KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-16
“Cin Liong, mari bicara di dalam....,” ajaknya dengan gembira dan ia pun mengulurkan tangan kanan untuk menggandeng tangan pemuda itu.
Melihat sikap kekasihnya ini, tentu saja Cin Liong merasa gembira sekali, akan tetapi juga membuatnya ragu-ragu dan takut.
“Ayah ibumu....?” bisiknya khawatir ketika tangan mereka sudah saling bergandengan dalam pertemuan antara jari jemari tangan yang hangat dan bergetar mesra penuh perasaan rindu dan sayang.
“Mereka telah pergi empat bulan yang lalu, mencari Ciang Bun dan sampai kini belum kembali. Di rumah kosong tidak ada orang....”
“Dan susiok tadi?”
“Ahhh, jangan terlalu banyak peraturan. Tidak patut engkau menyebut susiok kepada pemuda yang baru belajar itu. Dia disuruh tinggal di kamar belakang oleh ayah, untuk melatih diri dengan dasar sinkang kami dan aku membimbingnya. Mari, Cin Liong....” Mereka bergandengan tangan dan berjalan memasuki rumah itu dari pintu samping, menuju ke ruangan depan atau ruangan tamu.
Begitu tiba di ruangan itu, keduanya kembali saling berpandangan dengan tangan masih bergandengan dan agaknya seperti ada daya tarik yang luar biasa membuat keduanya makin mendekat dan tahu-tahu mereka telah berangkulan dan berdekapan, entah siapa yang lebih dahulu memulai gerakan itu.
“Hui....,” bisik Cin Liong.
“Cin Liong....” Dan seperti secara otomatis, pemuda itu mengangkat dagu Suma Hui dan menciumnya. Suma Hui mendesah, tubuhnya tergetar dan matanya terpejam, kemudian ia menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu, menghela napas lega dan bahagia.
“Aku.... aku sudah bertemu dengan ayah ibuku, dan aku sudah minta kepada mereka untuk datang ke sini meminangmu, mungkin dalam waktu dua tiga bulan ini....,” bisik Cin Liong.
Suma Hui hanya mengangguk, hatinya terharu bukan main, keharuan yang timbul akibat kegirangan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu.
“Dan engkau.... sudahkah orang tuamu mengetahui?”
Suma Hui hanya menarik napas panjang, kemudian melepaskan dirinya dari rangkulan, dan menggandeng tangan kekasihnya untuk duduk di atas bangku. Mereka duduk berhadapan, terhalang meja. Tangan mereka masih saling berpegangan di atas meja. Kemudian Suma Hui menceritakan keadaannya, bahwa ia sudah berterus terang pada ibunya dan bahwa ibunya agaknya tidak berkeberatan.
“Ahh, bagus sekali! Jadi ibumu setuju? Ayah ibuku tadinya terkejut dan meragu, akan tetapi dengan bijaksana mereka akhirnya juga setuju, walau pun mereka masih merasa takut-takut untuk melakukan peminangan atas dirimu.”
“Ibuku amat bijaksana dan mencintaku. Dia setuju sepenuhnya, tetapi ibu menyatakan kekhawatirannya kalau-kalau ayahku yang tidak setuju.”
“Lalu bagaimana dengan ayahmu?” tanya Cin Liong khawatir.
“Entahlah, aku minta tolong ibu untuk memberitahukan ayah, dan aku tidak tahu apakah hal itu sudah dilakukan dan tidak tahu pula bagaimana tanggapan ayah....”
“Aihh, aku merasa khawatir sekali.... jangan-jangan beliau tidak setuju....”
Melihat wajah kekasihnya muram dan agak pucat, Suma Hui mencengkeram tangan kekasihnya. Mukanya menjadi merah, sepasang matanya berapi-api ketika ia berkata, “Baik ayah mau pun segala dewa dan siluman di dunia ini, tidak akan ada yang dapat menghalangiku berjodoh denganmu!”
Cin Liong memejamkan mata, mengusir kengerian yang membayang di matanya. Dia mengenal benar watak kekasihnya ini yang amat keras dan memiliki tekad sekuat baja yang tak mungkin ditekuk sampai bagaimana pun juga. Dia khawatir kalau-kalau jalinan cinta mereka ini akan mengakibatkan kemelut dan mala petaka di dalam keluarga itu.
“Kita harus tenang dan menghadapi segala sesuatu dengan tabah, tanpa kekerasan. Ingat, Hui, andai kata ada yang menentang, maka yang menentang itu bukan orang lain, melainkan orang tua kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mempergunakan kebijaksanaan dan menjauhkan kekerasan antara keluarga yang hanya akan mendatangkan kedukaan besar.”
Suma Hui merangkul lagi, menyembunyikan mukanya yang kini dibayangi kekhawatiran itu di dada kekasihnya. Sepasang kekasih ini lalu bicara bisik-bisik sampai beberapa lamanya, sama sekali tidak tahu bahwa segala percakapan mereka telah didengarkan telinga lain dan segala yang terjadi antara mereka telah ditonton mata orang lain yang penuh dengan kemarahan, mata yang beringas kemerahan, mata dari Louw Tek Ciang!
Biar pun mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Cin Liong, namun saat itu mereka lengah. Gelora asmara yang sedang mengamuk dan melanda hati mereka mengurangi kewaspadaan. Selain itu, juga Tek Ciang amat cerdik. Sebelum dua orang muda itu masuk ruangan itu, dia telah lebih dulu berada di tempat persembunyiannya sehingga dia dapat mengintai tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga.
“Aku akan pergi mencari rumah penginapan dulu, Hui-i....”
“Hishh, masa engkau masih harus terus menyebut i-i (bibi) kepadaku? Tidak pantas!” sela Suma Hui.
Cin Liong tersenyum, “Ah, segala macam sebutan dalam huhungan keluarga yang jauh masih terus dipertahankan orang, sungguh membuat kita merasa canggung saja. Di dalam hatiku, tentu saja aku menyebutmu Hui-moi (dinda Hui)....”
“Kenapa mesti lain di mulut lain di hati? Sebut saja begitu!”
“Tapi kalau terdengar orang....”
“Perduli apa dengan orang lain? Cin Liong, hidup kita tidak mungkin dapat seterusnya disandarkan pada pendapat orang lain, bukan?”
Cin Liong menarik napas panjang. “Baiklah, Hui-moi. Memang manusia amatlah lemah, sukar sekali dan merasa takut meninggalkan kebiasaan lama atau tradisi, dan aku agaknya termasuk satu di antara manusia-manusia lemah itu. Selanjutnya aku akan banyak belajar tabah dan berani menghadapi kenyataan seperti engkau. Nah, aku pergi dulu, Hui-moi. Sore nanti aku akan datang berkunjung.”
“Baik, kita makan bersama sore ini di sini, Cin Liong. Aku akan masak-masak untukmu.”
“Baiklah, tentu lezat sekali masakanmu.”
Mereka lalu bangkit berdiri dan dengan bergandeng tangan meninggalkan ruangan itu menuju keluar. Cin Liong kemudian meninggalkan kekasihnya yang mengantar dengan pandang mata mesra dan wajah berseri-seri. Setelah berpisah dari kekasihnya, barulah kewaspadaan Cin Liong timbul kembali sehingga dia dapat melihat bahwa ada orang membayanginya dari jauh!
Hatinya tertarik sekali dan juga merasa terheran-heran setelah mendapatkan kenyataan bahwa yang membayanginya itu adalah Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suheng dari Suma Hui dan yang tadi disebutnya susiok itu! Diam-diam dia merasa geli hatinya. Apakah suheng yang tolol itu diutus oleh Suma Hui untuk membayanginya dan untuk melihat di rumah penginapan mana dia bermalam?
Ahhh, apakah kekasihnya akan melakukan hal yang sebodoh itu? Ataukah pemuda itu sendiri yang membayanginya, mungkin karena pemuda itu belum begitu mengenalnya dan merasa curiga dan seolah-olah hendak ‘melindungi’ sumoi-nya? Bagaimana pun juga, Cin Liong tidak mau membuat ‘susiok-nya’ itu menjadi tidak enak hati dan malu kalau dia memperlihatkan bahwa dia tahu akan perbuatan pemuda pesolek itu, maka dia pura-pura tidak tahu dan memilih kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah memperoleh kamar dia keluar lagi untuk melihat. Ternyata ‘susiok’ itu telah lenyap dan dia pun tersenyum sendiri.
Dengan napas terengah karena hampir seluruh perjalanan menuju ke rumah ayahnya dilakukan sambil berlari cepat, Tek Ciang menghadap ayahnya. Guru silat Louw terkejut melihat puteranya datang terengah-engah seperti itu dan cepat menyambutnya.
“Wah, celaka, ayah! Aku tidak sudi menikah dengan Suma Hui....!”
“Hushhh....!” Louw-kauwsu terkejut bukan main, cepat menarik tangan anaknya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamarnya. “Ucapan apa itu?” bentaknya ketika dia berada aman di dalam kamar bersama puteranya.
“Siapa sudi menikah dengan gadis seperti itu? Ia gadis tak tahu malu, ayah, berpacaran dengan keponakannya sendiri!” Dengan suara mengandung kemarahan Tek Ciang lalu menceritakan semua yang telah didengar dan dilihatnya ketika pemuda bernama Kao Cin Liong datang berkunjung ke rumah suhu-nya.
Bukan main kaget dan heran hati Louw Kam mendengar penuturan puteranya. Sungguh merupakan hal yang amat aneh dan sukar dapat dipercaya.
“Benarkah ceritamu itu? Benarkah pemuda itu keponakannya?”
Kalau Suma Hui mempunyai seorang pacar, hal itu masih dianggapnya biasa walau pun tentu saja tidak menyenangkan. Akan tetapi berpacaran dengan seorang keponakan sendiri? Mustahil rasanya!
“Aku pun tadinya tidak percaya, ayah. Akan tetapi setelah diperkenalkan, orang itu mengaku keponakan Suma Hui, bahkan dia menyebut aku susiok.”
“Jangan-jangan hanya murid keponakan saja, bukan keluarga.”
“Dia menyebutnya Hui-i, berarti sumoi adalah i-i-nya, bukan hanya sekedar bibi gurunya. Ayah, aku tidak sudi berjodoh dengan gadis tak tahu malu begitu!”
“Tolol! Engkau menjadi murid, bahkan calon mantu seorang pendekar sakti seperti Suma Kian Lee-taihiap, dan engkau mengatakan tidak sudi! Kita harus berusaha untuk menggagalkan hubungan mereka. Aku yakin kalau Suma-taihiap mengetahui hubungan antara puterinya dan keponakan puterinya itu, tentu dia akan menentang. Bukankah dia sudah memilih engkau untuk menjadi calon menantunya? Pula, kurasa hubungan itu hanya hubungan akrab antara bibi dan keponakannya saja.”
“Hubungan akrab? Ayah, kalau mereka itu sudah saling berpelukan, saling berdekapan, saling berciuman bibir, mungkin sekali mereka itu sudah saling bermain cinta, tidur bersama....!” kata Tek Ciang marah.
“Hushh....! Tahan mulutmu. Pemuda itu pun sungguh jahat dan kurang ajar. Kalau benar dia itu keponakan Suma Hui, kenapa dia berani bermain gila dengan bibi sendiri? Tek Ciang, kita adalah calon keluarga Suma-taihiap, dan engkau sendiri malah muridnya yang ditugaskan menemani nona Suma di rumah. Kini, pemuda itu datang mengacau, kita harus melindungi kehormatan calon isterimu. Aku sendiri yang akan menghajar dan membunuh pemuda tidak sopan itu. Di mana dia?”
Louw-kauwsu tentu saja marah dan khawatir sekali melihat bahaya kegagalan ikatan jodoh antara puteranya dan puteri Suma Kian Lee. Hal ini berarti akan hancurnya semua kebanggaan hatinya dapat berbesan dengan keturunan Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es yang amat terkenal itu.
“Tadi aku membayanginya dan dia bermalam di hotel Tong-an, kamar nomor lima yang berada di bagian kiri.”
“Baik, engkau jangan ikut-ikut. Malam ini akan kubereskan dia! Kukira itu satu-satunya jalan untuk membela kehormatan calon mantuku dan melenyapkan saingan untukmu. Nah, kau kembalilah ke rumah suhu-mu dan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.”
“Tapi, ayah....!” Tek Ciang yang merasa cemburu dan panas hatinya membantah karena sudah tertanam rasa tidak senang dan bahkan kebencian terhadap diri Suma Hui yang mengecewakan hatinya.
“Diam! Engkau harus mentaati perintahku. Ketahuilah bahwa aku melakukan semua ini demi masa depanmu sendiri, tahu?” Tek Ciang tidak berani membantah lagi, kemudian kembalilah dia ke rumah keluarga Suma.
Bagaimana pun juga Tek Ciang adalah seorang pemuda yang cerdik dan amat pandai menyembunyikan perasaan hatinya. Ketika sore hari itu Cin Liong datang dan dia pun diundang untuk makan bersama, dia duduk semeja dengan Cin Liong dan Suma Hui menikmati masakan gadis itu. Biar pun Cin Liong dan Suma Hui menjaga sikap mereka sehingga tidak menonjolkan kemesraan di antara mereka, namun Tek Ciang merasa sekali adanya kemesraan itu di dalam pandang mata, senyum dan suara mereka. Tentu saja hatinya terasa panas membakar, namun dia menekannya dan diam saja. Akan tetapi begitu selesai makan, dia pun berpamit dengan alasan untuk berlatih di dalam kamarnya.
Cin Liong bercakap-cakap dengan Suma Hui. Dia mengatakan bahwa dia akan tinggal beberapa hari saja di Thian-cin, karena kedatangannya itu hanya untuk menyampaikan berita tentang akan datangnya orang tuanya ke Thian-cin untuk mengajukan pinangan.
Mereka bercakap-cakap dengan santai dan tentu saja dengan mesra, seperti yang hanya dapat dirasakan oleh dua orang yang saling mencinta. Kekhawatiran yang timbul bahwa hubungan mereka akan ditentang oleh ayah gadis itu, dapat mereka lenyapkan dengan kebulatan tekad mereka bahwa apa pun yang akan terjadi, mereka berdua akan menghadapinya bersama dan takkan ada apa pun di dunia ini yang dapat menghalangi huhungan mereka dan niat mereka untuk menjadi suami isteri!
Senja telah berganti malam ketika Cin Liong meninggalkan rumah kekasihnya. Bagai mana pun juga, dia dan Suma Hui masih menjaga anggapan orang luar yang kurang baik sehingga pemuda itu bermalam di rumah penginapan. Dia pun tidak berani terlalu malam bertamu walau pun hatinya merasa berat untuk meninggalkan kekasihnya. Dia berjalan menuju ke rumah penginapan Tong-an dengan mulut tersenyum dan hati yang penuh rasa bahagia. Biar pun usianya sudah dua puluh sembilan tahun, namun baru dua kali inilah Cin Liong jatuh cinta.
Pertama kali, cintanya terhadap pendekar wanita Bu Ci Sian mengalami kegagalan karena cintanya tidak terbalas dan semenjak itu, dia tidak pernah mengalami jatuh cinta lagi sampai dia bertemu dengan Suma Hui. Maka, kebahagiaan yang terasa di hatinya membuat pemuda ini melenggang dengan senangnya, seperti seorang pemuda remaja mengalami cinta pertama saja.
Cin Liong adalah seorang jenderal muda yang namanya sudah amat terkenal di kota raja, di antara prajurit dan perwira, juga terkenal di dunia sesat, di antara para datuk yang menganggapnya sebagai seorang pendekar muda yang amat lihai, putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, rakyat tidak mengenalnya karena dia selalu pergi dengan pakaian preman, bagaikan seorang pemuda pelajar biasa. Hanya pada waktu memimpin pasukan sajalah maka ia berpakaian seragam seorang panglima. Kebiasaan berpakaian preman ini dilakukan karena memudahkan dia dalam tugasnya untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan rahasia.
Itulah sebabnya, walau pun Thian-cin sebuah kota yang tidak jauh letaknya dari kota raja, akan tetapi ketika pemuda ini melenggang menuju ke hotelnya, tidak ada yang mengenalnya sebagai Jenderal Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu.
Demikian pula Louw Kam atau Louw-kauwsu bersama dua orang pembantunya yang membayanginya sejak tadi, sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang dibayangi dan hendak diserang itu adalah seorang panglima kerajaan yang ternama, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir yang sakti. Andai kata Louw-kauwsu tahu akan hal ini, tentu dia akan menghitung sampai seribu kali sebelum dia berani menggunakan tindakan menyerang pemuda ini dan tentu akan menggunakan akal lain.
Penyerangan itu dilakukan ketika Cin Liong tiba di lorong yang gelap dan sepi itu. Ketika ada tiga orang laki-laki menyerangnya dari belakang dan kanan kiri, mempergunakan golok dan pedang. Cin Liong cepat mengelak, melompat ke depan, lalu membalikkan tubuhnya.
Penyerangan gelap merupakan hal yang tidak aneh baginya, bahkan dia sudah hampir terbiasa oleh peristiwa seperti ini. Dalam tugasnya, sudah sering kali dia menghadapi penyerangan gelap yang dilakukan oleh pihak lawan. Orang-orang ini tentu kaki tangan pemberontak, atau mata-mata yang mengenalinya dan yang berusaha membunuhnya dengan jalan membokong. Dia pun tidak merasa heran ketika melihat bahwa dia sama sekali tidak mengenal tiga orang ini.
Sementara itu, melihat betapa serangan mereka yang pertama itu dengan mudah dapat dielakkan lawan, Louw-kauwsu merasa kaget dan juga penasaran sekali. Tadinya sudah dibayangkannya bahwa pemuda itu akan dapat dirobohkan dengan sekali serang saja.
Maka dia pun lantas membentak marah, “Penjahat cabul perusak anak gadis orang, rasakan pedangku!” Dan dia pun sudah menyerang lagi dengan tusukan pedangnya ke arah dada Cin Liong.
“Wirrrrr....!”
Cin Liong mengelak lagi. Pemuda ini agak heran mendengar tuduhan orang. Biasanya, kalau dia diserang orang-orang secara menggelap, tentu ada hubungannya dengan tugas dan kedudukannya sebagai panglima. Akan tetapi sekali ini dia diserang orang dengan tuduhan menjadi penjahat cabul perusak anak gadis orang! Tentu saja dia menjadi penasaran sekali.
“Ehhh, nanti dulu, sobat. Kalian salah melihat orang!” bantahnya.
Akan tetapi, dua orang pembantu Louw Kam sudah menyerangnya dari kanan kiri, menggunakan golok mereka. Serangan mereka jelas adalah serangan untuk membunuh dengan gerakan yang cepat, kuat dan keji sekali. Dan memang dua orang ini adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang telah disewa oleh Louw Kam untuk membantunya membunuh pemuda yang dianggapnya menjadi penghalang dan pengacau besar itu.
Karena menghadapi serangan maut, Cin Liong tidak tinggal diam lagi. Cepat tubuhnya berkelebat ke belakang dan pada saat dua batang golok itu menyambar, dia bergerak seperti kilat ke depan sambil menggerakkan kaki kiri dan tangan kanannya.
“Bukkk! Dessss....!”
Dua orang itu terpelanting, golok yang berada di tangan mereka terpental dan mereka mengaduh-aduh kesakitan. Yang seorang tertendang patah tulang lututnya, dan orang ke dua terkena tamparan dan patah-patah tulang pundaknya.
Melihat ini, Louw Kam makin kaget dan juga makin penasaran. Dua orang pembantunya itu adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang walau pun tidak memiliki ilmu silat terlalu tinggi, akan tetapi cukup dapat diandalkan. Siapa kira dalam segebrakan saja mereka sudah roboh dan tidak berdaya menghadapi pemuda yang tadinya dianggap sebagai makanan lunak itu.
Karena sudah terlanjur, guru silat yang ambisius ini kemudian menyerang lagi dengan pedangnya. Cin Liong dapat mengenali jurus ilmu silat yang baik, jauh lebih baik dan lebih tangguh dibandingkan dua orang pertama tadi, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu orang ke tiga inilah pemimpinnya. Dia cepat mengelak dan membiarkan tusukan itu lewat di samping tubuhnya dan dengan perlahan dia mendorong dengan tangan kirinya. Louw Kam tak dapat menahan hawa dorongan dahsyat itu dan dia pun terjengkang!
Akan tetapi, Louw Kam sudah meloncat bangun lagi. Dia menjadi nekat. Kini dia tahu bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa hal ini tidak diselidiki lebih dahulu. Betapa bodohnya dia. Tentu saja seorang anggota keluarga Pulau Es memiliki kepandaian yang tinggi!
Kenekatan Louw Kam membuat dia dapat meloncat bangun dan segera menyerang lagi, kini menggunakan jurus-jurus dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Biar pun baru diserang beberapa kali, Cin Liong sudah dapat mengenali dasar gerakan silat Siauw-lim-pai ini, maka dia pun mengelak lagi, merasa ragu menjatuhkan atau melukai lawan.
“Nanti dulu, sobat. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai? Kenapa tanpa sebab engkau menyerangku?”
Makin jelaslah bagi Louw-kamsu bahwa pemuda ini benar-benar seorang ahli silat yang pandai sehingga dalam beberapa jurus saja sudah mengenal dasar ilmu silatnya. Dia merasa makin menyesal, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berterus terang. Terus terang sama saja artinya dengan membongkar rahasianya. Jalan satu-situnya hanyalah membunuh orang ini.
Dia menyerang lagi tanpa menjawab dan sekarang dia menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Pedangnya berdesing dan mengeluarkan sinar ketika menyambar ke depan, dibarengi bentakannya yang nyaring.
Cin Liong menjadi marah. Dia pun tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai ada pula yang murtad, di antaranya adalah mendiang Kaisar Yung Ceng sendiri. Maka tentu orang di depannya ini juga seorang murid Siauw-lim-pai yang telah murtad, atau bukan murid Siauw-lim-pai yang mencuri ilmu perguruan silat itu. Dia harus dapat membongkar rahasia penyerangan ini dan untuk itu, dia tidak akan membunuh lawannya.
“Bressss....!”
Serangan Louw Kam disambut oleh Cin Liong dengan sebuah tendangan kilat yang amat dahsyat dan membuat tubuh guru silat itu terlempar sampai empat meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah. Diam-diam guru silat itu merasa terkejut bukan main. Jika bukan seorang sakti, mana mungkin menghadapi serangan pedangnya tadi dengan tendangan yang membuatnya terlempar?
Dia merasa sakit pada iganya, maklum bahwa ada tulang iganya yang patah. Akan tetapi, tidak ada jalan lain baginya. Menyerah dan mengaku berarti akan mencelakakan namanya dan nama puteranya. Kalau sampai terdengar oleh Suma Kian Lee bahwa dia sudah mengajak dua orang pembunuh bayaran berusaha membunuh cucu keponakan pendekar itu, sungguh dia tak berani membayangkan apa yang akan menjadi akibatnya sehubungan dengan rencana perjodohan antara puteranya dan puteri pendekar sakti itu!
Satu-satunya jalan hanyalah melawan dan berusaha sedapat mungkin untuk membunuh pemuda ini. Dua orang kawannya sudah dapat bangkit kembali dan mereka kini sudah maju pula, biar pun dengan terpincang-pincang. Ternyata dua orang pembunuh bayaran itu juga memegang teguh janji mereka dan biar pun mereka sudah terluka, melihat betapa Louw-kauwsu melawan terus, mereka pun mencoba untuk membantunya.
Diam-diam Cin Liong merasa heran dan juga penasaran. Dia sudah menghajar orang-orang ini, akan tetapi mereka nekat terus. Apakah yang menyebabkan mereka begini nekat dan membencinya? Tentu ada sebabnya, dan mungkin juga hanya suatu kesalah pahaman belaka.
Maka, ketika mereka menerjang lagi, dia pun cepat bergerak dan mendorong mereka sampai mereka terlempar jauh ke belakang. Sekali ini, dua orang pembantu Louw Kam tidak dapat bangkit kembali, hanya mengaduh-aduh saja. Louw Kam sendiri mengalami patah tulang pundak kirinya dan dia maklum bahwa melawan terus tidak ada artinya.
Pemuda itu sungguh terlampau kuat untuk dilawan olehnya. Dan ia tahu bahwa pemuda itu agaknya hendak menangkapnya dan hendak memaksanya mengaku mengapa dia dan dua orang temannya melakukan serangan-serangan tanpa alasan. Hal ini membuat Louw Kam menjadi bingung sekali.
Tetapi tiba-tiba dia memperoleh jalan terbaik untuk menolong nama puteranya dan juga menjatuhkan fitnah buruk terhadap pemuda yang kini menjadi penghalang kebahagiaan puteranya ini. Melihat betapa kedua orang temannya menggeletak tidak jauh dari tempat dia roboh, cepat dia menggerakkan pedangnya. Dua kali dia menusuk dan pedangnya menembus jantung dua orang pembantunya itu. Darah muncrat-muncrat dan mereka berkelojotan dalam sekarat.
“Heiiii!” Cin Liong berseru kaget melihat perbuatan laki-laki murid Siauw-lim-pai itu. Dia melihat orang itu meloncat dan melarikan diri. Tentu saja dia tak mau membiarkan orang itu lari.
“Tunggu dulu, jangan lari!” bentaknya.
Dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah dapat menyusul. Akan tetapi, tiba-tiba Louw Kam membalik dan menggunakan pedang di tangannya menggorok leher sendiri.
“Celaka....!” Cin Liong berteriak.
Cepat kakinya menendang lengan yang memegang pedang. Namun karena perbuatan guru silat itu sama sekali tidak pernah diduganya, meski tendangan itu tepat mengenai lengan dan pedang itu terlempar, akan tetapi leher orang she Louw itu sudah tergorok hampir putus dan tubuh Louw Kam berkelojotan lalu tewas tak lama kemudian!
Sejenak Cin Liong termenung, memandangi tiga mayat itu dengan hati sedih. Banyak orang jahat memusuhinya, akan tetapi setiap kali dia merobohkan lawan, tentu dia mengenal siapa lawan itu dan apa sebabnya lawan menyerangnya. Akan tetapi, tiga orang ini menyerangnya tanpa alasan dan mereka mati bukan di tangannya. Mengapa mereka begitu nekat? Mengapa pemimpin mereka itu sampai tega membunuh kawan-kawan sendiri kemudian membunuh diri?
Hanya satu jawaban, yakni bahwa orang itu tentu menyimpan rahasia dan tidak ingin diketahui rahasianya, tidak ingin dikenal dan lebih baik mati dari pada menyerah dan tertangkap!
Cin Liong lalu pergi mengunjungi perwira yang menjadi komandan keamanan di kota Thian-cin. Ketika Cin Liong malam-malam datang ke rumah komandan ini dan kemudian memperkenalkan diri, tentu saja komandan itu terkejut bukan main dan dengan gugup melakukan penyambutan atas kedatangan Jenderal Kao Cin Liong, panglima muda yang amat terkenal dan yang datang dengan pakaian preman itu.
Cin Liong menceritakan tentang penyerangan ketiga orang itu. “Harap ciangkun suka melakukan penyelidikan, siapakah mereka itu dan mengapa pula mereka menyerangku mati-matian. Besok kutunggu laporanmu di hotel Tong-an.”
Coa-ciangkun, komandan itu, mengangguk-angguk. “Baik, Kao-goanswe, besok akan saya laporkan. Akan tetapi, apakah Kao-goanswe sebaiknya tidak bermalam saja di rumah kami? Dari pada di rumah penginapan umum itu....”
Akan tetapi Cin Liong menggoyang tangan. “Engkau tahu, aku lebih suka menyamar dan melakukan perjalanan dengan diam-diam untuk dapat melakukan pengamatan dan penyelidikan dengan mudah. Jangan beritakan tentang kehadiranku di kota ini.”
Walau pun kehadiran jenderal muda itu dirahasiakan sehingga tidak ada yang tahu, namun peristiwa itu diketahui umum dan menggegerkan kota Thian-cin. Louw Kam yang dikenal sebagai Louw-kauwsu, bersama dua orang yang dikenal sebagai pembunuh-pembunuh bayaran, telah tewas di tepi jalan tanpa diketahui siapa pembunuhnya!
Tentu saja Tek Ciang kemudian menjadi terkejut sekali dan pemuda ini menangisi jenazah ayahnya. Hanya dialah seorang yang tahu benar mengapa ayahnya tewas dan dia dapat menduga siapa pembunuh ayahnya itu. Akan tetapi, dia tidak dapat membuka mulut mengatakan kepada siapa pun juga karena hal itu akan membuka rahasia ayahnya yang hendak membunuh Cin Liong dan juga membuka rahasia dirinya sendiri.
“Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan kematian ayah kepada Kao Cin Liong itu, apa pun jalannya!” Begitulah dia berbisik dalam hati ketika dia menyembahyangi peti mati ayahnya.
Suma Hui yang mendengar berita itu pun terkejut sekali dan dara ini menyatakan duka citanya atas mala petaka yang menimpa diri ayah suheng-nya. Karena orang tuanya tak berada di rumah, ia pun mewakili mereka untuk datang melayat dan bersembahyang di depan peti mati guru silat Louw Kam. Dara ini tak tahu betapa selagi ia bersembahyang, sepasang mata Tek Ciang memandangnya dengan penuh rasa dendam dan kemarahan yang ditahan-tahan.
Sementara itu, pada keesokan harinya Cin Liong menerima laporan dari komandan Coa mengenai tiga orang itu. Akan tetapi, laporan itu hanya menjelaskan siapa adanya mereka.
“Kami tidak dapat mengetahui mengapa mereka itu menyerang paduka,” demikian kata komandan Coa. “Louw Kam adalah seorang duda, pekerjaannya guru silat, seorang murid Siauw-lim-pai yang belum pernah melakukan kejahatan. Sedangkan dua orang itu adalah dua orang pembunuh bayaran dan siapa pun akan mereka serang dan bunuh asalkan mereka diberi uang. Louw-kauwsu sudah tewas, kami tidak dapat mencari keterangan mengapa dia minta bantuan dua orang penjahat itu untuk menghadang dan menyerang paduka. Putera tunggalnya juga tidak tahu, apalagi karena sudah beberapa bulan ini putera tunggalnya tinggal bersama Suma-taihiap....”
“Suma-taihiap?” Cin Liong bertanya kaget. “Suma-taihiap siapa?”
“Pendekar Suma Kian Lee. Kabarnya, putera Louw-kauwsu itu menjadi murid Suma-taihiap dan memang ada jalinan persahabatan antara Suma-taihap dan Louw-kauwsu.”
“Ahhhhh....!” Cin Liong tidak bertanya lagi dan mengucapkan terima kasih. Kemudian pergilah dia bergegas ke rumah Suma Hui.
Gadis itu menyambutnya dengan berita yang mengejutkan itu. “Cin Liong, telah terjadi mala petaka hebat. Ayah Louw-suheng tewas terbunuh orang!”
Akan tetapi, bukan Cin Liong yang terbelalak kaget, sebaliknya malah Suma Hui yang memandang dengan mata terbelalak melihat kekasihnya itu tenang-tenang saja, bahkan menjawab, “Aku sudah tahu, Hui-moi, karena orang itu adalah aku sendiri.”
“Apa.... apa maksudmu....?”
Cin Liong menyambar tangan kekasihnya yang terasa agak dingin itu dan menariknya masuk ke dalam rumah. “Mari kita bicara di dalam.”
Setelah mereka berada di dalam rumah, Cin Liong kemudian menceritakan semua pengalamannya malam tadi sesudah meninggalkan rumah kekasihnya.
“Aku berusaha untuk mengetahui sebab-sebab mengapa mereka menyerangku kalang kabut tanpa alasan, dan aku sudah berhati-hati agar tidak sampai membunuh mereka. Maka aku hanya merobohkan mereka dengan mematahkan tulang pundak saja. Siapa kira, orang itu membunuh kedua orang temannya dengan tusukan pedang, kemudian melarikan diri. Pada saat aku mengejarnya, tiba-tiba dia menggorok leher sendiri. Aku menyesal tidak dapat mencegah kenekatannya itu. Komandan Coa yang kuperintahkan menyelidiki, juga tidak dapat menerangkan mengapa guru silat Louw itu mati-matian hendak membunuhku.”
Suma Hui merasa demikian kaget dan heran sehingga tak dapat berkata-kata sampai beberapa lamanya. Kemudian ia menarik napas panjang. “Sungguh mati kejadian itu amat aneh dan sukar dipercaya. Ketika komandan Coa itu datang dan bertanya kepada Louw-suheng pagi tadi, aku pun berada di sana melayat. Louw-suheng tidak dapat memberi keterangan apa-apa, karena dia pun sama sekali tidak tahu dan sudah empat bulan selalu berada di rumah ini.”
Cin Liong mengangguk akan tetapi alisnya berkerut karena dia ingat betapa siang hari kemarin, Tek Ciang membayanginya dari rumah ini sampai ke rumah penginapan! Ada sesuatu yang aneh pada sikap pemuda itu, pikirnya.
“Aku ingin dapat bicara dengan Louw Tek Ciang. Bagaimana pun juga, aku ingin mengetahui apa sebabnya ayahnya yang sama sekali tidak kenal denganku itu demikian membenciku dan ingin membunuhku, sampai ditebus dengan nyawanya sendiri. Tentu ada sebab-sebab yang amat penting di balik perbuatannya itu dan agaknya, tidak mungkin kalau puteranya tidak tahu.”
Suma Hui memandang khawatir. “Akan tetapi, suheng masih belum tahu bahwa yang menyebabkan kematian ayahnya adalah engkau! Apakah perlu hal itu diberi tahukan kepadanya?”
Cin Liong tersenyum dan memandang wajah kekasihnya, lalu memegang tangannya. “Hui-moi, kenapa engkau? Bukankah itu sudah seharusnya? Seorang gagah tidak akan memyembunyikan semua perbuatannya, bahkan berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Guru silat she Louw itu tewas bukan oleh tanganku, melainkan akibat membunuh diri karena tidak mau kutangkap. Dan serangan-serangan itu pun dimulai dari pihaknya terhadap diriku tanpa alasan. Betapa pun pahitnya, Louw Tek Ciang harus berani menghadapi kenyataan ini, dan kalau dia menganggap aku sebagai pembunuh ayahnya dan mendendam, dia bukan seorang berwatak gagah dan tidak patut menjadi suheng-mu!”
Suma Hui sadar dan ia pun mencengkeram tangan kekasihnya. “Engkau benar, Cin Liong, engkau benar dan memang seharusnya hal ini dibicarakan dengan terus terang kepadanya. Aku sungguh merasa heran sekali. Ayahnya adalah sahabat baik ayahku. Agaknya ayahku tidak akan keliru memilih sahabat.”
“Aku pun sudah mendengar pelaporan dari Coa-ciangkun bahwa Louw-kauwsu belum pernah melakukan kejahatan. Hal ini membuat aku semakin tertarik dan ingin tahu apa sesungguhnya yang menjadi sebab hingga dia membenciku. Apakah dia telah tersesat menjadi kaki tangan pemberontak? Dan ada satu hal lagi yang sangat mengganggu pikiranku. Sebelum roboh dan sebelum membunuh diri, orang itu pernah memakiku sebagai seorang penjahat cabul perusak gadis orang!”
“Ehhh....?” Suma Hui mengerutkan alisnya, menjadi makin heran dan tidak mengerti.
Kekasihnya dimaki penjahat cabul perusak anak gadis orang? Sungguh aneh, lucu dan membuat orang menjadi penasaran! Kekasihnya ialah seorang jenderal muda, seorang panglima muda yang terhormat, seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi dan gagah perkasa!
“Itulah sebabnya yang mendorongku untuk bicara dengan Tek Ciang. Mungkin dia dapat membantu memecahkan persoalan yang membingungkan ini.”
Terpaksa Cin Liong menunggu sampai upacara pemakaman jenazah Louw Kam selesai dan dia pun memperpanjang tinggalnya di Thian-cin selama beberapa hari lagi. Setelah acara penguburan selesai dan Tek Ciang kembali ke rumah suhu-nya dengan pakaian berkabung, Cin Liong datang menemuinya dengan perantaraan Suma Hui. Wajar Tek Ciang masih pucat ketika dia duduk berhadapan dengan Cin Liong dan Suma Hui.
“Louw-suheng, Cin Liong ingin bicara dengan jujur dan terbuka denganmu mengenai ayahmu,” Suma Hui memulai dengan percakapan yang amat tidak enak itu.
Tek Ciang mengangkat mukanya yang agak pucat, sejenak memandang kepada Cin Liong, kemudian menoleh kepada Suma Hui. “Sumoi, apa lagi yang dapat dibicarakan? Ayahku telah meninggal....,” suaranya gemetar dan matanya menjadi merah.
“Louw-susiok,” kata Cin Liong dengan sikap tenang. Dia tetap menyebut susiok untuk menghormati Suma Kian Lee, walau pun kekasihnya sudah menegurnya akan hal itu. “Apakah engkau tahu bagaimana meninggalnya ayahmu?”
Louw Tek Ciang memandang dan matanya mengandung kemarahan dan dendam. “Dia dibunuh penjahat, apa lagi yang perlu diketahui? Kalau aku dapat mengetahui siapa penjahat itu....!” Pemuda ini mengepal tinjunya dan pandang matanya menjadi beringas.
Tentu saja hati Suma Hui menjadi semakin tidak enak. Kalau saja bukan kekasihnya yang menghadapi urusan ini, tentu ia lebih baik pergi saja dan tidak usah menjadi saksi dalam perkara yang tidak enak ini.
“Susiok, ayahmu sama sekali tidak dibunuh penjahat. Ayahmu telah membunuh dirinya sendiri dengan menggorokkan pedangnya sendiri ke lehernya.”
Tek Ciang bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. “Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Karena akulah orangnya yang kau namakan penjahat tadi.”
Wajah itu semakin pucat dan matanya makin terbelalak. “Kau.... kau....? Kau pembunuh ayahku!” Dan pemuda itu sudah mengepal kedua tinjunya. Dia tentu sudah menyerang Cin Liong kalau saja Suma Hui tidak cepat berteriak menegurnya.
“Suheng, tenang dan duduklah lagi!”
Tek Ciang menoleh kepada sumoi-nya, kemudian menjatuhkan diri duduk kembali dan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya.
“Maaf, Louw-susiok, kalau aku mengejutkan dan mengguncangkan hatimu. Akan tetapi, engkau sebagai puteranya harus mendengarkan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Akulah orangnya yang semalam diserang oleh ayahmu tanpa sebab. Kemudian ayahmu menggunakan pedangnya membunuh dua orang temannya sebelum dia membunuh diri dengan pedangnya pula.”
“Aku sudah mendengar akan kematian ayah!” Tek Ciang memotong, menurunkan kedua tangannya dan wajahnya kini merah sekali, kedua pipinya basah air mata. “Kedua orang itu adalah penjahat atau dikenal sebagai orang jahat. Mungkin saja ayah membunuh mereka, kemudian ayah dibunuh orang yang lebih kuat!”
“Suheng! Cin Liong sudah mengatakan dengan terus terang. Ayahmu membunuh diri sendiri dengan pedangnya setelah membunuh dua orang itu. Keterangan Cin Liong dapat kau percaya sepenuhnya. Akulah yang menanggung bahwa keterangannya itu benar dan tidak bohong.”
Sejenak Tek Ciang menentang pandang mata sumoi-nya, kemudian menunduk sambil berkata penasaran, “Akan tetapi ayah adalah seorang yang baik. Sungguh tak masuk di akal kalau dia membunuh dua orang yang dikatakan temannya sendiri kemudian dia membunuh diri.”
“Untuk hal itu ada penjelasannya. Harap kau suka dengarkan semua ceritaku, susiok, kemudian kau coba memberi penafsiran mengapa ayahmu berbuat demikian. Kemarin malam, ketika aku pulang dari sini dan tiba di lorong sunyi dan gelap, tiba-tiba ada tiga orang menyerangku. Dua orang menggunakan golok dan seorang lagi, yaitu ayahmu, menggunakan pedang. Aku mengelak dan berusaha bertanya, mengatakan bahwa mungkin mereka salah mengenal orang. Akan tetapi mereka bertiga terus mendesakku dan mengirim serangan bertubi-tubi yang berbahaya. Terpaksa aku menyerang dan membalas. Aku bermaksud merobohkan dan menangkap mereka hidup-hidup karena aku ingin tahu mengapa mereka menyerangku dan siapa pula adanya mereka. Akhirnya aku dapat merobohkan dua orang pemegang golok yang rendah ilmu silatnya. Aku dapat mengenal jurus-jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang dimainkan ayahmu sehingga aku menjadi semakin heran karena Siauw-lim-pai adalah perkumpulan para pendekar yang menjadi sahabat-sahabatku. Beberapa kali aku membuat ayahmu tak berdaya dan roboh tanpa melukainya terlalu berat. Tiba-tiba saja ayahmu menusukkan pedangnya, membunuh kedua orang pengeroyok yang telah roboh terluka itu tanpa aku sempat menduganya, dan dia melarikan diri. Aku mengejarnya dan dia lalu menggorok leher sendiri. Sayang aku tidak sempat mencegahnya. Nah, demikianlah kejadian yang sebenarnya, Louw-susiok. Sekarang, setelah engkau mendengar semua itu, dapatkah engkau mengetahui atau menduga-duga apa yang menyebabkan ayahmu marah dan membenciku, lalu menyerang dan hendak membunuhku?”
Sebetulnya, tanpa mendengarkan cerita itu pun Tek Ciang sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Dia merasa berduka sekali akan kematian ayahnya, dan merasa menyesal bahwa ayahnya telah mengorbankan diri dan nyawa untuknya. Biar pun dia suka menjadi murid Suma Kian Lee, dan lebih senang lagi menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi kalau harus mengorbankan nyawa ayahnya, sungguh dia tidak rela!
Dan kini, melihat orang yang menyebabkan kematian ayahnya berada di depannya, bahkan menjadi saingannya dan agaknya akan menjadi penghalang perjodohannya dengan Suma Hui, bagaimana dia tidak akan membencinya setengah mati?
Pertanyaan Cin Liong tak dapat dijawabnya dan dia menggeleng kepala. “Aku tidak tahu mengapa ayah berbuat demikian, yang kutahu benar adalah bahwa ayah seorang guru silat yang baik dan menjadi sahabat baik dari suhu.”
Dengan ucapan itu dia hendak mengingatkan Suma Hui bahwa ayahnya adalah sahabat ayah gadis itu dan bahwa ayahnya orang baik, maka kenyataan ini dapat dipakai untuk menyudutkan pemuda itu, sebagai peringatan bahwa kalau ayahnya yang baik sampai terbunuh, kemungkinan besar pemuda itulah yang jahat!
Mendengar jawaban itu, Cin Liong lalu mempergunakan pegangannya yang terakhir. “Dengarlah, Louw-susiok. Sebelum ayahmu meninggal, dia pernah memaki aku sebagai penjahat cabul perusak anak gadis orang. Nah, apakah ucapan ayahmu itu sama sekali tidak mengingatkan engkau akan sesuatu? Barangkali ayahmu bermusuhan dengan seseorang? Ataukah engkau mengenal seorang penjahat cabul yang dimusuhi ayahmu, seorang penjahat yang suka merusak kaum wanita dan membuat ayahmu marah dan mendendam kepadanya?”
“Ahhh....! Itukah sebabnya?” Kini Tek Ciang bangkit berdiri lagi dan menggebrak meja di depannya. “Aku ingat sekarang! Memang dalam pertemuan terakhir, beberapa hari yang lalu, ayah pernah bercerita bahwa di kota ini terdapat seorang penjahat cabul, seorang jai-hwa-cat dan ketika bertemu denganmu.... hemmm, kau Cin Liong, mengapa ayahku memakimu penjahat cabul? Siapa tahu penjahat cabul yang berkeliaran di kota ini adalah engkau?”
“Suheng, jangan menuduh sembarangan!” Tiba-tiba Suma Hui membentak suheng-nya dengan muka merah karena marah.
Akan tetapi Cin Liong hanya tersenyum “Maafkan dia, Hui-moi. Dia terdorong oleh perasaan dendam dan duka.”
“Louw-suheng, buang jauh-jauh pikiran yang tidak sehat itu. Engkau belum mengenal siapa adanya Kao Cin Liong. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong, panglima muda di kota raja yang menjadi kepercayaan sri baginda kaisar, berkedudukan tinggi dan dia pun putera tunggal dari pendekar sakti Si Naga Sakti Gurun Pasir. Nah, apakah engkau masih mempunyai kecurigaan bahwa dia adalah seorang penjahat cabul?”
Pemuda itu duduk bengong, mulutnya ternganga dan matanya terbelalak. Tahulah dia bahwa dia dan ayahnya telah menghantam batu karang! Siapa yang mengira bahwa pemuda ini adalah seorang panglima kota raja dan bahkan putera pendekar sakti yang amat ditakuti semua orang itu? Ayahnya tentu saja bukan lawan pemuda ini dan tidak heran kalau ayahnya membunuh diri karena khawatir tertawan dan kemudian terbuka rahasianya.
“Ahhh....!” keluhnya lirih. “Maafkan, aku tidak menuduh siapa-siapa, akan tetapi agaknya ayah menyangka engkaulah penjahat itu.”
Cin Liong mengangguk-angguk. “Hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang tersisa. Mungkin memang ada penjahat cabul berkeliaran di sini dan ayahmu belum mengenal mukanya, lalu menyangka aku, atau memang ada kemiripan wajah antara penjahat itu dan aku atau....” Cin Liong berhenti.
“Atau kemungkinan apa lagi?” Suma Hui mendesak.
“Tidak ada lagi,” kata Cin Liong menahan diri karena dia tadi teringat akan sikap aneh Tek Ciang yang membayangi kemarin.
“Bagaimana pun juga, penjahat cabul itulah yang menjadi biang keladi kematian ayah!” teriak Tek Ciang. “Aku tak akan tinggal diam dan setiap malam aku akan mencoba melanjutkan usaha ayah, mencari jejaknya.”
Suma Hui dan Cin Liong tak dapat mencegah dan pemuda itu memang benar-benar setiap malam keluar rumah dan baru pada pagi harinya pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu. Tek Ciang melakukan hal ini sama sekali bukan karena dia percaya adanya penjahat cabul yang berkeliaran, melainkan hal itu dilakukan karena kecerdikannya.
Dia tahu bahwa penjahat cabul itu tidak ada dan bahwa ayahnya memaki Cin Liong saking marahnya melihat Cin Liong sebagai penghalang perjodohannya dengan Suma Hui. Cin Lionglah yang dimaki ayahnya sebagai penjahat cabul yang hendak merusak Suma Hui! Akan tetapi, untuk mempertebal kesan di hati Suma Hui dan Cin Liong bahwa memang ayahnya tidak punya rahasia lain lagi dan bahwa benar ada penjahat cabul, maka dia pun berpura-pura mencari penjahat cabul itu setiap malam!
Sebenarnya, ke manakah perginya pemuda ini setiap malam? Dia pergi ke tempat sunyi di luar kota Thian-cin, di dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan duduk melamun sampai kantuk membuatnya tertidur di tempat itu pula. Pada malam ke tiga, selagi dia duduk melamun, dia mendengar suara orang berdehem di bagian belakang kuil.
Tek Ciang terkejut sekali. Akan tetapi dia bukanlah seorang penakut, apalagi setelah dia merasa menjadi murid pendekar sakti Suma Kian Lee. Dia melompat berdiri dan cepat menuju ke ruangan belakang. Sinar bulan memasuki ruangan itu dari atap yang sebagian besar telah berlubang dan rusak. Dan di bagian belakang kuil itu, di ruangan sembahyang yang lantainya sudah disapu bersih, dia melihat seorang laki-laki duduk bersila! Diam-diam dia merasa heran bukan main. Kapan datangnya orang ini dan kalau baru saja datang, mengapa dia tidak mendengar kedatangannya?
Laki-laki itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak ganteng dan pakaiannya juga rapi dan serba baru. Di dekatnya terdapat sebatang dupa yang masih mengepul dan bau harum aneh kini tercium oleh Tek Ciang. Agaknya angin datang dari arah depan kuil sehingga asap hio wangi itu terbang ke arah belakang. Kalau terjadi sebaliknya, tentu sejak tadi dia mencium bau harum ini karena dupa itu telah terbakar setengahnya lebih. Dan di sebelah kanannya terdapat pula sebuah karung besar terbuat dari sutera yang isinya entah apa akan tetapi besarnya sama dengan tubuh seorang manusia.....
Komentar
Posting Komentar