yang strategis di balik jendela-jendela yang menghadap ke empat penjuru, bersama dengan dua orang pelayan wanita yang memang sudah pandai mempergunakan senjata rahasia jarum.
Suma Hui sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka ia bersembunyi di wuwungan bersama Cin Liong sedangkan Ciang Bun dan Ceng Liong bersembunyi di balik tiang besar, bersiap dengan senjata rahasia piauw dan jarum di tangan. Nenek Nirahai sendiri tidak nampak, namun Cin Liong maklum bahwa nenek ini tentu telah menanti di suatu tempat yang tidak terduga-duga oleh pihak musuh.
Dia merasa amat heran dan kagum melihat sikap kong-couw-nya yang masih tetap duduk bersila di dekat peti jenazah, kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada bahaya apa pun yang mengancam tempat itu. Menurut perhitungannya, dan juga yang sependapat dengan nenek Nirahai, pihak musuh yang telah menerima hajaran berat oleh nenek Lulu, tidak berani ceroboh melakukan penyerangan di waktu malam gelap dan tentu menanti sampai terang tanah baru akan datang menyerang dengan pengerahan kekuatan mereka.
Perhitungan ini memang benar. Setelah cuaca di pulau itu cukup terang dan sinar matahari telah mengusir semua kabut, puluhan orang berloncatan dari dua belas buah perahu yang ternyata telah menempel di pantai Pulau Es. Mereka itu segera berlari menuju ke Istana Pulau Es dan setelah dekat mereka berpencar, terpecah menjadi empat rombongan terdiri dari sepuluh orang lebih dan masing-masing rombongan dipimpin sendiri oleh seorang di antara empat orang datuk kaum sesat! Hek-i Mo-ong sendiri memimpin rombongan dari dua belas orang menyerbu ke arah istana dari depan.
Gerakan kurang lebih lima puluh orang itu rata-rata amat cepat ketika mereka berlari ke arah istana dan setiap orang memegang senjata masing-masing. Nampaknya mereka itu amat menyeramkan dan menghadapi serbuan begitu banyak orang yang datang dari empat penjuru akan dapat mengecilkan hati orang.
Akan tetapi, tidak demikian dengan para penghuni Pulau Es, keluarga Pendekar Super Sakti. Bahkan para pelayan di Istana Puktu Es itu pun tidak ada yang merasa gentar. Mereka itu memandang dengan mata tidak pernah berkedip, yang memegang busur sudah mempersiapkan diri dan mulai memasang anak panah, yang membawa senjata rahasia telah menggenggam jarum-jarumnya, mereka menanti saat para musuh itu datang dalam jarak yang cukup dekat.
Sementara itu, Cin Liong dan tiga orang muda cucu Pendekar Super Sakti juga telah bersiap-siap. Cin Liong dan Suma Hui bersiap di atas wuwungan dan kedua orang muda Ciang Bun dan Ceng Liong siap di belakang tiang besar. Cin Liong dan tiga orang muda itu telah bersepakat. Yaitu, Ciang Bun dan Ceng Liong akan menyerang dengan senjata piauw dan jarum mereka bersama dengan serangan para pelayan yang menanti di empat penjuru.
Penyerangan ini bukan hanya dimaksudkan untuk mengenai sasaran, akan tetapi juga dimaksudkan untuk menjadi pancingan agar perhatian musuh tertuju kepada para penyerang gelap itu. Dan kesempatan itu, selagi mereka lengah, Cin Liong dan Suma Hui yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi akan turun tangan menyerang dengan senjata rahasia mereka! Siasat ini sesuai dengan apa yang direncanakan oleh nenek Nirahai.
Para penyerbu itu adalah orang-orang yang lihai, apalagi yang dipimpin langsung oleh Hek-i Mo-ong adalah orang-orang pilihan di antara para anak buah yang menyerbu. Maka ketika mereka sudah agak dekat dan dari istana itu menyambar anak panah dan senjata-senjata rahasia lainnya, mereka dapat bergerak cepat, menangkis atau pun mengelak sehingga semua anak panah, jarum dan piauw itu tidak ada yang berhasil mengenai tubuh mereka.
Akan tetapi, pada saat semua perhatian tertuju ke arah jendela dan tiang dari mana senjata-senjata rahasia tadi menyambar, tiba-tiba nampak sinar kehijauan menyambar dari atas. Itulah Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang dilepas oleh Suma Hui. Ilmu melepas Siang-tok-ciam ini adalah kepandaian khas dari nenek Nirahai yang telah menurunkan kepada dara itu.
Betapa pun lihainya dua belas orang yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong itu, menghadapi serangan gelap yang tiba-tiba dari atas ini, dua orang di antara mereka tetap saja kurang cepat menghindar dan ada jarum beracun yang mengenai pundak dan leher mereka. Mereka berteriak kesakitan dan roboh, berkelojotan dan pingsan karena jarum halus dari nenek Nirahai yang diajarkan kepada Suma Hui ini benar-benar amat ampuh.
Sementara itu di bagian kanan kiri dan belakang juga mendapat sambutan yang sama, hanya tidak begitu hebat seperti sambutan di depan. Ada anak panah yang menyambar, dan ketika mereka semua dapat menghindar, tiba-tiba dari atas menyambar anak panah berturut-turut yang amat kuat dan cepat gerakannya. Itulah anak panah yang dilepas oleh Cin Liong.
Sebagai seorang jenderal, tentu saja dia selain mahir ilmu silat tinggi, juga ahli dalam hal menggunakan busur dan anak panah. Apalagi anak panah itu dilepas selagi semua orang di bawah mencurahkan perhatian ke arah jendela. Terdengar teriakan-teriakan dan dengan busur dan anak panahnya, Cin Liong berhasil merobohkan empat orang, dua di belakang dan dua di kiri.
Yang paling sial adalah para penyerbu yang datang dari kanan. Mereka disambut anak panah dan berhasil menghindarkan diri, akan tetapi jarum-jarum beracun berhamburan sedemikian banyak dan cepatnya sehingga dari sebelas orang yang dipimpin oleh Si Ulat Seribu, yang dapat menghindarkan diri hanyalah wanita iblis ini dan enam orang, sedangkan yang lima lain roboh berkelojotan terkena jarum-jarum halus yang dilepas oleh nenek Nirahai sendiri!
Ternyata siasat yang dijalankan oleh nenek Nirahai itu lumayan juga hasilnya. Dalam segebrakan itu sebelas orang anggota gerombolan penyerbu telah dapat dirobohkan. Tentu saja hal ini membuat Hek-i Mo-ong dan tiga orang kawannya marah bukan main.
“Serbu! Bunuh semua orang yang berada di dalam istana!” teriak Hek-i Mo-ong sambil meloncat ke depan, membawa senjatanya yang mengerikan yaitu sebatang tombak Long-ge-pang (Tombak Gigi Serigala).
Kakek ini memang menyeramkan sekali. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun, akan tetapi karena tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa, dia masih nampak kuat. Hek-i Mo-ong ini sebenarnya bernama Phang Kui, seorang peranakan Bangsa Kozak, ibunya seorang wanita utara yang juga bertulang besar. Rambutnya sudah putih semua, dan pakaiannya serba hitam, membuat wajahnya yang berkulit putih dan rambut, jenggot dan kumisnya yang juga putih itu kelihatan menyolok. Di pinggangnya nampak sebatang kipas merah yang ujungnya runcing.
Di samping senjata Long-ge-pang yang dipegang oleh tangan kanannya itu, kipas merah ini merupakan senjata yang sangat ampuh pula. Kipas merah ini bukan hanya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah dengan ujungnya yang runcing, akan tetapi juga merupakan alat penarik perhatian untuk melakukan sihir terhadap lawan. Di samping ilmu silatnya yang luar biasa tingginya, Hek-i Mo-ong ini terkenal sekali dengan ilmu sihirnya. Selain itu, tubuhnya kebal terhadap segala macam senjata.
Orang ke dua dari para pimpinan gerombolan yang menyerbu Pulau Es adalah Ngo-bwe Sai-kong yang telah tewas oleh nenek Lulu dalam sebuah perkelahian mati-matian yang akhirnya menyebabkan keduanya mati sampyuh.
Orang ke tiga adalah Ulat Seribu, seorang wanita yang melihat keadaan wajahnya yang amat buruk hingga sukar untuk diketahui usianya. Wajah itu bopeng dan pletat-pletot, mengerikan dan bahkan menjijikkan. Wajah yang habis digerogoti penyakit kulit yang hebat. Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya yang masih padat dan indah, kulit leher dan lengannya yang putih mulus maka usia wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh lima tahun.
Wanita ini peranakan Korea. Dia bersekutu dengan gerombolan ini membawa beberapa orang anak buahnya, orang-orang Korea yang bertubuh jangkung-jangkung. Si Ulat Seribu ini amat keras wataknya, dan lihai bukan main, terutama sekali ginkang-nya yang membuat ia dapat bergerak seperti terbang cepatnya. Selain itu, yang membuat lawan menjadi ngeri dan gentar adalah kebiasaannya yang aneh.
Ia suka memelihara dan membawa segala macam ulat. Dari ulat yang gundul sampai ulat-ulat berbulu dan gatal, ulat-ulat beracun. Kadang-kadang, ulat-ulat itu merayap di kedua lengannya yang putih mulus, dan ulat-ulat ini bukanlah ulat sembarangan yang dipelihara sebagai hobby belaka. Ulat-ulat itu adalah ulat beracun dan dapat ia gunakan sebagai senjata untuk merobohkan lawan!
Keadaan yang mengerikan inilah yang membuat dia dikenal dengan sebutan Si Ulat Seribu saja, dan tidak ada orang lain yang mengenal namanya. Di samping ulat-ulat beracun, wanita ini terkenal ahli bermain silat dengan sabuk merahnya yang pada ujungnya terdapat kaitan-kaitan dari emas.
Orang ke empat bernama Liok Can Sui, berjuluk Eng-jiauw Siauw-ong, berusia enam puluh tahun. Dia memang ketua dari perkumpulan Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda), sebuah perkumpulan perampok yang amat ditakuti orang, yang berkedudukan di daerah Se-cuan. Siauw-ong (Raja Muda) ini sangat lihai ilmunya, dan ganas sekali senjatanya, yaitu sepasang sarung tangan kuku garuda dan di samping itu dia pun merupakan seorang ahli racun yang ampuh.
Datuk ke lima berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun akan tetapi masih nampak ganteng dengan pakaiannya yang mewah dan pesolek. Dia memang pantas dan berhak memakai julukan Siauw-ok (Si Jahat Kecil) karena dialah satu-satunya orang yang mewarisi ilmu dari Im-kan Ngo-ok yang telah terbasmi dan tewas semua.
Jai-hwa Siauw-ok ini dahulunya merupakan seorang pria tampan yang menjadi kekasih dari Ji-ok, tokoh nomor dua dari Im-kan Ngo-ok. Karena pandai menyenangkan hati iblis betina itu, dia mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Ji-ok, di antaranya adalah Kiam-ci (Jari Pedang). Bahkan melalui wanita tua yang tergila-gila padanya itu, dengan jalan mencuri, dia dapat pula mempelajari Ilmu Silat Thian-te Hong-i dari Sam-ok, dan juga pukulan Hoa-mo-kang (Katak Buduk) yang lihai dari Su-ok.
Sesuai dengan julukannya Jai-hwa (Pemetik Bunga), datuk ini memang mempunyai kelemahan, yaitu mata keranjang. Setiap kali melihat wanita muda yang menggerakkan nafsu birahnya, tentu dia akan turun tangan memperkosanya, tidak perduli anak orang atau isteri orang!
Empat orang datuk yang merasa marah oleh karena seorang rekan mereka, Ngo-bwe Sai-kong telah tewas di Pulau Es, dan kini melihat dalam segebrakan saja ada sebelas orang anak buah mereka roboh, menjadi penasaran. Mereka lalu memimpin sisa anak buah mereka yang masih cukup banyak itu untuk menyerbu.
Akan tetapi mereka menghadapi perlawanan yang gigih dari para penghuni Pulau Es. Dan sesuai dengan siasat nenek Nirahai, Cin Liong, Suma Hui, Suma Ciang Bun dan juga Suma Ceng Liong kini menerjang keluar dan mengamuk di antara para anak buah gerombolan. Nenek Nirahai sendiri pun sudah menerjang turun dari atas wuwungan samping dan begitu pedang payungnya bergerak, beberapa orang sudah terpelanting dan roboh tewas seketika!
Cin Liong juga mengamuk. Dia telah memegang sebatang pedang yang dipilihnya dari rak senjata di Istana Pulau Es. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan biar pun para anak buah gerombolan itu adalah orang-orang pilihan, namun amukannya membuat tiga orang roboh binasa mandi darah!
Suma Hui pun tak mau kalah. Dara ini mengamuk, menggunakan sepasang pedangnya dan sudah ada seorang lawan tewas dan seorang lagi luka berat. Suma Ciang Bun juga mengamuk dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang baru diperdalam itu untuk mengamuk. Pemuda ini berhasil merobohkan seorang lawan pula.
Suma Ceng Liong, anak berusia sepuluh tahun itu juga turut membantu keluarganya, menggunakan sebatang tombak dan anak ini memang mengagumkan sekali. Seorang anggota gerombolan yang bersenjata golok besar menyerangnya kalang-kabut, namun anak ini memainkan tombaknya sedemikian rupa sehingga ke mana pun golok itu menyambar, selalu tertangkis atau hanya mengenai tempat kosong belaka, sedangkan ujung tombak itu pun kadang-kadang melakukan serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya!
Setelah mengamuk bagaikan naga-naga besar kecil yang menyerbu turun dari angkasa, dan merobohkan separuh dari jumlah para penyerbu, akhirnya Hek-i Mo-ong dan tiga orang rekannya berhasil mengepung dan mendesak mereka mundur. Bahkan lima orang pelayan yang tadi melawan mati-matian itu pun sudah roboh satu demi satu dan tewas dengan tangan masih memegang senjata, seperti prajurit-prajurit yang gagah perkasa.
Nenek Nirahai kemudian menyambar tubuh Ceng Liong yang terancam bahaya dan membawanya melompat masuk halaman samping. Cin Liong juga memutar pedangnya melindungi Ciang Bun yang didesak oleh Eng-jiauw Siauw-ong, sedangkan Jai-hwa Siauw-ok yang sejak tadi kagum akan kecantikan Suma Hui telah menerjang dara itu, akan tetapi tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hendak menangkapnya hidup-hidup.
Keluarga Pulau Es itu mundur semua sampai di halaman samping dan di sini mereka semua mengamuk mati-matian.....
Komentar
Posting Komentar