KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-31


Bahkan, menurut petunjuk ibunya, gadis ini sudah berhasil memperoleh ular kalung emas, seekor ular yang amat berbisa, dan memeliharanya sehingga ular yang amat ganas itu jinak sekali terhadap Suma Hui, akan tetapi merupakan senjata yang amat ampuh terhadap lawan. Ayahnya kurang setuju, karena ilmu seperti itu, kalau digunakan untuk menghadapi lawan, termasuk ilmu sesat. Akan tetapi Suma Hui berjanji bahwa ia akan mempergunakan senjata ular dan ilmunya memanggil ular-ular itu hanya apabila menghadapi Tek Ciang dan kawan-kawannya, kaum sesat.

Suma Ciang Bun juga tidak mau kalah. Pemuda ini telah memilih ilmu yang diwarisi ayahnya dari mendiang neneknya, yakni nenek Lulu. Di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, pemuda ini juga mewarisi Ilmu Toat-beng Bian-kun dan Hong-in Bun-hoat. Kemudian, dari ibunya dia mempelajari ilmu melempar senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang harum baunya.

Melihat betapa puteranya amat berbakat bermain pedang, ayahnya memberi kepadanya sepasang pedang yang sangat baik buatannya, dari baja murni dan pedang itu amat indah, terukir bunga teratai dan pedang itu bernama Lian-hwa Siang-kiam (Sepasang Pedang Bunga Teratai). Ciang Bun suka sekali dengan sepasang pedang yang tipis ini, yang dimasukkan dalam satu sarung. Gagangnya dihias emas permata dan diukir indah dengan gambar bunga-bunga teratai putih dan merah. Memang pada dasarnya Ciang Bun suka bersolek, maka sepasang pedang yang indah ini sangat disukainya. Dari ayahnya dia mempelajari ilmu pedang pasangan yang bernama Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).

Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik yang sedang berlatih silat di tepi telaga itu. Sejak tadi Cin Liong sudah tiba di situ dan hatinya diliputi rasa haru yang amat besar ketika dia melihat Suma Hui berlatih bersama Ciang Bun.

Suma Hui! Hatinya menjerit-jerit memanggil nama gadis itu dan rasa rindunya yang sudah mendalam itu membuat dia hampir tidak dapat menahannya. Ingin dia mendekati gadis itu, merangkulnya, menciumnya, dan membisikkan kata-kata cinta kepadanya. Saat itu terasa benar olehnya betapa dia sangat mencinta gadis itu! Betapa dia akan sukar untuk dapat melupakan gadis itu selama hidupnya dan betapa akan sukarnya mencari penggantinya.

“Hui-moi....!” Jeritan hati ini tanpa disadarinya lagi telah terlontar lewat mulutnya sendiri.

Suma Hui yang kini berada di tepi telaga itu bukan lagi Suma Hui kekasihnya dahulu. Dia sudah tidak bebas lagi karena telah menjadi isteri orang! Biar pun teriakannya tadi tidak begitu keras dan jaraknya masih jauh, akan tetapi agaknya suaranya terdengar oleh dua orang kakak beradik itu, atau mungkin juga mereka merasakan kehadirannya. Keduanya menoleh dan melihatnya.

Yang pertama kali berseru adalah Suma Ciang Bun. Pemuda itu sedemikian girangnya ketika melihat Cin Liong sehingga dia melompat dan menghampiri pemuda itu, lalu merangkulnya.

“Cin Liong, ke mana sajakah engkau selama ini? Ahhh, engkau kurus benar!”

Cin Liong hanya tersenyum dan memandang ke arah Suma Hui yang masih berdiri saja seperti telah berubah menjadi patung dan dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali.

“Paman Ciang Bun, engkau kini sudah kelihatan dewasa. Ahh, ilmu silatmu tentu sudah tinggi sekali sekarang!” kata Cin Liong menanggapi kegembiraan yang diperlihatkan Ciang Bun.

“Cin Liong, kebetulan engkau datang. Kami memang sedang berlatih. Mari, kau beri petunjuk padaku agar aku dapat melihat di mana letak kekurangan dan kesalahanku!” berkata demikian, Ciang Bun lalu maju menyerang.

Melihat kegembiraan pemuda itu, Cin Liong merasa tidak tega menolak, maka sambil tertawa dia pun mengelak dan balas menyerang. Segera mereka mulai berlatih dengan saling serang. Akan tetapi ketika Cin Liong menangkis, dia terkejut sekali mendapat kenyataan betapa kuatnya lengan pemuda itu, betapa besar tenaga sinkang yang menggerakkan lengan itu! Dia pun terseret ke dalam kegembiraan dan bersilat dengan sungguh-sungguh karena dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali.

Sementara itu, Suma Ciang Bun juga merasa amat gembira, bukan hanya bertemu dengan keponakan yang amat dikagumi dan disukainya itu, melainkan karena kini dia memperoleh kesempatan berlatih dengan seorang lawan yang pandai. Biasanya, dia hanya dapat berlatih melawan enci-nya, ayahnya atau ibunya saja. Ilmu silat mereka sama, maka tentu saja dia menjadi bosan karena dia sudah tahu akan ke mana arah serangan mereka yang sekeluarga itu. Akan tetapi, kini menghadapi Cin Liong, dia seperti menghadapi seorang lawan yang sungguh-sungguh. Dia harus berhati-hati karena dia belum mengenal gerakan lawan dan ini merupakan latihan yang amat baik dan menarik.

Serang-menyerang terjadi dan makin lama Cin Liong semakin kagum. Tak disangkanya bahwa selama beberapa tahun ini Ciang Bun sudah memperoleh kemajuan yang begitu pesatnya dan memiliki banyak macam ilmu silat yang mutunya tinggi sekali. Dia harus membalas serangan, karena kalau dia hanya bertahan, bukan tidak mungkin dia akan kalah oleh pemuda ini! Tanpa mereka rasakan, mereka telah bertanding atau berlatih sampai lima puluh jurus!

Suma Hui dapat bernapas lega. Ketika tadi ia melihat munculnya Cin Liong secara mendadak, dia merasa jantungnya terguncang hebat dan hampir saja dia melarikan diri atau roboh lemas. Kiranya ia tidak akan mampu menghadapi Cin Liong pada saat pertemuan itu. Maka ketika adiknya mengajak pemuda itu berlatih silat, dia mempunyai banyak kesempatan untuk mengatur pernapasannya dan meredakan jantungnya yang bergelora tadi. Mukanya yang tadinya pucat sekali itu perlahan-lahan berubah merah dan kedua matanya terasa panas. Ia menahan-nahan tangisnya melihat pemuda yang dicintanya itu.

Betapa kurusnya muka Cin Liong! Ah, betapa sesungguhnya ia amat mencinta pemuda itu. Baru kini terbuka matanya bahwa ia tidak pernah membenci Cin Liong, tidak pernah dapat membencinya. Kalau dulu ia bertekad untuk mencari dan membunuh Cin Liong, hal itu bukan karena benci melainkan karena kecewa mengapa pemuda yang dicintanya itu menghancurkan segala harapannya. Dan kini? Ternyata pemuda itu sama sekali tidak bersalah. Pemuda itu telah difitnahnya! Dituduhnya melakukan hal yang demikian kotor dan rendah!

Baru kini ia merasa menyesal sekali mengapa ia sampai begitu bodoh. Mana mungkin seorang pendekar gagah perkasa seperti Cin Liong, putera Naga Sakti Gurun Pasir, seorang panglima muda yang dipercaya kaisar, mau melakukan perbuatan serendah itu? Mengapa dia dahulu tidak bicara terang-terangan saja dengan Cin Liong dan menceritakan segalanya tanpa menuduhnya seperti itu?

“Cukup, paman Ciang Bun, cukup.... wah, engkau lihai sekali....!” Cin Liong meloncat ke belakang. Ciang Bun menghentikan serangannya dan keduanya saling pandang sambil tertawa dan mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi.

“Wah, setelah berlatih mati-matian selama beberapa tahun, masih saja aku belum mampu mengimbangimu, Cin Liong, apalagi menandingimu.”

“Engkau terlalu merendah, paman. Kepandaianmu hebat, hampir-hampir aku tidak kuat menahannya,” kata Cin Lion memuji.

Suma Hui sekarang melangkah maju menghampiri. Sejenak ia berdiri bertukar pandang dengan Cin Liong yang cepat memberi hormat. “Hui-i, maafkan kalau aku datang mengganggu,” katanya dengan suara gemetar.

Suma Hui tak mampu menjawab, hanya memandang dan dua titik air mata yang sejak tadi sudah memenuhi pelupuk matanya, kini menetes turun ke atas pipinya. Ia lalu menoleh kepada adiknya dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, “Bun-te, tinggalkan kami sendirian....”

Ciang Bun mengangguk maklum dan pemuda ini pun lalu pergi dan lari dari tempat itu. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi bayangannya, barulah Suma Hui memutar tubuh menghadapi Cin Liong. Kembali mereka saling berpandangan, lalu terdengar suara gadis itu lirih, “Cin Liong, engkau datang.... mau apakah....?”

Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh ayah gadis ini, pikir Cin Liong dengan hati terpukul. Akan tetapi dia harus berani menghadapi semua ini. Dia harus mengetahui segala yang terjadi atas diri wanita yang dicintanya ini. Dia tidak akan mengganggu, tidak berani, karena bukankah wanita ini telah menjadi isteri orang?

“Bibi Hui.... aku datang untuk.... untuk menanyakan kesalahanku, kesalahan kami sekeluarga kepada ayah bundamu. Aku sudah menghadap mereka dan.... dan mereka menyuruhku bertanya kepadamu sendiri.”

Suma Hui mengerutkan alisnya dan memejamkan matanya sebentar untuk mengusir semua kenangan pahit yang telah dideritanya selama ini. Lalu, dia melolos sepasang pedangnya. Melihat ini, Cin Liong terkejut bukan main.

“Hui-i, kalau sekali ini engkau menyerangku lagi, biarlah aku mati di tanganmu, dan aku tidak akan melawanmu.”

Sepasang mata itu terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan beberapa butir air mata mengalir turun. Sepasang pedang itu dilemparkannya ke dekat kaki Cin Liong dan suaranya berbisik dalam gemetar, “Cin Liong, aku telah bersalah kepadamu, kepada keluargamu, dosaku besar sekali dan aku layak mati. Nah, bunuhlah aku, boleh kau pergunakan pedangku yang pernah kupakai menyerang dan melukaimu dahulu itu.”

“Hui-i....,” Cin Liong terkejut bukan main. Cepat dia mengambil sepasang pedang itu dan melangkah maju, mengangsurkan sepasang pedang itu, mengembalikannya kepada pemiliknya. “Mengapa begitu? Simpanlah kembali pedangmu....”

Akan tetapi Suma Hui tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya. Dia pun menjatuhkan dirinya, bersimpuh ke atas tanah berumput di tepi telaga itu. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sedih, menahan isaknya dan hanya guncangan kedua pundaknya saja dan air mata yang mengalir melalui celah-celah jari tangannya yang menunjukkan bahwa gadis perkasa ini sedang menangis.

Cin Liong berlutut di dekatnya, meletakkan sepasang pedang itu di sisi pemiliknya. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul, akan tetapi ingatan bahwa wanita ini adalah isteri orang lain menahan gelora hatinya.

“Hui-i.... harap jangan menangis. Di manakah.... ehhh, suamimu?”

Pertanyaan ini agaknya amat mengejutkan Suma Hui. Ia menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat dan matanya merah basah, kini memandang kepada wajah pemuda itu bagaikan orang yang merasa heran dengan pertanyaan itu. “Engkau.... engkau belum mengetahuinya dari ayah dan ibuku?”

“Belum. Ketika aku menghadap mereka, mereka hanya menyuruh aku menemuimu di sini dan minta penjelasan darimu. Hui-i, sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Aku merasa bingung dan gelisah sekali. Engkau dahulu ingin membunuhku, kemudian orang tuaku yang datang meminang menerima penghinaan dan aku dituduh melakukan.... perkosaan. Apakah artinya semua itu? Dan di mana adanya suamimu? Bukankah engkau telah menikah dengan.... suheng-mu sendiri itu?”

Menerima pertanyaan bertubi-tubi itu, Suma Hui memejamkan matanya, dan hanya air matanya saja yang menyatakan betapa hancur perasaan hatinya. Melihat keadaan wanita ini, Cin Liong merasa terharu sekali. Ingin dia mengulur tangan merangkul, mendekap kepala itu dan menyembunyikan muka itu di dadanya, menghiburnya dan mengusap air matanya. Akan tetapi dia tidak berani selancang itu terhadap wanita yang sudah bersuami.

Dia pun tahu bahwa agaknya baru kini Suma Hui dapat melampiaskan perasaannya, maka dia membiarkan saja wanita itu menangis sepuasnya. Bagi kebanyakan orang, terutama bagi wanita yang halus perasaannya, kadang-kadang tangis merupakan obat mujarab bagi ganjalan hati.

Akhirnya Suma Hui dapat menguasai hatinya. Tangisnya mereda dan ia pun berkata setelah menghapus air mata dengan ujung lengan bajunya yang menjadi basah. “Sudah sepatutnya engkau mendengar semua itu dari mulutku sendiri. Mala petaka telah menimpaku. Semua dimulai pada malam jahanam itu.... Malam itu aku menjadi korban asap pembius yang ditiupkan ke dalam kamarku. Kemudian, dalam keadan setengah sadar, aku.... aku menjadi korban…. perkosaan orang.... dan dia.... dia menirukan suaramu. Karena kamar itu gelap dan suara itu mirip benar dengan suaramu, aku tertipu dan merasa yakin bahwa engkaulah yang melakukan perkosaan terhadap diriku itu.”

Suma Hui tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi dan menahan tangisnya sambil menghapus air matanya yang kembali membanjir keluar.

Cin Liong mengepal tinjunya. “Hemm, jadi benar-benar ada yang melakukan perbuatan hina itu terhadap dirimu! Pantas engkau menyerangku dan hendak membunuhku, dan kemudian, ketika orang tuaku datang meminang, mereka menerima penghinaan dari keluargamu. Aku tidak merasa heran sekarang. Akan tetapi mengapa engkau tidak mau berterus terang saja menegurku waktu itu sehingga aku dapat mengetahui duduknya persoalan, Hui-i?”

Suma Hui menunduk. “Aku begitu yakin bahwa engkaulah orang itu.... maka kuanggap tidak perlu banyak bicara lagi. Aku begitu kecewa.... begitu hancur hatiku.... sehingga aku.... aku bersumpah.... untuk membunuhmu!”

Cin Liong mengangguk-angguk. “Aku tidak menyalahkanmu, Hui-i. Tetapi.... lalu bagai mana engkau tahu bahwa sebetulnya bukan aku pemerkosa biadab itu?”

“Dengarkan ceritaku. Di dalam noda dan aib itu, muncullah Louw Tek Ciang....”

“Suheng-mu?”

“Ya, ayah sendiri tertipu oleh sikapnya yang baik hingga ayah berkenan mengangkatnya sebagai murid, bahkan menurunkan semua ilmu keluarga kami kepadanya. Tek Ciang dengan sikapnya yang halus dan lembut penuh kesopanan itu muncul sebagai bintang penolong untuk menyelamatkan aku dari aib. Biar pun dia sudah diberitahu bahwa aku telah diperkosa orang, tetap saja dia bersedia untuk menjadi suamiku.”

“Ahhh....!”

“Aku tidak suka dan membencinya, dan untuk menolak desakan ayah aku mengatakan bahwa aku hanya ingin menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku. Ayah telah tergelincir oleh kelicikan Tek Ciang, ayah menggemblengnya sehingga dia menjadi lihai sekali. Aku pergi selama dua tahun lebih, mencarimu sampai ke kaki Pegunungan Himalaya, dengan maksud untuk menantangmu dan mengajakmu bertanding sampai aku mati di tanganmu....”

“Hui-i....!” Cin Liong berseru kaget dan memandang penuh iba. Suma Hui mengusap kembali air matanya.

“Karena mendengar bahwa engkau memimpin pasukanmu menyerbu ke Nepal, aku kembali ke timur dan setibanya di sini, Tek Ciang telah menjadi lihai sekali. Kembali ayah mendesak aku tentang pernikahan. Aku tetap mempertahankan bahwa aku hanya mau menikah deugan orang yang dapat mengalahkan aku.”

“Dan dia dapat mengalahkanmu?” tanya Cin Liong ketika gadis itu menghentikan ceritanya.

Suma Hui mengangguk. “Aku tidak dapat mengingkari janjiku. Aku dikalahkan dan aku terpaksa menurut kehendak ayahku. Apalagi aku berpikir bahwa setelah dia lihai, dia dapat kumintai bantuan untuk mencarimu dan membunuhmu....”

“Hemm.... wajar sekali itu. Lalu, bagaimana?” Hati Cin Liong mulai tertarik sekali.

“Pernikahan itu lalu dirayakan dan dihadiri oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan orang-orang penting....”

“Sayang kami tidak dapat hadir....”

“Tentu saja keluarga Kao tidak diundang.... ah, betapa bodohnya kami, dan semua itu karena kesalahanku....”

“Sudahlah, Hui-i, penyesalan pun tidak ada gunanya lagi dan sebetulnya bukan karena kesalahanmu, atau andai kata engkau melakukan kesalahan sekali pun, maka engkau melakukannya tanpa kau sadari. Lalu bagaimana?”

“Malam pengantin itulah yang membuka rahasia busuk itu! Seperti kukatakan tadi, ketika terjadi peristiwa di malam jahanam itu, aku tidak dapat melihat wajah pemerkosa, hanya mendengar suaranya saja yang sama dengan suaramu, juga cara bicaranya kepadaku persis kalau engkau bicara. Tetapi ada satu hal lagi yang menjadi rahasiaku, tidak kuberi tahukan kepada siapa juga, yaitu bahwa secara kebetulan, dalam keadaan setengah sadar itu, aku menyentuh punggung jahanam itu dan aku mendapatkan adanya suatu cacat di punggung, suatu benjolan daging....”

“Ahh, makin menarik! Dan untuk membuktikan bahwa orang itu bukan aku, sebaiknya engkau melihat punggungku!”

Tanpa menanti jawaban, Cin Liong membuka baju atasnya dan membalikkan tubuh, memperlihatkan punggungnya yang berkulit putih bersih tanpa adanya cacat benjolan daging itu kepada Suma Hui yang menjadi merah sekali mukanya.

“Cin Liong, tanpa kau perlihatkan punggungmu, aku pun kini sudah percaya, karena aku telah menemukan orangnya.”

“Ahhh....? Benarkah? Siapa si keparat itu?” tanya Cin Liong sambil mengenakan lagi bajunya.

“Siapa lagi kalau bukan si jahanam Louw Tek Ciang!”

“Hehh....?” Cin Liong yang sedang mengancingkan bajunya itu berhenti setengah jalan. Matanya terbelalak memandang kepada wajah Suma Hui, seolah-olah tak percaya akan pendengarannya sendiri. “Apa.... apa pula maksudmu? Dia....? Suheng-mu...., suamimu itu....? Bagaimana pula ini?”

“Benar, ternyata dialah jahanam pemerkosa itu! Kebetulan aku melihat benjolan daging di punggungnya. Tentu saja aku segera menyerangnya sehingga malam pengantin itu berubah menjadi malam perkelahian mati-matian. Sudah kukatakan dia lihai sekali dan aku bukan lawannya. Akan tetapi, ayah dan ibu muncul mendengar suara ribut-ribut.”

“Tentu dia sudah dapat dibekuk atau dibunuh!” kata Cin Liong penuh semangat.

“Sayang, dia yang sudah tersudut itu diselamatkan orang lain.”

“Siapa yang menyelamatkannya?”

“Kenalan lama kita. Dia adalah Jai-hwa Siauw-ok yang ternyata juga telah menjadi guru Tek Ciang.”

Kembali Cin Liong terperanjat. “Jai-hwa Siauw-ok....?”

“Ya, dan munculnya datuk sesat itu menerangkan segalanya. Engkau tentu tahu bahwa Jai-hwa Siauw-ok termasuk seorang di antara para datuk sesat yang menyerbu Pulau Es, yang memusuhi keluarga Pulau Es. Agaknya dia hendak mencelakakan kami dengan cara lain. Tentu dia yang mengatur semua itu bersama Tek Ciang, dan Jai-hwa Siauw-ok yang melepas asap pembius, lalu Tek Ciang yang melakukan pemerkosaan dan menyamar seperti engkau, tentu dengan maksud untuk mengadu antara keluarga Suma dengan keluarga Kao. Demikianlah, Cin Liong, maka kami memusuhi keluargamu dan aku…. aku telah bersikap bodoh sekali....”

“Di mana jahanam itu sekarang?” Cin Liong bangkit dan mengepal tinju, mukanya telah berubah merah. “Aku akan menghancurkannya bersama Jai-hwa Siauw-ok!”

“Tidak perlu, Cin Liong. Selama ini, ayah yang juga merasa menyesal sekali telah mencurahkan seluruh tenaga dan waktu untuk menggembleng kami berdua, dan aku sendiri yang akan mencari jahanam itu!”

“Hui-moi.... sungguh kasihan sekali engkau, Hui-moi....”

Mendengar suara yang menggetar itu dan mendengar sebutan itu, wajah Suma Hui menjadi pucat, kemudian berubah merah sekali. Air matanya bercucuran lagi ketika ia memandang kepada laki-laki yang selalu menempati hatinya itu.

“Cin Liong.... maafkan.... kau maafkan aku....,” ratapnya.

“Hui-moi....!” Cin Liong melangkah maju dan menubruknya, merangkulnya dengan hati yang penuh rindu.

Seperti tanaman bunga yang sudah kekeringan lalu tiba-tiba menerima siraman hujan, Suma Hui mengembangkan kedua lengannya dan merangkul leher Cin Liong sambil menangis sesenggukan di atas dada pemuda yang dicintanya itu. Sampai lama mereka hanya saling dekap dan saling rangkul. Suma Hui menangis dan Cin Liong mengusap-usap rambutnya, menciumi mukanya dan mengisap air matanya.

Tiba-tiba Suma Hui melepaskan rangkulan Cin Liong dan meronta, menjauhkan dirinya, memandang dengan mata terbelalak. “Tidak....! Tidak....! Jangan....! Aku.... aku sudah tidak berharga untukmu, Cin Liong....!” Dia menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangan.

“Hui-moi, jangan berkata begitu. Aku tetap mencintamu, apa pun yang telah dan akan terjadi!” kata Cin Liong sambil melangkah menghampiri dan hendak merangkul lagi.

Akan tetapi Suma Hui mengelak dan sambil mengusap air matanya ia berkata, “Tidak, engkau jangan mengotorkan tanganmu dengan menjamahku, Cin Liong. Aku sudah kotor dan tidak berharga lagi. Aku bukan perawan lagi....”

“Hushhh, anak bodoh! Aku mencinta Suma Hui, aku mencinta dirimu, bukan mencinta keperawanan. Aib yang menimpa dirimu bukan karena kesalahanmu. Aku tetap cinta padamu dan aku akan meminangmu sekali lagi untuk menjadi isteriku. Hui-moi, aku cinta padamu, aku.... aku membutuhkanmu.... aku rindu padamu....”

“Tidak, Cin Liong. Bukan hanya bahwa aku telah ternoda, akan tetapi, di mata dunia, disaksikan oleh para tokoh kang-ouw, aku telah menjadi isteri jahanam Louw Tek Ciang! Aku harus mencarinya, aku harus membunuhnya lebih dulu!”

“Ahhh, kalau engkau sudah membunuhnya baru berarti engkau bebas dari ikatan, ikatan pernikahan dan ikatan dendam, dan engkau.... engkau akan mau menerimaku?”

“Jangan berkata demikian, Cin Liong. Aku.... aku selalu mencintamu, tapi aku sekarang sudah tidak berharga.... nanti kalau aku sudah berhasil, dan kalau engkau masih sudi menerimaku....”

Cin Liong menangkap tangan wanita itu, dikepalnya dengan erat dan jari-jari tangan mereka saling cengkeram. Ada getaran dari hati mereka terasa melalui jari-jari tangan itu. “Hui-moi, aku akan membantumu....”

“Tapi, engkau adalah seorang panglima, terikat oleh tugasmu.”

“Tidak, aku akan meletakkan jabatan. Setelah engkau berhasil membalas dendam, dan aku mengambilmu sebagai isteri, kita akan hidup menjauhkan diri dari segala keributan, agar engkau tak perlu mendengarkan omongan orang-orang yang suka membicarakan urusan dan keadaan orang lain.”

Suma Hui tersenyum melalui air matanya. “Ahh, betapa akan bahagianya kalau begitu, Cin Liong. Akan tetapi.... aih, bagaimana aku mungkin dapat menerimanya? Aku telah ternoda dan aku telah menjatuhkan fitnah keji kepadamu, kemudian keluargaku telah melakukan penghinaan kepada keluargamu, ditambah lagi bahwa aku telah menikah dengan orang lain. Engkau dan keluargamu suka memaafkan kami saja berarti sudah merupakan suatu berkah bagi kami, engkau tidak membenciku saja sudah merupakan suatu kemurahan darimu. Mana mungkin semua ini ditambah lagi dengan.... dengan engkau sudi mengambilku sebagai isterimu. Ah, terlalu langka dan muluk bagiku, aku.... sudah tidak berharga lagi untukmu....” Suma Hui lalu lari meninggalkan Cin Liong, sambil menangis.

“Hui-moi....! Hui-moi....!” Cin Liong mengejar.

Tetapi baru beberapa jauhnya dia mengejar, muncul Suma Ciang Bun menghadangnya. “Cin Liong, jangan mendesaknya. Kegirangan hati kadang-kadang sukar dapat diterima dengan tenang. Enci Hui telah mengalami penderitaan batin selama bertahun-tahun, biarlah kebahagiaan mendatanginya dengan perlahan-lahan, kalau secara tiba-tiba dan dipaksakan, bahkan berbahaya bagi batinnya.”

Cin Liong menatap wajah pemuda itu. Hampir tak percaya dia akan ucapan pemuda ini. Dalam beberapa tahun saja pemuda ini sudah menjadi dewasa dan matang, dan dia pun melihat adanya bayangan duka di wajah yang tampan itu. Akan tetapi dia tidak tahu entah apa dan mengapa.

“Aku hanya ingin membantunya mencari dan membalas dendam kepada musuh besarnya,” katanya.

“Si jahanam Tek Ciang?” Suma Ciang Bun tersenyum pahit. “Sejak semula aku tidak suka kepada orang yang menjilat-jilat itu. Sayang ayah terpedaya. Tapi sudahlah, penyesalan tiada gunanya. Dan dia sekarang sudah amat lihai. Selain mewarisi ilmu-ilmu keluarga kami, juga mendapat pelajaran dari Jai-hwa Siauw-ok. Biar pun demikian, enci Hui dan aku akan sanggup menghadapi dan mengalahkannya. Ini adalah urusan pribadi. Urusan dendam keluarga. Kalau engkau hendak membantu, jangan lakukan itu dengan berterang, Cin Liong. Engkau hanya akan membuat enci Hui merasa lebih rendah lagi. Biarlah ia mengangkat kembali kehormatannya dengan membalas dendam kepada orang yang merenggutnya. Dan hanya akulah satu-satunya orang yang boleh membantunya. Kami sudah siap dan sudah bersepakat akan mulai pergi mencari musuh itu besok pagi.”

Bersama Ciang Bun, Cin Liong lalu pergi ke rumah keluarga itu menghadap Suma Kian Lee dan isterinya. Pemuda ini langsung menghadap dan tanpa sungkan-sungkan lagi lalu berkata, “Ji-wi locianpwe. Saya telah bertemu dan bicara dengan Hui-i, telah mendengar akan semua yang telah terjadi. Dan saya mempergunakan kesempatan ini, mendahului ayah bunda saya, untuk sekali lagi mengajukan pinangan terhadap Hui-moi, untuk menjadi isteri saya.”

Sungguh ucapan ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li. Suma Kian Lee menjadi pucat wajahnya dan sejenak dia memejamkan mata sambil menundukkan mukanya. Penyesalan besar menyelinap di hatinya.

Pernah ada seorang pemuda yang berbaik hati, mau menerima Suma Hui sebagai isteri walau pun sudah mendengar bahwa gadis itu sudah diperkosa orang. Tetapi ternyata pemuda itu, Louw Tek Ciang, adalah seorang penjahat besar yang ternyata menjadi pemerkosanya sendiri. Akan tetapi pemuda ini, Kao Cin Liong, seorang pendekar besar, seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, kini mau menerima Suma Hui sebagai isteri, setelah mendengar Suma Hui diperkosa orang, setelah menerima penghinaan dan fitnah, sungguh hal ini amat sukar diterima dan dimengertinya. Juga hal itu membuka matanya betapa tinggi nilai cinta yang berada di hati pemuda ini terhadap Suma Hui.

“Tapi.... tapi.... kami telah....,” katanya gagap dan isterinya menolongnya.

“Cin Liong, kami sebagai orang tua pernah membuat kesalahan dan kami tidak mau lagi mengulang kesalahan yang sama. Urusan pernikahan Suma Hui adalah urusan pribadinya, oleh karena itu, kalau engkau memang benar mencintanya seperti yang kupercaya sepenuhnya, bicarakanlah hal itu dengan Hui-ji sendiri. Kalau ia setuju, kami berdua pun akan menyetujuinya dengan penuh kebahagiaan hati.”

“Saya sudah bicara dengan Hui-moi dan ia.... ia menangguhkannya sampai ia berhasil membalas dendam kepada musuh besar itu.”

“Kalau begitu, tidak ada persoalan lagi!” kata Kim Hwee Li dengan wajah berseri.

“Biarlah kami yang akan mendatangi orang tuamu untuk membicarakan soal perjodohan ini dan sekalian minta maaf atas kesalahan kami sekeluarga,” akhirnya Suma Kian Lee berkata dengan hati lega.

Sampai Cin Liong berpamit pergi, dia tidak dapat berjumpa dengan Suma Hui yang agaknya sengaja menjauhkan diri. Akan tetapi pemuda ini sudah memperoleh kembali kegembiraannya dan dia yakin bahwa gadis itu masih mencintanya. Maka dia pun berpamit dari keluarga Suma dan langsung dia pergi ke kota raja dengan maksud hati hendak meletakkan jabatannya, kemudian akan menyusul dan membantu Suma Hui menghadapi Louw Tek Ciang yang dibantu oleh datuk sesat.

Pada keesokan harinya, Suma Hui berdua Suma Ciang Bun juga mendapat perkenan orang tua mereka untuk berangkat meninggalkan rumah, untuk mulai dengan usaha mereka mencari jejak Tek Ciang, musuh besar yang amat dibencinya itu.....

********************

Sudah lama kita meninggalkan Ceng Liong. Selama beberapa tahun ini, Ceng Liong yang digembleng oleh Hek-i Mo-ong telah dapat mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu. Dia memang berbakat baik sekali dan juga amat suka belajar ilmu silat. Otaknya cerdas dan dengan mudah dia dapat menangkap semua pelajaran yang bagaimana sukar pun. Kekuatan ingatannya mengagumkan. Setiap ilmu yang diajarkan kepadanya, baru berulang dua kali saja sudah dapat dihafalnya dengan baik, dari awal sampai akhir dan tinggal mematangkannya dalam latihan saja!

Bukan main girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid tunggalnya ini. Dia merasa bangga memiliki murid ini dan akhirnya kakek ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan penuh kasih sayang, dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid, bahkan menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.

Hek-i Mo-ong telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal dan kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk mengulangnya. Dia merasa sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan berupa kedudukan tinggi. Maka dia pun mengajak Ceng Liong untuk hidup menyendiri di tempat sunyi, di lembah Sungai Ceng-ho di Propinsi Shen-si. Lembah itu sunyi sekali, dan penuh dengan hutan liar sehingga jarang didatangi manusia. Di sini mereka berdua hidup dari hasil tanah dan sungai. Setiap hari pekerjaan Hek-i Mo-ong hanya mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Ceng Liong.

Perasaan cinta mengandung getaran yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap tidak acuh terhadap kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan menyebutnya Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong sebagai seorang datuk sesat, sedangkan dia menganggap diri sendiri sebagai keturunan para pendekar. Akan tetapi, agaknya rasa cinta dari kakek itu terhadap dirinya terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang dan kasihan kepadanya. Melihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-payah mengajarnya, bahkan tanpa ragu-ragu menurunkan segala ilmunya kepadanya, membuat Ceng Liong kadang-kadang merasa terharu juga.

Dia tahu bahwa kakek itu amat sayang kepadanya. Maka, tanpa diminta, Ceng Liong juga giat bekerja di ladang, juga tiap hari mencari ikan untuk dimasak dan dihidangkan kepada kakek itu. Waktu kosong mereka selalu diisi dengan latihan-latihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam tahun semenjak dia ikut kakek itu, Ceng Liong telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Pemuda remaja ini memiliki tubuh tinggi besar, dengan wajah yang ganteng dan gagah, akan tetapi pandang mata dan senyumnya mengandung kebengalan kanak-kanak.

Demikian sayangnya Hek-i Mo-ong kepada Ceng Liong sehingga dia bukan hanya mengajarkan ilmu ciptaannya yang terakhir dan mukjijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu pemuda remaja itu berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal penggunaan kedua ilmu ini, Ceng Liong telah menyamai tingkat gurunya, bahkan lebih cekatan karena dia masih muda dan Hek-i Mo-ong telah berusia delapan puluh tahunan.

Ilmu silat kipas yang mengandung kekuatan sihir dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan tetapi dia tak mau mencontoh gurunya dalam memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong biasa mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang yang kelihatan mengerikan, Ceng Liong memilih senjata kipas dan pedang.

Di samping mempelajari ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong kadang-kadang suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan tetapi karena tidak ada yang memberi petunjuk dalam ilmu-ilmu silat itu, maka dia pun hanya dapat memperdalam beberapa ilmu silat yang pernah dipelajarinya saja, antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti). Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu sakti Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia tidak berhasil menguasai kedua ilmu ini.

Ketika itu, usia Ceng Liong sudah hampir enam belas tahun, akan tetapi karena tubuhnya besar, dia kelihatan sudah dewasa benar. Dan tingkat kepandaiannya sudah hebat, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri kadang-kadang merasa kewalahan kalau berlatih melayani muridnya ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong bercakap-cakap dengan muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek tua renta ini nampak serius sekali.

“Ceng Liong, tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?”

Ceng Liong memandang wajah keriputan itu dengan heran. Dia ingin tahu apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga, “Mungkin antara lima dan enam tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal itu, Mo-ong?”

“Engkau menjadi muridku sejak engkau masih kecil sampai kini menjelang dewasa. Dan tanpa kusadari, usiaku telah menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah dan aku khawatir sekali kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpejam sebelum aku dapat menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarang pun aku mulai merasa betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama sekali pernapasanku menjadi pendek, sedangkan musuh besarku itu memiliki kepandaian yang hebat bukan main.”

Ceng Liong adalah seorang yang cerdik. Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan gurunya itu. Dan dia sendiri pun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan, ingin meninggalkan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang diri, terutama lebih dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi dia selalu merasa ragu betapa Hek-i Mo-ong sudah semakin tua dan lemah dan amat memerlukan bantuannya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Hek-i Mo-ong dengan bantuan terakhir, yaitu menghadapi musuh besar ini.

“Mo-ong, apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?” Tanyanya langsung saja.

Hek-i Mo-ong tertawa. “Heh-heh-heh, engkau memang anak baik dan cerdik. Benar, Ceng Liong, hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat menebus kekalahanku terhadap musuh besar itu. Saat aku mulai menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji, aku merasa yakin bahwa kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai mendalam, pasti aku akan dapat melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi, waktuku telah kuhabiskan untuk menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu sehingga kini aku merasa kesehatanku sangat mundur.”

“Mengapa engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?”

“Tak ada persoalan pribadi, hanya bentrokan yang mengakibatkan perkelahian dan aku telah dikalahkannya! Nah, kekalahan itulah yang membuat aku menderita, dan hatiku takkan merasa tenteram sebelum aku dapat menebus kekalahan itu.”

Diam-diam Ceng Liong mengeluh. Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulu terlalu mengugulkan diri, mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih pandai dari padanya. Karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang kakek ini merasa penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup menumbuhkan dendam di dalam hatinya.

“Hemm, kalau begitu, persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu dahulu. Aku tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu.”

“Heh-heh-heh, Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi ahli waris dari Pendekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa mengalahkan dia saja, hatiku sudah akan merasa puas sekali, dan mata dunia akan terbuka bahwa aku dan muridku telah membuktikan bahwa kita tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling Emas. Ha-ha-ha!”

Ceng Liong terkejut. Pendekar Suling Emas! Pernah dia mendengar nama ini dari ayah ibunya dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman dahulu. Akan tetapi, dia tidak peduli. Siapa pun adanya musuh besar gurunya itu, bukankah dia menyanggupi hanya untuk membantu gurunya menebus kekalahan saja? Itu pun kalau dia dan gurunya akan sanggup mengalahkan musuh yang tentu amat lihai itu!

Dan dia tidak mewarisi pendirian gurunya bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan dia mengerti bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dia sudah banyak bertemu dengan orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dari itu dia tidak lagi berani memandang diri sendiri terlalu tinggi.

“Siapakah nama musuh itu, Mo-ong? Dan di mana tinggalnya?”

“Namanya Kam Hong dan dia tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau engkau sudah siap membantuku, mari kita berangkat hari ini juga.”

“Baiklah, Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat.”

Setelah berkemas dan membawa buntalan pakaian, berangkatlah Ceng Liong bersama kakek itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke timur. Hati Ceng Liong merasa gembira sekali karena memperoleh kesempatan meninggalkan tempat sunyi itu dan melihat dunia rantai. Dia mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa, dengan sebuah caping lebar, dan buntalan pakaian berada di punggungnya. Pedangnya, sebatang pedang pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat dari baja yang murni, terselip di pinggang dan ditutupi jubah luarnya sehingga tidak nampak menyolok.

Ada pun Hek-i Mo-ong sendiri, seperti biasa, mengenakan pakaian serba hitam yang juga sederhana berpotongan petani. Tubuhnya yang tinggi besar itu amat kurus dan agak bongkok, dan rambutnya yang sudah putih semua itu nampak kontras sekali dengan bajunya yang hitam.

Orang-orang yang melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat, apalagi menyangka bahwa kakek itu adalah Hek-i Mo-ong yang namanya saja sudah membuat orang-orang kang-ouw bergidik. Mereka berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa saja.

Siapakah orang bernama Kam Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya itu? Hek-i Mo-ong memang orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar seperti kegagalannya dalam usaha pemberontakan yang lalu, yang akhirnya menghancurkan seluruh harapan dan ambisinya, dia sama sekali tidak merasa sakit hati dan tidak mendendam kepada siapa pun juga. Akan tetapi rupa-rupanya ada suatu pantangan bagi kakek ini, yakni kekalahan.

Dia tidak pernah dapat melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat. Selama hidupnya sebagai seorang datuk sesat, jarang dia menderita kekalahan. Satu-satunya kekalahan mutlak harus diakuinya adalah kekalahannya ketika dia berhadapan dengan Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Akan tetapi pendekar itu telah tiada dan dia tidak menaruh hati dendam kepada siapa pun. Akan tetapi, di antara kekalahan-kekalahannya yang hanya dapat dihitung dengan jari tangan itu, dia sukar untuk dapat melupakan kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu itu baru saja muncul di dania persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.....

********************

Para pembaca kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’ tentu masih mengenal siapa pendekar Kam Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua ilmu keluarga Suling Emas. Bahkan secara kebetulan sekali, di daerah Himalaya, pendekar ini menemukan dan mewarisi suling emas berikut Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling emas yang amat hebat.

Pendekar ini akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung sumoi-nya sendiri karena gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan sependeritaan di Himalaya ketika mereka berdua menemukan benda pusaka berupa suling emas dan ilmunya itu, sehingga keduanya berhak untuk mempelajarinya. Kisah mereka yang amat menarik dapat diikuti dalam seri kisah ’Suling Emas Naga Siluman’.

Setelah menikah, Kam Hong dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan di sebelah dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai di Pegunungan Tai-hang-san. Istana ini dahulu menjadi pusat dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) yang dipimpin sejak turun-menurun oleh keluarga Yu.

Keturunan terakhir bernama Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis Bermuka Singa). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah lama bubar. Sai-cu Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari pendekar Kam Hong, menggemblengnya dengan ilmu-ilmu keluarga ketua Khong-sim Kai-pang. Kam Hong sudah dianggap sebagai anak atau cucu sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka, setelah kakek bermuka singa yang gagah perkasa ini meninggal dan bangunan itu kosong, Kam Hong lalu mengajak isterinya untuk tinggal di situ dan hidup sebagai petani dan nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di antara dusun-dusun di sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan sederhana.

Pada waktu itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali dengan ibunya di waktu muda, baik wajahnya yang bulat manis itu, mau pun kelincahannya, kejenakaannya dan keberanian atau kebengalannya. Akan tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru ayahnya, sederhana dan seadanya.

Juga anak ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia hampir lima belas tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, dan juga ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera telah mendidiknya dalam ilmu baca tulis sehingga dalam usia lima belas tahun Bi Eng telah pandai menulis sajak dan beberapa kepandaian lain seperti menyulam, menabuh yang-kim, menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di antara para penghuni dusun di sekitar tempat itu, ia dikenal sekali dan orang-orang menyebutnya Kam-siocia.

Kam Hong sendiri telah menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia selalu bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan, akan tetapi biar sederhana dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan, belum nampak tua dalam usia hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya belum bercampur uban. Hanya garis-garis di sekitar bibir dan matanya menunjukkan bahwa dia tidaklah muda lagi.

Sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat pada dirinya. Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar ini karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek moyangnya, melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu menjadi pembantu keluarga Suling Emas yang dipercaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk kemudian disampaikan kepada keturunan terakhir keluarga Suling Emas. Dari kakek bekas pembantu ini dia mempelajari ilmu-ilmu keluarganya, yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Kim-kong Sim-in.

Selain ini, dia pernah pula digembleng oleh Sai-cu Kai-ong keturunan ketua Khong-sim Kai-pang dan mewarisi ilmu-ilmu Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua ilmu yang termasuk ilmu silat tingkat tinggi ini masih ditambah lagi dengan ilmu yang diperolehnya bersama isterinya di Pegunungan Himalaya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan pengerahan khikang tingkat tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini tiada ubahnya seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya, gagah perkasa dan sukar ditandingi!

Isterinya, Bu Ci Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia pernah digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini dia lalu memperoleh Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu pawang ular. Kemudian, dia pernah memperoleh hadiah dari Pendekar Suma Kian Bu yang melatih penggabungan sinkang Im dan Yang kepadanya. Selain itu semua, Bu Ci Sian ini adalah puteri dari Bu-taihiap, pendekar yang sangat terkenal beberapa puluh tahun yang lalu sebagai seorang pendekar besar yang banyak isterinya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (BAGIAN KE-11 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah Para Pendekar Pulau Es