KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-14
Louw-kauwsu sering kali lewat di depan rumah keluarga Suma dan karena kakek ini ingin sekali agar puteranya jangan sampai ‘gagal’ menjadi mantu pendekar sakti Suma Kian Lee, maka berlawanan dengan kekerasaan hatinya sendiri dia pun diam-diam membisikkan urusan pertalian jodoh itu kepada puteranya!
“Tek Ciang, engkau harus pandai-pandai membawa diri. Ketahuilah, engkau bukan saja telah diangkat menjadi murid oleh Suma-taihiap, akan tetapi juga bahkan telah diangkat menjadi calon mantu, berjodoh dengan Suma-siocia. Akan tetapi hal ini masih belum diresmikan, maka engkau pun pura-pura tak tahu sajalah. Aku menceritakan padamu agar engkau pandai-pandai membawa diri.” Demikianlah bisikannya dan mendengar ini tentu saja Tek Ciang menjadi semakin girang.
Dan pemuda ini memang terlalu amat cerdik untuk dapat terpeleset oleh tindakan yang kurang hati-hati maka dia selalu bersikap penuh hormat dan sopan terhadap Suma Hui sehingga tiada alasan sedikit pun juga bagi dara ini untuk merasa tidak suka kepada suhengnya ini. Maka dengan sungguh-sungguh Suma Hui juga memberi petunjuk-petunjuk kepada suhengnya ini sehingga Tek Ciang dapat melatih dasar sinkang itu dengan baik.....
********************
“Hyaaaaatttt, ahh…! Hyaaaaatttt, ahh…!”
Lengkingan ini terdengar berkali-kali, menggema di sekeliling tempat yang amat sunyi itu, dari bagian belakang sebuah pondok yang berdiri terpencil di bukit rimbun itu. Itulah bukit Pegunungan Ci-lian-san yang terdapat di perbatasan Sin-kiang dengan Cing-hai.
Sebuah pondok kayu yang nampak masih baru di antara puing-puing banyak bangunan yang pernah kebakaran. Dan pondok ini memang baru saja dibangun oleh Hek-i Mo-ong yang dibantu oleh muridnya yang baru, yaitu Suma Ceng Liong!
Puing-puing itu adalah bekas sarang Hek-i-mo-pang, yaitu Perkumpulan Iblis Baju Hitam yang pernah dipimpinnya akan tetapi yang dihancurkan oleh tiga orang pendekar pada waktu itu, ialah Bu Ci Sian, Kam Hong, dan Sim Hong Bu, bahkan kemudian bekas sarang itu dibakar oleh rakyat yang tinggal di bawah gunung.
Karena tempat itu sunyi dan indah, Hek-i Mo-ong mengajak muridnya tinggal di situ, membangun sebuah pondok kayu yang cukup kuat biar pun sederhana dan mulailah dia melatih ilmu-ilmu yang dahsyat kepada muridnya yang baru berusia sepuluh tahun lebih itu.
Lengkingan nyaring berulang-ulang yang terdengar dari belakang pondok itu adalah lengking suara Ceng Liong! Dan kalau ada orang yang berani melongok ke dalam tanah daratan di belakang pondok itu, tentu dia akan bergidik. Akan tetapi siapa yang berani mengunjungi tempat itu?
Sebelum Hek-i Mo-ong pulang ke situ pun tiada orang yang berani mendekat. Rakyat yang membakar sarang itu hanya melampiaskan dendam mereka terhadap gerombolan yang sudah banyak mengganggu mereka itu. Akan tetapi setelah membakar, mereka pun cepat-cepat pergi, tak berani berlama-lama di situ apalagi saat mereka mendengar berita bahwa Hek-i Mo-ong sendiri tidak nampak mayatnya di antara anak buahnya, berarti bahwa iblis itu masih belum mati. Maka yang tinggal di tempat mengerikan itu hanyalah puing bersama tulang-tulang dan tengkorak anak buah Hek-i-mo-pang yang berserakan di tempat yang kini menjadi tanah datar, di belakang pondok batu itu.
Apakah yang sedang dilakukan oleh guru dan murid di belakang pondok itu? Mereka sedang berlatih dengan cara yang aneh dan mengerikan. Hek-i Mo-ong sendiri nampak sedang bersemedhi dengan cara yang aneh, yaitu dengan jungkir balik. Semedhi jungkir balik ini memang tidak mengherankan dan sudah banyak dilakukan orang, yaitu dengan kepala di atas tanah, kedua kaki lurus ke atas, kedua tangan menopang kepala.
Semedhi seperti ini amat baik untuk melancarkan jalan darah, untuk memperbanyak dan memperlancar jalannya darah ke dalam kepala untuk memulihkan kembali ketidak seimbangan antara hawa Im dan Yang di dalam tubuh. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong itu lain dari pada yang lain.
Kepalanya memang di bawah dan kedua kakinya tegak lurus ke atas, tetapi kepalanya tidak berada di atas tanah, melainkan di atas sebuah tengkorak! Dan kedua lengannya bersedakap di depan dadanya, dan dia pun tidak berjungkir balik dengan diam saja, melainkan tubuhnya yang berjungkir balik itu berloncatan! Kepalanya itu meloncat dan hinggap di atas sebuah tengkorak lainnya dan demikian seterusnya, berpindahan dari tengkorak yang satu ke tengkorak yang lain.
Semuanya terdapat sembilan buah tengkorak yang diletakkan di atas tanah dengan membentuk garis bintang Sim-seng (Bintang Hati) yang terdiri dari tiga titik dengan tiga buah tengkorak dan bintang Jui-seng (Bintang Mulut) yang terdiri dari enam buah tengkorak. Dia berpindah-pindah dengan berloncatan seperti itu, dan terdengar suara dak-duk-dak-duk saat kepalanya bertemu dengan sebuah tengkorak berikutnya, seperti seorang anak kecil bermain loncat-loncatan.
Tak jauh dari situ, Ceng Liong juga berlatih dengan ilmu pukulan yang diajarkan gurunya. Setiap kali berteriak “hyaaaaaatt!” dia berlari menyerbu ke arah sepotong tulang, baik itu tulang kaki atau tengkorak atau tulang-tulang lainnya, dan begitu tiba dia berteriak “ahh!” dan tangannya dengan jari-jari terbuka, agak melengkung seperti cakar, mencengkeram ke arah tulang-tulang itu. Dan tulang-tulang itu pun berlubang! Nampak lubang-lubang kecil bekas cengkeraman jari-jari tangannya!
Itulah Ilmu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang sangat keji karena selain jari-jari tangan itu dilatih untuk dapat menembus tulang, juga serangan jari itu membawa hawa beracun yang lama-lama terkumpul dari hawa dalam tengkorak-tengkorak dan tulang-tulang mayat itu ketika berlatih! Meski masih kecil, Ceng Liong adalah putera Pendekar Siluman Kecil dan cucu Pendekar Super Sakti, sejak kecil sudah digembleng dengan hebat dan lebih dari itu, dia telah menerima warisan sumber tenaga sakti dari mendiang kakeknya. Oleh karena itu, kini mudah saja bagi Hek-i Mo-ong untuk menggerakkan sumber tenaga sakti itu dan mempergunakannya untuk mempelajari ilmu-ilmu sesat darinya. Tentu saja Ceng Liong belum tahu apa artinya ilmu bersih dan ilmu kotor, hanya merasa suka kalau diberi pelajaran ilmu-ilmu baru yang aneh dan dahsyat.
Agaknya kakek iblis itu telah merasa cukup berlatih dengan loncatan-loncatan itu, maka tiba-tiba tubuhnya meloncat agak tinggi dan membuat poksai (salto), terus turun dan kini dia berdiri dengan biasa sambil tersenyum memandang kepada muridnya yang berlatih itu. Kakek itu nampak mengerikan sekali. Tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa itu nampak kuat dan kokoh. Pakaian sampai ke sepatunya serba hitam hingga rambutnya yang putih nampak menyolok.
“Cukup, Ceng Liong. Sekarang engkau harus membantuku melakukan latihan yang amat penting.” Berkata demikian, kakek ini lalu mengumpulkan tengkorak-tengkorak di tempat itu dan mulai menumpuki tengkorak-tengkorak itu dengan cara-cara tertentu, bersusun teratur dengan tengkorak-tengkorak itu seperti saling mengisap tengkuk tengkorak di atasnya dan semua terlentang. Paling bawah diatur sepuluh buah, lalu di atasnya sembilan buah, terus delapan buah, dan seterusnya setiap tingkat berkurang satu sampai paling atas hanya sebuah tengkorak saja.
“Latihan bagaimana, Mo-ong ?” Ceng Liong bertanya.
Memang anak ini tidak menyebut suhu kepada gurunya, melainkan menyebut Mo-ong (Raja Iblis) begitu saja karena dia memang sudah berjanji bahwa dia mau menjadi murid akan tetapi tidak mau menyebut suhu dan tidak mau mempelajari kejahatan. Dan bagi seorang datuk kaum sesat yang berwatak aneh seperti Hek-i Mo-ong, sebutan Mo-ong sebaliknya dari pada suhu ini justru menggembirakan hatinya. Makin aneh keadaannya, makin sukalah datuk ini, dan dia akan berbangga kalau orang-orang lain mendengar bahwa muridnya menyebutnya Mo-ong begitu saja, tanda keanehan mereka yang lain dari pada orang lain!
“Aku hendak berlatih Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun) bagian yang paling akhir. Selama aku berlatih, keadaan diriku kosong dan sama sekali tidak berdaya andai kata ada musuh datang menyerang. Dengan pukulan sederhana saja aku bisa mati! Oleh karena itu, engkau harus berjaga-jaga dan engkau lindungi aku selama aku berlatih. Ingat, selama hawa api itu masih di luar badan dan belum kutarik kembali, berarti aku masih tak berdaya dan engkau harus melindungiku dari serangan lain dari luar.”
“Tapi, siapakah yang akan berani menyerangmu, Mo-ong?”
“Memang tidak ada, akan tetapi siapa tahu? Di dunia ini lebih banyak musuh dari pada sahabat. Dan siapa tahu mala petaka datang selagi aku berlatih. Kau jagalah baik-baik dan hentikan latihanmu.”
“Baik, Mo-ong. Aku akan menjagamu,” anak itu berjanji.
Ia lalu berdiri di bawah pohon tak jauh dari timbunan tengkorak itu, memandang dengan hati tertarik sekali karena dia tahu bahwa gurunya itu memang amat lihai dan memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh.
“Nah, kau siaplah!” kata Hek-i Mo-ong.
Dia sendiri lalu mengatur pakaiannya, menggulung lengan bajunya, mempererat ikat pinggang, membetulkan ikatan pita rambutnya, lalu dia berdiri tegak dan mengambil napas dalam-dalam sampai beberapa lamanya. Kemudian, tiba-tiba saja tubuhnya itu meloncat ke atas tumpukan tengkorak, berjungkir balik dan kepalanya hinggap di atas tengkorak yang berada di tumpukan paling atas. Oleh karena tengkorak ini, seperti tengkorak-tengkorak yang lain, menghadap ke atas, maka mulut tengkorak itu seperti mengecup tengkuknya.
Setelah tubuhnya yang berjungkir balik itu tegak lurus dan sedikit pun kakinya tidak bergoyang, kedua lengannya lalu bersedakap seperti tadi. Terdengar dia bernapas dalam dan keras, makin lama suara napasnya semakin keras mendesis-desis dan tak lama kemudian, Ceng Liong melihat betapa ada uap putih perlahan-lahan keluar dari mulut kakek itu yang terbuka!
Dan dia yang berdiri di sebelah kiri gurunya dalam jarak hampir tiga meter sudah mulai merasakan adanya hawa panas! Uap putih itu ternyata tidak melayang pergi, melainkan berkumpul di depan mulut, perlahan-lahan melayang maju dan makin memanjang, ada kalanya tertarik kembali mendekati mulut.
Ceng Liong memandang dengan penuh perhatian. Biar pun dia masih kecil, namun sudah banyak melihat ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan dia pun telah mempelajari teori-teori ilmu yang tinggi dari Pulau Es. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu keluarganya juga amat tinggi dan di antara ilmu-ilmu itu terdapat pula penggunaan hawa sinkang yang panas, yaitu Hwi-yang Sinkang yang dapat membakar dan mencairkan es. Akan tetapi, hawa tenaga sakti itu hanya dipergunakan melalui gerakan pukulan. Dan Raja Iblis ini menggunakan hawa sakti itu melalui pernapasannya, dikeluarkan dari dalam tubuh berupa uap panas yang langsung dipergunakan untuk menyerang musuh!
Kini, uap putih yang tebal itu makin lama semakin tebal dan semakin panjang, sampai melayang lebih dari satu meter dari mulut, akan tetapi tidak pernah terlepas dari mulut yang terbuka itu. Kalau uap itu sampai dapat mencapai dua meter lebih, baru akan menjadi senjata yang amat berbahaya bagi lawan.
Dan agaknya, dalam latihan ini, Hek-i Mo-ong mengerahkan banyak tenaga. Tubuhnya mandi peluh dan napasnya mulai terengah. Padahal, uap itu baru melayang sejauh satu setengah meter. Terpaksa dia menghentikan dorongan dari dalam itu dan uap itu kini berhenti dan tidak bergerak, nampak aneh karena seperti benda keras saja.
Pada saat itu, tiba-tiba telinga Ceng Liong mendengar gerakan ringan dari belakangnya dan munculah seorang kakek berpakaian seperti tosu dengan rambut digelung ke atas. Tosu ini membawa pedang di punggungnya dan mukanya merah sekali. Usianya ada enam puluhan tahun. Selain tosu ini, Ceng Liong masih melihat berkelebatnya banyak bayangan orang di sekitar tempat itu. Tentu saja dia bersikap waspada dan siap sedia melindungi gurunya.
Mula-mula tosu itu nampak kaget dan heran, akan tetapi setelah dia mengenal muka Hek-i Mo-ong, matanya segera mendelik, mulutnya mengeluarkan seruan tertahan dan tiba-tiba saja dia mengirim serangan, pukulan yang dahsyat dilayangkannya ke arah punggung Raja Iblis itu!
“Desss....!”
Tubuh tosu itu terhuyung ke belakang dan dia memandang terbelalak kepada anak berusia sepuluh tahun yang tiba-tiba menangkis pukulannya tadi dan membuatnya terhuyung! Hampir saja dia tidak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Dia adalah seorang yang memiliki sinkang kuat, dan ketika anak kecil tadi menangkis, dia merasa adanya hawa sakti yang amat kuat menolaknya. Dia terhuyung dan anak itu hanya mundur dua langkah, tanda bahwa dia kalah kuat!
Tentu saja dia menjadi penasaran dan marah, dan menduga bahwa tentu anak ini murid Hek-i Mo-ong. Tidak terlalu mengherankan kalau Raja Iblis itu memiliki murid kecil yang sudah begini lihai, dan sebelum membunuh iblis itu dia harus lebih dulu menyingkirkan anak ini. Akan tetapi, bagaimana pun juga, di depan banyak orang dia masih merasa malu untuk mempergunakan pedangnya. Maka tanpa banyak cakap, dia lalu menerjang maju dan menyerang Ceng Liong.
Ceng Liong mengelak, menangkis dan membalas. Dia mainkan Iimu Silat Sin-coa-kun yang pada waktu itu merupakan satu-satunya ilmu silat dari keluarganya yang sudah agak matang dilatihnya. Maka, untuk berkali-kali, tosu itu merasa terheran-heran karena serangannya luput dan tertangkis, bahkan anak itu dapat mengirim serangan balasan yang cukup cepat.
Bagaimana pun juga, Ceng Liong hanya seorang anak kecil berusia sepuluh tahun. Gerakannya belum mantap, lengannya masih terlalu pendek dan biar pun dia sudah mewarisi tenaga sakti kakeknya, namun dia belum menguasainya benar-benar sehingga belum dapat mempergunakan sumber tenaga itu dengan baik. Maka, belasan jurus kemudian, dia mulai dihajar tunggang-langgang oleh tamparan, pukulan dan tendangan tosu itu.
“Plakkk!”
Keras sekali pukulan sekali ini yang mengenai dada Ceng Liong, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi, bulu tengkuk tosu itu meremang ketika dia melihat anak itu meloncat bangun kembali. Padahal pukulannya tadi amat keras dan akan dapat mencabut nyawa seorang lawan yang cukup tangguh! Akan tetapi, Ceng Liong merasa agak pening dan tahulah anak ini bahwa keadaan gurunya terancam bahaya. Kalau orang-orang lain yang kini sudah berdiri mengepung tempat itu turun tangan, tak mungkin dia dapat melindungi gurunya.
“Mo-ong, sadarlah, bantulah! Sadarlah kalau engkau tidak ingin mati!” Ceng Liong mulai berteriak-teriak menyadarkan gurunya.
Teriakannya itu tentu saja membuat si tosu dan orang-orang lain merasa terheran-heran. Tosu itu pun meragu mendengar seruan anak itu. Tidak mungkin murid si raja iblis kalau menyebut kakek itu Mo-ong begitu saja. Bagaimana pun juga, dia khawatir kalau-kalau Raja Iblis itu sadar dan tentu tidak akan mudah menyerangnya. Maka dengan gemas tosu ini pun melakukan serangan dahsyat sekali.
“Bresss....!”
Tubuh Ceng Liong kini terlempar sampai empat meter lebih terkena tendangan kilat tosu itu. Tubuhnya terbanting keras dan sebelum anak itu sempat bangkit, tosu tadi telah tiba di depannya dan dengan ganas tosu itu mengirim pukulan ke arah kepala Ceng Liong!
Anak itu maklum akan datangnya bahaya maut, maka dia pun teringat akan ilmu yang baru saja dilatihnya, yaitu Coan-kut-ci. Maka dia mengangkat tangan kanan menyambut pukulan itu dengan cengkeraman tangannya.
“Crottt....! Aughhh....!”
Tosu itu terkejut bukan main. Karena dia kuat, maka jari-jari tangan Ceng Liong tidak sampai melubangi tulang lengannya, akan tetapi kulitnya robek dan dagingnya terluka sedikit mengeluarkan darah. Bukan main marahnya dan dia pun mencabut pedangnya. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dan sebuah tengkorak menyambar ke arah kepalanya dengan kecepatan dahsyat dan mendatangkan angin menyambar kuat.
“Trakkk....!”
Tosu itu mengggerakkan pedangnya menangkis. Dia berhasil menangkap tengkorak itu yang runtuh ke atas tanah, akan tetapi dia sendiri pun hampir saja terjengkang saking kerasnya tenaga sambitan tadi ketika bertemu dengan tangkisannya. Dia pun terkejut dan memandang ke arah Hek-i Mo-ong yang ternyata kini telah berdiri di atas tumpukan tengkorak dengan kaki di bawah dan tadi dia mengunakan kakinya untuk menendang sebuah tengkorak yang melayang ke arah tosu itu.
Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tidak memperhatikan tosu itu, melainkan memandang kepada beberapa orang yang memimpin pengepungan itu dan berdiri menghadapinya. Pada saat itu, Ceng Liong juga sudah menghampiri gurunya dan berdiri di dekat tumpukan tengkorak.
“Huh, bukankah Thong-ciangkun yang datang ini? Dan juga bersama Thai Hong Lama dari Tibet, Pek-bin Tok-ong dari Go-bi dan agaknya tokoh-tokoh penting lainnya yang belum kukenal. Hemm.... hemm.... tokoh-tokoh besar berkumpul di sini dan mendatangi aku secara begini, ada keperluan apakah?” Hek-i Mo-ong menatap wajah mereka satu demi satu dan diam-diam dia pun terkejut karena banyak di antara mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Mau apa begini banyak orang sakti yang ia tahu adalah dari golongan sesat berkumpul? Kalau mereka ini terdiri dari para pendekar, tentu dia akan merasa khawatir karena kedatangan mereka tentu akan memusuhinya. Tapi mereka jelas datang dari golongan hitam bercampur dengan orang-orang yang sedang menduduki jabatan penting seperti Thong-ciangkun, maka hatinya pun tenang.
“Hek-i Mo-ong, aku datang sebagai utusan pribadi yang rahasia dari Gubernur Yong untuk mengundang para tokoh ini menghadap ke gedung beliau. Dan engkau termasuk seorang di antara para undangan itu untuk membicarakan urusan penting sekali. Maka dengan resmi aku atas nama Gubernur Yong mengundangmu, Hek-i Mo-ong, agar ikut bersama kami ke gedung gubernur.”
“Hemm, mana bisa begitu? Kalau ada urusan, katakanlah sekarang dan di sini. Tidak mungkin aku pergi menghadiri suatu undangan tanpa kuketahui urusannya, biar yang mengundang itu gubernur sekali pun!”
Thong-ciangkun, perwira tinggi yang menjadi pembantu gubernur dan panglima pasukan di wilayah barat ini adalah seorang perwira yang usianya sudah enam puluh tahun dan sudah lama dia mengenal Hek-i Mo-ong. Dulu sebagai ketua Hek-i-mo-pang, Raja Iblis ini memang sudah memiliki pengaruh yang besar di kalangan pembesar, bahkan ada hubungan baik antara dia dan Gubernur Yong, maka sekarang perwira itu maklum bahwa menghadapi seorang seperti Hek-i Mo-ong ini dia harus berhati-hati. Sambil tersenyum dia lalu berkata.
“Hek-i Mo-ong, saudara-saudara ini datang dari Go-bi-san, dari Tibet, dari Nepal dan dari Mongol. Mereka ini adalah sahabat-sahabat atau sekutu dari Yong-taijin. Maka engkau diundang untuk meramaikan dan memperkuat persekutuan ini agar kelak dapat memperoleh kemuliaan bersama.”
Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut, akan tetapi juga girang. Memang sudah menjadi niatnya untuk menentang kekuasaan Kaisar Kian Liong dan dia tahu bahwa kalau dia tidak mempunyai sekutu yang kuat, niat itu tidak akan mungkin berhasil. Baru menyerbu Pulau Es saja, biar pun dia sudah mengajak empat orang datuk lain yang lihai, dia telah kehilangan kawan-kawannya itu, yang tiga orang tewas yang seorang lagi entah lari ke mana!
Kini terbukalah kesempatan baginya dan tentu saja dia tidak mau melewatkannya begitu saja. Akan tetapi, dia adalah Hek-i Mo-ong dan di dalam persekutuan itu, dia harus dapat menjadi yang nomor satu atau setidaknya, menjadi pembantu gubernur yang paling berpengaruh dan lihai. Maka, dia harus pula memperlihatkan kelihaiannya di depan semua orang ini. Dia tersenyum kepada Thong-ciangkun.
“Baik, aku akan ikut menghadap. Akan tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu aku akan membuat perhitungan dengan tosu bau itu. Sebelum itu, aku tidak akan mau pergi.”
Dia menudingkan telunjuknya ke arah tosu yang tadi menyerangnya dan berkelahi dengan Ceng Liong. Tosu itu berdiri dengan muka pucat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh kebencian.
Thong-ciangkun memandang ke arah tosu itu dan alisnya berkerut. Tosu itu adalah Yang I Cinjin, seorang tosu perantau pertapa di daerah Pegunungan Himalaya, bukan dari golongan kaum sesat akan tetapi memiliki ambisi besar untuk membantu dan kelak memperoleh kedudukan tinggi yang mulia. Oleh karena kepandaiannya tinggi maka Gubernur Yong menghubunginya dan ingin menarik tenaganya untuk membantu, di samping pengetahuannya yang luas menguasai daerah Himalaya dari sekitar Tibet.
“Sungguh kami tidak tahu bahwa antara Yang I Cinjin dan engkau ada suatu urusan, Hek-i Mo-ong. Cinjin, mengapa engkau tadi menyerang Hek-i Mo-ong dan anak itu?”
“Iblis ini pernah membunuh guru dan suheng pinto, dan memaksa isteri suheng menjadi selirnya. Maka, apa pun akibatnya, hari ini pinto harus menebus hutang itu!” kata Yang I Cinjin.
Mendengar keterangan itu, mengertilah Thong-ciangkun bahwa dia tidak dapat turun tangan melerai atau mendamaikan. Permusuhan itu agaknya telah terlampau mendalam sehingga satu-satunya yang dapat mengakhiri hanyalah adu nyawa!
Maka dia pun melangkah mundur dan berkata, “Kami mempunyai urusan penting, tidak akan mencampuri segala urusan pribadi.”
Mendengar ucapan ini, para tokoh lain juga melangkah mundur dan hanya menonton dari jauh. Bagaimana pun juga demi untuk suksesnya persekutuan mereka, tentu saja mereka berpihak kepada orang yang lebih kuat, yang tentu akan merupakan tenaga yang lebih berharga bagi persekutuan mereka.
Hek-i Mo-ong menghampiri tosu yang mukanya pucat itu. “Ha-ha-ha, kiranya engkau adalah sute dari Yang Heng Cinjin dan murid dari Thian-teng Losu. Tidak ada perlunya menerangkan sebab-sebab urusan lama. Kalau engkau hendak menggali urusan lama dan membalas, majulah!”
Yang I Cinjin mencabut pedangnya dan nampak sinar berkelebat. Jelas dapat diduga bahwa pedangnya itu tentu sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tertawa mengejek dan menoleh kepada Ceng Liong yang juga ikut melangkah mundur dan menonton dengan jantung berdebar tegang dan gembira melihat gurunya akan bertanding dengan tosu yang sudah diketahui kelihaiannya itu.
“Heh, Ceng Liong, Coan-kut-ci yang kau mainkan tadi sudah baik, akan tetapi kurang kuat. Kau lihat baik-baik bagaimana harus mainkan Coan-kut-ci dan mengalahkan tosu bau ini!”
“Iblis busuk, lihat pedang!” Tiba-tiba tosu itu membentak.
Pedangnya diputar sedemikian cepat sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Semua orang memandang kagum. Memang tosu ini adalah seorang ahli pedang yang kenamaan dan kalau tadi dia tidak menggunakan pedang adalah karena sebagai seorang ahli pedang dia enggan menghadapi seorang bocah berusia sepuluh tahun dengan senjata yang ampuh itu. Akan tetapi sekali ini, ahli pedang itu berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, seorang datuk kaum sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi.
Sebelum menghadapi pedang lawan, Hek-i Mo-ong menggulung kedua lengan bajunya dan kini dengan kedua lengan telanjang dia menandingi pedang lawan. Hek-i Mo-ong menangkis, mengelak dan mempermainkan. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok pada saat kedua lengan itu menangkis pedang dan setiap kali menangkis dan pedang bertemu dengan lengan telanjang, tosu itu merasa betapa tangannya tergetar hebat dan hanya dengan pengerahan tenaga sajalah dia masih berhasil mempertahankan pedangnya sehingga tidak terlepas dari pegangannya.
Setelah membiarkan lawan menghunjamkan serangan sampai tiga puluh jurus tanpa dibalasnya, seakan memperlihatkan kepada semua yang menonton bahwa serangan-serangan itu sama sekali tiada artinya baginya, dan menyatakan pula bahwa dia sudah banyak memberi ‘hati’ dan kelonggaran kepada lawan, juga untuk mendemonstrasikan keunggulan dan kepandaiannya, tiba-tiba saja kakek itu berseru, “Ceng Liong, lihatlah Coan-kut-ci ini!”
Maka mulailah kakek ini mengerahkan tenaga dan kedua tangannya membentuk cakar, persis seperti ketika Ceng Liong berlatih tadi.
“Haaaiiiiittt.... ahh....!”
Tangan kirinya bergerak dan mencengkeram ke depan, ke arah pedang yang menusuk lambungnya. Lengan itu meluncur ke depan dan ketika tangannya yang membentuk cakar itu bertemu pedang, pergelangan tangannya bergoyang dengan kuat, tangannya mencengkeram dibarengi bentakan “ahh!” tadi.
“Krekkk!” Ujung pedang itu kena dicengkeram dan patah!
“Haaaiiiiittt.... ahh....!”
Tangan kanannya menyambar ke depan, sebelum dapat dihindarkan oleh tosu yang terkejut setengah mati melihat betapa pedang pusakanya dicengkeram patah itu, tangan kanannya sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang.
“Krakkk....!”
Tosu itu mengeluh. Ketika dia meloncat ke belakang, lengan kanannya terkulai karena tulang lengan itu sudah patah dan remuk, hanya tinggal kulitnya saja yang menahan sehingga lengan itu tidak buntung. Pedangnya terlepas dan jatuh ke atas tanah.
Kini tubuh Hek-i Mo-ong bergerak ke depan, mulutnya melengking.
“Haaaiiiiittt.... ahh....!”
Dan cengkeraman tangan kirinya menyambar ganas ke arah perut. Tosu itu maklum akan hebatnya cengkeraman tangan yang mengandung hawa mukjijat Coan-kut-ci itu, cepat mengelak ke samping. Cengkeraman itu luput, akan tetapi ternyata cengkeraman itu hanya merupakan pancingan karena sekarang cengkeraman tangan kanan sudah menyambar ke arah kepala lawan.
“Haaaiiiiittt.... ahh....!”
Dan cengkeraman tangan kanan itu menyambar dahsyat, tak dapat dielakkan lagi.
“Crotttt....!”
Lima jari-jari tangan kanan Hek-i Mo-ong amblas ke dalam kepala tosu itu. Tosu itu membalik, mulutnya terbuka dan mengeluarkan pekik aneh dan ketika Hek-i Mo-ong mencabut jari-jari tangannya, tubuh tosu itu mengejang lalu terkulai, jatuh terguling ke atas tanah. Terdapat lima lubang di kepalanya dari mana mengucur darah bercampur otak dan tosu itu tewas seketika.
Semua yang menyaksikan perkelahian itu bergidik ngeri. Bukan oleh pembunuhan itu karena mereka semua adalah orang-orang yang sudah biasa melihat perkelahian dan pembunuhan. Akan tetapi mereka ngeri menyaksikan ilmu cengkeraman maut yang mengerikan itu.
Mereka yang mengenal betapa lihainya pedang dari Yang I Cinjin, lebih-lebih merasa kagum bukan main dan tahu bahwa Raja Iblis itu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi. Tentu saja, orang-orang seperti Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong dan beberapa orang lagi dalam rombongan itu tidak menjadi heran. Bahkan Pek-bin Tok-ong tertawa sambil mengacungkan ibu jarinya.
“Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Coan-kut-ci itu, Mo-ong. Engkau semakin tua menjadi semakin lihai saja!”
“Omitohud!” kata Thai Hong Lama sambil merangkap jari-jari tangannya di depan dada seperti orang bersujud. “Coan-kut-ci itu memang ilmu yang hebat!”
Hek-i Mo-ong tertawa. “Hahh, pujian kalian itu kosong belaka, untuk menutupi kalian mentertawakan pukulanku tadi. Mana bisa dibandingkan dengan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Pemutus Otot dan Pelepas Tulang) dari Pek-bin Tok-ong atau ilmu pukulan Cui-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pengejar Arwah) dari Thai Hong Lama?”
“Heh-heh, itu masih harus dibuktikan, masih harus dibuktikan!” kata Pek-bin Tok-ong sambil terkekeh.
“Omitohud, mana yang lebih hebat, sukar untuk dapat dikatakan!” kata pula Thai Hong Lama dan ucapan itu pun mengandung arti bahwa dia tidak atau belum menerima kalah.
Thong-ciangkun lalu melangkah maju dan menjura. “Hek-i Mo-ong, setelah urusan pribadi selesai, kami mengundang dengan resmi untuk bersama kami berkunjung ke tempat pertemuan. Bagaimana, dapatkah undangan kami ini diterima?”
Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. “Baik, akan tetapi aku harus datang berdua dengan muridku ini. Bukankah begitu, Ceng Liong muridku?”
Ceng Liong mengangguk. Ia merasa bangga akan kemampuan gurunya yang demikian mudah mengalahkan tosu tadi dan dia merasa kagum akan kelihaian gurunya. “Memang harus begitu, Mo-ong. Aku tidak sudi ditinggal di sini sendirian saja!” Tentu saja semua orang merasa heran sekali mendengar ucapan bocah itu terhadap gurunya, demikian kasar tanpa hormat, bahkan menyebut gurunya Mo-ong begitu saja.
“Kalau begitu, marilah kita berangkat!” kata pula Thong–ciangkun.
Hek-i Mo-ong mengangguk dan menyuruh Ceng Liong berkemas membawa pakaian. Pada saat itu terdengar teriakan dan tangis orang. Kiranya seorang pemuda tanggung yang usianya tidak akan lebih dari tiga belas tahun telah berlutut dan menangisi mayat Yang I Cinjin, kemudian memondong mayat itu dan pergi dari situ. Sebelum pergi dia menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.
Peristiwa ini mengejutkan semua orang dan seorang di antara mereka yang berada di situ berkata, “Itu adalah muridnya....”
Mendengar ini, Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Hei, anak tikus, lihat dan ingat baik-baik muka Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong muridku ini. Aku tak akan membunuhmu, memberi waktu dan kesempatan kepadamu untuk kelak dapat datang mencari aku atau muridku ini, ha-ha-ha!”
Di dalam hatinya, Ceng Liong sungguh tidak setuju dengan sikap gurunya itu, akan tetapi karena ucapan itu sudah terlanjur dikeluarkan, dia pun hanya memandang kepada anak itu dengan penuh perhatian agar dia tidak akan mudah melupakannya kelak. Dia melihat sebuah tahi lalat hitam di ujung bawah telinga kiri anak itu dan ini menjadi tanda yang takkan pernah dilupakan oleh ingatan Ceng Liong yang tajam. Setelah menatap wajah Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong, anak itu sambil menangis melanjutkan perjalanan memondong jenazah gurunya dan pergi dari tempat itu.
Bagaimana pun juga, peristiwa ini membuat Thong-ciangkun merasa tidak enak dan dia pun cepat merubah suasana dengan memperkenalkan tokoh-tokoh yang lain kepada Hek-i Mo-ong.
“Karena akan menjadi rekan seperjuangan, maka kami ingin memperkenalkan sahabat-sahabat ini kepadamu, Mo-ong. Ini adalah saudara Siwananda, dialah wakil koksu (guru negara) Kerajaan Nepal yang baru dan yang telah memperoleh kekuasaan mutlak dari Raja Nepal untuk menghadap Yong-taijin.”
“Hemm, Koksu Nepal? Aku pernah mengenal Sam-ok Bun Hwa Sengjin....,” kata Hek-i Mo-ong.
“Saudara Lakshapadma? Dia memang pernah menjadi Koksu Nepal, akan tetapi karena mengalami kegagalan tidak berani pulang ke Nepal. Kami pernah mendengar bahwa dia bekerja sama denganmu sampai menemui kematiannya di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong.”
Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. Kiranya orang-orang Nepal ini telah mendengar segalanya dan dia percaya bahwa tentu orang ini pun lihai seperti juga Sam-ok Ban Hwa Sengjin dahulu. Seperti diceritakan dalam kisah ‘Suling Emas dan Naga Siluman’, Sam-ok Ban Hwa Sengjin adalah orang ke tiga dari Ngo-ok (Lima Jahat) dan pernah menjadi Koksu Nepal. Akhirnya, ketika Sam-ok bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan bentrok dengan para pendekar muda, Sam-ok tewas di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong.
“Dan saudara ini adalah kepala Suku Tailu-cin dari Mongol. Dia mewakili sukunya untuk berunding dengan Gubernur Yong.”
Hek-i Mo-ong dan orang Mongol bertubuh raksasa itu saling memberi hormat. Kemudian mereka berangkat menuju ke kota Li-tan yang letaknya di dekat perbatasan antara Tibet, Ching-hai dan Propinsi Uighur yang lalu menjadi daerah yang disebut Sin-kiang (Daerah Baru). Pasukan pengawal Thong-ciangkun mengiringkan mereka sehingga mereka itu dianggap sebagai tamu-tamu pemerintah dan tidak menimbulkan kecurigaan pada rakyat.
Di dalam sebuah gedung di kota Li-tan ini telah menanti Gubernur Yong. Pembesar ini bernama Yong Ki Pok, peranakan Ulghur yang memperoleh kedudukannya melalui ketentaraan. Karena Kaisar Kian Liong paling benci akan kecurangan para pembesar, maka pembersihan diadakan sampai ke daerah ini, dan Gubernur Yong merasa sangat tersinggung ketika menerima teguran dari para pejabat pemeriksa.
Maka, diam-diam gubernur ini lalu mengadakan hubungan dengan pihak-pihak lain yang menentang kekuasaan kaisar. Apalagi ketika dia mendengar pergerakan pasukan Nepal yang melakukan penyerbuan ke Tibet, dianggapnya itulah kesempatan baik untuk bersekutu dengan pasukan asing agar kedudukannya menjadi lebih kuat. Maka dia lalu mengutus Thong–ciangkun, orang kepercayaannya untuk menghubungi pihak-pihak itu dan pada hari ini diadakan pertemuan antara wakil-wakil semua pihak dan dengan Gubernur Yong sendiri.
Mereka sudah berkumpul di dalam ruangan itu, sebuah ruangan besar yang cukup mewah. Meja besar diatur memanjang sehingga semua orang dapat duduk di sekelilingnya. Agak lucu melihat Ceng Liong, anak berusia sepuluh tahun itu, duduk pula semeja dengan gubernur dan tokoh-tokoh kaum persilatan yang berilmu tinggi itu. Lucu dan janggal.
Akan tetapi ini merupakan syarat kehadiran Hek-i Mo-ong, yang tidak mau berpisah dari muridnya. Tak ada seorang pun di antara mereka itu pernah menduga seujung rambut pun bahwa bocah itu adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Entah apa yang akan menjadi reaksinya kalau hal ini mereka ketahui. Hek-i Mo-ong sendiri duduk dengan tenang sambil memandang dan memperhatikan orang-orang yang duduk semeja dengannya itu.
Dengan sinar matanya yang tajam, Hek-i Mo-ong memperhatikan tokoh-tokoh yang hadir dan sinar matanya seperti menilai dan mengukur kelihaian mereka itu. Yang hadir di tempat itu memang merupakan tokoh-tokoh yang amat lihai.
Panglima Thong Su adalah tangan kanan Gubernur Yong dan panglima yang usianya sudah enam puluh tahun ini, yang tubuhnya tegap dan terlatih, adalah seorang ahli perang yang amat berpengalaman. Biar pun ilmu silat atau kekuatan pribadinya tidaklah demikian hebat, namun dalam gerakan perang, orang seperti dia amat diperlukan untuk memimpin pasukan dan mengatur siasat pertempuran.
Thai Hong Lama, pendeta dari Tibet yang kepalanya gundul dan jubahnya merah itu nampak menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh serta kuat, sepasang telinganya lebar sekali dan tangan kirinya memutar-mutar biji tasbeh dengan sikap alim, seperti sepatutnya sikap seorang pendeta. Sebatang suling terselip di pinggang, tertutup jubah. Akan tetapi, di balik sikap alim ini tersembunyi ambisi yang amat besar.
Saat itu Tibet adalah wilayah yang tunduk kepada pemerintah Ceng yang dikendalikan oleh Kaisar Kian Liong. Sebagai kepala-kepala daerah, ditunjuklah beberapa orang pembesar yang bekerja sama dengan para pendeta Lama yang berpengaruh. Dan Thai Hong Lama tidak kebagian tempat karena pendeta ini, biar pun memiliki kepandaian tinggi, telah dicap sebagai seorang penyeleweng ketika beberapa tahun yang lalu dia tertangkap basah memperkosa seorang wanita di kuilnya. Maka, diam-diam dia merasa sakit hati dan bercita-cita untuk menggulingkan mereka yang berkuasa di Tibet dan agar dia dapat terangkat menjadi orang nomor satu yang paling berkuasa di daerah itu.
Ilmu silatnya tinggi dan sinkang-nya sudah demikian kuatnya sehingga dengan tenaga khikang kalau dia meniup sulingnya, dia dapat menyerang lawan dengan suara suling itu! Juga tasbeh yang selalu dipermainkan oleh jari-jari tangan kirinya seperti orang bersembahyang membaca mantera setiap saat itu sesungguhnya merupakan senjata yang ampuh.
Kemudian Hek-i Mo-ong memperhatikan Pek-bin Tok–ong. Dia sudah tahu kelihaian orang ini. Pek-bin Tok-ong (Raja Racun Muka Putih) adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, seorang tokoh Pegunungan Go-bi-san yang maha luas itu. Dia berpakaian pertapa serba putih dan longgar, rambutnya putih panjang dan kadang-kadang dibiarkan terurai, kadang-kadang digelung ke atas secara sembarangan saja.
Tubuhnya kurus tinggi dan mukanya putih seperti kapur, karena muka yang putih itulah maka dia dijuluki Raja Racun Muka Putih. Dari julukannya saja orang sudah dapat menduga bahwa tokoh ini adalah seorang ahli yang lihai sekali dalam hal racun. Akan tetapi, bukan dalam urusan mengenai racun saja dia lihai, juga ilmu silatnya amat tinggi dan lebih berhahaya lagi adalah ilmu-ilmunya yang semua dilatih dengan hawa beracun sehingga pukulannya bukan saja kuat, melainkan juga mengandung racun mengerikan. Satu di antara ilmu-ilmunya yang amat hebat, seperti yang disebut oleh Hek-i Mo-ong tadi, adalah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Memutuskan Otot Melepaskan Tulang).
Orang lain yang diperhatikan oleh Hek-i Mo-ong adalah Siwananda dan Tailucin. Siwananda berusia enam puluh tahun lebih, seorang Gorkha yang berkulit kehitaman, tinggi besar dan tubuhnya berbulu, mukanya brewok dan rambut kepalanya yang masih hitam itu dibalut kain kuning. Wakil Koksu Nepal ini juga amat lihai dan tenaganya dapat dilihat dari keadaan tubuhnya. Walau pun dia kurus, namun nampak tinggi besar karena tulang-tulangnya memang besar dan kokoh kuat. Dia bukan hanya pandai ilmu silat Nepal, akan tetapi juga ahli gulat dan pandai pula ilmu sihir.
Biar pun tubuh Thai Hong Lama dan Siwananda dari Nepal itu termasuk tinggi besar, tetapi mereka itu nampak sedang-sedang saja kalau dibandingkan dengan Tailucin, tokoh Mongol itu. Tailucin ini, yang mengaku sebagai keturunan Jenghis Khan, itu Raja Mongol yang amat termasyhur, bertubuh raksasa. Dia pun lihai sekali dan bertenaga gajah. Juga dia pandai berlari sangat cepat seperti larinya kuda dan juga amat pandai menunggang kuda, bahkan pandai menjinakkan kuda-kuda liar. Tentu saja di samping itu semua, dia ahli pula dengan ilmu silat dan gulat Mongol.
Seperti diketahui, Bangsa Mongol pernah menjajah daratan Tiongkok dan mendirikan Dinasti Goan-tiauw, mengoper sebagian besar kebudayaan Tiongkok, termasuk ilmu silatnya. Maka raksasa Mongol ini pun tidak asing dengan ilmu silat yang telah dipelajarinya semenjak dia masih kecil. Kalau senjata dari Siwananda berupa sebatang tongkat pikulan yang berat, maka senjata Tailucin ini lebih dahsyat lagi, yaitu sebuah tongkat penggada yang besar dan lebih berat, terbuat dari pada kayu dari batang semacam pohon yang dinamakan pohon besi.
Hek-i Mo-ong sudah pernah mendengar banyak mengenai kelihaian Thai Hong Lama dari Tibet dan Pek-bin Tok-ong dari Go-bi, akan tetapi dia belum pernah mendengar tentang Siwananda dan Tailucin, maka dia pun hanya dapat menduga-duga saja sampai di mana kehebatan kedua orang ini.
“Kami merasa gembira sekali melihat betapa lo-sicu (orang tua gagah) Hek-i Mo-ong suka memenuhi undangan kami dan dapat hadir dalam pertemuan ini. Kami harap saja bahwa kehadiran lo-sicu ini berarti bahwa lo-sicu telah sanggup untuk membantu kami, bukan?” Demikian antara lain Gubernur Yong berkata kepada Hek-i Mo-ong.
Hek-i Mo-ong menatap wajah pembesar itu dengan berani dan tajam seperti hendak menjenguk isi hatinya, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab, “Taijin, terus terang saja tadinya saya sedikit pun juga tidak mempunyai niat atau minat untuk mencampuri urusan pergerakan dan pemberontakan terhadap pemerintah. Resiko dan bahayanya terlampau besar menentang pemerintah yang amat kuat. Namun, karena saya sejak dahulu tidak suka kepada Kaisar Kian Liong dan melihat adanya sahabat-sahabat dari Tibet, Nepal, dan Mongol yang bekerja sama, saya sanggup membantu, akan tetapi hanya dengan satu syarat....” Hek-i Mo-ong menghentikan kata-katanya dan menatap wajah mereka yang hadir satu demi satu, seolah-olah hendak melihat apakah ada yang menentang atau merasa tidak setuju dengan ucapannya itu.
Akan tetapi semua orang hanya mendengarkan tanpa reaksi pada wajah mereka, hanya Gubernur Yong mengerutkan alisnya karena pembesar ini diam-diam mengkhawatirkan bahwa syarat yang diajukan oleh Raja Iblis ini akan terlampau memberatkan dirinya.
“Syarat apakah itu? Kalau memang pantas dan dapat dilaksanakan, apa salahnya? Harap lo-sicu suka memberitahu.” Gubernur Yong yang pandai mempergunakan tenaga orang-orang kuat ini berkata dengan nada suara ramah.
“Taijin, sudah menjadi watakku bahwa satu kali saya bekerja, saya akan melakukannya dengan pencurahan seluruh tenaga dan pikiran, dan akan saya bela sampai mati. Oleh karena itu, tanpa imbalan yang pantas, tentu saja saya segan untuk melakukannya. Imbalan atau syarat itu adalah bahwa taijin akan mengangkat saya menjadi penasehat utama dan kalau kelak taijin berhasil, saya diangkat menjadi koksu.”
Semua orang terkejut mendengar ini. Jabatan koksu adalah jabatan yang amat tinggi dalam sebuah pemerintahan karena koksu memiliki kekuasaan yang amat besar, hanya di bawah kekuasaan raja. Bahkan sang raja akan selalu bertindak setelah memperoleh nasehat dan persetujuan dari koksu. Akan tetapi, Gubernur Yong tertawa gembira.
“Ahhh, tanpa syarat itu pun kami akan merasa berterima kasih dan bergembira sekali kalau lo-sicu suka menjadi pembantu dan penasehat utama kami. Tentu saja syarat itu kami terima dengan segala senang hati!”
Tiba-tiba Thong-ciangkun, panglima yang telah belasan tahun mengabdi pada gubernur itu dan menjadi kepercayaan utama, berdehem lalu berkata dengan lembut dan sopan, “Harap taijin dan cu-wi yang hadir suka memaafkan saya. Dan terutama sekali harap Mo-ong suka memaafkan karena sesungguhnya saya bukan bermaksud menentang, melainkan sudah menjadi kewajiban saya untuk mengingatkan Yong-taijin yang menjadi atasan saya. Begini, taijin. Jabatan calon koksu adalah jabatan yang penting sekali. Seorang koksu bukan saja harus pandai mengatur siasat dan menasehati atasannya, akan tetapi juga harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari pada kepandaian orang-orang lain yang membantu taijin. Karena itu saya kira sudah amat tepat kalau kita semua melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Mo-ong agar kita semua dapat menilai apakah memang dia sudah cukup pantas untuk menjadi seorang calon koksu.”
Wajah Hek-i Mo-ong berubah merah ketika dia menatap tajam kepada panglima itu. “Hemm, Thong-ciangkun, agaknya engkau sendiri juga menginginkan kedudukan calon koksu? Kalau begitu, majulah dan marilah kita memperebutkan kedudukan itu!” berkata demikian, Hek-i Mo-ong sudah bangun dari tempat duduknya.
Thong Su juga bangkit lalu menjura kepada Hek-i Mo-ong sambil tersenyum. “Ah, satu di antara syarat menjadi koksu haruslah dapat menahan kesabaran hati, Mo-ong. Bukan sekali-kali aku bermaksud memperebutkan kedudukan koksu. Aku seorang prajurit, seorang perwira, sama sekali tidak pandai bersiasat, kecuali siasat perang. Dalam hal perang, tentu saja aku berani melawanmu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, sedikit pun aku tidak akan menandingimu.”
Hek-i Mo-ong tersenyum “Kalau engkau tidak ingin menjadi koksu, mengapa engkau mengusulkan agar aku diuji? Nah, kalau engkau hendak menguji, majulah!”
Kembali Thong Su mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Jangan salah sangka, Mo-ong. Bukan sekali-kali aku hendak mengujimu, dan bukan sekali-kali pula aku tidak percaya kepandaianmu. Tetapi, tanpa memperlihatkan kepandaian, kedudukan jabatan penting itu berarti kau peroleh secara terlalu mudah dan tidak mengesankan. Karena itu, engkau harus memperlihatkan kepandaianmu di depan gubernur.”
“Dengan cara bagaimana? Siapa yang akan mengujiku?” tanya Hek-i Mo-ong dengan sikap takabur karena tokoh ini memang sudah biasa memandang rendah semua orang dan mengangkat diri sendiri di tempat tertinggi.
“Aku sendiri tidak begitu pandai ilmu silat, akan tetapi di sini hadir ahli-ahli yang pandai, yaitu Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, saudara Siwananda dan saudara Tailucin. Sebagai para pembantu dan sekutu dari taijin, maka saya kira mereka berempat tidak keberatan untuk membantu taijin menguji kelihaian orang yang pantas menjadi calon koksu. Kelirukah pendapat hamba ini, taijin?”
Gubernur Yong tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. “Sungguh bagus sekali usul itu! Memang sudah lama aku mendengar akan kelihaian cu-wi lo-sicu yang terhormat. Dan sekarang, setelah kita memperoleh kesempatan berkumpul, agaknya sayang kalau aku menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyaksikan dengan mata sendiri kehebatan para pembantu dan sekutuku. Tentu saja kalau cu-wi tidak berkeberatan.”
Hek-i Mo-ong segera menjawab, “Saya tidak berkeberatan, kalau saja keempat orang saudara yang gagah ini ingin melakukan ujian terhadap diri saya.” Ucapan ini setengah merupakan tantangan kepada empat orang yang hadir itu!
Pek-bin Tok-ong adalah tokoh dunia persilatan yang seperti kebanyakan para tokoh kang-ouw selalu ‘haus’ akan ilmu silat dan mempunyai kesukaan mengadu ilmu untuk menguji kepandaian masing-masing. Kini mendengar usul Thong-ciangkun yang sudah disetujui oleh gubernur dia menjadi gembira sekali.
“Jika hanya merupakan ujian kepandaian, apa salahnya? Pibu untuk menguji seseorang merupakan hal yang biasa saja dan saya sungguh merasa setuju sekali!” Tokoh ini baru saja merampungkan ilmunya Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat, maka diam-diam dia pun ingin sekali mengadu ilmunya dengan Ilmu Tok-hwe-ji yang dikuasai Hek-i Mo-ong!
Tailucin mengerutkan alisnya. Dengan bahasanya yang kaku dan asing dia pun berseru, “Akan tetapi, saya sama sekali tidak mengenal ujian kepandaian berkelahi yang tidak akan mendatangkan cedera, bahkan mungkin kematian kepada seseorang. Kalau sekali saya maju memperlihatkan kepandaian, maka akibatnya hanya dua, yaitu saya menang atau kalah. Kalau memang, tentu pihak lawan cedera atau mati dan demikian sebaliknya kalau saya kalah, saya cedera atau mati. Bukankah hal ini akan merugikan sekali bagi persekutuan kita?”
Siwananda hanya tersenyum saja. Dia hanya akan menurut bagaimana keputusan teman-temannya yang hadir di situ. Wakil Koksu Nepal ini adalah seorang cerdik dan tidak mau mengambil tindakan sembrono. Dia tidak mau menyinggung hati seorang di antara mereka yang dianggap akan menjadi sekutunya, yang akan menguntungkan negaranya dalam pergerakan negaranya.....
Komentar
Posting Komentar