KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-03


Kakek itu memandang kepadanya dan mengangguk-angguk. Anak ini cerdas sekali, pikirnya.

“Aku tidak mengatakan boleh atau tidak boleh berduka, Liong. Aku hanya ingin kalian membuka mata melihat kenyataan dan tidak tenggelam dalam buaian perasaan dan iba diri. Kalau semua orang menangisi kematian, apakah itu berarti bahwa kita pun HARUS menangis? Akan lebih baik kalau kita membuka mata melihat mengapa kita menangisi kematian. Mengapa? Coba kalian bertiga menjawab. Kenapa kita biasanya menangisi kematian?”

“Karena tidak tega....,” jawab Suma Hui.

“Karena kita kasihan kepada yang mati,” sambung Ceng Liong.

“Karena kita ditinggalkan,” mendadak Ciang Bun yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini ikut menjawab.

“Ya, karena kita ditinggalkan, itulah jawabannya yang tepat. Bukan karena kita tidak tega atau kasihan. Bagaimana kita bisa merasa kasihan kepada orang yang mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana kematian itu? Yang jelas, kematian membebaskan orang dari pada segala kesengsaraan hidup, ketuaan, kelemahan dan penyakit, juga kedukaan, ketakutan dan sebagainya. Tidak masuk akal kalau kita kasihan kepada orang yang mati, akan tetapi yang jelas, kita merasa kasihan kepada diri sendiri, kita ditinggalkan, kita kehilangan, kita kesepian, itulah yang menyebabkan orang menangisi kematian.”

Nenek Nirahai mendengarkan saja dan wajahnya kelihatan diliputi awan. Melihat ini, kakek Suma Han bertanya, “Apakah kebenaran tentang kematian itu masih belum meresap di hatimu?”

Nenek itu memandang kepada suaminya. “Aku tidak memikirkan kematian, aku tidak menyedihkan kematian, tetapi prihatin melihat bahwa aku pun akan mati dan betapa menyebalkan kalau kelak mati karena digerogoti penyakit, perlahan-lahan sampai rusak jasmani ini. Adik Lulu sungguh beruntung....”

“Hemm, engkau agaknya merasa iri kepada Lulu? Mengapa meributkan soal itu?”

“Kematian memang bukan apa-apa, akan tetapi bagaimana kita mati itulah yang penting. Sungguh menyedihkan kalau orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus mati sebagai seorang yang lemah dan yang terpaksa harus tunduk terhadap penyakit, terhadap kuman-kuman kecil yang tidak nampak oleh mata. Betapa memalukan....!”

“Hemm, soal itu serahkan saja kepada keadaan, yang penting kita harus selalu siap menghadapi saat tibanya maut, dengan mata terbuka, dengan tabah, tanpa sedikit pun rasa takut.”

Suma Han lalu memerintahkan para pelayan pria untuk menggotong keluar sebuah peti jenazah, peti yang memang sudah beberapa tahun yang lalu dipersiapkan untuk nenek Lulu. Juga kakek itu dan nenek Nirahai telah lama menyediakan peti mati untuk diri mereka sendiri. Tempat itu terpencil dan untuk membeli peti mati harus didatangkan dari daratan besar, maka mereka memang telah bersiap dengan peti mati masing-masing beberapa tahun yang lalu.

Karena mereka tidak dapat bebas begitu saja dari pada ikatan tradisi, peti jenazah yang terisi jenazah nenek Lulu itu lalu dihias dan dipasang meja sembahyang sebagaimana lajimnya, kemudian mereka semua melakukan sembahyang dengan hio di tepi jenazah.

Tiada air mata yang tumpah lagi sekarang, setelah mereka tadi mendengar percakapan mengenai kematian antara Pendekar Super Sakti dan para cucunya. Mereka semua melihat kesia-siaan dan kepalsuan tangis perkabungan itu. Bagaimana pun juga, karena menghormat si mati dan keluarganya, para pelayan itu bersikap sungguh-sungguh dan prihatin.

Menurut keputusan kakek Suma Han, jenazah akan ditangguhkan semalam dan pada keesokan harinya baru jenazah akan diperabukan. Pendekar Super Sakti, walau pun pengagum ajaran Nabi Khong Cu, namun hatinya lebih condong kepada pembakaran jenazah dari pada pemakaman. Mungkin saja hal ini karena pengaruh Agama Buddha, atau juga karena kewaspadaannya melihat bahwa pembakaran jenazah itu jauh lebih sempurna, baik bagi yang mati mau pun yang hidup dari pada pemakaman jenazah yang menghabiskan tempat, pembuangan dan penghamburan uang, berikut upacara tradisi yang berlarut-larut dari para keluarga untuk mengurus makam dan sebagainya.

Malam itu, beberapa batang lilin bernyala di atas meja sembahyang di depan peti jenazah nenek Lulu. Nenek Nirahai duduk bersila di dekat suaminya, seperti menjaga peti jenazah, dalam keadaan setengah semedhi. Akan tetapi, melihat api lilin-lilin itu bergoyang-goyang tertiup angin malam yang lewat di ruangan depan istana di mana peti jenazah ditaruh, nenek Nirahai teringat kepada madunya.

Begitulah Lulu di waktu dahulu. Hidupnya seperti api lilin itu, bergoyang-goyang, lincah, berani, bergelombang naik turun, diangkat tinggi-tinggi oleh suka dan dihempaskan dalam-dalam oleh duka. Itulah Lulu. Peri kehidupan nenek Lulu pada waktu mudanya memang amat menarik dan hal itu dapat diikuti dalam kisah Pendekar Super Sakti dan kisah-kisah lanjutan berikutnya.

Tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tidak berada di ruangan itu karena mereka itu menyingkir dan membiarkan suami isteri itu merenung di dekat peti jenazah. Delapan orang itu diam-diam bersepakat untuk melakukan penjagaan, dan hal ini diprakarsai oleh Suma Hui.

“Para penyerbu itu adalah orang-orang jahat. Biar pun nenek Nirahai telah berhasil menghajar dan mengusir mereka, akan tetapi mereka itu masih hidup dan siapa tahu mereka itu masih merasa penasaran. Kalau mereka menghimpun teman-teman jahat mereka dan kembali menyerbu lagi, kita harus sudah bersiap-siap menghadapi mereka,” demikian dara perkasa yang gagah berani itu berkata kepada adik-adiknya dan kepada lima orang pelayan itu.

Mereka semua telah bersepakat untuk menghajar para penjahat itu dan membalaskan kematian nenek Lulu kalau mereka itu berani muncul lagi malam hari itu. Dengan cara berpencar, mereka berjaga di sekeliling istana. Suma Hui sebagai pemimpin mereka melakukan perondaan.

Malam semakin larut namun tidak terjadi sesuatu dan keadaan di Pulau Es semakin sunyi. Hawa udaranya semakin dingin malam itu. Hanya orang sinting sajalah yang akan lancang memasuki Pulau Es itu di waktu malam yang sedingin itu, apalagi kalau dia sudah tahu bahwa di pulau itu tinggal keluarga Pendekar Super Sakti yang gagah perkasa.

Akan tetapi, bukan orang sinting, juga bukan iblis yang pada malam hari itu tiba-tiba muncul dari tepi pantai sebelah selatan dari Pulau Es. Dia seorang laki-laki muda yang mendarat dengan menggunakan sebuah perahu nelayan kecil yang meluncur di malam gelap dan akhirnya bisa mendarat di bagian yang datar dari pulau itu di sebelah selatan.

Hanya dengan penerangan bintang-bintang di langit yang menimbulkan cuaca suram-muram kehijauan, pria itu berhasil mendarat, menyeret perahunya naik dan kemudian meninggalkan perahunya, berjalan dengan langkah terhuyung-huyung menuju tengah pulau. Beberapa kali dia hampir jatuh karena kakinya tersandung, akan tetapi dengan sigapnya dia dapat memperbaiki kedudukannya dan melanjutkan langkahnya. Sebagai pedoman, dia melihat lampu dari jauh, lampu yang tergantung di samping istana. Kadang-kadang sinar lampu itu lenyap lalu nampak kembali, seperti halnya cahaya yang masih jauh letaknya di malam yang cuacanya remang-remang.

Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang agaknya tidak mudah, orang yang seperti dalam sakit keadaannya itu sampai juga ke dekat istana. Nampak bangunan istana itu menjulang tinggi dan megah di dalam cahaya bintang-bintang yang mulai cemerlang karena ditinggalkan awan tipis yang tadinya menghalang di antara langit dan bumi, dan orang itu tertegun.

“Sebuah.... istana....? Di pulau kosong ini....? Ya Tuhan, mimpikah aku.... atau sudah gilakah aku....?”

Dia pun melangkah maju lagi, ke arah lampu yang tergantung di dinding, di luar istana itu. Bagaikan orang yang tidak percaya kepada diri sendiri, dia lalu meraba dinding itu, mendorong-dorongnya. Kini sinar lampu gantung menimpa mukanya dan ternyata dia adalah seorang laki-laki yang berwajah tampan dan gagah sekali walau pun pakaiannya kusut dan pecah-pecah di sana-sini.

Tubuhnya nampak terluka di pundak, pangkal lengan dan paha. Di ketiga tempat ini, pakaiannya tidak hanya robek, melainkan juga berlepotan darah. Laki-laki itu berpakaian seperti seorang nelayan biasa, dan usianya paling banyak dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun.

Tiba-tiba tiga orang nelayan pria dari Istana Pulau Es datang menyerbu dan menyerang dirinya tanpa bertanya-tanya lagi. Tiga orang pelayan itu mempergunakan dayung besi, senjata yang paling tepat untuk mereka karena mereka itu tadinya adalah nelayan-nelayan sebelum menjadi pelayan di Pulau Es. Akan tetapi walau pun mereka juga ketularan ilmu silat dari para majikan mereka dan tubuh mereka kuat karena mereka tinggal di tempat sedingin Pulau Es, namun karena mereka tidak pernah berkelahi, serangan mereka dengan dayung itu hanya cepat dan kuat namun kaku sekali.

“Heii.... aku bukan penjahat....!” Pria itu berteriak ketika melihat menyambarnya dayung-dayung besi itu ke arah kepala dan tubuhnya.

Meski dia sudah luka-luka dan diserang secara tiba-tiba oleh tiga orang pelayan istana itu, namun dengan mudah dan cekatan sekali dia berhasil mengelak lalu menangkap sebatang dayung. Sekali renggut dayung itu pindah ke tangannya dan dua kali dia menangkis, dua dayung yang lain terlepas dari pegangan dua orang pelayan itu. Tentu saja tiga orang pelayan itu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa orang ini begitu lihainya sehingga dalam segebrakan saja mampu merampas senjata mereka.

Akan tetapi orang itu tak membalas serangan, melainkan meloncat ke belakang sambil berkata lagi, “Aku bukan penjahat....!”

Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Suma Hui telah berdiri di depan pria itu dengan sepasang pedang di tangan. “Orang baik-baik tak akan berkeliaran di sini tanpa ijin! Bersiaplah untuk mampus, keparat keji!” Suma Hui sudah menggerakkan sepasang pedangnya dan ia pun sudah menyerang dengan dahsyatnya.

“Trang....! Cringgg....!”

“Ehhh, nanti dulu.... ehhh, nanti dulu, aku bukan penjahat....!”

Pria itu menangkis dan mengelak, repot juga menghadapi serangan bertubi-tubi yang amat ganas itu. Untung dia tadi telah merampas dayung besi, kalau tidak, tentu akan makin repotlah dia menghadapi serangan pedang di tangan Suma Hui yang sedang marah dan mendendam atas kematian neneknya itu. Biar pun orang itu berteriak-teriak, tetap saja Suma Hui menyerang terus, bahkan semakin hebat karena dara ini mulai merasa penasaran bahwa sepasang pedangnya belum juga berhasil, padahal orang itu telah luka-luka.

“Singgg.... wuuuut, singggg....!”

Sepasang pedang yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu terus menyambar-nyambar bagaikan sepasang naga yang ganas.

“Cringgg.... cringgg....!”

Pria itu terkejut sekali karena dayung besinya itu dua kali terbabat pedang dan nyaris ada pedang yang menyerempet lehernya!

“Tidak....! Aku bukan penjahat, dengar dulu, nona....!”

“Tranggg....!”

Kini Suma Hui yang terkejut karena setelah dayung itu dapat ia patahkan dan tinggal sepanjang pedang, pria itu malah dapat menggunakan dengan amat hebatnya, seperti menggerakkan pedang dan dari cara pria ini menangkisnya terbukti bahwa pria itu memiliki ilmu pedang yang hebat pula! Bukan hanya itu, kini pria itu agaknya telah mengerahkan sinkang sehingga bukan saja potongan dayung itu menjadi kuat, juga tenaga yang menangkis pedangnya itu membuat lengannya tergetar!

Tentu ini seorang tokoh sesat yang lihai, yang diutus oleh gerombolan penyerbu pagi tadi untuk memata-matai istana, pikirnya. Oleh karena itu, tanpa memperdulikan protes pria itu, ia menyerang semakin ganas.

Karena marah dan mendendam, Suma Hui menjadi berkurang kewaspadaannya, tidak menyadari bahwa sejak tadi pria itu sama sekali tidak membalas serangannya, tetapi hanya mengelak dan menangkis sambil mundur saja. Juga ia tak menyadari kenyataan bahwa tidaklah mungkin pihak musuh mengirim seorang yang sudah luka-luka itu untuk menjadi mata-mata.

Suma Hui menyerang terus sampai belasan jurus dan karena pria itu memang sudah terluka dan lemah, juga karena dia sama sekali tidak mau membalas, akhirnya ujung pedang kiri dara itu menyerempet pundaknya yang kanan.

“Crottt....!” Pundak itu terluka dan darahnya mengucur keluar, dan pria itu terhuyung ke belakang, potongan dayungnya terlepas.

Suma Hui yang sudah marah dan merasa yakin bahwa orang ini adalah satu di antara musuh-musuh pembunuh neneknya, menerjang lagi untuk mengirim tusukan maut.

“Tringg....!”

Pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Suma Hui ketika tiba-tiba ada pedang payung yang menangkisnya dari samping. Ternyata neneknya yang menangkis itu menggunakan pedang payung, yaitu payung yang ujungnya runcing dan dapat dipergunakan sebagai pedang, sebuah senjata istimewa yang amat ampuh dari puteri ini.

“Tidak pantas menyerang orang yang tidak mau melawan!” kata nenek itu yang sejak tadi sudah menyaksikan perkelahian itu.

Ternyata diam-diam nenek ini sudah bersiap-siap pula. Pedang payungnya sudah dipersiapkan dan ketika ia mendengar suara tidak wajar di luar istana, ia meninggalkan suaminya dan peti jenazah madunya. Ia melihat betapa seorang pria yang sudah luka-luka berkelahi dengan cucunya dan melihat bahwa pria itu sama sekali tidak mau membalas menyerang, juga bahwa pria itu sudah luka-luka dan memiliki dasar gerakan yang luar biasa lihainya!

Mula-mula ia terkejut dan curiga, membiarkan saja cucunya menyerang terus. Akan tetapi setelah melihat pria itu terluka oleh pedang cucunya dan tetap pria itu tidak mau membalas, bahkan terancam bahaya maut, ia lalu turun tangan mencegah cucunya melakukan pembunuhan.

Merobohkan lawan dalam usaha membela diri, atau merobohkan lawan buat membasmi kejahatan dan membela kebenaran, memang menjadi tugas seorang pendekar. Akan tetapi, merobohkan lawan yang tidak melawan, apalagi belum diketahui dengan pasti apakah orang itu bersalah, merupakan pembunuhan yang kejam dan jahat! Dan itulah sebabnya maka ia turun tangan mencegah Suma Hui yang kini memandang kepada neneknya dengan heran dan penasaran.

“Akan tetapi.... dia tentu seorang di antara mereka yang telah membunuh nenek Lulu!” kata Suma Hui, dan dua orang adiknya yang sejak tadi sudah berada di situ pula, bersikap membenarkan enci mereka.

Akan tetapi tiba-tiba pria itu berseru dengan napas terengah-engah penuh ketegangan hati, “Nenek Lulu.... terbunuh....? Ahhh, dan ini.... ini benarkah ini…. Pulau Es dan istananya?”

Nenek Nirahai sekali bergerak telah berada di depan pria itu, memandang tajam dan membentak, “Siapakah engkau....? Di sini memang benar Pulau Es dan kami keluarga penghuninya.”

Akan tetapi, pria itu mendadak mengeluh dengan lemas dan tubuhnya terkulai, roboh pingsan. Melihat itu nenek Nirahai menjadi curiga. Ia lalu menyuruh dua orang pelayan untuk menggotong pria yang pingsan itu dan membawanya masuk ke ruangan depan di mana Pendekar Super Sakti masih duduk bersila di dekat peti jenazah.

“Siapa dia? Apa yang terjadi?” tanya Pendekar Super Sakti dengan suara lembut dan sikap tenang. Agaknya, tidak ada apa pun di dunia ini yang akan dapat mengguncang ketenangan hati pendekar ini. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini baginya tidak ada yang aneh, melainkan merupakan hal-hal yang wajar saja.

Dengan singkat nenek Nirahai menceritakan bahwa orang ini muncul seorang diri di malam hari sehingga tadi menimbulkan kecurigaan hati Suma Hui yang menyerangnya, akan tetapi orang itu sama sekali tidak mau membalas.

“Kulihat gerakannya mengandung dasar kepandaian tinggi, dan dia datang dengan luka-luka di tubuhnya. Kemudian, mendengar disebutnya nama adik Lulu oleh Hui-cu, dia terkejut lalu pingsan.”

Pendekar Super Sakti lalu mernbantu isterinya mengobati luka-luka yang diderita oleh pria itu. Ternyata bahwa luka-luka itu tidak terlalu parah. Apalagi mereka memperoleh kenyataan yang mengejutkan bahwa pria itu memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, yang timbul tanpa disadarinya dalam pingsan ketika kakek pendekar ini bersama isterinya mengobatinya.

Mereka semua memandang dengan penuh perhatian, terutama sekali Suma Hui yang ingin sekali tahu siapa adanya orang yang terus mengalah terhadapnya ini, yang diam-diam harus diakuinya kelihaiannya. Dan melihat wajah di bawah sinar terang, dara ini merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Wajah seorang laki-laki muda yang gagah sekali! Wajah yang bundar bersih, di bawah telinga kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil. Bentuk hidung serta mulutnya juga membayangkan kelembutan di balik kegagahannya.

Setelah memperoleh perawatan suami isteri yang sakti itu, pemuda itu siuman kembali dan membuka matanya. Melihat betapa dia rebah di lantai, di dekat seorang kakek tua renta yang pandang matanya lembut sekali, dan nenek yang dia ingat telah dijumpainya, dia terkejut dan teringat lagi. Cepat dia menoleh ke kanan kiri, melihat Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga peti jenazah. Dia terbelalak memandang peti jenazah, kemudian menoleh ke arah kakek tua renta itu, pandang matanya menurun ke arah kaki kiri yang buntung, dan pemuda itu lalu bangkit duduk dan seketika berlutut di depan Pendekar Super Sakti.

“Harap ampunkan saya, akan tetapi bukankah ji-wi locianpwe ini adalah Pendekar Super Sakti Suma Han, tocu dari Pulau Es bersama locianpwe Puteri Nirahai, dan yang berada di dalam peti jenazah itu adalah locianpwe Puteri Lulu?” Suaranya agak gemetar penuh perasaan.

Suma Han mengelus-elus jenggotnya yang putih seperti benang-benang perak. “Benar. Orang muda, engkau siapakah?”

“Kong-couw (kakek buyut).... ahh, saya datang terlambat....!” Dan pemuda itu lalu maju berlutut di depan meja sembahyang sambil menangis. “Ampunkan saya.... ahhh, saya telah terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan nyawa nenek buyut....!”

Suma Han berkata halus, akan tetapi penuh wibawa, “Simpan air matamu kalau benar engkau adalah cucu buyut kami! Siapakah engkau, wahai orang muda yang gagah perkasa?”

“Nama saya Kao Cin Liong. Tentu kong-couw tahu kalau saya beritahukan bahwa ayah saya adalah Kao Kok Cu dan ibu saya adalah Wan Ceng....”

“Aihhh....!” Nenek Nirahai berseru kaget dan juga girang, lalu merangkul pemuda itu. “Kiranya engkau adalah putera Ceng Ceng! Hui, Ciang Bun, Ceng Liong, dia ini adalah masih keponakan kalian sendiri!”

Tentu saja ketiga orang muda itu memandang heran dan terutama sekali Suma Hui menjadi terkejut, memandang kepada pria yang gagah itu dengan mata terbuka lebar-lebar.

“Dia.... dia keponakanku....?” katanya tergagap, tidak percaya.

“Dengarlah, akan kujelaskan kepada kalian.” Nenek itu kemudian menceritakan dengan singkat hubungan antara pemuda yang baru tiba itu dengan keluarga Pulau Es.

“Mendiang nenekmu Lulu, sebelum menjadi isteri kakekmu, adalah seorang janda yang mempunyai seorang putera bernama Wan Keng In. Orang she Wan ini kemudian mempunyai seorang puteri yang diberi nama Wan Ceng. Jadi, Wan Ceng itu dengan kalian merupakan saudara-saudara misan tiri, dan karena Kao Cin Liong ini putera Wan Ceng, maka berarti dia adalah masih keponakan luar kalian sendiri.”

Kemudian nenek itu memandang kepada Kao Cin Liong dan berkata, “Cin Liong, perkenalkanlah, mereka ini adalah bibimu dan paman-pamanmu. Suma Hui dan Suma Ciang Bun ini adalah putera-puteri dari paman kakekmu Suma Kian Lee, sedangkan Suma Ceng Liong ini adalah putera paman kakekmu Suma Kian Bu.”

Sejak tadi Cin Liong menatap wajah Suma Hui yang masih terbelalak memandangnya, dan dia pun cepat-cepat menjura dengan hormat, “Bibi, dan kedua paman kecil, harap maafkan kelancangan saya tadi.”

Suma Hui dan kedua orang adiknya lalu membalas penghormatan itu, dan Suma Hui menjawab gagap, tidak seperti biasanya yang selalu lincah, “Ah, tidak.... sayalah yang minta maaf....”

“Kao Cin Liong, ceritakanlah keadaanmu, keadaan orang tuamu, dan bagaimana pula engkau bisa sampai di Pulau Es dan mengapa engkau luka-luka dan apa pula artinya engkau mengatakan terlambat tadi.” Kakek Suma Han bertanya dengan suaranya yang halus dan tenang.

Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian dan semua mata ditujukan pada pemuda yang ganteng dan gagah perkasa ini. Kao Cin Liong menarik napas panjang dan memejamkan matanya sebentar. Demikian banyaknya peristiwa yang dialaminya sehingga dia harus bercerita panjang. Dia pun mulai bercerita.....

********************

Siapakah pemuda yang bernama Kao Cin Liong ini? Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu telah mengenalnya dengan baik. Seperti telah diceritakan oleh nenek Nirahai tadi, pemuda ini adalah putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan Ceng. Dan Kao Kok Cu adalah seorang pendekar sakti yang hebat, seorang pendekar yang ditakuti semua orang kang-ouw dengan julukannya Naga Sakti Gurun Pasir! Kao Kok Cu adalah putera mendiang Jenderal Kao yang namanya dikenal oleh seluruh pasukan dan rakyat sebagai seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan bijaksana.

Kao Cin Liong sendiri, semenjak muda sekali, semenjak berusia tujuh belas tahun, telah membuat nama besar dan menjadi jenderal muda di kota raja! Jenderal Muda Kao Cin Liong ini makin terkenal ketika beberapa kali dia berhasil menundukkan dan membasmi para pemberontak di barat. Agaknya pemuda ini meniru jejak kakeknya, yaitu Jenderal Kao Liang, dan ingin menjadi seorang jenderal yang baik. Selain berkedudukan tinggi dan memperoleh kepercayaan Kaisar Kian Liong, juga jenderal muda ini memiliki ilmu silat yang hebat. Dia digembleng oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja kepandaiannya hebat.

Akan tetapi, ada suatu hal yang patut disayangkan. Sepuluh tahun yang lalu, jenderal muda ini jatuh cinta kepada seorang dara perkasa yang bernama Bu Ci Sian, namun cintanya bertepuk tangan sebelah.

Sebagai seorang pendekar yang gagah, dia menyadari keadaan ini. Dia mengalah dan mundur, akan tetapi dengan hati nelangsa dan sejak itu, dia menjauhi wanita. Ayah bundanya sudah berkali-kali mendesaknya agar dia suka memilih seorang calon isteri, atau mau dicarikan jodoh oleh orang tuanya, namun Cin Liong selalu menolak.

Sampai sekarang, dalam usia dua puluh sembilan tahun dan telah memiliki kedudukan tinggi, Kao Cin Liong masih belum juga menikah, bahkan tidak mempunyai seorang selir pun. Padahal, pada umumnya, orang yang memiliki kedudukan setinggi dia itu, andai kata belum menikah juga, tentu setidaknya sudah mempunyai lima enam orang selir muda yang cantik-cantik! Akan tetapi, biar pun dia memiliki kedudukan tinggi sebagai seorang jenderal, akan tetapi jiwanya tetap adalah jiwa seorang pendekar yang tidak menyukai adanya kepincangan-kepincangan dan ketidak adilan.

Cin Liong tinggal seorang diri di sebuah gedung yang megah di kota raja, dengan beberapa orang pelayan yang bertugas merawat gedungnya. Dia sendiri jarang berada di kota raja, lebih sering melakukan pengamatan dan pemeriksaan terhadap kesatuan-kesatuan yang bertugas di luar kota raja. Jenderal muda ini banyak membantu usaha Kaisar Kian Liong untuk memberantas korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan dan wewenang.

Banyak sudah para pejabat, terutama di kalangan ketentaraan, yang telah dipecat dan dituntut oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong sehingga namanya semakin ditakuti dan disegani. Dia demikian sibuk dengan pekerjaannya sehingga jarang dia berkunjung ke tempat tinggal ayah bundanya yang mendiami Istana Gurun Pasir, jauh di utara, di dekat perbatasan utara.

Kesempatan berkunjung itu tiba ketika dia memperoleh tugas baru. Pada waktu itu Kaisar Kian Liong sudah menduduki tahta selama lima tahun dan sejak hari pertama menjadi kaisar, Kaisar Kian Liong bergerak melakukan pembersihan dan perbaikan-perbaikan. Akan tetapi, muncullah gangguan berupa pemberontakan di perbatasan barat dan ada berita pula bahwa di utara, di luar Tembok Besar, juga terjadi pergerakan-pergerakan.

Karena itu, Jenderal Kao Cin Liong mendapatkan tugas untuk melakukan penyelidikan. Jenderal muda ini lalu berangkat sendiri, ingin melakukan penyelidikan sendiri sebelum mengambil keputusan mengirim pasukan bala tentara untuk melakukan pembersihan. Berangkatlah dia ke utara, karena dia ingin menyelidiki ke utara lebih dahulu sambil mengunjungi orang tuanya, baru kemudian berangkat ke barat.

Dengan menunggang seekor kuda yang baik, Cin Liong melakukan perjalanan cepat ke utara. Dia memakai pakaian biasa, karena lebih leluasa baginya untuk melakukan penyelidikan jika dia menjadi orang biasa. Tanpa halangan suatu pun, pada suatu pagi dia tiba di benteng lama di perbatasan utara. Benteng ini telah tua dan rusak, tidak lagi dipakai karena kini pasukan pemerintah telah membangun sebuah benteng baru yang kokoh kuat, di tempat yang lebih baik dan tepat untuk menghadang masuknya pasukan musuh dari luar.

Karena malam telah tiba dan perjalanan dari benteng kuno itu menuju ke Istana Gurun Pasir masih memakan waktu setengah hari, maka Cin Liong berhenti dan mengambil keputusan untuk bermalam di dalam benteng tua itu. Dia menambatkan kudanya di luar, mencarikan rumput untuk kudanya, kemudian dia memasuki bangunan kecil bekas tempat penjagaan di luar benteng itu dan membuat api unggun dari kayu-kayu bekas bangunan rusak. Lalu dikeluarkannya ransum bawaannya, yaitu roti kering dan daging kering, dimakannya makanan sederhana ini dengan sebotol arak ringan.

Tiba-tiba Cin Liong menghentikan gerakan mulutnya yang mengunyah makanan, sebab telinganya mendengar derap kaki kuda yang lemah karena kelelahan. Ada tiga orang penunggang kuda sedang menuju ke benteng tua itu. Tentu pedagang-pedagang yang kemalaman, pikirnya. Derap kaki kuda mereka menunjukkan bahwa mereka baru saja melakukan perjalanan jauh dan kuda mereka telah amat kelelahan. Ternyata tiga orang penunggang kuda itu berhenti di depan bangunan kecil itu pula dan terdengar suara mereka ketika mereka turun dari punggung kuda.

“Ehhh, ada kuda!”

“Hemm, kuda bagus!”

“Tentu orangnya di dalam. Nah, itu ada asap api unggun.”

“Wah, bau arak pula!”

Pintu bangunan kecil itu mereka dorong dan Cin Liong masih duduk menghadapi api unggun dan makan dengan tenang ketika mereka bertiga itu memasuki ruangan yang kotor itu. Tiga orang kasar yang bertubuh tinggi besar, pakaian mereka pun penuh debu dan wajah mereka yang kehitaman karena banyak terbakar matahari itu nampak bahwa mereka sudah biasa dengan kekerasan dan kekasaran.

“Wah, orang muda yang tampan, sungguh berani berada seorang diri di tempat seperti ini!”

“Dan makan minum tanpa menawarkannya kepada kita yang lapar dan haus!”

Mendengar ucapan kedua orang itu, Cin Liong menjawab, “Kalau kalian lapar dan haus, mari ikutlah makan minum seadanya.”

Akan tetapi orang ke tiga, yang matanya buta sebelah, yaitu tinggal mata kanan saja yang tinggal, melangkah maju dan menghardik, “Orang muda, jangan berlagak! Hayo kau tanggalkan semua pakaian itu dari tubuhmu, kemudian pergi dari sini, tinggalkan pakaian, buntalan dan kuda, dan jangan banyak cerewet lagi!”

Cin Liong mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa orang ini tidak bergurau, dan kini dua orang yang lain sudah pula menyeringai dan tangan mereka mengusap gagang golok. Sialan, pikirnya, bertemu dengan perampok-perampok rendah.

Dia melanjutkan minum araknya dari botol. Setelah menelan roti dan arak yang berada di dalam mulutnya, dia meletakkan botol arak di depannya, menambah kayu pada api unggun lalu berkata tenang, “Hemm, kiranya kalian hanya perampok-perampok kecil yang hendak merampok seorang kelana yang kemalaman di sini.”

“Bocah setan! Kau menghina! Kami bukan perampok-perampok kecil, kami bergerak di bidang yang lebih besar. Awas mulutmu!”

“Kalau bukan perampok, mengapa hendak merampok aku?”

“Ha-ha-ha, kami sedang bergembira. Kami tidak mau membunuhmu, hanya menukar nyawa dan badanmu dengan semua pakaian dan kuda yang kau miliki. Hayo, cepat lakukan perintahku atau engkau akan segera menjadi pengiring arwah keluarga Pulau Es, ha-ha-ha!”

Tentu saja Cin Liong terkejut dan heran sekali mendengar disebutnya keluarga Pulau Es.

“Hemm, apa maksudmu membawa-bawa nama keluarga Pulau Es dalam urusan ini?” tanyanya, sikapnya tetap tenang.

“Ha-ha-ha, itulah mengapa kami bergembira dan hendak merayakannya malam ini! Kami akan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Gurun Pasir, dan semua tokoh pendekar akan kami basmi, dan kami akan merajai dunia kembali, akan bebas dari gangguan mereka. Ha-ha-ha!”

Cin Liong menjadi semakin heran, akan tetapi dia mengira bahwa tentu orang-orang ini sudah mabok, maka dia pun lalu berkata sebal, “Sudahlah, kalian ini agaknya orang-orang gila. Pergilah dan jangan menggangguku lagi!”

“Hei, bocah lancang mulut! Berani kau memaki kami gila? Engkau sudah bosan hidup, ya?” Seorang di antara mereka sudah mencabut golok dan menerjang maju, mengayun goloknya ke arah leher Cin Liong yang masih duduk menghadapi api.

Diam-diam Cin Liong menjadi marah sekali. Sungguh orang-orang ini kejam luar biasa, begitu saja hendak membunuhnya tanpa sebab sama sekali. Orang macam ini hanya merupakan penyakit dalam masyarakat dan tentu akan selalu mendatangkan bencana kalau tidak dibasmi atau setidaknya diberi hajaran keras.

Cin Liong menggerakkan tangannya. Sepotong kayu lantas meluncur dan menghantam pergelangan tangan.

“Takkk! Aduhhh....!”

Biar pun orang itu kuat, namun hantaman kayu itu bukan hantaman biasa, melainkan totokan yang tepat mengenai jalan darah sehingga tangannya seketika terasa lumpuh dan golok itu pun terlepas. Dan sebelum orang itu dapat menyingkir, tangan kiri Cin Liong bergerak ke depan.

“Desss!”

Orang itu kena dijotos perutnya dan tubuhnya terlempar ke belakang, menabrak dinding dan dia pun terbanting roboh tak bergerak lagi. Semaput!

Orang ke dua yang melihat betapa kawannya roboh dalam segebrakan saja, menjadi terkejut dan marah sekali. “Keparat, berani engkau memukul kawanku?” bentaknya dan dia pun sudah mencabut golok, mengeluarkan bentakan nyaring kemudian meloncat ke depan, goloknya terayun dan membabat dengan kecepatan kilat dan kekuatan besar ke arah tubuh Cin Liong.

Akan tetapi, kembali tangan kiri Cin Liong bergerak dan segenggam pasir meluncur dan menyambar muka orang itu.

“Eh! Oh! Aughh....!” Orang itu gelagapan karena matanya penuh pasir, pedih dan gelap sehingga bacokannya ngawur dan dengan mudah Cin Liong mengelak tanpa pindah dari tempat duduknya.

Pada waktu tubuh lawan itu terhuyung lewat, kaki Cin Liong terangkat dan ‘menyentuh’ selakangnya, perlahan saja. Akan tetapi akibatnya hebat karena orang itu terpelanting, mengaduh-aduh dan berkelojotan. Kedua tangannya mendekap selangkangan dan dia bergulingan seperti ayam disembelih, kemudian kejang dan semaput pula!

Melihat ini, agaknya si mata satu baru sadar bahwa pemuda yang masih tetap duduk di depan api unggun itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia dan dua orang kawannya bukan orang sembarangan dan sudah banyak malang melintang di dunia hitam, akan tetapi dua orang kawannya itu roboh segebrakan saja oleh pemuda yang sejak tadi tidak berpindah dari tempatnya. Tahulah dia bahwa dia takkan menang melawan pemuda itu, dan tiba-tiba si mata sebelah itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari ruangan itu.

“Berhenti!” Cin Liong menghardik.

Ketika orang itu tidak berhenti, dia lalu menyambar sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan penjahat, melontarkannya ke depan. Golok itu meluncur seperti anak panah ke depan, menyambar ke arah si mata tunggal yang sudah tiba di pintu.

“Crottt! Aduuuhhh....!” Dan tergulinglah tubuh si mata tunggal dengan paha kanannya ditembus golok!

“Merangkaklah ke sini!” Cin Liong berkata sambil melanjutkan makan roti keringnya.

Si mata tunggal menoleh ragu, tetapi maklum bahwa kalau dia membangkang, tentu dia akan lebih celaka lagi. Maka dia pun bangkit dengan susah payah, lalu merangkak dan memasuki ruang itu kembali. Mukanya penuh keringat dingin, mata tunggalnya melotot memandang ke arah pemuda yang sedang makan roti itu.

Setelah minum seteguk arak untuk mendorong roti kering ke dalam perutnya, Cin Liong mengangkat muka memandang kepada si mata tunggal itu. Kembali si mata tunggal terkejut ngeri melihat betapa sinar mata pemuda itu mencorong seperti mata harimau!

“Ampun.... ampunkan saya....” Akhirnya si mata satu dapat juga mengeluarkan kata-kata setelah beberapa kali menelan ludah dengan hati penuh rasa takut.

Dengan sikap masih tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, Cin Liong berkata, “Ceritakan apa maksudmu akan membasmi keluarga Pulau Es kemudian keluarga Gurun Pasir tadi. Awas, sekali engkau berbohong, engkau akan kubakar hidup-hidup!”

Ucapan itu tenang saja, tidak seperti ancaman, akan tetapi si mata satu menggigil dan mukanya semakin pucat. Sikap dingin dan tenang dari pemuda itu lebih mengerikan dari pada sekedar ancaman kasar karena dia dapat merasakan bahwa ucapan itu sama sekali bukan ancaman kosong.

“Kami.... ahh, bukan kami yang akan melakukannya.... kami hanya orang-orang tingkat rendah saja, mana mungkin terbawa rombongan itu? Rombongan itu sudah berangkat siang tadi, akan menggunakan dua belas buah perahu layar besar menuju ke Pulau Es....”

Cin Liong tertarik. Dari sikap si mata satu yang ketakutan itu, dia dapat menduga bahwa orang ini tidak berbohong. “Mereka siapa? Berapa orang banyaknya dan siapa yang memimpin?”

“Banyak sekali, sedikitnya ada lima puluh orang, semua dari tingkat atas. Kami bertiga hanya tingkat rendahan saja, tidak terpilih. Dan rombongan itu dipimpin oleh lima orang datuk dunia kami, datuk-datuk yang menjadi pucuk pimpinan.”

Tiba-tiba si mata satu itu nampak lebih berani, agaknya membicarakan tentang datuk-datuk yang menjadi pimpinan golongannya itu menimbulkan semangat baru, atau dia mengharapkan pemuda ini akan menjadi gentar mendengarnya.

“Mereka itu siapa?” Cin Liong mendesak.

“Lima orang datuk pimpinan kami yang kini memimpin rombongan ke Pulau Es adalah Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Jubah Hitam), Ngo-bwe Sai-kong (Saikong Berekor Lima), Si Ulat Seribu, Eng-jiauw Siauw-ong (Raja Muda Kuku Garuda), dan yang ke lima adalah Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga)!” Berkata demikian, si mata satu itu melupakan penderitaan pahanya yang tertembus golok. Mata tunggalnya memandang ke arah wajah pemuda itu, mengharapkan pemuda itu menjadi gentar dan bersikap lunak kepadanya.

Tetapi dia kecelik dan menjadi semakin gelisah ketika pandang mata pemuda itu makin tajam, seolah-olah hendak menembus jantungnya. Memang Cin Liong menjadi kaget dan marah sekali mendengar disebutnya nama-nama yang sebagian sudah dikenalnya itu. Terutama sekali nama Hek-i Mo-ong yang sudah dikenalnya sebagai seorang tokoh sesat yang luar biasa saktinya. Nama empat yang lain hanya pernah didengarnya saja sebagai kabar angin yang terlalu dilebih-lebihkan. Akan tetapi, kalau yang empat itu kini bergabung dengan Hek-i Mo-ong dan kedudukannya setingkat, berarti bahwa empat orang itu pun tentu lihai sekali. Sekarang, mereka berlima itu menghimpun lima puluh orang tokoh sesat dan menuju ke Pulau Es!

“Katakan, mengapa mereka pergi ke Pulau Es?”

“Keluarga Pulau Es sejak dahulu terkenal sebagai keluarga yang banyak menyusahkan kami. Dendam kami bertumpuk-tumpuk. Apalagi kaisar yang sekarang ini amat ketat menekan kami sehingga gerakan kami tersudut. Maka, para pimpinan kami kemudian berunding dan mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh dari Korea dan Jepang untuk bersama-sama menyerbu dan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Istana Gurun Pasir dan semua pendekar yang menonjol di dunia kang-ouw. Setelah mereka itu terbasmi, barulah kami akan dapat bergerak dengan leluasa dan.... aduhh!” Sebuah kayu bakar menyambar dan mengenai kepala si mata satu yang segera terpelanting tak bergerak lagi, pingsan!

Cin Liong lalu melompat keluar dari dalam bangunan kecil itu, melepas kendali kudanya dan menunggang kudanya meninggalkan tempat itu.

“Maafkan, kuda yang baik, terpaksa kita harus melakukan perjalanan lagi secepatnya.” Dia pun lalu menuju ke timur untuk menyusul rombongan kaum sesat yang hendak menyerbu Pulau Es itu.

Selama hidupnya, Cin Liong belum pernah mengunjungi Pulau Es. Akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang Pulau Es dari ayah bundanya dan dia dapat mengira-ngira di mana letak pulau itu. Dia pun amat menghormati keluarga Pulau Es, karena ayah bundanya amat menghormatinya dan terutama sekali mendengar bahwa ibu kandungnya juga keturunan dari nenek Lulu yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti.

Biar pun belum pernah jumpa, dia banyak mendengar tentang keluarga itu dan sudah sejak lama ada keinginan di hatinya untuk dapat mengunjungi pulau yang amat terkenal di dalam dunia kang-ouw sebagai dongeng itu, dan bertemu muka dengan manusia-manusia sakti yang menjadi penghuninya.

Kini, mendengar bahwa rombongan besar yang dipimpin oleh para datuk sesat hendak menyerbu Pulau Es, tentu saja dia terkejut dan segera berniat untuk mencegahnya. Atau setidaknya, dia harus dapat mendahului rombongan kaum sesat itu dan memberi tahu kepada para penghuni Pulau Es. Nenek Lulu, yaitu nenek dari ibunya, atau nenek buyutnya, tinggal di pulau itu, entah sudah mati ataukah masih hidup karena menurut ibunya, nenek itu tentu sudah tua sekali usianya.

Karena rombongan di depan terdiri dari banyak orang, mudah saja bagi Cin Liong untuk mengikuti jejak mereka dan melakukan pengejaran. Akhirnya, di pantai laut, dia dapat menyusul rombongan itu dan melihat kesibukan mereka mengatur belasan buah perahu layar besar. Dia menyamar sebagai seorang nelayan dan dapat mendekati mereka bersama para nelayan lainnya, bahkan ikut pula membantu dengan pemasangan layar dan sebagainya.

Dia mendapat kenyataan bahwa semua penuturan si mata satu itu benar belaka. Dia mengenal Hek-i Mo-ong dan dia merasa yakin bahwa Raja Iblis itu tidak mengenalnya. Mereka hanya pernah bertemu satu kali saja dan pertemuan itu telah lewat sepuluh tahun. Juga, dia tidak pernah bertanding langsung melawan Raja Iblis ini.

Dan empat orang tokoh datuk lainnya belum pernah melihatnya. Tentu saja di antara para tokoh sesat itu ada yang pernah bertemu dengannya, akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika dia berpakaian sebagai seorang panglima. Sekarang, dengan menyamar sebagai seorang nelayan biasa, tentu saja tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu bahwa nelayan muda itu adalah Jenderal Kao Cin Liong!

Dan Cin Liong dapat melihat pula adanya lima orang Korea dan lima orang Jepang yang sikapnya kasar-kasar, tanda bahwa mereka itu pun dari golongan sesat di negara mereka yang kini bergabung dengan gerombolan Raja Iblis untuk menyerbu Pulau Es! Agaknya orang-orang Korea dan Jepang inilah yang akan menjadi petunjuk jalan.

Ketika akhirnya dua belas buah perahu layar besar itu berlayar, sebuah perahu nelayan kecil juga berlayar mengikutinya. Di dalam perahu nelayan ini terdapat Cin Liong yang memakai caping lebar, menyamar sebagai nelayan. Karena di situ banyak terdapat perahu-perahu nelayan, maka kehadiran perahu Cin Liong ini tidak menarik perhatian dan dia dapat membayangi rombongan itu dengan leluasa.

Pada hari ke tiga, barulah rombongan itu tiba di daerah di mana terdapat pulau-pulau kecil dan mereka berputar-putar seperti mencari-cari. Akhirnya, dari perahu kecilnya, Cin Liong melihat mereka menuding-nuding ke arah sebuah pulau yang kelihatan sebagian putih karena pulau itu sebagian tertutup es! Melihat semua orang berkumpul di atas perahu-perahu besar itu menuding-nuding ke arah pulau, Cin Liong merasa yakin bahwa tentu itulah yang dinamakan Pulau Es!

Malam itu, kedua belas buah perahu itu berhenti dan membuang jangkar, tidak berani melanjutkan perjalanan karena daerah itu berbahaya, banyak terdapat bukit-bukit es yang mengambang dan dapat tertabrak perahu. Apalagi malam itu gelap sekali. Cin Liong juga menghentikan perahunya dan melepas jangkar, berlindung di balik sebuah bukit es.

Akan tetapi, pada keesokan harinya, sebelum terjadi kesibukan di perahu-perahu besar itu, dia sudah mendahului mereka dan mendayung perahunya menuju ke pulau itu. Pagi itu masih gelap, kabut tebal menyelimuti pulau sehingga dengan mudah Cin Liong dapat mendarat. Dengan berindap-indap dia mendaki tebing pulau itu. Sebuah pulau batu karang yang sebagian tertutup salju.

Akan tetapi, setelah tiba di tebing yang paling tinggi, yaitu di bagian barat pulau, dan memandang ke arah sekeliling, dia tidak melihat adanya bangunan! Padahal, menurut penuturan orang tuanya, katanya di tengah pulau itu terdapat sebuah bangunan besar yang kuno, yang disebut Istana Pulau Es! Benarkah ini pulau itu? Kalau benar, mana istananya?

Dia berada di puncak tebing itu, menanti sampai sinar matahari pagi perlahan-lahan mengusir kabut yang menghalangi pandangannya. Cuaca menjadi semakin terang dan dia dapat melihat jelas, tetapi bukan istana yang dilihatnya, melainkan serombongan orang yang mendaki tebing itu dari berbagai jurusan dengan gerakan cepat dan lincah!

Dia terkejut sekali, akan tetapi tidak melihat jalan untuk menyembunyikan diri. Ketika dia berlari ke kiri, dari situ pun sudah nampak beberapa orang berlarian naik, demikian pula dari kanan dan depan, sedangkan di sebelah belakangnya adalah tebing curam yang tidak mungkin dapat dituruninya. Tebing itu amat curam, dalamnya tidak karang dari seratus meter dan di bawah tebing itu nampak air laut menggelora dan menghantami dinding tebing sehingga menjadi lekuk dalam seperti goa besar.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es