KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-02
Kemudian dara yang cantik manis ini lalu mengeluarkan sepasang pedang dan mulai memainkan sepasang pedang ini dalam Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis). Namanya saja menyeramkan, akan tetapi sesungguhnya ilmu pedang ini amat hebat, dahsyat, dan kalau dimainkan oleh seorang dara seperti Suma Hui nampak indah seolah-olah dara itu bukan sedang bersilat melainkan sedang menari-nari saja. Sepasang pedangnya lenyap bentuknya dan berubah menjadi dua gulung sinar yang saling belit dan saling sambung.
Ciang Bun dan Ceng Liong nonton dengan penuh kagum. Memang indah sekali tarian pedang yang dimainkan oleh Suma Hui itu. Bagi orang yang tidak mengerti, atau yang ilmu silatnya masih rendah, tentu akan memandang ringan dan akan mengira bahwa itu hanya merupakan tarian pedang yang indah saja akan tetapi yang tidak berbahaya kalau dipakai dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Perkiraan seperti itu sungguh akan membuat orangnya kecelik bukan main.
Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu bukan hanya indah dipandang, akan tetapi juga amatlah dahsyatnya, dan merupakan ilmu pedang yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan pada waktu itu. Saking asyiknya Suma Hui bersilat pedang dan kedua orang adiknya nonton dengan hati kagum, mereka bertiga sampai tidak melihat adanya perubahan aneh yang terjadi di lautan di sekitar Pulau Es.
Ternyata pada pagi hari itu, tidak seperti biasanya, nampak bermunculan belasan buah layar di sekitar pulau, bahkan sebuah perahu besar di antara sekian banyak perahu itu telah memasuki teluk dan mendarat!
“Bagus! Bagus dan indah sekali!”
“Cantik jelita seperti bidadari!”
Suara pujian-pujian dan tertawa gembira itu mengejutkan tiga orang cucu Pendekar Super Sakti. Tentu saja Suma Hui cepat menghentikan permainan pedangnya dan menyimpan sepasang pedang itu di sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Dua orang anak laki-laki itu pun cepat menengok dan mereka bertiga kini berhadapan dengan tujuh orang laki-laki yang berloncatan turun dari perahu, sedangkan di atas perahu besar itu masih terdapat beberapa orang anak buah perahu.
Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu telah dua tahun berada di Pulau Es dan mereka belum pernah melihat ada perahu asing mengunjungi pulau, maka mereka memandang dengan penuh keheranan dan mengira bahwa tentu mereka ini merupakan tamu-tamu kakek mereka. Akan tetapi, Suma Hui mengerutkan alisnya yang hitam karena dara yang sudah berusia delapan belas tahun ini, sebagai puteri suami isteri pandekar, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok kaum sesat. Hal ini mudah saja dikenalnya, dari cara mereka berpakaian, dari wajah yang penuh dengan watak keras itu, dan terutama sekali dari sikap mereka yang kelihatan sombong, mengagulkan diri, dan juga tidak sopan.
Hatinya sudah dipenuhi rasa tidak suka melihat betapa tujuh orang yang dihadapinya itu memandang kepadanya dengan cengar-cengir dan menyeringai memuakkan. Suara pujian akan kecantikannya tadi mengandung kekurang ajaran, walau pun tujuh orang itu bukan muda lagi, antara empat puluh sampai enam puluh tahun. Namun, dari gerakan mereka ketika berloncatan turun tadi, mudah diketahui bahwa mereka itu rata-rata pandai main silat.
Seorang di antara mereka yang usianya kurang lebih empat puluh tahun melangkah maju sambil tertawa. Laki-laki ini kurus tinggi dan berkulit hitam, mukanya kecil seperti muka tikus, kumisnya melintang dan kedua ujungnya melengkung ke bawah, di punggungnya nampak tergantung sebatang golok, sikapnya congkak bukan main.
“Ha-ha-ha, Nona manis. Siapakah engkau? Sungguh tidak kusangka, di tempat kosong seperti ini akan bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik manis dan memiliki kepandaian menari amat indah lagi. Aihh, nona, dari pada hidup di tempat terasing seperti ini, mari kau ikut saja denganku dan menjadi muridku yang terkasih. Ha-ha-ha! Jangan khawatir, menjadi murid Sian-to (Dewa Golok) hidupmu tentu akan senang!” Berkata demikian, orang ini mengulur lengannya yang panjang dan jari-jari tangannya mencoba untuk mencolek ke arah dada Suma Hui.
“Jahanam....!” Suma Hui memaki.
Dan hanya dengan sedikit melangkah ke belakang saja, colekan itu mengenai tempat kosong. Dara itu membanting-banting kaki kirinya beberapa kali dan sinar matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada orang yang memakai julukan Dewa Golok itu. Kalau dara ini sudah membanting-banting kaki kiri, itu tandanya berbahaya sekali karena ia sudah marah bukan main.
Akan tetapi, orang bermuka tikus itu memang tak tahu diri saking congkaknya. Memang, sebagai seorang jagoan, entah sudah berapa banyaknya orang yang dia robohkan karena tidak taat kepadanya dan hal ini membuat dia menjadi tekebur sekali dan tidak sudi menghargai orang lain, selalu memandang rendah dan merasa bahwa dialah jagoan paling hebat di dunia.
“Eh, eh, engkau memaki?” Bentaknya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram ke depan, dan kembali cengkeraman itu ditujukan ke arah dada Suma Hui.
“Setan!” Makian ini keluar dari mulut kecil Suma Ceng Liong dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menerjang ke depan.
Biar pun usianya baru sepuluh tahun, akan tetapi dia adalah putera Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Semenjak kecil, bahkan semenjak dapat berjalan kaki, dia sudah digembleng oleh ayah dan ibunya sehingga ilmu silat sudah mendarah daging padanya! Tubuhnya juga digembleng menjadi kuat. Apalagi selama dua tahun ini, sejak berusia delapan tahun, dia digembleng oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai dan menerima petunjuk-petunjuk dari kakeknya. Tentu saja dia bukanlah anak laki-laki berusia sepuluh tahun sembarangan saja!
Terjangan itu memakai perhitungan dan dilakukan dengan pengerahan tenaga. Tubuh yang sudah dua tahun menahan dinginnya Pulau Es itu telah dapat menghimpun tenaga panas yang cukup kuat dan ketika dia menerjang, dia telah mempergunakan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Taufan) yang dipelajarinya dari ayahnya. Tubuhnya meluncur ke depan dan kedua kakinya melakukan tendangan terbang.
Si muka tikus amat terkejut, mencoba untuk menangkis, akan tetapi tangkisannya dapat dipatahkan oleh kaki kiri Ceng Liong sedangkan kaki kanan putera Pendekar Siluman Kecil itu tetap meluncur menghantam perut.
“Dukkk....!”
Tubuh Dewa Golok itu terjengkang dan terbanting keras. Agaknya belakang kepalanya terbanting cukup keras karena ketika dia bangkit duduk, kepalanya bergoyang-goyang dan sepasang matanya menjadi agak juling. Akan tetapi dia sudah marah sekali dan sambil berteriak dia sudah mencabut golok dari punggungnya, lalu bangkit berdiri.
Akan tetapi, Ceng Liong sudah menyeruduk lagi ke depan. Dan sekali ini dia membuat serangan dengan jurus dari Sin-coa-kun, tangan kirinya yang membentuk kepala ular itu ‘mematuk’ ke arah dada lawan yang baru hendak bangkit berdiri dengan kepala masih pening.
“Tukkk!”
Dan tubuh itu kembali terjengkang, kini golok yang dipegangnya terlepas dan dia roboh pingsan karena pukulan itu merupakan totokan yang disertai hawa pukulan panas.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya enam orang lain yang tadi turun dari perahu. Mereka itu adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan dan merupakan orang-orang terkenal di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka pernah melihat orang-orang pandai, akan tetapi baru sekarang mereka melihat betapa seorang teman mereka yang mereka tahu cukup tangguh itu roboh pingsan melawan seorang anak kecil, hanya dalam dua gebrakan saja!
Seorang yang bertubuh gendut, perutnya besar sekali sampai seperti gajah bunting bengkak, dan biar pun tubuhnya tidak dapat dikatakan pendek namun besar perutnya membuat dia nampak pendek, segera melangkah maju. Orang ini memiliki tenaga besar, hal ini dapat dirasakan ketika kakinya dibanting ke atas tanah sampai tanah itu tergetar. Dia termasuk seorang di antara mereka yang merasa penasaran melihat rekannya roboh sedemikian mudahnya oleh seorang anak kecil, maka begitu maju dia pun segera menubruk ke arah Ceng Liong.
“Dukkk!”
Si gendut itu terkejut dan meloncat kembali ke belakang ketika ada tangan yang amat kuat menangkis lengannya. Kiranya pemuda remaja belasan tahun yang bermuka bulat itu yang menangkisnya, bukan sembarang tangkisan karena si gendut ini merasa tadi betapa ada kekuatan besar dalam tangan kecil itu yang mendorongnya. Dengan mata melotot dia memandang pemuda remaja itu. Seorang pemuda belasan tahun yang kelihatannya masih hijau. Dia menjadi penasaran sekali.
“Engkau berani melawanku?!” bentaknya.
Tanpa menanti jawaban lagi si gendut ini langsung saja melakukan serangan dahsyat. Agaknya dia ingin memamerkan kepandaiannya dan ingin segera membalas kekalahan temannya tadi, ingin merobohkan Ciang Bun hanya dengan sekali pukul.
Maka begitu menyerang dia telah menggerakkan kaki tangannya, pertama-tama kakinya menendang kuat ke arah perut pemuda itu lalu disusul pukulan beruntun dengan kedua tangannya mengarah leher dan kepala Ciang Bun. Tiga serangan berantai itu amat cepat dan kuatnya, dan si gendut sudah merasa yakin bahwa pemuda remaja itu pasti tidak akan mampu menghindarkan diri dan tentu satu di antara serangannya itu akan mengenai sasaran.
Akan tetapi, dia dan teman-temannya kecelik. Ciang Bun yang melihat sambaran kaki tangan itu sudah dapat mengukur dari sambaran anginnya bahwa si gendut ini biar pun jauh lebih lihai dari pada si Dewa Golok tadi, tetap saja hanya besar mulut dan besar tenaga otot belaka. Maka dia pun tidak mengelak, melainkan sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di kedua tangannya.
“Duk-takk-takkk!”
Tiga kali tendangan dan pukulan itu ditangkis oleh lengan yang mengandung tenaga sinkang panas itu dan akibatnya, tubuh gendut itu terlempar ke belakang.
“Bresss! Ngekkk!”
Bunyi pertama adalah bunyi daging pinggulnya menghantam tanah dan bunyi ke dua adalah bunyi perut gendutnya yang terbanting. Yang membuat dia tidak dapat bangkit dengan cepat dan hanya meringis kesakitan adalah berat badannya sendiri yang membuat bantingan itu menjadi berat dan hebat sekali.
Kini semua orang memandang terbelalak. Kiranya kemenangan anak laki-laki kecil tadi melawan si Dewa Golok bukan hanya merupakan hal yang kebetulan saja, melainkan karena memang anak-anak ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat!
Tosu berusia enam puluhan tahun yang agaknya menjadi pimpinan kelompok orang yang turun dari perahu itu kini melangkah maju. Tosu ini wajahnya merah, bahkan matanya juga agak kemerahan, mulutnya tersenyum sinis dan dia maju sambil mengebut-ngebutkan lengan bajunya yang lebar. Jubahnya berwarna kuning dan di dadanya ada gambaran bulat lambang Im Yang.
“Siancai.... siancai....!” katanya dengan alim. “Kiranya di tempat sunyi ini terdapat orang-orang muda yang pandai. Sungguh mengagumkan sekali. Orang-orang muda, siapakah kalian dan apa hubunganmu dengan tocu (majikan pulau) dari Pulau Es?”
Karena masih menduga bahwa mungkin sekali mereka ini adalah kenalan-kenalan kakeknya walau pun hal ini sungguh amat meragukan, maka Suma Hui lalu menjawab, “Tocu Pulau Es adalah kakek kami.”
Terdengar seruan-seruan kaget mendengar pengakuan ini dan tosu itu juga berseru, “Siancai! Kiranya kalian adalah cucu-cucu dari Pendekar Siluman Suma Han?”
“Kakekku adalah Pendekar Super Sakti, dan bukan siluman!” Tiba-tiba Ceng Liong membentak.
Bagi keluarga ini, julukan Pendekar Siluman dari kakek mereka dianggap kurang sedap dan lebih membanggakan kalau kakek mereka dijuluki Pendekar Super Sakti. Akan tetapi anehnya, Ceng Liong sendiri tidak merasa keberatan dengan julukan ayah kandungnya, yaitu Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.
“Bagus! Kebetulan sekali kalau begitu! Sebelum kita menebang batangnya, lebih baik menebangi cabang-cabang dan ranting-rantingnya lebih dulu!” Kata-kata ini belum dapat dimengerti atau ditangkap artinya oleh Suma Hui ketika tiba-tiba saja tosu itu sudah menyerangnya dengan hebat.
Gerakan tosu ini cepat dan kuat sekali, sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan dua orang terdahulu yang dirobohkan oleh Ceng Liong dan Ciang Bun. Jelaslah bahwa tosu ini lihai sekali dan memiliki ilmu silat tinggi. Dan memang sesungguhnyalah. Tosu ini adalah seorang tokoh dari partai Im-yang-pai dan memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga sinkang yang kuat. Kalau tidak lihai, tentu dia tidak akan dipercaya untuk memimpin rombongan orang-orang gagah dalam perahu itu.
Suma Hui telah memiliki tingkat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua adiknya. Dara ini selain lincah dan cepat, juga memiliki kecerdikan. Dalam menghadapi serangan tosu itu, dia bersikap tenang saja dan dengan waspada dia mengikuti gerakan lawan yang melakukan serangan.
Tosu itu menampar dengan tangan kiri, akan tetapi tamparan yang dilakukan dengan keras itu hanya merupakan pancingan atau gertakan belaka, sedangkan yang lebih berbahaya adalah tangan kanannya yang melakukan dorongan lembut saja ke arah dadanya. Dorongan inilah yang berbahaya karena Suma Hui dapat merasakan kekuatan besar yang panas tersembunyi dalam dorongan lembut itu! Dalam sekejap mata saja dara perkasa ini pun maklum bahwa lawannya menggunakan sinkang yang keras atau panas, maka ia pun sudah siap untuk menyambutnya.
Ia sengaja membiarkan dirinya seolah terpancing, mengangkat lengan kanannya untuk menangkis tamparan tangan kiri lawan seakan-akan dia tidak tahu bahwa dorongan tangan kanan lawan itulah yang berbahaya.
“Plakk!”
Lengan kanannya menangkis tamparan dan pada saat itu, dorongan tangan kanan lawan yang kuat dan panas itu pun menyambar masuk. Suma Hui mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang ke dalam lengan kirinya dan ia pun menangkis dorongan itu sambil mengerahkan sebagian dari tenaga dingin.
“Dukkk....!”
Pertemuan kedua tangan dan lengan itu membuat si tosu terdorong ke belakang beberapa langkah dan biar pun dia tidak sampai terguling jatuh, akan tetapi tubuhnya menggigil dan mukanya seketika menjadi pucat. Matanya terbelalak memandang pada wajah dara itu, seolah-olah tidak percaya.
Dia sendiri adalah ahli sinkang dan telah menguasai tenaga Im dan Yang dari ilmu partainya, akan tetapi di tempat dingin seperti Pulau Es itu, di mana dia sudah harus mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin, dia tahu bahwa tidak mungkin dia mempergunakan Im-kang atau tenaga dingin di tempat ini. Karena itu, dia tadi telah mempergunakan tenaga panas atau Yang-kang ketika menyerang lawan. Siapa kira, dara itu malah mempergunakan tenaga dingin yang amat kuat untuk melawannya, membuat tubuhnya seketika kedinginan!
Tosu Im-yang-pai itu menjadi penasaran sekali. Cepat dia mengerahkan tenaga untuk mengusir hawa dingin itu, kemudian dia mengeluarkan teriakan nyaring dan menyerang lagi kalang kabut dengan amat dahsyatnya. Namun Suma Hui telah siap siaga dan menyambut serangan-serangannya dengan lincah, tak hanya mengelak dan menangkis, bahkan juga balas menyerang dengan sengit.
Dara ini telah mempergunakan Ilmu Toat-beng Bian-kun yang lembut namun dahsyat itu. Tentu saja tosu Im-yang-pai itu tidak mengenal ilmu silat ini dan segera dia mulai terdesak hebat.
“Pergilah!” Suma Hui berseru nyaring.
Dan tangan kirinya yang kecil itu menyambar halus ke arah leher lawan. Tosu itu cepat berusaha mengelak dan balas memukul, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kaget karena tahu-tahu tangan itu sudah menyambar dan mengenai ujung pundaknya, biar pun dia sudah melempar tubuh ke belakang.
“Brettt!” Jubahnya di bagian pundak hancur dan ujung pundak itu terasa nyeri seperti hancur daging kulitnya.
Untung baginya bahwa tulang pundaknya tidak terkena serempet pukulan itu. Bagai mana pun juga, hal itu membuatnya terkejut dan ketika dia melempar tubuh ke belakang tadi, dia terus menjatuhkan diri bergulingan menjauh. Ketika dia meloncat bangun, keringat dingin membasahi dahinya, maklum bahwa hampir saja dia celaka oleh dara muda itu.
Dia maklum bahwa biar pun dara itu masih muda sekali, namun sebagai cucu Pendekar Super Sakti, ternyata sudah memiliki ilmu kepandaian yang sangat hebat dan kalau dilanjutkannya melawan dara itu, besar bahayanya dia akan kalah dan celaka. Maka dia pun memberi isyarat kepada kawan-kawannya lalu mencabut pedangnya.
Enam orang kawannya itu, dua orang yang tadi dirobohkan oleh Ciang Bun dan Ceng Liong dan yang sudah pulih kembali, segera menerjang dengan senjata masing-masing di tangan! Jelas bahwa mereka itu berniat membunuh, seperti sekumpulan serigala yang haus darah.
Akan tetapi Suma Hui telah melolos pula sepasang pedangnya, melemparkan sebatang kepada Ceng Liong, sedangkan Ciang Bun juga sudah mengeluarkan pedang yang biasanya dipakai berlatih. Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti ini kemudian memutar pedang di tangan masing-masing dan mengamuk menyambut serbuan tujuh orang penjahat itu.
Terjadiiah perkelahian yang amat hebat dan berat sebelah. Di satu pihak adalah tiga orang yang masih amat muda, bahkan yang seorang masih anak-anak, sedangkan di lain pihak adalah tujuh orang tokoh-tokoh dunia persilatan yang sudah memiliki nama besar. Bagaimana pun juga, tujuh orang ini sama sekali tidak mampu mendesak, bahkan ujung pedang Ciang Bun telah melukai paha seorang lawan, juga ujung pedang Suma Hui telah melukai lengan kiri lawan.
Ceng Liong yang masih kecil itu pun masih mampu mempertahankan diri, mengelak, menangkis bahkan balas menyerang walau pun dia dikeroyok oleh dua orang jagoan! Tentu saja Ciang Bun tidak sampai hati membiarkan adik kecil ini dikeroyok dua, maka sambil menghadapi pengeroyokan dua orang lainnya, dia selalu mendekati Ceng Liong dan sewaktu-waktu membantunya agar supaya jangan terlalu dihimpit. Suma Hui sendiri dikeroyok tiga, seorang di antaranya adalah tosu Im-yang-pai, akan tetapi dara ini jelas dapat mendesak tiga orang lawannya dan kalau dilanjutkan, agaknya tak lama lagi dara ini akan mampu merobohkan mereka bertiga.
Akan tetapi, pada saat itu, dua buah perahu didayung ke tepi oleh para penumpangnya dan dari masing-masing perahu berlompatan lima orang yang memiliki gerakan ringan, terutama sekali seorang di antaranya yang berpakaian seperti pertapa dan rambutnya digelung ke atas, mukanya penuh cambang bauk dan tangannya memegang sebatang cambuk baja yang hitam panjang! Sepuluh orang ini nampak terkejut dan terheran-heran menyaksikan betapa tujuh orang rekan mereka yang mengeroyok tiga orang muda setengah anak-anak itu terdesak dan kewalahan.
“Tahan! Mundur semua!”
“Tar-tar-tar!” Tiba-tiba terdengar bunyi lecutan cambuk baja yang meledak-ledak di atas kepala tiga orang cucu Pendekar Super Sakti.
Mereka terkejut sekali dan Suma Hui maklum akan kehebatan tenaga yang terkandung dalam ujung cambuk itu, maka ia pun meloncat ke belakang sambil meneriaki kedua orang adiknya untuk mundur. Dua orang anak laki-laki itu pun tahu akan kelihaian tosu ini, maka mereka pun cepat mundur sambil melintangkan pedang melindungi dirinya.
Kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dialah tokoh utama Im-yang-pai yang telah membawa perkumpulan itu menyeleweng ke jalan sesat. Nama julukannya adalah Ngo-bwe Sai-kong (Kakek Muka Singa Berekor Lima). Mukanya memang penuh cambang bauk seperti muka singa, dan julukan Lima Ekor itu didapatnya dari senjatanya. Senjata Thi-pian (Cambuk Besi) yang ujungnya lima sehingga merupakan ekor yang lima buah banyaknya. Cambuknya ini berbahaya sekali dan jarang dia menemui tandingan. Tentu saja, sebagai seorang tokoh besar bahkan dia berani mengangkat diri dengan sebutan ciangbujin atau datuk setelah tewasnya Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat), dia malu kalau harus menghadapi tiga orang anak-anak muda dengan pengeroyokan.
Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu telah tahu bahwa sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, di dunia persilatan terdapat lima orang datuk sesat yang terkenal yaitu Im-kan Ngo-ok. Im-kan Ngo-ok pada sebelas tahun yang lalu telah tewas semua di tangan pendekar-pendekar muda. Tak dapat disangkal bahwa selain lima orang datuk ini, di dalam dunia kaum sesat masih terdapat banyak orang yang kepandaiannya tidak kalah atau tidak selisih jauh dibandingkan dengan mereka, akan tetapi yang menonjol hanyalah Im-kan Ngo-ok. Baru setelah lima orang itu tewas, bermunculan datuk-datuk baru dan satu di antaranya adalah Ngo-bwe Sai-kong inilah!
Setelah mengamati tiga orang muda itu, akhirnya pandang mata saikong ini melekat pada wajah Suma Hui. Saikong ini telah berusia lanjut, paling sedikit enam puluh lima tahun. Akan tetapi wajahnya masih nampak gagah dan tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, dan pandang matanya masih penuh nafsu birah, ciri seorang laki-laki yang besar nafsunya dan mata keranjang. Memang inilah satu di antara cacat saikong itu.
“Nona manis, mari engkau ikut denganku, akan kuajari bagaimana caranya bermain pedang!” katanya sambil tersenyum dan melangkah maju menghampiri Suma Hui.
“Setan tua jangan ganggu cici-ku!” dengan pandang mata penuh dengan kemarahan, Ceng Liong yang masih terengah-engah karena perkelahian tadi sudah menggerakkan pedangnya dan menusuk ke arah perut saikong itu. Kakek itu sama sekali tak mengelak, melainkan menerima saja tusukan itu.
Ceng Liong adalah seorang anak keturunan pendekar sakti dan cucu dari Pendekar Super Sakti. Sejak kecil bukan hanya telah digembleng ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga digembleng oleh ajaran-ajaran tentang kegagahan. Oleh karena itu, melihat betapa lawannya tidak mengelak atau menangkis, tentu saja dia terkejut sekali. Merupakan pantangan bagi seorang gagah untuk menyerang orang yang tidak mau melawan. Akan tetapi, tusukannya telah dilakukan dan dia tidak dapat menariknya kembali, kecuali mengurangi tenaga sinkang yang tadinya telah dikerahkannya.
“Tukkk!”
Pedang itu tepat menusuk perut, akan tetapi mental kembali dan Ceng Liong malah terdorong mundur dua langkah!
“Heh-heh, anak nakal, pergilah!” Kakek itu berkata dan tangan kirinya bergerak, ujung lengan baju yang lebar itu menyambar ke arah kepala Ceng Liong.
Serangan yang kelihatannya sederhana saja akan tetapi di dalam ujung lengan baju itu terkandung tenaga kuat yang mampu membuat ujung lengan baju itu memecahkan batu karang! Ceng Liong biar pun masih kecil namun dia sudah tahu akan ilmu-ilmu yang hebat dan dia mengenal serangan berbahaya, maka dia pun menggerakkan tangan kirinya menangkis ujung lengan baju.
“Plakk!”
Dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terbanting keras. Anak ini segera menggulingkan tubuhnya, membiarkan dirinya bergulingan dan akhirnya dia dapat meloncat bangun tanpa luka. Dengan pedang di tangan, anak ini hendak menyerang lagi, akan tetapi dia didahului oleh Ciang Bun yang sudah meloncat ke depan.
“Kakek siluman, berani engkau memukul adikku?”
Ciang Bun juga menggerakkan pedangnya. Serangannya tentu saja berbeda dengan serangan Ceng Liong tadi, jauh lebih kuat dan lebih berbahaya. Ngo-bwe Sai-kong tahu akan hal ini, maka dia pun tidak berani ceroboh menerima sambaran pedang itu dengan tubuhnya. Tangan kanannya bergerak dan terdengar bunyi ledakan saat ujung cambuk besinya melecut dan menangkis pedang itu.
“Cringgg!”
Ciang Bun terkejut sekali dan cepat menggunakan sinkang untuk melawan getaran hebat yang dirasakannya ketika pedangnya bertemu dengan ujung cambuk. Di lain pihak, Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut dan terheran-heran. Dia telah mengerahkan tenaga sinkang-nya, dan sudah merasa yakin bahwa tentu pedang pemuda remaja itu akan terlempar jauh, bahkan lengan pemuda itu tentu akan menjadi lumpuh. Akan tetapi, pedang itu tidak terlepas dan lengan itu pun sama sekali tidak lumpuh karena pada detik berikutnya, pedang itu kembali telah menyerangnya dengan amat ganas!
“Hemm, bocah bandel!” katanya.
Dan kembali terdengar ledakan-ledakan pada saat pecut besi itu menyambar-nyambar, menahan pedang ke mana pun pedang itu bergerak. Dan setiap kali pedang bertemu dengan ujung cambuk besi, Ciang Bun merasa betapa lengannya tergetar hebat.
“Bun-te, mundurlah!” Tiba-tiba Suma Hui berteriak.
Dia maklum bahwa adiknya kewalahan dan kalau dilanjutkan adiknya itu akan terancam bahaya, maka ia pun sudah meloncat ke depan, kemudian menyerang kakek itu dengan pedangnya. Serangannya sangat hebat karena dara ini yang maklum akan kelihaian lawan telah mengerahkan tenaga dan sudah memainkan jurus dari Siang-mo Kiam-sut setelah dengan cekatan dia menerima pedang dari Ceng Liong yang mengembalikan pedang itu kepada Suma Hui. Dengan sepasang pedang di tangannya dan mainkan Siang-mo Kiam-sut, dara ini benar-benar merupakan lawan yang amat berbahaya.
Ngo-bwe Sai-kong maklum akan hal ini, maka dia pun beberapa kali mengeluarkan seruan kaget ketika nyaris ujung pedang dara itu mengenai tubuhnya. Dia tahu bahwa dara ini sangat lihai, dan karena dia dapat pula menduga bahwa tentu dara ini ada hubungannya dengan majikan pulau, yaitu Pendekar Super Sakti, maka dia pun tidak berani memandang rendah. Cambuk besinya lalu digerakkan dan terjadilah perkelahian yang seru antara mereka, ditonton oleh semua orang yang menjadi semakin kagum saja melihat betapa seorang dara muda seperti itu dapat menandingi seorang datuk seperti Ngo-bwe Sai-kong yang amat lihai dan ditakuti orang.
Biar pun masih muda, baru delapan belas tahun usianya, namun dara itu sebenarnya telah memiliki dasar ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari pada lawannya. Akan tetapi, ia kalah jauh dalam pengalaman, siasat dan juga latihan. Suma Hui merupakan batu mulia yang belum tergosok, pengalamannya masih jauh kurang, dan juga latihannya masih belum matang.
Oleh karena itulah, setelah menandingi kakek yang seperti iblis itu selama tiga puluh jurus, ia mulai terdesak dan bingung oleh bunyi cambuk yang meledak-ledak dan lima ujung cambuk yang seperti telah berubah menjadi lima ekor ular yang mematuk-matuk itu. Akhirnya, satu di antara lima ujung cambuk itu telah menyerempet pundaknya.
Suma Hui terhuyung. Pundaknya tidak terluka berat dan hanya terasa panas, akan tetapi kedudukannya menjadi terhuyung, kuda-kudanya terbongkar dan pertahanannya terbuka. Pada saat itu juga cambuk sudah meledak-ledak lagi, siap menyambar turun dengan serangan maut selagi keadaan Suma Hui lemah seperti itu. Dan agaknya kakek itu pun tidak merasa sayang lagi untuk membunuh dara yang dianggapnya berbahaya ini, maka cambuknya pun meledak dan meluncur ke bawah.
“Trangggg....!”
Bunga api muncrat dan kakek itu terkejut, cepat melompat ke belakang dan mengangkat muka memandang wanita tua berpakaian serba hitam itu. Dia makin terkejut karena melihat betapa nenek tua renta ini memiliki sepasang mata yang mencorong seperti mata naga dalam dongeng! Tidak dapat disangsikan lagi bahwa nenek ini tentulah seorang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Ngo-bwe Sai-kong tahu diri, maka dia pun cepat menjura dengan sikap hormat.
“Siancai....! Siapakah toanio yang terhormat dan masih ada hubungan apa dengan tocu Pulau Es?”
Nenek itu bukan lain adalah nenek Lulu yang tadi meninggalkan suami dan madunya untuk keluar dari istana mencari tiga orang cucunya. Ketika tadi ia keluar dan mencari-cari, ia mendengar sesuatu yang tidak wajar dari arah tepi teluk, maka ia pun segera menuju ke tempat itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya melihat begitu banyaknya orang di situ, mengurung tiga orang cucunya dan melihat betapa Suma Hui terdesak hebat oleh cambuk besi seorang kakek saikong berpakaian pendeta.
Ia menjadi marah sekali dan segera turun tangan menangkis ujung cambuk besi itu. Kini, dengan sinar matanya yang berapi-api, nenek tua renta ini menyapu keadaan di situ dengan sikap marah. Ada tujuh belas orang di situ, dan kesemuanya memiliki ilmu silat yang kuat, terutama sekali kakek yang berhadapan dengannya ini. Ia menyapu keadaan tiga orang cucunya dengan pandang mata dengan hati merasa lega. Cucu-cucunya selamat, tidak ada yang terluka nampaknya. Dan orang-orang ini pasti bukan orang baik-baik.
“Hemm, kalian ini orang-orang lancang agaknya sudah bosan hidup, berani mendarat di Pulau Es tanpa ijin. Bahkan kalian berani mati mengganggu cucu-cucuku ini, sungguh dosa kalian hanya dapat ditebus dengan nyawa!” Suaranya lembut akan tetapi di dalam kelembutannya mengandung ancaman yang menyeramkan. Banyak di antara tujuh belas orang itu seketika menjadi pucat wajahmya mendengar kata-kata itu.
Juga Ngo-bwe Sai-kong terkejut. Kiranya nenek ini adalah isteri Pendekar Super Sakti. Dia dan kawan-kawannya telah mempelajari dan mencari tahu akan keadaan keluarga Pulau Es dan dia mendengar bahwa Pendekar Super Sakti mempunyai dua orang isteri. Yang pertama sudah amat terkenal dan dia sendiri pernah melihatnya ketika Puteri Nirahai menjadi panglima. Dan kabarnya yang seorang lagi adalah seorang wanita yang juga amat lihai dan agaknya inilah orangnya!
“Bagus sekali, kedatangan kami justeru untuk mencabut nyawa keluarga Pulau Es, dan akan kami mulai dengan nyawamu!” kata Ngo-bwe Sai-kong tanpa banyak komentar lagi. Cambuknya sudah meledak-ledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dan dia pun sudah memberi tanda kepada teman-temannya yang segera menyerbu.
Suma Hui, Ciang Bun, dan Ceng Liong sudah melawan lagi. Mereka bertiga dikeroyok oleh tujuh orang pertama tadi yang ditambah lagi dengan lima orang. Sedangkan nenek Lulu dikeroyok oleh lima orang yang lain, yaitu Ngo-bwe Sai-kong dan empat orang temannya. Ternyata bahwa empat orang teman Ngo-bwe Sai-kong ini merupakan yang terpandai di antara rombongan itu, dengan kepandaian yang hanya setingkat di bawah Ngo-bwe Sai-kong!
Dan mengamuklah nenek Lulu! Tubuhnya yang berpakaian hitam itu lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang menyelinap di antara senjata-senjata kelima orang pengeroyoknya dan kadang-kadang terdengar lengkingan-lengkingannya kalau ia balas menyerang. Sepak terjangnya menggiriskan dan dalam waktu belasan jurus saja ia sudah berhasil menampar kepala dua orang pengeroyok secara beruntun.
“Krakk! Krakk!” Dua orang itu roboh dengan kepala remuk dan tewas seketika!
Tentu saja Ngo-bwe Sai-kong menjadi terkejut dan cepat-cepat memberi tanda kepada pembantu-pembantunya untuk segera maju mengeroyok. Lima orang yang tadi ikut mengeroyok tiga orang cucu majikan Pulau Es itu lalu ikut menerjang dan membantu saikong itu. Nenek Lulu dikeroyok oleh delapan orang, dan tiga orang anak muda itu masih tetap dikepung oleh tujuh orang lawan yang dipimpin oleh tosu Im-yang-pai yang menjadi murid keponakan Ngo-bwe Sai-kong.
Dikeroyok oleh delapan orang itu, nenek Lulu tidak terdesak, bahkan dia mengamuk bagaikan seekor naga betina. Wajahnya berseri, gembira tetapi juga ganas, bibirnya tersenyum dan matanya berkilat-kilat. Ia tetap bertangan kosong, tetapi kepandaian nenek ini sudah demikian hebatnya sehingga tangkisan lengannya pada senjata lawan menimbulkan bunyi seolah-olah senjata itu bertemu dengan logam yang keras!
Akan tetapi, bagaimana pun juga, nenek Lulu yang usianya telah sembilan puluh tahun lebih itu tidaklah sekuat dahulu lagi daya tahannya. Selain usia tua telah menggerogoti tubuh dan kekuatannya dari dalam, juga selama puluhan tahun ia tinggal di Pulau Es, tidak pernah lagi bertanding dengan siapa pun juga sehingga bagaimana pun juga ia sudah kehilangan banyak kelincahannya, kurang latihan. Maka, setelah dia mengamuk hebat selama kurang lebih seratus jurus saja, napasnya sudah mulai terengah-engah dan kelelahan mulai membuatnya merasa lemas.
Akan tetapi, akibat dari amukannya itu memang hebat. Ia telah merobohkan tujuh orang yang tewas seketika dan selain itu, juga ia mampu melindungi tiga orang cucunya karena selama mengamuk, nenek ini terus memperhatikan cucu-cucunya dan setiap kali menolong kalau ada cucunya yang terancam bahaya senjata para pengeroyok. Akan tetapi, akhirnya ia sendiri terdesak hebat, apalagi oleh desakan cambuk besi di tangan Ngo-bwe Sai-kong yang lihai dan ganas. Nenek ini segera tahu bahwa ia sudah mulai kehilangan kekuatannya dan hal ini amat membahayakan tiga orang cucunya.
“Hui...., Bun...., Liong.... larilah, beritahu kakek kalian....!” Akan tetapi pada saat itu, sebatang pedang telah menusuk paha kaki kirinya.
Nenek ini terhuyung, tetapi tangan kirinya dapat menangkap pedang itu, merenggutnya lepas dan sekali melontarkan pedang itu ke depan, terdengar jerit mengerikan karena si pemilik pedang roboh dengan dada tertembus pedangnya sendiri. Akan tetapi pada saat itu, sebuah di antara lima ujung cambuk besi Ngo-bwe Sai-kong menyambar sedemikian cepatnya sehingga tidak sempat dielakkan lagi oleh nenek Lulu.
“Tukkk....!”
Tubuh nenek itu nampak kejang seketika, akan tetapi tiba-tiba ia mengeluarkan lengking panjang dan tahu-tahu tubuhnya telah meluncur ke depan, kedua tangannya bergerak menusuk dengan jari tangan terbuka.
“Plak! Dukkk....!”
Tubuh Ngo–bwe Sai-kong yang tinggi besar itu terjengkang dan dari mulutnya terdengar teriakan menyayat hati dibarengi semburan darah segar, lalu kaki tangan kakek itu berkelojotan, matanya melotot dan dari tenggorakannya terdengar suara mengorok.
Nenek Lulu sendiri terhuyung, tetapi terdengar suara ketawa dari mulutnya, sungguh amat menyeramkan hati. Dan pada saat itu, nampak berkelebat dua bayangan orang, yang satu langsung menyambar tubuh nenek Lulu dan memondongnya sebelum tubuh itu terguling, sedangkan bayangan yang satu lagi langsung mengamuk, membuat para pengeroyok jatuh bangun.
Dua bayangan ini adalah Pendekar Super Sakti Suma Han dan isterinya, Puteri Nirahai. Kakek Suma Han sudah melihat keadaan isterinya, maka dia pun langsung menyambar tubuh nenek Lulu, sedangkan nenek Nirahai mengamuk, menggunakan kaki tangannya, menampar dan menendang ke sana-sini.
Para pengeroyok menjadi panik setelah melihat robohnya Ngo-bwe Sai-kong, apalagi dengan munculnya Pendekar Super Sakti yang kini nampak sibuk memeriksa keadaan nenek Lulu sedangkan nenek Nirahai mengamuk seperti naga sakti beterbangan. Maka, sisa para pengeroyok itu lalu berloncatan ke dalam tiga buah perahu mereka sambil membawa teman-teman yang tewas dan terluka.
“Jangan harap dapat lari dari sini!” bentak nenek Nirahai sambil mengejar, akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat di depannya dan tahu-tahu lengannya telah dipegang oleh suaminya.
“Tidak perlu dikejar, biarkan mereka pergi....,” kata Suma Han dengan suara halus.
Sejenak ada kekerasan dan perlawanan dalam sinar mata nenek Nirahai, tetapi seperti biasa, kekerasannya mencair setelah bertemu dengan pandang mata suaminya. Seperti baru tersadar dari mimpi buruk, nenek Nirahai memejamkan mata dan menyandarkan mukanya di dada suaminya itu sebentar, lalu dia teringat lagi dan cepat melepaskan dirinya dan lari menghampiri tubuh nenek Lulu. Tiga orang cucunya juga telah berlutut di dekat tubuh nenek Lulu, kelihatan bingung melihat nenek itu rebah dengan napas lemah sekali dan mata terpejam, akan tetapi mulut nenek itu tersenyum!
“Bagaimana keadaannya....?” Nenek Nirahai bertanya khawatir.
“Kita bawa dia pulang,” kata kakek Suma Han tanpa menjawab pertanyaan itu, hanya memondong tubuh isterinya ke dua itu lalu membawanya kembali ke istana, diikuti oleh nenek Nirahai yang menundukkan mukanya menyembunyikan kedukaan karena ia telah dapat merasakan dari sikap suaminya bahwa keadaan madunya itu tak dapat tertolong lagi.
Mereka disambut oleh tiga orang pria dan dua orang wanita pelayan mereka. Para pelayan itulah yang tadi melaporkan kepada Suma Han dan Nirahai tentang adanya perkelahian di tepi pantai teluk itu. Mereka sendiri tidak berani sembarangan turun tangan melihat betapa para penyerbu itu adalah orang-orang pandai.
Tubuh nenek Lulu direbahkan di atas dipan di dalam kamarnya. Kakek Suma Han dan nenek Nirahai lalu mempergunakan sinkang mereka untuk membantu nenek Lulu, menempelkan telapak tangan mereka pada dada dan punggung. Akhirnya nenek Lulu mengeluarkan suara keluhan lirih dan membuka kedua matanya. Mula-mula ia seperti orang keheranan melihat suaminya, madunya, dan tiga orang cucunya menunggunya di dalam kamarnya. Akan tetapi ia segera teringat dan mulutnya bergerak, akan tetapi tidak ada suara yang keluar, melainkan darah yang mengalir dari ujung bibirnya yang kiri karena ia miring sedikit ke kiri.
“Tenanglah, engkau terluka parah....,” kata suaminya dengan suara halus.
“Me.... mereka....?” bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi pandang matanya berseri lega ketika ia melihat keadaan tiga orang cucunya sehat-sehat saja.
“Mereka sudah kuhajar dan tentu sudah kubunuh semua kalau saja suami kita yang selalu berhati lunak ini tidak menghalangiku!” kata nenek Nirahai. “Engkau terluka oleh saikong itu, dia lihai sekali akan tetapi engkau telah berhasil melempar nyawanya ke neraka!”
Nenek Lulu tersenyum dan melirik kepada suaminya. Sungguh mengherankan sekali. Dalam keadaan terluka parah itu, sampai ia tidak mampu mengeluarkan suara, nenek ini tersenyum-senyum gembira dan seperti hendak menggoda suaminya yang dicela oleh madunya! Mulutnya kembali bergerak-gerak hendak bicara akan tetapi ia terbatuk-batuk.
Kakek Suma Han lalu menotok beberapa jalan darah di leher dan kedua pundaknya dan napas nenek Lulu sekarang kelihatan lega. Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya ia mampu juga mengeluarkan suara.
“Aku gembira.... aku.... aku dapat mati seperti.... harimau betina.... yang gagah....! Aku.... senang sekali.... cucu-cucuku.... jadilah orang gagah....” Sampai di sini suaranya habis, kepalanya terkulai dan matanya kehilangan cahayanya.
Kakek Suma Han menggunakan tangannya, menutupkan mata dan mulut isterinya, dan nenek Nirahai menahan isak membetulkan letak kaki tangan madunya. Tiga orang cucu mereka itu terbelalak memandang, kemudian tiba-tiba pecahlah suara tangis Suma Hui.
“Nenek....! Nenek telah meninggal dunia....!”
Melihat enci-nya menangis, Ciang Bun juga menangis, akan tetapi tangisnya tidak bersuara, hanya mengucurkan air mata saja yang diusapnya dengan lengan bajunya. Akan tetapi, Ceng Liong menangis terisak-isak seperti enci-nya. Melihat mereka bertiga menangis, para pelayan wanita juga menangis. Akhirnya Nirahai tidak dapat menahan lagi air matanya yang mengalir turun. Telah puluhan tahun ia hidup bersama suaminya dan madunya itu dan ia sudah menganggap Lulu sebagai adiknya sendiri.
“Aku ingin seperti Lulu! Aku ingin mati seperti Lulu!” Berkali-kali nenek Nirahai berkata sambil mengepal tinju dan air mata yang menetes-netes menuruni kedua pipinya itu didiamkannya saja.
Kakek Suma Han yang duduk bersila di dekat jenazah isterinya, tersenyum sendiri menyaksikan bagaimana kedukaan terbentuk dalam dirinya. Mula-mula dia melihat kenyataan bahwa isterinya yang tercinta itu mati. Kenyataan yang tak dapat dirubah oleh siapa pun juga, kenyataan yang wajar dan tidak mengandung suka mau pun duka.
Siapakah orangnya yang dapat menghindarkan diri dari kematian? Dan matinya Lulu wajar, juga tidak perlu dibuat penasaran. Usianya sudah sembilan puluh tahun dan tewas dalam tangan seorang lawan yang amat lihai, masih dikeroyok banyak orang lagi. Kematian yang wajar.
Lalu pada saat dia mendengar semua orang menangis, dan melihat wajah nenek Lulu, pikirannya membayangkan segala hal yang telah dilalui dalam hidupnya bersama Lulu. Terbayang dan terkenang kembali masa-masa muda mereka, saat-saat manis mereka, suka duka mereka yang mereka hadapi dengan bahu-membahu, dan saling mencinta.
Pikirannya membayangkan pula bahwa dia telah kehilangan salah seorang yang amat dicintanya. Semua kenangan ini lalu mendatangkan rasa iba diri dan muncullah duka! Suma Han melihat ini semua dan dia pun tersenyum di dalam hati. Duka timbul dari pikiran yang mengenangkan hal-hal lampau, timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak menyenangkan di masa depan, sehingga timbullah rasa iba diri, rasa kesepian dan perasaan nelangsa yang menimbulkan duka.
Pendekar Super Sakti membiarkan tiga orang cucunya dan juga isterinya tenggelam sebentar dalam iba diri dan duka, kemudian dia berkata, suaranya halus, ditujukan kepada mereka semua, isterinya, cucu-cucunya, dan para pelayan.
“Sudahlah, cukup sudah semua tangis yang tiada gunanya ini. Kematian adalah suatu kewajaran yang akan menimpa setiap orang manusia hidup di dunia ini. Kenapa harus ditangisi? Tangis tidak menguntungkan yang mati, juga merugikan dan melemahkan batin sendiri. Andai kata yang mati dapat mengetahui, maka tangis merupakan ikatan yang menahan dirinya dengan dunia dan kehidupan. Dan bagi yang hidup, tangis itu hanya merupakan kelemahan batin yang penuh dengan perasaan iba diri.”
Nenek Nirahai yang sudah mengerti benar akan hakekat mati hidup, mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh suaminya, hanya menundukkan muka saja. Para pelayan baru setengah mengerti, akan tetapi mereka tentu saja tidak berani membantah mau pun bertanya.
Tidak demikian dengan Suma Hui. Ia seorang dara yang sejak kecil memiliki daya cipta, tidak hanya mengekor terhadap pendapat orang-orang tua atau siapa pun juga. Segala perasaan dan keinginan tahunya tidak mudah dipuaskan oleh pendapat orang dan harus diselidikinya sendiri. Maka, mendengar ucapan kakeknya tadi ia pun membantah.
“Akan tetapi saya sama sekali tidak iba diri, kong-kong! Saya tidak kasihan kepada diri sendiri, melainkan kasihan kepada nenek!”
Suma Han memandang kepada cucunya itu dan tersenyum. “Coba jelaskan, mengapa engkau kasihan kepada nenekmu Lulu, Hui?”
“Nenek tewas dalam perkelahian, terbunuh orang, tentu saja saya kasihan kepadanya!”
“Mengapa kasihan? Nenekmu adalah seorang pendekar sejak kecil, bahkan perkelahian merupakan kegemarannya. Kalau sekarang ia tewas dalam perkelahian, hal itu adalah wajar dan engkau mendengar sendiri ucapan terakhirnya tadi betapa ia merasa gembira sekali dapat tewas dalam sebuah perkelahian, pantaskah itu kalau kita malah kasihan kepadanya?”
“Tapi, matinya karena kekerasan, karena terpaksa, kong-kong! Kalau tidak ada penjahat menyerbu, sekarang nenek Lulu tentu masih hidup bersama kita. Tidak kasihankah itu?” Suma Hui mencoba untuk membantah.
Kakek tua renta itu mengeleng kepala, masih tersenyum. “Semua bentuk kematian tentu ada sebabnya, tentu dipaksakan nampaknya, padahal sebenarnya sudah merupakan suatu kelanjutan yang wajar dari pada kehidupan. Kalau orang mati karena penyakit, bukankah itu merupakan hal yang dipaksakan juga? Kalau penyakit itu tidak datang kepadanya, dia tidak akan mati, begitu tentu bantahannya. Cucuku yang baik, kematian merupakan kelanjutan dari pada kehidupan, dan tentu saja untuk suatu peralihan keadaan pasti ada sebabnya. Sebab itu bermacam-macam, ada yang penyakit, ada kecelakaan, ada bencana alam, ada perkelahian, perang dan sebagainya. Mengertikah engkau?”
Suma Hui mengangguk dan menunduk, sekarang dia dapat melihat kebenaran yang dibeberkan oleh kakeknya itu. Segala peristiwa adalah wajar dan tak dapat dirubah lagi, baik buruknya tergantung dari pada penanggapan kita sendiri.....
Komentar
Posting Komentar